Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

PENGAKUAN HUKUM ADAT DI INDONESIA


Makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah “Hukum Adat”
Dosen Pengampu: Hery Zarkasih, MH

Oleh Kelompok 5
1. Muhammad Aditya (220202052)
)
2. M. Didi Fahrozi Halil (220202051)
)
3. Hendika Al Farizi (220202043)
)
4. Nur Aeni (220202050)
)
5. Yazid Eka Mahendra (220202049)
)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM
TAHUN 2024

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji bagi Allah yang telah memberikan kami dan kita semua nimat
sehat dan sempat sehingga kami selaku pemakalah mampu menyelesaikan tugas kami sesuai
dengan waktu yang telah di tentukan. Sholawat dan salam selalu tercurahkan kepada baginda
Rasulullah saw.

Makalah yang berjudul “Pengakuan Hukum Adat Indonesia” ini disusun untuk
memenuhi tugas mata kuliah Hukum Adat yang diampu oleh Bapak Hery Zarkasih, MH. Dan
semoga dengan membaca makalah ini menjadi pahala jariah.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini
karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Oleh karena itu penulis mengharapkan
saran dari pembaca sebagai bahan evaluasi.

Mataram, 7 Maret 2024

Kelompok 5
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia memiliki keanekaragaman budaya yang kaya dan kompleks, dengan ribuan suku
bangsa dan kelompok etnis yang tersebar di seluruh kepulauan. Setiap kelompok etnis memiliki
tradisi, adat istiadat, dan sistem hukum adatnya sendiri yang telah berkembang sejak berabad-
abad. Meskipun Indonesia dikenal dengan keanekaragaman budaya dan agama, selama berabad-
abad, masyarakat telah hidup berdampingan secara harmonis. Sistem hukum adat menjadi salah
satu elemen yang memperkuat identitas dan keberlangsungan budaya lokal di tengah
modernisasi dan globalisasi.

Proses modernisasi dan perkembangan hukum nasional sering kali menghadirkan tantangan
bagi pengakuan dan perlindungan hukum adat. Penyebaran hukum nasional cenderung
menggeser peran hukum adat, yang dianggap ketinggalan zaman atau bertentangan dengan
norma-norma hukum modern. Kepemilikan dan pengelolaan sumber daya alam sering menjadi
sumber konflik antara masyarakat adat dengan pemerintah atau perusahaan swasta. Tanah,
hutan, dan air sering kali menjadi objek konflik, karena adat dan hukum nasional sering tidak
selaras dalam pengaturan kepemilikan dan pengelolaan sumber daya tersebut. Pengakuan dan
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, termasuk hak-hak masyarakat adat, menjadi isu
penting dalam konteks hukum nasional dan internasional. Masyarakat adat sering kali rentan
terhadap pelanggaran hak asasi manusia, seperti pengusiran dari tanah adat mereka atau
pembatasan akses terhadap sumber daya alam.

Perubahan dalam konteks politik dan hukum, termasuk reformasi hukum di Indonesia, telah
membuka peluang untuk meningkatkan pengakuan dan perlindungan hukum adat. Namun,
implementasi reformasi tersebut sering kali menghadapi hambatan dari berbagai kepentingan
politik dan ekonomi.

B. Rumusan Masalah
1) Bagaimana eksistensi hukum adat di masyarakat?
2) Bagaimana pengakuan hukum adat dalam perundang-undangan?
3) Apa contoh peraturan daerah mengenai hukum adat?
4) Apa saja contoh kasus penerapan sanksi adat yang ada dibeberapa wilayah Indonesia?

C. Tujuan
1) Mengetahui eksistensi hukum adat dalam masyarakat
2) Menganalisis bagaimana pengakuan hukum adat dalam perundang-undangan
3) Memahami contoh peraturan daerah mengenai hukum adat
4) Mengetahui contoh kasus penerapan sanksi adat yang ada dibeberapa wilayah Indonesia.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Eksistensi Hukum Adat di Indonesia


 Hukum Adat Bagi Masyarakat

Hukum adat merupakan hukum yang ang tidak tertulis yang hidup dan berkembang sejak
dahulu serta sudah berakar di dalam masyarakat. Walaupun tidak tertulis namun hukum adat
mempunyai akibat hukum terhadap siapa saja yang melang- garnya. Norma-norma dan nilai-
nilai yang ada di dalam hukum adat sangat dipatuhi dan dipegang teguh oleh masyarakat adat.
Hukum adat bagi masyarakat berfungsi sebagai neraca yang dapat menimbang kadar baik atau
buruk, salah atau benar, patut atau tidak patut, pantas atau tidak pantas atas suatu perbuatan atau
peristiwa dalam masyarakat. Sehingga eksistensi hukum adat lebih sebagai pedoman untuk
menegakkan dan menjamin terpeliharanya etika kesopanan, tata tertib, moral, dan nilai adat
dalam kehidupan masyarakat. Ini berarti bahwa hukum adat dengan sejumlah aturannya yang
tidak tertulis, pada hakikatnya di dalamnya sudah diatur dan disepakati bagaimana seseorang
bertindak, berperilaku baik dalam lingkungan sosial masyarakatnya. Di dalam hukum adat
apabila masyarakat akan memutus kan sesuatu melalui musyawarah dan mufakat adalah
jalannya. Prinsipnya, setiap keputusan yang menyangkut kepentingan orang banyak dapat diuji
kebenarannya dan bebas menurut hu- kuman yang mencerminkan asas keadilan dan kepatutan.
Agar pemimpin adatnya tidak kehilangan kepercayaan dari masyara- kat, maka seorang
pemimpin/penguasa yang adil dan patut atau pantas dalam memutuskan disebutkan dalam adat.

Adat sebagai fundamen dan juga langsung berhubung an dengan masyarakat sehari-hari,
memiliki wibawa dan ke wibawana inilah sebagai modal utama dalam pemerintahan adat.
Hukum adat tidak mengenal adanya rumah tahanan atau penjara sehingga bagi yang dinyatakan
bersalah, hukum adat memiliki sanksi moral dan material sebagai efek jera. Kekuatan hukum
adat yang begitu dahsyat menjadi ilmu dan memberi spirit bagi kelangsungan kehidupan
masyarakat yang bermartabat. Menurut Rendra (penyair), di dalam ma syarakat tradisional yang
kuat hukum adatnya, rakyat dan alam lingkungannya hidup dalam harmoni yang baik, yang
diatur oleh para tetua adat atau dewan adat. Kemudian ketika hadir pemerintah, maka
pemerintah berfungsi sebagai pengemban adat yang patuh kepada adat. Jadi, hierarki tertinggi di
dalam ketatanegaraan masyarakat seperti itu adalah hukum adat yang dijaga oleh dewan adat.
Kedua tertinggi adalah pemegang kekuasaan pemerintahan. Adapun masyarakat dan alam ling-
kungannya terlindungi di dalam lingkaran dalam dari struktur ketatanegaraan.

 Syarat Eksistensi Hukum Adat

Keberadaan masyarakat hukum atau persekutuan hukum tidaklah dapat digugat oleh
siapa pun, karena terbentuknya merupakan suatu natuurnoodwendigheid. Inilah yang dimak-
sudkan oleh Ter Haar (1939: 13-15) sebagai suatu realitas mate- jurisch yang tidak seorang pun
berpikir untuk membubarkan- nya. Ter Haar menulis:... Geordende groepen van blivend
karakter met eigen bewind en eigen materieel en inmeterieel vergogen. Un- sur-unsur definisi
ini merupakan kriteria eksistensial masyara- kat hukum atau persekutuan hukum menurut sistem
hukum adat, yaitu:

a) tatanan kelompok yang bersifat tetap;

b) dengan kekuasaan (penguasa) sendiri; dan


c) kekayaan materiel dan bukan-materiel sendiri.

Secara perinci, Soepomo membagi aktivitas "kepala rakyat" di antaranya:

1. Tindakan-tindakan mengenai urusan tanah berhubungan dengan adanya pertalian yang erat
antara tanah dengan persekutuan (golongan manusia) yang menguasai tanah itu.

2. Penyelenggaraan hukum sebagai usaha untuk mencegah adanya pelanggaran hukum


(preventieve rechzorg) supaya hukum dapat berjalan semestinya.

3. Menyelenggarakan hukum sebagai pembetulan hukum di langgar (repressieve rechtzorg).

 Hukum Adat Sebagai Sistem Pengendalian Masyarakat

Hukum adat sebagai sistem pengendalian sosial telah memberikan perannya dalam rangka
terciptanya keteraturan ma- syarakat. Di sinilah pentingnya keberadaan hukum adat seba- gai
sistem pengendalian sosial yang diharapkan agar anggota masyarakat mematuhi norma-norma
sosial sehingga tercipta keselarasan dalam kehidupan sosial. Pengendalian sosial meru- pakan
suatu mekanisme untuk mencegah terjadinya penyim- pangan sosial serta mengajak dan
mengarahkan masyarakat untuk berperilaku dan bersikap sesuai norma dan nilai yang berlaku.
Dengan adanya pengadilan sosial yang baik diharap- kan mampu meluruskan anggota
masyarakat yang berperilaku menyimpang/membangkang.

Prof. Koentjaraningrat menyebut sekurang-ku- rangnya lima macam fungsi pengendalian sosial,
yaitu:

a. Mempertebal keyakinan masyarakat tentang kebaikan norma.

b. Memberikan imbalan kepada warga yang menaati norma.

c. Mengembangkan rasa malu.

d. Mengembangkan rasa takut.

e. Menciptakan sistem hukum.

Kontrol sosial-di dalam arti mengendalikan tingkah pe- kerti warga masyarakat agar
selalu tetap konform dengan ke- harusan norma-norma hampir selalu dijalankan dengan bersa-
rankan kekuatan sanksi (sarana yang lain: pemberian insentif positif), Adapun yang dimaksud
dengan sanksi dalam sosiologi yaitu akan dibebankan oleh masyarakat yang terbukti melang-
gar atau menyimpangi keharusan norma sosial, dengan tujuan agar warga masyarakat ini kelak
tidak lagi melakukan pelang- garan dan menyimpang terhadap norma tersebut.
Ada tiga jenis sanksi yang digunakan di dalam uasaha-usaha pelaksanaan kontrol sosial itu,
yaitu:

a. Sanksi yang bersifat fisik.

b. Sanksi yang bersifat psikologis.

c. Sanksi yang bersifat ekonomik.

Berikut ini adalah cara-cara yang dapat dilakukan untuk mengendalikan sosial masyarakat

a. Pengendalian lisan (pengendalian sosial persuasif). Pengendalian lisan diberikan dengan


menggunakan ba- hasa lisan guna mengajak anggota kelompok sosial untuk mengikuti
peraturan yang berlaku.

b. Pengendalian simbolis, merupakan pengendalian yang di- lakukan dengan melakukan


gambar, tulisan, dan iklan. Contoh: spanduk, poster, dan rambu lalu lintas.

c. Pengendalian kekerasan (pengendalian koersif), pengenda- lian melalui cara-cara kekerasan


merupakan suatu tindakan yang dilakukan untuk membuat si pelanggar jera dan mem- buatnya
tidak berani melakukan kesalahan yang sama. Contoh: main hakim sendiri1.

B. HUKUM ADAT DALAM PERUNDANG-UNDANGAN

Dasar berlakunya Hukum Adat ditinjau secara yuridis dalam berbagai peraturan
perundang-undangan mempelajari segi yuridis dasar berlakunya hukum adat berarti
mempelajari dasar hukum berlakunya hukum adat di Indonesia. Secara yuridis, hukum
adat telah di dalam :

1. UUD 1945
Dalam Pasal 18 b ayat (2) Undang Undang Dasar NRI 1945 Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-
hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip NKRI yang diatur dalam UU.
2. Ketetapan MPRS
Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/l960 dalam lampiran A paragraf 402 disebutkan
bahwa:
a) Asas-pembinaan hukum nasional supaya sesuai dengan haluan negara dan
berlandasakan hukum adat yang tidak menghambat perkembangan masyarakat
adil dan makmur.
b) Dalam usaha ke arah homoginitas hukum supaya diperhatikan kenyataan-
kenyataan yang hidup di Indonesia. Dalam penyempurnaan UU hukum
1
Prof. Dr. A. Suriyaman Mustari Pide, S.H., M.Hum., Hukum Adat DAHULU, KINI, DAN AKAN DATANG (Prenamedia
Group:2014) Jakarta, hlm 88-98.
perkawinan dan waris supaya memperhatikan fakor-faktor agama, adat dan lain-
lain.

3. UU Nomor 41 Tahun l999


UU Pokok Kehutanan menegaskan bahwa pelaksanaan hak-hak masyarakat adat,
Hukum Adat dan anggotanya serta hak-hak persseorangan untuk mendapatkan
manfaat dari hutan secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada suatu
peraturan yang demi tercapainya tujuan yang dimaksud oleh UU ini.

4. PP Nomor 21 Tahun 1971


Tentang HPH dan hak pemungutan hasil Hutan. Pasal 6 ayat 1 PP
Nomor 21 Tahun 1971 menyebutkan bahwa Hak-hak masyarakat hukum adat dan
anggota-anggotanya untuk memungut hasil hutan didasarkan atas peraturan hukum
adat sepanjang kenyataannya masih ada, pelaksanaannya masih perlu ditertibkan
sehingga tidak menggangu HPH. Ayat 2 Pasal 6 PP No. 21 Tahun 1971 Pelaksanaan
pasal 1 harus seizin pemegang HPH yang diwajibkan meluluskan pelaksanaan Hak tsb
dan diatur dengan tata tertib sebagai hasil musyawarah antara pemegang HPH
musyawarah adat dengan bimbingan dan pengawasan Dinas kehutanan. Ayat 3 Demi
keselamatan umum dalam areal hutan yang sedang dalam rangka pengusahaan hutan
maka pelaksanaan hak-hak rakyat untuk memungut hasil hutan dibekukan.

5. UU Nomor 4 Tahun 2004


Yang menggantikan UU nomr 14 tahun 1970 tentang ketentuan-keentuan pokok
kekuasaan kehakiman
 Pasal 25 ayat 1 yang isinya segala putusan pengadilan selain
harus memuat dasar-dasar putusan, juga harus memuat pasal- pasal tertentu
dari peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang
dijadikan dasar untuk mengadili.
 Pasal 28 ayat 1 yang isinya tentang hakim sebagai penegak hukum dan
keadilan wajib menggali mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang
hidup dalam masyarakat. Dengan diundangkannya UU nomor 4 tahun 2004
maka ketentuan pasal 131 ayat 6 Is tidak berlaku lagi.

6. UU Nomor 16 Tahun 1985


tentang rumah susun dan PP No. 4 Tahun 1988 tentang rumah susun UU Nomor 16
Tahun 1985 mengangkat lembaga Hukum Adat dengan cara dimasukkan ke dalam
UU tersebut yaitu asas pemisahan horizontal.
7. PP Nomor 24 Tahun 1997
Mengenai pendaftaran tanah PP 24 merupakan penyempurnan PP10 tahun 1961. PP
24 diundangkan pada 8 juli 1997 dan berlaku efektif 8 oktober 1997 mengangkat
dan memperkuat berlakunya Hukum Adat yaitu lembaga rechtsverwerking
(perolehan hak karena menduduki tanah dan menjadikannya sebagai hak milik
dengan syarat yaitu iktikad baik selama 20 tahun berturut tanpa ada
gangguan/tuntutan dari pihak lain dan disaksikan atau diakui oleh
masyarakat.lembaga aquisitive verjaring kehilangan hak untuk menuntut hak milik.

8. UU Nomor 5 Tahun 1960 Tentang UUPA.


Pasal 2 ayat 4 UUPA mengatur tentang pelimpahan wewenang kembali
kepada masyarakat hukum adat untuk melaksanakan hak menguasai atas tanah,
sehingga masyarakat hukum adat merupakan aparat pelaksana dari hak
menguasai negara atas untuk mengelola tanah tanah tyang ada di wilayahnya. Pasal
3 UUPA bahwa pelaksanaan hak ulayat masyarakat hukum adat, sepanjang menurut
kenyataannya harus sedikikan rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional
dan negara, berdadasakan persatuan bangsa dan tidak boleh bertentangan dengan
UU atau peraturan yang lebih tinggi. Tanah Ulayat adalah tanah bersama para warga
masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Hak penguasaan atas tanah masyarakat
hukum adat dikenal dengan Hak Ulayat. Hak ulayat merupakan serangkaian
wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan
tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya

C. Contoh Peraturan-Peraturan Daerah Tentang Hukum Adat

Berikut adalah tiga contoh peraturan daerah yang berkaitan dengan adat di Lombok:

1. Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Utara Nomor 6 Tahun 2020. tentang Pengakuan
dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Peraturan ini mencakup pengakuan, perlindungan,
hak-hak, pemberdayaan, dan penyelesaian sengketa bagi Masyarakat Hukum Adat di Lombok
Utara2.

2. Peraturan Bupati Lombok Tengah Nomor 7 Tahun 2016. tentang Desa Adat dan
Lembaga Adat Desa. Peraturan ini mengatur tentang pengakuan, pembinaan, dan perlindungan
terhadap desa adat dan lembaga adat desa di Lombok Tengah3.

2
https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/139468/perda-kab-lombok-utara-no-6-tahun-2020.
3
https://www.eposdigi.com/2022/10/16/budaya/masyarakat-hukum-adat-suku-sasak-di-pulau-lombok/.
3. Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 3 Tahun 2010. tentang
Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat. Peraturan ini bertujuan untuk
mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat hukum adat di seluruh Nusa Tenggara Barat,
termasuk Lombok4.

Peraturan-peraturan ini dibuat untuk memastikan bahwa adat dan budaya lokal tetap terjaga
dan dihormati, sekaligus memberikan kerangka hukum bagi masyarakat adat untuk mengelola
dan memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan. Untuk informasi lebih lanjut, Anda
dapat mengunjungi situs Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH) setempat.

D. Contoh Kasus Penerapan Sanksi Adat yang Ada Dibeberapa Wilayah Indonesia.
KASUS PENCURIAN DI SUKU SASAK, DESA SADE, LOMBOK.
Suku Sasak merupakan etnis mayoritas penghuni pulau Lombok yang meliputi hampir 95%
penduduk seluruhnya. Suku Sasak sudah menghuni pulau Lombok sejak abad IX sampai XI
Masehi.

Tradisi yang berkembangan pada masyarakat suku Sasak pada umumnya dapat
diklasifikasinya kepada dua asas, yaitu :
a. Tradisi kepercayaan yang bersumber dari tradisi kepercayaan nenenek moyang.
b. Tradisi kepercayaan yang bersumber dari Islam (Rukun Islam dan Rukun Iman).
Penerapan tradisi-tradisi tersebut digabungkan menjadi sebuah upacara adat dengan memadukan
upacara agama dan upacara ritual nenek moyang.5

Sistem nilai-nilai budaya suku Sasak terdiri dari konsep-konsep yang hidup dalam alam
pikiran sebagian besar warga masyarakat dan merupakan kebudayaan yang dilakukan secara
terus menerus secara turun temurun, serta berfungsi sebagai pedoman untuk berbuat sesuatu
atau tidak berbuat sesuatu.

4
https://jdih.lomboktimurkab.go.id/produk-hukum-pedoman-teknis-lembaga-kemasyarakatan-desa-dan-
lembaga-adat-desa-di-kabupaten-lombok-timur.html.
5
Daud Azhari, “Masyarakat Hukum Adat Suku Sasak Di Pulau Lombok”, diakses dalam
https://id.scribd.com/doc/21863414/Masyarakat-Hukum-Adat-Suku-Sasak-Di-Pulau-Lombok, 7 Maret 2024,
hlm. 9
Adat istiadat dan sistem norma dalam kehidupan keseharian masing-masing dusun atau
desa mempunyai awig-awig dusun (aturan dusun atau desa) yang ditetapkan oleh para tokoh
agama dan tokoh masyarakat, bagi mereka yang melanggar akan dikenakan sanksi sesuai
kesepakatan. Sanksi adat menurut Lesquillier dalam disertasinya “Het Adat Delectenrecht In De
Magische Wereldbeschouwing” mengemukakan bahwa reaksi adat ini merupakan tindakan-
tindakan yang bermaksud mengembalikan ketentraman magis yang diganggu dan meniadakan
atau menetralisir suatu keadaan sial yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran adat. 6

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh berbagai kalangan akademisi terhadap


penyelesaian konflik dalam masyarakat adat di Indonesia, pada dasarnya budaya untuk
penyelesaian secara musyawarah atau konsiliasi merupakan nilai yang banyak dianut.7

Berbagai suku bangsa di Indonesia mempunyai budaya penyelesaian konflik secara damai,
misalnya masyarakat suku Sasak Sade Lombok.

Lembaga penyelesaian sengketa bagi mayarakat suku Sasak adalah “Majelis Adat Dese”
atau “Kerama Desa atau Kerama Gubuk”. Anggota Majelis Adat Dese atau Kerama

Dese atau Kerame Gubuk diangkat oleh masyarakat dari unsur tua-tua adat, tokoh masyarakat,
tokoh-tokoh agama, dan formal pemerintahan.

Ada beberapa kearifan lokal yang menjadi hal penting untuk diperhatikan dan
dilaksanakan, yaitu salah satunya mengenai masyarakat suku Sasak yang betul-betul
menghargai tentang apa yang tidak boleh dilakukan terhadap apa yang belum menjadi haknya.

Tindak pidana pencurian merupakan perbuatan yang dinilai melanggar salah satu kearifan
lokal karena telah mengambil hak milik orang lain. Suatu ketika jika terjadi sebuah tindak
pencurian di suku Sasak, maka masyarakat di suku Sasak lebih memilih untuk dapat
menyelesaikannya terlebih dahulu secara adat daripada dilaporkan pada kepolisian. Selain suku
Sasak sangat menjaga proses adat dari nenek moyang yang dipercaya lebih mampu mengani
perkara-perkara yang terjadi di lingkungannya, mereka juga masih kesulitan untuk melaporkan
pada kepolisian dikarenakan jarak tempuh yang jauh dari desa adat setempat.

6
Soerojo Wignjodipoero, op.cit., hlm. 226.
7
Fery Kurniawan, “Hukum Pidana Adat Sebagai Sumber Pembaharuan Hukum Pidana Nasional”, EDUKA
Jurnal Pendidikan, Hukum, dan Bisnis, Volume 2, Nomor 2, 2016, hlm. 26.
Proses penyelesaian kasus bermasalah / sengketa, baik kepidanaan maupun keperdataan
akan diselesaikan oleh anggota Kerama Desa dan pihak yang berkepentingan (yang
bersengketa) dalam suatu pertemuan yang disebut dengan istilah “Sangkep atau Begundem”
atau musyawarah. 8 Sangkep atau Begundem tersebut diadakan pada malam hari di satu tempat
yang netral yang biasanya di tempat “Sekenem (balai pertemuan) atau masjid”.

Fase yang harus dilalui ketika pelaksanaan Sangkep atau Begundem (musyawarah) di suku
Sasak meliputi:

1. Pihak yang dihadiri bersengketa mengemukakan masalahnya masing-masing dengan


dihadiri pula dengan saksi-saksi yang meringankan atau yang memberatkan.
2. Masing-masing anggota “Kerama Desa” memberikan fatwa berdasarkan hukum adat dan
fatwa agama kepada yang bersengketa agar bersedia berdamai atau menaati hukum adat
yang berlaku. Proses pemberian fatwa ini dinamakan ”petinang wadi temah”.
3. Setelah proses pemeriksaan (musyawarah) selesai, maka akan diakhiri dengan pemberian
keputusan, yaitu keputusan berupa perdamaian (soloh) atau penjatuhan hukuman.
Pemeriksaan atau persidangan kasus-kasus oleh “Kerama Desa” dilakukan secara terbuka
sehingga seluruh anggota kerama dan masyarakat boleh menyaksikan baik tua maupun
muda, pria maupun wanita.9
“Kerama Desa” dalam menjatuhkan sanksi pidana adat terhadap kasus pencurian di suku
Sasak adalah dengan penjatuhan hukuman. Hukuman yang diberikan akan diawali melalui
proses agama, yaitu dengan mengumpulkan seluruh masyarakat Sasak sekitar tempat kejadian
di balai pertemuan atau masjid untuk dilakukan pengakuan kejujuran dari semua pihak.

Pada proses agama apabila terjadi kegagalan dalam pelaksanaannya karena tidak ada yang
mengakui kejahatannya, maka “Kerama Desa” melanjutkan proses adat sebagai langkah untuk
menemukan pelaku tindak pidana pencurian. Proses adat akan berlangsung dengan upacara
ritual adat, yaitu dengan membuat sebuah cairan bernama “Kerama Adat” yang terdiri dari
pengumpulan beberapa jenis tanah dari makam leluhur dan para wali yang kemudian
dicampurkan dengan air. Cairan “Kerama Adat” ini selanjutnya harus diminum oleh setiap
orang yang hadir dalam proses adat tersebut. Kepercayaan suku Sasak dengan cairan “Kerama
Adat” adalah jika ada seseorang yang berbohong dan dia berani meminum cairan tersebut, maka
8
Daud Azhari, op.cit., hlm. 13.
9
kehidupannya kemudian hingga keturunan darinya akan banyak penderitaan dan menjadi tidak
bahagia selamanya. Apabila ada seseorang / pihak yang tidak berani meminum cairan “Kerama
Adat”, maka dapat dipastikan bahwa seseorang / pihak tersebut adalah pelaku kejahatan dan
dalam hal ini pelaku tindak pidana pencurian.

Keputusan lain yang mungkin dijatuhkan oleh adalah dengan pemberian hukuman berupa
denda dengan mempergunakan standar uang bolong (kepeng) sebanyak 250 keping atau
minimal uang sejumlah Rp 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) dan hewan atau
dedosan atau setara dengan harga benda atau harta yang dicuri. Bentuk sanksi pidana yang
lainnya adalah pelaku diusir untuk meninggalkan wilayah suku Sasak bahkan hingga keluar
pulau Lombok dan dianggap telah meninggal dunia sebagai wujud pertanggungjawaban atas
perbuatannya yang dinilai merusak adat istiadat.

Pelaku tindak pidana pencurian jika sudah mengakui perbuatannya saat melaksanakan
upacara adat dengan ritualnya tersebut dan kepadanya telah dibebankan pemberian hukuman
berupa denda yang sesuai dengan bentuk kerugian korban, maka baginya dapat kembali hidup
normal di lingkungan suku Sasak.

Beberapa faktor yang mempengaruhi masyarakat suku Sasak masih mempergunakan dan
mempertahankan proses adat dalam penyelesaian permasalahan / sengketa adalah:

1. Penghormatan kepada sistem nilai hukum adat dan nilai-nilai agama yang meresap di
sanubari masyarakat suku Sasak yang dikenal sebagai masyarakat yang patuh dan taat
beribadah dab pulaunya dijuluki “Pulau Seribu Masjid”.
2. Adanya penghormatan yang tulus dan tinggi kepad apemuka agama (Tuan Guru). Pemuka
adat dan masyarakat (Penghulu Desa) yang akan mampu menyelesaikan konfliknya secara
damai dan jujur.
3. Untuk menjaga hubungan silaturrahmi dan menjaga hubungan agar tidak terputus.
4. Menghindari adanya istilah “kalah dan menang dalam perkara” yang dapat merugikan kedua
belah pihak.10

10
Ani Triwati, “Revitalisasi Hukum Pidana Adat Dan Krimonologi Kontemporer”,Cetakan 1 (Yogyakarta,GENTA
Publishing,2018) hlm.210.
BAB III

PENUTUPAN

Kesimpulan

Berdasrakan pembahasan diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, Hukum


Adat merupakan suatu sistem hukum tidak tertulis yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat, mengatur perilaku dan tata tertib secara moral dan etis. Hukum adat berperan
sebagai pengendalian sosial yang menegakkan norma dan nilai-nilai dalam masyarakat, dengan
sanksi yang bersifat moral dan material. Fungsi utama hukum adat adalah untuk menjaga
keteraturan dan harmoni dalam masyarakat, dengan mempertahankan tradisi serta menjamin
keadilan dan kepatutan dalam pengambilan keputusan. Hierarki dalam masyarakat yang kuat
hukum adatnya menempatkan hukum adat sebagai yang tertinggi, diikuti oleh pemegang
kekuasaan pemerintahan. Adanya pengendalian sosial dalam hukum adat dilakukan melalui
berbagai cara, termasuk pengendalian lisan, simbolis, dan kekerasan, untuk memastikan
kepatuhan terhadap norma dan nilai yang berlaku.

Kedua, hukum adat di Indonesia diakui dan diatur dalam berbagai peraturan perundang-
undangan, antara lain UUD 1945, Ketetapan MPRS, UU Nomor 41 Tahun 1999, PP Nomor 21
Tahun 1971, UU Nomor 4 Tahun 2004, UU Nomor 16 Tahun 1985, PP Nomor 24 Tahun 1997,
dan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA. Penyelenggaraan dan pengakuan terhadap hukum
adat tercermin dalam upaya pemenuhan hak-hak masyarakat adat, pengaturan pengelolaan
sumber daya alam, perlindungan hak tanah ulayat, dan penegakan keadilan dalam sistem hukum
nasional. Ini menunjukkan pentingnya hukum adat dalam konteks keberagaman dan keadilan
hukum di Indonesia.

Kemudian ketiga, hukum adat telah diterapkan dalam peraturan daerah salah satunya di
daearah Lombok, dapat disimpulkan bahwa pemerintah daerah mengakui pentingnya menjaga
dan melindungi adat dan budaya lokal. Peraturan-peraturan tersebut mencakup pengakuan hak-
hak, pembinaan, perlindungan, dan penyelesaian sengketa bagi masyarakat hukum adat di
berbagai wilayah di Lombok, termasuk pengakuan terhadap desa adat dan lembaga adat desa.
Tujuan utamanya adalah untuk memastikan bahwa tradisi dan nilai-nilai adat tetap terjaga,
sambil memberikan kerangka hukum yang memungkinkan masyarakat adat untuk mengelola
sumber daya alam secara berkelanjutan. Hal ini menunjukkan komitmen pemerintah daerah
dalam mendukung keberlangsungan budaya lokal dan kesejahteraan masyarakat adat.

Keempat, masyarakat suku Sasak di Lombok memiliki sistem hukum adat yang
menggabungkan tradisi kepercayaan nenek moyang dengan ajaran Islam. Tradisi ini tercermin
dalam upacara adat yang memadukan elemen agama dan ritual nenek moyang. Sistem nilai
budaya suku Sasak menjadi pedoman dalam kehidupan sehari-hari, dengan adat istiadat dan
norma-norma yang diatur oleh para tokoh agama dan masyarakat. Penyelesaian konflik dalam
masyarakat suku Sasak umumnya dilakukan melalui musyawarah dan konsiliasi, dengan
lembaga penyelesaian sengketa seperti Majelis Adat Dese atau Kerama Desa. Proses
penyelesaian sengketa diwarnai dengan aspek-agama dan adat, termasuk penggunaan upacara
adat untuk menegakkan kejujuran dan menemukan pelaku kejahatan. Faktor-faktor seperti
penghormatan terhadap nilai-nilai adat dan agama, peran pemuka adat dan agama, serta
menjaga hubungan silaturrahmi menjadi penting dalam mempertahankan penggunaan proses
adat dalam penyelesaian sengketa.
DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. A. Suriyaman Mustari Pide, S.H., M.Hum., Hukum Adat DAHULU, KINI, DAN AKAN
DATANG (Prenamedia Group:2014) Jakarta.

Jurnal Pendidikan, Hukum, dan Bisnis, Volume 2, Nomor 2, 2016,


Fery Kurniawan, “Hukum Pidana Adat Sebagai Sumber Pembaharuan Hukum Pidana
Nasional”, EDUKA
Daud Azhari, “Masyarakat Hukum Adat Suku Sasak Di Pulau Lombok”, diakses dalam
https://id.scribd.com/doc/21863414/Masyarakat-Hukum-Adat-Suku-Sasak-Di-Pulau-Lombok, 7
Maret 2024,

Ani Triwati, “Revitalisasi Hukum Pidana Adat Dan Krimonologi Kontemporer”,Cetakan 1


(Yogyakarta,GENTA Publishing,2018) .

Anda mungkin juga menyukai