Dosen Pengampu:
1. Prof. Dr., Abdul Pattewe, SE.,M.Si.,Ak.,CA
2. Dr. Muhammad Natsir, SE.,M.Si.
3. Dr. Ernawati Usman, SE., MSA
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 3
UNIVERSITAS TADULAKO
TAHUN 2024
2
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas rahmatNya penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah ini dengan judul
“Sustainability (sejarah dan prespektif eksekutif)” sebagai salah satu syarat untuk
menyelesaikan tugas mata kuliah Akuntansi Sosial dan Lingkungan tahun ajaran
2024.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu penulis dengan hati terbuka mengharapkan saran-
saran dan kritikan-kritikan yang membangun (konstruktif) demi kesempurnaan tugas
akhir di masa yang akan datang.
Selanjutnya dalam kesempatan ini penulis tidak lupa untuk menyampaikan
ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang telah
memberikan dorongan dan bantuan dalam penulisan makalah ini.
Akhir kata Penulis mengharapkan agar makalah ini dapat bermanfaat bagi
pihak yang memerlukannya.
PENULIS
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................ii
DAFTAR ISI .................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .........................................................................1
DAFTAR PUSTAKA
iii
DAFTAR ISI
Hlm
COVER……………………
…..
………………………………
…………… i
KATA
PENGANTAR…………..
………………………………
…………. ii
DAFTAR
ISI……………………..
………………………………
………… iii
BAB I: PENDAHULUAN
1
1.1 Latar Belakang
………………………………
…………………………. 1
1.2 Rumusan
Masalah……..
………………………………
………………... 3
1.3 Tujuan .................
………………………………
………………............. 3
BAB II: PEMBAHASAN
2.1 Sejarah
keberlanjutan/Sustainability.
.............................................
........... 4
2
2.2 Pandangan Eksekutif
tentang
Keberlanjutan......................
...................... 5
2.3 Pandangan Eksekutif
pada Pelaporan
Keberlanjutan......................
.......... 7
BAB III: PENUTUP
3.1
Kesimpulan..........................
.............................................
....................... 10
3.2
Saran...................................
3
.............................................
.......................... 11
DAFTAR
PUSTAKA…………………
………………………………
…… 12
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perusahaan merupakan
salah satu pemain
penting dalam
perekonomian
masyarakat luas.
Pengungkapan informasi
4
perusahaan sangat penting
bagi pemangku
DAFTAR ISI
Hlm
COVER……………………
…..
………………………………
…………… i
KATA
PENGANTAR…………..
………………………………
…………. ii
DAFTAR
ISI……………………..
………………………………
………… iii
5
BAB I: PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
………………………………
…………………………. 1
1.2 Rumusan
Masalah……..
………………………………
………………... 3
1.3 Tujuan .................
………………………………
………………............. 3
BAB II: PEMBAHASAN
2.1 Sejarah
keberlanjutan/Sustainability.
.............................................
........... 4
6
2.2 Pandangan Eksekutif
tentang
Keberlanjutan......................
...................... 5
2.3 Pandangan Eksekutif
pada Pelaporan
Keberlanjutan......................
.......... 7
BAB III: PENUTUP
3.1
Kesimpulan..........................
.............................................
....................... 10
3.2
Saran...................................
7
.............................................
.......................... 11
DAFTAR
PUSTAKA…………………
………………………………
…… 12
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perusahaan merupakan
salah satu pemain
penting dalam
perekonomian
masyarakat luas.
Pengungkapan informasi
8
perusahaan sangat penting
bagi pemangku
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
9
Pertemuan PBB tentang Akuntansi Lingkungan pada tahun 1972 di
Stockholm menandai dimulainya peristiwa-peristiwa yang wajar. Pertemuan yang
dilakukan oleh delegasi negara-negara maju dan non-modern, termasuk Indonesia,
menghasilkan pemahaman bahwa penting untuk mempertimbangkan isu-isu alam
dalam program perbaikan yang sedang dijalankan.
PBB, bersamaan dengan Pertemuan Dunia tentang Perubahan Iklim dan
Perbaikan (WCED), yang diadakan di Stockholm pada tahun 1987, menerbitkan
sebuah laporan berjudul Masa Depan Tatanan Kita atau Laporan Brundtland yang
berisi saran-saran mengenai kemungkinan perubahan dalam berbagai peristiwa.
Berdasarkan laporan tersebut, perbaikan praktis dicirikan sebagai siklus
kemajuan untuk mengatasi permasalahan saat ini tanpa mengorbankan kapasitas
masyarakat di masa depan untuk mengatasi permasalahan mereka.
Sejak didistribusikan oleh WCED, banyak spesialis dari disiplin ilmu yang
berbeda telah mulai mengkarakterisasi pergantian peristiwa secara praktis. Tidak
berhenti pada pertemuan WCED saja, perbincangan mengenai perbaikan yang
dapat dipertahankan dilanjutkan dengan Unified Countries’ Earth Culmination atau
UN Earth Gathering pada tahun 1992 di Rio Janerio yang melahirkan Rencana 21
dan diikuti dengan pertemuan di Johannesburg yang dihadiri oleh Jenderal PBB.
Pertemuan dilakukan pada Tujuan Kemajuan Seribu Tahun pada tahun 1992. 2000
dan Puncak Dunia (Titik Paling Penting) pada tahun 2002 (Todoror dan Marinova,
2011).
Banyaknya jumlah pertemuan menunjukkan pentingnya pengendalian
peristiwa. Dapat disimpulkan bahwa tujuan pembangunan berkelanjutan adalah
mencapai kelestarian ekologi dan lingkungan serta kelestarian ekonomi dan sosial.
Model Pengembangan berkelanjutan seperti yang disajikan oleh International
Association for Safeguarding of Nature and Standard Resources (IUCN) dalam
Todoror dan Marinova (2011) disajikan pada Gambar 1.1 di bawah ini:
10
Model pembangunan berkelanjutan yang ditunjukkan pada Gambar 1.1
mencakup ketiga aspek pembangunan berkelanjutan—pembangunan ekonomi,
pembangunan sosial, dan perlindungan lingkungan. Karena terdapat hubungan
keadaan dan hasil yang logis, ketiga perspektif ini tidak dapat dipisahkan satu sama
lain. Satu perspektif akan mempengaruhi perspektif alternatif. Hubungan antara
keuangan dan partai harus menghasilkan hubungan yang adil (tidak memihak).
Dapat diterima bahwa hubungan antara ekonomi dan lingkungan akan tetap baik.
Sementara itu, keterkaitan antara alam dan alam akan terus terpelihara
(persevere). Sudut pandang ketiga, khususnya perspektif moneter, sosial dan
biologis, akan mengantarkan pada kondisi yang membumi. Di Indonesia, penerapan
pembaruan praktis sudah mulai meluas dan menjadi rujukan perbaikan di segala
bidang. Salah satu modelnya adalah menggarap kawasan kelautan dan perikanan
melalui kemungkinan ekonomi biru.
Tentu saja Indonesia merupakan negara kepulauan dengan potensi perairan
darat dan laut yang sangat melimpah. Luas wilayah laut Indonesia menurut data
Pengelolaan Kelautan dan Perikanan tahun 2011 adalah 3.544.743,9 km2. Wilayah
laut tersebut meliputi wilayah lautan seluas 2.884.210,90 km2, Zona Keuangan
Terpilih seluas 2.981.211 km2, dan wilayah lautan seluas 12 mil seluas 279.322 km2
dan garis pantai sepanjang 104.000 km ( KKP, 2011). Angka-angka tersebut
menunjukkan kemampuan perikanan laut Indonesia. Untuk perikanan air luas
potensi lahannya 158.125 ha. Padahal, sektor kelautan dan perikanan menyumbang
6,48% PDB, mengungguli sektor budidaya yang hanya 3,42%.
Salah satu metodologi yang digunakan Dinas Kelautan dan Perikanan (KKP)
untuk menghadapi potensi yang melimpah tersebut adalah strategi industrialisasi
perikanan berbasis ekonomi biru. Konsep pergantian peristiwa yang terkendali
mendasari strategi ekonomi biru yang diterapkan Kementerian Kelautan dan
Perikanan dalam memantau potensi sektor kelautan dan perikanan. Peran
11
pemeliharaan dalam ekonomi biru harus terlihat dari tempat yang digunakan,
dengan alasan alami tertentu. Dasar pemikiran sistem biologis bekerja tanpa
mempengaruhi iklim dalam kapasitas apa pun.
Ungkapan menguntungkan bagi iklim, tanpa limbah, dan pemanfaatan aset
normal secara efektif merupakan slogan dalam ekonomi biru. Sebagaimana
dikemukakan oleh Pauly (2009), ekonomi biru dilihat dari sudut pandang
karakteristiknya adalah siklus tanpa limbah. Solusi terhadap masalah kontaminasi
pada skala global dan lokal adalah interaksi ini. Dari perspektif kontemporer,
ekonomi biru menyiratkan keseriusan dan efisiensi pemanfaatan aset yang lebih
besar. Menurut sudut pandang pemerintah, ekonomi biru berarti penggunaan
berbagai jenis bahan mentah untuk mendirikan organisasi baru, menciptakan
lapangan kerja, dan meningkatkan produktivitas.
Selain itu, strategi ekonomi biru bertujuan untuk menyediakan infrastruktur
yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan papan saat ini
tanpa menimbulkan kerugian bagi generasi mendatang. Beberapa standar pemikiran
utama yang terkait dengan gagasan ekonomi biru, pada dasarnya mengacu pada
kemahiran aset, zero waste, keseimbangan sosial dan peluang bisnis yang terbuka
bagi masyarakat miskin, pembangunan dan variasi serta dampak finansial yang
berlipat ganda. Senada dengan Pauly, Nasir (2012) menyatakan bahwa untuk
mendukung perkembangan zaman, pelaksanaan gagasan ekonomi biru harus
memenuhi standar koordinasi, berbasis wilayah, kerangka penciptaan bersih, dan
spekulasi imajinatif dan kreatif.
Salah satu gambaran kemajuan berbasis wilayah adalah pembenahan
kawasan Minapolitan. Tentu saja, dengan tetap fokus pada aspek alam, keuangan
dan sosial dari perbaikan provinsi sehingga dapat menjunjung tinggi gagasan
pergantian peristiwa yang dapat dipertahankan. Kemajuan kawasan Minapolitan di
Rezim Magelang sebagaimana tertuang dalam strategi akhir minapolitan
Pemerintahan Magelang bergantung pada Pedoman Imam Usaha Kelautan dan
Perikanan (Permen KP) Nomor: Minapolitan, Surat Keputusan (SK) Menteri
Kelautan dan Perikanan. Perikanan Nomor: PER.12/MEN/2010, tanggal 14 Mei
2010. KEP.32/MEN/2010 tanggal 14 Mei 2010 tentang Penjaminan Kawasan
Minapolitan sebagaimana diubah dengan Deklarasi Pendeta Bidang Kelautan dan
Perikanan Nomor 39/ MEN/2011 tanggal 21 Juli 2011 tentang Pembetulan
Pengumuman Pejabat Pengusaha Kelautan dan Perikanan Nomor:
12
KEP.32/MEN/2010 tentang Penjaminan Kawasan Minapolitan dan Surat Pernyataan
Pejabat Magelang Nomor: 188.45/347/KEP/ 29 Tahun 2011 tentang Kawasan
Minapolitan Kabupaten Magelang.
Pada akhirnya, pendekatan ini juga menyatakan bahwa pengembangan
kawasan minapolitan Pemerintahan Magelang bergantung pada peningkatan
kualitas ikan air tawar, hal ini bergantung pada kemampuan sumber daya perikanan
Sistem Magelang. Sistem Magelang merupakan wilayah yang memiliki luas 108.575
Ha atau sekitar 9,56% dari luas wilayah Jawa Tengah. Secara geografis Sistem
Magelang terletak pada 1100 01'51- 1100 26'28BT dan 7 0 19'13- 7 0 42'6LS. Lihat
situasinya. Wilayah Magelang merupakan daerah yang panas dan lembab dengan
musim semi berangin dan musim kemarau yang dapat diprediksi. . Wilayah
Magelang juga memiliki aliran sungai yang sangat besar, antara lain aliran Elo dan
Progo yang dapat dimanfaatkan sebagai titik perairan bagi kelompok budidaya
tangki. Sementara itu, secara hidrologis, Rezim Magelang merupakan wilayah
berbentuk mangkuk dan terletak di beberapa gunung, sehingga wilayah ini memiliki
sumber air yang melimpah.
Sesuai dengan konsep ekonomi biru yang fokus pada penyampaian batasan,
maka pembenahan kawasan minapolitan di Rezim Magelang juga direncanakan
untuk kemajuan perekonomian kawasan minapolitan. Untuk lebih menjamin
terselenggaranya kemungkinan terjadinya pergantian daerah, diperlukan informasi
dan data yang luas, terutama yang berkaitan dengan keadaan alam, keuangan,
sosial, kerangka, hukum dan kelembagaan daerah pembenahan wilayah, sangat
diperlukan.
Berangkat dari latar belakang diatas maka rumusan masalah pada penulisan
makalah ini adalah :
1.3 Tujuan
13
Adapun Tujuan yang ingin dicapai dalam makalah ini adalah :
14
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Sustainability
Ide Akuntansi yang dapat dipelihara muncul dari kemajuan dalam Akuntansi.
Kemajuan besar dalam bidang Pembukuan telah terjadi selama beberapa tahun
terakhir, meskipun kemajuan terbatas telah terjadi selama beberapa tahun terakhir.
Kemajuan ini mengungkapkan dua jalur penelitian yang berbeda. Pembahasan
filosofis tentang tanggung jawab menjadi jalur utama. apakah dan bagaimana
tanggung jawab menambah kejadian yang dapat didukung, dan langkah-langkah
apa yang diperlukan menuju pemeliharaan. Pendekatan ini bergantung pada
kerangka Akuntansi lain yang dimaksudkan untuk membantu prosedur pengelolaan.
Baris berikutnya adalah sudut pandang administrasi terkait dengan istilah dan
perangkat yang berbeda terhadap pemeliharaan. Hal ini dapat dianggap sebagai
tambahan atau perubahan terhadap akuntansi manajemen tradisional atau
pembiayaan biaya. Untuk mendorong pengelolaan Akuntansi sekali lagi
memungkinkan penilaian ulang secara hati-hati terhadap makna umum keuntungan
dan bahaya sosial, alam dan moneter serta kerjasamanya dalam kerangka
Akuntansi perusahaan. Kemajuan-kemajuan yang mendorong terciptanya Akuntansi
yang layak dapat dilihat dalam rentang waktu tertentu dimana berbagai pola terlihat
jelas: 1971-1980, 1981-1990, 1991-1995 dan hingga saat ini. Periode-periode ini
mencakup pemeriksaan observasional, pengaturan proklamasi, perbincangan
filosofis, proyek pertunjukan, penulisan dan struktur administrasi.
1971 - 1980
Sebelum dekade ini berakhir, sejumlah besar penelitian observasional dan
berbagai makalah yang menyinggung pengembangan model yang mendukung
eksposur Akuntansi sosial telah didistribusikan. Karya-karya awal ini mencakup
pembedahan emosional serta penulisan Akuntansi sosial dan alam (SEAL) yang
belum matang. Informasi yang berhubungan dengan komponen sosial dalam
pembukuan umumnya dihubungkan dengan agen atau barang dagangan. Isu-isu
alam diperlakukan sebagai komponen dari pengembangan Akuntansi sosial yang
sebagian besar tidak terdiferensiasi dan tidak canggih.
Kerusakan alam mencakup kerusakan pada lanskap, udara, air, keributan,
kontaminasi visual dan gaya serta berbagai jenis kontaminasi, dan produksi limbah
15
padat. Pemikiran tentang biaya bayangan dan perencanaan eksternalitas
sebelumnya muncul dan mulai tercipta. Meskipun terdapat komitmen yang signifikan
pada periode ini terhadap kemajuan yang luas dalam bidang evaluasi sosial,
prosedurnya hampir tidak dapat dibedakan dari laporan Akuntansi keuangan yang
dapat diverifikasi. Sampai saat ini, prinsip-prinsip Akuntansi moneter maupun sistem
administrasi belum dikembangkan secara kritis. Mayoritas studi dan penelitian
empiris bersifat deskriptif. Meskipun beberapa model serupa dan proklamasi
peraturan telah dikembangkan, diskusi filosofis tidak bisa dihindari.
1981 – 1990
Segmen awal dari sepuluh tahun ini memperlihatkan perluasan
penyempurnaan di bidang Akuntansi sosial dan bagian kedua dari sepuluh tahun
tersebut memperlihatkan perubahan pendapatan menuju Akuntansi alami, dengan
perluasan indikasi spesialisasi dalam penulisan. Pemeriksaan observasional lebih
logis. Kekhawatiran terhadap pengungkapan informasi yang ramah lingkungan telah
digantikan oleh penekanan pada paparan dan arahan biologis sebagai strategi
pengambilan keputusan untuk mengurangi kerusakan terhadap alam. Klarifikasi
standar dan desain model mulai mendorong bidang biologi. Pada periode ini,
kemajuan program tayangan tentang masalah Akuntansi yang ramah dan alami
dimulai. Meskipun meningkatnya penggunaan sistem yang masuk akal, pedoman
Akuntansi, dan pengaturan yang sah untuk mengurangi tingkat penerjemahan
individu dalam pengumuman moneter, tidak banyak dari struktur Akuntansi ini yang
diterapkan pada struktur Akuntansi sosial dan ekologis yang sesuai. Artikulasi yang
kurang mengatur, namun lebih banyak artikel yang membahas isu-isu filosofis yang
disebarkan.
1991 – 1995
16
evaluasi non-moneter dan masalah sosial atau ekologi. Kemajuan dalam sistem
administratif dan perhitungan yang jelas mulai diterapkan di negara-negara tertentu,
sementara kemajuan dalam pedoman alamiah di Inggris dan Eropa berjalan lebih
lambat dibandingkan di Amerika Serikat, Kanada atau Australia. Kemajuannya
timpang, betapapun cepatnya dibandingkan dengan kemajuan di bidang paparan
Akuntansi sosial. Pada periode ini, terdapat beberapa bahan bacaan dan artikel
diary yang mengkaji tentang Akuntansi sosial dan ekologi. Meskipun demikian, tidak
ada upaya yang bersifat mengatur/filosofis dalam Akuntansi selama periode ini:
Sejak tahun 1970an, akuntansi lingkungan hidup belum dihidupkan kembali, dan
tidak mengikuti diskusi mengenai penilaian eksternalitas. Pengelolaan dan
perbincangan tentang tugas Akuntansi dewan dalam membantu perbaikan yang
dapat dipertahankan semakin menarik.
1995 – Sekarang
17
Masih banyak ruang untuk kesalahan mengenai bagaimana rencana ini akan
berkembang di masa depan karena penggunaan berbagai struktur dan strategi.
Yang pasti adalah keyakinan bahwa perubahan yang berhubungan dengan uang di
masa lalu dan aktivitas manusia (dan juga bisnis) saat ini tidak realistis, sehingga
menimbulkan permasalahan terkait dengan strategi perbaikan berkelanjutan.
Beberapa tahun terakhir telah terlihat peningkatan pengakuan dan bahkan
kegembiraan terhadap pendekatan deklarasi baru ini. Pemeriksaan yang energik
dan imajinatif oleh berbagai afiliasi umumnya menemukan manfaat bahwa sudut
pandang administrasi dalam Pembukuan dan seluk-beluknya juga penting, masuk
akal dan dapat dipraktikkan. Federasi Akuntan Internasional (IFAC) saat ini mewakili
sekitar dua juta akuntan di seluruh dunia dan memiliki 167 badan anggota di lebih
dari 127 negara. Tujuan utamanya adalah untuk mendorong panggilan Akuntansi
dan menyesuaikan pedomannya.
18
Akuntansi keberlanjutan mengungkapkan informasi pada tiga tingkatan—
lingkungan, ekonomi, dan sosial—menghubungkan strategi perusahaan dengan
kerangka kerja berkelanjutan. Namun, dalam praktiknya, mengembangkan kebijakan
yang secara bersamaan mendukung tujuan sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup
merupakan tantangan.
Pola ini mendesak organisasi untuk menekankan penciptaan harga diri serta
mengurangi risiko yang terkait dengan perspektif ekologi dan sosial dalam peristiwa
ekonomi. Kemajuan ini didorong oleh beberapa variabel yang berhubungan dengan:
1. Pengelolaan memberikan pengaruh fisik terhadap penciptaan nilai, risiko
dan tanggung jawab organisasi
2. perlunya respons bisnis yang tepat terhadap pertumbuhan berkelanjutan.
19
Padahal hal tersebut dipandang sebagai kendala dalam penyelenggaraan
Akuntansi dalam suatu perkumpulan. Meskipun demikian, ada beberapa
sistem/model yang dapat digunakan oleh asosiasi untuk menghubungkan SDGs ke
dalam metodologi hierarki mereka, seperti yang ditampilkan pada tabel di bawah ini:
Berbagai struktur yang tercantum dalam tabel di atas akan memudahkan organisasi
untuk mengintegrasikan SDGs ke dalam prosedur perusahaan mereka.
20
2.3 Pandangan Eksekutif Tentang Pelaporan
Saat ini terdapat beberapa teknik dan komponen rinci yang tercatat, seperti
pernyataan konfirmasi dan laporan pelaksanaan ekologi, sosial, dan keuangan.
Pelaporan dalam beberapa laporan ini lebih padat dan terbatas. Beberapa asosiasi
meninjau laporan mereka sebagai perpaduan antara terjemahan cetak dan aset
online serta catatan PDF yang dapat diunduh. Beberapa model dapat ditemukan di
GRI, yang merupakan konstruksi paling menonjol bagi asosiasi yang mencari
bantuan dan bantuan mengenai cara terbaik untuk membuat laporan administrasi
mereka. Aturan dan sistem untuk mengungkapkan informasi sosial dan alam juga
berkembang seiring dengan meningkatnya minat terhadap laporan pengelolaan.
Di banyak negara di seluruh dunia, saat ini tidak ada persyaratan resmi bagi
asosiasi untuk mempersiapkan dan menyampaikan laporan pemeliharaan. Asosiasi
yang mulai melaksanakan prosedur granularitas baru ini menghadapi langkah baru
dalam mendeklarasikannya karena tidak adanya komitmen. Ketidakberdayaan untuk
menjawab seperti yang ditunjukkan oleh peraturan dan kerangka kerja yang ada
(lihat OECD dan GRI) mungkin akan mengurangi legitimasi informasi yang
disebarkan.
21
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
22
DAFTAR PUSTAKA
ACCA, (2017). The Sustainability Development Goals: Redefining context, risk and
opportunity.
Negara).
(2010).
Manajemen Keuangan Perusahaan Teori & Praktik. Erlangga. Jakarta. Triwahyuni, Ersa.
(2018). Dampak SDGs dalam Laporan Keuangan dan Peran Penting Akuntan. Tulisan ini
23