Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

Hukum Islam dan hak non-Muslim

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Mata
Kuliah :Hukum Islam dan Hak Asasi Manusia
Dosen Pengampu: Ahmad Rofi’i MA.,LL.M.,Ph.D.

Disusun Oleh Kelompok 8:


1. Nurul Annisa (1908201090)
2. Sa’diyah (1908201108)
3. Indah Dwi Puspita (1908201095)
4. Andi Maulana (1908201123)
5. Haedar Ma’sum (1908201087)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)


SYEKH NURJATI CIREBON
2021 M/1442 H
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah Swt. Sang penguasa alam semesta
yang dengan rahmat dan rahimnya sehingga kami dapat menyelesaiakan makalah ini
dengan judul “Hukum Islam dan hak non-Muslim” sesuai dengan waktu yang telah
ditentukan. Sholawat serta salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada baginda
alam Nabi besar Muhammad Saw, beserta keluarga dan sahabat beliau, yang dengan
perjuangan atas nama Islam hingga dapat kita nikmati sampai saat ini indahnya Islam
dan manisnya Iman.
Adapun tujuan makalah ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memenuhi
tugas terstruktur mata kuliah Hukum Islam dan Hak Asasi Manusia pada program studi
Hukum Keluarga (HK) semester 5 kelas C. Makalah ini merupakan proses pembelajaran
untuk mengetahui dan memahami hal-hal yang berkaitan dengan Hukum Islam dan hak
non-Muslim Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam pembuatan dan
penyusunan makalah ini, maka dari itu kritik dan saran kami harapkan dari para
pembaca agar makalah ini menjadi lebih baik lagi. Terima kasih kami ucapkan sebesar-
besarnya kepada pihak yang terlibat dan memberikan dukungan dalam proses
pembuatan makalah ini.

Penyusun

Kelompok 8

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................ii
DAFTAR ISI...................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................4
A. Latar Belakang Masalah.........................................................................................4
B. Rumusan Masalah..................................................................................................4
C. Tujuan Penulisan....................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................6
A. Prinsip non-diskriminasi berdasar agama dalam hukum HAM.............................7
B. Pembagian tradisional atas kafir (dzimmi, harbi, mu’ahad dan musta’min)........10
C. Rekonstruksi fikih tentang relasi dengan non muslim di negara demokratis.......11
BAB III PENUTUP.......................................................................................................14
Kesimpulan..................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................15

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Didunia ini manusia hidup dengan berbagai budaya,bahasa,keyakinan
kepercayaan,dan lain lain.ada namun dengan halnya begitu kita harus bisa saling
menjaga daan saling mengasihi satu sama lain walaupun beda budaya ataupun beda
kepercayaan atau keyakinan dengan kita, mereka semua tidak bisa dipaksakan untuk
mengikuti kepercayaan kita karena setiap manusia yang ada dibumi ini memiliki
haknya masing masing untuk menentukan hidupnya, namun dengan halnya begitu
walaupun kita berbeda beda tidak boleh saling mengejek dan saling memusihi akan
tetapi kita harus bisa saling mengasihi,apalagi kita sebagai umat muslim yang hidup
dinegara dengan berbagai budaya, bahasa, tradisi, suku dan agama maka dari itu sikap
kita haruslah saling menghargai dan mengasihi satu sama lain,nabi pun mengajarkan
kita agar hidup saling rukun dan damai dengan orang yang berbeda dengan kita baik
itu budaya atau keyakinan (non-muslim).

Kerapkali terjadi permasalahan antara Muslim dengan non Muslim,karena


mereka memiliki keyakinan dan keimanan tersendiri dalam meyakini Tuhannya
masing-masing, dan sama-sama memiliki landasan dan dasar-dasar yang kuat
terhadap pegang teguh agamanya.Adapun perbedaan tersebut dapat disatukan dalam
sebuah disiplin ilmu Antropologi. Karena di dalamnya membahas tentang
keberagaman hubungan dalam bermasyarakat. Antropologi secara sederhana adalah
ilmu yang mempelajari tentang masyarakat dan kebudayaan. Antropologi juga
merupakan salah satu ilmu sosial yang meneliti manusia dari segi fisik dan
kebudayaannya. Kajian antropologi sangat holistik dalam mencari kebenaran
mengenai kehidupan makhluk di muka bumi. Artinya bukan hanya meneliti fisiknya,
termasuk meneliti pola pikir, pola hidup, dan sistem sosial yang berlaku.1

B. Rumusan Masalah
1. Apa prinsip non-diskriminasi berdasar agama dalam hukum HAM ?
2. Apa pembagian tradisional atas kafir (dzimmi, harbi, mu’ahad dan musta’min) ?

1
Ulfa Rizki Amalia, Relasi Muslim Dengan Non Muslim, “Qaf” 2:2 (Mei, 2017): 259.

4
3. Apa rekonstruksi fikih tentang relasi dengan non-muslim dinegara demokratis ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk Mengetahui prinsip non-diskriminasi berdasar agama dalam hukum HAM
2. Untuk Mengetahui pembagian tradisional atas kafir (dzimmi, harbi, mu’ahad dan
musta’min)
3. Untuk Mengetahui rekonstruksi fikih tentang relasi dengan non-muslim dinegara
demokratis

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Prinsip Non-Diskriminasi Berdasar Agama Dalam Hukum HAM


1. Perda Tentang Pendidikan (Perda Provinsi NTT No. 7 Tahun 2014 tentang
Penyelenggaraan Pendidikan di Daerah; Perda Provinsi Jawa Barat No. 7
Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Pendidikan; dan Perda Provinsi DKI
Jakarta No. 8 Tahun 2006 tentang Sistem Pendidikan)
Berdasarkan Pasal 13 ayat (1) Kovenan Hak-hak Ekosob (Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Hak-hak Ekosob), bahwa
Negara mengakui hak setiap orang atas pendidikan. Pasal 13 ayat (2) menyatakan
bahwa negara mengupayakan hak tersebut (menikmati hak pendidikan) secara
penuh, antara lain; pendidikan dasar harus diwajibkan dan tersedia secara cuma-
cuma bagi semua orang, secara merata, yang sedapat mungkin didorong atau
ditingkatkan kepada orang yang belum mampu mendapatkan atau belum
menyelesaikan pendidikan dasar mereka (termasuk pengentasan buta aksara),
pemberian beasiswa serta peningkatan kualitas pengajar secara terus menerus.
Kebijakan yang dibuat menjadi sebatas hanya pada pemenuhan kebutuhan
pendidikan dan belum pada hak wararganegaranya atas pendidikan. Hak atas
pendidikan berkaitan erat dengan hak sipil dan politik serta hak ekonomi, sosial
dan budaya. Pemenuhan hak atas pendidikan bukan saja dalam rangka pemenuhan
HAM, tetapi juga akan memberi pengaruh langsung bagi penikmatan dan
pemenuhan hak-hak lainnya. Oleh karena itu, dari perspektif HAM, kebijakan
publik dapat pula dipahami sebagai suatu upaya atau tindakan untuk
mempengaruhi sistem pencapaian tujuan yang diinginkan, upaya dan tindakan
dimaksud bersifat strategis, berjangka panjang dan menyeluruh. kebijakan bidang
HAM adalah mengenai prinsip-prinsip dasar HAM yang salah satunya adalah
unsur interdependent yang artinya bahwa pemenuhan HAM harus saling terkait
atau saling tergantung.
B. Pembagian Tradisional Atas Kafir (Dzimmi, Harbi, Mu’ahad Dan Musta’min)
Pemahaman tentang kafir adalah musuh Islam, bukan berarti semua orang
kafir wajib diperangi, pemahaman seperti itu adalah pemahaman yang sangat
sederhana. Disini perlu dilakukan pemilahan atas pemahaman tersebut. Pada zaman
Nabi SAW istilah kafir sendiri adalah sebutan orang muslim kepada non muslim

6
sebagaimana terlaku dalam ajaran Islam. Kafir dalam bahasa Indonesia sendiri
berlaku demikian, sedangkan ahl al-dzimmah sendiri merupakan sebutan bagi orang
kafir yang mendapatkan jaminan kelangsungan hidup yang diberikan oleh orang
muslim, dalam kalangan masyarakat Indonesia penyebutan kafir dzimmi satu maksud
dengan penyebutan ahl al-dzimmah yang terdapat dalam bahasa hadits dan
masyarakat fiqh.
Ibnu al-Qayyim rahimahullah mengatakan: “Setelah surat Bara’ah (at-Taubah)
turun, masalah orang kafir terbagi menjadi tiga golongan: kafir Dzimmi (ahlu al-
dzimmah), kafir Mu’ahad (ahlu al-‘ahdi) dan kafir harbi (al-muharibin) Mengenai
definisi secara jelasnya adalah sebagai berikut:
Kafir Dzimmi
Golongan yang kelima yaitu ahlu dzimmah (kafir dzimmi), secara etimologi,
ahlu dzimmah adalah orang kafir yang menjadi warga negara Islam. 2 Sedangkan
pengertian secara terminologi, ahlu dzimmah adalah sekelompok orang kafir yang
hidup (bertempat tinggal) di wilayah yang berada di bawah kekuasaan muslim.
Golongan inilah yang paling banyak memiliki hak atas kaum Muslimin dibandingkan
dengan dua golongan lainnya (kafir al-mu’ahad dan al-musta’man). Karena mereka
hidup di negara Islam dan di bawah perlindungan dan penjagaan kaum Muslimin
dengan sebab upeti (jizyah) yang mereka bayarkan tiap tahun. Sebagaimana yang
tercantum dalam al-Qur’an surat at-Taubah (9):29.

ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َّ ِ
َ ‫ين الَ يُْؤ منُو َن باللّه َوالَ ب الَْي ْوم اآلخ ِر َوالَ حُيَِّر ُم و َن َم ا َح َّر َم اللّهُ َو َر ُس ولُهُ َوالَ يَدينُو َن د‬
‫ين احْلَ ِّق‬ َ ‫قَاتلُواْ الذ‬
﴾٢٩ : ‫اغُرو َن ﴿التوبة‬ ِ ‫ِمن الَّ ِذين ُأوتُواْ الْ ِكتَاب حىَّت يعطُواْ اجْلِزيةَ عن ي ٍد وهم ص‬
َ ْ ُ َ َ َ َْ ُْ َ َ َ َ

Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada
hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah
dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu
orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar
jizyah dengan patuh sedang mereka dalam Keadaan tunduk.3

Ibnul Qayyim menyebutnya dengan istilah ahlu al-hudnah atau ahlu ash-
shulhi, kadangkala disebut juga dengan al-muwadi’in.4 Ibnul Qayyim rahimahullah
juga menyatakan: “Para Ulama ahli fiqih telah berijma’ bahwa jizyah (upeti) diambil
dari Ahli kitab dan orang dari Majusi.
2
H. Mahmud Yunus, Kamus Yunus, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1989), hal.135.
3
QS. Al-Taubah (9):29.
4
Ibnul Qayyim, Ahkam Ahli Dzimmah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2002), juz I

7
Kafir Harbi

Secara etimologi harbi adalah peperangan. Maksudnya orang kafir yang


mengajak berperang atau sekelompok orang kafir yang menolak penyebaran Islam
dan berada di wilayah diluar kekuasaan muslim, maka dapat disimpulkan orang kafir
harbi adalah seluruh orang musyrik dan ahlu al-kitab yang boleh diperangi atau
semua orang kafir yang menampakkan permusuhan dan menyerang kaum Muslimin.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menyatakan: “Kafir harbi
tidak memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dan pemeliharaan dari kaum
Muslimin.”5
Golongan ini diperangi, apabila mereka atau negaranya yang telah
menampakkan atau menyatakan perang terhadap kaum Muslimin atau kaum
Muslimin terlebih dahulu mengumumkan perang terhadap mereka setelah orang-
orang kafir ini menolak ajakan kepada Agama Islam. Sebagaimana pernyataan yang
tertuang dalam ayat al-Qur’an surat al-Taubah (9):107

ِ ِ ِِ ِ ِ ‫ِّ خَّت‬
‫ْل‬
ُ ‫ب اهللَ َو َر ُس ْولَهُ م ْن َقب‬ َ ‫ْرا َوَت ْف ِر ْي ًق ا َبنْي َ املُْؤ مننْي َ َوِإْر‬
َ ‫ص ًادا ل َم ْن َح َار‬ ً ‫َواَلذيْ َن ا َ ُد ْوا َم ْس ج ًدا ض َر ًارا َو ُكف‬
‫َولَيَ ْحلِ ُف َّن ِإ ْن ََأر ْدنَا ِإاَّل احلُ ْسىَن َواهللُ يَ ْش َه ُد ِإن َُّه ْم لَ َك ِذبُ ْو َن‬
Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid
untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mukmin), untuk kekafiran dan
untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan
orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. mereka
Sesungguhnya bersumpah: “Kami tidak menghendaki selain kebaikan.” Dan Allah
menjadi saksi bahwa Sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya).6
Perlu diketahui, tidak semua kafir harbi diperangi. Dalam banyak hadits,
Rasulullah SAW melarang membunuh orang yang tidak ikut perang seperti anak-
anak, wanita, orang-orang jompo, lumpuh, banci, pendeta dan orang buta. Syaikh
Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa tujuh golongan
ini tidak boleh dibunuh kecuali dengan salah satu dari tiga sebab berikut:
1) Mereka memiliki peran pemikiran dan pengaturan strategi.
2) Apabila mereka ikut berperang.
3) Memberikan dorongan semangat kepada para tentara musuh untuk berperang.

Kafir Mu’ahad
5
Syaik Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Huququn Da’at Ilaiha al-Fithrah Wa Qarraraha asy-
Syari’ah, (Madar al-Wathan, 2007), hal.16.
6
QS. Al-Taubah (9):107.

8
Kafir yang satu ini hampir sama dengan model kafir sebelumnya yaitu kafir
dzimmi mengenai jaminan keamanan yang diberikan, yang membedakan di antara
keduanya adalah dari segi domisili dan pungutan jizyah saja. yang mana kafir dzimmi
golongan kafir yang menetap disuatu negara yang menjalankan syari’at Islam,
sedangkan kafir mu’ahad mereka mendapatkan keamanan dari kaum muslim atas
perjanjian yang disepakati, namun mereka tidak menetap di dar al-Islam.
Melalui pembagian kategori kafir tersebut dapat dipahami bahwa sebenarnya
tidak semua orang kafir menentang ajaran Islam dan orang muslim. Kelompok
dzimmi adalah kelompok orang kafir yang justru hidup di dar al-Islam (negara yang
menggunakan sistem pemerintahan syari’at Islam), di bawah jaminan perlindungan
muslim. Dengan perjanjian tertentu dan kewajiban membayar jizyah, kelompok
minoritas dzimmi ini berharap mendapatkan perlindungan dari kelompok mayoritas
muslim, selain kafir al-dzimmi, kafir mu’ahad dan kafir musta’man juga berada
dibawah jaminan perlindungan muslim. Hubungan antara muslim dan non muslim
sama sekali tidak dilarang oleh Allah, selama pihak-pihak lain menghormati hak-hak
muslim.7
Kafir Musta’min
Selain itu, al-Musta’min adalah orang kafir harbî yang memasuki Negara
Islam (dâr al-Islâm) dengan aman, tanpa berhasrat tinggal dan menetap selama-
lamanya di Negara Islam, tetapi berniat untuk tinggal beberapa waktu dan tidak boleh
lebih dari satu tahun. Jika melewati batas itu dan bermaksud tinggal selamanya, maka
statusnya berubah menjadi dzimmî. Dia menjadi dzimmî selama berada di dalam
Negara Islam dan dimasukkan ke dalam golongan musta’man dalam hal memperoleh
keamanan. 8
Melalui pemilahan kategori kafir tersebut dapat dipahami bahwa sebenarnya
tidak semua orang kafir menentang ajaran Islam dan muslim. Kelompok dzimmî
adalah kelompok orang kafir yang justru hidup dibawah perlindungan muslim.
Dengan perjanjian tertentu dan kewajiban membayar jizyah, kelompok minoritas
dzimmî ini berharap mendapatkan perlindungan dari kelompok mayorits muslim.
Hubungan antara muslim dan non-muslim sama sekali tidak dilarang oleh Allah,
selama pihak-pihak lain menghormati hak-hak muslim.

7
Said Agil Husin Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, (Jakarta: Penamadani, 2004), hal.186-
187.
8
Said Agil Husin Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, (Jakarta : Penamadani, 2004), h. 186-187.

9
C. Rekonstruksi Fikih Tentang Relasi Dengan Non-Muslim Dinegara Demokratis

Rekonstruksi Fikih

Gagasan rekonstruksi fikih (tajdîd al-fiqh) dalam merespons modernitas


memiliki signifikansi kajian yang positif. Secara umum, substansi dari diskursus
tajdîd tersebut terfokus pada dua proyek. Pertama, pembaharuan normativitas fikih
(tajdîd al-fikih al-Islâmî). Kedua, pembaharuan usul fikih sebagai metodologi ijtihad.
Keduanya merupakan dua entitas yang berbeda, tetapi tidak bisa dipisahkan.
Diskursus pembaruan ijtihad fikih akan memperjelas bargaining position fikih
kontemporer dalam kajian fikih klasik. Menurut Yusuf al-Qarâdawi, fikih
kontemporer tidak hanya sebagai solusi atas masalah-masalah fikih kontemporer,
tetapi lebih sebagai bentuk review kritis konstruktif (I’âdatun nadzar al-banna’)
terhadap fikih klasik baik dari segi muatan materi maupun metodologisnya.
Dalam upaya tajdîd tersebut, al-Qarâdawi merekomendasikan tiga tipologi
ijtihad kontemporer: ijtihâd intiqâ’i (ijtihad selektif), ijtihâd insyâ’i (ijtihad produktif)
dan ijtihâd indimâ’ji (ijtihad integratif). Tidak hanya itu, upaya tajdîd juga harus
dilakukan pada aspek metodologi dan pendekatannya. Dalam kajian usul fikih,
metode istinbâth hukum dikategorikan dalam tiga metode: 1). Metode bayânî yakni
metode analisis berbasis gramatika linguistik. Dengan metode ini teks dianalisis
berdasarkan kaidah-kaidah kebahasaan, hasilnya bersifat literalis-skriptualis; 2).
Metode ta’lîlî (kausasi), yakni metode pencarian rasio-legis (illah) hukum yang
terdapat dalam teks. Metode ini juga dikenal dengan metode qiyâsî (analogi-
silogistik); 3). Metode istislâhî (teleologis), yakni pencarian makna pesan substantif
(tujuan hukum/ultimate value) di balik teks. Metode ini juga dikenal dengan metode
maqâshidî (purposive method).
Dengan metode penemuan hukum di atas, paling tidak ada tiga pendekatan
yang relevan. Pertama, pendekatan literalis-tekstualis berbasis pada gramatika
linguistik (dalam istilah al-Jabiri dikenal dengan metode bayânî) dalam pengungkapan
makna inferensial teks (mâ fî an-nash). Sementara hukum Islam tidak lahir dari
kondisi yang hampa (eksnihilo) dan diturunkan dalam kondisi yang hampa (innihilo)
pula. Kedua, pendekatan sosio-historis (social-historical approaches), melihat pada
konteks asbab nuzul (Alquran) dan asbâbul wurûd (al-Sunnah) untuk mengetahui
makna preferensial teks (mâ haula al-nash). Ketiga, pendekatan filosofis-hermeneutis,
digunakan untuk menemukan makna substansial teks (mâ warâ’a al-nash).

10
Pendekatan di atas tidak berdiri secara parsial, melainkan secara integral.
Sebab notabene problematika fikih kontemporer masih bersifat aktual, tidak banyak
dikaji dalam literatur fikih klasik, karena muatan materinya merupakan rekaman
realitas klasik. Menurut Syamsul Anwar, fikih klasik punya banyak kelemahan
sehingga tidak cukup memadai untuk menjawab problematika kontemporer.
Karenanya, mujtahid harus menggunakan berbagai pendekatan integratif saintifik dan
multi perspektif. Dengan demikian, hukum harus dikonsepsikan sebagai ius
constituendum (law as what ought to be) atau fikih yang seharusnya, yakni fikih yang
sesuai ruh syariat, bukan hukum sebagai ius constitutum (law as what it’s in the book)
atau fikih apa adanya. Di sinilah letak ruang ijtihad (majal al-ijtihâd) fikih responsif.9

Relasi dengan Non-Muslim di Negara Demokratis

Tafsir mengenai hubungan Islam dan negara di kalangan umat Islam sampai
sekarang terbagi dalam tiga aliran. Pertama, aliran yang berpendirian bahwa Islam
bukanlah semata-mata agama dalam pengertian Barat, yaitu hanya menyangkut
hubungan manusia dan Tuhan, sebaliknya Islam adalah suatu agama yang sempurna
dan lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan termasuk kehidupan
politik. Para pendukung aliran ini berpendapat bahwa (1) Islam adalah suatu agama
yang serba lengkap. Di dalamnya terdapat pula antara lain sistem ketatanegaraan atau
politik. Oleh karena itu, dalam bernegara umat Islam hendaknya kembali kepada
sistem ketatanegaraan Islam, dan tidak perlu atau bahkan jangan meniru
ketatanegaraan Barat; (2) Sistem ketatanegaraan atau politik Islami yang diteladani
adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad saw. dan empat al-
Khulafa ar-Rasyidun. Tokoh-tokoh utama dari aliran ini antara lain Hasan al-Banna,
Sayyid Qutb, Muhammad Rasyid Rida dan al-Maududi. Aliran ini sering disebut
dengan aliran tradisionlis.

Aliran yang kedua adalah aliran yang berpendirian bahwa Islam adalah agama
dalam pengertian Barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan.
Menurut aliran ini Nabi Muhammad hanyalah seorang rasul biasa seperti halnya
rasul-rasul sebelumnya, dengan tugas tunggal mengajak manusia kembali kepada
kehidupan mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur, dan Nabi tidak pernah
9
Maulidi, Menggagas Fikih Responsif: Upaya Progresif Modernisasi Fikih “Al'Adalah” 14:2 (2017): 512-513.

11
diutus dimaksudkan untuk mendirikan dan mengepalai satu negara. Tokoh-tokoh
terkemuka dari aliran ini antara lain Ali ‘Abd ar-Raziq dan Taha Husain. Aliran ini
sering dinamakan aliran sekularis.

Aliran yang ketiga adalah aliran yang menolak pendapat bahwa Islam adalah
suatu agama yang serba lengkap dan bahwa dalam Islam terdapat sistem
ketatanegaraan. Akan tetapi aliran ini juga menolak anggapan bahwa Islam adalah
agama dalam pengertian Barat yang hanya mengatur bungan manusia dan Tuhan.
Aliran ini berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan,
tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara. Di antara tokoh
dalam aliran ini yang menonjol adalah Muhammad Husein Haikal. Aliran yang ketiga
ini dinamakan aliran modernis atau aliran substansialis.

Menurut Yusuf Qardhawy, ada perbedaan besar antara negara yang ditegakkan
berdasarkan Islam dengan negara kaum agamawan yang pernah dikenal Barat kristen
pada abad pertengahan. Di Barat, “daulah diniyah” (otoritas agama) berarti “daulah
kanisah” (otoritas gereja). Sebab, ada perbedaan yang mencolok antara sesuatu yang
Islami dengan sesuatu yang agamis. Banyak orang mengira bahwa sesuatu yang
Islami adalah agamis. Menurut kenyataannya, pengertian kata Islam jauh lebih besar
ketimbang pengertian agama. Bahkan para ulama ushul menjadikan agama salah satu
lima atau enam hal mendasar yang syari’at datang untuk melindunginya, yaitu agama,
jiwa, akal, keturunan, harta, dan sebagian ulama menambahkan kehormatan. Sangat
keliru jika ada paham yang mengatakan bahwa negara yang dibangun atas prinsip
Islam sama dengan negara agamawan. Di dalam Islam, negara adalah negara madani
yang ditegakkan berdasarkan pemilihan, bai’at atau musyawarah.

Dalam konteks negara Indonesia, peran agama khususnya Islam sebagai


agama mayoritas sangat strategis bagi proses transformasi demokrasi saat ini. Dalam
konteks konsolidasi demokrasi, umat Islam seyogyanya memandang dan menjadikan
kesepakatan (agreement) di antara kalangan nosionalis sekuler dan nasionalis muslim
untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar NKRI sebagai komitmen kebangsaan yang
harus tetap di pertahankan sampai kapan pun. Kesepakatan harus dipandang sebagai
komitmen suci (sacred commitment) pada pendiri bangsa (founding fathers) itu yang
harus dilestarikan sepanjang masa oleh semua warga bangsa. Komitmen untuk
menjaga kesepakatan para pendiri bangsa inilah masa depan demokrasi Indonesia

12
harus diletakkan dalam tataran Indonesia yang plural dalam bingkai Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Dengan ungkapan lain, konsep NKRI dan Pancasila
dengan kebinekaannya adalah tidak bisa dilepaskan dari ijtihad kelompok Islam
Indonesia yang harus dijaga, dilestarikan, dan diaktualisasikan dengan pengembangan
ajaran-ajaran Islam yang berwawasan inklusif, kemanusiaan, keadilan, dan
keindonesiaan. Hal serupa berlaku juga bagi negara. Ia memiliki kewajiban
konstitusional untuk menjamin kemajemukan dalam demokrasi Indonesia.10

Relasi agama dan negara dalam perspektif Islam: Mengenai tema hubungan
agama dan negara ini,ada dua aliran yang berpendapat tentang hubungan antara
agama dengan negara. Aliran Pertama, berpendirian Islam bukanlah semata mata
agama yang menyangkut hubungan antara manusia dengan Tuhan,tetapi Islam adalah
agama yang lengkap dengan segala aspek kehidupan manusia termasuk kebudayaan
bernegara (tokohnya Hasan al-Banna, Sayyid Qutub dan Abu ala al-Maududi‘).

Aliran Kedua, berpendirian Bahwa Islam adalah agama yang tidak ada
hubungannya dengan urusan kenegaraan, Alasannya bahwa Nabi Muhammad Saw
adalah seorang Rasul biasa seperti rasul-rasul sebelumnya yang bertugas tunggal
mengajak Manusia kembali ke jalan yang mulia dan menjunjung tinggi budi pekerti
luhur, Nabi tidak pernah di maksudkan mendirikan dan mengepalai suatu negara
(tokohnya Ali Abdul.Al-Raziq danThaha Husein).

Aliran Ketiga, menolak pendapat yang mengatakan bahwa IslamAdalah


agama yang serba lengkap, menolak pula bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem
ketatanegaraan. Aliran ini berpendapat bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem
ketatanegaraan,tetapi Terdapat seperangkat tata nilai etika dalam kehidupan bernegara
(tokoh tokohnya Muhammad Husein Haikal).

Relasi agama dan negara dalam perspektif Pancasila: Pandangan Ahmad


Syafi‘I Ma‘arif mengenai Pancasila adalah sebagai konsep murni, netral dan sekuler.
Kemudian pancasila dalam pandangan Natsir dalam pidatonya. Penafsiran seseorang
terhadap pancasila bisa bermacam-macam, tergantung pada pandangan filosofis

10
Zuhraini, Islam: Negara, Demokrasi, Hukum Dan Politik “Analisis Jurnal Studi Keislaman” 14:1 (Juni
2014): 34-48.

13
seseorang itu sehingga belum jelas sila yang mana yang menjadi sumber sila yang
lain. Mengenai sumber pancasila, apakah itu sosiologis, sekuler atau yang lain,
menurut Prof. Notonagoro yang terpenting adalah kelahiran pancasila dan
perkembangannya pada periode awal tidak dapat dipisahkan dari proses kelahiran
Indonesia sebagai sebuah negara baru. Secara implisit ini bearti bahwa kelahiran
Indonesia merdeka adalah identik dengan kelahiran pancasila.

Negara yang berdasakan Pancasila menurut Driyarkara bukanlah negara


profan. Pancasila adalah titik temu reasi Tuan dengan Manusia dalam menegara,
meskipun teradang sulit memilah manakah yang harus dikedepankan. Persoalannya
manakah yang bertentangan dengan prinsip keagamaan yang dianut, ataukah ini
murni persoalan sosial politik dalam menegara. Kendati sering kali mengalami
dilema, akan tetapi tujuan bernegara dalam knsepsi negara pancasila tiada lain
tujuannya adalah untuk menjalankan cinta kasih kita kepada Tuhan untuk semua
manusia tanpa melihat apa agamanya.11

11
Imbuh Thobiin, Relasi Agama Dan Negara Perbandingan UUD 1945, Islam Dan Barat: hal 10-26.

14
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan materi yang disampaikan di atas, kami menyimpulkan beberapa
kalimat yang setidaknya dapat mewakili ssusunan dari materi di atas. Pertama,
Kebijakan bidang HAM adalah mengenai prinsip-prinsip dasar HAM yang salah
satunya adalah unsur interdependent yang artinya bahwa pemenuhan HAM harus
saling terkait atau saling tergantung. Kedua, Kafir dalam bahasa Indonesia sendiri
berlaku demikian, sedangkan ahl al-dzimmah sendiri merupakan sebutan bagi orang
kafir yang mendapatkan jaminan kelangsungan hidup yang diberikan oleh orang
muslim, dalam kalangan masyarakat Indonesia penyebutan kafir dzimmi satu maksud
dengan penyebutan ahl al-dzimmah yang terdapat dalam bahasa hadits dan
masyarakat fiqh. Ketiga, Gagasan rekonstruksi fikih (tajdîd al-fiqh) dalam merespons
modernitas memiliki signifikansi kajian yang positif. Diskursus pembaruan ijtihad
fikih akan memperjelas bargaining position fikih kontemporer dalam kajian fikih
klasik. Menurut Yusuf al-Qarâdawi, fikih kontemporer tidak hanya sebagai solusi atas
masalah-masalah fikih kontemporer, tetapi lebih sebagai bentuk review kritis
konstruktif (I’âdatun nadzar al-banna’) terhadap fikih klasik baik dari segi muatan
materi maupun metodologisnya.

15
DAFTAR PUSTAKA

Husin Munawar Said Agil, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, (Jakarta: Penamadani, 2004),
hal.186-187.
Imbuh Thobiin, Relasi Agama Dan Negara Perbandingan UUD 1945, Islam Dan Barat: hal
10-26.

Islam: Negara, Demokrasi,

Mahmud Yunus, Kamus Yunus, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1989), hal.135.


Maulidi, Menggagas Fikih Responsif: Upaya Progresif Modernisasi Fikih “Al'Adalah” 14:2
(2017): 512-513.

Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin Syaik, Huququn Da’at Ilaiha al-Fithrah Wa Qarraraha
asy-Syari’ah, (Madar al-Wathan, 2007), hal.16.
Qayyim Ibnul, Ahkam Ahli Dzimmah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2002), juz I
Ulfa Rizki Amalia, Relasi Muslim Dengan Non Muslim, “Qaf” 2:2 (Mei, 2017): 259.

Zuhraini, Islam: Negara, Demokrasi, Hukum Dan Politik “Analisis Jurnal Studi Keislaman”
14:1 (Juni 2014): 34-48.

16

Anda mungkin juga menyukai