Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

Persoalan Dalam Filsafat Hukum

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Hukum

Dosen Pembimbing:

Dr. Wildani Hefni, MA.

Disusun oleh:

Ahmad Taufiq Hadi Dinulillah (222102010008)

Wasilatul Holila (2221020100047)

Rizqia Zulfa (222102010071)

M. Ziwarul Fuadi (222102010032)

JURUSAN SYARI’AH

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) JEMBER

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunianya ,sehingga penulis mampu menyelesaikan kewajiban penulis, yakni dalam rangka
untuk memenuhi salah satu syarat tugas kelompok. Sholawat serta salam semoga senantiasa
tetap tercurahkan kepada beliau Baginda Nabi Muhammad SAW yang telah mengantarkan
kita kepada jalan yang terang benderang dan menjadikan jalan yang indah berupa ajaran
agama Islam.

Ucapan terima kasih kepada beliau bapak Dr. Wildani Hefni, MA. Selaku dosen pada
mata kuliah Filsafat Hukum yang telah memberikan bimbingan serta arahan sehingga
makalah yang berjudul Persoalan Dalam Filsafat Hukum ini dapat diselesaikan tepat waktu.
Seiring dengan usaha kerja keras penulis tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu, karena tanpa bimbingan dan dorongannya,
penulis tidak akan menyelesaikan makalah ini sampai selesai. Penulis pun menyadari bahwa
dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dalam rangka perbaikan
makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua dan mempunyai tanggapan
yang positif serta dapat bermanfaat bagi pembaca semua. Amin Ya Rabbal Alamin

Jember, 1 Mei 2023

2
Kelompok empat

Daftar Isi
KATA PENGANTAR...........................................................................................................................2
BAB I....................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.................................................................................................................................4
A. Latar Belakang..............................................................................................................................4
B.   Rumusan Masalah.......................................................................................................................4
C.   Tujuan.........................................................................................................................................4
BAB II...................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN...................................................................................................................................5
A. Hukum dan Nilai Sosial Budaya................................................................................................5
B. Hukum dan Hak Asasi Manusia.................................................................................................6
C. Kewenangan Negara Memberikan Hukuman............................................................................7
BAB III............................................................................................................................................10
PENUTUP...........................................................................................................................................10
KESIMPULAN...............................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................11

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B.   Rumusan Masalah.
1. Apa yang dimaksud dengan hukum dan nilai sosial budaya ?
2. Apa yang dimaksud dengan hukum dan hak asasi manusia ?
3. Bagaimana Kewenangan Negara Memberikan Hukuman ?

C.   Tujuan
1. Mahasiswa dapat mengetahui hukum dan nilai sosial budaya.
2. Mahasiswa dapat mengetahui hukum dan hak asasi manusia.
3. Mahasiswa dapat mengetahui bagaimana Kewenangan Negara Memberikan Hukuman.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hukum dan Nilai Sosial Budaya


Antara hukum dan nilai sosial budaya pastinya ada keterkaitan di mana hukum sendiri
menurut Van Kant adalah "serumpunan peraturan yang bersifat memaksa yang diadakan
untuk mengatur dan melindungi kepentingan orang dalam masyarakat sedangkan nilai sosial
budaya adalah nilai yang dianggap penting oleh masyarakat untuk menciptakan interaksi
sosial dengan baik, sehingga kebiasaan yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat menjadi
sebuah kebudayaan yang tercipta tidak disengaja maupun disengaja."

Jadi maksudnya adalah hukum sebagai bagian dari kaidah sosial yang tidak lepas dari
nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat, dan hukum yang baik adalah hukum yang
sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law), yang di mana tentunya
sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat tersebut.
Bahkan dapat terjadi pula pola-pola kebudayaan tertentu itu juga dapat membentuk pola
hukum yang tertentu pula.1

Hukum mempunyai kaitan yang erat dengan kebudayaan. Hukum sendiri juga dapat
dikatakan produk kebudayaan karena sejatinya produk Hukum tercipta dari pemikiran
manusia. Lahirnya hukum dari kebudayaan melalui proses bottom-up (dari bawah ke atas)
dari kaidah kepercayaan masyarakat, spiritual, dan dari kaidah sosial masyarakat menjadi
suatu hukum yang berlaku.2Pada dasarnya hukum tidak hanya sekedar rumusan hitam di atas
putih saja sebagaimana yang dituangkan dalam berbagai bentuk peraturan perundang-
undangan, namun dapat pula dilihat dari tingkah laku warganya. hal ini menandakan bahwa
hukum juga berasal dari sumber non hukum yaitu: nilai, sikap, pandangan masyarakat atau
yang disebut kultur budaya. Adanya kultur/budaya hukum inilah yang menyebabkan
perbedaan penegakan hukum di antara masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya.

Nilai-nilai sosial budaya inilah yang mendasari hukum-hukum adat dan kebiasaan-
kebiasaan setempat yang perlu di perdayakan kembali atau lestarikan kembali, mengingat
bahwa sebetulnya hukum-hukum dan nilai-nilai sosial budaya ini merupakan hukum yang
tidak tertulis yang sudah lama ada dan sudah dilaksanakan oleh nenek moyang kita. 3

1
Urip Sucipto, Filsafat Hukum, hal 53
2
Zainudin Ali, Filsafat Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 90
3
Eny Kusdarini, Jurnal Hukum dan Nilai-nilai Sosial Budaya Masyarakat.

5
B. Hukum dan Hak Asasi Manusia
HAM merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia dan bersifat
universal. Oleh karena itu, harus dilindungi, dihormati, dipertahankan dan tidak boleh
diabaikan, dikurangi ataupun dirampas oleh siapapun. HAM meliputi berbagai aspek
kehidupan yang dijalani setiap individu dalam fungsi kemasyarakatan yang saling bergantung
dan saling terkait. Pemahaman terhadap hakikat HAM merupakan suatu proses yang tidak
mudah untuk dipahami.

Pada Era reformasi saat ini, HAM telah menjadi salah satu isu nasional dan mempunyai
dampak serta pemikiran yang luas di Indonesia pada khususnya. Terorisme dan korupsi
adalah permasalahan yang sedang hangat untuk dibicarakan. Namun demikian, HAM
merupakan salah satu permasalahan yang sangat serius untuk mendapat perhatian, sebab
dampaknya akan meluas dan dapat menjatuhkan kehormatan bangsa dan negara apabila HAM
tersebut diabaikan. Apabila permasalahan HAM yang tidak diselesaikan, pada puncaknya isu
tersebut akan berkembang menjadi isu global di dunia.

Dalam suatu negara hukum yang dinamis, negara ikut aktif dalam usaha menciptakan
kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, diaturlah masalah fungsi negara dengan
penyelenggaraan hak dan kewajiban asasi manusia itu. Bagaimanapun juga, negara di satu
pihak melindungi hak-hak asasi warga negaranya, sedangkan di pihak lain, menyelenggarakan
kepentingan umum. Kepentingan umum itu berupa kesejahteraan masyarakat sebagaimana
yang diamanatkan oleh Undang - Undang Dasar 1945. Hak-hak asasi manusia tersebut,
Sebagian telah secara eksplisit dan implisit dimuat dalam Undang- Undang Dasar 1945 yang
kemudian dikonkretkan lagi dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Perhatian
terhadap HAM ini, tentunya tidak boleh berhenti sampai pada rumusan aturan-aturan tertulis.

Dalam sistem negara-negara otoriter dan totaliter, kebebasan untuk dapat


mengekspresikan hak- hak dasar sangat lah terbatas atau malahan bisa dikatakan tidak ada
sama sekali. Rakyat yang hidup di bawah sistem otoriter dan totaliter sangat tertekan, karena
segala bentuk kegiatan yang dilakukan harus dengan sepengetahuan aparat negara. Negara
memaksakan pemahaman ideologi resmi negara lewat program indoktrinasi, dan pikiran
rakyat dikontrol dan diarahkan sesuai kehendak penguasa. Tidak ada perbedaan atau
penafsiran atas persoalan sosial politik yang menyimpang dari apa yang telah digariskan
sebagai suatu “kebenaran” negara.

Menanggapi hal semacam itu, filsafat moral universal menegaskan prinsip- prinsip yang
melindungi hak-hak asasi kemerdekaan manusia secara universal dan individual, kebebasan,
persamaan hak dan keadilan dengan memberikan landasan non-legal kepada mereka.
Relativisme membela pengkondisian budaya yang dianggap mencerminkan sejumlah

6
keinginan dan kebaikan yang dibutuhkan para anggotanya dari suatu kelompok budaya.
Alasan atau argumen relativisme budaya ini dipakai untuk membenarkan pembatasan-
pembatasan dalam tataran hak-hak asasi manusia. Jadi, dapat disimpulkan bahwa implikasi
posisi relativisme terhadap HAM sebenarnya membingungkan bagi banyak teori yang ingin
melihat HAM berperan dalam persoalan riil. Oleh sebab itu, kaum relativis mencari justifikasi
selain dari pada teori- teori universalisme untuk menegaskan HAM secara nyata sebagai
landasan relativisme. Dengan demikian, sekiranya dapat dipahami bahwa membicarakan
definisi HAM dapat menghasilkan suatu kesimpulan yang berbeda pula. Hal ini tergantung
pada dari mana kita memandang konsep HAM itu sendiri.

Konsep HAM umumnya mencerminkan kombinasi antara hak bawaan dengan perjuangan
dan bukan hak triman. Artinya hak-hak yang hendak diwujudkan bukanlah direbut demi
kepentingan pribadi, melainkan demi terwujudnya keluhuran budi, harkat dan martabat
manusia yang ditandai oleh jiwa merdeka dan saling menghargai dalam tataran pergaulan
masyarakat nasional maupun internasional. Hak-hak tersebut sudah pasti merupakan suatu
bentuk dari hukum alami bagi umat manusia.4

C. Kewenangan Negara Memberikan Hukuman.


Setiap negara yang berdiri pasti memiliki tujuan. Menurut Harold J. Laski dalam The
State in Theory and Practice (1947), tujuan negara adalah untuk menciptakan keadaan di
mana rakyat dapat mencapai keinginan-keinginan mereka secara maksimal. Namun, rakyat
dalam sebuah negara mempunyai karakter masing-masing, maka diperlukan aturan-aturan
yang kemudian disebut dengan hukum. Seorang filosof bernama Cicero (2000),
mengemukakan suatu adagium terkenal yang berbunyi “Ubi societas ibi ius” yang berarti di
mana ada masyarakat di situ ada hukum, artinya di setiap masyarakat yang kompleks ada
hukum yang mengatur di dalamnya agar tercipta keteraturan dalam kehidupan masyarakat itu.
Suatu masyarakat yang menetap di suatu tempat tentu memiliki hukum yang mengikat untuk
masyarakat itu. Kaidah hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia, juga untuk
mengatur hubungan antar manusia. Dengan demikian adanya hukum dapat mengatur
hubungan antar manusia untuk menciptakan keadaan masyarakat yang tertib, aman, teratur,
dan stabil, sehingga diharapkan dapat mencegah adanya konflik. Masyarakat yang hidup
tanpa ada hukum yang mengawasinya maka akan dapat membahayakan masyarakat tersebut,
masyarakat tidak akan dapat hidup dengan damai, aman, dan tenteram.

Negara dalam melindungi masyarakat tentunya membuat suatu peraturan yang disebut
dengan hukum. Menurut Black’s Law Dictionary, hukum dalam arti umum adalah
keseluruhan peraturan bertindak atau berperilaku yang ditentukan oleh kekuasaan pengendali,

4
Diana Pujiningsih, HAM dalam Persepektif Filsafat Hukum (Universitas Jaya Baya, Jakarta, 2022)

7
dan mempunyai kekuatan sah bersifat mengikat. Hubungan antara hukum dan kekuasaan
dapat dirumuskan dalam slogan “Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan
tanpa hukum adalah kelaliman”.(1) Hal inilah yang menjadi ciri utama yang membedakan
hukum dengan norma-norma sosial lainnya dan norma agama. Kekuasaan pada dasarnya
diperlukan oleh karena hukum yang sifatnya memaksa. Tanpa adanya kekuasaan, penerapan
hukum dalam masyarakat akan mengalami banyak hambatan.

Secara umum, dapat disimpulkan bahwa yang mempunyai kekuasaan di sini adalah
negara. Negara sebagai penguasa pengendali berhak memberikan sanksi kepada mereka yang
tidak menaati hukum yang berlaku. Kewenangan negara untuk memberikan sanksi kepada
orang yang tidak taat hukum disebut dengan kewenangan yurisdiksi. Dalam kekuasaan yang
dimiliki oleh negara, terdapat unsur pemegang kekuasaan yaitu pemerintah. Unsur pemegang
kekuasaan ini juga merupakan faktor penting dalam hal mempergunakan kekuasaan yang
dimilikinya agar sesuai dengan kehendak masyarakat, sehingga pemegang kekuasaan yaitu
pemerintah juga harus dibatasi dengan hukum dan juga syarat-syarat lain yang mendukung.

Negara sebagai penguasa kekuasaan yang diwakili oleh pemerintah yang menjabat berhak
untuk memberikan sanksi kepada mereka yang tidak menaati hukum yang berlaku.
Kewenangan negara untuk memberikan sanksi kepada orang yang tidak taat hukum disebut
dengan kewenangan yurisdiksi.

Pembentukan masyarakat yang sadar akan hukum serta menaati hukum adalah sebuah
tujuan dari norma-norma yang ingin membawa keadilan kepada masyarakat sehingga akan
tercipta sebuah sistem masyarakat yang menghargai satu sama lain. Hukum sendiri memiliki
peranan untuk menjamin kepastian dan keadilan, dalam kehidupan masyarakat yang
senantiasa terdapat perbedaan antara perilaku masyarakat dengan norma yang dikehendaki.
Hal ini dapat menyebabkan timbulnya suatu masalah berupa kesenjangan sosial sehingga pada
waktu tertentu cenderung terjadi konflik dan ketegangan-ketegangan sosial yang tentunya
dapat mengganggu jalannya perubahan masyarakat sebagaimana arah yang dikehendaki.
Keadaan demikian terjadi oleh karena adanya hukum yang diciptakan diharapkan dapat
dijadikan pedoman (standard) dalam bertindak bagi masyarakat ,tidak ada kesadaran hukum
sehingga cenderung tidak ada ketaatan hukum. Untuk menumbuhkan ketaatan hukum,
masyarakat memberi kewenangan kepada negara untuk memberikan sanksi guna menjaga
keberlangsungan hukum demi mewujudkan tujuan dari keberadaan hukum itu sendiri.

Negara sebagai pemegang kekuasaan memiliki wewenang untuk memberikan sanksi


kepada masyarakat yang melanggar atau tidak menaati hukum yang berlaku. Hal ini selaras
dengan teori-teori dasar dalam filsafat hukum yang menjelaskan tentang kewenangan negara
untuk memberikan sanksi, yaitu :

8
1. Teori kedaulatan Tuhan

Teori ini mulai dikenal pada abad ke-19. Tokoh Frederich Julius Stahl, berpendapat
bahwa “negara adalah merupakan badan yang mewakili Tuhan di dunia yang memiliki
kekuasaan penuh untuk menyelenggarakan ketertiban di dunia. Pelanggar ketertiban harus
memperoleh hukuman supaya ketertiban hukum tetap terjamin.

2. Teori perjanjian masyarakat

Otoritas negara yang bersifat monopoli itu pada kehendak manusia itu sendiri yang
menginginkan adanya kedamaian dan ketenteraman masyarakat. Masyarakat berjanji akan
menaati segala ketentuan yang dibuat negara dan dilain pihak bersedia pula untuk
memperoleh hukuman jika dipandang tingkah lakunya akan berakibat terganggunya
ketertiban dalam masyarakat. Masyarakat memberikan kekuasaan kepada negara untuk
menghukum seseorang yang melanggar ketertiban.

3. Teori kedaulatan Negara

Teori ini memiliki pendirian yang lebih tegas, karena negara yang berdaulat, maka yang
berhak menghukum seseorang yang mengganggu ketertiban di masyarakat adalah negara.
Hukum diciptakan oleh negara sehingga segala sesuatu harus tunduk pada negara. Adanya
hukum karena ada negara yang menciptakannya.5

5
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Binacipta,hlm. 5

9
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

10
DAFTAR PUSTAKA
Urip Sucipto, Filsafat Hukum,
Zainudin Ali, Filsafat Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010),
Eny Kusdarini, Jurnal Hukum dan Nilai-nilai Sosial Budaya Masyarakat.
Diana Pujiningsih, HAM dalam Persepektif Filsafat Hukum (Universitas Jaya Baya, Jakarta,
2022)
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional,
Binacipta,

11

Anda mungkin juga menyukai