Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Acara Perdata

Dosen Pengampu: Ali Mansur, M. A

Disusun Oleh:
Ghina Widia (11210480000009)
Hadi Maulana (11210480000013)
Faisa Ananta (11210480000048)
Kurnia Afandi (11210480000055)
Angga Putra Marulino (11210480000106)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH


JAKARTA

2023
KATA PENGANTAR

Puji Syukur Kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat-Nya, sehingga
saya dapat menyelesaikan pengerjaan makalah ini yang berjudul “Pengadilan Hak Asasi
Manusia” yang telah disusun dengan tepat waktu. Adapun tujuan dari penulisan makalah
ini ialah untuk memenuhi tugas Bapak Ali Mansur, M. A. selaku dosen pengampu mata
kuliah ini. Selain itu, pembuatan makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan bagi
pembaca dan penulis tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ali Mansur, M. A, selaku dosen
bidang Hukum Hak Asasi Manusia yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah wawasan dan pengetahuan sesuai bidang yang ditekuni.

Saya juga mengucapkan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuaannya sehingga saya dapat menyelesaikan masalah ini.
Saya menyadari, makalah saya masih banyak sekali kekurangannya dan jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, saya dengan senang hati menerima kritik dan saran dari para
pembaca untuk kesempurnaan makalah ini.

Jakarta, 15 September 2023

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................................2


DAFTAR ISI .....................................................................................................................3
BAB I.................................................................................................................................4
PENDAHULUAN .............................................................................................................4
A. LATAR BELAKANG ............................................................................................4
B. RUMUSAN MASALAH .......................................................................................5
C. TUJUAN PEMBAHASAN ....................................................................................5
BAB II ...............................................................................................................................7
PEMBAHASAN................................................................................................................7
A. LATAR BELAKANG ADANYA PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA .....7
B. TUJUAN PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA ............................................9
C. KARAKTER DAN KEBERADAAN DARI PENGADILAN HAK ASASI
MANUSIA ...................................................................................................................10
D. KEWENANGAN DARI PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA ..................13
E. DASAR HUKUM TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA ........15
BAB III ............................................................................................................................17
PENUTUP .......................................................................................................................17
A. KESIMPULAN ....................................................................................................17
B. SARAN.................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................18
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Masuknya era reformasi menjadikan semakin meningkatnya tuntutan


terhadap penyelesaian berbagai pelanggaran HAM yang terjadi dan adanya
perubahan di tataran instrumental untuk mendorong penegakan hukum dan
penghormatan atas hak asasi manusia. Salah satu instrumen penting yang lahir dalam
masa reformasi ini adalah munculnya mekanisme penyelesaian kasus pelanggaran
hak asasi manusia melalui pengadilan Hak Asasi Manusia (Pengadilan HAM).
Pengadilan Hak Asasi Manusia merupakan pengadilan yang memeriksa dan
mengutus segala bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat, pelanggaran hak
asasi manusia terdiri dari genosida dan kejahatan kemanusiaan. Pasal 8
UndangUndang Nomor 26 tahun 2000, Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
memberikan definisi tentang kejahatan genosida. Genosida adalah setiap perbuatan
yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh
atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis kelompok agama, dengan cara:
a. Membunuh anggota kelompok
b. Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap
anggotaanggota kelompok
c. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan
kemusnahan secara fisik baik seluruh maupun sebagian
d. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran didalam
kelompok
e. Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok
lain.

Kejahatan-kejahatan yang merupakan yurisdiksi pengadilan HAM ini adalah


kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang keduanya merupakan
pelanggaran HAM yang berat. Penamaan Pengadilan HAM yang mengadili
kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida ini dianggap tidak tepat,
karena Pelanggaran HAM yang berat dengan dua jenis kejahatan tersebut adalah
kejahatan yang merupakan bagian dari hukum pidana internasional (international
crimes) sehingga yang digunakan adalah seharusnya terminologi “pengadilan
pidana”.

Pengaturan yang berbeda atau khusus ini mulai sejak tahap penyelidikan
dimana yang berwenang adalah Komnas HAM sampai pengaturan tentang majelis
hakim dimana komposisinya berbeda denga pengadilan pidana biasa. Dalam
pengadilan HAM ini komposisi hakim adalah lima orang yang mewajibkan tiga
orang diantaranya adalah hakim ad hoc. Namun, meskipun terdapat kekhususan
dalam penangannya, hukum acara yang digunakan, masih menggunakan hukum
acara pidana terutama prosedur pembuktiannya.

Pengadilan HAM ini juga mengatur tentang kekhususan penanganan terhadap


kejahatan-kejahatan yang termasuk gross violatioan of human rights dengan
menggunakan norma-norma yang ada dalam hukum internasional. Norma-norma
yang diadopsi itu diantaranya adalah mengenai prinsip tanggung jawab individual
(Individual Criminal Responsibility) yang dielaborasi dalam ketentuan dalam UU
No. 26/2000 dalam pasal 1 ayat (4). Tanggung jawab indvidual ini ditegaskan bahwa
tanggung jawab dikenakan terhadap semua orang namun tidak dapat dikenakan
kepada pelaku yang berusia dibawah 18 tahun. Ketentuan ini sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam Statuta Roma yang juga mengatur tentang tangung jawab
individual dan pembatasan atas tanggung jawab atas keadaan tertentu.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa latar belakang adanya Pengadilan Hak Asasi Manusia?
2. Apa saja tujuan Pengadilan Hak Asasi Manusia?
3. Apa Karakter dan keberadaan dari Pengadilan Hak Asasi Manusia?
4. Bagaimana Kewenangan dari Pengadilan Hak Asasi Manusia?
5. Apa saja dasar hukum tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia?

C. TUJUAN PEMBAHASAN
1. Mengetahui latar belakang dari adanya Pengadilan Hak Asasi Manusia?
2. Mengetahui tujuan dari Pengadilan Hak Asasi Manusia?
3. Mengetahui Karakter dan keberadaan dari Pengadilan Hak Asasi Manusia?
4. Mengetahui Kewenangan dari Pengadilan Hak Asasi Manusia?
5. Mengetahui dasar hukum tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia?
BAB II

PEMBAHASAN

A. LATAR BELAKANG ADANYA PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

Masuknya era reformasi menjadikan semakin meningkatnya tuntutan


terhadap penyelesaian berbagai pelanggaran HAM yang terjadi dan adanya
perubahan di tataran instrumental untuk mendorong penegakan hukum dan
penghormatan atas hak asasi manusia. Salah satu instrumen penting yang lahir dalam
masa reformasi ini adalah munculnya mekanisme penyelesaian kasus pelanggaran
hak asasi manusia melalui pengadilan Hak Asasi Manusia (Pengadilan HAM).1

Perkembangan HAM secara internasional terjadi stelah dunia mengalami


kehancuran luar baiasa akibat Perang Dunia ke II. Terbentuknya Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai organisasi internasional pada tahun 1945 tidak
dipungkiri memiliki pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan HAM
dikemudian hari. Hal itu antara lain, ditandai dengan adanya pengakuan didalam
Piagam PBB sendiri (United Nations Charter) akan eksistensi HAM dan tujuan
didirikannya PBB sendiri yaitu dalam rangka mendorong penghormatan terhadap
HAM secara internasional. Kerana banyak pelanggaran HAM, maka banyak sekali
pula tekanan-tekanan, baik dari dalam negeri maupaun dari luar negeri agar ada
perlindungan HAM di Indonesia

Orde baru yang berkuasa selama 33 tahun (1965-1998) telah banyak dicatat
melakukan pelanggaran-pelanggaran HAM. Orde baru yang memerintah secara
otoriter selama lebih dari 30 tahun telah melakukan berbagai tindakan pelanggaran
HAM karena perilaku negara dan aparatnya.

Sivfian dan Sumartono yang menggolongkan ada sepuluh pelanggaran HAM


berat dalam periode 1945-1998 yang meliputi:

1
Zainal Abidin, “ Pengadilan Hak Asasi Manusia Di Indonesia: Regulasi, Penerapan Dan
Perkembangannya”, Jurnal Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, September 2014.Hal 1.
1. Ekses Demokrasi Terpimpin (antara lain penahanan tokoh Masyumi/PSI
tanpa diadili);
2. Pembantaian 1965/1966;
3. Penahanan politik di kamp Pulau Buru (1969-1979);
4. Kasus Timor-Timur (serangan 7 Desember 1975);
5. Kasus Aceh;
6. Kasus Irian Jaya;
7. Penembak Misterius (Petrus);
8. Kasus Tanjung Priok 1984;
9. 27 Juli 1996;
10. Seputar kerusuhan Mei 1998. 2

Kondisi ini menjadi sorotan dunia internasional terhadap Indonesia


sehubungan dengan maraknya pelanggaran HAM yang terjadi kian menguat terlebih
sorotan atas pertanggungjawaban pelanggaran HAM yang terjadi khususnya di
Timor-timur selama pra dan pasca jajak pendapat belum ada yang terselesaikan.

Lahirnya mekanisme pengadilan HAM dipercepat adanya desakan dari


Komisi Tinggi HAM PBB tahun 1999, akibat dari adanya dugaan Pelanggaran HAM
yang berat di Timor-Timur selama proses jajak pendapat tahun 1999. Desakan
tersebut mendorong pemerintah Indonesia dibawah Presiden Habibie menerbitkan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 1 Tahun 1999, yang
diumumkan Presiden pada tanggal 8 Oktober 1999, tiga hari menjelang pidato
pertanggungjawaban di MPR. Terbitnya Perppu ini setidaknya menunjukkan kepada
dunia internasional adanya kemauan pemerintah Indonesia untuk membentuk
pengadilan HAM di tingkat domestik. Namun, kehadiran Perpu ini ditolak oleh DPR
dalam sidang paripurna di bulan Maret 2000, karena dianggap secara konstitusional
tidak memiliki alasan kuat berkaitan dengan kegentingan yang memaksa.3

2
Sivfian Hendra Legowo, IG.Krisnadi, Hendro Sumartono, “ Dinamika Politik Rezim Orde Baru di
Indonesia Studi Tentang Kegagalan Konsolidasi Politik Rezim Orde Baru Tahun 1990-1996”. Jurnal
Publika Budaya Volume 1 November 2013 Universitas Jember. Hal. 16-24
3
Zainal Abidin, “ Pengadilan Hak Asasi Manusia Di Indonesia: Regulasi, Penerapan Dan
Perkembangannya”, Jurnal Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, September 2014.Hal 2.
Dalam waktu kurang dari dua minggu sejak penolakan pihak DPR,
pemerintah mengajukan Rancangan Undang-undang Pengadilan HAM. Tekanan atas
kemungkinan pembentukan pengadilan internasional memaksa pemerintah untuk
mengajukan rancangan legislasi baru menggantikan Perppu ini.

Dalam keterbatasan waktu inilah proses pembahasan Undang-undang No. 26


tahun 2000 berjalan. RUU ini dibahas hanya dalam waktu kurang dari tujuh bulan,
pada bulan November tahun 2000 DPR mengesahkan RUU tersebut, yang kemudian
menjadi UU No. 26 tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM. Berdasarkan UU No.
26/2000.

Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada dibawah


peradilan umum,dan merupakan lex specialis dari Kitab Undang Hukum Pidana.
Pengadilan ini dikatakan khusus karena dari segi penamaan bentuk pengadilannya
sudah secara spesifik menggunakan istilah Pengadilan HAM dan kewenangan
pengadilan ini juga mengadili kejahatan-kejahatan tertentu. Kejahatan-kejahatan
yang merupakan yurisdiksi pengadilan HAM ini adalah kejahatan genosida dan
kejahatan terhadap kemanusiaan yang keduanya merupakan pelanggaran HAM yang
berat.

B. TUJUAN PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA


Lembaga pengadilan hak asasi manusia merupakan pengadilan khusus yang
berada dalam lingkungan Peradilan Umum yang dibentuk berdasarkan Undang-
Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan hak asasi manusia. Pembentukan
pengadilan hak asasi manusia merupakan wujud nyata yang dilakukan pemerintah
Indonesia dalam rangka perlindungan terhadap hak asasi manusia dari segala
ancaman mengingat bahwa hak asasi manusia merupakan hak asasi yang bersifat
fundamental yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Perlindungan
terhadap hak asasi manusia yang dimiliki oleh warga negara indonesia merupakan
kewajiban konstitusional negara
Pembentukan dari Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000, Tentang
pengadilan Hak Asasi Manusia memiliki tujuan antara lain:4

1. Tujuan idiil :
 Untuk ikut memelihara perdamaian dunia
 Menjamin pelaksanaan Hak Asasi Manusia
 Memberi perlindungan, kepastian, keadilan dan perasaan perorangan
ataupun masyarakat.
2. Tujuan praktis
Untuk menyelesaikan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat karena
extra ordinary crimes dan berdampak luas, pada tingkat nasional mapun
internasional. Perkara yang diadili dalam Pengadilan Hak Asasi Manusia
bukan merpakan tindak pidana yang diatur dalam KUHP, melainkan perbatan
yang menimbulkan korban dan kerugian yang sangat besar, dan
mengakibatkan perasaan tidak aman, baik terhadap perseorangan maupun
masyarakat. Oleh karena itu, keadaan perlu dipulihkan ntuk mewujudkan
supremasi hukum untuk mencapai kedamaian, ketentraman, keadilan, dan
kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia.

C. KARAKTER DAN KEBERADAAN DARI PENGADILAN HAK ASASI


MANUSIA

Peradilan Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan pilar penting dalam sistem
hukum Indonesia yang bertujuan untuk menjaga dan melindungi hak asasi manusia
warga negara. Makalah ini akan membahas karakteristik atau ciri-ciri utama dari
peradilan HAM di Indonesia, yang mencakup independensi, struktur multilevel, dan
mekanisme pengawasan. Kami juga akan menganalisis bagaimana karakteristik-
karakteristik ini tercermin dalam sistem peradilan HAM Indonesia.

1. Independensi Peradilan HAM

Independensi adalah karakteristik utama peradilan HAM di Indonesia. Hal


ini menjamin bahwa hakim-hakim yang menangani kasus-kasus HAM dapat

4
DR. Binsar Gultom, SH, SE, MH., Pelanggaran HAM Dalam Hukum Keadaan Darurat Di Indonesia,
PT. Gramedia, Jakarta 2010. Hal 237.
bertindak secara bebas dan tanpa intervensi politik atau tekanan eksternal.
Independensi adalah prasyarat penting untuk memastikan bahwa peradilan HAM
dapat beroperasi sesuai dengan hukum dan prinsip-prinsip HAM.

Independensi peradilan HAM tercermin dalam berbagai aspek:


a. Pengangkatan Hakim: hakim-hakim peradilan HAM harus diangkat
dan diberhentikan berdasarkan kualifikasi dan prosedur yang
transparan dan tidak memihak. Ini dimaksudkan untuk menghindari
campur tangan politik dalam pengangkatan hakim.
b. Yurisdiksi Khusus: pengadilan HAM memiliki yurisdiksi khusus
untuk menangani kasus-kasus pelanggaran HAM. Ini
memungkinkan mereka untuk fokus secara khusus pada masalah-
masalah HAM tanpa terganggu oleh kasus-kasus lain.
2. Struktur Multilevel Peradilan HAM

Peradilan HAM di Indonesia memiliki struktur berlapis yang mencakup


tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Struktur ini memiliki beberapa
manfaat:5

a. Akses Keadilan: Struktur multilevel memastikan bahwa individu yang


mengalami pelanggaran HAM dapat mengajukan pengaduan atau
mengajukan kasus mereka di tingkat yang paling relevan dengan lokasi
kejadian. Ini mempermudah akses keadilan bagi masyarakat di berbagai
wilayah Indonesia.
b. Penanganan Kasus Lokal: Tingkat kabupaten/kota dalam struktur ini
memungkinkan penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi
di tingkat lokal. Ini penting untuk memastikan bahwa kasus-kasus kecil
dan besar dapat ditangani dengan tepat.

5 Situmorang, M., & Adimuliya, D. (2017). Hukum Hak Asasi Manusia di Indonesia. Penerbit Kencana.
3. Mekanisme Pengawasan dalam peradilan HAM
Peradilan HAM di Indonesia didukung oleh mekanisme pengawasan yang
kuat, termasuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan
Mahkamah Konstitusi.

a. Komnas HAM: Komnas HAM memiliki peran penting dalam pemantauan,


pelaporan, dan perlindungan HAM di Indonesia. Mereka memiliki
wewenang untuk menyelidiki kasus-kasus pelanggaran HAM,
memberikan rekomendasi, dan meningkatkan kesadaran tentang HAM di
masyarakat. Komnas HAM memastikan bahwa negara mematuhi
kewajibannya dalam melindungi HAM.
b. Mahkamah Konstitusi: Mahkamah Konstitusi memiliki peran dalam
memeriksa konstitusionalitas undang-undang dan peraturan yang
berkaitan dengan HAM. Mereka memastikan bahwa ketentuan-ketentuan
tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip HAM yang tercantum dalam
konstitusi. Mahkamah Konstitusi juga memastikan bahwa undang-undang
yang bertentangan dengan HAM dapat diuji.

Keberadaan Peradilan HAM di Indonesia

Keberadaan peradilan HAM sangat penting dalam menjaga dan


melindungi hak asasi manusia. Peradilan HAM dapat berperan sebagai pengawal
terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh pemerintah atau pihak
swasta. Selain itu, peradilan HAM juga dapat memberikan jaminan bagi individu
atau kelompok yang merasa hak-haknya telah dilanggar untuk mendapatkan
keadilan. Di Indonesia, keberadaan peradilan HAM diatur dalam Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia 6dan Peraturan Mahkamah
Konstitusi Nomor 1 Tahun 2012 tentang Penanganan Pengujian Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.7 Di
Indonesia, terdapat beberapa lembaga yang berperan dalam peradilan HAM, antara
lain:

6
Lihat dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
7
Lihat dalam Peraturan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Nomor 3 Tahun 2019 tentang
Tata Cara Penanganan Pengaduan Pelanggaran Hak Asasi Manusia.
1. Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia) adalah lembaga
independen yang dibentuk oleh pemerintah untuk melindungi, mempromosikan,
dan menegakkan hak asasi manusia di Indonesia. Komnas HAM memiliki
kewenangan untuk melakukan penyelidikan, pengkajian, dan pengawasan
terhadap pelanggaran HAM.
2. Mahkamah Konstitusi (MK) adalah lembaga peradilan yang bertugas untuk
menyelesaikan sengketa hasil pemilihan umum dan sengketa konstitusi. MK
juga memiliki kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945.
3. Pengadilan HAM adalah pengadilan yang khusus dibentuk untuk mengadili
kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat, seperti kasus kejahatan terhadap
kemanusiaan, genosida, dan kejahatan perang.8
4. Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi juga dapat mengadili kasus-kasus
pelanggaran HAM yang tidak masuk dalam kategori berat.
Selain lembaga-lembaga tersebut, terdapat juga organisasi-organisasi
masyarakat sipil yang berperan dalam memperjuangkan hak asasi manusia dan
memantau pelaksanaan peradilan HAM di Indonesia, seperti Amnesty
International Indonesia, KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban
Tindak Kekerasan), dan LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Jakarta.

D. KEWENANGAN DARI PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

Kewenangan pengadilan hak asasi manusia adalah salah satu aspek penting
dalam sistem perlindungan hak asasi manusia di banyak negara. Pengadilan hak asasi
manusia memiliki peran utama dalam menentukan apakah pemerintah atau individu
telah melanggar hak asasi manusia seseorang.

Lingkup wewenang dari Pengadilan Hak Asasi Manusia tertuang dalam


Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Hak Asasi Manusia yakni pada pasal
4 - 6, sebagai berikut :

8
Kusuma, A. (2016). Peradilan HAM di Indonesia: Antara Harapan dan Kenyataan. Jurnal Konstitusi,
13(2), 327-349.
Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara
9
pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Menurut pasal ini, Pengadilan HAM
bertugas dan berwenang memeriksa serta memutus perkara pelanggaran hak asasi
manusia yang berat. Poin utama di sini adalah bahwa Pengadilan HAM memiliki
peran khusus dalam menangani kasus-kasus yang terkait dengan pelanggaran hak
asasi manusia yang memiliki tingkat keparahan atau serius.

Pengadilan HAM berwenang juga memeriksa dan memutus perkara


pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial
wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia.10 Hal ini
menyatakan bahwa ketentuan yang signifikan karena menguraikan bahwa
Pengadilan HAM juga berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak
asasi manusia yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara
Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia. Ini berarti bahwa Pengadilan HAM
memiliki wewenang untuk mengadili kasus pelanggaran hak asasi manusia yang
melibatkan warga negara Indonesia, meskipun pelanggaran tersebut terjadi di luar
negeri.

Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara


pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh seseorang yang
berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun pada saat kejahatan dilakukan.11 Pasal 6
mengatur batasan usia untuk pemidanaan. Menurut ketentuan ini, Pengadilan HAM
tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia
yang berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur di bawah 18 (delapan belas)
tahun pada saat kejahatan dilakukan. Dengan kata lain, jika pelaku pelanggaran hak
asasi manusia yang berat pada saat kejahatan terjadi adalah seorang anak di bawah
usia 18 tahun, kasus tersebut tidak akan diperiksa oleh Pengadilan HAM, tetapi akan
dirujuk ke sistem peradilan anak sesuai dengan hukum yang berlaku.

9
Pasal 4 Undang-Undang No 26 Tahun 2000 tentang Hak Asasi Manusia
10
Pasal 5 Undang-Undang No 26 Tahun 2000 tentang Hak Asasi Manusia
11
Pasal 6 Undang-Undang No 26 Tahun 2000 tentang Hak Asasi Manusia
Dengan demikian, pengaturan mengenai lingkup wewenang Pengadilan
HAM telah diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000
tentang Hak Asasi Manusia.

E. DASAR HUKUM TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

Pengadilan HAM adalah pengadilan yang merupakan pengkhususan


(diferensiasi/spesialisasi) dari pengadilan di lingkungan peradilan umum yang tugas
dan wewenangnya hanya memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang
berat saja.

Undang-Undang nomor 26 tahun 2000 yang menjadi dasar utama tentang


Pengadilan Hak Asasi Manusia mengatur pembentukan dan yurisdiksi pengadilan
HAM yang memiliki tugas khusus untuk mengadili kasus-kasus pelaranggaran Hak
Asasi Manusia.

Penjelasan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 disebutkan bahwa


dibentuknya pengadilan HAM tersebut dilaksanakan atas pertimbangan, sebagai
berikut:

1. Pelanggaran HAM yang berat merupakan “extraordinary crimes” dan


berampak secara luas, baik pada tingkat nasional maupun internasional dan
bukan merupakan tindak pidana yang diatur KUHP serta menimbulkan
kerugian, baik materil maupun imateril yang mengakibatkan perasaan tidak
aman, baik terhadap perseorangan maupun masyarakat, sehingga perlu segera
dipulihkan dalam mewujudkan supremasi hukum untuk mencapai
kedamaian, ketertiban, ketentraman, keadilan, dan kesejahteraan bagi seluruh
masyarakat Indonesia.
2. terhadap perkara pelanggaran HAM yang berat diperlukan langkah-langkah
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan yang bersifat khusus,
yaitu:
a. Diperlukan penyelidikan dengan membentuk tim ad hoc, penyidik ad
hoc, penuntut umum ad ho, dan lehakiman ad hoc
b. Diperlukan penegasan bahwa penyelidikan, hanya dilakukan oleh
komnas HAM, sedangkan penyidik tidak berwenang menerima laporan
atau pengaduan sebagaimana diatur dalam KUHAP
c. Diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu untuk
melakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan.
d. Diperlukan ketentuan mengenai perlindungan korban dan saksi

Diperlukan ketentuan yang menegaskan tidak ada kedaluwarsa bagi


pelanggaran HAM yang berat.12

12
R. Wiyono, Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia Edisi kedua, (Jakarta: Kencana, 2013)
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Sejak tahun 2000, dengan diundangkannya UU No. 26 tahun 2000 tentang


pengadilan HAM, Indonesia mempunyai mekanisme untuk melakukan penuntutan
data kasus-kasus kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida. Hadirnya
mekanisme ini membuka peluang dihadapkannya pelaku pelanggaran HAM berat
yang sebelumnya menikmati impunitas ke depan pengadilan. Pengadilan ini juga
memberikan mekanisme untuk pemenuhan hak-hak korban yakni pengaturan tentang
kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Namun, Putusan-putusan pengadilan HAM
sampai saat ini secara umum belum memberikan hasil sebagaimana harapan banyak
pihak sebagaimana saat awal pengadilan ini diupayakan. Berbagai faktor memang
mempengaruhi perjalanan pengadilan HAM di Indonesia, selain regulasi juga faktor-
faktor lainnya, oleh karenanya untuk perkembangan kedepan penting untuk
melakukan perbaikan dalam tataran regulasi sebagai landangan pengadilan HAM
yang kuat

B. SARAN
Oleh karena itu, tentunya dalam Pengadilan Hak Asasi Manusia sangatlah
penting untuk menindak lanjutin kasus-kasus kejahatan baik kemanusiaan maupun
genosida. Sebagai makhluk sosial kita harus mampu mempertahankan dan
memperjuangkan Hak Asasi Manusia kita sendiri. Dan jangan sampai pula HAM kita
dilanggar dan diinjak-injak oleh orang lain. Oleh sebab itu kita harus mampu
menyelaraskan dan mengimbangi antara HAM kita dengan orang lain.
DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Zainal. “ Pengadilan Hak Asasi Manusia Di Indonesia: Regulasi, Penerapan Dan
Perkembangannya”. Jurnal Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, (2014).

Gultom, Binsar. Pelanggaran HAM Dalam Hukum Keadaan Darurat Di Indonesia,


Jakarta: PT. Gramedia, 2010.

Legowo, Sivfian Hendra, IG.Krisnadi, Hendro Sumartono, “ Dinamika Politik Rezim


Orde Baru di Indonesia Studi Tentang Kegagalan Konsolidasi Politik Rezim Orde
Baru Tahun 1990-1996”. Jurnal Publika Budaya 1,(2013).

Kusuma, A. (2016). Peradilan HAM di Indonesia: Antara Harapan dan Kenyataan. Jurnal
Konstitusi, 13 (2).

Peraturan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Nomor 3 Tahun 2019
tentang Tata Cara Penanganan Pengaduan Pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Situmorang, M., & Adimuliya, D. (2017). Hukum Hak Asasi Manusia di Indonesia.
Penerbit Kencana.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Undang Undang No 26 Tahun 2000 tentang Hak Asasi Manusia

Wiyono, R. Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia Edisi kedua, Jakarta: Kencana,
2013.

Anda mungkin juga menyukai