net/publication/301781293
CITATIONS READS
0 31,263
1 author:
Natal Kristiono
Universitas Negeri Semarang
20 PUBLICATIONS 2 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Natal Kristiono on 03 May 2016.
Oleh:
Dosen pada:
Jurusan : Politik dan Kewarganegaraan
Fakultas : Ilmu Sosial
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmatnya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan buku
ajar “Otonomi Daerah” ini.
Buku ajar ini disusun guna memenuhi kebutuhan akan materi yang dapat
dijadikan sebagai referensi bagi mahasiswa jurusan Politik dan Kewarganegaraan
semester lima yang sedang menempuh mata kuliah Otonomi Daerah. Dengan buku
ajar ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi mahasiswa untuk mengembangkan lebih
lanjut materi dengan membaca buku-buku referensi lain yang disarankan. Buku ajar
ini juga dapat dipergunakan sebagai referensi bagi siapa saja yang ingin mempelajari
dan mendalami teori-teori otonomi daerah di Indonesia.
Buku ajar ini dapat diselesaikan dengan baik karena dukungan dari berbagai
pihak. Untuk itu, dalam kesempatan yang baik, penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
Akhir kata, penulis menyadari bahan ajar ini masih banyak kekurangan. Oleh
karena itu kritik dan saran senantiasa penulis harapkan demi perbaikan buku ajar ini
ke depan. Harapan penulis semoga buku ajar ini dapat memberikan manfaat bagi
pembaca. Terimakasih.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ..............................................................................................i
KATA PENGANTAR ...............................................................................................ii
DAFTAR ISI ..............................................................................................................iii
BAB I. PROBLEMATIKA OTONOMI DAERAH
1.1.Latar Belakang .....................................................................................................1
1.2.Desentralisasi dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah ............................................2
1.3.Landasan Hukum Pelaksanaan Otonomi Daerah .................................................6
1.4.Problematika yang Muncul dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah .......................9
1.5.Upaya Pemberdayaan Masyarakat dalam Pelaksanaan Otonomi
Masyarakat sebagai Penanggulangan Masalah Otonomi Daerah yang Terjadi ...19
1.6.Simpulan ..............................................................................................................24
BAB II. TUGAS OTONOMI DAERAH DI ERA REFORMASI
2.1.Latar Belakang .....................................................................................................26
2.2.Sistem Pemerintahan Daerah dalam Era Reformasi ............................................27
2.3.Simpulan ..............................................................................................................39
BAB III. STUDI LEMBAGA-LEMBAGA PEMERINTAHAN DAERAH
3.1.Latar Belakang .....................................................................................................42
3.2.Lembaga Pemerintahan Kabupaten, Kota, dan Provinsi ......................................42
3.3.Susunan Pemerintahan Kabupaten, Kota, dan Provinsi .......................................48
iii
5.5.Pengawasan yang Dilakukan Pemerintah Pusat Terhadap Pemerintah
Daerah Menurut UU No.32 Tahun 2004 .............................................................89
5.6.Simpulan ..............................................................................................................92
BAB VI. PEMERINTAHAN LOKAL DAN OTONOMI DAERAH DALAM
PERSPEKTIF GENDER DAN KEARIFAN LOKAL
6.1.Latar Belakang .....................................................................................................94
6.2.Pemerintah Lokal .................................................................................................95
6.3.Otonomi Daerah dalam Perspektif Gender ..........................................................98
6.4.Otonomi Daerah dalam Perspektif Kearifan Lokal ..............................................10l
6.5.Simpulan .................................................................................................... …….104
BAB VII. DPRD DAN OTONOMI DAERAH DALAM PERSPEKTIF UUD 1945
DAN UU NOMOR 32 TAHUN 2004
7.1.Latar Belakang ........................................................................................... ……105
7.2.Otonomi Daerah dalam UUD 1945 Setelah Amandemen ......................... ……106
7.3.Kedudukan, Peran dan Fungsi DPRD dalam UUD 1945 Setelah
Amandemen ............................................................................................... ……109
7.4.Perbandingan Kedudukan DPRD dan Otonomi Daerah Setelah Amandemen
UUD 1945 .................................................................................................. …….111
7.5.DPRD dan Otonomi Daerah dalam UU No.32 Tahun 2004 ...................... …….112
7.6.Simpulan .................................................................................................... …….115
BAB VIII. TEORI DAN PRAKTIK PEMERINTAHAN DAERAH DAN OTONOMI
DAERAH DI INDONESIA
8.1.Latar Belakang ........................................................................................... ……117
8.2.Esensi Dasar Otonomi Daerah ................................................................... ……118
8.3.Pembagian Urusan Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah .......... ……122
8.4.Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah ...... ……124
8.5.Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah ........................................ ……127
8.6.Penyelenggaraan Otonomi Daerah di Indonesia ........................................ ……132
8.7.Kewenangan Daerah dalam Pelaksanaan Pemerintah Daerah ................... ……136
8.8.Partisipasi Masyarakat dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah .................... ……140
8.9.Kesimpulan ................................................................................................ ……144
8.10. Saran ....................................................................................................... ……146
BAB IX PEMILIHAN KEPALA DAERAH
9.1.Latar Belakang ........................................................................................... ……147
9.2.Pemilihan Kepala Daerah secara langsung dan Melalui DPRD ................ ……147
9.3.Kesimpulan ................................................................................................ ……153
iv
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... …154
v
BAB I
1
yang sangat kompleks dibandingkan dengan negara non demokrasi. Masalah
yang sering terjadi berkaitan dengan kedaulatan tertinggi yang dimiliki oleh
rakyat. Selain itu juga permasalahan yang sekarang terjadi yaitu dengan
keluarnya Undang-Undang terbaru mengenai Pemerintah Daerah UU No. 32
Tahun 2004 Jo UU No. 23 Tahun 2014 dengan adanya Peraturan Pemerintah
pengganti UU No 23 Tahun 2014 sehingga menjadi rancu dalam peraturan
mengenai Pemerintah Daerah.
2
baik yang bersifat otonom maupun bersifat administratif. Daerah-daerah itu
mempunyai pemerintahan, yang pembagian wilayah dan bentuk sususan
pemerintahannya ditetapkan dengan atau atas kuasa undang-undang.
Pembentukan daerahdaerah itu, terutama daerah-daerah otonom dan dalam
menentukan susunan pemerintahannya harus dengan permusyawaratan dalam
sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang
bersifat istimewa (asli). Didalam negara kesatuan tanggung jawab
pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan pada dasarnya tetap berada di tangan
Pemerintah Pusat. Akan tetapi karena sistem pemerintahan Indonesia salah
satunya menganut asas negara kesatuan yang didesentralisasikan, maka ada
tugas-tugas tertentu yang diurus sendiri, sehingga menimbulkan hubungan
timbal balik yang melahirkan adanya hubungan kewenangan dan pengawasan.
3
adanya perbedaan dalam mengartikannya justru semakin memperjelas atau
memperinci tujuan dari desentralisasi tersebut. Diantaranya tujuan
desentralisasi dari pengertian desentralisasi dalam perspektif politik,
administratif, dan pengertian satu lagi yang dirumuskan oleh Syarif Hidayat
dalam jurnal Ilmu Politik Volume 1 Nomor 1 Tahun 2008 yaitu tujuan
desentralisasi dalam perspektif State Society-Relation.
Kepentingan nasional
4
tepat untuk training bagi para politisi dan birokrat sebelum mereka
menduduki berbagai posisi penting di tingkat nasional. Kebijakan
desentralisasi diharapkan akan memotivasi dan melahirkan calon-calon
pimpinan pada level nasional. Tujuan ketiga desentralisasi dari sisi
kepentingan pemerintah pusat adalah to create political stability (untuk
menciptakan stabilitas politik).
5
b. Tujuan desentralisasi dalam perspektif desentralisasi administrasi
Perspektif desentralisasi administrasi lebih menekankan pada
aspek efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan ekonomi di daerah sebagai tujuan utama desentralisasi.
Rondinelli (1983: 4), misalnya, menyebutkanbahwa tujuan utama yang
hendak dicapai melalui kebijakan desentralisasi adalah untuk
meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam menyediakan
public good and services, serta untuk meningkatkan efisiensi dan
efektivitas pembangunan ekonomi di daerah.
6
Pemberlakuan sistem otonomi daerah merupakan amanat yang
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD 1945) Amandemen Kedua tahun 2000 untuk dilaksanakan
berdasarkan undang-undang yang dibentuk khusus untuk mengatur
pemerintahan daerah. UUD 1945 pasca-amandemen itu mencantumkan
permasalahan pemerintahan daerah dalam Bab VI, yaitu Pasal 18, Pasal
18A, dan Pasal 18B. Sistem otonomi daerah sendiri tertulis secara
umum dalam Pasal 18 untuk diatur lebih lanjut oleh undang-undang.
7
“ Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
sesuaidengan peraturan perundang-undangan.”
8
kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
9
Pada saat reformasi, dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 dengan
otonomi yang seluas-luasnya. Dengan evoria politik sehingga mencari
kebebasan yang seluas-luasnya untuk otonomi daerah. Pada saat itu Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) meminta pertanggungjawaban kepada
Gubernur, Bupati/Walikota, karena dipilh oleh DPRD. Kemudian melihat
gejolak politik antara DPRD dengan Gubernur dan Bupati/Walikota.
Bersumber karena Gubernur dan Bupati/Walikota dipilih oleh DPRD
menyebabkan Gubernur dan Bupati/Walikota seolah dalam bayang-bayang
DPRD.
10
Bupati/Walikota dipilih oleh DPRD. Namun, berdasar dengan UU tersebut
Presiden SBY yang menjabat pada saat itu mengeluarkan Peraturan Presiden
No. 2 Tahun 2014 sebagai pengganti UU No. 23 Tahun 2014 yang tetap
menginginkan tetap pada pemilu kepada rakyat. Namun, UU tersebut masih
menjadi kontrofersi hingga sekarang sehingga UU tersebut nampaknya belum
berlaku walaupun sudah disetujuai oleh anngota DPR yang menghadiri sidang
persetujuan RUU terasebut.
11
sehingga pemerintah pusat berkesempatan mempelajari, memahami dan
merespon berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat dari
padanya.Pemerintah hanya berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro
nasional yang bersifat strategis.
12
Bermula dari Ketetapan MPR-RI Nomor XV/MPR/1998 tentang
Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan
Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat
dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
13
UU No 22/1999 dan UU No 25/1999 juga memberikan kerangka yang
cukup ideal bagi terwujudnya keadaan politik lokal yang dinamis dan
demokratis di setiap daerah. Namun, praktik-praktik politik yang menyusul
setelah itu masih belum sepenuhnya memperlihatkan adanya otonomi yang
demokratis. Setidaknya terdapat dua penyebab utama mengapa hal ini bisa
terjadi.
14
Timur (atau Timor Leste) pada tanggal 30 Agustus 1999 melalui referendum.
Berbagai gelombang tuntutan disintegrasi juga terjadi di beberapa daerah
seperti di Aceh, Papua, Riau dan Kalimantan. Meskipun ada sejumlah
kalangan yang menganggap bahwa kemerdekaan Timor Timur sudah
seharusnya diberikan karena perbedaan sejarah dengan bangsa Indonesia dan
merupakan aneksasi rezim Orde Baru, tetapi efek domino yang timbulkannya
masih sangat dirasakan, bahkan dalam MoU Helsinki yang menghasilkan UU
Pemerintahan Aceh. Gejolak terus berlanjut hingga, Aceh dan Papua akhirnya
diberi otonomi khusus.
15
utama karena ketidakmampuan pemerintah dalam mengembangkan sifat
wirausaha (enterpreneurship).
16
jika pembayar pajak atau retribusi adalah orang yang tidak mempunyai
penghasilan memadai. Persoalan kedua terletak pada adanya kontradiksi
dengan upaya pemerintah daerah dalam menggerakkan perekonomian di
daerah. Bukankah secara empiris tidak terbantahkan lagi bahwa banyaknya
pungutan hanya akan menambah biaya ekonomi yang ujung-ujungnya hanya
akan merugikan perkembangan ekonomi daerah setempat.
17
otonomi darah tuntutan pemekaran wilayah juga semakin kencang dimana-
mana. Pemekaran ini telah menjadikan NKRI terkerat-kerat menjadi wilayah
yang berkeping-keping. Satu provinsi pecah menjadi dua-tiga provinsi, satu
kabupaten pecah menjadi dua-tiga kabupaten, dan seterusnya. Semakin
berkeping-keping NKRI semakin mudah separatisme dan perpecahan terjadi.
Dari sinilah bahaya disintegrasi bangsa sangat mungkin terjadi, bahkan
peluangnya semakin besar karena melalui otonomi daerah campur
tangan asing semakin mudah menelusup hingga ke desa-desa. Melalui
otonomi daerah, bantuan-bantuan keuangan bisa langsung menerobos ke
kampung-kampung.
Di sisi lain, politik daerah yang dikembangkan pada era transisi ini
belum menempatkan daerah sebagai ruang politik tetapi sebagai ruang
kultural. Akibatnya, proses politik dan relasi kekuasaan di daerah pun
didasarkan pada pola-pola hubungan primordial. Keinginan untuk dipimpin
oleh putra daerah merupakan kewajaran dalam ruang kultural, tapi tidak
dalam ruang politik karena ruang politik mensyaratkan persamaan hak-hak
warga negara di mana pun ia berdomisili.
18
Pemaknaan otonomi secara kultural memandang politik lokal sebagai
kesatuan nilai, kultur, kustom, adat istiadat dan bukan sebagai konsep politik.
Perspektif ini juga mengakui kemajemukan masyarakat namun dalam arti
sosio-kultural, di mana setiap masyarakat dan lokalitas adalah unik sehingga
setiap masyarakat dan lokalitas memiliki hak-hak sosial, ekonomi, budaya,
dan identitas diri yang berbeda dengan identitas nasional. Pemahaman inilah
yang kemudian memunculkan berbagai kebijakan daerah yang bernuansa
etnisitas. Sedikit banyak karakteristik masyarakat Indonesia yang pluralistik
dan terfragmentasi, turut mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya
etnonasionalisme.
Pola hubungan antar etnis dilakukan dalam proses yang linear tanpa
adanya potensi bagi terjadinya cross-cutting afiliation. Akibatnya, tidak ada
ruang bagi bertemunya berbagai etnis secara sosial. Sebagai misal, seorang
anak yang dibesarkan dalam lingkungan Muslim, pasti akan bersekolah di
pesantren atau sekolah yang berlatar agama (Madrasah Tsanawiyah, Madrasah
Alliyah, dsb), kemudian menempuh pendidikan tinggi di perguruan tinggi
Islam, dan secara sosial kemudian bergabung dengan organisasi-organisasi
bernuansa Islami, seperti HMI, dll. Secara politik, berlakunya politik aliran
menyebabkan sudah dapat dipastikan bahwa ia akan memilih partai Islam.
Dengan demikian, jelaslah bahwa pola interaksi antar etnis menjadi sulit
dilakukan karena tidak ada ruang baginya untuk mengenal etnis lain, apalagi
memahami etnis lain di luar stereotip yang selama ini mengemuka. Maka yang
kemudian timbul dan menguat adalah identitas etnisnya dan bukan identitas
kebangsaan yang inheren dalam nasionalisme.
19
Dengan berlakunya otonomi daerah, pemerintah daerah memiliki
kesempatan seluas - luasnya untuk menggali dan memanfaatkan potensi lokal
yang dimiliki masyarakat di daerahnya. Dengan mendayagunakan potensi
lokal, diharapkan program pembangunan yang dijalankan akan dapat
berlangsung berkelanjutan karena mendapat dukungan penuh dari masyarakat.
Keterlibatan ini akan membuat masyarakat setempat berusaha untuk lebih
meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan wawasannya dalam memahami
persoalan yang dihadapi dan terbiasa untuk mengambil keputusan sendiri.
Selain itu, karena memiliki perasaan ikut memiliki pada program yang
digagas daerahnya, masyarakat akan memiliki rasa tanggung jawab untuk
terus menjalankan dan mengembangkannya. Peningkatan peran masyarakat
melalui pemberdayaan ini timbul akibat pergeseran paradigma pembangunan
yang menjadi acuan pembangunan nasional yakni production centered
development menjadi people centered development yang berorientasi
kemanusiaan dan bertujuan untuk mengaktualisasikan nilai - nilai
kemanusiaan seperti harga diri, identitas, otentitas, kemandirian, dan
sebagainya.
20
tujuan ini, faktor peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan formal dan
nonformal perlu mendapat prioritas.
Pemberdayaan merupakan salah satu strategi untuk menjadikan
masyarakat lebih mandiri, dalam hal ini pemerintah dengan Permendagri No. 7
pasal 1 ayat 8 menjelaskan: ”Pemberdayaan masyarakat adalah suatu strategi
yang digunakan dalam pembangunan masyarakat sebagai upaya untuk
mewujudkan kemampuan dan kemandirian dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara”.
Memberdayakan masyarakat tentunya dengan tujuan mendidik
masyarakat agar mampu mendidik diri mereka sendiri atau membantu
masyarakat agar mampu membantu diri mereka sendiri. Tujuan yang akan
dicapai melalui usaha pemberdayaan masyarakat, adalah masyarakat yang
mandiri, berswadaya, dan mampu mengadopsi inovasi, dalam bentuk
penyuluhan pembangunan, komunikasi pembangunan, pendidikan
kesejahteraan keluarga, pendidikan tentang nilai-nilai demokrasi, pendidikan
keterampilan, pelatihan-pelatihan, dan lain-lain.
Dalam pemberdayaan masyarakat yang salah satu tujuannya adalah
untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat, Margono Slamet (1998:1),
mengemukakan tujuan pendidikan sebagai suatu proses untuk mengubah
perilaku manusia. Domain yang diharapkan berubah meliputi: pertama, domain
perilaku pengetahuan (knowing behavior), kedua, domain perilaku sikap
(feeling behavior) dan ketiga, domain perilaku keterampilan (doing behavior).
Dengan pemberdayaan tentunya yang patut diperhatikan adalah bahwa
pendidikan memegang peranan kunci dalam penyediaan SDM yang berkualitas,
bahkan sangat menentukan berhasil atau gagalnya pembangunan, sehingga kita
dapat mengikuti suatu wacana yang menegaskan: Development stands or falls
with the improvement of human and institutional competence (Hill, 1982:4).
Secara lebih arif dapat disimpulkan bahwa pendidikan bermutu menghasilkan
SDM bermutu dan merupakan kata kunci dari keberhasilan pembangunan Pada
dasarnya dalam pemberdayaan masyarakat, desain atau pola apapun yang kita
21
pilih tentunya harus bebas dari perlakuan-perlakuan diskriminasi, prejudice,
dan subjektif terhadap masyarakat.
Sesungguhnya apa yang disampikan melalui konsep pemberdayaan lebi
sempurna dibandingkan dengan konsep pembangunan top-down. Konsep
pemberdayaan sesungguhnya merupakan visualisasi dari pendekatan bottom-up.
Ambar Teguh Sulistiyani (2004;39). Selanjutnya menurut Ambar Teguh
Sulistiyani, pada hakikatnya pemberdayaan merupakan penciptaan suasana atau
iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Di
samping itu pemberdayaan hendaknya jangan menjebak masyarakat dalam
perangkap ketergantungan (charity), pemberdayaan sebaiknya harus
mengantarkan pada proses kemandirian (2004:79).
Tetapi tentunya dalam partisipasi dan pemberdayaan masyarakat di era
otonomi daerah, desain atau pola apapun yang digunakan sebaiknya mampu
memanfaatkan Sumber Daya Alam (SDA) dan meningkatkan Sumber Daya
Manusianya (SDM), serta dengan berdasarkan pada kondisi rill masyarakat
dengan potensi yang dimiliki. Untuk melaksanakan pembangunan dengan
pendekatan tersebut dibutuhkan tipologi masyarakat yang lebih terbuka,
inovatif, dan bersedia untuk kerja keras. Ciri masyarakat yang demokratis dan
terbuka sangat dibutuhkan untuk melakukan pembangunan yang berkiblat pada
partisipasi dan pemberdayaan masyarakat.
22
mengembangkannya. Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki
masyarakat (empowering).
23
Oleh karena itu, perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat
mendasar sifatnya dalam konsep pemberdayaan masyarakat. Melindungi tidak
berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi, karena hal itu justru akan
mengerdilkan yang kecil dan melunglaikan yang lemah. Melindungi harus
dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak
seimbang, serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah. Pemberdayaan
masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada
berbagai program pemberian (charity). Pendekatan utama dalam konsep
pemberdayaan adalah bahwa masyarakat tidak dijadikan objek dari berbagai
proyek pembangunan, tetapi merupakan subjek dari upaya pembangunannya
sendiri.
1.6 Simpulan
Otonomi daerah adalah pemberian wewenang kepada pemerintah
daerah untuk mengatur pemerintahannya sendiri.
24
Dalam pemberdayaan masyarakat untuk mengatasi berbagai problem
terkait otonomi daerah, diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain dari
menciptakan iklim dan suasana yang kondusif. Perkuatan ini meliputi
langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan
(input), serta pembukaan akses ke dalam berbagai peluang (opportunities)
yang akan membuat masyarakat menjadi berdaya. Dalam rangka
pemberdayaan ini, upaya yang amat pokok adalah peningkatan taraf
pendidikan, dan derajat kesehatan, serta akses ke dalam sumber-sumber
kemajuan ekonomi seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja, dan
pasar.
25
BAB II
26
melakukan revisi yang menghasilkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah (GaneC Swara, Volume 5, Nomor 1).
27
daerah atau dapat menugaskan kepada pemerintahan daerah dan atau
pemerintahan desa
28
Sedangkan urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan
meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan,
dan potensi unggulandaerah yang bersangkutan.
29
2.2.2. Penyelenggaraan Pemerintahan
Prinsip penyelenggaraan Pemerintahan Daerah menurut UU No.
22 Tahun 1999 adalah :
30
Selain itu dalam menyelenggarakan pemerintahan, pemerintah
berpedoman pada Asas Umum Penyelenggaraan Negara yang terdiri atas:
31
Daerah provinsi berkedudukan sebagai wilayah administrasi kewenangan
daerah, mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan,
kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan
keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan di
bidang lainnya. Kewenangan-kewenangan daerah otonom lebih luas dan
bertumpu pada tingkat kabupaten/kota.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 memberikan implikasi dan
simplikasi terhadap melemahnya peran dominasi pemerintah pusat
kepada daerah. Hal ini tercermin dalam proses pencalonan, pemilihan,
usulan pengangkatan calon kepala dan wakil kepala daerah dilakukan
sepenuhnya dan menjadi wewenang DPRD.
Langkah reformasi telah mengubah sistem pemerintahan era
sebelumya dengan dilahirkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah ini. Euforia politik sebagai hasil pemilu tahun 1999
telah memberikan kerangka dasar dalam penyelenggaraan sistem
pemerintahan di tingkat pusat dan daerah, yang lebih banyak dipengaruhi
kekuatan politik dalam penyelenggaraannya. Beberapa indikator yang
mewarnai penyelenggaraan sistem pemerintahan di era ini antara lain:
2.3.Kekuasaan Legislatif lebih besar dibanding kekuasaan eksekutif
2.4.Pemerintahan dikendalikan oleh kekuasaan politik
2.5.Pertanggungjawaban kepala daerah kepada lembaga legislati
2.6.Kepala daerah dapat diberhentikan oleh DPRD
2.7.Wewenang DPRD menetapkan belanja DPRD
2.8.Menjamurnya pemekaran daerah kabupaten / kota.
32
penyelenggaraan otonomi menggunakan format otonomi seluas-luasnya.
Artinya, azas ini diberlakukan oleh pemerintah seperti pada era sebelum
UU Nomor 5 Tahun 1974. Alasan pertimbangan ini didassarkan suatu
asumsi bahwa hal-hal mengenai urusan pemerintahan yang dapat
dilaksanakan oleh daerah itu sendiri, sangat tepat diberikan kebijakan
otonomi sehingga setiap daerah mampu dan mandiri untuk memberikan
pelayanan demi meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah.
Kontrol pusat atas daerah dilakukan dengan mekanisme
pengawasan yang menunjukkan formulasi cukup ketat dengan mekanisme
pengawasan preventif, represif, dan pengawasan umum. Proses pemelihan
kepala/wakil kepala daerah menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 tidak lagi
menjadi wewenang DPRD, melainkan dilaksanakan dengan pemilihan
langsung yang diselenggarakan oleh lembaga Komisi Pemilihan Umum
daerah (KPUD). Hal ini amat berbeda dengan UU Nomor 22 Tahun 1999
bahwa DPRD merupakan wahana untuk melaksanakan demokrasi
berdasarkan Pancasila dan kedudukannya sejajar (mitra) dari pemerintah
daerah, namun dalam praktek sering kali terjadi penafsiran berbeda.
33
ditandatangani oleh pimpinan DPRD karena DPRD bukan bagian dari
pemerintahan daerah.
34
Berdasarkan undang-undang ini, prinsip otonomi daerah
menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan
kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar
yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang
ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk
memberikan pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan
pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan
kesejahteraan rakyat. Penyelenggaraan otonomi harus benar-benar sejalan
dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi yang pada dasarnya untuk
memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.
35
Dalam hal pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah dan
perataturan kepala daerah, pemerintah melakukan dua cara sebagai
berikut:
36
Kebijakan politik yang dianut dalam undang-undang ini adalah
bahwa sistem pemerintahan NKRI menurut UUD 1945 memberikan
keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi. Dengan
memerhatikan pengalaman penyelenggaraan otonomi daerah pada masa
lampau yang menganut prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab
dengan penekanan pada otonomi yang lebih merupakan kewajiban daripada
hak maka, dalam UU No 22 Tahun 1999 ini pemberian kewenangan
otonomi kepada daerah kabupaten/kota didasarkan atas azas desentralisasi
saja, dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab.
Berdasarkan hal tersebut prinsip penyelenggaraan pemerintah daerah
adalah:
37
kedudukannya sebagai wakil pemerintah gubernur bertanggung jawab
kepada presiden. Penyelenggaraan otonomi daerah di daerah kabupaten
dan kota, bupati atau walikota bertanggung jawab kepada DPRD
kabupaten/kota dan berkewajiban memberikan laporan kepada presiden
melalui Menteri Dalam Negeri.
38
pemerintah daerah. Khusus peraturan daerah tentang APBD,
rancangannya disipkan oleh pemerintah daerah yang telah mencakup
keuangan DPRD untuk dibahas bersama DPRD.
2.3. Simpulan
Kewenangan Daerah berdasarkan Pasal 7 UU No. 22 Tahun 1999
mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali
kewenangan dalam bidang politik luar negeri. Pembagian urusan
39
pemerintahan menurut Pasal 10 UU No. 32 Tahun 2004 pemerintahan daerah
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya,
kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan
menjadi urusan Pemerintah. Urusan pemerintahan berdasarkan Pasal 10 ayat
(3) UU No 32 Tahun 2004, meliputi politik luar negeri; pertahanan;
keamanan; yustisi; moneter dan fiskal nasional; dan agama.
40
rangka otonomi. Sedangkan, berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004, dalam hal
pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah dan perataturan kepala
daerah, pemerintah melakukan dua cara sebagai berikut.
1. Pengawasan terhadap rancangan perda yang mengatur pajak daerah,
retribusi daerah, APBD, dan RUTR, sebelum disyahkan oleh kepala
daerah terlebih dahulu dievaluasi oleh Menteri Dalam Negeri untuk
Raperda Provinsi, dan oleh gubernur terhadap Raperda Kabupaten/Kota.
Mekanisme ini dilakukan agar pengaturan tentang hal-hal tersebut dapat
mencapai daya guna dan hasil guna yang optimal.
2. Pengawasan terhadap semua peraturan daerah di luar yang termuat di
atas, peraturan daerah wajib disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri
untuk provinsi dan gubernur untuk kabuapten/kota, untuk memperoleh
klarifikasi terhadap peraturan daerah yang bertentangan dengan
kepentingan umum dan/atau peraturan lain yang lebih tinggi dan sebab itu
dapat dibatalkan sesuai mekanisme yang berlaku.
Susunan pemerintahan daerah otonom meliputi DPRD dan pemerintah
daerah. DPRD dipisahkan dari pemerintah daerah dengan maksud untuk lebih
memberdayakan DPRD dan meningkatkan pertanggungjawaban pemerintah
daerah kepada rakyat. Hak-hak DPRD cukup luas dan diarahkan untuk
menyerap serta menyalurkan aspirasi masyarakat menjadi kebijakan daerah
dan melakukan fungsi pengawasan. Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004 hak-hak DPRD adalah sebagai berikut: hak interpelasi, hak angket dan
hak menyatakan pendapat.
41
BAB III
Setiap warga Negara mempunyai tanda identitas diri seperti Kartu Tanda
Penduduk (KTP), Surat Izin Mengemudi (SIM), dan Paspor. Dalam identitas tersebut
42
dicantumkan nama kabupaten atau kota. Misalnya, kamu lahir di kabupaten Sleman,
maka dalam identitasmu akan dicantumkan bahwa kamu lahir di Kabupaten
Sleman.Kabupaten adalah pembagian wilayah administratif di Indonesia di bawah
provinsi.Pemerintahan kabupaten terdiri atas pemerintah kabupaten dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kabupaten.Pemerintah kabupaten terdiri atas
bupati dan perangkatnya. Selain kabupaten, pembagian wilayah administratif setelah
provinsi adalah kota. Bupati sebagai kepala daerah mempunyai tugas antara lain:
43
kepala daerah meninggal dunia, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan
kewajibannya selama 6 bulan secara terus-menerus dalam masa jabatannya. Kepala
daerah dan wakil kepala daerah dalam menjalankan tugasnya mempunyai kewajiban
antara lain:
Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten atau
kota merupakan urusan yang berskala kabupaten atau kota meliputi:
b) Pertahanan.
c) Keamanan.
d) Yustisi.
44
f) Agama.
Kabupaten atau kota merupakan gabungan dari beberapa kecamatan yang ada di
sekitarnya. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) dipimpinoleh seorang
bupati.Pemerintahan Kota (Pemkot) dipimpin oleh seorang walikota. Kabupaten atau
kota merupakan daerah bagian langsung dari provinsi. Kabupaten atau kota dipimpin
oleh bupati atau walikota dan perangkat daerah lainnya. Dalam menyelenggarakan
pemerintahan, setiap kabupaten atau kota dibekali dengan hak dan kewajiban tertentu.
Hak-hak daerah tersebut berikut ini:
Pada dasarnya selain memiliki hak terdapat pula kewajiban yang harus
dijalankan. Di samping hak-hak tersebut, daerah juga dibebani beberapa kewajiban
yang harus dilakukan, antara lain sebagai berikut:
45
c) Kepolisian resort (polres), merupakan lembaga kepolisian yang berada di tingkat
kabupaten atau kota.
d) Komando distrik militer (kodim), adalah lembaga militer yang berada di tingkat
kabupaten atau kota.
a. Gubernur
46
1) Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah ditingkat
kabupaten atau desa.
47
1) Fungsi legislasi adalah legislasi daerah yang merupakan fungsi DPRD provinsi
untuk membentuk peraturan daerah provinsi bersama dengan gubernur dan menyusun
peraturan daerah.
Pemerintah daerah terdiri atas kepala daerah dan wakil kepala daerah.Kepala
daerah dibantu oleh seorang wakil daerah.Kepala daerah provinsi disebut gubernur,
dan wakilnya disebut wakil gubernur. Sementara itu, kepala daerah kabupaten atau
kota disebut bupati atau walikota dan wakilnya disebut wakil bupati atau wakil wali
kota. Bupati dan wakil wali kota dipilih oleh masyarakat dan dilantik oleh gubernur.
Dalam menjalankan tugasnya, wakil kepala daerah bertanggung jawab kepada kepala
daerah.Wakil kepala daerah dapat menggantikan kepala daerah apabila kepala daerah
tidak dapat menjalankan tugasnya selama enam bulan berturut-turut.
b. Perangkat Daerah.
48
yang bertalian dengan urusan yang akan ditangani, sarana dan prasarana penunjang
tugas. Oleh karena itu kebutuhan akan organisasi perangkat daerah bagi masing-
masing daerah tidak senantiasa sama atau seragam.
1) Sekretariat Daerah
2) Sekretariat DPRD
3) Dinas Daerah
5) Kecamatan
6) Kelurahan
1) Sekretariat Daerah
2) Skretariat DPRD
49
3) Dinas Daerah
Dinas daerah merupakan unsur pelaksana otonomi daerah. Kepala dinas daerah
bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui Sekretaris Daerah. Dan dinas
daerah juga merupakan unsur pelaksana pemerintahan daerah. Dinas daerah dipimpin
oleh kepala dinasyang diangkat dan diberhentikan kepala daerah, yang memenuhi
syarat atas usul sekretaris daerah. Kepala dinas dalam melaksanakan tugasnya
bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui sekretaris daerah. Misalnya, dinas
oekerjaan umum yang bertugas mengurus dan membangun jalan raya atau jembatan.
5) Kecamatan
6) Kelurahan
b) Memberdayakan masyarakat.
50
e) Menegakan peraturan daerah.
5) Memilih wakil kepala daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil
kepala daerah.
Selain mempunyai tugas dan wewenang, DPRD juga memiliki hak. Hak tersebut
antara lain sebagai berikut:
51
1) Interpelasi, yaitu hak DPRD untuk meminta keterangan kepada gubernur atau
bupati atau walikota. Biasanya, mengenai kebijakan yang berdampak pada kehidupan
orang banyak atau masyarakat.Misalnya, pendirian tempat pembuangan sampah akhir
(TPA), apakah sudah sesuai AMDAL (Analisis Mngenai Dampak Lingkunga).
8) Mentaati peraturan, tata tertib, kode etik, dan sumpah atau janji anggota DPRD.
9) Menjaga norma dan etika dalam hubungan kerja dengan lembaga terkait.
52
3.3.3. Lembaga Pemerintahan Pusat
b. Melantik presiden dan wakil presiden berdasarkan hasil pemilihan umum dalam
siding paripurna MPR.
e. Memilih wakil presiden dari dua calon yang diajukan presiden apabila terjadi
kekosongan jabatan wakil presiden dalam masa jabatannya, selambat-lambatnya
dalam waktu enam puluh hari.
53
Rakyat merupakan lembaga yang menyerap, menampung, menghimpun, dan
menindaklanjuti aspirasi rakyat Indonesia.
54
daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak,
pendidikan dan agama.
4. Presiden
55
e. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
1) Menyiapkan calon hakim agung yang berakhlak mulia, jujur, berani, dan
kompeten.
2) Mendorong pengembangan sumber daya hakim menjadi insan yang mengabdi dan
menegakkan hokum dan keadilannya.
Adapun anggota BPK berjumlah 9 orang yang terdiri atas seorang ketua, wakil
ketua, dan tujuh orang anggota.Anggota BPK dipilih oleh DPR dengan
memperhatikan pertimbangan DPD dan disahkan oleh presiden. Pemimpin BPK
memegang jabatan sealam lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa
jabatan. Badan Pemeriksa Keuangan mempunyai kewenangan sebagai berikut:
56
Indonesia berjalan sesuai dengan anggaran yang telah diteta[kan oleh presiden dan
DPR. dengan demikian, tidak terjadi penyimpangan dalam penggunaan anggaran
Negara.
1. Presiden
Pasangan calon Presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pemilihan umum.
Presiden memiliki tugas yang besar demi kemajuan bangsa. Berikut ini yang
termasuk tugas-tugas presiden:
b. Memberi amnesti atau pengampunan kepada orang yang telah dijauhi hukuman.
57
g. Mengangkat dan memberhentikan anggota komisi yudisial dengan persetujuan
DPR.
Duta adalah orang yang mewakili suatu Negara di Negara lain. Konsul adalah orang
yang mewakili suatu Negara di kota Negara lain. Konsul berada di bawah kedutaan
besar.
Dalam pengangkatan duta dan penerimaan duta Negara lain, presiden harus
memperhatikan pertimbangan DPR.Presiden Republik Indonesia selain selain sebagai
kepala pemerintahan juga berperan sebagai kepala Negara dan panglima tertinggi
angkatan memiliki kekuasaan membuat perjanjian dengan Negara lain dengan
persetujuan DPR. presiden juga dapat memberikan tanda jasa, gelar, dan tanda
kehormatan lainnya.
Seorang presiden diusulkan oleh para partai politik atau gabungan dalam satu
pasangan. Kemudian setelah terpilih presiden akan menjalankan jabatannya selama 5
tahun.
2. Wakil Presiden
58
c. Menggantikan jabatan presiden apabila presiden berhenti, diberhentikan, atau
meninggal dunia.
Untuk membantu pelaksanaan tugas, wakil presiden dibantu oleh secretariat wakil
presiden (setwapres). Susunan aorganisasi setwapres antara lain:
3. Mentri
Mentri Negara ialah mentri yang menangani bidang khusus yang tidak
ditangani oleh mentri departemen. Misalnya, mentri neagra BUMN dan mentri
lingkungan hidup
59
Menurut Pasal 25 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 kepala daerah
mempunyai tugas dan kewenangan sebagai berikut:
4.Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk
dibahas dan ditetapkan bersama.
6.Mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa
hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Di masa lalu tugas seorang wakil kepala daerah hanya digariskan secara
umum, yaitu membantu tugas kepala daerah, atau menggantikan tugas kepala daerah
apabila kepala daerah berhalangan. Oleh karena itu muncul ironi bahwa seorang
wakil kepala daerah hanya bertugas sebagai ban serep.
60
5. Memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam
penyelenggaraan kegiatan pemerintah daerah.
Jika kepala daerah meninggal dunia, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat
melakukan kewajiban selama enam bulan secara terus-menerus dalam masa
jabatannya, maka wakil kepala daerah akan menggantikan kepala daearh sampai
habis masa jabatannya. Ketentuan ini diatur dalam ayat 3 Pasal 26 Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
61
8. Melaksanakan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik.
10. Menjalin hubungan kerja dengan seluruh instansi vertikal di daerah dan semua
perangkat daerah.
62
BAB IV
PENGEMBANGAN PEMERINTAHAN UMUM DAN PEMBINAAN
WILAYAH DALAM OTONOMI DAERAH
4.1 Latar Belakang
Secara etimologis kata otomi berasal dari bahasa latin auto bearti
sendiri dan nomein berarti peraturan atau undang-undang. Maka autonom berarti
mengatur sendiri atau memerintah sendiri atau dalam arti luas adalah hak untuk
mengatur dan mengurus rumah tangga daerah sendiri.
63
Dewasa ini, paling tidak terdapat empat perubahan mendasar yang akan
menentukan wujud tatanan politik dunia yang perlu di antisipasi dan didalami
implikasinya. Pertama, kecenderungan arah perubahan dalam konstelasi politik
global, dari suatu karangka bipolar ke kerangka multipolar.kedua,menguatnya
gajala saling keteragntungan antar negara dan saling keterkaitan antara maslah
global dibidang poliik,keaman,ekonomi,sosial,lingkungan hidup,dan lain-lain.
Seiring dengan itu,semakin menguat pola dampak globalisasi dengan segala
implikasinya,baik yang positif maupun yang negatif. Ketiga,meningkatnya peran
aktor-aktor non pemerintah dalam tata hubungan antar negara. Keempat,
munculnya isu-isu baru dalam agenda internasional, seperti masalah hak asasi
manusia, intrfensi humaniter, demokrasi dan demokratisasi, good governance,l
ingkungan hidup, dan lain-lain.
64
tersebut. Juga dapat membantu dan melengkapi kekurangan dan kelemahannya.
Hal tersebut sebagai pengejawantahan terhadap kondisi keseimbangan anatara
asas desentralisasi dengan asas dekonstentrasi dalam pelaksanaan otonomi
daerah.
65
desentralisasi dan otonomi daerah, tidak ada mutu rancang bangun suatu
pemerintahan daerah atau suatu daerah otonom yang memiliki sifatsifat atau ciri-
ciri sebagai suatu negara tersendiri.
66
Daerah oleh sebagian Kepala Daerah misalnya saat ini telah menimbulkan kesan
bahwa seolah-olah otonomi hanya wewenang kabupaten/kota sehingga
mengabaikan peran provinsi.Padahal seharusnya pern provinsi tetap dibutuhkan
terutama dalam mengoordinasikan pendistribusian bagi hasil dari pusat ke daerah,
terutama pemerataan pendapatan kepada daerah yang miskin.Untuk itu dalam
konteks kehidupan negara kesatuan dalam pelaksanaan otonomi, perlu
dikembangkan hubungan kemitraan nasional yang berangkat dari silaturahmi
antarsesama kelompok masyarakat dalam lintas agama dan budaya guna
menumbuheratkan semangat kesatuan dan persatuan bangsa dan negara
mengingat dalam penerapan otonomi saat ini masih terdapat sejumlah daerah
yang minim sumber daya dan PAD.
67
mengenal satu bentuk politik pemerintahan atau desentralisasi semata, tetapi
juga menyangkut aspek-aspek kewilayahan yang merupakan pencerminan dari
tugas umum pemerintahan.
Prinsip negara kesatuan meletakkan kekuasaan/kewenangan
pemerintahan pada Pemerintah Pusat. Namun, dalam rangka efisiensi dan
efektivitas penyelenggaraan pemerintahan diperlukan daerah-daerah otonom
yang memiliki hak dan kewenangan otonom. Menyadari hal itu, maka
bagaimana pun luasnya otonomi yang diberikan ke daerah, tetap memiliki
batas, dengan kalimat lain otonomi daerah bbukan tanpa batas, masih tetap
tersedia bingkai kewenangan Pemerintah Pusat yang lebih dikenl di dalam
pengertian pemerintahan umum. Perbedaannya, jika masa lampau bingkai
tersebut sangat sempit maka dalam era otonomi luas, menjadi cukup luas,
sehingga daerah mempunyai kebebaan untuk berkreasi.
Dalam kepustakaan tentang pemerintahan umum istilah yang sepadan
dalam Bahasa Belanda adalah istilah algemeen bestuur dilaksanakan oleh
Gubernur Jendral dengan bantuan pejabat-pejabat tinggi yang diangkat sebagai
pimpinan dari berbagai cabang dari algemeen bestuur, yang diorganisasikan
dalam lembaga-lembaga yang dinamakan Departementen Van Algemeen
Bestuur (Departemen-departemen Pemerintahan Umum).
Apabila mencari padan dari istilah Belanda algemeen bestuur tersebut
dalam kepustakaan tentang pemerintahan yang tertulis dalam Bahasa Inggris,
maka terdapat istilah Public Government. Kegiatan-kegiatan dari Algemeen
Bestuur tersebut selanjutnya diklasifikasikan menjadi dua jenis kelompok
kegiatan, yaitu :
a. Kegiatan-kegiatan yang masuk lingkup de administratie.
b. Kegiatan-kegiatan yang masuk lingkup bestuur (pemerintahan).
Fungsi tipikal dari Binnenlandsch Besturur itu adalah
tanggungjawabnya untuk memelihara ketentraman umum, karena itu
mempunyai hubungan yang erat dengan dinas kepolisian. Juga memegang
fungsi selaku arbiter di antara kepentingan-kepentingan yang saling
68
berbenturan, yang timbul dari kelompok-kelompok ras dan sosial yang
heterogen.Binnenlandsch Bestuur inilah yang semenjak awal merupakan
pendukung dari kebijakan dekonsentrasi, dan selanjutnya juga merupakan salah
satu dari ting-tiang penyangga kebijaksanaan desentralisasi yang mulai diuji-
cobakan semenjak tahun 1905.
Jika diamati penjelasan Pasal 18 UUD 1945 terlihat jelas bahwa ada
dua macam daerah, yang pertama adalah daerah otonom yang mempunyai hak
untuk mengurus rumah tangganya sendiri, dan yang kedua adalah daerah
administrative. Hal itu, merupakan pencerminan dari daerah desentralisasi dan
kemudian dekonsentrasi.Namiun kedua hal itu hanya pada tingkatan
administrasi, yang nyatanya kedua hal itu merupakan satu kesatuan yang
berwilayah dalam pemerintahan disebut sebagai teritorialle unit.Walaupun
dalam konstruksi UU Nomor 32 Tahun 2004, kedua jabatan itu disatukan dalam
lembaga Kepala Daerah, yang dalam pemerintahan sering disebut sebagai
personal unit. Dengan kalimat lain, konsekuensi dari adanya Pasal 18 UUD
1945 adalah pemerintah diwajibkan menerapkan politik desentralisasi dan
ekonsentrasi di bidang ketatanegaraan.
Hal yang berkaitan dengan hubungan anatar pelakanaan pemerintahan
umum itu dengan otonomi dari Pemerintah Daerah adalah asa keseimbangan
yang menuntut pengetahuan tentang seberapa jauh dekonsentrasi itu dapat
dilaksanakan sampai batas di mana pelaksanaan desentralisasi tidak dirugikan,
melainkan justru diuntungkan. Demikian pula halnya bahwa bagaimana
mencari keseimbangan antara pelaksanaan asas desentralisasi dengan
dekonsentrasi dalam suatu titik imbang yang memungkinkan efisiensi dan
efektivitas dalam pelayanan kepada masyarakat.Karena pada dasarnya
desentralisasi dan otonomi daerah adalah semata-mata instrument untuk
mencapai tujuan dan bukan tujuan itu sendiri. Sehingga ketika kewenangan
daerah menjadi sangat besar, adanya organisasi yang dibangun sesuai
kepentingan dan kebutuhan daerah, adanya sumber keuangan, personel,
peralatan, dan dokumentasi yang sepenuhnya diatur oleh daerah, maka
69
permasalahannya terletak pada bagaimana manajemen pemerintahan daerah
sehingga tujuan akhir, yaitu kesejahteraan masyarakat akan mengalami
peningkatan.
Dari beberapa landasan baik terotis maupun historis tersebut
menyadrkan bahwa di dalam prinsip negara kesatuan, penyerahan urusan atau
kewenangan kepada daerah otonom seberapa besar pun, tetap ada
batasnya.Apalagi di dalam negara kesatuan, kewenangan dari pemerintah Pusat
tetap diperlukan demi menjaga dan mengenal prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia.Ungkapan yang sangat tepat adalah diperlukan Pemerintah
Pusat yang kuat dan Daerah yang kuat.Sehingga dapat menjaga dan memelihara
negara kesatuan dan mencegah disintegrasi.Pada dasarnya kewenangan
pemerintah itu selalu berkembang dinamis sesuai perkembangan yang ada pada
masyarakat khususnya Pemerintah Daerah.Ini bearti kewenangan pemerintahan
yang dimiliki oleh masing-masing tingkat pemerintahan tidaklah statis
melainkan dinamis sesuai dengan kebutuhan.
Para pejabat yang bertugas menyelenggarakan pemerintahan umum
haruslah benar-benar menyadari, bahwa baik secara strukural maupun
fungsional, tugas-tugas mereka tidak boleh menghambat kelancaran otonomi
daerah yang nyata dan bertanggungjawab.
Pemerintah Pusat menerapkan otonomi daerah tanpa menghilangkan
peran kewilayahan termasuk di dalamnya pembinaan wilayah.Dalam arti luas
tugas-tugas Pemerintah dilaksanakan pula oleh daerah otonom.Jelasnya
Pemerintah Pusat mendelegasikan aspek pembinaan wilayah kepada daerah
otonom dan dilaksanakan oleh perangkat otonom dan pertanggungjawabannya
melampaui kewenangan daerah otonom itu sendiri.Walaupun pada prinsipnya
tugas pembinaan wilayah adalah untuk kesejahteraan daerah itu sendiri, tetapi
sebagai suatu negara kesatuan Pemerintah Pusat wajib mengontrol daerah
sebagai subsistem nasional sehingga entitas kebangsaan ytidak mengalami
pembiasan dalam wilayah daerah itu sendiri.
70
UU Nomor 32 Tahun 2004 tidak secara tegas mengatur tentang
pemerintahan umum.Beberapa pengaturan tentang dekonsentrasi, tugas
pembantuan, wilayah administrasi, instansi vertikal, dan urusan yang tidak
menjadi kewenangan daerah.Meskipun demikian nuansa UU Nomor 32 Tahun
2004 bukan tidak mengakui adanya pemerintahan umum tetapi tidak mengatur
secara rinci tentang tugas pemerintahan umum tersebut.
Materi-materi yang menyangkut pemerintahan umum adalah sebagai
berikut :
1. Mengembangkan konsep negara-bangsa yang sinergis dengan konsep
negara kepulauan dalam penyelenggaraan pemerintahan nasional di daerah
sehingga tercermin adanya sistem dan mekanisme pemerintahan dalam
bingkai NKRI.
2. Memfasilitasi dan mengupayakan terciptanya situasi yang kondusif untuk
terselenggaranya kebijakan pemerintahan secara nasional di daerah
sekaligus mengakomodasikan kebiajakan daerah sebagai penyangga
utamanya.
3. Memfasilitasi terwujudnya keselarasan hubungan antarstrata pemerintahan,
yaitu antara pemerintahan pusat dengan provinsi, provinsi dengan
kabupaten/kota serta antar daerah.
4. Memfasilitasi terciptanya iklim yang kondusif dalam mendukung
terwujudnya keterntraman dan ketertiban umum di seluruh daerah dengan
basis penegakan hukum serta norma yang berlaku.
5. Memfasilitasi tertibnya hubungan lintas batas dan kepastian batas wilayah
dengan negara tetangga, antar daerah yang meliputi batas anatarprovinsi,
antarkabupaten/kota dan antardesa.
6. Memfasilitasi terselenggaranya kewenangan daerah di kawasan tertentu
sehingga terciptanya keserasian dan keselarasan pelaksanaan kewenangan
baik dalam rangka desentralisasi maupun dekonsentrasi dan tugas
pembantuan.
71
7. Menangani tugas-tugas umum pemerintahan lainnya yang tidak menjadi
tugas komponen lain dan Pemerintah Daerah serta lintas instansi mana pun
seperti koordinasi pemerintahan lintas sector dan lintas wilayah,
administrasi dasr kependudukan dan catatan sipil, mengaktualkan nilai-nilai
Pancasila dan UUD 1945 menciptakan dan memelihara kerukunan
nasional/wawasan kebangsaan serta mengembangkan wawasan gender,
menampung Dan pengolah serta menyalurkan aspirasi masyarakat terutama
yang berkaitan dengan kewenangan gubernur selaku wakli pemerintah.
72
dijalankan di segenap pelosok nusantara yang kemudian setelah Indonesia
merdeka sangat dikenal dengan tugas-tugas kepamomgprajaan yang dilaksankan
oleh pejabat pamong praja.
73
dapat diperoleh hasil tertentu. Dengan demikian,dapat dikatakn bahwa
pentingnya pembinaan wilayah adalah bagaimana mewujudkan segala potensi
yang ada yang terkandung dalam aspek-aspek kewilayahan geografis-sosilogis
dan geografis-teritorial serta demografinya yang kemudian menghasilkan output
yang maksimal guna kepentingan seluruh masyarakat dan Negara Indonesia.
4.4 Pola Pembinaan Wilayah dan Tugas dan Fungsi Pembinaan Wilayah
74
Ringkasnya bahwa dalam kerangka Negara Kesatuan, Pemerintah Pusat
melaksanakan fungsi pembinaan wilayah yang dilakukan sampai ke daerah-
daerah, oleh perangkat pusat dan daerah, sebagai fungsi pemerintahan umum
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat untuk daerah itu sendiri, dan
selanjutnya bagi pemantapan ketahanan nasional.
75
yang jelas dapat dikatakan aspek dinamis lingkungan geografis-sosiologis yang
mengandung potensi-potensi kependudukan, social ekonomi,social budaya, social
politik, dan pertahanan keamanan di satu pihak dan fungsi aspek statis lingkungan
geografis sebagai ruang pembatas di pihak lain.
Secara jelas dapat dikatakan bahwa dimensi pembinaan wilayah dapat dirinci
sebagai berikut:
Sejarahnya tugas dan fungsi pembinaan wilayah melekat pada pejabat pusat
atau pejabat pusat yang ada di daerah yang dikenal dengan sebutan Pamong
Praja. Dalam masa pemerintahan Orde Baru, pejabat didaerah yang memiliki
kewenangan tertinggi dalam tugas pembinaan wilayah disebut Kepala Wilayah.
76
unit. Dengan kalimat lain bahwa konsekuensi dari pasal 18 UUD 1945 adalah
Pemerintahan diwajibkan menerapkan politik desentralisasi dan dekonsentrasi di
bidang ketatanegaraan.
Dalam konteks sekarang ini, di era reformasi dengan adanya otonomi daerah
bukan berarti bahwa dengan sendirinya urusan pemerintahan umum telah
kehilangan maknanya, atau denga kalimat lain bahwa dengan diberlakukannya
otonomi daerah maka tugas pemerintahan umum telah lenyap, hal ini tidak
mempengaruhi keberadaan tugas-tugas pemerintahan umum yang mana salah
satu perwujudannya adalah dalam aspek pembinaan wilayah, tetapi lebih dari itu
bahwa pelaksanaan otonomi daerah tetap berjalan dan segala kewenangan yang
menyangkut tugas pemerintahan umum termasuk di dalamnya menyangkut
pembinaan wilayah, tetap dilaksanakan walaupun dalam konteks otonomi daerah
dan karena melihat fungsi pertanggungjawaban tetap berada kepada pejabat
Pemerintah Pusat, sementara di daerah diemban oleh Kepala Daerah
4.6 Simpulan
77
struktur ketatanegaraan yang menyebutkan bahwa Indonesia adalah suatu Negara
Kesatuan. Dalam konteks ini sebagaimana pencerminan Pasal 18 UUD 1945,
dalam kerangka Negara Kesatuan, Pemerintah Pusat melaksanakan fungsi
pembinaan wilayah yang dilakukan sampai ke daerah-daerah, oleh perangkat
pusat dan daerah, sebagai fungsi pemerintahan umum untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat untuk daerah itu sendiri, dan selanjutnya bagi
pemantapan ketahanan nasional.
Tugas Pebinaaan wilayah yang dilaksanakan oleh Pangreh Praja dari
bupati sampai camat yang sifatnya khas dan disebut politieke politioneel beleid,
yaitu suatu tugas di bidang kepolisian yang bersangkutan dengan pemeliharaan
keamanan dan ketertiban. Tetapi jelasnya hal tersebut bersangkutan dengan
bidang kepolisian, keamanan dan ketertiban menumbuhkembangkan semangat
kebangsaan. dasar dalam menerapakan tugas-tugas pemerintahan umum yang
mana bukan merupakan hal baru dalam fungsi pemerintahan.
78
BAB V
79
daerah hanya merupakan bentuk manipulasi dari demokrasi atau justru merupakan
penguatan sentralisasi yang terbingkai dalam demokrasi.
80
daerah dilakukan terhadap administrasi umum pemerintahan dan urusan
pemerintahan.
81
urusan pemerintahan di daerah dilaksanakan oleh Aparat Pengawas Intern
Pemerintahsesuai peraturan perundang-undangan.
82
Kementerian, Unit Pengawasan Lembaga Pemerintah Non Kementerian,
Inspektorat Provinsi, dan Inspektorat Kabupaten/Kota sesuai fungsi dan
kewenangannya.
83
c. Pengawasan lainnya, meliputi :
d. Dana Dekonsentrasi;
e. Tugas Pembantuan;
f. Review atas Laporan Keuangan; dan
g. Kebijakan Pinjaman Hibah Luar Negeri.
84
5.3.2 Pengawasan Preventif, Represif dan Umum
a) Pengawasan Preventif
Pengawasan Preventif adalah pengawasan yang dilakukan sebelum
pelaksanaan, yakni pengawasan yang dilakukan terhadap sesuatu yang bersifat
rencana. (Sujamto, 1986 : 85).
b) Represif
Pengawasan Represif merupakan pengawasan yang dilakukan setelah
pekerjaan atau kegiatan dilaksanakan. Dapat pula dikatakan bahwa pengawasan
represif sebagai salah satu bentuk pengawasan atas jalannya pemerintahan (Sujamto,
1986 : 87). misalnya : penangguhan dan atau pembatalan PERDA, PERBW,
KEPBW yang bertentangan dengan kepentingan umum.
5.3.3 Pengawasan Umum
Pengawasan umum adalah jenis pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah
terhadap segala kegiatan pmemerintah daerah untuk menjamin penyelenggaraan
pemerintahan daerah dengan baik. Pengawasan umum dilakukan oleh MENDAGRI
terhadap pemerintahan daerah. Pengawasan umum adalah pengawasan terhadap
seluruh aspek pelaksanaan tugas pokok organisasi.
Fungsi pengawasan umum dapat pula dilakukan melalui WASKAT yang hakekatnya
sama dengan WASNAL.
a. Pengawasan Langsung
85
maka yang dimaksud dengan pemeeriksaan ditempat atau pemeriksaan setermpat itu
dapat berupa pemeriksaan administratif atau pemeriksaan fisik di lapangan.
c. Surat-surat pengaduan;
a. Pengawasan Formal
b. Pengawasan Informal
86
5.4. PENGERTIAN PEMERINTAHAN DAERAH
87
Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat
daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Sedangkan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai
unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Pemerintah daerah harus mampu
mengelola daerahnya sendiri dengan baik dengan penuh tanggung jawab dan jauh
dari praktik-praktik korupsi. Hak-hak dan Kewajiban Pemerintahan Daerah Dalam
menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan, terutama dalam penyelenggaraan
otonomi daerah dibekali dengan hak dan kewajiban tertentu.
6. Mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya yang berada di daerah
88
5.5 PENGAWASAN YANG DILAKUKAN PEMERINTAH PUSAT
TERHADAP PEMERINTAH DAERAH MENURUT UU No. 32 Tahun
2004
Seperti dipahami bersama, bahwa pemerintahan daerah adalah sub sistem dari
sistem pemerintahan nasional dalam struktur NKRI. Konsekwensi logisnya adalah
penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak boleh menyimpang dari sistem nasional
(pusat). Pada tataran ideal pelaksanaan otonomi, berarti semua kegiatan kenegaraan
di daerah dilaksanakan oleh pemerintahan daerah yang bersangkutan, akan tetapi
kenyataannya di tataran implementasi masih banyak terjadi penyimpangan atau salah
tafsir atau perbedaan persepsi antara “das sollen” dan ”das sein”.
89
Berdasarkan fakta tersebut yaitu bahwa selama pelaksanaan UU No 22 tahun
1999 dan UU No 25 Tahun 1999, hingga 2004, terdapat begitu banyak Peraturan
Daerah, praktek birokrasi di daerah yang salah kaprah, maka dalam UU No 32 tahun
2004 dan UU No 33 Tahun 2004, hal itu dicoba diatasi dengan rumusan pengawasan
dari pusat yang lebih jelas dengan diikuti oleh program pembinaan.
Dalam UU No. 32 Tahun 2004, pengawasan dapat dilihat dalam beberapa hal
yaitu evaluasi rancangan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah tentang
APBD, perubahan APBD dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD dan
rancangan Perda Provinsi tentang APBD yang telah disetujui bersama dan rancangan
peraturan gubernur tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh gubernur
disampaikan kepada Mendagri untuk dievaluasi. Hasil evaluasi kemudian
disampaikan oleh Mendagri kepada gubernur.
90
bahan pembinaan selanjutnya oleh pemerintah dan dapat digunakan sebagai bahan
pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
91
Mendagri untuk Raperda Provinsi dan oleh gubernur terhadap Raperda
kabupaten/kota. Mekanisme ini dilakukan agar pengaturan tentang hal-hal tersebut
dapat mencapai daya guna dan hasil guna yang optimal.
5.6 SIMPULAN
92
Tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 ayat (2) adalah sebagai berikut :
“Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
pemerintahan daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan
prinsip otonomi yang seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945”.
Dalam UU No. 32 Tahun 2004, pengawasan dapat dilihat dalam beberapa hal
yaitu evaluasi rancangan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah tentang
APBD, perubahan APBD dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD dan
rancangan Perda Provinsi tentang APBD yang telah disetujui bersama dan rancangan
peraturan gubernur tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh gubernur
disampaikan kepada Mendagri untuk dievaluasi. Hasil evaluasi kemudian
disampaikan oleh Mendagri kepada gubernur.
93
BAB VI
PEMERINTAHAN LOKAL DAN OTOMONI DAERAH DALAM
PERSPEKTIF GENDER DAN KEARIFAN LOKAL
94
dengan eksternalitas lokal. Urusan yang menjadi kewenangan daerah, meliputi urusan
wajib dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah suatu urusan
pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar,
kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan dasar;
sedangkan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan terkait erat dengan potensi
unggulan dan kekhasan daerah. Penyelenggaraan pemerintahan daerah disesuaikan
dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu
pemerintahan daerah, yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat
terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan,
pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah
dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan
kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Republik Indonesia.
Dalam pelaksanaan pemerintahan lokal dan pelaksanaan otonomi daerah, tidak
terlepas dari permasalahan gender dan kearifan lokal. Karena dua hal tersebut sangat
penting dalam penentuan – penentuan dalam pelaksanaan otonomi daerah. Oleh
karena itu dalam makalah ini akan membahas mengenai pemerintahan lokal dan
Otonomi Daerah dalam persepektif gender dan keafiran lokal.
6.2.Pemerintah Lokal
Pemerintahan lokal adalah institusi kuno dengan konsep baru. Ini
perwujudan aktivitas manusia dalam kelompok, merefleksikan semangat
kebebasan. Pemerintahan lokal adalah bagian dari badan politik suatu negara,
diakui dan dibuat dibawah hukum untuk mengatur isu-isu lokal manusia dengan
batas-batas geografis.
Bhenyamin Hoessein (2001:3) menjelaskan bahwa local government dapat
mengandung tiga arti. Pertama, berarti pemerintah lokal. Kedua, berarti
pemerintah lokal yang dilakukan oleh pemerintah lokal. Ketiga, berarti, daerah
otonom.
95
Local government dalam arti pertama menunjuk pada lembaga/organnya.
Maksudnya local government adalah organ/badan/organisasi pemerintah di
tingkat daerah atau wadah yang menyelenggarakan kegiatan pemerintahan di
daerah. Dalam arti ini istilah local government sering dipertukarkan dengan
istilah local authority (UN:1961). Baik local government maupun local authority,
keduanya menunjuk pada counsil dan major (dewan dan kepala daerah) yang
rekrutmen pejabatnya atas dasar pemilihan. Dalam konteks Indonesia local
government merujuk kepada kepala daerah dan DPRD masing-masing
pengisiannya dilakukan dengan cara dipilih, bukan ditunjuk.
Local government dalam arti kedua menunjuk pada fungsi kegiatannya.
Dalam arti ini local government sama dengan pemerintahan daerah. Dalam
konteks Indonesia pemerintah daerah dibedakan dengan istilah pemerintahan
daerah. Pemerintah daerah adalah badan atau organisasi yang lebih merupakan
bentuk pasifnya, sedangkan pemerintahan daerah merupakan bentuk aktifnya.
Dengan kata lain, pemerintahan daerah adalah kegiatan yang dilakukan oleh
pemerintah daerah.
Local government dalam pengertian organ maupun fungsi tidak sama
dengan pemerintah pusat yang mencakup fungsi legislatif, eksekusif, dan
judikatif. Pada local government hampir tidak terdapat cabang dan fungsi
judikatif (Antoft dan Novack:1998). Hal ini terkait dengan materi pelimpahan
yang diterima oleh pemerintah lokal. Materi pelimpahan wewenang kepada
pemerintah lokal hanyalah kewenangan pemerintahan. Kewenangan legistlatif
dan judikasi tidak diserahkan kepada pemerintah lokal. Kewenangan legislasi
tetap dipegang oleh badan legistlatif (MPR, DPR, dan BPD) di pusat sedangkan
kewenangan judikasi tetap dipegang oleh badan peradilan (Mahkamah Agung,
Pengadilan Tinggi, Peradilan Negri, dan lain-lain). Kalau toh di daerah terdapat
badan peradilan seperti Pengadilan Tinggi di provinsi dan Pengadilan Negeri di
Kabupaten/kota masing-masing bukan merupakan bagian dari pemerintah lokal.
Badan-badan peradilan tersebut adalah badan yang independen dan otonom di
bawah badan peradilan pusat.
96
Istilah legistlatif dan eksekutif juga tidak lazim digunakan pada local
government. Istilah yang lazim digunakan pada local government adalah fungsi
pembentukan kebijakan (policy making function) dan fungsi pelaksanaan
kebijakan (policy executing function). Fungsi pembentukan kebijakan dilakukan
oleh pejabat yang dipilih melalui pemilu, sedangkan fungsi pelaksanaan
kebijakan dilakukan oleh pejabat yang diangkat/birokorat lokal (Bhenyamin
Hoessein, 2001:10)
Local government dalam pengertian ketiga yaitu sebagai daerah otonom
dapat disimak dalam definisi yang diberikan oleh The United Nations of Public
Administration: yaitu subdivisi politik nasional yang diatur oleh hukum dan
secara substansial mempunyai kontrol atas urusan-urusan lokal, termasuk
kekuasaan untuk memungut pajak atau memecat pegawai untuk tujuan tertentu.
Badan pemerintah ini secara keseluruhan dipilih atau ditunjuk secara lokal
(UN:1961)
Dalam pengertian ini local government memiliki otonomi (lokal) dalam arti
self government. Yaitu mempunyai kewenangan untuk mengatur (rules making =
regelling) dan mengurus (rules application = bestuur) kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri. Dalam istilah administrasi publik masing-
masing wewenang tersebut lazim disebut wewenang membentuk kebijakan
(policy making) dan wewenang melaksanakan kebijakan (policy executing)
(Bhenyamin Hoessein, 2002). Mengatur merupakan perbuatan menciptakan
norma hukum yang berlaku umum. Dalam konteks otonomi daerah, norma
hukum tertuang dalam Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah yang
bersifat pengaturan. Sedangkan mengurus merupakan perbuatan menerapkan
norma hukum yang berlaku umum pada situasi konkrit dan individual
(beschikking) atau perbuatan material berupa pelayanan dan pembangunan obyek
tertentu (Bhenyamin Hoessein, 2002).
97
6.3.Otonomi Daerah dalam Perspektif Gender
Terdapat tiga catatan menyangkut dampak otonomi daerah terhadap
perempuan. Catatan pertama, kecenderungan menguatnya politik identitas,
politisasi agama, dan revitalisasi adat yang bernuansa pembatasan peran publik
perempuan.Kedua, otonomi daerah tidak serta-merta meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, hal ini ditandai dengan alokasi APBD lebih banyak untuk biaya
pelaksanaan pemerintahan daerah daripada kesejahteraan masyarakat. Ketiga,
partisipasi aktif perempuan dalam pembuatan kebijakan masih sangat minim,
keterwakilan perempuan dalam institusi pengambilan keputusan yang seharusnya
sesuai dengan kuota 30 persen akhirnya menjadi turun signifikan, dan
kepemimpinan perempuan sebagai pemimpin daerah di tingkat lokal jumlahnya
nyaris tidak ada. Semakin menguatnya budaya yang sangat patriarkis setelah
Otonomi Daerah berjalan merupakan salah satu andil semakin termarjinalkannya
perempuan Indonesia.
Posisi perempuan dalam kondisi budaya seperti itu akan selalu
termarjinalkan. Subordinasi perempuan yang ditakutkan semakin bertambah
dalam era otonomi daerah adalah konsekuensi praktik pengelolaan politik yang
dipengaruhi empatfaktor utama dalam proses pengambilan kebijakan di
daerah. Pertama, ranah budaya memang dikuasai oleh kaum laki-laki. Kedua,
ranah agama juga dikuasai kaum laki-laki. Ketiga, ranah ekonomi juga
dikuasaikaum laki-laki, kendati dalam proses pengelolaan ekonomi, peran
perempuan tidak kalah pentingnya ketimbang kaum laki-laki. Keempat, dan ini
yang paling menentukan, ranah politik dikuasai oleh kaum laki-laki. Kenyataan
seperti itu menimbulkan ketegangan berkelanjutan karena berhadapan dengan
berkembangnya pemahaman HAM hasil globalisasi. Gerakan memperjuangkan
HAM membawa nilai universal yang pada tingkat tertentu dianggap bertentangan
dengan nilai lokal berupa identitas budaya. Gerakan feminisme yang membawa
ideologi gender merupakan salah satu wujudnya. Gerakan ini memperjuangkan
kesetaraan perempuan di berbagai lini kehidupan masyarakat, yang sekaligus
berarti berupaya melawan dominasi laki-laki dalam keempat ranah di atas.
98
6.3.1. Posisi Perempuan Era Otonomi Daerah
Untuk menyikapi berbagai permasalahan perempuan pada akhirnya harus
menentukan sikap akan seperti apa kesetaraan antara perempuan dan laki-laki
dalam otonomi daerah saat ini. Sikap perempuan itu sendiri akan sangat
menententukan derajat kesadaran perempuan itu sendiri. Dalam konteks ini akan
banyak kemungkinan yang terjadi, pertama, di dalam suatu masyarakat daerah
yang gerakan HAM-nya marak dilakukan, termasuk didalamnya menyentuh
aspek substansial posisi perempuan, maka akan terjadi dinamika yang
memungkinkan terakomodasinya kepentingan perempuan dalam kebijakan yang
berkaitan dengan syariat Islam. Kedua, dalam masyarakat daerah otonom yang
dominasi budaya lokalnya yang masih sangat kental dan tidak ada gerakan HAM
secara langsung, maka kaum perempuan hanya akan menerima segala keputusan
politik (kebijakan) yang dibuat tanpa dapat memperjuangkannya lebih jauh.
Kemungkinan kedua menjadi kemungkinan yang paling besar peluangnya
akan terjadi, mengingat daerah-daerah di Indonesia pada umumnya masih sangat
jauh dari sentuhan langsung penyadaran hak asasi manusia, hal yang paling
mendasar sebenarnya bahwa apa pun produk suatu kebijakan yang dikeluarkan
oleh suatu daerah otonom, tidak perlu dikhawatirkan apabila kebijakan tersebut
merupakan produk yang demokratis dan memang dutujukan untuk kepentingan
masyarakat pada daerah otonom itu sendiri. Memang sekarang ini, termasuk
(rancangan) Peraturan Daerah yang membatasi hak perempuan di Sumatera Barat
misalnya, lebih mengekspresikan kepentingan elite pada pemerintahan daerah
tersebut, karena prosesnya tidak berdasar kebutuhan elemen masyarakat sebagai
stake holders lokal, melainkan lebih berdasar kesepakatan para elite politik.
Terdapat beberapa hal yang perlu diperjuangkan oleh kaum perempuan
diantaranya adalah mencoba mengembangkan kesadaran pada masyarakat bahwa
proses pengambilan kebijakan pada tingkat lokal haruslah melibatkan semua
elemen yang ada. Kemudian harus adanya pembangunan kesadaran semua
lapisan masyarakat bahwa perempuan merupakan elemen masyarakat
yangmenjadi pilar utama dalam membangun demokrasi lokal. Karena
99
itu,aspirasi perempuan harus menjadi pertimbangan utama dalam proses
pengambilan suatu kebijakan.
6.3.2 Partisipasi Perempuan pada Tingkat Daerah
Komposisi gender pada anggota legislatif juga dapat dijadikan sebagai
salah satu acuan untuk melihat dan membandingkan peluang partisipasi politik
kedua gender melalui pemilihan umum. Di Indonesia, perempuan dianggap
sebagai warga negara, tanpa pembedaan yang tersurat dalam hak dan kewajiban
dengan warga negara laki-laki.Akan tetapi yang penting adalah untuk
membedakan antara peran aktif dan peran pasif sebagai warga negara. Lister
menyitir Mary Dietz yang menyatakan bahwa partisipasi politik adalah
terminologi yang menjadi lawan peran pasif warga negara sebagai ‘pemilik
hak’.Partisipasi politik berarti secara aktif melakukan sesuatu dalam kaitan
dengan kewajiban sebagai warga negara, yakni mempengaruhi kebijakan publik.
Meskipun pemerintah di beberapa daerah menyebutkan permasalahan gender
sebagai salah satu agenda yang harus dijalankan, namun tidak ditemukan
rumusan partisipasi perempuan dalam politik lokal yang eksplisit dalam teks
peraturan daerah. Rumusan yang eksplisit sangatlah penting mengingat
keterlibatan perempuan secara luas dalam pengambilan keputusan di tingkat
lokal sangat sedikit. Masalah ini bukanlah khas pemerintahan daerah karena kita
bisa melihat bahwa jumlah perempuan dalam lembaga politik di tingkat nasional
pun sangat sedikit. Jika hal ini tidak dirumuskan, maka identifikasi masalah yang
telah dilakukan pemerintah daerah berhenti sampai taraf menimbang peraturan
perundang-undangan tentang pengarusutamaan gender.
Posisi perempuan dalam lembaga politik formal jauh lebih sedikit
dibandingkan dengan laki-laki. Padahal, berdasarkan data statistik yang
dikeluarkan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) 2002, jumlah perempuan Indonesia
sebanyak 51% dari seluruh jumlah penduduk Indonesia.
Keterbatasan akses membuat perempuan mengalami kesulitan untuk
menunjukkan bahwa kepentingannya tidak terwadahi dalam sistem politik yang
ada. Keterbatasan keterlibatan perempuan di ruang publik juga menjadi kendala
100
untuk mengembangkan organisasi perempuan untuk memformulasikan
kepentingan perempuan. Karenanya harus ada ruang untuk kemungkinan
berkembangnya kesempatan bagi perempuan untuk mendefinisikan sistem
partisipasinya yang memungkinkan hal-hal yang berada di luar maskulinitas bisa
diperhatikan.
Rumusan partisipasi politik perempuan yang tidak tertera dalam peraturan
daerah tidak serta merta berarti bahwa perempuan tidak memiliki akses untuk
berpartisipasi dalam politik.Terdapat beberapa peraturan yang dibuat dengan
intensi netral gender dan memberi ruang bagi perempuan untuk berpartisipasi
aktif dalam politik lokal seperti Perda No.Representasi Perempuan dalam
Kebijakan Publik di Era Otonomi Daerah – 927 Tahun 2001 (Mataram).
Ruang untuk partisipasi politik perempuan yang dimungkinkan
melalui jenis peraturan seperti ini harus terus menerus dinegosiasikan antara
perempuan dan para pemangku kepentingan lainnya. Negosiasi untuk
memperoleh ruang partisipasi yang lebih luas menuntut peran perempuan yang
aktif dan terorganisir sehingga mampu menghasilkan perbedaan dalam
tata pemerintahan.Tanpa peran aktif dan organisasi yang inklusif, perempuan
hanya akan menjadi aktor karena jenis kelaminnya, tapi membuat kebijakan yang
tidak menguntungkan perempuan. Tuntutan perempuan untuk terlibat dalam
pengambilan keputusan tidak berhenti pada jumlah perempuan yang
masuk dalam struktur politik, tapi juga pada visi dan agenda mereka untuk
memperbaiki kondisi perempuan.
Kearifan lokal yang ada di seluruh suku bangsa di Indonesia ini tidak boleh
hilang atau punah, karena ia akan menjadi dasar dari kehidupan berbangsa dan
bernegara kita. kearifan lokal adalah bagian dari budaya daerah, di mana budaya
nasional adalah ejawantahan dari budaya-budaya daerah. Dengan kata lain,
penguatan unsur-unsur kearifan lokal dalam kehidupan masyarakat daerah,
101
tentunya di bawah supervisi dan bimbingan pemerintahan daerah, akan sangat
berguna bagi upaya-upaya penguatan NKRI.
102
acuan tingkah-laku seseorang, namun mampu mendinamisasi kehidupan
masyarakat yang penuh keadaban.
Ekses jangka panjang yang sangat terasa dari marjinalisasi peran dan fungsi
kearifan lokal dalam proses pembangunan adalah menurunnya daya kreatifitas
masyarakat dan jiwa kewirausahaan, karena masyarakat telah terbiasa pada pola
“petunjuk dari atas” atau top-down. Implikasi mendasar dari situasi seperti ini
adalah terciptanya mentalitas subordinat, sehingga menjadi kendala budaya
terhadap implementasi berbagai progam pemberdayaan masyarakat. Kondisi ini
menyebabkan masyarakat sendiri tidak lagi terbiasa dengan program-program
bottom-up, yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat setempat itu sendiri.
103
6.5.Simpulan
Pemerintahan lokal adalah institusi kuno dengan konsep baru. Ini
perwujudan aktivitas manusia dalam kelompok, merefleksikan semangat
kebebasan. Pemerintahan lokal adalah bagian dari badan politik suatu negara,
diakui dan dibuat dibawah hukum untuk mengatur isu-isu lokal manusia dengan
batas-batas geografis. Bhenyamin Hoessein (2001:3) menjelaskan bahwa local
government dapat mengandung tiga arti. Pertama, berarti pemerintah lokal.
Kedua, berarti pemerintah lokal yang dilakukan oleh pemerintah lokal. Ketiga,
berarti, daerah otonom. Dalam kaitan dengan ketiga arti pemerintahan lokal
tersebut, terdapat salah satunya adalah derah otonom/otonomi daerah dapat
dilihat pula pelaksanaannya di Indonesia, dalam hal ini kaitannya dengan
perspektif gender.
Terdapat tiga catatan menyangkut dampak otonomi daerah terhadap
perempuan. Catatan pertama, kecenderungan menguatnya politik identitas,
politisasi agama, dan revitalisasi adat yang bernuansa pembatasan peran publik
perempuan. Kedua, otonomi daerah tidak serta-merta meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Ketiga, partisipasi aktif perempuan dalam pembuatan
kebijakan masih sangat minim,
Secara substansial, kearifan lokal adalah nilai-nilai yang berlaku dalam
suatu masyarakat, diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertingkah-
laku sehari-hari masyarakat setempat. kearifan lokal secara praktek merupakan
upaya masyarakat untuk melestarikan sumber daya agar dapat terus digunakan
untuk menghidupi mereka dan menjaga keseimbangan lingkungan. Ekses jangka
panjang yang sangat terasa dari marjinalisasi peran dan fungsi kearifan lokal
dalam proses pembangunan adalah menurunnya daya kreatifitas masyarakat dan
jiwa kewirausahaan, karena masyarakat telah terbiasa pada pola “petunjuk dari
atas” atau top-down. Kondisi ini menyebabkan masyarakat sendiri tidak lagi
terbiasa dengan program-program bottom-up, yang disesuaikan dengan
kebutuhan masyarakat setempat itu sendiri.
104
BAB VII
DPRD DAN OTONOMI DAERAH
DALAM PERSPEKTIF UUD 1945 DAN UU NOMOR 32 TAHUN 2004
105
khususnya hubungan antara pemerintah daerah dengan Badan Legislatif Daerah
sering terjadi disharmonisasi sehingga mengganggu sistem kemitraan antara
pemerintah daerah dan legislasi daerah. Untuk itulah perlu adanya pergantian
peraturan perundangan tentang Pemerintah Daerah yang sesuai dengan
perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan otonomi daerah sehingga
perlu diganti dengan UU No.32 Tahun 2004.
106
4. Gubernur, bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah
daerah provinsi, kabupaten, dan kota dan dipilih secara demokratis.
5. Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan
pemerintah yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah
pusat.
6. Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-
peraturan lain, untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
7. Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam
undang-undang.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa prinsip desentralisasi menguat
pada pasal 18 ayat 2, 5 dan 6 setelah Amandemen Kedua2.
Sedangakan secara keseluruhan, perubahan dan ameandemen UUD 1945
mulai dari perubahan pertama sampai ke empat, pasal 18 telah mengalami
perubahan dan penambahan-penambahan (suprihaini, 2008: 11). Untuk
mengetahui esensi dari pasal 18 tersebut, berikut bunyi pasal 18 UUD 1945
setelah amandemen :
Pasal 18
(1). Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan
daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi,
kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur
dengan undang-undang.
(2). Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan.
(3). Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui
pemilihan umum.
2 (http://windysitinjak.blogspot.com/2013/05/kemajuan-perubahan-pertama-kedua-ketiga.html).
107
(4). Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah
Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis.
(5). Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan
Pemerintah Pusat.
(6). Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-
peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
(7). Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam
undang-undang.
Pasal 18A
(1). Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
provinsi, kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota,
diatur dengan Undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan
keragaman daerah.
(2). Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan
sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur
dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.
Pasal 18B
(1). Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang.
(2). Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang diatur dalam undang-undang.
108
1. Memperjelas pembagian daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang meliputi daerah provinsi, dan dalam daerah provinsi terdapat daerah
kabupaten dan kota.
2. Menegaskan bahwa negara Indonesia adalah negara kesatuan dimana
kedaulatan negara berada dipusat. Hal ini mengisyaratkan bahwa meskipun
daerah diberi otonomi seluas-luasnya, tetapi tetap mempunyai hubungan
dengan pemerintah pusat yang bermacam-macam bentuknya, seperti
disebutkan dalam pasal 18A.
3. Menegaskan prinsip-prinsip dalam penyelenggaraan otonomi daerah, sebagai
berikut :
a. Prinsip otomomi seluas-luasnya
b. Prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab
c. Prinsip demokratisasi dan dengan memperhatikan potensi dan
keanekaragaman daerah.
d. Pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan konstitusi negara, sehingga
tetap terjalin hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan
daerah.
109
di daerah sehari-hari. Untuk memenuhi fungsi perwakilan dalam menjalankan
kekuasaan legislative daerah sebagaimana di pusat negara di daerah dibentuk
pula Lembaga Perwakilan Rakyat, dan lembaga ini biasa dikenal atau dinamakan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
DPRD dalam UUD 1945 sebelum DPRD dalam UUD 1945 setelah
amandemen amandemen
110
Pasal 23 ayat (6) yang berbunyi “Hal Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
pemeriksaan itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
Dewan Perwakilan Rakyat. sesuai dengan
kewenangannya.(amandemen ketiga)
DPRD dan Otonomi Daerah Sebelum DPRD dan Otonomi Daerah setelah
Amandemen amandemen
111
yang terjadi adalah penyempitan indonesia yang meliputi daerah
otonomi daerah menuju pemerintahan provinsi dan dala daerah provinsi
sentralisasi. terdapat daerah kabupaten dan
kota. Tidak ada lagi unsur
pemerintah sentralisasi dalam
pemerintahan daerah.
Pasal 18 (baru) menegaskan
pelaksanakan otonomi seluas-
luasnya.
Prinsip kekhusukan dan
keragaman daerah (pasal 18A ayat
1). Prinsip mengakui dan
menghormati pemerintahan
daerah yang bersifat khusus dan
istimewa (pasal 18B ayat 1).
Prinsip perwakilan dipilih
langsung dalam suatu pemilihan
umum (pasal 18 ayat 3). Prinsip
hubungan pusat dan daerah harus
dilakukan secara selaras dan adil
(pasal 18A ayat 2)
112
oleh menteri negara (ayat1), dan penyelenggara pemerintahan daerah adalah
pemerintah daerah dan DPRD (ayat 2). Sedangkan di UU No. 22 tahun 1999
kedudukan DPRD dipisahkan dari pemerintah daerah sesuai dengan bunyi pasal
14 (1). Undang-undang ini menyatakan bahwa di daerah dibentuk DPRD sebagai
badan legislatif daerah dan pemerintah daerah sebagai badan eksekutif daerah.
Sedangkan pemerintah daerah terdiri atas kepala daerah beserta perangkat daerah
lainnya.
Revisi UU No. 22 tahun 1999 menjadi UU No. 32 tahun 2004 tidak
dipungkiri didorong oleh kecenderungan lahirnya penyimpangan kekuasaan
(abuses of powers) dari DPRD. Kecenderungan penyimpangan kekuasaan
terutama karena adanya hak DPRD meminta pertanggungjawaban kepala daerah
yang bisa berakhir dengan pemakzulan (impeachment) kepala daerah, sehingga
menimbulkan pemerintahan daerah menjadi tidak efektif. Contoh: DPRD
Surabaya memberhentikan Walikota Sunarto Sumoprawiro dan mengangkat
Bambang DH sebagi pelaksana walikota. Selanjutnya DPRD Surabaya memecat
Bambang DH yang baru menjalankan tugasnya secara penuh selama 1 bulan.
Keputusan ini berkaitan dengan LPJ Walikota atas pelaksanaan APBD tahun
anggaran 2001 yang menjadi tanggung jawab walikota pendahulunya. Contoh
lain, DPRD Kampar secara aklamasi memberhentikan Jefri Noor dan A. Zakir
dari jabatannya sebagai Bupati dan Wakil Bupati karena dianggap gagal
menyelenggarakan pembangunan,. DPRD Kabupaten Buleleng memberhentikan
Bupati Wirata Sindu dengan alasan LPJ-nya sudah dua kali ditolak, dan
Gubernur Kalsel, Sjachriel Darham dan Wagub Husin Kasah dipecat oleh DPRD
dengan alas kebijakannya banyak yg tidak memuaskan masyarakat (Kompas, tgl.
22-7-2002; tgl. 23-9-2002; tgl. 23-11-2002).
Dalam diskusi-diskusi yang dilakukan muncul pendapat dominan yang
menempatkan DPRD sebagai unsur dan bukan legislative daerah. Argumen yang
digunakan adalah: pertama keberadaan Indonesia sebagai Uniatrain State tidak
mensyaratkan adanya legislatif daerah. Kedua, pemencaran kewenangan adalah
milik eksekutif (Presiden), kewenangan legislatif maupun yudikatif tidak
113
diturunkan ke daerah. Sebagai kosekuensinya tidak ada istilah legislatif daerah.
Sehingga, DPRD tidak mewakili karakter state yang memiliki kedaulatan.
Meskipun DPRD bisa membuat peraturan daerah, ini tidak sama dengan undang-
undang. Karena perda adalah turunan dari kebijakan pusat (Dwipayana, 2008: 7).
Hasilnya akan berbeda jika desentralisasi politik dianggap bersumber pada
negara bukan sebatas ranah eksekutif.
Perubahan berikutnya adalah pilihan politik pilkada langsung . Dalam
pasal 6A ayat 1 UUD 1945 (Amandemen Ketiga) disebutkan,”Presiden dan wakil
presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.”. Atas dasar
itu, mulai tahun 2004 dilakukan pilpres secara langsung. Perubahan ini
mendorong dilakukan pilkada secara langsung pula. Sehingga di UU No. 32
tahun 2004 kewenangan DPRD memilih kepala daerah, meminta
pertanggungjawaban, dan dapat mengusulkan untuk memberhentikan kepala
daerah juga dihapus. Kedudukan kepala daerah di UU No. 32 tahun 2004
menjadi sangat kuat dengan dikenalkannya sistem pilkada secara langsung.
Berikutnya, kewenangan DPRD untuk memilih anggota MPR dari utusan daerah
juga hapus seiring dengan perubahan susunan MPR menjadi lembaga yang
keanggotaannya gabungan anggota DPR dan anggota DPD, dimana keanggotaan
kedua lembaga itu dipilih melalui pemilu.
UU No. 32 tahun 2004 memang tidak lagi memberi tugas dan wewenang
kepada DPRD untuk memilih kepala daerah dan implikasinya kepala daerah
tidak bertanggung jawab kepada DPRD, maka seolah-olah tugas dan
kewenangan DPRD terpangkas dan menjadi “lemah”. Menurut pasal 27 (2) UU
No.32/2004, kepala daerah tidak lagi menyampaikan laporan pertanggung
jawaban (LPJ) kepada DPRD, namun kepala daerah menyusun Laporan
Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) untuk DPRD pada setiap tahun
anggaran dan pada akhir masa jabatan. LKJP ini tidak ada ketentuan
diterima/ditolak DPRD. Selain itu, kepala daerah wajib menyusun Laporan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) kepada pemerintah pusat dan
wajib memberi informasi LPPD kepada masyarakat melalui media
114
cetak/elektronik. Namun jika dicermati, sesungguhnya UU No. 32 tahun 2004
masih memberi DPRD peran strategis dalam pilkada. DPRD juga masih punya
peran dalam meloloskan rancangan APBD yang diajukan eksekutif. Pasal 42
(b)(c) UU No. 32 tahun 2004 menyebutkan DPRD mempunyai kewenangan
untuk membahas dan menyetujui rancangan perda tentang APBD bersama
dengan kepala daerah dan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan APBD.
UU No. 32 tahun 2004 masih menjadikan DPRD sebagai lembaga
penentu kebijakan daerah, yakni memberi persetujuan atas beberapa agenda
penting daerah, seperti persetujuan terhadap rencana kerjasama internasional, dan
terhadap rencana kerjasama antardaerah maupun dengan pihak ketiga yang
membebani masyarakat dan daerah. Sehingga pemerintah daerah harus selalu
berkonsultasi dengan DPRD mengenai keputusan-keputusan kebijakan daerah
yang penting. UU No. 32 tahun 2004 juga memperbaiki kinerja DPRD sebagai
lembaga perwakilan rakyat yang anggotanya dipilih melalui pemilu. Upaya
memposisikan DPRD sebagai lembaga representasi diatur di pasal 45 (7) yang
menegaskan bahwa anggota DPRD punya kewajiban untuk memberikan
pertanggungjawaban atas tugas dan kinerjanya sebagai wujud tanggung jawab
moral dan politis terhadap daerah pemilihannya. Anggota DPRD juga diwajibkan
untuk mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok
dan golongan (ayat 6).
7.6 Simpulan :
Otonomi Daerah dalam UUD 1945 Setelah Amandemen dalam
penyelenggaraan pemerintahan di daerah, dilaksanakan dengan asas
Desentralisasi, yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah
kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di samping itu juga
melaksanakan Dekonsentrasi, yaitu pelimpahan wewenang pemerintahan oleh
Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan / atau kepada
instansi vertikal, dan serta melaksanakan Tugas Pembantuan, yaitu penugasan
115
dari pemerintahan kepada daerah dan/atau desa dari pemerintahan propinsi
kepada kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
Di Indonesia yang dimaksud dengan pemerintahan daerah adalah
penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi yang
seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
Tahun 1945. Eksistensi DPRD memperoleh pengaturan konstitusional secara
lebih konkrit dalam UUD 1945 pasca amandemen, khususnya amandemen kedua
yang secara tegas menyebutkan adanya lembaga DPRD.
Kedudukan DPRD setelah amandemen terjadi perubahan yang cukup
signifikan dengan dilakukan pimilu secara langsung. Tidak ada lagi unsur
pemerintah sentralisasi dalam pemerintahan daerah. Sedangakan mengenai
otonomi daerah, UUD 1945 menghendaki otonomi seluas-luasnya, tetapi karena
tidak di cantumkan, yang terjadi adalah penyempitan otonomi daerah menuju
pemerintahan sentralisasi.
UU No. 32 tahun 2004 adalah undang-undang yang mengatur
Pemerintahan Daerah. Dalam UU No. 32 tahun 2004 status dekonsentrasi
dihidupkan kembali. UU No. 32 tahun 2004 melakukan perubahan posisi DPRD
dari badan legislatif daerah menjadi sebagai unsur penyelenggara pemerintahan
daerah. Secara umum revisi UU No. 22 tahun 1999 menjadi UU No. 32 tahun
2004 oleh banyak pihak dinilai sebagai upaya resentralisasi atas hak-hak politik
yang dimiliki daerah yang diatur dalam UU No. 22 tahun 1999
116
BAB VIII
TEORI DAN PRAKTIK PEMERINTAHAN DAERAH DAN OTONOMI
DAERAH DI INDONESIA
8.1.Latar Belakang
Letak negara Republik Indonesia yang merupakan negara kepulauan
sangat mempengaruhi mekanisme pemerintahan di Indonesia. Dengan adanya
bentuk negara kepulauan ini menimbulkan adanya kesulitan untuk
mengkoordinasikan pemerintahan yang ada di daerah. Agar dapat memudahkan
pengaturan serta penataan pemerintahan maka diperlukan adanya berbagai sistem
pemerintahan yang efisien dan mandiri.
Hal tersebut sangat diperlukan agar tidak memunculkan ancaman terhadap
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seperti yang kita ketahui bersama
bahwa terdapat beberapa daerah yang pembangunannya lebih cepat daripada
daerah lain. Dengan hal ini pemerintah pusat membuat suatu sistem pengelolaan
pemerintahan di tingkat daerah yang disebut dengan otonomi daerah untuk
mengelola potensi-potensi dan sekaligus mengembangkannya.
Selama Indonesia merdeka, kebijakan penyelenggaraan pemerintahan
daerah telah mengalami perubahan dan perkembangan yang sangat dinamis.
Selama kurun waktu setengah abad lebih, sistem pemerintahan daerah sarat
dengan pengalaman yang panjang seiring dengan konfigurasi politik yang terjadi
pada tatanan pemerintahan negara. Pola hubungan kekuasaan, pembagian
kewenangan, dan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dengan
pemerintahan daerah tidak dapat dipungkiri sangat bergantung pada konfigurasi
politik pemerintahan pada saat itu. Realitas demikian tentu mempengaruhi
formalitas penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pemberian otonomi daerah
di Indonesia. Akan tetapi, terlepas dari semua pengaruh yang muncul dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah, semua kebijakan selalu dijiwai oleh
kesatuan pandang yang sama, yaitu seluruh daerah merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Sabarno, 2008:1)
117
Oleh karena itu, penulis akan mengkaji lebih dalam mengenai Teori dan
Praktik Otonomi daerah dan Pemerintahan daerah di Indonesia.
118
Oleh karena itu, munculnya euforia daerah yang disebabkan oleh
perubahan sosial dan politik yang drastis sejak reformasi politik 1998 tidak dapat
dijadikan alasan untuk melepaskan konsepsi Negara Kesatuan Republik Indonesia
dari kebijakan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pelaksanaan otonomi
daerah. Dibentuk dan disahkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang telah diubah menjadi
Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 meskipun dianggap sebagai perubahan
fundamental dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, tetapi rumusan intinya
tetap mengacu pada konsepsi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ada sementara pandangan yang menyatakan konsepsi tersebut terasa
mengukuhkan sikap sentralistik dalam kebijakan pemerintahan daerah dan
otonomi daerah. Pandangan demikian tentu sangat keliru karena konsepsi Negara
Kesatuan Republik Indonesia adalah prinsip yang relevan dijadikan landasan bagi
daerah untuk berkiprah didalam lingkungan negara. Disamping Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945 sebagai konstitusi dan fundamental,
hukum negara tetap meletakkan konsepsi Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagai prinsip dasar bernegara, juga karena konsepsi tersebut memposisikan
daerah sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari negara dan meletakkan negara
sebagai organisasi kekuasaan yang menampung kehendak daerah. Oleh sebab itu,
secara normatif maupun empiris, antara kepentingan nasional dan kepentingan
daerah dalam konsepsi Negara Kesatuan Republik Indonesia akan tetap
tertampung secara proporsional.
Dengan mendasarkan pada pemahaman yang demikian ideal tersebut,
dalam menghadapi gejala euforia yang begitu deras di daerah pemerintah
mempunyai pedoman yang tepat dalam memandu pelaksanaan otonomi daerah
ini. Pemerintah harus mampu memahami dan mengamati aspirasi dan kebijakan
yang berkembang di daerah agar tidak mengarah pada tuntunan yang destruktif
dan menggoyahkan konsepsi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Semua
119
aspirasi dan kebijakan daerah harus dipandu kearah aspirasi yang positif guna
memberdayakan daerah itu sendiri dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Prinsip integrasi bangsa dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 harus tetap dipegang teguh dan dijadikan acuan dalam
suatu pengambilan kebijakan, baik ditingkat pemerintahan pusat maupun
pemerintahan daerah.
Negara Republik Indonesia sebagai negara kesatuan menganut asas
desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, dengan
memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan
otonomi. Pelaksanaan desentralisasi yang menghasilkan otonomi tersebut
dijalankan dan dikembangkan dalam dua nilai dasar, yaitu nilai unitaris dan nilai
desntralisasi territorial. Niali dasar unitaris diwujudkan dalam pandangan Negara
Kesatuan Republik Indonesia tidak akan mempunyai kesatuan pemerintah lain
didalamnya yang bersifat negara. Artinya, kedaulatan yang melekat pada rakyat,
bangsa, dan Negara Republik Indonesia tidak akan terbagi diantara kesatuan
pemerintahan. Sementara itu, nilai dasar desentralisasi territorial diwujudkan
dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah dalam bentuk otonomi.
Secara esensial sebenarnya dalam penyelenggaraan desentralisasi terdapat
dua elemen penting yang saling berkaitan, yaitu pembentukan daerah otonom dan
penyerahan kekuasaan secara hukum dari pemerintah pusat ke pemerintahan
daerah untuk mengatur dan menangani urusan pemerintahan tertentu yang
diserahkan. Peraturan perundang-undangan, khususnya Undang-undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang pemerintaha daerah, yang merupakan perubahan Undang-
undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, telah secara
limitatif menentukan urusan pemerintahan yang tidak diserahkan kepada
pemerintahan pusat. Hal ini menunjukkan adanya penyerahan kekuasaan yng
dilandasi dengan hukum.
Dalam tataran yuridis-formatif, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 telah menentukan konsep Indonesia sebagai Eenheidstaat
sehingga didalamnya tidak dimungkinkan adanya daerah yang bersifat staat juga.
120
Hal ini berarti pembentukan daerah otonomi di Indonesia diletakkan dalam
kerangka desentralisasi dengan tiga ciri utama, yaitu:
a. Tidak dimilikinya kedaulatan yang bersifat semu kepada daerah selayaknya
dalam negara bagian pada negara yang berbentuk federal;
b. Desentralisasi dimanifestasikan dalam bentuk penyerahan atas urusan
pemerintahan tertentu yang ditetapkan dalam suatu peraturan perundang-
undangan tingkat nasional;
c. Penyerahan urusan tersebut dipresentasikan sebagai bentuk pengakuan
pemerintah pusat pada pemerintah daerah dalam rangka mengurus rumah
tangganya sendiri berdasarkan ciri khasnya masing-masing.
Dengan demikian, desentralisasi jelas merupakan sarana untuk mencapai
tujuan bernegara dalam mewujudkan kesatuan bangsa (national unity) yang
demokratis. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
sebagai konstitusi negara selalu menekankan konsepsi negara tersebut sebagai
bentuk keseimbangan antara kebutuhan menerapkan otonomi daerah dan
kebutuhan memperkuat persatuan nasional.
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah selain merupakan panduan nyata dalam pelaksanaan otonomi daerah, juga
merupakan politik hukum otonomi daerah diwujudkan dalam kebijakan yang
terukur, terarah, dan terencana oleh pemerintahan pusat. Kebijakan demikian
perlu dilakukan agar konsep pelaksanaan otonomi daerah tetap berada pada
panduan dan garis politik hukum nasional.
Oleh sebab itu, otonomi daerah yang dijalankan selain bersifat nyata dan
luas, tetap harus dilaksanakan secara bertanggungjawab. Maksudnya otonomi
daerah harus dipahami sebagai perwujudan bertanggungjawab konsekuensi
pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban
yang harus dilaksanakan daerah. Tugas dan kewajiban dalam pelaksanaan
otonomi daerah adalah berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan
masyarakat, pengembangan kehidupan demokrasi, penegakan keadilan dan
121
pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah
serta antar daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
122
meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan
potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah, pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas
otonomi dan tugas pembantuan.
Pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan
memiliki hubungan dengan pemerintah pusat dan dengan pemerintahan daerah
lainnya. Hubungan tersebut meliputi hubungan wewenang, keuangan, pelayanan
umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya. Hubungan
keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya
lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras. Hubungan wewenang, keuangan,
pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya
menimbulkan hubungan administrasi dan kewilayahan antarsusunan
pemerintahan.
Urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau
susunan pemerintahan adalah semua urusan pemerintahan di luar urusan
sebagaimana disebutkan di atas yang terdiri atas 31 (tiga puluh satu) bidang
urusan pemerintahan meliputi:
1. pendidikan;
2. kesehatan;
3. pekerjaan umum;
4. perumahan;
5. penataan ruang;
6. perencanaan pembangunan;
7. perhubungan;
8. lingkungan hidup;
9. pertanahan;
10. kependudukan dan catatan sipil;
123
11. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
12. keluarga berencana dan keluarga sejahtera;
13. sosial;
14. ketenagakerjaan dan ketransmigrasian;
15. koperasi dan usaha kecil dan menengah;
16. penanaman modal;
17. kebudayaan dan pariwisata;
18. kepemudaan dan olah raga;
19. kesatuan bangsa dan politik dalam negeri;
20. otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah,
perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian;
21. pemberdayaan masyarakat dan desa;
22. statistik;
23. kearsipan;
24. perpustakaan;
25. komunikasi dan informatika;
26. pertanian dan ketahanan pangan;
27. kehutanan;
28. energi dan sumber daya mineral;
29. kelautan dan perikanan;
124
A. Hubungan keuangan antara pempus dan pemda Pasal 15 ayat 1 UU
No.32/2004 meliputi :
a. Pemberian sumber-sumber keuangan untuk menyelenggarakan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah;
b. pengalokasian dana perimbangan kepada pemerintahan daerah; dan
c. pemberian pinjaman dan/atau hibah kepada pemerintahan daerah
B. Hubungan dalam bidang keuangan antar pemerintahan daerah meliputi :
a. bagi hasil pajak dan nonpajak antara pemerintahan daerah provinsi dan.
pemerintahan daerah kabupaten/kota;
b. pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama;
c. pembiayaan bersama atas kerja sama antar daerah; dan
d. pinjaman dan/atau hibah antar pemerintahan daerah.
C. Hubungan dalam bidang pelayanan umum
Antara Pempus dan pemda (vertikal) meliputi :
a. kewenangan, tanggung jawab, dan penentuan standar pelayanan minimal;
b. pengalokasian pendanaan pelayanan umum yang menjadi kewenangan
daerah; dan
c. fasilitasi pelaksanaan kerja sama antar pemerintahan daerah dalam
penyelenggaraan pelayanan umum.
D. Antar pemerintahan daerah (horisontal) meliputi :
a. pelaksanaan bidang pelayanan umum yang menjadi kewenangan daerah;
b. kerja sama antar pemerintahan daerah dalam penyelengaraan pelayanan
umum; dan
c. pengelolaan perizinan bersama bidang pelayanan umum.
E. Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya
F. Antara Pemerintah dan pemerintahan daerah
a. kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian
dampak, budidaya, dan pelestarian;
125
b. bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya;
dan
c. penyerasian lingkungan dari tata ruang serta rehabilitasi lahan
G. Antar pemerintahan daerah (horisontal) meliputi :
a. Pelaksanaan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya
yang menjadi kewenangan daerah;
b. Kerja sama dan bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam. dan
sumber daya lainnya antar pemerintahan daerah; dan
c. Pengelolaan perizinan bersama dalam pemanfaatan sumber daya alam dan
sumber daya lainnya.
126
Model Hubungan Pusat dan Daerah
A. Hubungan kedudukan pemerintah daerah terhadap pusat menurut Dennis
Kavanagh:
1. Agency Model : pemerintah daerah dianggap sebagai pelaksana belaka
127
merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi, dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Perda
yang dibuat oleh satu daerah, tidak boleh bertentangan dengan kepentingan
umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dan baru
mempunyai kekuatan mengikat setelah diundangkan dengan dimuat dalam
lembaran daerah.
Pengertian “bertentangan dengan kepentingan umum” dalam hal ini
adalah kebijakan yang berakibat, terganggunya kerukunan anatarwarga
masyarakat, terganggunya ketentraman/ketertiban umum, serat kebijakan
yang berifat diskriminatif. Perda yang ternyata bertentangan dengan
kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
dapat dibatalkan oleh pemerintah pusat dan hal dilakukan dalam rangka
melaksanakan fungsi pengawasan yang dimiliki oleh pemerintah pusat.
Karena perda merupakan bagian dari perundang-undangan,
pembentukan suatu perda harus berdasarkan pada asas pembentukkan
peraturan perundang-undangan pada umumnya yang terdiri dari: pertama,
Kejelasan tujuan; kedua, Kelembagaan atau organ pembentukan yang tepat;
ketiga, Kesesuaian antara jenis dan materi muatan; keempat, Dapat
dilaksanakan; kelima, Kedayagunaan dan kehasilgunaan; keenam, Kejelasan
rumusan; dan ketujuh, Keterbukaan.
Semetara itu, materi muatan suatu perda mengandung asas: 1)
Pengayoman; 2) Kemanusiaan; 3) Kebangsaan; 4) Kenusantaraan; 5) Bhineka
Tunggal Ika; 6) Keadilan; 7) Kesamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan; 8) Ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau 9) Keseimbangan,
keserasian dan keselarasan.
Disamping asas tersebut diatas, perda juga dapat memuat asas lain
dengan substansi perda yang bersangkutan. Dari beberapa asas tersebut diatas,
dapat disimpulkan bahwa perda yang baik itu adalah yang memuat ketentuan,
antara lain:
1. Memihak kepada kepentingan rakyat banyak;
128
2. Menjunjung tinggi hak asasi manusia;
3. Berwawasan lingkungan dan budaya.
Sementara itu, tujuan utama dari suatu perda adalah untuk
mewujudkan kemandirian daerah dan memberdayakan masayarakat. Dalam
proses pembentukan suatu perda, masyarakat berhak untuk memberikan
masukan, baik secara lisan maupun tertuis. Keterlibatan masyarakat ini,
dimulai dari proses penyiapan sampai pada waktu pembahasan rancangan
perda. Penggunaan hak masyarakat ini dalam pelaksanaannya diatur dalam
peraturan tata tertib DPRD.
Rancangan perda dapat berasal dari DPR (hak inisiatif) juga dapat
berasal dari gubernur atau bupati/wali kota. Apabila dalam suatu masa
persidangan, DPRD dan gubernur atau bupati/wali kota menyampaikan
rancangan perda mengenai materi yang sama, yang dibahas adalah rancangan
yang disampaikan DPRD, sedangkan rancangan yang disampaikan gubernur
atau bupati/wali kota digunakan sebagai bahan untuk diperbandingkan.
Mengenai tata cara mempersiapkan rancangan perda yang berasal dari
gubernur atau bupati/wali kota, diatur dengan peraturan presiden. Rancangan
perda yang berasal dari DPRD disampaikan oleh anggota komisi, gabungan
komisi atau alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi.
Mengenai tata cara mempersiapkan rancangan perda, yang merupakan hak
inisiatif DPRD, diatur dalam peraturan tata tertib DPRD. Dalam rangka
sosialisasi dan publikasi rancangan perda yang berasal dari DPRD,
penyebarluasannya dilakukan oleh sekretariat DPRD, sedangkan
penyebarluasan rancangan perda yang berasal dari gubernur atau bupati/wali
kota dilakukan oleh sekretariat daerah.
Agar perda berfungsi secara efektif, suatu perda dapat memuat sanksi
yang berupa:
1. Pembebanan biaya paksaan, penegakan hukum, seluruhnya atau sebagian
kepada pelanggar sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
2. Pidana kurungan 6 bulan atau denda paling banyak Rp50.000.000,-.
129
3. Ancaman pidana atau denda selain dari yang telah disebutkan diatas sesuai
dengan yang diatur dalam perundang-undangan lainnya.
Proses penetapan suatu perda dilakukan dengan ketentuan sebagia berikut:
1. Rancangan perda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan gubernur
atau bupati/wali kota, disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada gubernur
atau bupati/wali kota, untuk ditetapkan sebagai perda.
2. Penyampaian rancangan oleh pimpinan DPRD kepada gubernur atau
bupati/wali kota, dilakukan dalam jangka waktu paling lama tujuh hari,
terhitung sejak tanggal persetujuan bersama diberikan.
3. Rancangan perda dimaksud diberikan kepada gubernur atau bupati/wali
kota, paling lambat tiga puluh hari sejak rancanan tersebut mendapat
persetujuan bersama.
4. Apabia rancangan dimaksud tidak ditetapkan oleh gubernur atau
bupati/wali kota dalam waktu tiga puluh hari tersebut, rancangan tersebut
sah menjadi perda dan wajib diundangkan dengan memuatnya dalam
lembaran daerah.
5. Apabila suatu perda tidak ditetapkan oleh gubernur atau bupati/wali kota
dalam tenggang waktu tiga puluh hari tersebut diatas, perda tersebut
dinyatakan sah dengan mencantumkan kalimat pengesahannya pada
halaman terakhir perda yang bersangkutan, yang berbunyi “perda ini
dinyatakan sah” dan diundangkan sebagaimana mestinya dengan
memuatnya dalam lembaran daerah.
Perda yang sudah ditetapkan atau dinyatakan sah disampaikan kepada
pemerintah pusat selambat-lambatnya tujuh hari setelah ditetapkan. Apabila
perda dimaksud ternyata bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dapat dibatalkan oleh
pemerintah pusat. Pembatalan perda tersebut, ditetapkan dengan peraturan
presiden, dan dilakukan dalam tenggang waktu paling lama enam puluh hari
sejak diterimanya perda tersebut. Kepala daerah yang bersangkutan, paling
lama tujuh hari setelah keputusan pembatalan, harus memberhentikan
130
pelaksanaan perda tersebut dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah
mencabut perda dimaksud.
Apabila provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan
pembatalan perda tersebut, dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh
peraturan perundang-undangan, kepala daerah yang bersangkutan dapat
mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung. Seandainya keberatan
tersebut dikabulkan sebagian atau seluruhnya, peraturan presiden tentang
pembatalan perda dimaksud dinyatakan tidak berlaku.
B. Peraturan Kepala Daerah
Peraturan kepala daerah, yang di dalam UU No. 22 Tahun 1999
disebut keputusan kepala daerah, pada dasarnya sama. Penyebutan kepala
daerah bertujuan untuk memperjelas bahwa keputusan kepala daerah yang
dimaksud, berisi ketentuan peraturan (keputusan yang bersifat in abstracto).
Hal ini untuk mencegah timbulnya kerancuan dengan keputusan kepala daerah
yang bersifat inkoncrito (keputusan berkenaan dengan objek tertentu atau
tidak bersifat mengatur secara umum).
Untuk melaksanakan suatu perda, kepala daerah berdasarkan kuasa
undang-undang, menetapkan peraturan kepala daerah. Sama halnya dengan
perda, peraturan kepala daerah juga tidak boleh bertentangan dengan
kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Peraturan kepala daerah baru mempunyai kekuatan mengikat setelah
diundangkan dengan dimuat dalam Berita Daerah oleh sekretaris daerah. Agar
perda dan peraturan kepala daerah bisa berfungsi secara efektif, harus
dilakukan hal diantaranya:
1. Mensosialisasi perda dan peraturan kepala daerah dengan
menyebarluaskan ke tengah-tengah masyarakat, terutama stake holders
yang bersangkutan;
2. Melakukan upaya penegakan hukum khusus perda. Untuk itu, dibentuk
Satuan Polisi Pamong Praja. Disamping tugasnya menyelenggarakan
ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, Polisi Pamong Praja juga
131
bertugas melakukan upaya penegakan hukum, khusus perda. Pembentukan
Polisi Pamong Praja ini berpedoman pada peraturan pemerintah.
Anggota satuan Polisi Pamong Praja juga dapat diangkat sebagai
penyidik pegawai negeri sipil sesuai ketentuan perundang-undangan.
Penyidikan dan penuntutan terhadap pelanggaran perda dilakukan oleh
pejabat penyidik dan penuntut umum sesuai peraturan perundang-undangan,
yaitu penyidik dari Polri dan penuntut dari Kejaksaan. Di samping itu, melalui
perda dapat juga ditunjuk pejabat lain yang diberi tugas untuk melakukan
penyidikan terhadap pelanggaran atas ketentuan yang termuat dalam perda.
8.6. Penyelenggaraan Otonomi Daerah di Indonesia
Penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah pemerintah daerah dan
DPRD. Dalam menyelenggarakan pemerintahan, pemerintah pusat
menggunakan asas desentralisasi, tugas pembantuan, serta dekonsentrasi sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sementara itu,
pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan menggunakan asas
desentralisasi dan tugas pembantuan.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, pemerintah daerah
berpedoman pada Asas Umum Penyelenggaraan Negara, yang di dalam
Hukum Administrasi Negara dikenal dengan “Asas-asas umum pemerintahan
yang layak”. Di negeri Belanda, asas-asas umum pemerintahan yang layak ini
sudah diterima oleh penyelenggara pemerintahan, terutama Pejabat Tata Usaha
Negara, dalam membuat keputusan Tata Usaha Negara. Sebelumnya dalam
praktik penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, asas-asas ini sudah mulai
diterima, walaupun secara formal belum diakui sebagai suatu norma hukum
tidak tertulis yang harus ditaati oleh penyelenggara pemerintahan, baik pusat
maupun di daerah. Secara yuridis formal, hal semacam ini baru diakui di
negara kita, dengan diundangkan UU No. 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang bersih, bebas dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme (KKN), ditambah asas efisiensi dan asas efektivitas. Kemudian
dalam pasal 20 UU No. 32 Tahun 2004 ditegaskan bahwa asas-asas tersebut
132
dijadikan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan pemerintah daerah. Asas
dimaksud disebut dengan “Asas Umum Penyelenggaraan Negara”, yang dirinci
antara lain: asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggara negara, asas
kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas
profesionalitas, asas akuntabilitas, asas efisiensi, dan asas efektivitas.
Dalam menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan, terutama dalam
penyelenggaraan otonomi, daerah dibekali dengan hak dan kewajiban tertentu.
Hak-hak daerah tersebut antara lain: pertama, mengatur dan mengurusi sendiri
urusan pemerintahannya; kedua, memilih pemimpin daerah; ketiga, mengelola
aparatur daerah; keempat, mengelola kekayaan daerah; kelima, memungut
pajak daerah dan retribusi daerah; keenam, mendapatkan bagi hasil dari
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnnya yang berada di
daerah; ketujuh, mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah; dan
kedelapan, mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan. Disamping hak-hak tersebut di atas, daerah juga dibebani beberapa
kewajiban, yaitu:
1. Melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan
nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
2. Meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat;
3. Mengembangkan kehidupan demokrasi;
4. Mewujudkan keadilan dan pemerataan;
5. Meningkatkan pelayanan dasar pendidikan;
6. Menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan;
7. Menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak;
8. Mengembangkan sistem jaminan sosial;
9. Menyusun perencanaan dan tata ruang daerah;
10. Mengembangkan sumber daya produktif di daerah;
11. Melestarikan lingkungan hidup
12. Mengelola administrasi kependudukan;
13. Melestarikan nilai sosial budaya;
133
14. Membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan
kewenangan; dan
15. Kewajiban lainnya diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia
Sejak diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, banyak aspek positif yang diharapkan dalam pemberlakuan Undang-
Undang tersebut. Otonomi Daerah memang dapat membawa perubahan positif
di daerah dalam hal kewenangan daerah untuk mengatur diri sendiri.
Kewenangan ini menjadi sebuah impian karena sistem pemerintahan yang
sentralistik cenderung menempatkan daerah sebagai pelaku pembangunan yang
tidak begitu penting atau sebagai pelaku pinggiran. Tujuan pemberian otonomi
kepada daerah sangat baik, yaitu untuk memberdayakan daerah, termasuk
masyarakatnya, mendorong prakarsa dan peran serta masyarakat dalam proses
pemerintahan dan pembangunan.
Pada masa lalu, pengerukan potensi daerah ke pusat terus dilakukan
dengan dalih pemerataan pembangunan. Alih-alih mendapatkan manfaat dari
pembangunan, daerah justru mengalami proses pemiskinan yang luar biasa.
Dengan kewenangan yang didapat daerah dari pelaksanaan Otonomi Daerah,
banyak daerah yang optimis bakal bisa mengubah keadaan yang tidak
menguntungkan tersebut. Beberapa contoh keberhasilan dari berbagai daerah
dalam pelaksanaan otonomi daerah yaitu:
1. Di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, masyarakat lokal dan LSM yang
mendukung telah berkerja sama dengan dewan setempat untuk merancang
suatu aturan tentang pengelolaan sumber daya kehutanan yang bersifat
kemasyarakatan. Aturan itu ditetapkan pada bulan Oktober yang
memungkinkan bupati mengeluarkan izin kepada masyarakat untuk
mengelola hutan milik negara dengan cara yang berkelanjutan.
2. Di Gorontalo, Sulawesi, masyarakat nelayan di sana dengan bantuan LSM-
LSM setempat serta para pejabat yang simpatik di wilayah provinsi baru
134
tersebut berhasil mendapatkan kembali kontrol mereka terhadap wilayah
perikanan tradisional/adat mereka.
Kedua contoh di atas menggambarkan bahwa pelaksanaan Otonomi
Daerah dapat membawa dampak positif bagi kemajuan suatu daerah. Kedua
contoh diatas dapat terjadi berkat adanya Otonomi Daerah di daerah
terebut. Selain membawa dampak positif bagi suatu daerah otonom, ternyata
pelaksanaan Otonomi Daerah juga dapat membawa dampak negatif. Selain
karena kurangnya kesiapan daerah-daerah yang tidak kaya akan sumber daya
dengan berlakunya otonomi daerah, dampak negatif dari otonomi daerah juga
dapat timbul karena adanya berbagai penyelewengan dalam pelaksanaan
Otonomi Daerah tersebut.
Berbagai penyelewengan dalam pelaksanan otonomi daerah: Adanya
kecenderungan pemerintah daerah untuk mengeksploitasi rakyat melalui
pengumpulan pendapatan daerah, Penggunaan dana anggaran yang tidak
terkontrol, Rusaknya Sumber Daya Alam disebabkan karena adanya keinginan
dari Pemerintah Daerah untuk menghimpun pendapatan asli daerah (PAD), di
mana Pemerintah Daerah menguras sumber daya alam potensial yang ada,
tanpa mempertimbangkan dampak negatif/kerusakan lingkungan dan prinsip
pembangunan berkelanjutan, Bergesernya praktik korupsi dari pusat ke daerah,
Pemerintahan kabupaten juga tergoda untuk menjadikan sumbangan yang
diperoleh dari hutan milik negara dan perusahaan perkebunaan bagi budget
mereka.
Penyebab tidak optimalnya pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia:
Lemahnya pengawasan maupun check and balances, Pemahaman terhadap
Otonomi Daerah yang keliru, baik oleh aparat maupun oleh warga masyarakat
menyebabkan pelaksanaan Otonomi Daerah menyimpang dari tujuan
mewujudkan masyarakat yang aman, damai dan sejahtera, Keterbatasan
sumberdaya dihadapkan dengan tuntutan kebutuhan dana (pembangunan dan
rutin operasional pemerintahan) yang besar, memaksa Pemda menempuh
pilihan yang membebani rakyat, Kesempatan seluas-luasnya yang diberikan
135
kepada masyarakat untuk berpartisipasi dan mengambil peran, juga sering
disalah artikan, seolah-olah merasa diberi kesempatan untuk mengekspolitasi
sumber daya alam dengan cara masing-masing semaunya sendiri, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), yang seharusnya berperan mengontrol dan
meluruskan segala kekeliruan implementasi Otonomi Daerah tidak
menggunakan peran dan fungsi yang semestinya, Kurangnya pembangunan
sumber daya manusia / Sumber Daya Manusia (moral, spiritual intelektual dan
keterampilan) yang seharusnya diprioritaskan.
8.7. Kewenangan Daerah dalam Pelaksanaan Pemerintah Daerah
Daya tarik terpenting dari Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah
Daerah adalah ditetapkannya metode pemilihan langsung untuk memilih kepala
daerah. Pasal 24 ayat 5 Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 menegaskan
kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat di
daerah yang bersangkutan. Kepala daerah terpilih, akan memikul tanggung jawab
kekuasaaan dengan melandaskan diri pada asas-asas penyelenggaraan negara.
Pasal 19 ayat 2 Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah menegaskan bahwa penyelenggara pemerintah daerah adalah pemerintah
daerah dan DPRD. Memilih kepala daerah secara langsung merupakan satu dari
delapan hak yang dipunyai daerah. Pasal 21 undang-undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan adanya delapan hak yang
dipunyai daerah dalam menyelenggarakan otonomi yaitu;
a. Mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya
b. Memilih pimpinan daerah.
c. Mengelola aparatur daerah.
d. Mengelolah kekayaan daerah
e. Memungut pajak daerah dan retribusi daerah.
f. Mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya yang berada di daerah
g. Mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah.
136
h. Mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Selain hak, daerah mempunyai kewajiban yang diatur dalam Pasal 2,
terdapat lima belas kewajiban yang dimilki oleh daerah yaitu:
a. Melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan , dan kerukunan
nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
b. Meningkatkatkan kualitas kehidupan masyarakat.
c. Mengembangkan kehidupan demokrasi.
d. Mewujudkan keadilan dan pemerataan.
e. Meningkatkan pelayanan dasar pendidikan.
f. Menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan.
g. Menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak.
h. Mengembangkan sistem jaminan sosial.
i. Menyusun perencanaan dan tata ruang daerah.
j. Mengembangkan sumber daya produktif di daerah.
k. Melestarikan lingkungan hidup
l. Mengelolah administrasi kependudukan.
m. Melestarikan nilai sosial budaya.
n. Membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan
kewenangannya
o. Kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan
Hak dan kewajiban daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan
Pasal 22 diwujudkan dalam bentuk rencana kerja pemerintahan daerah dan
dijabarkan dalam bentuk pendapatan, belanja, , dan pembiayaan daerah yang
dikelola dalam sistem pengelolaan keuangan daerah. Pengelolaan keuangan
daerah tersebut dilakukan secara efesien, efektif, transparan, akunrabel, tertib,
adil, patut dan taat pada peraturan perundang-undangan.
Menurut Pasal 25 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 kepala daerah
mempunyai tugas dan kewenangan sebagai berikut:
a. Memimpin penyelenggaraan pemerintah daerah berdasarkan kebijakan yang
ditetapkan bersama DPRD.
137
b. Mengajukan rancangan Perda
c. Menetapakan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD.
d. Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD
untuk dibahas dan ditetapkan bersama.
e. Mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah.
f. Mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk
kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
g. Melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-
undangan
Di masa lalu tugas seorang wakil kepala daerah hanya digariskan secara
umum, yaitu membantu tugas kepala daerah, atau menggantikan tugas kepala
daerah apabila kepala daerah berhalangan. Oleh karena itu muncul ironi bahwa
seorang wakil kepala daerah hanya bertugas sebagai ban serep.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 menggariskan tugas-tugas wakil
kepala daerah secara lebih spesifik. Pasal 26 ayat 1 menjelaskan rincian tugas
seorang wakil kepala daerah, yaitu:
a. Membantu kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerinthan daerah.
b. Membantu kepala daerah dalam mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan
instansi vertical di daerah, menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil
pengawasan, melaksanakan pemberdayaan perempuan dan pemuda, serta
mengupayakan pengembangan dan pelestarian sosial budaya dan lingkungan
hidup.
c. Memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintah kabupaten dan
bagi wakil kepala daerah propinsi.
d. Memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan di wilayah
kecamatan, kelurahan/dan atau desa bagi wakil kepala daerah kabupaten/kota.
e. Memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam
penyelenggaraan kegiatan pemerintah daerah.
138
f. Melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang diberikan
oleh kepala daerah.
g. Melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala daerah
berhalangan.
Pasal 26 ayat 2 mengatur ketentuan mengenai pertanggungjawaban tugas
seorang wakil kepala daerah. Dalam melaksanakan tugas-tugasnya seperti dirinci
di atas, wakil kepala daerah berttanggung jawab kepada kepala daerah. Prosedur
seperti itu berarti bahwa tugas-tugas seoarang wakil kepala daerah berada dalam
satu kesatuan yang utuh dan sinergitas dengan tugas-tugas kepala daerah, yang
kelak dipertanggungjawabkan bersama kepada DPRD.
Jika kepala daerah meninggal dunia, berhenti, diberhentikan atau tidak
dapat melakukan kewajiban selama enam bulan secara terus-menerus dalam
masa jabatannya, maka wakil kepala daerah akan menggantikan kepala daearh
sampai habis masa jabatannya. Ketentuan ini diatur dalam ayat 3 Pasal 26
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 dan Pasal 26, kepala daerah dan wakil kepala daerah mempunyai
kewajiban sebagai berikut:
a. Memegang teguh dan mengamalkan pancasila, melaksanakan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta mempertahankan dan
memelihara keutuhan Negara kesatuan republik Indonesia.
b. Meningkatkan kesejahteraan rakyat.
c. Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat.
d. Melaksanakan kehidupan demokrasi.
e. Menaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan.
f. Menjaga etika dan norma dalam penyelenggaraan pemerintah daerah.
g. Memajukan dan mengembangkan daya saing daerah.
h. Melaksanakan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik.
i. Melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan daerah.
139
j. Menjalin hubungan kerja dengan seluruh instansi vertikal di daerah dan semua
perangkat daerah.
k. Menyampaikan rencana strategis penyelenggaraan pemerintahan daerah di
hadapan rapat paripurna DPRD.
Selain itu, kepala daerah mempunyai kewajiban juga untuk memberikan
laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada pemerintah, dan
memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, serta
menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintah daerah kepada
masyarakat.
Laporan penyelenggaraan pemerintah daerah kepada pemerintah
disampaikan kepada presiden melaui Menteri Dalam Negeri untuk Gubernur, dan
kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur untuk Walikota satu kali dalam
satu tahun.
Laporan tersebut digunakan pemerintah sebagai dasar melakukan evaluasi
penyelenggaraan pemerintah daerah dan sebagai bahan pembinaan lebih lanjut
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ketentuan tentang laporan
penyelenggaraan pemerintah daerah ini tidak menutup adanya laporan lain baik
atas kehendak kepala daerah atau atas permintaan pemerintah.
8.8. Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan Otonomi Daerah
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), partisipasi berarti
berperan serta (disuatu kegiatan), ikut serta: seluruh masyarakat harus
menyukseskan pembangunan bangsa dan negara. Pengertian otonomi daerah,
menurut Undang-Undang no. 32 tahun 2004, tentang pemerintah daerah pasal 1
ayat 5, otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Partisipasi dalam pelaksanaan otonomi daerah dapat diartikan sebagai
kegiatan atau peran serta warga negara demi suksesnya pelaksanaan otonomi
daerah.Partisipasi warga negara tidak hanya mendukung ddan mendorong agar
daerah semakin maju dan mandiri tetapi juga membantu Negara atau pemerintah
140
hanya mampu mengatasi permasalahan-permasalahan yang timbul akibat
pelaksanaan otonomi daerah.
Pada dasarnya ,otonomi daerah merupakan pancaran kedaulatan rakyat.
Otonomi diseberikan oleh pemerintahan kepada masyarakat dan sama sekali
bukan kepada daerah ataupun pemerintahan daerah. Dengan demikian,
pernyataan bahwa otonomi merupaakan milik masyarakat tersebut sebagai subjek
dan bukannya objek.
Dengan adanya partisipasi proaktif masyarakat, baik kepada pemerintah
maupun DPRD, maka banyak sekali manfaat yang dirasakan oleh rakyatnya.
Disinilah pentingnya bila masyarakat selalu berpartisipasi, terlebih dalam
perumusan kebijakan public di daerah. Karena sesungguhnya masyarakat itu
sendiri yang lebih tahu akan kebutuhan dan permasalahannya.
Pentingnya partisipasi masyarakat dalam pemerintahan daerah
Sebagai warga negara Indonesia yang berdomisili atau bertempat tinggal
di suatu daerah, tent ki kita mempunyai hak dan kewajiban dalam upaya
mendukung suksesnya pembanguna di daerah. Disamping itu warga negara harus
tanggap terhadap ssegala kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan daerah.
Hal itu dimaksudkan
a. Agar kebijakan pemerintahan didaerah tidak menyompang dari peraturan
perundang-undangan yang berlaku
b. Agar pemerintahan di daerah sesuai dengan dasar negara pancasila dan UUD
1945
c. Agar pemerintahan di daerah selalu berpihak pada kepentingan rakyat
Dukungan warga negara terhadap pemerintahan di daerah dapat
diwujudkan dalam berbagai bentuk kegiatan, antara lain:
a. Mematuhi dan melaksanakan peraturan daerah
b. Melaksanakan kegiatan keamanan dan ketertiban masyarakat
c. Merawat keindahan lingkungan
d. Membayar pajak bumi dan bangunan
e. Membayar pajak kendaraan bermotor
141
Pentingnya partisipasi masyarakat dalam mendukung kinerja DPRD
Ada 2 faktor pendukung agar DPRD dapat menjalankan fungsi
pengawasannya dengan baik, yaitu
a. Faktor internal, yakni factor yang berasal dari dalam DPRD itu sendiri,
dalam arti bahwa anggota DPRD sebagai wakil rakyat, harus terus menerus
berusaha untuk meningkatkan kualitas kinerjanya. Adanya peningkatan
kualitas kinerjaini merupakan syarat agar kkepentingan rakyat terpenuhi.
b. Fator eksternal, yakni factor yang berasal dari luar DPRD, yang berupa
partisipasi masyarakat. Sebagai warga negara, hendaknya kita selalu
memberikan masukan kepada DPRD dalam berbagai bidang kehidupan
antara lain sebagai berikut:
1) Menyampaikan masukan tentang prmasalahan irigasi yang sangat
dibutuhkan masyarakat petani di desa
2) Menyampaikan masukan tentang permaslahan polotik uang ketika terjadi
pemilihan calon kepala daerah dan wakilnya.
3) Menyampaikan masukan tentang permasalahan keamanan dan ketrtiban
masyarakat.
Dukungan warga negara terhadap pemerintahan di daerah dapat
diwujudkan dalam berbagai bentuk kegiatan, antara lain:
1) Mematuhi dan melaksanakan peraturan daerah
2) Melaksanakan kegiatan keamanan dan ketertiban masyarakat
3) Merawat keindahan lingkungan
4) Membayar pajak bumi dan bangunan
5) Membayar pajak kendaraan bermotor
Apabila kebijakan publik itu hanya dibuat oleh pemerintah tanpa
melibatkan masyarakat dalam perumusan dan pelaksanaannya, kebijakan publik
itu akan dapat menimbulkan dampak negatif, antara lain:
1) Akan menimbulkan protes atau penolakan dari masyarakat
2) Kebijakan tersebut tidak bisa dilaksanakan dengan baik
3) Bisa menimbulkan kecemasan dan keresahan masyarakat
142
4) Turunnya kewajiban pemerintah, serta
5) Turunnya kepercayaan masyarakat pada pemerintah.
Oleh karena dampak negatifnya sangat luas bila masyarakat tidak aktif
dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik, maka peran aktif dari
masyarakat sangat dibutuhkan. Konsekuensi dari tidak aktifnya masyarakat
dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik adalah sebagai berikut.
1) Kebijakan publik yang dibuat pemerintah belum tentu sesuai dengan
keinginan masyarakat.
2) Kebijakan tersebut dapat dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak
bertanggungjawab.
3) Kebijakan tersebut dapat dipergunakan kepentingan kelompok atau
golongannya.
4) Kebijakan publik itu tidak hanya diperuntukkan untuk kepentingan
masyarakat secara luas.
Apabila hal ini yang terjadi, maka masyarakat sendiri yang akan rugi.
Oleh karena itu, diperlukan partisipasi aktif masyarakat agar kebijakan yang
diambil pemerintah sesuai dengan harapan masyarakat. Kita sebagai warga
negara mempunyai tanggungjawab dan kewajiban turut serta mewujudkan
kemajuan bangsa dan negara. Bentuk partisipasi tersebut dapat dilakukan
dengan memberikan masukan kepada pemerintah dalam perumusan kebijakan
publik dan mengontrol pelaksaan kebijakan publik.
Kontrol masyarakat atas pelaksanaan kebijakan publik sangat penting
karena tanpa adanya kontrol dari masyarakat, kebijakan tersebut dapat
dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab yang hanya
mengejar untuk kepentingan sendiri.
Masukan dari masyarakat sangat berharga bagi pemerintah. Daerah
banyaknya masukan dari masyarakat maka pemerintah dapat menyaring dan
memisahkan mana usulan atau saran yang hanya untuk perjuangan kepentingan
kelompok atau golongan, mana yang bertujuan untuk kesejahteraan seluruh
rakyat. Kita harus menghindari masuknya saran atau usul oleh orang-orang
143
yang tidak bertanggungjawab, yang hanya mengejar kepentingan sendiri atau
golongannya. Apabila hal ini terjadi maka pemerintah tidak dapat mewujudkan
suatu masyarakat yang adil dan makmur bagi seluruh rakyat.
8.9. Kesimpulan
Secara esensial dalam penyelenggaraan desentralisasi terdapat dua elemen
penting yang saling berkaitan, yaitu pembentukan daerah otonom dan penyerahan
kekuasaan secara hukum dari pemerintah pusat ke pemerintahan daerah untuk
mengatur dan menangani urusan pemerintahan tertentu yang diserahkan.
Dibentuk dan disahkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang telah diubah menjadi
Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 meskipun dianggap sebagai perubahan
fundamental dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, tetapi rumusan intinya
tetap mengacu pada konsepsi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Urusan Pemerintahan Pusat Pemerintahan daerah menyelenggarakan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan
yang oleh Undang-undang ditentukan menjadi urusan pemerintah pusat. Urusan
pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah Pusat meliputi: (1) politik luar
negeri; (2) pertahanan; (3) keamanan; (4) yustisi; (5) moneter dan fiskal nasional;
(6) agama ; (7) norma ; dan (8) ekonomi. Pembagian urusan antar pemerintah,
pemprov dan pemkab diatur lebih lanjut dalam PP No 38 tahun 2007. Yang antara
lai mengenai Hubungan keuangan antara pempus dan pemda Pasal 15 ayat 1 UU
No.32/2004, hubungan dalam bidang keuangan antar pemerintahan daerah,
hubungan dalam bidang pelayanan umum, hubungan antara Pempus dan pemda
(vertikal), hubungan antar pemerintahan daerah (horisontal), dan hubungan dalam
bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya
Kewenangan membuat peraturan daerah (perda), merupakan wujud nyata
pelaksanaan hak otonomi yang dimiliki oleh suatu daerah dan sebaliknya,
144
peraturan daerah merupakan satu sarana dalam penyelenggaraan otonomi daerah.
Peraturan kepala daerah, yang di dalam UU No. 22 Tahun 1999 disebut keputusan
kepala daerah, pada dasarnya sama. Penyebutan kepala daerah bertujuan untuk
memperjelas bahwa keputusan kepala daerah yang dimaksud, berisi ketentuan
peraturan (keputusan yang bersifat in abstracto). Hal ini untuk mencegah
timbulnya kerancuan dengan keputusan kepala daerah yang bersifat inkoncrito
(keputusan berkenaan dengan objek tertentu atau tidak bersifat mengatur secara
umum).
Penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah pemerintah daerah dan
DPRD. Dalam menyelenggarakan pemerintahan, pemerintah pusat menggunakan
asas desentralisasi, tugas pembantuan, serta dekonsentrasi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sementara itu, pemerintah daerah
dalam menyelenggarakan pemerintahan menggunakan asas desentralisasi dan
tugas pembantuan. Dalam penyelenggaraan pemerintahan, pemerintah daerah
berpedoman pada Asas Umum Penyelenggaraan Negara, yang di dalam Hukum
Administrasi Negara dikenal dengan “Asas-asas umum pemerintahan yang
layak”.
Dalam Pasal 19 ayat 2 Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah menegaskan bahwa penyelenggara pemerintah daerah adalah
pemerintah daerah dan DPRD. Memilih kepala daerah secara langsung
merupakan satu dari delapan hak yang dipunyai daerah. Pasal 21 undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan adanya delapan
hak yang dipunyai daerah dalam menyelenggarakan otonomi.
Dengan adanya partisipasi proaktif masyarakat, baik kepada pemerintah
maupun DPRD, maka banyak sekali manfaat yang dirasakan oleh rakyatnya.
Disinilah pentingnya bila masyarakat selalu berpartisipasi, terlebih dalam
perumusan kebijakan public di daerah. Karena sesungguhnya masyarakat itu
sendiri yang lebih tahu akan kebutuhan dan permasalahannya.
145
8.10. Saran
Masih banyak permasalahan yang terjadi dalam penyelenggaraan otonomi
daerah di Indonesia. Permasalahan tersebut harus segera diatasi agar pelaksanaan
otonomi daerah di Indonesia dapat terlaksana dengan baik.
146
BAB IX
147
Pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan konsep dari
demokrasi langsung yang berarti demokrasi yang mengikutsertakan setiap warga
negaranya dalam permusyawaratan untuk menentukan kebijaksanaan umum
negara atau undang-undang. Demokrasi langsung juga dikenal dengan demokrasi
bersih. Disinilah rakyat memiliki kebebasan secara mutlak memberikan
pendapatnya dan semua aspirasi mereka dimuat dengan segera didsedangkan
alam satu pertemuan.
Ada lima pertimbangan penting penyelenggaraan pilkada langsung bagi
perkembangan demokrasi di Indonesia.
1. Pilkada langsung merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat karena
pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, bahkan kepala desa
selama ini telah dilakukan secara langsung.
2. Pilkada langsung merupakan perwujudan konstitusi dan UUD 1945. Seperti
telah diamanatkan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, Gubernur, Bupati dan Wali
Kota, masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi,
kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Hal ini telah diatur dalam UU
No 32 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan
Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
3. Pilkada langsung sebagai sarana pembelajaran demokrasi (politik) bagi rakyat
(civic education). Ia menjadi media pembelajaran praktik berdemokrasi bagi
rakyat yang diharapkan dapat membentuk kesadaran kolektif segenap unsur
bangsa tentang pentingnya memilih pemimpin yang benar sesuai nuraninya.
4. Pilkada langsung sebagai sarana untuk memperkuat otonomi daerah.
Keberhasilan otonomi daerah salah satunya juga ditentukan oleh pemimpin
lokal. Semakin baik pemimpin lokal yang dihasilkan dalam pilkada langsung
2005, maka komitmen pemimpin lokal dalam mewujudkan tujuan otonomi
daerah, antara lain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan
selalu memerhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat agar dapat
diwujudkan.
5. Pilkada langsung merupakan sarana penting bagi proses kaderisasi
kepemimpinan nasional. Disadari atau tidak, stock kepemimpinan nasional
amat terbatas. Dari jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta,
148
jumlah pemimpin nasional yang kita miliki hanya beberapa. Mereka sebagian
besar para pemimpin partai politik besar yang memenangi Pemilu 2004.
Karena itu, harapan akan lahirnya pemimpin nasional justru dari pilkada
langsung ini.
Pemilihan kepala daerah secara tidak langsung/oleh DPRD yang berarti
demokrasi yang dilaksanakan melalui sistem perwakilan/corak pemerintahan
demokrasi yang dilakukan melalui badan perwakilan rakyat yang dipilih oleh
rakyat dan bertanggung jawab kepada rakyat.
Di Indonesia pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah,
atau seringkali disebut Pilkada atau Pemilukada, adalah pemilihan umum untuk
memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung di Indonesia
oleh penduduk daerah setempat yang memenuhi syarat. Sebelumnya, kepala
daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD). Dasar hukum penyelenggaraan pilkada adalah Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang ini, Pilkada
(pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah) belum dimasukkan dalam
rezim pemilihan umum (Pemilu). Pemilihan umum kepala daerah dan wakil
kepala daerah (Pilkada) menjadi bagian dari rezim pemilu sejak 2007. Pilkada
pertama di Indonesia adalah Pilkada Kabupaten Kutai Kartanegara pada 1 Juni
2005.
149
c) Tidak mudah untuk menghidari kelompok yang mayoritas atau dominan
d) Terdapatnya money politic dalam Pilkada
e) masyarakat lebih dekat dengan(konflik) politik dan karenanya berpotensi
melahirkan kehidupan bersama yang tidak stabil
2. Pemilihan kepala daerah secara tidak langsung atau oleh DPRD
Kelebihan pemilihan Kepala Daerah secara tidak langsung atau melalui
DPRD :
a) Lebih mudah digunakan untuk masyarakat yang plural
b) Meringankan beban masyarakat dari tugas yang berhubungan dengan
kebijakan bersama(perumusan dan pelaksanaan).
c) Kekuasaan dan fungsi-fungsi kenegaraan dipegang oleh orang yang lebih
berkapasitas
d) Tidak ada kerusuhan & kebencian antar pendukung kandididat kepala
daerah
e) Tidak ada politik uang untuk menyuap rakyat
f) Tidak ada demonstrasi anarkis dari massa calon kepala daerah yang kalah
atau merasa dicurangi
g) Tidak banyak menghabiskan anggaran daerah (APBD) untuk biaya
penyelenggaraan Pilkada
h) Tidak ada gugat menggugat di MK
Sedangkan kekurangan pemilihan kepala daerah secara tidak langsung atau
melalui DPRD :
a) Mungkin terjadi perbedaan kepentingan antara rakyat yang mendukung
dan wakil rakyat yang mewakili
b) Rakyat mudah kecewa karena wakil rakyat tidak membawa amanah
ketika mereka berkampanye sebelum terpilih
c) Kepala daerah diibaratkan seperti boneka yang manut kepada DPRD
karena telah terpilih menjadi kepala daerah
d) Ada celah anggota DPRD minta uang suap agar kepala daerah tersebut
terpilih
e) Kepala daerah lebih melayani DPRD ketimbang kepentingan rakyat
150
9.2.2. Efektivitas Pilkada secara Langsung dan Melalui DPRD
Penyelenggaraan demokrasi atau kedaulatan rakyat Indonesia adalah
secara langsung melalui sistem perwakilan. Perwujudan demokrasi di Indonesia
ditunjukkan dalam 3 cabang kekuasaan, yaitu legislatif (Majelis Perwalikan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah
(DPD)), ekaekutif (Presiden dan Wakil Presiden), dan serta yudikatif (Mahkamah
Agung dan Mahkamah Konstitusi). Kedaulatan rakyat dapat disalurkan melalui
hak atas kebebasan pers, kebebeasan berpendapat, hak atas kebebasan
beroganisasi dan berserikat, hak atas kebebasan informasi, serta hak lainnya yang
dijamin dalam Konstitusi.
Bagaimanakah keefektifan pemilihan daerah secara langsung dan tidak
langsung?
Sistem pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan sebuah
sistem pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat pada suatu daerah
tertentu dengan berarti bahwa rakyat dilibatkan secara langsung semua partisipasi
warga.
Sistem pemilihan kepala daerah secara langsung oleh kepala daerah
dilakukan langsung oleh rakyat, memberikan kepada siapapun memiliki
kemungkinan dan potensi menjadi kepala daerah, bukan hanya kandidat dari
partai-partai kecil, mereka yang bukan pengurus Parpol pun bisa menempuh jalur
independen.
Namun sistem ini memiliki kelemahan dari faktor finansial, yakni
menghabiskan biaya yang lebih banyak dan tidak sedikit. Selain untuk biaya
penyelenggaraannya, political cost yang harus dikeluarkan oleh kandidat juga
sangat besar, sebab mereka perlu menyiapkan anggaran untuk atribut, kampanye,
dan kegiatan sosial lainnya, bahkan tak jarang para kandidat juga membayar
langsung pada para pemilih agar bisa memenangkan pertarungan. Sehingga hal
ini juga dapat memicu tingginya tingkat kemungkinan korupsi oleh para kandidat
yang nantinya terpilih, untuk mengganti biaya yang sebelumnya telah ia
keluarkan.
Efektivitas Pilkada langsung dapat diterapkan pada suatu masyarakat
dengan kuantitas yang kecil dan dengan tingkat kesadaran politik yang tinggi.
Mengapa demikian, jika sistem ini diterapkan pada masyarakat yang kesadaran
dan partisipasi politiknya masih rendah akan menimbulkan banyak money
politics selain itu masyarakat akan memilih pemimpinnya jika mereka diberi
uang. Hal lain yang positif dari sistem ini yaitu pemimpin daerah lebih fokus
untuk mendengarkan aspirasi dari masyarakatnya karena mereka dipilih oleh
151
masyarakat sehingga kebijakan yang ia buat harus sesuai dengan aspirasi
masyarakat.
Sedangkan sistem peemilihan kepala daerah secara tidak langsung/oleh
DPRD merupakansistem pemilihan kepala daerah yang dilakukan melalui badan
perwakilan rakyat yang dipilih oleh rakyat dan bertanggung jawab kepada rakyat.
Sistem ini akan efektif jika diterapkan pada suatu masyarakat yang
plural dan kompleks serta dalam jumlah yang banyak. Karena dengan begitu
akan menghindarkan adanya konflik dalam masyarakat ketika pemilihan
berlangsung. Sistem ini juga dinilai lebih hemat biaya dalam penyelenggaraan
dan menghindari adanya politik uang selama pemilihan berlangsung.
152
9.3. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa :
1. Pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan konsep dari demokrasi
langsung yang berarti demokrasi yang mengikutsertakan setiap warga
negaranya dalam permusyawaratan untuk menentukan kebijaksanaan umum
negara atau undang-undang. Sedangkan Pemilihan kepala daerah secara
tidak langsung/oleh DPRD yang berarti demokrasi yang dilaksanakan
melalui sistem perwakilan/corak pemerintahan demokrasi yang dilakukan
melalui badan perwakilan rakyat yang dipilih oleh rakyat dan bertanggung
jawab kepada rakyat.
2. Baik Pilkada langsung ataupun tidak langsung memiliki kekurangan dan
kelebihan masing-masing.
3. Keefektifan Pilkada langsung yaitu akan berjalan dengan baik pada suatu
masyarakat yang jumlahnya tidak terlalu besar dan dengan pengetahuan serta
kesadaran politik yang tinggi. Sedangkan Pilkada tidak langsung cocok
dengan kondisi masyarakat yang plural serta dalam jumlah yang besar,
sistem ini juga efektif dalam penghematan biaya penyelenggaraannya serta
menghindarkan adanya politik uang.
153
DAFTAR PUSTAKA
154
Hayati, Erna. Tanpa Tahun. Sistem Pemerintahan Daerah Indonesia Dalam Era
Reformasi. Aceh: Universitas Syah Kuala Banda Aceh.
Hidayat, Syarif. 2008. Desentralisasi dan Otonomi Daerah dalam Perspektif State-
Society Relation. Jurnal POLITIK Vol.1 No.1 2008.
Huda, Ni’matul. 2013. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
.Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah Terhadap Pelayanan Publik Bidang
Perizinan di Kabupaten Deli Serdang. Tesis. Sumatera Utara: Universitas
Sumatera Utara.
Indra Perwira. 2006. Tinjauan Umum Peran dan Fungsi DPRD. Jakarta: KPK.
Jaweng, Robert Endi. ”Posisi DPRD Dalam UU Parlemen yang Baru”. Harian Jurnal
Indonesia, 18 Agustus 2009.
Jon Pierre & B. Guy Peters. Governance, Politics and the State. (New York:
Published Martin’s Press, 2000).
Kaloh. 2007. Mencari Bentuk Otonomi Daerah. Jakarta : Rineka Cipta.
Kansil, Christine.S.T. 2008. Hukum Tata Negara Republik Indonesia. Jakarta: Rineka
Cipta.
Kustiawan. Otonomi Daerah dan Desentralisasi dalam Bingkai Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Jurnal. Universitas Maritim Raja Ali Haji..
Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Inspektorat Pemerintah
Kota Bandung Tahun 2012 (LAKIP INSPEKTORAT 2012).
Marbun, BN. (2005). Otonomi Daerah 1945-2005 Proses dan Realita,
Perkembangan Otda Sejak Zaman Kolonial Sampai Saat Ini. Jakarta:Pustaka
Muhadi Prabowo dan Widyaiswara Madya. Jabatan Fungsional Pengawas
Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Di Daerah (Jfp2upd) Dan Jabatan
Fungsional Auditor (Jfa). STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara).
Nurma A. Ridwan. 2007, “Landasan Keilmuan Kearifan Lokal” dalam Ibda’ (Jurnal
Studi Islam dan Budaya) Vol. 5 No.1, Jan-Jun 2007, P3M STAIN
Purwokerto. Hlm. 2.
Radjab, Dasril. 2005. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
R. Tresna. 2000. Bertamasya ke Taman Ketatanegaraan. Bandung: Dibya.
155
Sabarno, Hari. 2008. Memandu Otonomi Daerah, Menjaga Kesatuan Bangsa.
Jakarta: Sinar Grafika.
Sheldon S. Steinberg; David T. Austern. 1999. Government Ethics, and Managers;
Penyelewengan Aparat Pemerintah (terjemahan Suroso). Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Sunarno, Siswanto.2008. Hukum Pemerintahan Daerah. Jakarta: Sinar Grafika
Suprihaini, Amin. 2008. Otonomi Daerah dari Masa ke Masa.Klaten:Cempaka Putih.
Widjaja, Haw. 2012. Otonomi Desa Merupakan Otonomi yang Asli, Bulat dan Utuh.
Jakarta : Raja Grafindo Persada.
repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/.../Jurnal-04.pdf
156
http://www.bandung.go.id/index.php?fa=sitedownload.category&id=44.
Diaksestangaal 27 Oktober 2014 pukul 20.45 WIB.
http://www.adzkiyacentre.com/2013/04/kemiskinan-dan-kebijakan-pro-
kearifan_3.html (diunduh pada 26 Desember 2014, pukul 21.01 WIB)
http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/1366 (diunduh pada 26
Desember 2014, pukul 21.30 WIB)
http://www.negarahukum.com/hukum/tugas-dan-kewenangan-pemerintahan-
daerah.html
http://sriargarini.blogspot.com/2012/05/otonomi-daerah.html (21-10-14 20.07 wib)
http://nissa2601.blogspot.com/2011/05/partisipasi-masyarakat-dalam-pelaksaan.html
(21-10-14 19.59 WIB)
http://kantongteh.wordpress.com/2011/05/23/pembagian-urusan-pemerintahan-
berdasarkan-peraturan-pemerintah-ri-nomor-38-tahun-2007/
http://kotajabung.blogspot.com/2012/09/conto-makalah-otonomi-daerah.html
Kompas. (2014, 27 September).
KelebihandanKekuranganPilkadaTakLangsung.Kompas [online].Tersedia:
http://politik.kompasiana.com/2014/09/27/kelebihan-dan-kekurangan-pilkada-
tak-langsung-681515.html[18 Oktober 2014]
Sistem Pemerintahan Indonesia. 2014. Kelebihan dan Kekurangan Demokrasi.
Tersedia: http://sistempemerintahan-indonesia.blogspot.com/2013/05/-
kelebihan-dan-kekurangan-demokrasi.html[15 Oktober 2014]
Suara Surabaya. (2014, 27
September).KelebihandanKekuranganPilkadaLangsungMaupunTakLangsung.S
uara Surabaya,
[online].Tersedia:http://politik.suarasurabaya.net/news/2014/140349-Kelebihan-
dan-Kekurangan-Pilkada-Langsung-Maupun-Tak-Langsung[18 Oktober 2014]
Windy Sitinjak “kemajuan-perubahan-pertama-kedua-ketiga UUD 1945 dalam
prespektif demokrasi”
http://windysitinjak.blogspot.com/2013/05/kemajuan-perubahan-
pertama-kedua-ketiga.html (diakses pada 23 Oktober 2014)
157
Kompas, 22 Juli 2002
Kompas, 23 September 2002
Kompas, 23 Nopember 2002
Kompas, 16 Juli 2005
158