Anda di halaman 1dari 21

UPAYA PEMERINTAH DALAM PEMENUHAN

KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA

Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hak Asasi Manusia

Dosen Pembimbing : Dr. Siti Sumartini, SH., MH.

Mata Kuliah : Hak Asasi Manusia

Semester / Rombel : III (Tiga) / C

Disusun oleh:

1. Ade Sugiarto (742010120001)


2. Alif Adi Fabio Satiawan (742010120089)
3. Herdiyanto (742010120013)
4. Manarul Hidayat (742010120110)
5. Muhammad Vikri (742010521092)

UNIVERSITAS WIRALODRA
Jalan Ir. H. Juanda KM. 03, Karanganyar, Indramayu, Karanganyar, Kecamatan
Indramayu, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat 45213, Indonesia
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Upaya Pemerintah dalam Pemenuhan Kebebasan Beragama di Indonesia” ini
tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas pada mata kuliah Hak Asasi Manusia. Selain itu, makalah ini juga bertujuan
untuk menambah wawasan mengenai jaminan serta perlindungan atas kebebasan
beragama bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Siti Sumartini, SH., MH,
selaku dosen bidang studi Ilmu Hukum dalam mata kuliah Hak Asasi Manusia
yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan
wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari, makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.

Indramayu, 14 Desember 2021


Penulis

i
ABSTRAK
Setiap orang memiliki kebebasan dan kemerdekaan untuk mengamalkan
agama dan kepercayaannya. Hak ini dijamin oleh instrumen Hak Asasi Manusia.
Tidak ada seorangpun yang boleh dipaksa untuk memilih agama. Tidak ada yang
berhak mengurangi, membatasi atau menghilangkan hak seseorang untuk
memeluk agamanya. Karena hak beragama dan berkeyakinan adalah non-
derogable right, suatu hak yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun dan
oleh siapapun.
Secara jelas, Penulis menjabarkan hak atas kebebasan beragama dan
berkeyakinan yang dapat dipilah kedalam kategori: forum internum (privat
freedom) dan forum externum (public freedom), kewajiban negara terkait forum
internum dan forum externum serta bentuk dan jenis pelanggarannya yang terjadi
di Indonesia.
Tulisan ini ditutup dengan rekomendasi yang patut dijadikan pertimbangan
bagi Pemerintah baik pihak eksekutif maupun legislatif dan terutama Kepolisian
Republik Indonesia dalam menjalankan kewajibannya terkait pemenuhan dan
perlindungan Hak atas Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan bagi Warga
Negara Indonesia.

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................

ABSTRAK.................................................................................................................................

DAFTAR ISI.............................................................................................................................

BAB I: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang................................................................................................................
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................
C. Tujuan Makalah...............................................................................................................

BAB II: PEMBAHASAN

A. Jaminan Akan Hak Beragama dan Berkeyakinan...........................................................


B. Ancaman, Gangguan, dan Kekerasan yang Mengancam Kebebasan
Beragama.........................................................................................................................
C. Upaya Pemerintah Dalam Menjamin Kebebasan Beragama Setiap Warga
Negara.............................................................................................................................
D. Moderasi Beragama.......................................................................................................

BAB III: PENUTUP

A. Kesimpulan ...................................................................................................................
B. Saran .............................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hal wajib yang patut diberikan
kepada setiap manusia di seluruh dunia. Di Indonesia, terdapat beberapa
upaya yang dilakukan untuk menegakkan HAM, mulai dari pembentukan
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), instrumen HAM, dan
pengadilan HAM.
Persoalan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia telah menjadi tema
utama dalam perbincangan kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Embrio
HAM di Indonesia sudah tersemai sejak Orde Baru masih berkuasa. Pada
tahun 1993, Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 50
Tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia tanggal 7 Juni
1993. Pada awal keberadaannya, Komnas HAM telah berani melakukan
sejumlah gebrakan yang luar biasa.
HAM yang terpenting, salah satunya, di dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara di Indonesia adalah hak atas kebebasan beragama dan
berkeyakinan (KBB). Kebebasan beragama sejak saat itu sampai kini terus
menjadi perdebatan yang dinamis. Perdebatan muncul karena bagi sebagian
kelompok HAM dianggap berwatak liberal yang cenderung mengedepankan
hak-hak individu daripada hak kelompok. Watak seperti itu bagi sebagian
kelompok dinilai tidak sesuai dengan budaya dan nilai-nilai budaya Timur
yang kolektif. Tapi, sebagian masyarakat yang lain menilai ide KBB dalam
konteks HAM adalah tepat untuk diterapkan di Indonesia yang
masyarakatnya memiliki agama dan kepercayaan yang beragam. HAM
dinilai dapat membantu mencegah terjadinya tindakan represif dari
kelompok agama dan berkeyakinan yang mayoritas kepada yang minoritas.
Sejatinya perdebatan tentang tepat tidaknya penerapan KBB di
Indonesia sudah harus selesai ketika Indonesia telah meratifikasi Kovenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, dan juga Kovenan Internasional
tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Apalagi konstitusi Indonesia
telah menjamin setiap warga negaranya untuk memeluk agama dan

1
kepercayaannya masingmasing. Dan, masih banyak lagi peraturan yang
menjamin warga negara Indonesia untuk bebas memeluk agama atau
keyakinan tertentu. Meskipun demikian, dalam kehidupan nyata sehari-hari
di masyarakat persoalan KBB masih terus bermunculan. Banyak tema
dalam ruang lingkup KBB yang masih terus diperdebatkan, seperti:
kebebasan memeluk agama; kebebasan berpindah agama; hak mendirikan
rumah ibadah; hak melakukan ibadah atau ekspresi keagamaan; hak
mendirikan organisasi keagamaan; hak menikah beda agama; hak untuk
mendapat pendidikan keagamaan; hak untuk melakukan penyiaran dan
penyebaran agama.
Pada kenyataaan di lapangan, tema-tema itu sering memunculkan
gesekan antar pemeluk agama. Bahkan sering terjadi tindakan kekerasan
yang mengakibatkan kerugian jiwa, harta, dan kerugian materi yang tidak
sedikit nilainya. Gesekan atau konflik muncul karena adanya perbedaan cara
pandang antar satu kelompok dengan kelompok lainnya yang kebanyakan
tidak terjembatani dengan baik oleh negara. Itu artinya kerukunan kehi-
dupan beragama dan berkeyakinan di Indonesia belum terjamin dengan
baik. Sampai saat ini di Indonesia masih sering terjadi beragam bentuk
pelanggaran HAM terkait hak atas KBB. Sejak tahun 1998 sampai 2009
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah menerima
ratusan pengaduan terkait kasus pelanggaran hak atas kebebasan beragama
dan berkeyakinan. Kasusnya, antara lain, pelarangan pendirian tempat
ibadah, perusakan tempat tinggal umat, pelarangan beribadat dan penutupan
tempat ibadat, tindakan diskriminasi terhadap umat tertentu, penganiayaan,
penghancuran tempat-tempat ibadah dan lain-lain.

2
B. Rumusan Masalah
Setiap negara menjamin kebebasan warga negara untuk memeluk
agama yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, adapun beberapa
rumusan masalah yang penulis sampaikan diantaranya sebagai berikut:
1. Bagaimana jaminan akan kebebasan beragama dan berkeyakinan di
Indonesia?
2. Apa saja masalah yang terjadi selama dilaksanakannya jaminan
kebebasan beragama dalam masyarakat?
3. Bagaimana peran pemerintah dalam pemenuhan kebebasan beragama
setiap warga negara?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah ditentukan. Tujuan
penulisan makalah ini yaitu diantaranya sebagai berikut:
1. Memahami arti kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dianut di
Indonesia.
2. Mengetahui masalah yang timbul dari pelaksanaan kebebasan
beragama.
3. Mengetahui peran pemerintah dalam menjamin terselenggaranya
kebebasan beragama dan berkeyakinan yang aman dan damai.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Jaminan Akan Hak Beragama dan Berkeyakinan


Jaminan konstitusi terhadap kebebasan beragama di Indonesia,
Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia ditegaskan
dalam pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Kedua
ayat itu menyatakan bahwa, ”Setiap orang bebas memeluk agama dan
beribadat menurut agamanya.”Bahwa,” Setiap orang berhak atas kebebasan
meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati
nuraninya.” Jaminan ini diperkuat lagi dalam pasal 29 ayat (2) UUD 1945,
yang menyebutkan bahwa ”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Pasal-pasal ini dengan jelas
menjamin prinsip noncoersive (asas tidak ada paksaan) dalam beragama dan
berkeyakinan.
Di samping itu, dalam Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945
dinyatakan bahwa kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah bagian dari
”hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”.
Status non-derogable rights bagi religious freedom ini juga ditegaskan
kembali dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, pasal 4: “Hak untuk
hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas
dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”.
Selain penghormatan (respect), pengakuan (recognition) akan hak
warga negara akan kebebasan beragama dan berkeyakinan, UU No. 39
Tahun 1999 tentang HAM juga menegaskan kewajiban negara untuk
memberikan jaminan perlindungan (protec) hak tersebut. Selengkapnya, UU
No. 39 Tahun. 1999 pasal 22 berbunyi: 

4
1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadah menurut agamanya dan kepercayaanya itu.
2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaanya itu.
Negara juga telah menegaskan larangan diskriminasi berdasarkan
agama. Prinsip non-diskriminatif ini ditegaskan UUD 1945 ayat (2) Pasal
28I bahwa ”Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan
terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif”.
Sangat jelas bahwa Konstitusi dan Undang-Undang yang berlaku di
Indonesia memberi jaminan bahwa memilih, memeluk, mengimani dan
menjalankan ibadat suatu agama dan kepercayaan adalah hak bagi setiap
individu. Setiap orang memiliki kebebasan dan kemerdekaan untuk
beragama dan berkepercayaan. Tidak ada seorangpun yang boleh dipaksa
untuk memilih agama dan keimanan. Tidak ada yang berhak mengurangi,
membatasi atau menghilangkan hak seseorang untuk mempercayai dan
mengimani suatu agama atau kepercayaan. Karena hak beragama dan
berkeyakinan adalah non-derogable right, suatu hak yang tidak bisa
dikurangi dalam keadaan apapun.
Hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan juga dijamin oleh
Instrumen Internasional. Norma-norma hukum internasional yang mengatur
dan menjamin hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan memperoleh
penegasan dalam Pasal 18 Universal Declaration on Human Rights dan
Pasal 18 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik,
sebagaimana yang telah disahkan oleh Pemerintah RI dengan Undang-
undang Nomor 12 tahun 2005. Pelanggaran atas norma-norma tersebut
dapat digolongkan sebagai pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan
berkeyakinan.
Pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) PBB
menyatakan: ”Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani, dan
agama, dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan,

5
dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan, dengan cara
mengajarkannya, melakukannnya, beribadat dan mentaatinya, baik sendiri
maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri”.
Maka secara teoritis, hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan
dapat dipilah kedalam kategori:
1. Forum Internum (privat freedom)
Forum Internum adalah eksistensi spiritual individual seseorang,
sebuah wilayah yang secara teoritis tidak dimungkinkan dilakukan
pengurangan (derogasi) hak atas kebebasan beragama dan keyakinan
tersebut. Dimensi individual tercermin dalam perlindungan terhadap
keberadaan spiritual seseorang termasuk di dalam dimensi ini adalah
memilih – mengganti, mengadopsi - dan memeluk agama dan
keyakinan. Dimensi individual ini juga menyangkut menjalankan
ibadat agama dalam ruang privat.
2. Forum Externum (public freedom)
Forum eksternum yang juga disebut sebagai “community right”,
berupa hak memanifestasikan dan pengkomunikasian materi-materi
spiritual kepada dunia yang lebih luas dan upaya mempertahankan
kesalehan di ruang publik. Sedangkan dimensi kolektif tercermin
dalam perlindungan terhadap keberadaan seseorang untuk
mengeluarkan keberadaan spiritualnya dan mempertahankannya di
depan publik (forum eksternum).
Terdapat beberapa hal yang tidak boleh diintervensi, dipaksa,
dipengaruhi dengan cara-cara manipulatif (seperti indoktrinasi,
brainwashing, dan penggunaan sarana obat-obat psichotropica dan
sebagainya), oleh negara atau pihak manapun karena itu adalah forum
internum:
1. Memilih dan mengimani agama, keyakinan atau kepercayaan.
2. Memilih dan mengimani sekte atau madzhab tertentu dalam suatu
agama.
3. Memilih untuk taat pada (menjalankan) suatu ajaran agama atau tidak
taat.

6
4. Menjalankan ibadat ritual di ruang privat.
5. Memikirkan, memahami, merenungi, menafsirkan dan
mengembangkan pemikiran tentang agama.
B. Ancaman, Gangguan, dan Kekerasan Yang Mengancam Kebebasan
Beragama
Di Indonesia tindakan pelanggaran atas hak eksistensial ini masih
sering terjadi khususnya terhadap kaum minoritas agama dan keyakinan.
Mereka menghadapi pemaksaan langsung (direct coercion) dalam bentuk
yang paling primitif berupa ancaman fisik, penganiayaan hingga
pembunuhan. Ancaman fisik lainnya juga berupa perusakan properti bahkan
rumah ibadah. Tindakan demikian jelas jelas melanggar hak warga negara
untuk bebas dan merdeka dalam memilih, menganut dan beribadat di ruang
privatnya. Beberapa kasus kekerasan bisa dikemukakan di sini sebagai
contoh:
1. Sebanyak 131 Jamaah Muslim Ahmadiyah di Provinsi Nusa Tenggara
Barat hidup dalam pengungsian selama 7 (tujuh) tahun dari tahun
2006 s/d 2013 karena adanya 8 (delapan) kali amuk massa dan
kekerasan berupa penyerangan, pengrusakan, penjarahan, pembakaran
aset, penganiayaan dan pembunuhan. Mereka terpaksa tingga di 2
(dua) tempat pengungsian yaitu di Asrama Transito kota Mataram dan
Eks RSUD Praya Lombok Tengah hingga saat ini.
2. Pada tanggal 6 Februari 2011, lebih dari 1.000 orang memegang batu,
parang, pedang dan tombak menyerbu rumah seorang pemimpin
Ahamadiyya di kecamatan Cikeusik, Provinsi Banten. Massa
mengepung rumah di mana setidaknya 18 pengikut Ahmadiyah
berkumpul, mereka menyerang dan menewaskan tiga warga
Ahmadiyah. Para korban ditemukan dengan beberapa luka-luka
termasuk lima orang lainnya luka berat. Massa juga menghancurkan
rumah serta kendaraan.
3. Pada 26 Agustus 2012 , massa anti - Syiah sekitar 500 orang dengan
senjata tajam dan batu menyerang sebuah komunitas Syiah di Desa
Nangkrenang, Omben, Sampang , Pulau Madura. Dalam serangan itu

7
1 orang tewas, dan banyak yang terluka. Tiga puluh lima rumah milik
komunitas Syiah juga dibakar oleh massa. Banyak dari masyarakat
melarikan diri dari desa, bersembunyi sementara yang lain dievakuasi
ke tempat penampungan sementara di sebuah kompleks olahraga di
Sampang, dan kemudian dipindahkan ke Sidoarjo. Ini adalah serangan
kedua terhadap komunitas Syiah dalam periode satu tahun.
4. Pada 5 Mei 2013, massa antiAhmadiyah menyerang sedikitnya 20
rumah, sekolah dan masjid milik jemaat Ahmadiyah di Desa
Tejowaringin, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Massa
melempari rumah, menghancurkan jendela dan juga membakar tempat
ibadah Ahmadiyah di desa lain di lokasi yang tidak jauh. Tidak ada
yang terluka, tapi banyak dari pengikut Ahmadiyah, termasuk anak-
anak, dilaporkan mengalami trauma dengan kejadian tersebut.

8
C. Upaya Pemerintah dalam Menjamin Kebebasan Beragama Setiap
Warga Negara
Indonesia adalah negara demokratis yang menjunjung kebebasan hak
asasi penduduknya, termasuk aturan agama. Hal ini tertuang dalam pasal 29
ayat 2 UUD 1945:
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk
memeluk agama”.
Demokratis artinya bersifat demokrasi, maka negara demokratis
adalah negara yang bersifat mengutamakan persamaan hak, kewajiban, dan
perlakuan bagi semua warga negara. Dalam konteks agama, Indonesia juga
memiliki konstitusi yang menjadi jaminan bahwa warga negara Indonesia
memiliki hak untuk memeluk agama dan beribadah menurut
kepercayaannya.
Jaminan ini tegas termuat dalam berbagai pasal yang membahas
mengenai kebebasan beragama. Pasal-pasal ini merupakan wacana
kebebasan beragama yang sudah ada sejak kemerdekaan Indonesia di tahun
1945 dan terus mengalami perkembangan.
Salah satunya pada Pasal 29 Ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi:
"Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu".
Kandungan kebebasan beragama dan berkeyakinan ini adalah pasal
hak asasi manusia (HAM) yang tegas dan diatur dalam Undang-Undang
Dasar (UUD) 1945. Dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-3 berbunyi
"Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh
keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat
Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya". Alinea ini memiliki
arti keyakinan bangsa Indonesia, bahwa kemerdekaan yang diraih bukan
hasil perjuangan rakyat semata, tetapi juga berkat rahmat Tuhan Yang Maha
Kuasa.
Selain itu, alinea ke-4 memuat tentang kedaulatan Indonesia yang
tercantum dalam Pancasila, dengan kalimat pertama yaitu Ketuhanan Yang

9
Maha Esa. Melihat ketentuan ini, bukan berarti Indonesia adalah negara
yang didasarkan oleh agama tertentu. Sebaliknya, Indonesia adalah negara
multikultural yang di dalamnya memiliki berbagai suku, budaya, adat
istiadat, dan agama. Agama dan kepercayaan yang dianut masyarakat
Indonesia sangat beragam Seperti yang diketahui, ada penduduk penganut
agama Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, dan Konghucu.
Dalam menyikapi kemajemukan agama, Pemerintah berkewajiban
untuk memberikan jaminan kebebasan beragama dan memelihara kerukunan
umat beragama dengan mengacu pada empat pilar kehidupan berbangsa dan
bernegara yaitu Pancasila, Undang- Undang Dasar 1945, Bhineka Tunggal
Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Yusril Ihza menjelaskan bahwa berkaitan dengan Pasal 29 UUD 1945
dilihat dari sudut teologi keagamaan, kebebasan untuk memeluk agama itu
bersifat transeden (bersumber dari Tuhan) yang memberikan kebebasan
pada manusia untuk memeluk agama-agama secara bebas tanpa paksaan
dari siapa pun, selain itu Pasal 29 mengatur dengan tegas kebebasan
memeluk agama, bukan kebebasan untuk tidak menganut agama.1
Lebih lanjut Oemar Seno Adji mengemukakan bahwa salah satu ciri
Negara Hukum Indonesia adalah tidak adanya pemisahan yang rigid dan
mutlak antara agama dan negara, karena agama dan negara berada dalam
hubungan yang harmonis.2 Artinya negara memiliki tanggung jawab dalam
menjamin kebebasan beragama warga negaranya. Penjaminan yang
diartikan di sini bukan hanya sebatas perlindungan sebagaimana ditulis
dalam Perauturan Perundangan- Undangan. Lebih dari itu Pemerintah dan
Negara diwajibkan untuk memenuhi segala sarana dan prasarana, akses serta
perlindungan untuk mendukung jalannya kebebasan beragama warga
negara.

1
Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tatanegara Indonesia: Kompilasi Aktual Masalah
Konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, (Jakarta: Gema Insani Press 1996), hlm.
105-106
2
Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, cet. 2, (Erlangga 1985), hlm. 37-38

10
D. Moderasi Beragama
Kata “moderasi” memiliki korelasi dengan beberapa istilah. Dalam
bahasa Inggris, kata “moderasi” berasal dari kata moderation, yang berarti
sikap sedang, sikap tidak berlebih-lebihan. Juga terdapat kata moderator,
yang berarti ketua (of meeting), pelerai, penengah (of
dispute). Kata moderation berasal dari bahasa Latin moderatio, yang berarti
ke-sedang-an (tidak kelebihan dan tidak kekurangan). Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, kata “moderasi” berarti penghidaran kekerasan atau
penghindaran keekstreman. Kata ini adalah serapan dari kata “moderat”,
yang berarti sikap selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang
ekstrem, dan kecenderungan ke arah jalan tengah. Sedangkan kata
“moderator” berarti orang yang bertindak sebagai penengah (hakim, wasit,
dan sebagainya), pemimpin sidang (rapat, diskusi) yang menjadi pengarah
pada acara pembicaraan atau pendiskusian masalah.
Jadi, ketika kata “moderasi” disandingkan dengan kata “beragama”,
menjadi “moderasi beragama”, maka istilah tersebut berarti merujuk pada
sikap mengurangi kekerasan, atau menghindari keekstreman dalam praktik
beragama. Gabungan kedua kata itu menunjuk kepada sikap dan upaya
menjadikan agama sebagai dasar dan prinsip untuk selalu menghindarkan
perilaku atau pengungkapan yang ekstrem (radikalisme) dan selalu mencari
jalan tengah yang menyatukan dan membersamakan semua elemen dalam
kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa Indonesia.
Sikap moderat dan moderasi adalah suatu sikap dewasa yang baik dan
yang sangat diperlukan. Radikalisasi dan radikalisme, kekerasan dan
kejahatan, termasuk ujaran kebencian/caci maki dan hoaks, terutama atas
nama agama, adalah kekanak-kanakan, jahat, memecah belah, merusak
kehidupan, patologis, tidak baik dan tidak perlu.  
Konflik keagamaan yang banyak terjadi di Indonesia, umumnya
dipicu adanya sikap keberagamaan yang ekslusif, serta adanya kontestasi
antar kelompok agama dalam meraih dukungan umat yang tidak dilandasi

11
sikap toleran, karena masing-masing menggunakan kekuatannya untuk
menang sehingga memicu konflik
Dalam kontek fundamentalisme agama, maka untuk menghindari
disharmoni perlu ditumbuhkan cara beragama yang moderat, atau cara ber-
Islam yang inklusif atau sikap beragama yang terbuka, yang disebut sikap
moderasi beragama. Moderasi itu artinya moderat, lawan dari ekstrem, atau
berlebihan dalam menyikapi perbedaan dan keragaman. Kata moderat dalam
bahasa Arab dikenal dengan al-wasathiyah sebagaimana terekam dari QS.al-
Baqarah [2]: 143. Kata al-Wasath bermakna terbaik dan paling sempurna.
Dalam hadis yang juga disebutkan bahwa sebaik-baik persoalan adalah yang
berada di tengah-tengah. Dalam melihat dan menyelesaikan satu persoalan,
Islam moderat mencoba melakukan pendekatan kompromi dan berada di
tengah tengah, dalam menyikapi sebuah perbedaan, baik perbedaan agama
ataupun mazhab, Islam moderat mengedepankan sikap toleransi, saling
menghargai, dengan tetap meyakini kebenaran keyakinan masing-masing
agama dan mazhab, sehingga semua dapat menerima keputusan dengan
kepala dingin, tanpa harus terlibat dalam aksi yang anarkis. (Darlis, 2017)
Dengan demikian moderasi beragama merupakan sebuah jalan tengah di
tengah keberagaman agama di Indonesia. Moderasi merupakan budaya
Nusantara yang berjalan seiring, dan tidak saling menegasikan antara agama
dan kearifan lokal (local wisdom). Tidak saling mempertentangkan namun
mencari penyelesaian dengan toleran.
Moderat dalam pemikiran Islam adalah mengedepankan sikap toleran
dalam perbedaan. Keterbukaan menerima keberagamaan (inklusivisme).
Baik beragam dalam mazhab maupun beragam dalam beragama. Perbedaan
tidak menghalangi untuk menjalin kerja sama, dengan asas kemanusiaan
(Darlis, 2017). Meyakini agama Islam yang paling benar, tidak berarti harus
melecehkan agama orang lain. Sehingga akan terjadilah persaudaraan dan
persatuan anatar agama, sebagaimana yang pernah terjadi di Madinah di
bawah komando Rasulullah SAW.
Untuk mewujudkan moderasi tentu harus dihindari sikap inklusif.
Menurut Shihab bahwa konsep Islam inklusif adalah tidak hanya sebatas

12
pengakuan akan kemajemukan masyarakat, tapi juga harus diaktualisasikan
dalam bentuk keterlibatan aktif terhadap kenyataan tersebut. Sikap inklusiv-
isme yang dipahami dalam pemikiran Islam adalah memberikan ruang bagi
keragaman pemikiran, pemahaman dan perpsepsi keislaman. Dalam
pemahaman ini, kebenaran tidak hanya terdapat dalam satu kelompok saja,
melainkan juga ada pada kelompok yang lain, termasuk kelompok agama
sekalipun. Pemahaman ini berangkat dari sebuah keyakinan bahwa pada
dasarnya semua agama membawa ajaran keselamatan. Perbedaan dari satu
agama yang dibawah seorang nabi dari generasi ke generasi hanyalah syariat
saja (Shihab, 1999). Jadi jelas bahwa moderasi beragama sangat erat terkait
dengan menjaga kebersamaan dengan memiliki sikap ‘tenggang rasa’,
sebuah warisan leluhur yang mengajarkan kita untuk saling memahami satu
sama lain yang berbeda dengan kita.
Agama menjadi pedoman hidup dan solusi jalan tengah (the middle
path) yang adil dalam menghadapi masalah hidup dan kemasyarakatan,
agama menjadi cara pandang dan pedoman yang seimbang antara urusan
dunia dan akhirat, akal dan hati, rasio dan norma, idealisme dan fakta,
individu dan masyarakat. Hal sesuai dengan tujuan agama diturunkan ke
dunia ini agar menjadi tuntunan hidup, agama diturunkan ke bumi untuk
menjawab berbagai persoalan dunia, baik dalam skala mikro maupun
makro, keluarga (privat) maupun negara (publik).

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Konsep hak atas kebebasan beragama dan beribadah di Indonesia adalah
didasarkan pada Sila Pertama dari Pancasila “ke-Tuhanan YME”, yang
kemudian menjiwai dan Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29 UUD 1945.
Tidak ada pemisahan antara negara dan agama karena Pancasila
merupakan dasar falsafah negara, dengan “keTuhanan YME” sebagai
sila pertama, yang mengandung arti bahwa ke-Tuhanan YME menjadi
jiwa dan dasar dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan
bernegara. Hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan juga dijamin
oleh Instrumen Internasional. Norma-norma hukum internasional yang
mengatur dan menjamin hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan
memperoleh penegasan dalam Pasal 18 Universal Declaration on
Human Rights dan Pasal 18 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak
Sipil dan Politik, sebagaimana yang telah disahkan oleh Pemerintah RI
dengan Undang-undang Nomor 12 tahun 2005.
2. Di tengah tingginya religiusitas dan semangat mengamalan agama dan
keyakinan, berbagai masalah terkait dengan hak-hak beragama dan
berkeyakinan seringkali dilanggar. Baik pelanggaran terkait kasus
kekerasan dan konflik bernuansa agama maupun kekerasan yang
menimpa kaum minoritas baik yang pelakunya negara atau non negara
masih sering terjadi.
3. Sikap Pemerintah dalam Hubungan antarumat Beragama Berdasarkan
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9
Tahun 2006/Nomor 8 Tahun 2006, pemeliharaan kerukunan umat
beragama menjadi tanggung jawab bersama umat beragama, pemerintah
daerah dan pemerintah pusat. Dengan demikian pemerintah memiliki
peran strategis dalam memelihara toleransi dalam umat beragama.
Ketiadaan persamaan arti ini sering kali menjadi celah dalam
menimbulkan adanya konflik. Di mana dalam hal ini peran Pemerintah
dan Negara dalam menjamin terciptanya hubungan yang baik

14
diperlukan. Peran ini tidak sebatas dengan memberikan kepastian hukum
bagi perlindungan warga negara melalui Peraturan Perundang-Undangan
semata.lebih dari itu, peran Pemerintah dan Negara harus diwujudkan
dalam bentukyang lebih kongkret. Baik melalui badan atau lembaga
khusus di bawah Pemerintahan.
4. Dalam kehidupan multikultural diperlukan pemahaman dan kesadaran
multibudaya yang menghargai perbedaan, kemajemukan dan sekaligus
kemauan berinteraksi dengan siapapun secara adil. Menghadapi
keragaman, maka diperlukan sikap moderasi, bentuk moderasi ini bisa
berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Sikap moderasi
berupa pengakuan atas keberadaan pihak lain, pemilikan sikap toleran,
penghormatan atas perbedaan pendapat, dan tidak memaksakan
kehendak dengan cara kekerasan. Diperlukan peran pemerintah, tokoh
masyarakat, dan para penyuluh agama untuk mensosialisasikan,
menumbuh kembangkan wawasan moderasi beragama terhadap
masyarakat Indonesia untuk terwujudnya keharmonisan dan kedamaian.

15
B. Saran
Terlepas dari keragaman definisi tentang kebebasan beragama,
memilih, memeluk, mengimani dan menjalankan ibadat suatu agama dan
kepercayaan adalah hak bagi setiap individu. Setiap orang memiliki
kebebasan dan kemerdekaan untuk mengamalkan agama dan
kepercayaannya. Hak ini dijamin oleh instrumen Hak Asasi Manusia. Tidak
ada seorangpun yang boleh dipaksa untuk memilih agama. Tidak ada yang
berhak mengurangi, membatasi atau menghilangkan hak seseorang untuk
memeluk agamanya. Karena hak beragama dan berkeyakinan adalah non
derogable right, suatu hak yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun
dan oleh siapapun. Akan tetapi, pelaksanaan akan hak tersebut masih
menghadapi berbagai tantangan. Di Indonesia, pelanggaran atas hak tersebut
dari waktu ke waktu cenderung meningkat. Seseorang bisa dengan mudah
mengalami pelecehan, intimidasi, ancaman, penganiayaan, penyerangan,
hingga pembunuhan karena ia menganut suatu agama atau kepercayaan
yang sedang dipersekusi. Perusakan, perampasan properti, hingga
penghancuran rumah ibadah terjadi atas dasar kebencian terhadap agama
atau keyakinan. Tragedi demi tragedi terjadi hampir-hampir tanpa
perlindungan dari aparat keamanan, dan minim penyelesaian yang layak dan
adil baik bagi pelaku maupun bagi korban.
Perlindungan atas hak beragama dan berkeyakinan harus mendapatkan
perhatian lebih serius oleh publik khususnya negara (pemerintah).
Pelanggaran demi pelanggaran yang terjadi tidak boleh ditangani dengan
sekedarnya, apalagi dibiarkan begitu saja. Sudah saatnya menjadikan
persoalan ini sebagai prioritas nasional mengingat dampaknya yang sangat
buruk. Buruk bagi jaminan hak-hak rakyat, buruk bagi wibawa pemerintah
dan buruk bagi sendi-sendi berbangsa dan bernegara.

16
Daftar Pustaka

Buku

1. Adji, Oemar Seno, Peradilan Bebas Negara Hukum, cet. 2, (Jakarta:


Erlangga 1985).
2. Mahendra, Yusril Ihza. Dinamika Tatanegara Indonesia: Kompilasi Aktual
Masalah Konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, (Jakarta:
Gema Insani Press 1996.
Jurnal
1. Akhmadi, Agus. 2019. “Moderasi Beragama dalam Keragaman Indonesia”.
[Online]. Diakses pada 14 Desember 2021. Melalui
https://bdksurabaya.e-journal.id/bdksurabaya/article/view/82
2. Hayana. 2021. “OPINI: Moderasi Beragama sebagai Perekat dan Pemersatu
Bangsa”. [Online]. Diakses pada 14 Desember 2021. Melalui
https://www.iainpare.ac.id/moderasi-beragama-sebagai-perekat/
3. Itsnaini, Faqihah M. 2021. “Pasal 29 Ayat 2 UUD 1945 : Bunyi dan
Implementasinya. [Online]. Diakses pada 13 Desember 2021. Melalui
https://news.detik.com/berita/d-5491922/pasal-29-ayat-2-uud-1945--bunyi-
dan-implementasinya
4. Prayogo, Alfina. 2020. “Peran Pemerintah dalam Upaya Menjaga
Kerukunan Umat Beragama di Indonesia”. [Online]. Diakses pada 14
Desember 2021. Melalui
https://e-journal.unair.ac.id/JD/article/view/17619/9670
5. Rahmat, M. Imdadun. 2014. “Jurnal HAM: Jaminan Kebebasan Beragama
dan Berkeyakinan di Indonesia”. [Online]. Diakses pada 13 Desember 2021.
Melalui
https://www.komnasham.go.id/files/20190425-jurnal-ham-vol-11-tahun-
2014-$UFZK
Perundang-undangan
1. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165).
2. Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.
3. Pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) PBB.

17

Anda mungkin juga menyukai