Anda di halaman 1dari 20

TUGAS MAKALAH MATA KULIAH

HUKUM PIDANA ISLAM

“HUKUMAN UNTUK TINDAK PIDANA ATAS SELAIN JIWA

(PENGANIAYAAN)”

DOSEN/ PENGAMPU : KHARIS MUDAKIR, SHI., MHI.

DISUSUN OLEH :

TRI WASTUTI

21030172

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM YOGYAKARTA

FAKULTAS ILMU AGAMA ISLAM

HUKUM KELUARGA ISLAM/ AHWAL SYAKHSIYYAH

2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penyusun haturkan kepada Allah SWT atas selesainya makalah yang
berjudul “Hukuman Untuk Tindak Pidana Atas Selain Jiwa (Penganiayaan)”. Atas
dukungan moral dan materil yang diberikan dalam penyusunan makalah ini, mala penyusun
mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Kharis Mudakir, SHI., MHI selaku dosen pembimbing mata kuliah Hukum
Pidana Islam yang memberikan dorongan dan masukan kepada penulis.
2. Orang tua penyusun yang banyak memberikan dukungan.
3. Dan semua pihak yang tidak dapat penulis rinci satu per satu yang telah membantu
dalam proses penyusunan makalah ini.

Penyusun menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna dan masih terdapat
beberapa kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari pembaca untuk penyempurnaan makalah ini.

Ponjong, 05 Maret 2023


Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii

DAFTAR ISI...........................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1

A. LATAR BELAKANG....................................................................................................1

B. RUMUSAN MASALAH................................................................................................3

C. TUJUAN.........................................................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................4

A. DEFINISI PENGANIAYAAN.......................................................................................4

B. UNSUR-UNSUR PENGANIAYAAN...........................................................................5

C. MACAM-MACAM PENGANIAYAAN.......................................................................6

D. HUKUMAN BAGI PELAKU JARIMAH PENGANIAYAAN.....................................8

E. DASAR HUKUM PENGANIAYAAN........................................................................11

BAB III PENUTUP................................................................................................................15

A. KESIMPULAN.............................................................................................................15

B. SARAN.........................................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................17

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Dalam kehidupan sehari-hari terdapat masalah sosial yang diakibatkan oleh
interaksi sosial antara satu orang dengan orang lain. Melalui interaksi tersebut
diperlukan komunikasi yang aktif dan efektif untuk membentuk masyarakat yang adil,
aman dan damai.
Masyarakat yang majemuk dengan kepentingan dan aspirasi yang berbeda-
beda dapat saja terjadi perbedaan pendapat dan perselisihan bahkan di dalam
masyarakat sekitarnya. Hal ini disebabkan oleh keinginan manusia untuk memenuhi
kebutuhannya. Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan aturan yang mencakup
hak asasi setiap orang dan memenuhi kebutuhannya tanpa mengganggu dan menyakiti
orang lain.
Manusia adalah makhluk sosial yang paling dimuliakan allah. Allah swt
menciptakannya dengan (kekuatan) miliknya sendiri dan memerintahkan semua
malaikat untuk sujud kepadanya dan menjadikannya agennya di bumi dan
menganugerahinya dengan kekuatan dan bakat sehingga dia dapat memerintah bumi
ini dan dapat mencapai kesejahteraan material dalam kehidupan dan spiritual.
Kehidupan. Juga, Allah SWT telah menetapkan hak asasi manusia satu sama lain
untuk kehidupan yang sejahtera.
Hak-hak terpenting yang dijamin oleh islam adalah hak untuk hidup, hak atas
kehormatan, hak atas kebebasan, hak atas kesetaraan dan keadilan, dan hak atas
pengetahuan. Hak-hak ini adalah hak asasi manusia yang mutlak, berdasarkan sudut
pandang manusia, tanpa memandang warna kulit, kebangsaan dan status sosial.1
Allah SWT berfirman dalam QS. Al-A’raf : 157, yang artinya: (yaitu) orang-
orang yang mengikuti rasul, Nabi yang Ummi yng (namanya) mereka dapati tertulis
di dalam taurat dan injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan
yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan
bagi mereka segala yang buruk an membuang dari mereka beban-beban dan
belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-oang yang beriman kepada-
Nya, memuliakan-Nya, menolong-Nya, dan mengikuti cahaya yang terang yang

1
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 10, (Bandung: al-Maarif, 1990), hlm. 9

1
diturunkan kepada-Nya (Al-quran) mereka itulah orang-orang yang beruntung.
Rasulullah SAW bersabda dalam khutbah hajj al wada’ berpesan sebagai berikut, “ ya
Allah, semoga Engkau saksikan bahwa setiap muslim terhadap muslim lainnya haram
darah, denda, dan kehormatannya.2
Dalam kehidupan sehari-hari, kekejaman manusia terhadap manusia lain terus
berlanjut seolah-olah kekejaman adalah hal yang turun temurun. Seolah-olah
kekejaman itu turun-temurun. Meskipun ilmu pengetahuan dan teknologi telah maju
dan berkembang dengan cepat, tapi manusia masih menunjukkan dia kejam, suka
berkelahi, membunuh, menyakiti orang orang lain dan melakukan kekejaman lainnya.
Pria benar-benar tidak bisa dihindari kejam, meski berusaha membuatnya sistem
hukum etika dan etika dan semua sanksi. Kejahatan adalah masalah pengalaman
manusia dari masa ke masa. Ini menunjukkan kejahatan terjadi dan berkembang di
lingkungan kehidupan manusia.
Kejahatan menjadi gambaran lain adanya kehidupan manusia itu sendiri,
kejahatan dapat terjadi penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. Pelanggaran hukum atau perilaku anti sosial hukum pada waktu tertentu.
2. Tindakan yang disengaja
3. Perilaku yang dapat dihukum, seperti perilaku antisosial yang berbahaya secara
sengaja juga sangat mengganggu ketertiban umum, perbuatan yang mana boleh
dihukum oleh negara.3
Tuntutan agar dijatuhkan sanksi yang membuat jera terhadap pelanggaran hak-
hak individu, ini adalah bentuk kejahatan yang berbahaya pembunuhan,
penganiayaan, pencurian, penipuan dan palsu. Padahal, tujuan sanksi adalah untuk
mempertahankan dan menciptakan kepentingan manusia dan jauhkan mereka dari
mafsadah.4 Indonesia adalah negara hukum. Memiliki tujuan, seperti yang tercantum
dalam pada awal uud 1945 yaitu: “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa dan ikut serta dalam melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.” Ini adalah tujuan

2
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 10, hlm.10.
3
Abd Wahid dan Muh. Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual: Advokasi atas Hak
Perempuan, (Bandung: Refika Aditama, 2001), hlm. 28.
4
A. Djazuli, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 25

2
nasional, sekaligus menjadi landasan dasar status dan langkah politik, ekonomi, sosial
budaya, pertahanan dan keamanan milik negara.
Ada kecenderungan peningkatan kualitas jumlah pelanggaran ketertiban
umum dan ketentuan hukum atau terhadap masyarakat yang mengarah pada tindak
kejahatan, berdampak perlu mendapat perhatian penanggulangan dan penanganan,
khususnya di bidang kejahatan. Hal ini diharapkan dapat berkurang banyaknya
pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat. Hukum sebagai institusi perilaku
manusia masyarakat, dengan aturan dan sanksi, sehingga siapapun dapat melanggar
atau melakukan suatu perbuatan dengan cara melawan hukum, bisa dikatakan
pelanggaran hukum dan kemungkinan dikenai sanksi.
Bentuk kejahatan yang sering terjadi di masyarakat adalah penganiayaan.
Kejahatan ini bukan kejahatan baru, kemunculannya tidak hanya dalam masyarakat
modern, tetapi juga dalam masyarakat primitif.
Makalah ini disusun dengan maksud agar pembaca mengetahui dan
memahami konsep tindak pidana atas selain jiwa (penganiayaan) dalam fiqih jinayah
yaitu hukum pidana islam.

B. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang masalah diatas dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa definisi penganiayaan?
2. Apa saja unsur-unsur penganiayaan?
3. Apa saja macam-macam penganiayaan?
4. Bagaimanakah sanksi terhadap tindak kejahatan penganiayaan?
5. Apa dasar hukum tindak pidana penganiayaan?

C. TUJUAN
Tujuan dari rumusan masalah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Dapat mengetahui dan memahami definisi penganiayaan.
2. Dapat mengetahui dan memahami unsur-unsur penganiayaan.
3. Dapat mengetahui dan memahami macam-macam penganiayaan.
4. Dapat memahami sanksi terhadap tindak pidana penganiayaan.
5. Dpat mengetahui dasar hukum tindak pidana penganiayaan.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. DEFINISI PENGANIAYAAN
Istilah penganiayaan dalam hukum pidana islam bisa juga disebut jarimah
pelukaan. Menurut kamus Al-Munjid diterangkan bahwa pelukaan adalah arti dari
kata “jarah” yang berarti “shaqq ba’d badanih” adalah menyakiti sebagian anggota
badan manusia.5 Dari uraian arti pelukaan tersebut maka dapat dijelaskan bahwa
jarimah pelukaan adalah perlakuan sewenang-wenang yang dilakukan oleh seseorang
untuk menyakiti orang lain atau menyiksa orang lain.
Kamus Besar Bahasa Indonesia arti penganiayaan adalah perilaku sewenang-
wenang (penyiksa, penindasan, dan sebagainya).6 Hal ini dimuat pengertian dalam arti
luas, yakni termasuk perasaan atau batinnya. 7
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak memberikan penjelasan
tentang apa yang dimaksud dengan istilah penganiayaan (mishandelling) selain hanya
menyebut penganiayaan saja, namun pengertian penganiayaan dapat ditemukan dalam
beberapa yurisprudensi, yaitu: Penganiayaan adalah perbuatan dengan sengaja yang
menimbulkan rasa tidak enak, rasa sakit atau luka. Selanjutnya dalam pasal 351 ayat
(4) masuk dalam pengertian “penganiayaan adalah perbuatan sengaja merusak
kesehatan orang”. Kejahatan terhadap tubuh atau penganiayaan dapat diartikan
dengan kesengajaan yang menyebabkan sakit atau luka pada orang lain dengan
ancaman hukuman yang beraneka ragam sesuai dengan bentuk dari penganiayaan
tersebut. Dapat dikatakan bahwa ada perumusan secara material, hal tersebut terlihat
dalam pasal 351 KUHP yang tidak menunjuk pada perbuatan tertentu seperti
mengambil ata mencuri. Menurut Tirtamidjaja, pengertian penganiayaan adalah
sengaja menyebabkan sakit atau luka pada orang lain.

5
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 10, hlm.7
6
Departemen Pendidikan Nasional RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Kamus Pusat Bahasa,
2008), hlm.73
7
Leden Marpaun, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh (Pemberantasan dan Prevensinya) (Cet.
III; Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 5

4
B. UNSUR-UNSUR PENGANIAYAAN
Suatu jarimah penganiayaan dapat dikenakan sanksi apabila memenuhi
beberapa unsur-unsur sebagai berikut:
1. Perbuatan menimbulkan rasa sakit atau luka pada badan orang lain;
2. Tidak dengan maksud patut atau dengan kata lain melewati batas yang diizinkan;
3. Perbuatan diiringi dengan niat ingin menyakiti orang lain.
Dengan terpenuhinya dari unsur-unsur tersebut, maka dapat dikatakan pelaku
telah melanggar ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh syariat. Dan barang
siapa yang melakukan wajib dikenai sanksi yang sudah ditetapkan.
Adami Chazawi mengklasifikasikan unsur-unsur penganiayaan sebagai
berikut:
1. Adanya kesengajaan;
2. Adanya perbuatan;
3. Adanya akibat perbuatan (yang dituju), yaitu rasa sakit pada tubuh dan atau luka
pada tubuh.8

Menurut Sayid Sabiq suatu perbuatan dapat diatuhi hukuman apabila telah
memenuhi unsur-unsur jarimah baik yang bersifat umum maupun unsur yang bersifat
khusus. Unsur khusus untuk jarimah penganiayaan adalah sebagia berikut:

1. Pelaku berakal
2. Sudah mencapai usia baligh
3. Motovasi kejahatan disengaja
4. Darah orang yang dilukai sederajat dengan orang yang melukai.9

8
Adami Chazawi, Kejahatan terhadap Tubuh dan Nyawa, (Jakarta: Raja Grafindo, 2002), hlm. 10.
9
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 10, h. 75.

5
C. MACAM-MACAM PENGANIAYAAN
Macam-macam penganiayaan dikelompokan menjadi dua dari segi niat dan
dari segi objeknya (sasaran).
a. Ditinjau dari segi niatnya
Ditinjau dari segi niatnya si pelaku, tuindak pidana penganiayaan dibagi menjadi
dua bagian:
1) Tindak pidana penganiayaan dengan sengaja
2) Tindak pidana penganiayaan dengan tidak sengaja.

Menurut Abdul Qadir Audah tindak pidana penganiayaan dengan sengaja


adalah yang melawan hukum.10 Artinya seseorang dengan sengaja melakukan tindak
pidana agar perbuatannya tersebut dapat menyebabkan orang lain terluka. Seperti
seseorang sengaja melempar orang lain dengan batu agar batu tersebut mengenai
salah satu anggota badannya. Sedangkan tindak pidana penganiayaan tidak sengaja
yaitu pelaku sengaja melakukan perbuatan tersebut namun tidak ada niatan untuk
melawan hukum.11 Maksudnya adalah seseorang memang sengaja melakukan
perbuatan tersebut tetapi tidak ada sama sekali niatan untuk melukai orang lain.
Misalnya orang melempar batu dengan tujuan membuangnya, namun kurang hati-hati
batu tersebut mengenai orang dan melukainnya.

b. Ditinjau dari segi objek atau sasarannya


Para fuqaha’ membagi tindak pidana penganiayaan menjadi lima bagian, baik
tindakan pidana penganiayaan dengan sengaja maupun tindak pidana
penganiayaan tidak sengaja. Pembagian ini merupakan kesimpulan dari berbagai
pendapat mengenai perbuatan pidana.36
1) Penganiayaan pada anggota dan sejenisnya (atraf)
Menurut fuqaha’ adalah tangan dan kaki. Namun pengertian tersebut juga
dimaksudkan pada anggota badan selain atraf yakni jari, kuku, gigi, rambut,
jenggot, alis, kumis, hidung, lidah, dzakar, biji pelir, telinga, bibir, mata, dan
bibir kemaluan wanita.12 Jadi penganiayaan jenis ini adalah melakukan

10
Abd al-Qadir ‘Awdah, al-Tashri’ al-Jina’iy al-Islamy, hlm. 204.
11
ibid. hlm. 204.
12
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h. 185.

6
perusakan pada anggota badan baik berupa pemotongan maupun pelukaan,
mencongkel mata dan merontokkan gigi juga termasuk di dalamnya.
2) Menghilangkan manfaat anggota badan namun jenisnya masih tetap utuh.
Penganiayaan jenis ini merupakan perusakan terhadap anggota badan namun
jenis anggota badannya masih ada, seperti menghilangkan fungsifungsi
pendengaran tetapi telinganya masih utuh, menghilangkan fungsi
pengelihatan, penciuman, perasaan lidah, kemampuan berbicara, bersenggama
dan lain sebagainya.
3) Al-Shajjaj
Pelukaan khusus pada wajah dan kepala. sedangkan pelukaan anggota
badan selain pelukaan pada wajah dan kepala disebut al-Jarah. Menurut Imam
Abu Hanifah, Al-Syajjaj adalah pelukaan pada wajah dan kepala, namun
khusus pada bagian tulangnya saja seperti dahi. Sedangkan pipi yang
mengandung banyak daging tidak termasuk dalam Al-Syajjaj. Tetapi para
Ulama berpendapat bahwa Al-Syajjaj adalah mutlak pelukaan pada wajah dan
kepala.13
Imam Abu Hanifah membagi Al-Syajjaj menjadi sebelas macam, yang
di antaranya yaitu:
a. Al-Kharisah, yakni pelukaan pada kulit yang tidak mengeluarkan darah.
b. Al-Dama’ah, yaitu pelukaan yang mengeluarkan darah, tetapi darah
tersebut tidak sampai mengalir, hanya saja menetes seperti air mata.
c. Al-Damiyah, yakni pelukaan yang menyebabkan darah mengalir.
d. Al-Badi’ah, yakni pelukaan yang menyebabkan daging terpotong.
e. Al-Mutalahimah, yakni pelukaan yang menyebabkan daging terpotong
lebih dalam dari al-Bazi’ah.
f. Al-samahaq, yakni pelukaan yang menyebabkan daging terpotong lebih
dalam lagi, sehingga selaput antara daging dan tulang terlihat, dan selaput
itu sendiri bernama simhaq.
g. Al-Mauzihah, yakni pelukaan yang lebih dalam lagi sehingga selaput
tersebut robek dan tulangnya terlihat.
h. Al-Halimah, yakni pelukaan yang lebih dalam lagi sehingga tulang
tersebut terpotong atau pecah.

13
Abd al-Qadir ‘Awdah, al-Tashri ’ al-Jina’iy al-Isla my, h. 206.

7
i. Al-Munqalah, yakni pelukaan yang tidak hanya memotong tulang tetapi
hingga memindahkan tulang.
j. Al-Ammah, yakni pelukaan yang lebih dalam lagi sehingga sampai pada
selaput antara tulang dan otak yang disebut ummu al-dima’.
k. Al-Dami’ah, yakni pelukaan yang menyebabkan selaput antara tulang dan
otak robek, sehingga otaknya terlihat.
l. Al-Jirah, yakni pelukaan pada anggota tubuh selain wajah, kepala, dan
atraf. Al-Jira h dibagi menjadi dua bagian, yaitu jaifah dan ghairu jaifah.
m. Jaifah, adalah pelukaan yang sampai menusuk ke dalam dada dan perut
atau sejenisnya, yakni dada, perut bagian depan dan samping, slaah satu
dari dua pelir, dubur atau kerongkongan.
n. Ghairu jaifah, yakni pelukaan selain yang terdapat pada luka jaifah atau
tidak sampai menusuk ke dalam hanya luarnya saja.
4) Tindakan selain yang telah disebutkan di atas.
Adalah penganiayaan yang tidak sampai merusak athraf atau
menghilangkan fungsi anggota badan dan tidak menimbulkan luka syajjaj atau
jirah. Seperti pemukulan pada wajah, tangan, kaki atau badan. Namun tidak
menyebabkan luka, tetapi hanya rasa sakit atau memar saja. Ulama Hanafiyah
tidak menggolongkan pelukaan ini sebagai qisas namun pada ta’zir saja. Sebab
pelukaan ini hanya mengakibatkan memar saja, dan tidak sampai
mengakibatkan luka pada athraf atau menghilangkan fungsinya, dan tidak
menimbulkan luka syajjaj ataupun jirah.

D. HUKUMAN BAGI PELAKU JARIMAH PENGANIAYAAN


Sanksi jarimah penganiayaan dalam hukum pidana islam tetap berlaku hukum
qishash dengan sanksi-sanksi yang beragam satu sama lain sesuai dengan jenis, cara,
dan dibagian tubuh mana jarimah penganiayaan itu terjadi.
1. Sanksi untuk tindak pidana penganiayaan sengaja berupa pemotongan anggota
tubuh (al-athraaf).
Pemotongan anggota tubuh menurut para fuqaha adalah kedua tangan dan
kedua kaki. Sanksi tindak pidana penganiayaan berupa pemotongan anggota tubuh
adalah qishash sesuai hukuman pokok dan diyat sebagai hukuman cadangan
(pengganti) apabila hukuman qishash tidak bisa dilaksanakan karena suatu sebab.

8
2. Sanksi untuk tindak pidana sengaja berupa penghilangan fungsi anggota tubuh
(Idzhabma’aal-athraf)
Seseorang dijatuhi hukuman ketika ia melakukan tindak penganiayaan
berupa menghilangkan fungsi/ manfaat anggota tubuh orang lain sedangkan
anggota tubuh atau organ tubuh tersebut masih utuh. Seperti hilangnya fungsi
telinga, fungsi untuk merasa, fungsi untuk berjalan, dan sebagainya. Sanksi untuk
tindak pidana penganiayaan (Idzhabma’aalathraf) adalah qishash (pembalasan
yang sama/setimpal), selama hukuman qishash bisa diusahakan untuk
dilaksanakan. Namun jika memang hukuman qishash tidak bisa untuk
dilaksanakan, maka yang wajib adalah diyat atau irsy yang telah ditentukan oleh
syara.
3. Sanksi untuk tindak pidana penganiayaan syajjaj (pelukaan pada bagian kepala
dan wajah) secara sengaja.
Syajjaj adalah pelukaan pada bagian muka dan kepala. Pelukaan tersebut
ada yang ringan dan ada yang berat. Imam Abu Hanifah membagi tindak pidana
penganiayaan syajaj ini kepada 11 (sebelas) jenis yaitu:
1) Al-Kharisah, yaitu luka yang merobek kulit dan tidak menimbulkan
pendarahan,
2) Ad-Dami’ah yaitu luka yang menimbulkan pendarahan, tetapi tidak sampai
mengalir seperti darah.
3) Ad-Damiyah yaitu luka yang megalirkan darah.
4) Al-Badi’ah yaitu luka yang memotong daging.
5) Al-Mutalahimah, yaitu luka yang menghilangkan daging.
6) As-samhaq, yaitu luka yang memotong daging dan menampakkan lapisan tipis
antara daging dan tulang.
7) Al-Mudihah, yaitu luka yang memotong kulit yang melindungi tulang dan
menampakkan tulang walaupun hanya seujung jarum,.
8) Al-Hasyimah, yaitu luka yang memecahkan tulang.
9) Al-Munqilah, yaitu luka dengan pindahnya tulang setelah pecah.
10) Al-‘amah, yaitu luka yang menembus tulang (tempurung) kepala, yaitu lapisan
dibawah tulang dan di atas otak.
11) Ad-Damigah, yaitu luka yang menembus lapisan (dibawah tulang) sampai ke
otak.

9
Hukuman untuk tindak pidana penganiayaan syajjaj sebagian ada yang
dikenakan qishash, dan sebagian lagi ada yang dikenakan diyat. Hukuman qishash
dari sebelas jenis syajjaj yang dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah hanya satu
jenis yang disepakati oleh fuqaha untuk dikenakan hukuman qishash, yaitu
mudhihah. Sedangkan jenis-jenis syajjaj di atas mudhihah para fuqaha telah
sepakat tidak berlaku hukuman qishash, karena sangat sulit untuk dilakukan
secara tepat tanpa ada kelebihan. Adapun jenis-jenis syajjaj di bawah mudhihah,
para fuqaha berbeda pendapat tentang diterapkannya hukuman qishash atas jenis-
jenis syajjaj tersebut. Imam Malik berpendapat bahwa dalam semua jenis syajjaj
sebelum mudhihah berlaku hukuman qishash, karena hal itu masih mungkin untuk
dilaksanakan. Menurut Imam Abu Hanifah mengacu kepada riwayat Al-Hasan
tidak ada qishash kecuali pada mudhihah dan samhaq, itupun kalau
memungkinkan.14
4. Sanksi untuk tindak pidana penganiayaan al-jirah (pelukaan terhadap selain wajah
dan kepala) secara sengaja.

Al-jirah adalah pelukaan pada bagian tuuh selain kepala dan muka. Luka
al-jirah ada dua macam, yaitu luka ja’ifah dan luka non ja’ifah. Luka ja’ifah
adalah luka yang tembus sampai ke bagian dalam dari rongga dada, rongga perut,
punggung atau sampai pada bagian dalam antara dua buah pelir, serta dubur dan
tenggorokan. Luka ini tidak bisa terjadi pada tangan, kaki, atau leher karena tidak
ada rongga yang bisa sampai ke dalamnya. Sedangkan luka non ja’ifah adalah
luka yang tidak sampai ke bagian dalam rongga tubuh, seperti lika pada leher,
tangan, ataupun kaki.

Hukuman pokok untuk tindak pidana penganiayaan al-jirah yaitu hukuman


qishash. Apabila hukuman qishash tidak bisa dilaksanakan terhadap tinak pidana
penganiayaan al-jirah dikarenakan tiak memungkinkan untuk dilakukan
pembalasan dengan pelukaan yang sama dengan pelukaan yang dilakukan oleh
pelaku terhadap korban, maka yang wajib adalah irsy dan ‘adl. al-Jirah ada
kalanya dalam bentuk luka jᾱ’ifah dan ada kalanya dalam
bentuk luka non jᾱ’ifah. Untuk luka jᾱ’ifah, irsinya adalah sepertiga diyat,
berdasarkan hadist Amr Ibnu Haszm, “ pada luka jᾱ’ifah terdapat sepertiga diyat.”

14
Alie Yafie Dkk, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam (Kharisma Ilmu), hlm. 21&44.

10
Sedangkan untuk luka non jᾱ’ifah, di dalamnya terdapat hukuman ‘adl
(kompensasi harta yang besarannya ditentukan oleh hakim).

5. Sanksi untuk tindak pidana penganiayaan sengaja yang tidak masuk ke dalam
salah satu dari empat jenis penganiayaan di atas.
Apabila tindak pidana penganiayaan tidak menimbulkan luka pada anggota tubuh,
tidak menghilangkan fungsi anggota tubuh, tidak menimbulkan syajjaj, dan tidak
pula mengakibatkan al-jirah, maka menurut pendapat kebanyakan para fuqaha
dalam kasus ini tidak berlaku hukuman qishash. Adapun tindak pidana yang
termasuk ke dalam jenis penganiayaan yang kelima ini adalah kejahatan atau
tindakan yang berupa penempelengan, pemukulan dengan cambuk. Hal yang
demikian tidak dikenakan hukuman qishash apabila tidak meninggalkan bekas.
Adapun sanksi untuk tindak pidana penganiayaan seperti ini menurut pendapat
para jumhur ulama ialah anti rugi yang tidak tertentu, yaitu ganti rugi yang
ketentuannya diserahkan kepada ijtihad hakim.

E. DASAR HUKUM PENGANIAYAAN


Al-qur’an menjelaskan undang-undang yang tercantum dalam kitab Taurat
mengenai hukuman qishash, dalam QS. Al-Maidah 45 yang artinya “ dan kami telah
tetapkan terhadap mereka di dalamnya (taurat) bahwasanya jiwa dibalas dengan jiwa,
mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi,
dan luka-lukapun ada qishashnya”.

Rasulullah juga bersabda yang artinya “ Ibnu Syiraih Khuza’i ra menceritakan


bahwa rasulullah SAW bersabda: “ siap yang terbunuh keluarganya sesudah saya
berkata ini, maka ahli (denda) atau balas membunuh (qishash)”. Mengenai penjelasan
anggota tubuh yang wajib terkena qishash dan yang tidak ialah setiap anggota tubuh
yang mempunyai ruas (persendian) yang jelas, seperti siku dan pergelangan tangan,
ini wajib terkena qishash. Adapun anggota tubuh yang tidak bersendi tidak terkena
qishash, sebab pada yang pertama mungkin bisa dilakukan persamaan tapi yang kedua
tidak bisa. Adapun persyaratan qishash anggota tubuh adalah:15

15
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 10, hlm. 76-77.

11
1. Jangan berlebihan, yaitu pemotongan agar dilakukan pada sendi-sendi atau pada
tempat yang berperan sebagai sendi, sebagaimana yang telah disebutkan contoh-
contohnya.
2. Adanya kesamaan dalam nama dan lokasi, maka tidak dipotong tangan kanan
oleh sebab pemotong tangan kiri, tidak tangan kiri karena tanan kanan, tidak jari
kelingking karena jari manis, dan juga sebaliknya.
3. Adanya kesamaan antara kedua belah pihak pelaku kejahatan dan korban dalam
segi kesehatan dan kesempurnaanya. Di samping ada hukuman qishash bagi
orang yang melakukan jarimah pelukaan atau penganiayaan, ada hukuman
lainnya berupa diyah yang meliputi denda sebagai ganti qishash dan denda selain
qishash.

Menurut A. Hanafi, diyah adalah hukuman pokok bagi pembunuhan dan


penganiayaan semi sengaja dan tidak sengaja.16 Sedangkan menurut Sayyid
Sabiq, diyah adalah harta benda yang wajib ditunaikan oleh sebab tindak
kejahatan, kemudian diberikan kepada si korban kejahatan atau kepada ahli
walasnya.17 Ketentuan ayat ini bersumber pada QS. al-Nisa’ (4): 92, yang artinya:
“Dan telah layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain)
kecuali karena tersalah (tidak sengaja) dan barang siapa membunuh seorang
mukmin karena tersalah, (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya
yang beriman serta membayar diyah yang diserahkan kepada keluarganya (si
terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah.

Jika ia si terbunuh dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mukmin ,


maka hendaklah si pembunuh memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Dan
jika ia si terbunuh dari kaum kafir yang ada perjanjian damai antara mereka
dengan kamu, maka hendaklah si pembunuh membayar diyah yang diserahkan
kepada keluarganya si terbunuh serta memerdekakan hamba sahaya yang
beriman. Barang siapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia si
pembunuh berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara taubat kepada Allah.
Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” Dan juga bersumber
pada sabda Nabi SAW, yang artinya: “Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin
Hazmin dari Bapak dan dari Neneknya RA menceritakan, bahwa Nabi SAW

16
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, h. 284.
17
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 10, h. 10.

12
menulis surat kepada penduduk Yaman, maka ia menyebutkan haditsnya, antara
lain ialah :.....siapa membunuh orang mukmin dengan sengaja dan terbukti
merelakannya. Sesungguhnya diyah satu diri ialah 100 onta, hidung jika sampai
dipotong habis ada diyahnya, dua mata ada diyahnya, lisan ada diyahnya dua
bibir ada diyahnya, kemaluan ada diyahnya, dua biji kemaluan laki-laki ada
diyahnya, tulang belakang ada diyahnya, satu kaki diyahnya ½ diyah, ubun-ubun
diyahnya 1/3, luka yang tembus kedalam diyahnya 1/3, pukulan yang
memindahkan tulang diyahnya 15 ekor onta, tiap jari tangan dan jari kaki
diyahnya 10 ekor onta, tiap gigi diyahnya 5 ekor onta, luka yang menampakkan
tulang diyahnya 5 ekor onta, dan laki-laki dibunuh disebabkan dia membunuh
perempuan, dan atas orang yang mempergunakan alat bayarnya emas, maka
seratus ekor onta itu dinilai seribu dinar.”60 Penganiayaan atau jarimah pelukaan
menurut Hukum Pidana Islam dibagi menjadi dua, yaitu pelukaan pada badan
atau organ tubuh dan pelukaan pada muka dan kepala.

Mengenai hukuman pada pelukaan kepala, yakni apa yang dibayarkan,


karena Fuqoha’ telah sependapat bahwa dia dikenakan pada pelukaan mudihah
yang dilakukan secara sengaja, sedang pelukaan yang kurang dari mudihah
dikategorikan sebagai pelukan tidak sengaja. Fuqaha’ telah sependapat bahwa
pada pelukaan yang kurang dari mudihah tidak dikenakan diyah melainkan hanya
dikenai hukuman. Segolongan Ulama mengatakan hanya dikenai ongkos dokter.
Menurut salah satu riwayat dari Ali ra. bahwa ia menetapkan empat ekor onta
untuk pelukaan yang kurang dari mudihah. Untuk pelukaan mudihah (luka
tampak tulang) Fuqoha’ telah sependapat bahwa diyahnya 5 ekor onta, luka hal-
imah (memecahkan tulang) dikenakan 1/10 diyah, luka munaqqilah dikenakan
1/10 dan separuh dari 1/10 diyah jika secara tidak sengaja, luka ma’mumah
dikenakan 1/3 diyah, luka ja’ifah dikenakan 1/3 diyah.

Sedangkan diyah pemotongan anggota badan jika terpotong secara tidak


sengaja, untuk diyah bibir dikenai 1 diyah penuh, tiap-tiap bibir ½ diyah, dua
telinga dikenai 1 diyah penuh, tentang kelopak mata masing-masingnya ¼ diyah,
kedua belah pelir dikenai 1 diyah penuh, pelukaan atau pemotingan lidah yang
terjadi secara tidak sengaja dikenakan 1 diyah, pelukaan memotong hidung
seluruhnya dikenakan diyah penuh, pemotongan alat kelamin laki-laki yang sehat

13
dikenakan diyah penuh, jari jemari masingmasing dikenakan diyah 10 ekor onta,
tiap-tiap gigi yang tanggal dari gusi dikenakan diyah 5 ekor onta.18

Dari berbagai pemaparan diatas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai


berikut:

1. Unsur-unsur jarimah pelukaan adalah menimulkan rasa sakit atau luka, tidak
dengan maksud patut, dan diiringi dengan niat ingin menyakiti orang lain.
2. Sanksi penganiayaan adalah qishash atau ta’zir.
3. Jika penganiayaan dengan sanksi qishash anggota tubuh makqa disyaratkan
tidak berlebihan, adanya kesamaan dalam nama dan lokasi, adanya
kesamaan antara kedua belah pihk pelaku kejahatan dan korban dalam segi
kesehatan dan kesempurnaannya.
4. Disamping itu ada sanksi diyah, yaitu denda sebagai ganti qishash dan denda
selain qishash.

18
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Jilid 3, h. 584-595.

14
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak memberikan penjelasan
tentang apa yang dimaksud dengan istilah penganiayaan (mishandelling) selain hanya
menyebut penganiayaan saja, namun pengertian penganiayaan dapat ditemukan dalam
beberapa yurisprudensi, yaitu: Penganiayaan adalah perbuatan dengan sengaja yang
menimbulkan rasa tidak enak, rasa sakit atau luka. Apabila hukuman qishash tidak
bisa dilaksanakan terhadap tinak pidana penganiayaan al-jirah dikarenakan tiak
memungkinkan untuk dilakukan pembalasan dengan pelukaan yang sama dengan
pelukaan yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban, maka yang wajib adalah irsy
dan ‘adl.
An-Nisa’ (4): 92, yang artinya: “Dan telah layak bagi seorang mukmin
membunuh seorang mukmin (yang lain) kecuali karena tersalah (tidak sengaja) dan
barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah, (hendaklah) ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyah yang
diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga
terbunuh) bersedekah”. Sesungguhnya diyah satu diri ialah 100 onta, hidung jika
sampai dipotong habis ada diyahnya, dua mata ada diyahnya, lisan ada diyahnya dua
bibir ada diyahnya, kemaluan ada diyahnya, dua biji kemaluan laki-laki ada diyahnya,
tulang belakang ada diyahnya, satu kaki diyahnya ½ diyah, ubun-ubun diyahnya 1/3,
luka yang tembus kedalam diyahnya 1/3, pukulan yang memindahkan tulang
diyahnya 15 ekor onta, tiap jari tangan dan jari kaki diyahnya 10 ekor onta, tiap gigi
diyahnya 5 ekor onta, luka yang menampakkan tulang diyahnya 5 ekor onta, dan laki-
laki dibunuh disebabkan dia membunuh perempuan, dan atas orang yang
mempergunakan alat bayarnya emas, maka seratus ekor onta itu dinilai seribu dinar”.
Penganiayaan atau jarimah pelukaan menurut Hukum Pidana Islam dibagi
menjadi dua, yaitu pelukaan pada badan atau organ tubuh dan pelukaan pada muka
dan kepala. Sedangkan diyah pemotongan anggota badan jika terpotong secara tidak
sengaja, untuk diyah bibir dikenai 1 diyah penuh, tiap-tiap bibir ½ diyah, dua telinga
dikenai 1 diyah penuh, tentang kelopak mata masing-masingnya ¼ diyah, kedua belah
pelir dikenai 1 diyah penuh, pelukaan atau pemotingan lidah yang terjadi secara tidak

15
sengaja dikenakan 1 diyah, pelukaan memotong hidung seluruhnya dikenakan diyah
penuh, pemotongan alat kelamin laki-laki yang sehat dikenakan diyah penuh, jari
jemari masingmasing dikenakan diyah 10 ekor onta, tiap-tiap gigi yang tanggal dari
gusi dikenakan diyah 5 ekor onta.

B. SARAN
Demikian paparan dari makalah ini, mengenai “Tindak Pidana Atas Selain Jiwa
(Penganiayaan)”. Makalah ini masih banyak kekurangannya, sehingga demi
kesempurnaan isi makalah ini sekirannya dari pembimbing dan dari teman-teman
sekalian atas sarannya penyusun mengucapkan terima kasih.

16
DAFTAR PUSTAKA

Chazawi, Adami. 2002. Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa. Jakarta: Raja Grafindo

Departemen Pendidikan RI. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Kamus Pusat
Bahasa

Djazuli. 1997. Fiqih Jinayah. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Marpaun, Leden. 2005. Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh (Pemberantasan dan
Prevensinya). Jakarta: Sinar Grafika

Muslich, Ahmad Wardi. 2004. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar
Grafika

Sabiq, Sayyid. 1990. Fikih Sunnah. Bandung: Al-Ma’arif

Wahid, Abd dan Muh Irfan. 2001. Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual:
advokasi atas Hak Perempuan. Bandung: Refika Aditama

17

Anda mungkin juga menyukai