Anda di halaman 1dari 13

HUKUM ISLAM

OLEH:
SAHRUL REZA SETIAWAN
04020190654
HUKUM ISLAM U25

ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbilalamin, segala puji bagi Allah SWT yang telah
memberikan nikmat serta hidayah-Nya terutama nikmat kesempatan dan kesehatan
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah mata kuliah Hukum Islam yang
berjudul “Hukum Islam” ini. Kemudian shalawat beserta salam kita sampaikan
kepada Nabi besar kita Muhammad SAW yang telah memberikan pedoman hidup
yakni Al-Qur’an dan sunnah untuk keselamatan umat di dunia.
Makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Hukum Islam di program
studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia. Selanjutnya
penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak dosen
pembimbing mata kuliah Hukum Islam dan kepada segenap pihak yang telah
memberikan bimbingan serta arahan selama penulisan makalah ini.
Akhirnya penulis menyadari bahwa banyak terdapat kekurangan-kekurangan
dalam penulisan makalah ini, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran
yang konstruktif dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Terima kasih,
dan semoga makalah ini bisa memberikan manfaat positif bagi kita semua.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................
DAFTAR ISI.................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................
A. Latar Belakang.......................................................................................
B. Rumusan Masalah.................................................................................
C. Tujuan Penulisan....................................................................................
D. Manfaat Penulisan..................................................................................
BAB II
PEMABAHASAN...........................................................................................
A. Pengertian Hukum Islam..........................................................................
B. Ruang Lingkup Hukum Islam..................................................................
C. Bagian-Bagian Hukum Islam...................................................................
D. Sumber Hukum Islam................................................................................
E. Masyarakat Islam dan Non Islam............................................................
F. Hubungan Teori Receptio In Complexu Terhadap Pemberlakuan Syariat
Islam di Indonesia ..............................................................................................
BABA III
PENUTUP..........................................................................................................
A. Kesimpulan
B. Saran..........................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Kebebasan beragama merupakan salah satu hak dasar yang dimiliki oleh
setiap manusia di dunia dalam rangka mencari Tuhannya. Kebebasan beragama ini
memiliki empat aspek, yaitu
a) kebebasan nurani (freedom of conscience),
b) kebebasan mengekspresikan keyakinan agama (freedom of religious
expression),
c) kebebasan melakukan perkumpulan keagamaan (freedom of religious
association), dan
d) Kebebasan melembagakan keyakinan keagamaan (freedom of religious
institution).
Menurut konsep kebebasan di atas, maka kebenaran pribadi harus dianggap
sebagai nilai yang yang paling luhur (supreme value). Ia menghendaki komitmen
serta pertanggungjawaban pribadi yang mendalam. Komitmen serta
pertanggungjawaban pribadi ini harus berada di atas komitmen terhadap agen-agen
otoritatif lainnya seperti negara, pemerintah, dan masyarakat.
Negara Indonesia merupakan negara yang plural (majemuk). Kemajemukan
Indonesia ini ditandai dengan adanya berbagai agama yang dianut oleh penduduk,
suku bangsa, golongan, dan ras. Letak geografis Indonesia yang berada di tengah-
tengah dua benua, menjadikan negara ini terdiri dari berbagai ras, suku bangsa, dan
agama.
Kemajemukan agama di Indonesia tidak terlepas dari perjalanan sejarah bagaimana
bangsa Indonesia itu muncul. Hal tersebut ditandai dengan munculnya banyaknya
kerajaan di Indonesia yang menganut bermacam agama. Tidak diragukan lagi,
perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia itu mengakibatkan adanya beberapa
agama yang dianut oleh bangsa Indonesia pada masa-masa selanjutnya. Agama
bagi bangsa Indonesia merupakan potensi yang besar.
Sebagai potensi, pada satu sisi agama dapat menjadi pendorong dan
pendukung arah pembangunan Indonesia. Pada sisi yang lain, isu tentang agama
dapat menjadi pemicu konflik antarumat beragama. Oleh sebab itu, hubungan baik
antarumat beragama yang terwujud dalam tiga kerukunan hidup beragama
Indonesia diharapkan selalu terwujud dalam perjalanan hidup bangsa. Setiap
agama mengajarkan kebenaran dan kebaikan. Setiap penganut terpanggil untuk
menanamkan dominasi kebenaran dan keselamatan mutlak pada pihaknya serta
kesesatan dan kecelakaan fatal pada pihak yang lain. Interpretasi yang berbeda dan
pemikiran teologis yang berlain mengenai konsep ini merupakan sumber
perselisihan antarumat beragama.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai
berikut:
1) Bagaimanakah perhatian Islam terhadap masyarakat?
2) Bagaimana menerapkan teori receptio in complexu terhadap pemberlakuan
hukum Islam bagi orang Islam di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Islam
Hukum Islam adalah syarit yang berarti aturan yang diadakan oleh
Allah untuk Umat-Nyayang dibawa oleh seorang Nabi SAW.baik hukum
(aqidah) maupun hukum-hukum yang berhubungandengan amaliyah
(perbuatan) yang dilakukan oleh umat muslim semuanya.
B. Ruang Lingkup Hukum Islam
Ruang ligkup hukum islam adalah objek kajian hukum islam atau
bidang-bidang hukumyang menjadi bagian dari hukum islamdisini meliputi
syariat dan fikih.
C. Bagian-Bagian Hukum Islam
a) Wajib
b) Sunnah
c) Haram
d) Makruh
e) Mubah
D. Sumber Hukum Islam
Sumber hukum isalam adalah Al-Quran dan Al-Hadist,sebagian
hukum yang diturunkan oleh Allahswt.Syariat islam telah menetapkan
tujuan-tujuan luhuryang akan menjaga kehormatan manusia.
a) Al-Quran
b) Hadist
c) Ijma
d) Qiyas
E. Masyarakat Islam dan Non Islam
Kebebasan dan toleransi merupakan dua hal yang sering kali
dipertentangkan dalam kehidupan manusia, secara khusus dalam komunitas yang
beragam. Persoalan tersebut menjadi lebih pelik ketika dibicarakan dalam wilayah
agama.
Kebebasan beragama dianggap sebagai sesuatu yang menghambat
kerukunan (tidak adanya toleransi), karena dalam pelaksanaan kebebasan, mustahil
seseorang tidak menyentuh kenyamanan orang lain. Akibatnya, pelaksanaan
kebebasan menghambat jalannya kerukunan antarumat beragama.
Demikian juga sebaliknya upaya untuk merukunkan umat beragam agama
dengan menekankan toleransi sering kali dicurigai sebagai usaha untuk membatasi
hak kebebasan orang lain. Toleransi dianggap sebagai alat pasung kebebasan
beragama.
Kebebasan beragama pada hakikatnya adalah dasar bagi terciptanya
kerukunan antarumat beragama. Tanpa kebebasan beragama tidak mungkin ada
kerukunan antarumat beragama.
Demikian juga sebaliknya, toleransi antarumat beragama adalah cara agar
kebebasan beragama dapat terlindungi dengan baik. Keduanya tidak dapat
diabaikan. Namun yang sering kali terjadi adalah penekanan dari salah satunya,
yaitu penekanan kebebasan yang mengabaikan toleransi, dan usaha untuk
merukunkan dengan memaksakan toleransi dengan membelenggu kebebasan.
Untuk dapat mempersandingkan keduanya, pemahaman yang benar mengenai
kebebasan bergama dan toleransi antarumat beragama merupakan sesuatu yang
penting.
Kebebasan beragama adalah hak setiap manusia. Hak yang melekat pada
manusia karena ia adalah manusia. Hak untuk menyembah Tuhan diberikan oleh
Tuhan, tidak ada seorang pun yang boleh mencabutnya. Negara pun tidak berhak
merampas hak tersebut dari setiap individu. Pengakuan hak kebebasan beragama
yang melekat dalam setiap individu tersebut dinyatakan dengan gamblang dalam
deklarasi universal HAM Pasal 1 dan 18.

Toleransi yang berasal dari kata “toleran” itu sendiri berarti bersifat atau
bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan), pendirian
(pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, dan sebagainya) yang berbeda dan
atau yang bertentangan dengan pendiriannya. Selanjutnya, kata “toleransi” juga
berarti batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan
(Kamus Umum Bahasa Indonesia).Jadi, dalam hubungannya dengan agama dan
kepercayaan, toleransi berarti menghargai, membiarkan, membolehkan
kepercayaan, agama yang berbeda itu tetap ada, walaupun berbeda dengan agama
dan kepercayaan seseorang.
Toleransi tidak berarti bahwa seseorang harus melepaskan kepercayaannya
atau ajaran agamanya karena berbeda dengan yang lain, tetapi mengizinkan
perbedaan itu tetap ada.Toleransi menjadi jalan terciptanya kebebasan beragama,
apabila kata tersebut diterapkan pada orang pertama kepada orang kedua, ketiga
dan seterusnya. Artinya, pada waktu seseorang ingin menggunakan hak
kebebasannya, ia harus terlebih dulu bertanya pada diri sendiri, “Apakah saya telah
melaksanakan kewajiban untuk menghormati kebebasan orang lain?” Dengan
demikian, setiap orang akan melaksanakan kebebasannya dengan bertanggung
jawab. Agama-agama akan semakin moderat jika mampu mempersandingkan
kebebasan dan toleransi. Kebebasan merupakan hak setiap individu dan kelompok
yang harus dijaga dan dihormati, sedang toleransi adalah kewajiban agama-agama
dalam hidup bersama. Sikap agama yang lebih moderat, tidak hanya dituntut ada
dalam agama Islam, tetapi pada semua agama yang ada di Indonesia. Agama-
agama harus menyadari bahwa dunia semakin heterogen. Jadi tidak mungkin lagi
untuk memimpikan kehidupan beragama yang homogen. Diskriminasi yang
dialami oleh agama-agama tidak perlu menimbulkan semangat balas dendam,
karena biasanya diskriminasi agama tidak berasal dari agama itu sendiri, melainkan
dipengaruhi faktor lain. Agama dalam pelaksanaan misinya tidak boleh lagi
bersikap tidak peduli dengan agama-agama lain. Kemajauan suatu agama tidak
boleh membunuh kehidupan agama-agama yang ada di Indonesi Toleransi dan
kerukunan hidup umat beragam antara Islam dan non Islam, telah diperaktekan
oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya, pada waktu itu rasulullah memimpin
negara Madinah, beliau sebagai kepala negara dari komunitas negaranya, terdiri
atas penganut Islam, Yahudi dan Nasroni beliau memimpin masyarkat majemuk.
Dengan shahifah (piagam madinah) sebagai konstitusinya yang oleh
sementara pengamat disebut sebagai the first written constitution in the world.
Piagam madinah memuat pokok-pokok kesepakatan.
a) Semua umat Islam, walaupun berasal dari banyak suku merupakan satu
komunitas.
b) Hubungan antara komunitas Islam dengan non Islam didasarkan atas prinsip-
prinsip bertetangga baik. Saling membantu dan saling menghadapi musuh
bersama. Membela mereka yang teraniyaya saling menasehati,
menghormati, kebebasan beragama, kedua ke Abbesinin (Ethiopia) ketiga
perlakuan adil terhadap non nISlam di pengadilan pada waktu dia berhadapn
dengan Ali bin Abi Tholib (kepala negara waktu itu) dan Ali bin Abi Thalib
di kalahkan. Keempat kerukunan hidup umat beragama pernah di peraktekan
oleh ISLam, Yahudi dan Nasrani di Spanyol, sebagaimana di ungkapkan
oleh Nurcholis Majid (1994:36) mengutip ungkapan Max Dimont bahwa
selama 500 tahun dibawah pemerintahan Islam membuat Spanyol untuk tiga
agama dan satu tempat tidur Islam, Kristen dan Yahudi hidup rukun
bersama-sama menyertai perbedaan yang genting.
F. Hubungan Teori Receptio In Complexu Terhadap Pemberlakuan Syariat
Islam di Indonesia
Merekonstruksi catatan sejarah yang ada pada masa pasca kemerdekaan,
kesadaran umat Islam untuk melaksanakan hukum Islam boleh dikatakan semakin
meningkat. Perjuangan mereka atas hukum Islam tidak berhenti hanya pada tingkat
pengakuan hukum Islam sebagai subsistem hukum yang hidup di masyarakat,
tetapi juga sampai pada tingkat lebih jauh, yaitu legalisasi dan legislasi. Mereka
menginginkan hukum Islam menjadi bagian dari sistem hukum nasional, bukan
semata-mata substansinya, tetapi secara legal formal dan positif. Perjuangan
melegal-positifkan hukum Islam mulai menampakkan hasil ketika akhirnya hukum
Islam mendapat pengakuan konstitusional yuridis. Berbagai peraturan perundang-
undangan yang sebagian besar materinya diambil dari kitab fikih -yang dianggap
representatif- telah disahkan oleh pemerintah Indonesia. Diantaranya Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah
Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Khusus untuk yang
terakhir, ia merupakan tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Pokok-Pokok Agraria.
Setelah lahirnya Undang-Undang yang berhubungan erat dengan nasib
legislasi hukum Islam di atas, kemudian lahir Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama, sebuah lembaga peradilan yang khusus
diperuntukkan bagi umat Islam. Hal ini mempunyai nilai strategis, sebab
keberadaannya telah membuka kran lahirnya peraturan-peraturan baru sebagai
pendukung (subtansi hukumnya). Sehingga pada tahun 1991 Presiden Republik
Indonesia mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 yang berisi
tentang sosialisasi Kompilasi Hukum Islam (KHI). Terlepas dari pro dan kontra
keberadaan KHI nantinya diproyeksikan sebagai Undang-Undang resmi negara
(hukum materiil) yang digunakan di lingkungan Pengadilan Agama sebagai hukum
terapan. Perkembangan terakhir, sebagai tuntutan reformasi di bidang hukum
khususnya lembaga peradilan dimulai dengan diamandemennya Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman oleh
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970 yang kini kembali direvisi menjadi Undang-Undang Nomor
4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Perubahan Undang-Undang diatas
secara otomatis membawa efek berantai pada Peradilan Agama, sehingga Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama juga mengikuti jejak,
yakni diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan Atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Seiring dengan momentum amandemen Undang-Undang tentang Peradilan
Agama, maka muncul perubahan paradigma baru yakni Peradilan Agama dari
peradilan keluarga menuju peradilan modern. Semula Peradilan Agama hanya
menangani perkara-perkara sumir -sebagian besar masalah perceraian- kini
dihadapkan pada perkara-perkara ekonomi syari’ah yang relatif baru dalam dunia
ekonomi Indonesia, namun dalam perkembangannya cukup mempengaruhi
konfigurasi ekonomi Indonesia. Oleh karena itu hakim dalam menyelesaikan
sengketa ekonomi syari’ah tidak cukup hanya berbekal pada doktrin hukum “fikih
madzhab” yang merupakan produk nalar para imam madzhab sekitar tiga belas
abad yang lalu, tetapi harus dibekali dengan undang-undang, mengapa? Kalau
penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah hanya didasarkan pada madzhab fikih
yang dianut oleh masing-masing hakim, itu sangat berbahaya karena akan
menjurus pada suatu putusan yang berdisparitas tinggi dan tidak adanya kepastian
hukum, karena masing-masing hakim akan berbeda madzhab, sehingga yang
terjadi adalah pertarungan madzhab. Hal ini akan sangat merugikan para pihak
pencari keadilan yang kebetulan madzhabnya juga berbeda. Putusan yang
demikian bertentangan dengan azas legalitas (principle of legality). Oleh karena itu
adanya undang-undang yang mengatur tentang ekonomi syari’ah menurut teori
kontrak sosial adalah merupakan bagian dari upaya negara untuk memberikan
perlindungan hukum bagi warga negara pencari keadilan. Pada dasarnya
pelembagaan hukum Islam dalam bentuk peraturan perundang-undangan
merupakan tuntutan dari kenyataan nilai-nilai dan fikrah (pemikiran) umat Islam
dalam bidang hukum, kesadaran berhukum pada syari’at Islam secara sosiologis
dan kultural tidak pernah mati dan selalu hidup dalam sistem politik manapun, baik
masa kolonialisme Belanda, Jepang maupun masa kemerdekaan dan masa
pembangunan dewasa ini. Hal ini menunjukkan nilai-nilai ajaran Islam disamping
kearifan lokal dan hukum adat memiliki akar kuat untuk tampil menawarkan
konsep hukum dengan nilai-nilai yang lebih universal, yakni berlaku dan diterima
oleh siapa saja serta di mana saja, karena Islam merupakan sistem nilai yang
ditujukan bagi tercapainya kesejahteraan seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin).
Syari’at Islam meskipun dalam realitanya telah membumi dan menjiwai setiap
aktifitas sehari-hari bangsa Indonesia (khususnya umat Islam), dan banyak
dijadikan acuan Hakim Pengadilan Agama dalam memutus perkara, namun belum
merupakan undang-undang negara. Oleh karena itu pelembagaan hukum Islam
dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah kegiatan di
bidang ekonomi syari’ah merupakan suatu tuntutan kebutuhan hukum umat Islam,
khususnya dan bagi para pelaku bisnis di bidang ekonomi syari’ah pada umumnya.
Secara sosiologis, hukum merupakan refleksi dari tata nilai yang diyakini
masyarakat sebagai suatu pranata dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Itu berarti, muatan hukum yang berlaku selayaknya mampu menangkap
aspirasi masyarakat yang tumbuh dan berkembang bukan hanya yang bersifat
kekinian, melainkan juga sebagai acuan dalam mengantisipasi perkembangan
sosial, ekonomi, dan politik di masa depan.
Pluralitas agama, sosial dan budaya di Indonesia tidak cukup menjadi alasan
untuk membatasi implementasi hukum Islam hanya sebagai hukum keluarga.
Dalam bidang muamalah (ekonomi syari’ah) misalnya, hukum perbankan dan
perdagangan dapat diisi dengan konsep hukum Islam. Terlebih kegiatan di bidang
ekonomi syari’ah di Indonesia dalam perkembangannya telah mengalami
pertumbuhan yang signifikan, namun banyak menyisakan permasalahan karena
belum terakomodir secara baik dalam regulasi formil yang dijadikan rujukan oleh
Pengadilan Agama sebagai lembaga yang berwenang menyelesaikan persoalan
tersebut. Hal ini wajar, mengingat belum adanya hukum subtansial dalam bentuk
peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan ekonomi syari’ah
sebagaimana Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.
Pembangunan hukum nasional secara obyektif mengakui pluralitas hukum
dalam batas-batas tertentu. Pemberlakuan hukum adat dan hukum agama untuk
lingkungan tertentu dan subyek hukum tertentu adalah wajar karena tidak mungkin
memaksakan satu unifikasi hukum untuk beberapa bidang kehidupan. Oleh karena
itu tidak perlu dipersoalkan jika terhadap subyek hukum Islam-yang melakukan
kegiatan dibidang muamalah- diperlakukan hukum ekonomi syari’ah. Selanjutnya
wajar pula dalam hubungan keluarga terkadang hukum adat setempat lebih
dominan. Prinsip unifikasi hukum memang harus jadi pedoman, namun sejauh
unifikasi tidak mungkin, maka pluralitas hukum haruslah secara realitas diterima.
Idealnya pluralitas hukum ini haruslah diterima sebagai bagian dari tatanan hukum
nasional. 14 Untuk memenuhi kebutuhan hukum terhadap bidang-bidang yang
tidak dapat diunifikasi, negara dengan segala kedaulatan dan kewenangan yang ada
padanya dapat mengakui atau mempertahankan Todung Mulya Lubis, Cita-Cita
Hukum Nasional dan RUUPA (Dalam Buku Peradilan Agama Dalam Wadah
Negara Pancasila yang disusun oleh Zuffran Sabrie), Pustaka Antara, Jakarta,
1990, hal. 107. hukum yang hidup dalam masyarakat, sekalipun itu bukan produk
hukum negara, seperti hukum adat yang merupakan warisan nenek moyang,
hukum Islam yang bersumber dari ajaran agama dan hukum Barat yang merupakan
peninggalan kolonialis.
Prinsip negara hukum sebagaimana pasal 27 ayat (1) yang berbunyi: “Segala
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam Hukum dan Pemerintahan dan
wajib menjunjung Hukum dan Pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Persamaan di depan hukum di mana kepada seluruh warga negara diberikan
pelayanan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Namun, bukan berarti
pelembagaan hukum Islam bertentangan dengan prinsip di atas sebab bunyi Pasal
29 ayat (2) UUD 1945 yakni: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya
dan kepercayaannya itu.” Jaminan UUD 1945 ini harus dipandang sebagai adanya
kebebasan bagi kaum muslimin untuk melakukan aktifitas keperdataan sesuai
dengan konsep syari’at Islam sebagai keyakinan yang dianutnya.
Hadirnya hukum ekonomi syari’ah dalam ranah sistem hukum nasional
merupakan pengejawantahan dari semakin tumbuhnya pemikiran dan kesadaran
untuk mewujudkan prinsip hukum sebagai agent of development (hukum sebagai
sarana pembangunan), agent of modernization (hukum sebagai sarana modernisasi)
dan hukum sebagai a tool of social engineering (sarana rekayasa sosial)22. Namun
dengan bertambahnya kewenangan tersebut belum diimbangi dengan kesiapan
sarana hukum sebagai rujukan hakim dalam memutus perkara. Oleh karena itu
adanya produk legislasi yang mengatur tentang ekonomi syari’ah sudah sangat
mendesak dan urgen yang pasti akan dirasakan oleh para hakim di lingkungan
Peradilan Agama.
Keberadaan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang ekonomi
syari’ah yang akan datang adalah untuk mengisi kekosongan hukum subtansial
yang dijadikan rujukan oleh para hakim di lingkungan Peradilan Agama dalam
menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah, mengingat masih tersebarnya hukum
materiil Islam khususnya yang berkenaan dengan ekonomi syari’ah di berbagai
kitab fikih muamalah,25 sehingga gagasan legislasi fikih muamalah dapat
dipandang sebagai upaya unifikasi madzab dalam hukum Islam.
Dengan demikian, kehadiran undang-undang yang mengatur kegiatan
ekonomi syari’ah akan datang tidak perlu diperdebatkan lagi, karena kehadirannya
di satu sisi untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat, di sisi lain secara
subtansial akan dijadikan sebagai landasan bagi hakim Pengadilan Agama dalam
menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah. Selanjutnya diperlukan intervensi
negara dalam pembentukan dan pengaturannya karena berhubungan dengan
ketertiban umum dalam pelaksanaannya.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sikap agama yang lebih moderat, tidak hanya dituntut ada dalam
agama Islam, tetapi pada semua agama yang ada di Indonesia. Agama-
agama harus menyadari bahwa dunia semakin heterogen. Jadi tidak mungkin
lagi untuk memimpikan kehidupan beragama yang homogen. Diskriminasi
yang dialami oleh agama-agama tidak perlu menimbulkan semangat balas
dendam, karena biasanya diskriminasi agama tidak berasal dari agama itu
sendiri, melainkan dipengaruhi faktor lain. Agama dalam pelaksanaan
misinya tidak boleh lagi bersikap tidak peduli dengan agama-agama lain.
B. Saran
Toleransi tidak berarti bahwa seseorang harus melepaskan
kepercayaannya atau ajaran agamanya karena berbeda dengan yang lain,
tetapi mengizinkan perbedaan itu tetap ada.

DAFTAR PUSTAKA
PendidikanAgamaIslam.com
Pengantar-hukum-indonesia.com

Anda mungkin juga menyukai