Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

Dasar-Dasar Religius Pendidikan

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Dasar-Dasar pendidikan

Dosen Pengampu :

Dr. Khoirul Anam, M.Pd.I

Disusun Oleh :

Kelompok 4

1.Mia Setyaningsih (12211193002)

2.Alif Rahmawati (12211193081)

3. Agung Hidayat (12211193072)

SEMESTER 2

JURUSAN TADRIS FISIKA

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI TULUNGAGUNG


MARET 2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami

dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Shalawat serta salam semoga tetap

tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafaatnya kelak di

hari kiamat. Penyusun mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat yang telah

diberikan, sehingga penyusun mampu menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas untuk

memenuhi mata kuliah Dasar-Dasar Pendidikan dengan judul “Dasar-Dasar Religius

Pendidikan”.

Penyusun mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu

tersusunnya makalah ini. Serta ucapan terimakasih kepada Dr. Khoirul Anam, M.Pd.I selaku

dosen pengampu mata kuliah Dasar-Dasar Pendidikan atas bimbingannya dalam penyusunan

makalah ini.

Penyusunmenyadari bahwa makalah ini masih kurang dan jauh dari kata sempurna dan

masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, Penyusun

mengharapkan kritik serta saran dari pada pembaca. Selain itu, Penyusun juga memohon maaf

apabila masih banyak kesalahan yang dimuat dalam makalah ini. Semoga makalah yang telah

kami susun dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Wassalamu’alaikum wr.wb

Tulungagung, 26 Maret 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL
KATA PENGANTAR............................................................................................ i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………. ii
BAB I : PENDAHULUAN……………………………………………………………... 1
1.1.Latar Belakang………………………………………………………………. 1
1.2 Rumusan Masalah………………………………………………………….... 1
1.3 Tujuan ………………………………………………………………………. 1
BAB II : PEMBAHASAN……………………………………………………….…….... 2
2.1 Pengertian landasan religius pendidikan…………………………………….. 2
2.2 Hakikat manusia menurut islam……………………………………………... 8
2.3 Implikasi konsep pendidikan………………………………………………... 16

BAB III : PENUTUP……………………………………………………………………. 19


3.1 Kesimpulan………………………………………………………………….. 19

3.2 Saran……………………………………………………………………….... 19
..............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………... 20

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Berbicara tentang dasar itu sangatlah penting dan dasar itu haruslah menggunakan dasar
yang kuat. Di zaman sekarang ini banyak masyarakat yang mnyepelekan tentang pendidikan
islam. Ditinjau dari sila pertama dasar negara kita yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, yang
memberikan kesempatan untuk rakyatnya melaksanakan ajaran agamanya masing-masing, maka
model sistem pendidikan yang dikemukakan ini adalah sistem pendidikan yang ditinjau dari
sudut agama islam.

Pendidikan agama haruslah mengacu pada perbuatan beribadah, yaitu menyerahkan diri
kepada Allah dengan perbuatan demi Allah dan sesuai dengan ketentuan Allah. Allah
memberikan aturan dalam kehidupan manusia untuk mencapai kebhagiaan dunia akhirat dengan
memberikan aturan pada setiap langkah.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apasajakah pengertian landasan religius pendidikan ?


2. Apasajakah hakikat manusia menurut Islam ?
3. Apasajakah implikasi konsep pendidikan ?

1.3 Tujuan

1. Mendeskripsikan pengertian landasan religius pendidikan.


2. Mendeskripsikan hakikat manusia menurut Islam.
3. Mendeskripsikan implikasi konsep pendidikan.

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Landasan Religius Pendidikan


2.1.1 Pengertian dan Ciri-ciri Agama
Dalam berbicara sehari-hari kita sering sekali menggunakan dan mengucapkan kata atau
istilah “agama”, seperti agama Islam, Kristen, Hindu, Budha, kehidupan umat beragama,
kerukunan antar agama, konflik agama, dsb. Istilah agama tersebut sudah menyatu dan tak
terpisahkan dengan kehidupan sehari-hari, dan bahkan dalam kehidupan manusia secara
universal.
1.  Pengertian Agama
a. Pengertian Agama Secara Bahasa (Etimologis)
Masyarakat Indonesia pada umumnya mengenal tiga istilah, pertama istilah
Agama,Kedua istilah Religious (Bahasa Inggris)dan ketiga istilah Ad-Diin (Bahasa Arab). Dari
ketiga istilah tersebut menjadi bahan pertimbangan dikalangan para ahli dalam
mendefinisikannya. Dalam arti bahwa ketiga istilah tersebut mempunyai pengertian dan konotasi
yang sama atau berbeda.
 Pertama, agama. Agama  berasal dari Kata Sansakerta, yang berasal dari dua suku kata,
yaitu a artinya tidak dan gam artinya pergi, jadi agama artinya tidak pergi, tetap ditempat,
diwarisi turun temurun (Harun Nasution, 1979: 9). Sedangkan , Sidi Gazalba (1978: 95),
memberikan penjelasan tentang pengertian agama, yang berasal dari kata gam, mendapatkan
awalan dan akhiran a, sehingga menjadi agama,artinya jalan. Dalam arti bahwa agama adalah
jalan hidup, atau jalan yang harus ditempuh oleh manusia sepanjang kehidupanny, atau jalan
yang menghubungkan antara sumber dan tujuan hidup manusia, dan jalan yang menunjukan dari
mana, bagaimana, dan hendak kemana hidup manusia di dunia ni. Sedangkan dalam Tadjab,dkk.,
(1994: 37) menyatakan bahwa agama berasal dari kata a berarti tidak dan gama berarti kacau.
Berate agama artinya tidak kacau, tidak kocar-kacir dan teratur. Maka istilah agama merupakan
suatu kepercayaan yang mendatangkan kesejahteraan dan keselamatan hidup bagi manusia.
Jadi, agama adalah jalan yang harus ditempuh oleh manusia dalam kehidupannya didunia
ini supaya lebih teratur dan mendatangkan kesejahteraan serta keselamatan.
Kedua, religi. Religi berasal dari Bahasa Latin, asalnya relegere, artinya mengupulkan,
membaca. Kata religi atau reliji juga berasal dari kata religie (Bahasa Belanda),

2
atau religious ( Bahasa Inggris). Agama memang kumpulan cara-cara mengabdi kepada Tuhan
dan harus dibaca. Pendapat lain mengatakan asal kata itu berasal dari kata religare, artinya
mengikat. Maksudnya adalah mengikat dari pada kekuatan gaib yang suci, yakni tuhan.
Kekuatan gaib yang suci tersebut diyakini sebagai kekuatan yang menentukan jalan hidup dan
yang mempengaruhi kehidupan manusia.
Dengan demikian , kata religi pada dasarnya mempunyai pengertian sebagai keyakinan
akan adanya kekuatan gaib yang suci, yang menentukan jalan hidup dan mempengaruhi
kehidupan manusia.
Ketiga, Ad-Diin.   Kata Ad-diin berasal dari Bahasa Arab, dari kata dasar Daana (
‫)دان‬,artinya hutang atau sesuatu yang harus dipenuhi atau ditunaikan. Dalam bahasa semit, (Induk
Bahasa Arab), kata Diin (‫ )دين‬berarti undang-undang atau hukum. Dengan demikian , bahwa
katadaana  dan  diin menunjukan pengertian sebagai undang-undang atau hukum yang harus
ditunaikan oleh manusia dan mengabaikannya berarti hutang yang akan dituntut untuk
ditunaikan, serta akan mendapatkan hukuman jika tidak menunaikannya.

Dari ketiga (agama, religious, Ad-diin) dapat diambil suatu pengertian, yaitu: pengakuan
adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib dan suciyang harus dipenuhi atau ditunaikan
supaya hidupnya lebih teratur dan mendatangkan kesejahteraan serta keselamatan.

Sedangkan menurut Tadjab, dkk., (1994: 39),dari ketiga kata Agama, Religious, Al-
Dindapat diambil suatu kesimpulan bahwa: 1) kekaahan dan penyerahan diri kepada pihak yang
lebih berkuasa, 2) ketaatan dan penghambaan kepada pihak yang gagah perkasa atau berkuasa, 3)
Undang-undang atau Hukum dan peratuanyang berlaku dan harus ditaati, 4) peradilan,
perhitungan,atau pertanggung jawaban atas pembalasan, vonis dsb.

b.  Pengertian Agama Secara Istilah (Terminologi)

1.A.M. Saefuddin bahwa agama kebutuhan manusia yang paling esensial yang bersifat
universal. Karena itu, agama merupakan kesadaran spiritual yang didalamnya ada satu
kenyataandiluar kenyataan yang nampak. Bahwa manusia selalu membutuhkan belas kasihan-
nya, bimbingan-nya. Serta belaian-nya, yang secara ontologistidak bisa diingkari,walaupun oleh
manusia yang mengingkari agama (komunis) sekalipun.

3
2.Sultan Takdir Alisyahbana bahwa agama suatu sistem kelakuan dan perhubungan manusia
yang pokok pada perhubungan manusia dengan rahasia kekuasaan dan kegaiban yang tidak
terhingga luasnya. Dan dengan demikian member arti kepada hidupnya dan kepada alam semesta
yang mengelilinginya.

3.  Sidi Gazalba bahwa agama kecenderungan rohani manusia , yang berhubungan dengan
alam semesta, nilai yang meliputi segalanya, makna yang terakhir, hakikat dari semuanya.

Dari ketiga pendapat tersebut kalau diteliti lebih mendalam memiliki persamaan :1)
kebutuhan manusia yag paling esensial, 2) adanya kesadaran diluar diri manusia yang tidak dapat
dijangkau olehnya, 3) adanya kesadaran dalam diri manusia, bahwa ada sesuatu yang dapat
mengarahkan, membimbing, dan mengasihi di luar jangkauan-nya.

Jadi Agama menurut istiah  adalah Kebutuhan manusia yang sangat esensial


terhadap yang ada di luar jangkauan-nya untuk membimbing, mengarahkan dan
mengasihinyasupaya medatangkan kesejahteraan dan keselamatan dalam hidup manusia.

2. Ciri-ciri Agama
a. Substansi yang disembah

Subtansi yang disembah menjadi pembeda dalam mengkategorikan agama. Karena esensi
dari keagamaan adalah penyembahan terhadap sesuatu yang dianggap berkuasa, yang di ada di
luar diri manusia.

b. Kitab suci

Kitab suci merupakan salah satu ciri khas dari agama. Jika tanpa kitab suci suatu agama
tidak akan berkembang dan menyebar. Kitab suci yang ada di dunia dikelompokan menjadi
kitab  agama samawi  dan kitab agama tabi’i.

c. Pembawa ajaran

Pembawa ajaran ini adalah seseorang yang dianggap unggul dan mampu sebagai
pembawa ajaran yakni seorang Nabi dan Rasul, para Nabi dan Rosul meneria amanat atau ajaran
dari Tuhannya berupa Wahyu untuk disampaikan kepada para pengikutnya. Sedangkan Agama

4
Thobi’i proses ke nabiannya melalui evolusi yang dihasilkan dari sebuah julukan atau
penghormatan.

d. Pokok-pokok ajaran

Setiap agama baik agama Samawi maupun Agama Thabi’i mempunyai prinsip ajaran
yang wajib bagi pemeluknya, prinsip ajaran ini disebut “Dogma” , yaitu setiap ajaran yang baik
percaya atau tidak, bagi pemeluknya wajib untuk mempercayainya.

e. Aliran-aliran

Setiap agama yang ada di dunia memiliki aliran-aliran yang berkembang pada agamanya
masing-masing hal itu diakibatkan karena adanya perbedaan pandangan. Dan perbedaan
pandangan itu engakibatkan timbulnya suatu aliran yang saling mempurkuat dan memperkokoh
pendapat faham kelompoknya.1
2.1.2 Pengaruh Agama Bagi Manusia
Agama dan kehidupan beragama merupakan unsur yang tak terpisahkan dari kehidupan
sosial budaya tahap awal manusia. Yakni bahwa agama dan kehidupan beragama pada manusia
merupakan pebawaan (Fitrah) manusia sejak zaman azalinya. Artinya dalam diri manusia, baik
perseorangan maupun secara kelompok sudah terdapat kecenderungan dan dorongan untuk
beragama. Ada tiga alasan, pengaruh agama bagi manusia atau perlunya manusia terhadap
agama, diantaranya :  

a. Latar Belakang Fitrah Manusia

Fitrah adalah potensi laten atau kekuatan yang terpendam yang ada dalam diri manusia
yang dibawa sejak lahir. Dengan potensi Fitrah ini, manusia hidup, tumbuh, dan berkembang
menjadi berkemampuan unttuk memenuhi kebutuhan dan mempertahankan kehidupannya
dengan potensi fitahnya sistem kehidupan sosial budaya manusia mengalami proses tumbuh dan
berkembang serta mengalami kemajuan – kemajuan.   

b. Kelemahan dan Kekurangan Manusia

1
https://www.academia.edu/26075200/LANDASAN_RELIGIUS_PENDIDIKAN diakses pada 15 Maret 2020 pukul
09:45

5
Faktor lainnya adalah karena disamping manusia memiliki berbagai kesempurnaan, juga
memiliki kekurangan. Manusia memang diciptakan Alloh SWT dalam keadaan yang paling
sempurna  dibanding makhluk lain yang diciptakan-Nya, yang berfungsi menampung serta
mendorong manusia untuk berbuat kebaikan dan keburukan. Sebagaimana dalam Q.S Al-
Syams : 7 – 8
c. Tantangan Manusia

Manusia senantiasa mendapatkan berbagai tantangan baik yang datang dari dalam maupun
dari luar. Tantangan dari dalam berupa hawa nafsu dan bisikan syetan (Q.S Yusuf : 5 dan Q.S
Al-Isra : 53), sedangkan yang berasal dari luar berupa rekayasa dan upaya – upaya manusia yang
dilakukan secara sengaja berupaya ingin memalingkan manusia dari Tuhannya (Alloh).
2.1.3 Pengaruh Agama bagi Pendidikan
pengaruh agama terhadap dunia pendidikan, secara garis besar dapat diklasifikasikan
pada dua lembaga pendidikan ;
a. Pendidikan Sekolah

Lembaga pendidikan secara khusus tidak ada (masyarakat primitif). Anak – anak
umumnya dididik di lingkungan keluarga dan masyarakat lingkungannya. Jika anak dilahirkan
dilingkungan tani, maka dapat dipastikan dia akan menjadi petani seperti orang tua dan
masyarakat lingkungannya.
Dengan berkembangnya pengetahuan masyarakat, maka sekolah sebagai lembaga
pendidikan suatu keniscayaan sebagai pelanjut dari pendidikan keluarga. Karena keterbatasan
para ornag tua untuk mendidik anak – anak  mereka, maka mereka diserahkan ke sekolah –
sekolah. Sebagai contoh, misalnya, anak – anak yang dihsailakn dilembaga pendidikan
keagamaan khusus, seperti ; pesantren, seminar, vihara dll.
Fungsi sekolah dalam kaitannya, dengan pembentukan jiwa keagamaan pada anak, antara
lain sebagai pelanjut pendidikan agama dilingkungan keluarga atau membentuk jiwa keagamaan
pada diri anak yang tidak menerima pendidikan agama di keluarganya.
b.Pendidikan Luar Sekolah

 Pendidikan Keluarga

6
Barangkali sulit untuk mengabaikan peran serta keluarga dalam pendidikan. Anak – anak
sejak balita hingga usia dewasa memiliki lingkungan tunggal, yaitu keluarga. Maka, tak
engherankan jika Gilbert Higaest (1961) ,menyatakan bahwa kebiasaan yang dimiliki anak –
anak sebagian besar terbentuk oleh pendidikan kelurga.

Dalam konsepsi Islam sangat jelas, bahwa anak yang baru atau bayi yang lahir dalam
keadaan tidak mengtahui apapun, tapi dia diberikan dan dibekali oleh Tuhan berbagai potensi,
seperti pendengaran, penglihatan, dll. (Al-Nahl:78).

Kelurga merupakan lembaga pendidikan yang pertama dan utama dalam proses
pendidikan. Dan kedua orang tua merupakan pendidikan yang pertama dan utama dalam proses
tersebut.

 Pendidikan Masyarakat

Pendidikan masyarakat termasuk kedalam lembaga pendidikan yang dapat mempengaruhi


terhadap perkembangan keberagamaan seorang peserta didik. Hubungan masyarakat akan sangat
memberi dampak dalam pembentukan pertumbuhan anak. Asuhan masyarakat bersipat seumur
hidup (tidak terbatas usia), tedapat hubungan antara lingkungan dan sikap masyarakat terhadap
nilai-nilai agama.

Dari ketiga lembaga pendidikan di atas dapat di simpulkan bahwa tanggung jawab
pendidikan, terutama pendidikan agama menjadi tanggung jawab bersama antara keluarga,
sekolah, dan masyarakat.

2.1.4 Urgensi Agama bagi Landasan Pendidikan


Pendididkan adalah suatu usaha disengaja yang dibutuhkan dalam usaha upaya untuk
mengantarkan peserta didik menuju pada tingkat kematangan atau kedewasaan, baik moral
maupun intelektual. Di Indonesia banyak kita lihat penurunan kualitas akhlak atau moralitas
masyarakat Indonesia ; tawuran antar pelajar, pengeroyokan, pencurian, kekerasan dalam rumah
tangga hingga korupsi di kalangan pejabat negara, baik di tingkat eksekutif, yudikatif maupun
legislatif. Di antara penyebabnya ; moral, politik, pendidikan, kesempatan kerja, pengaruh
budaya asing dan penegak hukum.

7
Sebenarnya manusia berpotensi melakukan kebaikan, keburukan, kesucian, maksiat,
kelambutan dan kekerasan. Dengan adanya pendidikan setiap potensi – potensi yang ada dalam
diri manusia akan diarahkan kepada hal – hal yang positif sehingga bisa menjadi insan beragama.
Agama tidak bisa berhenti pada tahap informatif (pengetahuan) tapi juga harus bersifat
aplikatif. Maka bagi seorang pendidik tidak boleh hanya menyuruh muridnya untuk menghapal
segala yang berkaitan dengan agama tanpa mengaplikasikannya, karna akan sangan
membosankan bagi peserta didiknya. Karna bahaya apabila peserta didik merasa bosan dan
segan pada pelajaran agama. Karna pendidikan agama harus bisa menyadarkan para peserta didik
akan fitrahnya sebagai manusia.
Kepentingan pendidikan agama tidak hanya berorientasi pada cita – cita intelektual saja,
namun tidak melupakan nilai – nilai keTuhanan, individual dan sosial dan tingkah laku
kesehariannya. Apalagi apabila pendidikan keagamaan dilaksanakan pada semua jejang dan jenis
pendidikan menjadi suatu kewajiban dan keharusan.
Sebagaimana terdapat dala UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sindiknas pasal 30 ayat 3 : “
pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, non-formal dan
informal”. Pasal ini mengimplikasi bahwa pada setiap jenjang pendidikan harus di adakannya
pendidikan keagamaan.
Oleh karena itu, A. Tafsir (2008: 11-12), menjelaskan bahwa pendidikan agama itu tidak
akan berasil apabila hanya diserahkan pada guru agama saja. Karena inti dari pendidikan
keagamaan itu, selain dari hafal juga mencakup keimanan dan ketakwaan, maka pendidikan
keagamaan juga merupakan tugas bersama antara guru, sekolah, orang tua dan masyarakat.
Dalam artian, harus adanya keterpaduan baik keterpaduan tujuan, materi, proses dan lembaga.2  

2.2 Hakikat Manusia menurut Islam

Manusia sebagai hamba Allah wajib mengabdi dan taat kepada Allah selaku Pencipta karena
adalah hak Allah untuk disembah dan tidak disekutukan. Bentuk pengabdian manusia sebagai
hamba Allah tidak terbatas hanya pada ucapan dan perbuatan saja, melainkan juga harus dengan
keikhlasan hati, seperti yang diperintahkan dalam surah Bayyinah(QS:98:5): َ ‫َو َما أُ ِمرُوا إِاَّل لِيَ ْعبُدُوا هَّللا‬
َ ِ‫صاَل ةَ َوي ُْؤتُوا ال َّز َكاةَ ۚ َو ٰ َذل‬
‫ك ِدينُ ْالقَيِّ َم ِة‬ ِ ِ‫ُم ْخل‬
َّ ‫صينَ لَهُ ال ِّدينَ حُ نَفَا َء َويُقِي ُموا ال‬

2
http://kangamsol20.blogspot.com/2015/05/makalah-landasan-religius.html diakses pada 15 Maret 2020 pukul
09:45

8
Terjemahanya:“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama yang lurus …,”.

َ ‫ت ْال ِج َّن َواإْل ِ ْن‬


vِ ‫س ِإاَّل لِيَ ْعبُد‬
Dalam surah adz-Dzariyat Allah menjelaskan(QS51:56): ‫ُون‬ ُ ‫َو َما خَ لَ ْق‬

Terjemahanya :“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah
Aku.”

Dengan demikian, manusia sebagai hamba Allah akan menjadi manusia yang taat, patuh, dan
mampu melakoni perannya sebagai hamba yang hanya mengaharapkan ridho Allah.3

2.2.1 Konsep Manusia


Islam adalah jalan (shariah) universal, yang di dalamnya berbicara berbagai aspek kehidupan,
tidak terkecuali tentang manusia sebagai satu-satunya ciptaan Allah yang dalam firman-Nya
diciptakan dalam sebaik-baiknya bentuk (ahsani taqwim). Artinya, manusia merupakan satu-
satunya makhluk Allah yang sempurna, memiliki akal sebagai alat berfikir dan memiliki hati
sebagai alat merasa. Lalu, di dalam diri manusia ada dimensi fisik (jasadiyah) san psikis
(ruhiyah), sebagai penyatuan unsur tanah dalam diri manusia dengan unsur Ilahiyah sebagai
unsur penciptaan-Nya. Manusia memiliki kecenderungan untuk berbuat baik dan buruk. Dalam
hal ini sesungguhnya adalah ujian manusia, supaya dirinya meneguhkan komitmen keberislaman
yang sejati.

Untuk memahami konsep manusia menurut islam, dapat dipahami sebagaimana al-Quran
memberikan konsep tentang manusia. Secara terminologis, ungkapan yang dipergunakan Al-
Quran untuk menunjukkan konsep manusia dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu : a) al-
insan, al-ins, unas, al-nas, anasiy, dan insiy; b) al-basyar; c) Banu Adam dan Zurriyat Adam.

a) Al-Insan
Secara umum, kata insan berarti manusia. Dalam al-Quran ungkapan yang seakar
dengan kata al-insan dipergunakan kurang lebih sebanyak 331 kali dengan bentuk
kata yang berbeda.

3
Siti Khasinah, “Hakikat Manusia menurut Pandangan Islam dan Barat”, Jurnal Ilmiah DIDAKTIKA.Volume 8, Nomer 2, Tahun
2013, hal. 302-308.

9
Pendapat lain menyatakan bahwa asal kata al-insan adalah insiyan yang berakar
kata ins yang berarti sesuatu yang tampak dan jinak. Pendapat ini menolak pendapat
pertama dengan mengatakan huruf ya yang terdapat dalam kata unaisiyan merupakan
tambahan, seperti halnya huruf ya dalam kata ruwaijil yang merupakan tasghir dari
kata rajul. Pendapat lain mengatakan bahwa asal kata insan adalah nasa-yanusu yang
bermakna ‘bergoncang’.

Jika dilihat dari bentuknya, kata insan berpola fi‟lan, pola tak beraturan
(suma‟iy) yang serarti dengan pola fa‟alan, pola yang beraturan (qiyasy) dan
mengandung konotasi intensitas. Apabila pengertian ini dikaitkan dengan makna
etimologinya, maka dapat dikatakan bahwa kata insan mengandung konsep manusia
sebagai makhluk yang memiliki keramahan dan kemampuan mengetahui yang sangat
tinggi, atau dalam ungkapan lain, manusia merupakan makhluk kultural dan sosial.

Apabila pendapat tersebut dilihat berdasarkan relevansi makna masing-masing


kata tersebut (nasiya, ins dan nasa) dengan kata insan, maka pendapat kedua
dipandang lebih kuat. Sebab, akar kata ins sendiri yang berarti sesuatu yang tampak
dan jinak, makna ini relevan dengan sifat dan fisik manusia.

Makna pertama sesuatu yang tampak ditemukan konteksnya ketika al-Qur’an


sering menggunakan kata tersebut untuk menghadapkannya dengan kata jin yang
berarti makhluk halus atau tidak tampak. Misalnya digunakan dalam Q.S. al-Zariyat
َ ‫ت ْال ِج َّن َواإْل ِ ْن‬
ِ ‫س إِاَّل لِيَ ْعبُد‬
ayat 56:‫ُون‬ ُ ‫َو َما َخلَ ْق‬

Terjemahanya : “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka menyembah-Ku”.

Sedangkan makna jinak relevan dengan makna kejiwaan seperti keramahan,


kesenangan dan pengetahuan. Hal ini terlihat dari kata kerja yang terbentuk anisa-
ya‟nisu, anusa-ya‟nusu, anasa-yanisu yang berarti ramah, suka; kata anasa yu‟nisu
yang berarti menjadi jinak, meraswa sesuatu, melihat, mendengar dan mengetahui.

Jika dilihat dari bentuknya, kata insan berpola fi‟lan, pola tak beraturan
(suma‟iy) yang serarti dengan pola fa‟alan, pola yang beraturan (qiyasy) dan

10
mengandung konotasi intensitas. Apabila pengertian ini dikaitkan dengan makna
etimologinya, maka dapat dikatakan bahwa kata insan mengandung konsep manusia
sebagai makhluk yang memiliki keramahan dan kemampuan mengetahui yang sangat
tinggi, atau dalam ungkapan lain, manusia merupakan makhluk kultural dan sosial.
Konsep manusia sebagai makhluk kultural terlihat dalam pernyataan al-Quran bahwa
manusia dilengkapi dengan sarana pengetahuan berupa pendengaran, penglihatan, dan
budi sehingga mereka dapat memperoleh pengetahuan meskipun dilahirkan dalam
keadaan tidak tahu apa-apa sama sekali. Sedangkan konsep manusia sebagai makhluk
sosial ini dipertegas dengan beberapa pernyataan al-Quran yang menegaskan tentang
kejadian manusia dalam berbagai suku dan bangsa agar mereka membentuk
pergaulan hidup bersama (QS. Al-Hujarat:13), saling membantu dalam kebaikan (QS.
Al-Maidah:2), dan penegasan al-Quran tentang kebahagiaan manusia yang berkaitan
dengan hubungan manusia dengan sesamanya (QS.Ali Imran: 122).

b) Al-Basyar
Al-Basyar berasal dari huruf ba, syin dan ra yang berarti nampaknya sesuatu
dengan baik dan indah.Dari makna tersebut terbentuk kata karja basyara yang berarti
gembira, menggembirakan, memperhatikan dan mengurus sesuatu. Menurut al-
Raghib, kata basyar adalah jamak dari kata basyarat yang berarti kulit. Manusia
disebut basyar karena kulit manusia tampak berbeda dengan makhluk yang lainnya.
Kata ini dalam al-Quran secara khusus merujuk kepada tubuh dan bentuk lahiriah
manusia. Dapat disimpulkan bahwa istilah basyar menunjukkan makna manusia pada
hakikatnya sebagai pribadi yang konkrit dengan menekankan aspek lahiriah manusia.
c) Banu Adam dan Zurriyat Adam
Istilah banu adam dan zuriyat adam merujuk pada pengertian manusia yang ada
kaitannya dengan nama Adam yang memberi kesan historis dalam konsep manusia,
bahwa manusia berasal dari satu sumber dan satu darah, walaupun terdapat banyak
macam warna kulit, ras, dan bangsa.4

2.2.2 Karakteristik Manusia diantara Makhluk lainnya

4
Isop Syafe’i, “Hakikat Manusia menurut Islam”, Jurnal Ilmiah Psikologi. Volume 5, No. 1: 743-755, 2012, hal. 743-746.

11
Beberapa wujud hakikat manusia (karakteristik manusia) yang dijelaskan di bawah ini akan
memberikan gambaran yang jelas bahwa manusia berbeda dengan hewan dan makhluk lainnya.
Paham eksistensialisme mengemukakan bahwa karakteristik manusia tersebut seharusnya
menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan dan membenahi arah dan tujuan pendidikan.
Umar Tirta Raharja dan La Sulo mengatakan diantara wujud sifat hakikat manusia (karakteristik
manusia) adalah sebagai berikut:

1. Kemampuan menyadari diri


Melalui kemampuan ini manusia betul-betul mampu menyadari bahwa dirinya
memiliki ciri yang khas atau karakteristik diri. Kemampuan ini dapat membuat manusia
mampu beradaptasi dengan lingkungan baik itu lingkungan berupa individu lainnya
selain dirinya, maupun lingkungan nonpribadi atau benda. Kemampuan ini juga membuat
manusia mampu mengeksplorasi potensi-potensi yang ada dalam dirinya melalui
pendidikan untuk mencapai kesempurnaan diri. Kemampuan menyadari diri ini juga
membuat manusia mampu mengembangkan aspek sosialitas di luar dirinya sekaligus
mengembangkan aspek individualitas di dalam dirinya.

2. Kemampuan bereksistensi
Melalu kemampuan ini manusia menyadari bahwa dirinya memang ada dan eksis
dengan sebenarnya. Dalam hal ini manusia punya kebabasan dalam ‘keberadaan’ nya.
Berbeda dengan hewan atau tumbuhan yang ada di kebun yang ‘ada’ tapi tidak
menyadari ‘keberadaannya’ sehingga mereka menjadi onderdil dari lingkungannya.
Sementara itu manusia mampu menjadi manajer bagi lingkungannya. Kemampuan ini
juga perlu dibina melalui pendidikan, manusia perlu diajarkan belajar dari pengalaman
hidupnya, agar mampu mengatasi masalah dalam hidup dan siap menyambut masa
depannya.

3. Pemilikan kata hati (Consdence of Man)


Yang dimaksud kata hati di sini adalah hati nurani. Kata hati akan melahirkan
kemampuan untuk membedakan kebaikan dan keburukan. Orang yang memiliki hati
nurani yang tajam akan memiliki kecerdasan akal budi sehingga mampu membuat
keputusan yang benar atau yang salah. Kecerdasan hati nurani inipun dapat dilatih

12
melalui pendidikan sehingga hati yang tumpul menjadi tajam. Hal ini penting karena kata
hati merupakan petunjuk bagi moral dan perbuatan.

4. Moral dan aturan


Moral sering juga disebut etika, yang merupakan wujud perbuatan dari kata hati.
Namun, untuk mewujudkan kata hati dengan perbuatan maka dibutuhkan kemauan.
Artinya, tidak selalu orang yang punya kata hati yang baik atau kecerdasan akal juga
memiliki moral atau keberanian berbuat. Maka seseorang akan bisa disebut memiliki
moral yang baik atau tinggi apabila ia mampu mewujudkan dalam bentuk perbuatan yang
sesuai dengan nilai-nilai moral tersebut.

5. Kemampuan bertanggungjawab
Karakteristik manusia yang lainnya adalah memiliki tanggungjawab, baik itu
tanggungjawab kepada Tuhan, masyarakat ataupun dirinya sendiri. Tanggungjawab diri
sendiri berkaitan dengan kata hati, tanggungjawab kepada masyarakat terkait dengan
norma-norma sosial, dan tanggungjawab kepada Tuhan berkaitan erat dengan penegakan
norma-norma agama. Dengan kata lain, kata hati merupakan tuntunan, moral melakukan
perbuatan, dan tanggungjawab adalah kemauan dan kesediaan menanggung segala akibat
dari perbuatan yang telah dilakukan.
6. Rasa kebebasan (kemerdekaan)
Kebebasan yang dimaksud disini adalah rasa bebas yang harus sesuai dengan kodrat
manusia. Artinya ada aturan-aturan yang tetap mengikat, sehingga kebebasan ini tidak
mengusik rasa kebebasan manusia lainnya. Manusia bebas berbuat selama perbuatan itu
tetap sesuai dengan kata hati, moral, ataupun etika yang baik. Kebebasan yang melanggar
atura akan berhadapan dengan tanggungjawab dan sanksi-sanksi yang mengikutinya yang
pada akhirnya justru tidak memberikan kebebasan bagi manusia.

7. Kesediaan melaksanakan kewajiban dan menyadari hak


Idealnya ada hak ada kewajiban, hak baru dapat diperoleh setelah melakukan atau
memenuhi kewajiban, bukan sebaliknya. Padahal manusia baru bisa mempunyai rasa
kebebasan apabila ia telah melaksanakan kewajibannya dengan baik dan mendapatkan
haknya secara adil. Kesediaan melaksanakan kewajiban dan menyadari hak ini harus
dilatih melalui proses pendidikan disiplin. Sebagaimana dikutip oleh Umar dan La Sulo,

13
Selo Soemarjan menyatakan bahwa perlu ditanamkan empat macam pendidikan disiplin
untuk membentuk karakter yang memahami kewajiban dan hak-haknya; (a) disiplin
rasional yang bila dilanggar akan melahirkan rasa bersalah, (b) disiplin sosial, yang bila
dilanggar akan menyebabkan rasa malu, (c) disiplin afektif, yang bila dilanggar akan
melahirkan rasa kegelisahan, dan (d) disiplin agama, yang bila dilanggar akan
menimbulkan rasa bersalah dan berdosa.

8. Kemampuan menghayati kebahagiaan


Kebahagiaan bisa diartikan sebagai kumpulan dari rasa gembira, senang, nikmat yang
dialami oleh manusia. Secara umum orang berpendapat bahwa kebahagiaan itu lebih pada
rasa bukan pikiran. Padahal tidak selamanya demikian, karena selain perasaan, aspek-
aspek kepribadian lainnya akal pikiran juga mempengaruhi kebahagiaan seseorang.
Misalnya, orang yang mengalami stress tidak akan dapat merasakan kebahagiaan secara
utuh. Dari contoh ini jelas bahwa kemampuan mengahayati kebahagiaan dipengaruhi
juga oleh aspek nalar disamping aspek rasa. Untuk mendapatkan kebahagiaan seseorang
harus usaha, usaha-usaha tersebut harus berlandaskan norma-norma atau kaidah-kaidah
yang ada. Namun, usaha-usaha yang dilakukan itu akan terkait erat dengan takdir Tuhan.
Sehingga rasa menerima dan syukur akan mempengaruhi kemampuan manusia dalam
menghayati kebahagiaan, dalam hal ini pendidikan agama menjadi modal utama untuk
dapat mengahayati kebahagiaan.

2.2.3 Kedudukan dan Tugas Manusia


Kedudukan manusia menurut islam terbagi pada dua, yaitu sebagai ‘abdullah dan
khalifah. Al-Quran telah menjelaskan eksistensi manusia sebagai ‘abd atau hamba Allah
َ ‫ت ْال ِج َّن َواإْل ِ ْن‬
dalam klausa liya’buduni Q.S. al-Zariyat 56:‫س إِاَّل لِيَ ْعبُدُو ِن‬ ُ ‫َو َما َخلَ ْق‬

Terjemahannya :“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku”.

Kata abd sendiri dalam Al-Qur’an pertamakali ditemukan dalam Q.S. al-Alaq : 10,
kemudian dalam bentuk kata kerja ditemukan dalam QS. al-Fatihah : 5. Dari dua penggunaan
kata ‘abd tersebut, terlihat bahwa konsep yang terkandung meliputi dua aspek, yaitu subjek yang
menyembah yaitu manusia dan objek yang disembah.

14
Pendapat para ulama beragam dalam merumuskan makna ibadat secara istilah. Ibnu
Karsir memberikan definisi ibadat dengan menunjuk sifatnya sebagai perbuatan yang
menghimpun rasa kecintaan, penyerahan diri yang sempurna dari seorang hamba kepada Tuhan
dan rasa khawatir yang mendalam terhadap penolakan Tuhan. Rasyid Ridha mengemukakan
bahwa ibadat adalah kesadaran jiwa akan keagungan yang tidak diketahui sumbernya. Kekuatan,
hakikat dan wujud sumber tersebut tak terjangkau oleh manusia. Senada dengan pendapat ini
Muhamad Syaltout mengemukakan pengertian yang sama bahwa ibadat adalah kesadaran akan
adanya kekuasaan yang tak terbatas. Oleh karenanya tanpa kesadaran tersebut ibadat tidak akan
terwujud.

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulan bahwa kata ‘abd mengandung
pengertian ibadah dalam makna penyerahan diri manusia pada hukum-hukum Allah SWT yang
menciptakan. Dengan kata ‘abd, Allah SWT ingin menunjukkan salah satu kedudukan manusia
sebagai hamba Allah yang mengemban tugas-tugas peribadahan.

Sedangkan mengenai kedudukan manusia sebagai khalifah terdapat dalam Q.S. al-Fatir:
39: َ‫افِ ِرين‬vv‫ ُد ْال َك‬v‫ا ۖ َواَل يَ ِزي‬vvً‫د َربِّ ِه ْم ِإاَّل َم ْقت‬vv‫ ُرهُ ْم ِع ْن‬v‫افِ ِرينَ ُك ْف‬vv‫ض ۚ فَ َم ْن َكفَ َر فَ َعلَ ْي ِه ُك ْف ُرهُ ۖ َواَل يَ ِزي ُد ْال َك‬
ِ ْ‫هُ َو الَّ ِذي َج َعلَ ُك ْم خَاَل ئِفَ فِي اأْل َر‬
‫ُك ْف ُرهُ ْم إِاَّل خَ َسارًا‬

Terjemahannya :“Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi…”. maka arti
ayat ini menjelaskan bahwa Allah yang menjadikan manusia sebagai khalifah fi al-ardh.
Pengertian khalifah jika dilihat dari akar katanya berasal dari kata khalafa, yang berarti
menggantikan tempat seseorang sepeninggalnya, karena itu khalif atau khalifah berarti seorang
pengganti. Dengan inilah kata khulufa dan khalaif sebagai bentuk jamak dari kata khalifah telah
digunakan dalam al-Qur’an. Dari pengertian mengisyaratkan hal yang sama bahwa kata khalifah
bermakna seseorang yang menggantikan yang lainnya, hanya saja di sini terdapat perbedaan
yang cukup tajam tentang siapa yang digantikannya. Dalam hal ini Shalih Abdullah
mengklasifikasikan kepada tiga pendapat. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa manusia
merupakan spesies yang menggantikan spesies lain yang pernah lebih dahulu hidup di bumi.
Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa istilah khalifah dipakai untuk merujuk kepada
kelompok manusia yang menggantikan kelompok manusia yang lain. Ketiga, pendapat yang
menyatakan bahwa khalifah bukanlah sekedar menunjuk pengertian seorang mengganti atau
mengikuti yang lain, namun lebih jauh adalah pengganti Allah. Untuk memahami perbedaan

15
pendapat di atas, di bawah ini dikemukakan gambaran al-Quran surat al-Baqarah 30: ‫ك‬ َ ُّ‫َوإِ ْذ قَا َل َرب‬
‫ا َم ْن‬vَ‫ ُل فِيه‬v‫ونَ أَتَجْ َع‬v‫ا اَل تَ ْعلَ ُم‬v‫ا َل إِنِّي أَ ْعلَ ُم َم‬vَ‫كَ ۖ ق‬vَ‫دِّسُ ل‬vَ‫ك َونُق‬ ِ ْ‫اع ٌل فِي اأْل َر‬
َ ‫ض َخلِيفَةً ۖ قَالُواال ِّد َما َء َونَحْ نُ نُ َسبِّ ُح بِ َح ْم ِد‬ ِ ‫لِ ْل َماَل ئِ َك ِة إِنِّي َج‬
ُ ِ‫يُ ْف ِس ُد فِيهَا َويَ ْسف‬
‫ك‬

Terjemahannya:“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:


“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata:
“Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan
memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui
apa yang tidak kamu ketahui”.

Jika melihat bagaimana hubungan manusia dengan Allah swt seperti digambarkan surat
al-Baqarah 30 di atas, antara yang Mencipta dan yang dicipta, jelas bahwa penunjukan istilah
khalifah lebih cenderung pada makna pengganti Allah. Dalam pengertian bahwa manusia
mempunyai beban normatif untuk menuruti apa yang dikehendaki oleh Allah swt.

Dari pernyataan-pernyataan, dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian khalifah sebagai


duta atau wakil Tuhan di muka bumi merujuk pada pengertian individual yang dapat dimiliki
oleh setiap umat manusia. Semua manusia berhak mendapat predikat yang sama, hanya saja
kualifikasi ke-khalifah-annya akan ditunjukkan oleh sejauh mana hasil optimalisasi potensi
kemanusiaan manusia tersebut.

Dari dua tugas pokok di atas, merupakan panduan interaktif dan dialegtis yang saling
mempengaruhi dan saling mendukung, sehingga tercipta pribadi yang utuh dan sempurna dalam
mengaktualisasikan nilai-nilain dalam kerangka trilogi hubungan harmonis-dinamis, antara
manusia dengan Tuhannya, manusia dengan masyarakat, dan manusia dengan alam sekitarnya.
Jika hal tersebut dilakukan maka substansi kedudukan manusia sebagai khalifah dan ‘abdullah
dengan sendirinya akan terjelaskan.5

2.3 Implikasi Konsep Pendidikan


Ada beberapa implikasi konsep pendidikan menurut Muhammad Abduh :

2.2.1 Implikasi Konsep Peserta Didik


5
Ibid

16
Pertama, hendaknya kewajiban menuntut ilmu tidak mendiskreditkan perbedaan
status gender antara laki-laki dan perempuan. Oleh karenanya, baik laki-laki maupun
perempuan memiliki kewajiban menuntut ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu
pengetahuan.
Kedua, peserta didik hendaknya menghindari ikatan-ikatan yang tidak berdasar.
Ikatan tersebut hanya berdasar kepada ikut-ikutan dan prasangka-prasangka yang belum
pasti nilai kebenarannya. Budaya seperti itu, hanya akan menghambat akal untuk
berpikir, bahkan budaya taqlid hanya akan membuat akal menjadi kaku dan beku.
Ketiga, dalam konteks modern ini, hendaknya peserta didik menambah wawasan
keilmuan dengan menuntut ilmu dari siapa pun dan dimana pun. Para ahli ilmu
sebenarnya menawarkan berbagai macam ilmu yang berbeda-beda, sehingga banyak
sekali cabang ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu pengetahuan. Dari berbagai cabang
ilmu tersebut, sangat disayangkan jika peserta didik tidak mengambilnya dan hanya
mengikuti satu disiplin ilmu saja. Padahal tuntutan zaman modern mensyaratkan
wawasan keilmuan peserta didik, dan tidak semata hanya mensyaratkan ijazah maupun
keunggulan nilai peserta didik (certivicate oriented).

2.2.2 Implikasi Konsep Pendidik

Pertama, dalam konteks modern ini, tantangan eksternal yang datang dari budaya
asing membawa pengaruh negatif terhadap moral dan akhlak anak. Dalam hal ini, perlu
adanya pendidik yang memiliki akhlak yang mulia untuk memperbaiki moral dan akhlak
anak didik.
Kedua, sebagai pendidik hendaknya senantiasa memperbaharui kualitas diri, baik
kualitas teoritis dan kualitas praktis yang tercermin dari cara mengajar, menyusun
rancangan pembelajaran, bahkan kemampuan menjalin hubungan komunikasi antar
sesama. Tujuannya adalah untuk menambah wawasan bagi para pendidik sesuai dengan
perkembangan zaman.

2.2.3 Implikasi Konsep Metode Pembelajaran

17
Pertama, hendaknya pendidik menerapkan metode pembelajaran yang mengarah
kepada transfer of knowledge, yaitu pendidik tidak hanya memberikan sebatas
pengetahuan kepada anak didik, namun pendidik perlu memberikan pemahaman dan
pengalaman terhadap suatu materi kepada anak didik. Hal ini bertujuan supaya peserta
didik dapat lebih mudah menerapkan apa yang telah dipelajarinya ke dalam kehidupan
sehari-hari.
Kedua, pendidik hendaknya menerapkan pula metode yang dapat mempengaruhi
jiwa anak didik, dalam hal ini transfer of value yaitu pendidik memberikan nilai-nilai
luhur kepada jiwa anak didik, sehingga jiwanya tertanam nilai-nilai kebaikan yang dapat
membimbing dalam perbuatan dan perkataan. Dengan menerapkan transfer of value,
peserta didik diharapkan dapat mempunyai pegangan supaya mereka tidak terjerumus ke
dalam hal-hal yang tidak baik.6

Ilmu pendidikan atau siapapun yang bekerja dalam bidang pendidikan, hendaknya
memahami secara konseptual mengenai hakekat pendidikan sebagai ilmu beserta sifat-sifat yang
dimiliki oleh ilmu pendidikan. Pemahaman akan hal itu akan mambantu mereka dalam
menjalankan tugas kependidikannya secara baik. Selain itu, berdasarkan pemahaman yang benar
terhadap konsep dan sifat yang dimiliki oleh ilmu pendidikan, diharapkan orang akan
mempunyai kesadaran serta ikut dalam mengembangkan ilmu pendidikan.7

6
Juni Prasetya, Konsep Pendidikan Islam Muhammad Abduh Serta Implikasinya Terhadap Pendidikan Islam
Modern, Koordinat, Volume 18, No. 2, hal. 460-463
7
https://www.academia.edu/30025079/IMPLIKASI_PENDIDIKAN_SEBAGAI_ILMU diakses pada 13 Maret 2020
pukul 21.00

18
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dalam landasan religius pendidikan terdapat beberapa hal yaitu pengertian dan ciri-ciri
agama, pengaruh agama bagi manusia dan pendidikan serta urgensi bagi landasan pendidikan.
Manusia merupakan satu-satunya makhluk Allah yang sempurna, memiliki akal sebagai alat
berfikir dan memiliki hati sebagai alat merasa. Lalu, di dalam diri manusia ada dimensi fisik
(jasadiyah) san psikis (ruhiyah), sebagai penyatuan unsur tanah dalam diri manusia dengan unsur
Ilahiyah sebagai unsur penciptaan-Nya. Manusia memiliki kecenderungan untuk berbuat baik
dan buruk.Paham eksistensialisme mengemukakan bahwa karakteristik manusia tersebut
seharusnya menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan dan membenahi arah dan tujuan
pendidikan.Kedudukan manusia menurut islam terbagi pada dua, yaitu sebagai ‘abdullah dan
khalifah.Ilmu pendidikan atau siapapun yang bekerja dalam bidang pendidikan, hendaknya
memahami secara konseptual mengenai hakekat pendidikan sebagai ilmu beserta sifat-sifat yang
dimiliki oleh ilmu pendidikan. Pemahaman akan hal itu akan mambantu mereka dalam
menjalankan tugas kependidikannya secara baik.

3.2 Saran

Dengan membaca makalah ini, pembaca diharapkan mampu memperoleh pengetahuan


lebih mengenaidasar-dasar religius pendidikan.Penulis sangat terbuka menerima sumbang saran,
kritik membangun, manakala dalam makalah ini terdapat kekeliruan dalam penulisan makalah
ini.

19
DAFTAR PUSTAKA

Isop Syafe’i, “Hakikat Manusia menurut Islam”, Jurnal Ilmiah Psikologi,5(1): 743-746.

http://kangamsol20.blogspot.com/2015/05/makalah-landasan-religius.html diakses pada


15 Maret 2020 pukul 09:45

https://www.academia.edu/30025079/IMPLIKASI_PENDIDIKAN_SEBAGAI_ILMU
diakses pada 13 Maret 2020 pukul 21.00

https://www.academia.edu/26075200/LANDASAN_RELIGIUS_PENDIDIKAN diakses
pada 15 Maret 2020 pukul 09:45

Juni Prasetya, Konsep Pendidikan Islam Muhammad Abduh Serta Implikasinya Terhadap
Pendidikan Islam Modern, Koordinat, 18(2):460-463

Siti Khasinah, “Hakikat Manusia menurut Pandangan Islam dan Barat”, Jurnal Ilmiah
DIDAKTIKA,13(2): 302-308

20

Anda mungkin juga menyukai