Anda di halaman 1dari 20

“MAKALAH BANTUAN HUKUM”

DOSEN PENGAMPU : Febri Handayani S.H.I,S.H,M.H

DI SUSUN OLEH :

Dhea Dwi Aldhiesti ( 11920724134 )

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIIM RIAU

TA. 2021/2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,


Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan saya kemudahan sehingga saya
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami
tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-
natikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik
itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah sebagai tugas dari mata Bantuan Hukum dengan judul “Kejahatan-
Kejahatan Pidana Internasional”.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini
penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada dosen
pengajar mata kuliah Bantuan Hukum yang telah membimbing kami dalam menulis makalah ini.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Pekanbaru, 15 Mei 2022


 

Penyusun

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................................................ii
DAFTAR ISI..................................................................................................................................iii
BAB I...............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...........................................................................................................................1
I. Latar Belakang.........................................................................................................................1
II. Rumusan Masalah.................................................................................................................2
III. Tujuan Pembuatan Makalah.................................................................................................3
BAB II.............................................................................................................................................4
PEMBAHASAN..............................................................................................................................4
I. Pengertian Hukum Pidana Internasional...............................................................................4
II. Hak Asasi Manusia................................................................................................................5
III. Contoh Kasus........................................................................................................................6
IV. Analisis Kasus.......................................................................................................................7
BAB III..........................................................................................................................................16
PENUTUP.....................................................................................................................................16
I. KESIMPULAN.....................................................................................................................16
II. SARAN...............................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................17

iii
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang

Hadirnya sebuah peradilan pidana internasional dilatarbelakangi oleh keinginan untuk


mengadili para penjahat kemanusiaan. Sebelum adanya pengadilan pidana internasional
beberapa peradilan sudah pernah didirikan untuk mengadili penjahat perang terkhusus
setelah perang dunia kedua terjadi. Nuremberg Trial dan Tokyo Trial dibentuk untuk
mengadili para pelaku kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi
pada perang dunia kedua saat itu.

Hal tersebut menjadi batu penjuru atau the corner stone bagi perkembangan hukum
pidana internaional. sehingga perserikatan bangsa-bangsa (PBB) dengan beberapa negara
memikirkan kembali untuk membentuk sebuah pegadilan pidana internasional yang dulu
gagal untuk digagas karena suatu sebab. Upaya kali ini juga sempat surut lagi pada masa
perang dingin, tapi kembali menghangat karena adanya pembantaian ribuan manusia akibat
perang saudara atau suku etnis di Rwanda yang melahirkan ICTR (International Criminal
Tribunal for the former Rwanda) dan pembasmian etnis di Yugoslavia yang melahirkan
ICTY (International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia) pada tahun 90-an.
Sehingga pada tahun 1999 di Roma, PBB dengan konferensinya menerima sebuah statuta
yang menjadi dasar pembentukan pengadilan pidana internasional (International Criminal
Court selanjutnya ditulis dengan ICC) yang dikenal sebagai statuta Roma.

Kasus – kasus kejahatan yang terjadi di lingkungan masyarakat makin lama semakin
mengerikan, kualitas maupun kuantitas kejahatan semakin meningkat, kasus bom,
perampokan nasabah, pembunuhan dan jenis kejahatan lainnya seperti perkosaan disertai
pembunuhan, perdagangan wanita guna dijadikan pelacur, menunjukan bahwa kejahatan
semakin berkembang dan mengalami peningkatan.

Apabila melihat sejarah kehidupan manusia, kejahatan sudah ada sejak manusia
diciptakan, dimulai dari kejahatan yang dilakukan anak adam terhadap saudaranya, oleh
karena itu kejahatan sering dikatakan sebagai the oldest of social problem, karena kejahatan
merupakan salah satu bentuk dari perilaku menyimpang yang terjadi di masyarakat.

1
Kejahatan yang sering menimpa atau korbannya kaum wanita adalah kejahatan
kesusilaan, dari mulai pelecehan seksual sampai dengan perkosaan. Merebaknya kejahatan
kesusilaan sudah sangat menghawatirkan. Data yang sempat direkam pada tahun 1990 an
saja, dalam catatan kepolisian rata-rata selama satu hari terjadi lima kasus perkosaan di
Indonesia, ini tidak termasuk kasus yang tidak dilaporkan kepada kepolisian dengan
berbagai alasan, disamping itu maraknya hubungan seksual antara muda mudi atau kaum tua
secara bebas adalah suatu kondisi yang sangat menghawatirkan adalah salah satu puncak
dari semakin maraknya pelanggaran terhadap hukum dan moralitas masyarakat.

Kekerasan terhadap wanita biasa dikategorikan sebagai violence against women, gender
based violence, gender violence dan sebagainya, perhatian dunia internasional terhadap
kejahatan kekerasan terhadap wanita ini direspon oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam
kongresnya tahun 1994 tentang Penghapusan Tindak Kekerasan terhadap perempuan. Dalam
bagian konsideran deklarasi tersebut antara lain dikatakan bahwa tindak kekerasan terhadap
perempuan adalah perwujudan ketimpangan historis dari hubungan-hubungan kekuasaan
antara kaum laki-laki dan perempuan yang telah mengakibatkan dominasi dan diskriminasi
terhadap kaum perempuan oleh kaum laki-laki dan hambatan bagi kemajuan terhadap
mereka. Selanjutnya dikatakan pula bahwa tindakan kekerasan terhadap perempuan
merupakan salah satu mekanisme sosial penting yang menempatkan kaum perempuan dalam
posisi sub ordinasi di hadapan kaum laki-laki.

II. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang penulis uraikan sebelumnya, maka yang menjadi
rumusan masalah dalam penulis ini adalah :

1) Apakah yang dimaksud dengan hukum pidana internasional ?


2) Bagaimanakah analisis hukum pidana internasional terkait pada kejahatan
genosida dan pelanggaran HAM terhadap Etnis Rohingnya?

2
III. Tujuan Pembuatan Makalah

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:

1) Untuk mengetahui masalah apa sajakah hukum pidana internasional terkait pada
kejahatan Genosida dan pelanggaran HAM terhadap Etnis Rohingnya yang diatur
dalam Statuta Romma (ICC)
2) Untuk mengetahui pertanggungjawaban terhadap Etnis Rohingnya yang diatur dalam
Statuta Romma (ICC)
3) Untuk memperjelas dan memberikan pemahaman pentingnya hukum di masyarakat.

3
BAB II
PEMBAHASAN

I. Pengertian Hukum Pidana Internasional

Istilah hukum pidana internasional semula diperkenalkan dan dikembangkan oleh


pakar-pakar hukum internasional dari Eropa daratan seperti Freiderich Meili pada tahun
1910 dari Swiss, Georg Schwarzenberger pada tahun 1950 dari Jerman, Gerhard Mueller
pada tahun 1965 dari Jerman, J.P Francois pada tahun 1967, Rolling dan Van Bemmelen
pada tahun 1979 dari Belanda, kemudian diikuti oleh pakar hukum dari Amerika Serikat
seperti Edmund Wise pada tahun 1986. Pidana internasional menunjukkan adanya suatu
peristiwa kejahatan yang sifatnya internasional, yaitu kejahatan-kejahatan yang diatur dalam
konvensi-konvensi internasional sebagai tindak pidana internasional.

Adapun yang dimaksud dengan hukum pidana internasional adalah hukum yang
menentukan hukum pidana nasional yang akan diterapkan terhadap kejahatan-kejahatan
yang nyata-nyata telah dilakukan bilamana terdapat unsur-unsur internasional didalamnya
antara lain individu, Negara, dan badan swasta. Hukum pidana internasional sebagai cabang
ilmu baru dalam sejarah perkembangannya tidak terlepas dan bahkan berkaitan erat dengan
sejarah perkembangan Hak Asasi Manusia. Sedangkan Hukum pidana adalah hukum yang
mengatur tentang pelanggaran dan kejahatan – kejahatan terhadap kepentingan umum serta
bagi pelanggarnya diancam dengan hukum yang berupa suatu penderitaan atau siksaan.

ICC adalah pengadilan permanen dan independen yang mampu melakukan penyelidikan
dan mengadili setiap orang yang melakukan pelanggaran berat terhadap kejahatan
internasional. Hukum pidana internasional memiliki sumber utama yaitu Statuta Roma.
Statuta Roma 1998 tentang pendirian Internasional Criminal Court, Mahkamah Pidana
Inernasional yang bersifat permanen merupakan dasar hukum bagi pembentukan dan
keberlakuan dari pengadilan pidana internasional atau Inter national Criminal Court (ICC).
Sejak di sahkan tanggal 17 juli 1998, statuta roma telah mengalami perubahan melalui
review conference yang diadakan di kampala dari tanggal 21 mei-11 juni 2010. Genosida
yang diartikan sebagai pembunuhan dengan sengaja, penghancuran atau pemusnahan

4
kelompok atau anggota kelompok tersebut, pertama kali dipertimbangkan sebagai
subkatagori dari kejahatan tehadap kemanusiaan.

Data dari Amnesty International 2011-2017, setelah konflik ini mulai berkecamuk,
orang-orang Rohingnya telah mengalami penderitaan yang cukup panjang akibat
pelanggaran Hak Asasi Manusia yng dilakukan oleh Pemerintah Junta Myanmar. Kebebasan
bergerak orang Rohingya sangat terbatas, mereka juga mengalami berbagai bentuk
pemerasan dan dikenakan pajak secara sewenang-wenang, peramasan tanah, pengusiran
paksa, dan penghancuran rumah dan penenaan biaya administrasi yang tinggi pada
pernikahan.

II. Hak Asasi Manusia

Hak asasi manusia membentuk serangkaian hak yang berpegang pada rinsip keberadaan
manusia sebagai satu-satunya makhluk Tuhan dan menjadi karunia tuhan yang harus di
hormati, di tegakkan, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan siapapun untuk
kehormatan dan perlindungan martabat dan martabat manusia.

Esensi integritas tubuh wanita sebagai korban tidak terpenuhinya janji untuk menikah
menjadi kesatuan dan kelengkapan pemikiran, perasaan dan tubuh manusia dengan
penerimaan diri sebagai individu lengkap yg melekat padanya kolektif karakteristik fisik,
psikologis, emosional, aspirasi dan pencapaian diri untuk mengembangkan konsep diri
wanita secara keseluruhan untuk berkembang. Di sejalan dengan fakta di atas, rumus
penelitian membentuk bagaimana kekuatan yang di ikat manusia hukum yang tepat dalam
memberikan perlindungan hukum terhadap integritas tubuh perempuan sebagai korban tidak
memenuhi janji untuk menikah. penelitian menunjukkan bahwa intgritas tubuh wanita
sebagai korban tidak terpenuhi janji untuk menikah harus mendapat jaminan perlindungan
hukum karena tubuh wanita membentuk bagian integral dan substansi kemanusiaan.

Pernyataan umum tentang hak asasi manusia mengacu pada deklarasi yang dirumuskan
oleh Amerika. Bangsa-bangsa pada tahun 1946, di mana pernyataan itu mencakup
perlindungan terhadap hak asasi manusia dan kemerdekaan. Deklarasi ini mencakup
kebebasan mendasar bagi siapa pun, pria dan wanita-wanita, tanpa diskriminasi apapun.
Intinya adalah bahwa Hak Asasi Manusia telah ada sejak itu seseorang hidup dalam Rahim

5
ibu, lahir, seumur hidup, dan sampai mati. Hak asasi manusia adalah terlahir bersama
manusia. Dengan kata lain, hak asasi manusia sudah ada sejak manusia ada.

III. Contoh Kasus

PEMBUNUHAN DAN PEMERKOSAAN OLEH MYANMAR TERHADAP ETNIS


ROHINGYA ‘SAMA DENGAN KEJAHATAN KEMANUSIAAN’

Kantor hak asasi manusia PBB mengatakan militer Myanmar telah melakukan
pembunuhan masal dan pemerkosaan berkelompok terhadap etnik minoritas Muslim
Rohingya. Dikatakannya kekerasan yang dialami oleh kelompok Rohingya di Myanmar
kemungkinan besar sama dengan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Apa yang terjadi kemungkinan besar sama dengan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pembersihan etnik adalah istilah yang tidak sering digunakan oleh Kantor Hak Asasi
Manusia karena itu bukanlah istilah yang mempunyai definisi jelas dalam hukum hak asasi
manusia internasional.

“Namun demikian pelanggaran sistematis dan meluas seperti ini yang telah kami
dokumentasikan dapat digambarkan sebagai pembersihan etnik,” kata juru bicara Kantor
HAM PBB, Ravina Shamdani.

Dengan mengutip pernyataan Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia PBB, Zeid Ra’ad
Al Hussein, Shamsadani menyebut contoh-contoh insiden yang dialami oleh para saksi mata
terkait dengan dugaan serangan brutal.

“Seorang ibu menceritakan bagaimana putrinya yang berusia lima tahun berusaha
melindunginya dari aksi pemerkosaan, ketika seorang pria mengambil pisau panjang dan
membunuhnya, menggorok lehernya.

Dalam kasus lain, seorang bayi delapan bulan dilaporkan dibunuh ketika ibunya
diperkosa beramai-ramai oleh lima aparat keamanan.” Ungkapnya.

Menanggapi laporan PBB, pemerintah Myanmar mengatakan akan menanggapi


tuduhan-tuduhan itu secara serius. Menurut seorang juru bicara, pemerintah akan mengambil
tindakan jika ditemukan bukti-bukti pelanggaran.

6
Laporan PBB ini disusun setelah badan itu melakukan wawancara dengan lebih dari 200
orang Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar ke Negara tetangga, Bangladesh.

Sejauh ini lebih dari 65.000 orang Rohingya melarikan diri kw Bangladesh sejak
operasi pemulihan keamanan di Rakhine, tempat tinggal mayoritas kelompok Rohingya di
Myanmar.

Operasi itu dilancarkan setelah terjadi serangan terhadap pos-pos perbatasan Oktober
lalu. Otoritas Myanmar meyakini kelompok militant Rohingya melakukan serangan itu

Mahkamah Pidana Internasional, ICC mengecam kejahatan yang dilakukan militer


Myanmar dan kelompok Buddha ekstrem terhadap Muslim Rohingya dan pengusiran paksa
mereka ke Bangladesh.

Fars News melaporkan, Mahkamah Pidana Internasional, Jumat (7/9/2018)


mengumumkan, ICC akan segera mengkaji kejahatan yang dilakukan militer Myanmar
terkait aksi genosida di Negara bagian Rakhine, barat Myanmar dan pengusiran paksa atas
mereka ke Bangladesh.

Keputusan ini diambil sepekan setelah delegasi pencari fakta PBB menurut langkah
hukum terhadap para perwira tinggi militer Myanmar atas kasus pelanggaran hak asasi
manusia, pembunuhan missal dan kejahatan terhadap Muslim Rohingya.

Tim pencari fakta Dewan HAM PBB ini meminta agar pengiriman senjata ke Myanmar
dihentikan.

IV. Analisis Kasus

Kasus Rohingya merupakan suatu kasus penindasan dan kekerasan yang cukup menyita
perhatian di dunia yang dimana itu dilakukan oleh Umat Budha Myanmar terhadap Umat
Muslim Rohingya. Kasus Rohingya dapat dikatakan sebagai Pelanggaran HAM, yang mana
merupakan suatu pelanggaran yang amat sering terjadi di dalam kehidupan bermasyarakat.
Kasus Rohingya ini merupakan pelanggaran HAM terhadap warga muslim Rohingya yang
mendapat perlakuan diskrimatif dari pemerintah Myanmar. Pelanggaran HAM yang
dilakukan oleh pemerintah Myanmar kepada Umat Muslim Rohingya adalah dengan
melakukan pengusiran secara paksa yaitu dengan melakukan :

7
1) Etnis Rohinya tidak diakui kewarganegaraan sebagai warga negara Myanmar
Pada dasarnya setiap negara bebas untuk menentukan atau tidak menentukan
seseorang tersebut termasuk warga negaranya atau tidak. Hal ini didasarkan pada
asas Ius Soli dan Ius Sanguinis.
Asas Ius Soli berarti pewarganegaraan seseorang didasarkan daerah atau
Teritorial. Asas ini menentukan kewarganegaraan seseorang didasarkan pada
tempat yang dilahirkan, meskipun orang tuanya berasal dari Negara lain.
Sedangkan, Ius Sanguinis berarti kewarganegaraan berdasarkan pertalian darah atau
keturunan. Asas ini menentukan bahwa kewarganegaran seseorang didasarkan atas
kewarganegaraan orang tuanya sekalipun anak itu sendiri dilahirkan diluar
negaranya.
2) Adanya larangan untuk memeluk agama.
Pasal 18 Universal Declaration of Human Right dijelaskan bahwa setiap individu
mempunyai hak kebebasan untuk beragama. Tetapi etnis Rohingya tidak diberikan
kebebasan dalam menjalankan ibadahnya. Hal ini terlihat dari banyaknya masjid
yang di hancurkan dan dibakar.
3) Adanya perlakuan diskriminasi terhadap etnis Rohingya
Dalam ICESCR (International Convenant on Economic, Social and Culture
Right) yang merupakan perjanjian multilateral yang ditetapkan oleh Majelis Umum
Perserikatan Bangsa bangsa yang juga ditandangani dan diratifikasi salah satunya
oleh Myanmar, ini menjamin hak ekonomi, sosial dan budaya bagi setiap orang
dalam negara tersebut.

Dalam negara negara yang menandatangi dan meratifikasi perjanjian multilateral


ICESCR ini berarti bahwa menjamin hak ekonomi, sosial dan budaya bagi setiap orang
dinegara yang menandatangani dan meratifikasi, misalnya saja hak sosial dalam ICESCR
salah satunya adalah hak setiap orang atas standar kehidupan yang memadai bagi mereka
dan keluarga mereka, termasuk makanan, pakaian dan perumahan, perbaikan kondisi
kehidupan yang berkelanjutan dan hak untuk bebas dari kelaparan. Maka sudah seharusnya
Myanmar memenuhi kewajiban tersebut terhadap setiap orang di Negara Myanmar seperti
kaum muslim Rohingya tanpa membedakan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama
dan lain sebagainya.

8
Kasus tersebut juga mengundang para praktisi hukum untuk saling berargumen terkait
dengan kasus penindasan dan kekerasan yang dilakukan kepada Umat Muslim Rohingya,
diantaranya yaitu menurut Heru Susetyo seorang praktisi hukum yang peduli atas kezaliman
yang di derita umat maupun kelompok islam di berbagai tempat disamping itu beliau adalah
Sekertaris Program Pascasarjana Iniversitas Indonesia ini mendirikan Pusat Informasi dan
Advokasi Rohingya-Arakan (PIARA), menegaskan bahwa sejauh data data yang ia miliki
konflik di Rohingya selau vertikal tapi menjadi horizontal karena ada tokoh tokoh yang
tidak bertanggung jawab yaitu pihak pihak yang selama ini memprovokasi sehingga
timbulkekerasan yang seperti kemarin. Pandangan yang lebih jauh diungkap oleh Hendrajit,
Direktur Global Future Institute Jakarta. Hendrajit menolak bila konflik Rohingya dikatakan
sebagai konflik antar agama dan sebagai bentuk “genosida”, dalam hal ini yaitu “muslim
cleansing”. Hendrajit lebih cenderung kepada adanya tangan tangan asing yang bermain
pada konflik di Rohingya. Hendrajit berpendapat bahwa konflik Rohingya sebagai
pertarungan minyak dan gas bumi.

Pada tahun 1998 walaupun Myanmar menggunakan rezim otoriter militer yang
memimpin tetapi Myanmar menggunakan sistem pasar yang mana pada tahun itu
dikeluarkanlah sebuah undang undang yaitu The Union of Myanmar Foreign Invesment
Law. Undang Undang tersebut berlaku sebagai payung bagi sektor minyak dan gas alam
yang melibatkan pihak pihak asing. Cina dan beberapa negara diluar AS dan Eropa Barat
pada waktu itu terlihat lebih unggul sementara AS ketinggalan. Yang menarik adalah waktu
itu muslim di Arakan cenderung memberikan ruang bagi pendekatan symmetric Bill Clinton
yang diterapkan oleh Obama dan Hillary Clinton. Dengan dalih bahwa konflik wilayah itu
diperlukan suatu advokasi Hak Asasi Manusia sehingga LSM perlu masuk, dari sinilah
mereka masuk dengan mengusung konflik Islam dan Budha. padahal dibalik itu semua
mereka (perusahaan perusahaan asing) memiliki tujuan yang sama yaitu penguasaan gas
bumi.

Awalnya pada tahun 2005, perusahaan Cina mengadakan perjanjian dengan menanda
tangani sebuah kontrak dengan pihak Myanmar yang isinya memberikan perizinan pihak
perusahaan Cina untuk melakukan eksplorasi minyak di Myanmar. Di samping itu yang
menarik dari rezim militer di Myanmar hingga sekarang ini ternyata melibatkan beberapa

9
perusahaan perusahaan asing seperti Chevron AS maupun Total Perancis yang mana kedua
perusahaan ini merupakan perusahaan yang mengangkat isu Hak Asasi Manusia dalam hal
ini jelas mengandung unsur pertarungan bisnis yang bermain dibalik rezim militer Myanmar.

Konflik Rohingya yang mulai membumi ini juga mulai diketahui banyak pihak dan tak
sedikit yang mencium aroma politik dibalik konflik pembantaian kaum muslim di Rakhine
wilayah barat tersebut. Aroma politik tersebut tercermin dari adanya kehati hatian seorang
pejuang demokrasi Myanmar yaitu Aung San Suu Kyi, meskipun jauh sebelumnya kasus
tersebut berawal karena pemerkosaan terhadap perempuan pemeluk agama Budha oleh
seorang laki laki muslim. Dilihat dari Harian Republika Online pada tanggal 27 juli 2012
yang mana Aung San Suu Kyi enggan untuk menjawab terkait dengan pelanggaran yang
dilakukan militer Myanmar pada Rohingya. Kasus Rohingya meruak beberapa hari setelah
Aung San Suu Kyi menerima hadiah berupa perdamaian. Aung San Suu justru mengatakan
tidak tau terkait dengan apakah Rohinya termasuk orang Myanmar atau bukan. Setelah
dikeluarkannya pendapat tersebut hal ini semakin mengundang komentar pedas tetapi Aung
San Suu Kyi tetap bungkam yang mana itu justru menambah geram banyak pengamat dan
beranggapan bahwa betul ada unsur politik dibalik itu semua. Sikap kehati hatian tersebut
karena pada tahun 2015 Liga Nasional Demokrasi yang ia naungi akan maju dalam pemilu
di Myanmar. Menurut beberapa pakar yang melihatnya, Aung San Suu Kyi takut apabila ia
mendukung minoritas kaum Muslim Rohingya justru nantinya itu akan membawa pengaruh
negatif untuk kampanyenya. Dimungkinkan sikap hati hati Aung San Suu Kyi itu juga saat
dimintai argumen tentang konflik penindasan dan kekerasan yang menewaskan kaum
muslim di Rohinhya yang cukup banyak itu mungkin memang mempunyai alasan yang
cukup dalam posisinya sebagai pemimpin oposisinya di Myanmar. Sikap diamnya itu juga
berbuah pada ketidakpercayaannya beberapa pejuang demokrasi. Hal tersebut juga
menjadikan kelompok kelompok tertentu yng ragu untuk memilihnya sebab diamnya Aung
San Suu Kyi itu berlawanan dengan komitmen politik yang telah ia perjuangkan di
Myanmar selama ini.

Disamping itu juga ada kabar bahwa adanya dukungan asing berupa aliran dana untuk
Aung San Suu Kyi yang berlangsung selama ini yaitu dari Nation Endowment for
Democration (NED). NED didirikan pada tahun 1984 dengan dukungan bipartisan masa

10
pemerintahan Ronald Reagan yang mana tujuannya untuk mendorong infrastruktur politik di
seluruh dunia. Allan Weisten selaku presiden pertama NED menyatakan bahwa apa yang
dilakukan NED, secara diam diam telah dilakukan CIA 25 tahun yang lalu. Hal inilah yang
tertulis pada artikel Michael Barker yang mana ia adalah seorang kandidat Doktor di
Universitas Griffith, Australia.

Dari beberapa pernyataan sebelumnya dapat dikatakan bahwa dibalik bungkannya Aung
San Suu Kyi terkait dengan Kasus Rohingya ini menandakan jelas menandakan adanya
kepentingan politik yang sedang ia jalani. Hal tersebut juga menandakan bahwa dibalik itu
semua Aung San Suu Kyi merupakan kaki tangan dari CIA, dengan begitu Kasus Rohingya
tersebut juga ada keterlibatan CIA di dalamnya melalui Aung San Suu Kyi, yang mana
adalah seorang pejuang demokrasi yang seharusnya diharapkan dapat membantu Konflik
penindasan dan kekerasan di Rohingya.

Dalam hukum internasional dikenal dengan beberapa asas salah satunya adalah asas non
intervensi. Ketentuan dalam asas ini bahwa Negara tidak boleh melakukan campur tangan
(Intervensi) atas masalah yang terjadi pada Negara lain. Campur tangan (Intervensi)
diperbolehkan asal Negara yang bersangkutan menyetujuinya.

Yang mana negara atau pihak-pihak tertentu tidak boleh adanya campur tangan terhadap
urusan negara lain. Jika dilihat permasalahan Konflik Rohingya, ini menjadi besar
dikarenakan adanya keterlibatan pihak lain seperti CIA yang mana itu merupakan suatu
badan intelijen pemerintaha federal Amerika Serikat di dalam kasus Rohingya tersebut..

Ada beberapa cara yang dapat ditempuh untuk menangani kasus pelanggaran HAM
berat terhadap etnis Rohingya salah satunya melalui Mekanisme Peradilan Pidana
Internasional yaitu di International Criminal Court (ICC) karena berdasarkan fakta fakta
yang ada, tindakan pemerinta Myanmar terhadap Rohingya dapat dikategorikan sebagai
tindakan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang diatur dalam Pasal 6 dan Pasal
7 Statuta Roma.

Penjelasan dari peraturan Pasal 6 Statuta Roma Tahun 1998 diatas memberikan
pengertian bahwa Genosida berarti tindak kejahatan dengan maksud untuk menghancurkan
secara keseluruhan atau sebagian suatu kelompok berdasarkan bangsa, ras, etnik ataupun

11
agama. Perbuatan penghancuran yang dimaksud tersebut dapat dilakukan dengan berbagai
bentuk kejahatan seperti:

a. Membunuh anggota kelompok;


b. Menyebabkan luka parah atau merusak mental anggota kelompok;
c. Dengan sengaja mengancam jiwa anggota kelompok yang menyebabkan luka fisik
baik sebagian maupn keseluruhan;
d. Melakukan tindakan yang dimaksud untuk mencegah kelahiran dalam kelompok;
e. Memindahkan anak anak secara paksa dari suatu kelompok ke kelompok lain.

Jika dilihat dari Pasal 6 Statuta Roma diatas maka apa yang dilakukan oleh militer
Myanmar terhadap etnis Rohinya ini dapat dikategorikan sebagai tindakan genosida. Hal ini
dikarenakan kekejaman militer Myanmar telah mengakibatkan tidak hanya satu atau dua
bahkan ribuan orang etnis Rohingya kehilangan nyawa serta mengalami gangguan jiwa
sehingga mengakibatkan etnis Rohingya yang masih bertahan hidup untuk mengungsi ke
negara lain seperti Banglades, Malaysia dan Indonesia.

Selain itu kasus Rohingya ini juga masuk dalam kejahatan terhadap kemanusiaan yang
diatur dalam pasal 7 Statuta Roma.

Penjelasan dari bunyi Pasal diatas, bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan
salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai serangan yang meluas atau sitematis yang
diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langung terhadap penduduk sipil,
tindakan tersebut berupa:

 Pembunuhan;
 Pemusnahan;
 Perbudakan;
 Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
 Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-
wenng yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum Internasional;
 Penyiksaan;

12
 Perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, pelacuran secara
paksa,pemaksaan kehamilansecara paksa, atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain
yang setara;
 Penganiayaan terhadap suatu tertentu atau perkumpulannya yang didasari persamaan
politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang
telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum Internasional;
 Pengilangan orang secara paksa;
 Kejahatan apartheid
 Tindakan-tindakan lain yang tidak berperikemanusiaan, dilakukan dengan sengaja
yang menyebabkan penderitaan terhadap tubuh atau mental atau kesehatan fisik.

Dilihat dari Pasal 7 Statuta Roma diatas kasus Rohingya ini juga dikategorikan sebagai
kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh rezim junta militer Myanmar yaitu
salah satunya berupa pembersihan etnik atau pemindahan paksa penduduk.

Dengan begitu meskipun kasus Rohingya ini telah benar adanya masuk dalam kategori
tindakan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan tetapi tidak serta mertakasus
Rohinya ini dapat dibawa ke ICC. Pelimpahan kasus kepada jaksa penuntut ICC bisa terjadi
dalam kondisi kondisi berikut :

1. Sebuah negara yang telah meratifikasi Statuta Roma bisa melimpahkan kasus tersebut
jika kejahatan yang dilakukan telah tercantum yuridiksi ICC.
2. Dewan Keamanan PBB bisa melimpahkan kasis sesuai dengan Bab VII Piagam PBB.
Dalam kondisi semacam ini, tidak dibutuhkan persetujuan dengan negara manapun.
3. Jaksa bisa menginisiasi penyeledikan proprio muto atas kepentingannya sendiri.

Yang menjadi masalah adalah Myanmar hanya meratifikasi sebagian dari perjanjian
Internasional tersebut sehingga tidak terikat dan terbebani oleh tanggung jawab yang
tercantum dalam perjanjian Internasional seperti Statuta Roma.

Di bawah Statuta Roma, ICC hanya bisa bertindak ketika sebuah negara “tidak
bersedia” atau “tidak mampu” menangani kasus. Secara esensi, pengadilan domestik dan
nasional memiliki supremasi yuridis atau kasus kasus sebelum kasus kasus tersebut
dilimpahkan pada ICC. Sifat komplementer dari Statuta ini merupakan sebuah simbol relasi

13
simbiotik antara pengadilan internasional dalam menangani kejahatan kejahatan mengerikan
yang mengancam tatanan dunia.

Dalam Pasal 33 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dijelaskan bahwa untuk


menyelesaikan kasus seharusnya menggunakan cara diplomasi terlebih dahulu sebelum ke
ranah hukum. Hal tersebut berbunyi sebagai berikut :

Ayat 1 : Pihak-pihak yang tersangkut dalam sesuatu pertikaian yang jika berlangsung
secara terus menerus mungkin membahayakan pemeliharaan perdamaian dan keamanan
nasional, pertama-tama harus mencari penyelesaian dengan jalan perundingan, penyelidikan,
mediasi, konsiliasi, arbitrasi, penyelesaian menurut hukum melalui badan-badan atau
pengaturan-pengaturan regional, atau dengan cara damai lainnya yang dipilih mereka
sendiri.

Ayat 2 : Bila dianggap perlu, Dewan Keamanan meminta kepada pihak-pihak


bersangkutan untuk menyelesaikan pertikaiannya dengan cara-cara yang serupa itu. Adapun
bentuk-bentuk mekanisme diplomasi yang dapat digunakan untuk menyelesaikan kasus yang
terjadi di Myanmar ialah dengan menggunakan Mediasi

Sebagaimana dijelaskan bahwa bentuk penyelesaian sengketa melalui forum mediasi


pada dasarnya adalah melalui perundingan. Namun, yang membawa para pihak yang
bersengketa ke forum perundingan tersebut adalah pihak ketiga. Pihak (Negara-negara)
ketiga yang berperan sebagai mediator ini biasanya aktif memberikan masukkan berupa
solusi-solusi yang memungkinkan dalam rangka penyelesaian masalah.

Jika dalam menggunakan cara mediasi sudah digunakan oleh negara dalam mengakhiri
permasalahan yang terjadi, namun masih belum dapat menyelesaikan masalah yang terjadi
dengan hal ini kasus yang terjadi dapat diambil alih oleh Dewan Keamanan PBB untuk
diselesaikan menggunakan cara melalui Mahkamah Pidana Internasional (International
Criminal Court) yang sudah diterangkan diatas. Dengan memperhatikan empat yurisdiksi
pada ICC yaitu :

 rationae materiae,
 rationae personae,
 ratione loci,

14
 ratione temporis.

Masyarakat rohingya telah mengalami berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia
yang termasuk pada kejahatan genosida terutama sejak tahun 1978. Hak kebebasan untuk
bergerak bagi orang-orang rohingya dibatasi secara ketat dan dikeluarkannya Undang-
Undang Citizhenship Law yang mengakibatkan Myanmar dengan bebas melakukan
diskriminasi kepada masyarakat yang tidak memiliki status kewarganegaraan. Permasalahan
yang diangkat pada penelitian ini yaitu tindakan yang dilakukan oleh Myanmar merupakan
sebuah kejahatan genosida, serta upaya penyelesaian sengketa antara Myanmar dengan etnis
rohingya. Jenis penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif yaitu dengan
studi kepustakaan dan literatur-literatur yang berkaitan dengan genosida, serta menggunakan
pendekatan sejarah, pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep dan pendekatan
kasus. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Myanmar
kepada etnis muslim rohingnya memang benar merupakan suatu kejahatan genosida, yang
didasari dari beberapa unsur sesuai dengan pasal 6 Statuta Roma 1998. Upaya penyelesaian
sengketa dilakukan secara litigasi, karena penyelesian secara non litigasi tidak dapat
menemukan titik terang dari sengketa tersebut, dan yang menangani kasus tersebut adalah
Mahkmah Pidana Internasional dengan pengadilan ICC. Kesimpulannya bahwa Myanmar
telah melakukan tindak kejahatan genosida terhadap etnis rohingya serta diskriminasi
terhadap kaum minoritas. Selanjutnya upaya dari penyelesaian sengketa tersebut dilakukan
dengan cara litigasi atau melalui mekanisme hukum dan ditangani oleh ICC (International
Criminal Court).

15
BAB III
PENUTUP
I. KESIMPULAN

Tindak kejahatan yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar terhadap etnis muslim
rohingya dapat dikatakan sebagai tindak kejahatan internasional genosida, karena sudah
memenuhi beberapa unsur pokok yaitu pembunuhan masal, diskriminasi terhadap agama
yang minoritas, dilakukan secara sitematis, dan bertujuan untuk melenyapkan suatu etnis
dan golongan tertentu, maka dri hl tersebut peneliti menganalisis bahwa kejahatan tersebut
dikatagorikan sebagai kejahatan internasional genosida.

Terkait dengan penyelesaian sengketa yang terjadi tersebut maka peneliti memberikan
analisis terkait dengan penyelesaian sengketa yang terjadi di Myanmar, sengketa tersebut
dapat diselesaikan dengan cara di luar pengadilan dan di dalam pengadilan. Apabila di luar
pengadilan penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan cara mediasi dan negosiasi, tetapi
apabila dilakukan di dalam pengadilan yang dalam hal ini adalah berlaku ppengadilan
internasional maka sengketa tersebut dapat ditangani oleh Mahkamah Pidana Internasional.
Karena semua warga negara berada dibawah yurisdiksi Mahkamah Pidana Inernasional.

II. SARAN

Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat memberikan gambaran khususnya


terhadap pemerintah Myanmar, bahwasannya tindakan yang dilakukan tersebut merupakan
genosida yang sudah menyebabkan penderitaan terhadap masyarakat etnis rohingnya.
Diharapkan dengan adanya makalah ini khususnya terhadap masyarakat muslim rohingya
agar selalu melakukan upaya damai agar kekerasan yang terjadi bisa segera terselesaikan.
Penulis berharap dengn adanya makalah ini khususnya terhadap pembaca dapat menambah
ilmu dibidang hukum khususnya yang terkait dengan kejahatan yang bersifat internasional
serta peradilan-peradilan yang ada di dunia.

16
DAFTAR PUSTAKA
1. Shinta Agustina, 2006, Hukum Pidana Internasional, Padang, Andalas University Press,
2. Edi Setiadi, Perlindungan Hukum Wanita
3. Lusiana M Tijow, Otoritas yang mengikat hukum manusia yang tepat sebagai garansi
perlindungan hukum terhadap integritas tubuh wanita sebagai korban janji yang tidak
terpenuhi untuk menika, Akademik penelitian internasional, Maret 2017
4. Astuti, Made Sadhi, 1997, Selayang pandang Anak Sebagai Korban dan Pelaku Tindak
Pidana, Malang: Arena Hukum.
5. Dellyana, Shanty, 2004, Wanita dan Anak di Mata Hukum, Yogyakarta: Liberty.
6. Gultom, Maidin, 2010, Perlindungan Hukum terhadap Anak dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak di Indonesia, Bandung : Refika Aditama.
7. Hidayat, Bunadi, 2010, Pemidanaan Anak Dibawah Umur, Bandung: PT. Alumni.
8. Muhammad, Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra Aditya
Bakti.
9. Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro.
10. Poerwadarminta, W.J.S, 1991, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.

17

Anda mungkin juga menyukai