Anda di halaman 1dari 17

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,

penulis panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,

hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah

Kriminologi tentang Analisis Yuridis Kriminologi Kasus Pembunuhan.

Penulis tetap menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari yang diharapkan, karena

keterbatasan pengetahuan dan pengalaman penulis. Kendala ini dapat diatasi karena tidak

sedikit perhatian dan bantuan yang diberikan oleh berbagai pihak yang telah membantu

penyelesaiannya. Untuk itu penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak

yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini.

Harapan penulis semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan

pengalaman bagi para pembaca, dan penulis menerima segala saran dan kritik dari pembaca

sehingga penulis dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah agar kedepannya dapat lebih

baik.

Bandung, Juni 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................ i


DAFTAR ISI.......................................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ..................................................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................................................... 6
A. Implementasi Ketentuan dalam KUHP Terhadap Pelaku Disertai Mutilasi sebagai Upaya
Memberikan Efek Jera ..................................................................................................................... 6
B. Pengaturan Pidana Mati di dalam Rancangan Undang – Undang KUHP ............................. 9
BAB III PENUTUP ............................................................................................................................. 13
A. Kesimpulan ................................................................................................................................. 13
B. Saran ............................................................................................................................................ 13
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................................... 15

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum dibuat, tumbuh, dan berkembang dalam masyarakat dengan tujuan untuk
mengatur kehidupan masyarakat baik masyarakat modern maupun masyarakat tradisional,
agar tercipta ketertiban, ketenangan, kedamaian, dan kesejahteraan. Hukum merupakan
aturan yang mengatur tingkah laku manusia dalam kehidupannya karena tanpa adanya
hukum, tidak dapat dibayangkan kondisi negara ini.

Kebutuhan fundamental setiap manusia terdiri dari kebutuhan biologis seperti makan,
minum, tidur, dan kebutuhan sosial, seperti status sosial, peranan sosial, aktualisasi diri, dan
rasa aman. Saat ini dapat dikatakan bahwa rasa aman merupakan salah satu kebutuhan dasar
manusia dalam menjalankan aktivitas sehari-harinya. Menurut Abraham Maslow dalam teori
hierarkhi kebutuhan manusia, rasa aman berada pada tingkatan yang kedua dibawah
kebutuhan dasar manusia seperti sandang, pangan, dan papan.

Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Pasal 28G ayat
(1) yang menyebutkan: “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa
aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang
merupakan hak asasi”.

Seiring dengan itu, salah satu kewajiban pemerintah dan negara Indonesia adalah
memberikan rasa aman pada seluruh rakyatnya, sebagaimana yang diamanatkan dalam
Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi “Pemerintah dan Negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”.

Rasa aman merupakan variabel yang sangat luas karena mencakup berbagai aspek dan
dimensi, mulai dari dimensi politik, hukum, pertahanan, keamanan, sosial dan ekonomi.
Sejalan dengan itu, statistik dan indikator yang biasa digunakan untuk mengukur rasa aman
masyarakat merupakan indikator negatif, misalnya jumlah angka kejahatan (crime total),
jumlah orang yang berisiko terkena tindak kejahatan (crime rate) setiap 100.000 penduduk.
Semakin tinggi angka kriminalitas menunjukkan semakin banyak tindak kejahatan pada
masyarakat yang merupakan indikasi bahwa masyarakat merasa semakin tidak aman.

1
Saat ini kejahatan yang terjadi tidak hanya terbatas pada kejahatan yang bersifat
konvensional saja seperti: kekerasan, penipuan, pencurian, pemerkosaan, dan juga
pembunuhan, tetapi saat ini muncul kejahatan-kejahatan baru, maupun kejahatan lama yang
dimodifikasi perkembangan umat manusia, salah satunya adalah kejahatan pembunuhan yang
disertai dengan mutilasi.

Kejahatan (crimes) merupakan tingkah laku yang melanggar hukum dan melanggar
norma – norma sosial, sehingga masyarakat menentangnya. Dalam konteks sosial, kejahatan
merupakan fenomena sosial yang kerapkali terjadi pada setiap tempat dan waktu. Hal ini
menunjukan bahwa kejahatan itu bukan saja merupakan masalah bagi suatu masyarakat
tertentu yang berskala lokal maupun nasional, namun juga menjadi masalah yang dihadapi
oleh seluruh masyarakat dunia, pada masa lalu, kini, dan dimasa mendatang, sehingga
dapatlah dikatakan bahwa kejahatan sebagai a universal phenomenom.

Menurut Bonger, arti kejahatan di pandang dari sudut formil (menurut hukum) adalah
suatu perbuatan yang oleh masyarakat (dalam konteks ini negara) di beri pidana. Bonger
menyimpulkan bahwa kejahatan adalah suatu perbuatan yang sangat anti sosial, dan
memperoleh tantangan dengan sadar dari negara berupa pemberian penderitaan (hukuman
atau tindakan).

Moeljatno memberi pandangan juga, bahwa kriminologi memberikan pengetahuan


yang lebih luas mengenai tindak pidana, kita akan mendapatkan pengertian baik tentang
penggunaan hukumnya terhadap kejahatan maupun mengenai timbulnya kejahatan dan cara-
cara pemberantasannya, sehingga memberikan jalan kepada kita bagaimana menghadapi
tindak pidana tersebut pada masyarakat dan pada pelaku tindak pidana sendiri. Kriminologi
sangat berperan dalam perkembangan hukum pidana agar sesuai dengan perkembangan
masyarakat yang dinamis. Hukum pidana mempelajari tindak pidana sebagai pelanggaran
kaidah sosial sedang kriminologi mempelajari hal yang melatar belakangi terjadinya suatu
tindak pidana.

Kriminologi, dikenal dengan adanya Teori Asosiasi Diferensial. Sutherland


menghipotesakan bahwa perilaku kriminal itu dipelajari melalui asosiasi yang dilakukan
dengan mereka yang melanggar norma-norma masyarakat termasuk norma hukum.

Ilmu pengetahuan dan teknologi di masa millennium pertama kini telah mengalami
perkembangan yang luar biasa, seiring dengan globalisasi multi dimensional yang melanda
seluruh belahan dunia termasuk Indonesia. Fenomena ini membawa implikasi kepada

2
semakin meningkatnya kualitas dan kuantitas modus operandi kejahatan, termasuk yang
kerapkali di publikasi di berbagai di media masa, baik media cetak ataupun media audio
visual, mulai dari kekerasan, pencurian, penganiayaan, pemerkosaan, hingga pembunuhan.

Kejahatan pembunuhan adalah kejahatan yang di klasifikasikan sadis, dimana pelaku


kejahatan tersebut membunuh atau menghilangkan nyawa orang lain secara sengaja, bahkan
menjadi lebih brutal jika dalam kenyataannya kini pelaku pembunuhan itu tidak hanya
membunuh atau menghilangkan nyawa orang lain, melainkan juga memotong – motong seiap
bagian tubuh dari korbannya.

Pakar kriminologi Kartini Kartono, menyatakan bahwa mutilasi adalah pembunuhan


kejam yang tidak memiliki belas kasihan dan tidak berprikemanusiaan, serta lebih kejam dari
pembunuhan biasa. Kalangan pakar pidana dalam realitinya masih banyak yang tidak
seragam dalam melihat perilaku mutilasi, karena motif dan karakter perilaku pelakunya juga
beragam. Namun, banyak kalangan pakar pidana yang melihat tindakan ini termasuk dipicu
oleh adanya kelainan kejiwaan, misalnya, psikopat atau paranoid. Pelaku mutilasi adalah
orang – orang yang tidak memiliki suara hati dan cenderung mengalami gangguan kejiwaan.

Apabila kita melihat beberapa kasus pembunuhan dengan mutilasi, setidak – tidaknya
terdapat 2 hal yang bisa kita ketahui. Pertama, motifnya kebanyakan terkait dengan perilaku
seksual, meski masih banyak motif lain, seperti, motif ekonomi, dendam pribadi, hingga
kepada motif ilmu hitam (black magic), tetapi kasus mutilasi dengan motif perilaku seks
penyimpangan hampir selalu menjadi yang paling fenomenal, sebut saja kasus pembunuhan
mutilasi brantai yang dilakukan oleh tukang jagal dari jombang (Jawa Timur ) yang bernama
Ryan. Kedua, kasusnya relatif susah di ungkap, bahkan sebagian besar tidak berhasil di
ungkap oleh kepolisian, kasus Very Idam Henyansyah alias Ryan Bin Ahmad terbukti
bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu
merampas nyawa orang lain yaitu korban Hery Santoso, yang kemudian korban dimutilasi
menjadi 7 (tujuh) bagian dan membunuh 10 korban rekan kerjanya. Disisi lain, kasus Ryan
Jombang ternyata pernah mencoreng nama kepolisian karena sempat salah tangkap.

Seperti diketahui, Ryan memutilasi Heri Santoso pada 11 Juli 2008 di Apartemen
Margonda Residence, Depok. Ryan yang terlibat percintaan sesama jenis dengan Novel
Andrias alias Novel mengaku tersinggung oleh ucapan Heri yang akan mengajak "main"
Novel dengan bayaran mahal. Padahal, Novel adalah pacar Ryan. Setelah cekcok, Ryan
kemudian menusuk Heri hingga tewas. Tubuh Heri dipotong-potong menjadi tujuh bagian,

3
lantas dimasukkan ke dalam koper dan dibuang di jalan. Uang di dompet Heri dan kartu
kreditnya dikuras. Keesokan harinya, 12 Juli 2008, koper berisi potongan tubuh itu ditemukan
dan Ryan berhasil ditangkap. Ancaman hukuman maksimal terhadap Ryan tersebut baru
untuk kasus mutilasi saja. Padahal, selain memutilasi Heri Santoso, Ryan juga menghabisi 10
orang lainnya yang semua dilakukan di rumahnya di Desa Jatiwates, Kecamatan Tembelang,
Jombang.

Untuk 10 kasus pembunuhan tersebut, karena tempat kejadian perkaranya di Jatim,


Polda Jatim yang melakukan pengusutan dan hingga kini masih diproses. Pekan lalu reka
ulang (rekonstruksi) pembunuhan 10 orang itu telah digelar di Tembelang dengan
menghadirkan Ryan sendiri. Tampaknya, untuk 10 kasus tersebut sulit sekali bagi Ryan
menghindari jerat hukuman mati dan selanjutnya dieksekusi. Dari segi korban saja,
jumlahnya demikian spektakuler. Sudah begitu, dari reka ulang pekan lalu, terlihat bahwa
Ryan adalah pelaku tunggal pembunuhan 10 orang itu. Menurut Kasi Pidana Umum Kejari
Kota Depok Budi Panjaitan, Polda Metro Jaya sudah menghubungi kejaksaan dan akan
menyerahkan tersangka Ryan bersama barang bukti kasus mutilasi. "Rencananya, hari Selasa
ini Polda akan menyerahkan tersangka dan barang bukti kepada kami," kata Budi Panjaitan.
Barang-barang bukti yang ada adalah sebuah koper, pisau, serta barang-barang lain yang
dibeli Ryan dari uang dan kartu kredit milik Heri, salah-satunya ponsel Nokia N70 yang
kemudian dipakai Novel

Jika di tinjau dari ilmu kriminologi, secara definitif yang dimaksud dengan mutilasi
adalah terpisahnya anggota tubuh manusia yang satu dari anggota tubuh lainnya karena sebab
yang tidak wajar.

Pembuktian dalam tindak pidana pembunuhan merupakan suatu mekanisme yang mutlak
di lakukan oleh penyidik dari institusi kepolisian (polri) dengan di topang oleh payung hukum
yang relevan, dalam konteks ini adalah ketentuan peraturan perundang – undangan yang
mengatur tugas, wewenang, dan fungsi institusi kepolisian dalam proses pembuktian tindak
pidana pembunuhan, termasuk yang di sertai dengan kekerasan. Kepolisian dalam hal ini
institusi polri di harapkan dapat melakukan koordinasi dengan instansi – instansi terkait
pengungkapan pelaku tindak pidana pembunuhan.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) didalamnya pun


tidak ada ketentuan khusus yang mengatur tentang tindak pidana pembunuhan mutilasi. Tindak
pidana pembunuhan yang diatur dalam KUHP hanya tentang tindak pidana pembunuhan, yang

4
diatur di dalam Pasal 338 KUHP yang berbunyi “Barang siapa dengan sengaja merampas
nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas
tahun.” Selain mengenai pembunuhan, dalam KUHP juga mengatur tentang pembunuhan
berencana, yang diatur dalam Pasal 340 KUHP, yang berbunyi “Barang siapa yang dengan
sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam dengan
pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama
waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.”

Pada dasarnya penegakan hukum pidana indonesia banyak ditentukan oleh asas legalitas,
dimana terdapat suatu perumusan delik yang di undang-undangkan. Sesuai dengan Pasal 1 ayat
(1) KUHP yang menjelaskan kepada kita bahwa tiada tindak pidana. Tiada hukuman tanpa
suatu peraturan yang terlebih dulu menyebut perbuatan yang bersangkutan sebagai suatu tindak
pidana dan yang memuat suatu hukuman atas tindak pidana tersebut. Istilah ini dikenal dengan
nullum delictum nulla poena sine praevia lege poeneli (tidak ada pidana tanpa peraturan
terlebih dahulu).

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis merumuskan masalah sebagai

berikut:

1. Bagaimana implementasi ketentuan dalam KUHP terhadap pelaku disertai mutilasi


sebagai upaya memberikan efek jera ?
2. Pengaturan Pidana Mati di dalam Rancangan Undang – Undang KUHP ?

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Implementasi Ketentuan dalam KUHP Terhadap Pelaku Disertai Mutilasi sebagai


Upaya Memberikan Efek Jera

Berdasarkan pasal 1 ayat (3) dinyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum, maka
dari itu setiap perbuatan ataupun pelaksanaan haruslah didasarkan oleh hukum. Dalam negara
Indonesia, untuk menjatuhkan suatu sanksi bagi para pelaku kejahatan diperlukan
mekanisme-mekanisme maupun aturan-aturan guna melindungi dan menghormati Hak-hak
yang tercantum pada pasal 28 UUD 1945.

Rasionalitas UUD 1945 pada pasal 28I ayat (4) menyatakan bahwa peraturan
perundang-undanganlah yang mengatur bagaimana penerapan sistem hukum yang berlaku di
Indoneisa. Dalam hukum positif di Indonesia, dikenal suatu hukum yang bergerak di ruang
lingkup kejahatan yang bernama Hukum Pidana.

Pada putusan kasus pembunuhan berencana yang kami kaji, dapat dilihat bahwa unsur
– unsur rumusan pasal 340 KUHP dalam kasus ini menurut kami:

1. Barang Siapa
“Barang siapa” yang dimaksud adalah setiap orang atau siapa saja, termasuk
terdakwa sendiri sebagai subyek hukum, tanpa membedakan jenis kelamin dan
kedudukan melakukan tindak pidana yang harus dipertanggung jawabkan.

Untuk pembuktian unsur barang siapa, harus memperhatikan pasal 44 ayat (1)
dalam KUHAP yang menyatakan seseorang tidak dapat dipertanggung jawabkan
perbuatannya, disebabkan jiwanya cacat dalam tubuhnya (gebrekkige ontwikkeling)
atau terganggu karena penyakit (ziekelijke storing).
Pada kasus yang kami kaji bahwa tersangka yaitu bernama RY mengalami
masalah dalam perkembangan kepribadiannya terkait dengan aspek pengendalian
emosi dan gaya hidup yang ditunjukkan dalam perilaku:

6
a) Agresif Manipulatif;
b) Melanggar norma dan mudah berbohong tanpa adanya penyesalan;
c) Mementingkan kepentingan diri sendiri untuk mencapai tujuan;
d) Obsesif kompulsif yang memungkinkan terjadinya perilaku.

2. Dengan Sengaja
Unsur keduanya yang dimaksud ialah bahwa perbuatan yang dilakukannya itu
memang dikehendaki pelakunya. Didalam rumusan pasal 340 KUHP terdapat unsur
kesengajaan dan direncakan terlebih dahulu, jika dihubungkan dengan macam –
macam doktrin ilmu hukum pidana, maka termasuk ke dalam dolus premeditatus atau
kesengajaan yang direncanakan terlebih dahulu. Objek terdakwa adalah
menghilangkan nyawa korban.

Tindak pidana pembunuhan atau kejahatan terhadap nyawa (misdrijven tegen het
leven) adalah berupa penyerangan terhadap nyawa orang lain. Untuk
menghilangkannya nyawa orang lain itu seorang pelaku harus melakukan sesuatu atau
suatu rangkaian tindakan yang berakibat dengan meninggalnya orang lain. Kejahatan
terhadap nyawa dalam KUHP dapat dibedakan atau dikelompokkan atas 2 dasar,
yaitu:

a) Atas dasar unsur kesalahan


b) Atas dasar objeknya (nyawa)

Atas dasar kesalahan ada 2 (dua) kelompok kejahatan terhadap nyawa, ialah:
a) Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja (dolus
misdrijven)
b) Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan karena kelalaian (Culpose
misdrijven)

Sedangkan atas dasar objeknya (kepentingan hukum yang dilindungi), maka


kejahatan terhadap nyawa dengan sengaja dibedakan dalam 3 (tiga) macam, yaitu:
1) Kejahatan terhadap nyawa orang pada umunya, dimuat dalam Pasal: 338, 339,
340, 344, 345, 350 KUHP.

7
2) Kejahatan terhadap nyawa bayi pada saat atau tidak lama setelah dilahirkan,
dimuat dalam Pasal: 341, 342, dan 343 KUHP.
3) Kejahatan terhadap nyawa bayi yang masih ada dalam kandungan ibu (janin),
dimuat dalam Pasal: 346, 377, 348, dan 349 KUHP.

Dilihat dari segi “kesengajaan (dolus/opzet)” maka tindak pidana terhadap nyawa
ini terdiri atas:
1) Dilakukan dengan sengaja
2) Dilakukan dengan sengaja disertai kejahatan berat
3) Dilakukan dengan direncanakan lebih dahulu
4) Atas keinginan yang jelas dari yang dibunuh
5) Menganjurkan atau membantu orang untuk bunuh diri

Apabila kita melihat ke dalam KUHP, segera dapat diketahui bahwa pembentuk
undang-undang telah bermaksud mengatur ketentuan-ketentuan pidana tentang kejahatan-
kejahatan yang ditujukan terhadap nyawa orang lain dalam Buku ke-II Bab ke-XIX KUHP
yang terdiri dari tiga belas pasal, yakni dari Pasal 338 sampai dengan Pasal 350.
Terkait dengan kasus Pembunuhan berantai yang dilakukan Verry Idham Henyansyah
alias Ryan, rupanya tidak dapat diampuni. Hal ini terungkap dalam pasal berlapis yang
dikenakan oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Depok. Tercatat pasal-pasal yang akan dikenakan
pada Ryan, yakni pasal 339 KUHP, pasal 338 KUHP, pasal 351 ayat (3) KUHP, pasal 365 ayat
(3) KUHP. Ryan akan didakwa atas tindak pidana menghilangkan nyawa orang lain dengan
paksa/pembunuhan dengan berencana, pencurian dengan kekerasan, penganiayaan yang
mengakibatkan kematian. Atas beberapa dakwaan ini, Ryan terancam hukuman maksimal,
yakni hukuman mati pasa 340 KUHP berbunyi:
“Barangsiapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa oranglain,
diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”.

8
B. Pengaturan Pidana Mati di dalam Rancangan Undang – Undang KUHP

Pendapat Para Ahli

Dipandang dari segi yuridis sebenarnya pidana mati dapat dilihat dari 2 aspek, yaitu;

1. Pembalasan (teori absolut)


2. Aspek menakutkan (teori relatif)

Aspek menakutkan disini bahwa pidana bertujuan untuk melindungi masyarkat dan
membuat calon – calon penjahat berpikir dua kali untuk melakukan kejahatan yang diancam
pidana mati.

Pidana mati menurut pendapat Jonkers adalah sesuatu keberatan terhadap pidana mati
ialah, jika seseorang dipidana mati karena kekhilafan, maka hal itu tidak dapat diperbaiki lagi
setelah dijalankan pidana itu. Akan tetapi hukuman pidana mati ini sudah melanggar HAM.

Jika di sangkut paut kan dengan keadaan Indonesia sekrang ini, Binsar Siregar
berpendapat bahwa yang menghendaki untuk dipertahankannya pidana mati dengan maksud
untuk menjaga sewaktu – waktu kita membutuhkan masih tersedia, sebab untuk menghadapi
penjahat yang terlalu keji tanpa perikemanusiaan pidana apalagi yang harus dijatuhkan pidana
mati. Mantan ketua MA Suryadi, S.H yang menyatakan bahwa pidana mati tidak perlu
dihapus, karena beliau menghubungkan dengan sila kedua dari Pancasila yaitu kemanusiaan
yang dan beradap. Penjatuhan pidana mati menurutnya bukan hanya masalah membunuh
orang yang bersalah sebagai pembalasan semata, tetapi nilai kemanusiaan pelaku tindak
pidana yang menyandang pertanggung jawaban.

Pendapat yang kontra terhadap pidana mati antara lain pendapat Beccaria yang
menyatakan pidana mati bertentangan dengan contra social, karena hidup adalah suatu yang
tak dapat dihilangkan secara legal dan membunuh adalah tercela, karena pembunuhan yang
mana pun juga mengizinkan untuk pidana mati di dalam contra social adalah immoral. Dari
pendapat – pendapat yang terhadap pidana mati tersebut, dapat dikatakan yakni menjadi efek
jera bagi pidana mati. Pidana seumur hidup dianggap masih ringan;

1) Memikirkan masa depan dari pelaku, bahwa sebenarnya kejahatan dipengaruhi


bermacam - macam faktor dan si pelaku pasti dapat berubah dengan pengenaan
pidana yang lebih cocok

9
2) Lebih memikirka sanksi pidana dalam mendominasikan teori relatif dan pemidaan
dari pada teori pembalasan

1. Tujuan Pemidanaan RUU KUHP Indonesia


Tujuan Pemidanaan adalah dasar pembenaran (justification) mengapa
seseorang dijatuhi pidana. Di dalam hukum pidana, dikenal beberpa tujuan
pemidanaan, antara lain teori absolut (teori pembalasan), teori relatif (teori prevensi),
dan teori gabungan. Pada intinya teori absolut menyatakan bahwa pidana secara mutlak
ada karena dilakukan suatu kejahatan, jadi tidaklah perlu untuk memikirkan manfaat
menjatuhkan pidana itu.
Berbeda dengan teori relatif atau teori tujuan, yang berpandangan bahwa pidana
adalah alat untuk menegakkan hukum dalam masyarakat. Prof. Muladi menerangkan
teori ini bahwa pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku tetapi
saran mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyakat menuju
kesejahteraan masyarakat. Sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah
agar orang tidak melakukan kejahtan, maka bukan bertujuan untuk pemuasan absolut
atas keadilan. Pengenaan derita tidak dapat dibenarkan kecuali jika dapat ditujukkan
hasil pengenaannya untuk membuat pelaku lebih baik dari pada tidak dikenakan pidana.
Teori gabungan adalah teori pemidanaan yang menggabungkan antara teori
absolut dan teori relatif. Tujuan dari teori ini untuk membalas kesalahan dari pelaku
tindak pidana, membuat pelaku lebih baik serta mewujudkan ketertiban di masyarakat.
Teori gabungan diterapkan secara kombinasi dengan menitik beratkan pada salah satu
unsurnya tanpa menghilangkan unsur yang lain maupun pada semua unsur yang ada.
Tujuan pemidaan menurut konsep Rancangan KUHP 2015 menjelaskan adanya
suatu tujuan pemidaan yang diuraikan secara jelas pada pasal 55 ayat (1) dan (2), yang
merupakan perwujudan dari ide keseimbangan. Tujuan pemidanaan tersebut adalah
sebagai berikut :

a) Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi


pengayoman masyarakat ;
b) Memasyarakatkan terpidana degan mengadakan pembinaan sehingga menjadi
orang yang baik dan berguna ;

10
c) Menyelesaikan konflik yang timbul oleh tindak pidana, memulihkan kesimbangan
dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat ;
d) Membebaskan rasa bersalah pada terpidana ;
e) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat
manusia.

2. Pengaturan Pidana Mati dalam Rancangan KUHP


Pidana mati dirumuskan di dalam pasal tersendiri untuk menunjukkan bahwa
jenis pidana ini benar – benar bersifat khusus. Pidana mati ini harus selalu diancamkan
secara alternatif dengan jenis pidana lainnya, yakni pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling lama 20 tahun. Selain itu pidana mati dapat dijatuhkan secara
bersyarat, dengan memberikan masa percoabaan, sehingga dapat memperbaiki diri
sehingga pidana mati tidak perlu dilaksanakan.
Perumusana mengenai pidana mati didalam KUHP lebih rinci. Dalam KUHP
termuat pada pasal 10, yang menjelaskan secara tidak mendetail tentang pidana mati,
sedangkan dalam RUU KUHP termuat dalam pasal 66 yang dijelaskan lebih lanjut
terkait pidana mati menjadi pidana alternatif yang akan dijatuhkan sebagai upaya
terakhir untuk mengayomi masyarakat yang terdapat pada pasal 87. Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia untuk mengubah hukuman mati dengan hukuman penjara
dalam waktu tertentu, termasuk untuk mengubah hukuman mati.
Cara eksekusi pidana mati dalam pasal 11 KUHP, dimana penjatuhan pidana
mati dilakukan dengan cara menjeratkan tali terikat ditiang gantungan pada leher
terpidana kemudian dijatuhkan papan tempat berdirinya terpidana, sedangkan di pasal
90 RUU KUHP eksekusi pidana mati dilakukan dengan jalan menembak terpidana
sampai mati oleh regu tembak dan sifatnya tertutup (tidak dimuka umum).
Pengaturan tentang syarat apa yang bisa dilakukan untuk pencabutan atau
penundaan pidana mati diatur dalam pasal 91, yaitu pelaksanaan pidana mati dapat
ditunda dengan masa percobaan selama 10 tahun jika reaksi masyarakat terdapat
terpidana tidak terlalu besar, terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan
untuk diperbaiki, kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu
penting dan ada alasan meringankan. Apabila terpidana menunjukkan sikap dan
perbuatan yang terpuji maka dapat diubah 20 tahun dengan keputusan menteri hukum
dan HAM. Selain itu apabila permohonan grasi terpidana di tolak dan dieksekusi belum

11
tidak dilaksanakan dalam waktu 10 tahun, maka pidana mati dapat diubah dengan
keputusan presiden.

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Kasus Pembunuhan berantai yang dilakukan Verry Idham Henyansyah alias Ryan,
rupanya tidak dapat diampuni. Hal ini terungkap dalam pasal berlapis yang dikenakan oleh
Kejaksaan Negeri (Kejari) Depok. Tercatat pasal-pasal yang akan dikenakan pada Ryan, yakni
pasal 339 KUHP, pasal 338 KUHP, pasal 351 ayat 3 KUHP, pasal 365 ayat 3 KUHP. Ryan
akan didakwa atas tindak pidana menghilangkan nyawa orang lain dengan paksa/pembunuhan
dengan berencana, pencurian dengan kekerasan, penganiayaan yang mengakibatkan kematian.
Atas beberapa dakwaan ini, Ryan terancam hukuman maksimal, yakni hukuman mati pasa 340
KUHP.

Para perancang RUU KUHP Indonesia telah mengerucut pada dua kepentingan, yakni
perlindungan masyarakat dan pembinaan bagi pelaku. Perumusan RUU KUHP mengakui asas-
asas atau keadaan yang meringankan pemidanaan, mendasarkan pada keadaan obyektif dan
mempertimbangkan kebutuhan adanya pembinaan individual dari pelaku tindak pidana.
Meskipun demikian, para perancang RUU KUHP Indonesia masih menilai bahwa pidana mati
tetap perlu dicantumkan untuk tindak pidana yang dianggap serius. Pidana mati dirumuskan
dalam jenis pidana khusus yang penjatuhannya secara alternative dan bersyarat.

B. Saran

Dalam rangka merubah pelaku tindak pidana, kita harus merubah lingkungan dengan
mengurangi hal-hal yang mendukung timbulnya perbuatan tindak pidana yang ada dan
menambah berat risiko yang dikandung dalam suatu tindak pidana (sanksi pidana).

Disarankan pada perancang RUU KUHP Indonesia, agar lebih memberikan indikator
yang jelas mengenai penetapan ancaman hukuman mati didalam beberapa tindak pidana.
Apakah ancaman pidana mati tersebut dirumuskan didalam suatu tindak pidana lebih
dikarenakan melihat tingkat keseriusan kejahatan (gravity of crimes) atau berdasarkan dampak
kejahatan. Hal ini menurut penulis sangat perlu, mengingat bahwa pidana mati dipandang
sebagai jenis pidana paling berat yang di khususkan didalam RUU KUHP, sehingga dalam

13
penjatuhannya harus memiliki indikator yang jelas supaya lebih membantu aparat penegak
hukum menciptakan keadilan.

14
DAFTAR PUSTAKA

15

Anda mungkin juga menyukai