PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Beberapa waktu yang lalu, kita dihebohkan dengan ramainya
pemberitaan tindak pidana perampasan kendaraan bermotor dengan
kekerasan. Tindak pidana ini sendiri tidak hanya terjadi di kota-kota besar
yang mempunyai tingkat kriminalitas tinggi, melainkan telah menyebar di
beberapa kota.
Tindak pidana perampasan kendaraan bermotor dengan
kekerasan ini dalam masyarakat lebih dikenal dengan istilah “begal”.
Istilah “begal” ini sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan
sebagai penyamun. Namun dalam terminologi hukum tidak ada istiliah
“begal” melainkan perampasan kendaraan bermotor dengan kekerasan di
jalan raya.
Menurut kriminolog Prof. Muhammad Mustofa, “begal”
diartikan sebagai perampokan yang dilakukan di tempat sepi, menunggu
hadirnya calon korban yang membawa harta benda.1
Menurut Kapolda Jabar Pol Irjen M Iriawan Karawang, istilah
“begal” tidak tepat untuk menyebut tindak pidana perampasan kendaraan
bermotor dengan kekerasan. Karena, “begal” sendiri sifatnya lebih kepada
menggambarkan keadaan suatu daerah yang benar-benar mencekam dan
sangat rawan terhadap perbuatan kriminal. 2 Oleh karena itu, pernulid tetap
menggunakan istilah “begal” demi menyelaraskan keadaan sosiologis yang
sedang terjadi sekarang.
1
Prof. Muhammad Mustofa, 2015, www.suara.com, Diakses pada Tanggal 14 April 2015 Pukul
16:03 WIB.
2
Kapolda JabarPol Irjen M Iriawan Karawang, 2015, www.republika.co.id, Diakses pada Tanggal 14
April 2015 Pukul 15.34. WIB.
Fenomena “begal” sendiri telah eksis di zaman kekaisaran Cina
dimana pedagang-pedagang Cina melakukan perjalanan untuk
memperdagangkan bawaannya. Disanalah “begal” dengan bahasa lainnya
penyamun telah ada.
Adanya “begal” yang sedang booming sekarang ini tentu saja
bukan hanya sekedar meluasnya kejahatan yang mengancam dalam
kehidupan masyarakat tetapi adanya faktor determinan yang
mempengaruhi lahirnya tindak pidana yang disebut “begal” ini. Faktor-
faktor yang determinan itu dapat dilihat dari sudut pandang sosial, budaya,
politik, ekonomi dan hukum.
Munculnya fenomena “begal” tentu saja sangat terkait dengan
kajian ilmu kriminologi, memandang darimana kejahatan itu lahir dan
bagaimana faktor-faktor determinan yang mempengaruhi perkembangan
kejahatan yang mengancam keamanan masyarakat berdasarkan beberapa
aliran yang berkembang dalam ilmu kriminologi. Sebagaimana aliran
klasik yang menyatakan bahwa manusia berkehendak bebas tanpa ada
pengaruh dari luar (indeterminisme) dalam melakukan suatu tindak pidana.
Sehingga suatu tindak pidana itu dianggap murni dari keinginan pelaku
(dader) dalam memuaskan nafsu jahatnya. Namun dalam perkembangan
aliran-aliran kriminologi, aliran klasik mendapatkan pertentangan dari
aliran positif yang menegaskan bahwa kejahatan itu tidak murni dari
kehendak bebas yang dimiliki oleh pelaku (dader) melainkan adanya
pengaruh lingkungan yang ada disekitarnya (determinisme). Sehingga
tindak pidana itu tidak murni karena keinginan pelaku yang hanya ingin
memuaskan nafsunya tetapi karena untuk memenuhi kebutuhannya.
Jika benar adanya hal-hal determinan yang mempengaruhi
kejahatan itu, maka kesalahan sepenuhnya tidak dapat disematkan kepada
pelaku “begal” dengan memberikan sanksi punishment, melainkan
memberikan sanksi yang didasarkan atas tujuan. Namun dalam filsafat
pemidanaan diketahui pula bahwa manusia memiliki kehendak bebas
dalam melakukan suatu tindakan, sehingga pemberian sanksi terhadap
pelaku hanya berorientasi pada pembalasan.3
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya,
maka penulis merumuskan beberapa permasalahan, yaitu:
1. Bagaimanakah fenomena “begal” dilihat dari aliran klasik dan aliran
positif?
2. Bagaimanakah konsep pemidanaan terhadap pelaku “begal” dalam
perspektif filsafat pemidanaan?
3
Teguh Prasetyo, 2013, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, Nusa Media, Bandung, Hlm. 72-73.
BAB II
PEMBAHASAN
14
Romlli Atmasasmita, Loc.Cit.
kejahatan dengan Anomie. Dalam masyarakat yang berorientasi kelas,
kesempatan untuk menjadi yang teratas tidaklah dibagikan secara
merata. Sangat sedikit anggota kelas bawah mencapainya. Seorang
anak yang lahir dari sebuah keluarga miskin dan tidak berpendidikan,
misalnya hampir tidak memilki peluang untuk meraih poisis bisnis
atau profesionalnya sebagaimana dimiliki anak yang lahir dari sebuah
keluarga kaya dan berpendidikan. Hal ini kemudian menimbulkan
frustasi di kalangan masyarakat yang tidak mempunyai kesempatan
yang sama tersebut, dan terbentuklah “begal”.
Dampak urbanisasi dan industrial, Indonesia sebagai suatu
negara yang sedang berkembang sebenarnya menghadapi suatu dilema.
Pada satu pihak merupakan suatu keharusan untuk melaksanakan
pembangunan, dan pada pihak lain pengakuan yang bertambah kuat,
bahwa harga diri pembangunan itu, adalah peningkatan yang
menyolok dari kejahatan dan salah satunya adalah adanya fenomena
“begal” itu sendiri. Luasnya problema yang timbul karena banyaknya
perpindahan, dan peningkatan fasilitas kehidupan, biasanya dinyatakan
sebagai urbanisasi yang berlebihan dari suatu negara. Keadaan-
keadaan tersebut menimbulkan peningkatan kejahatan yang tambah
lama tambah kejam diluar kemanusiaan.
Pengaruh media komunikasi dan infomasi. Media yang
dimaksudkan itu adalalh misalnya melalui bacaan-bacaan, seperti surat
kabar, majalah, buku-buku bahkan melalui internet. Tidak dapat
dipungkiri bahwa rangsangan untuk melakukan kejahatan jaman
sekarang ini banyak dipengaruhi oleh televisi, film, surat kabar dan
media lainnya. Bahwa media gagal untuk membangkitkan respek
terhadap hukum serta peraturan-peraturan lainnya. Para penjahat sering
disodorkan sebagai pahlawan atau ditunjuk sebagai korban penuntutan,
sedangkan perwira-perwira penegak hukumnya ditonjolkan sebagai
aktor yang kasar dan berlindung dibalik seragamnya. Media juga
membangkitkan kerakusan akan usaha untuk memperoleh uang secara
mudah sehingga akibat dan dampak yang timbul sangat berpengaruh
bagi yang menyaksikan media tersebut.
Di dalam media-media tersebut sering ditimbulkan
masalah-masalah abnormal dalam bidang seks, serangan, dan
kekejaman serta penipuan. Cara-cara untuk melakukan kejahatan serta
menghindari pengusutan oleh yang berwajib dapat dipelajari dalam
bacaan-bacaan fiksi atau nonfiksi, sehingga banyak sekali anak-anak
yang biasanya melakukan perbuatan-perbuatan meniru kekejaman dan
kejahatan yang pernah mereka baca atau lihat dari alam televisi
ataupun melaui internet. Hal ini pula yang menyebabkan bahwa tidak
sedikit anggota “begal” itu masih berada di bawah umur (anak-anak).
15
Sudarto dalam Teguh Prasetyo, Loc. Cit.
16
Teguh Prasetyo, Ibid.
terdahulu ataupun keadaan-keadaan khusus dari kejahatan yang
dilakukan.17 Oleh karena itu sanksi pidana (punishment) diberikan pada
setiap bentuk kejahatan dengan sanksi yang lebih banyak menghasilkan
penderitaan kepada pelakunya.18
Pandangan hedonistik menyebutkan bahwa hukum haruslah
dirumuskan secara tegas dan tertutup bagi interpretasi hakim karena aliran
ini berorientasi pada kepastian hukum.19 Karena dalam aliran ini hakim
hanya sebagai corong undang-undang yang artinya bahwa hakim hanya
dapat menentukan perbuatan itu benar atau salah hanya berdasar pada
undang-undang yang ada. Oleh karena itu sanksi pidana (punishment)
ditentukan secara pasti oleh undang-undang.
Berlawanan dengan aliran klasik, aliran modern lebih
menekankan pada doktrin determinisme dalam sistem pemidanaannya.20
Doktrin ini menyatakan bahwa pelaku tidak serta merta menghendaki
terjadinya tindak pidana melainkan adanya dorongan keadaan yang
memaksa terciptanya suatu perbuatan itu. Keadaan itu sendiri mencakup
hal-hal yang bersifat personal dan moral. Karena tingkah laku seseorang
itu merupakan hasil interaksi keperibadian dengan lingkungan hidup orang
lain yang menempatkan dia dalam mata rantai sebab-akibat yang akan
menentukan dia sebagai penjahat.21
Perbuatan seseorang itu tidak dapat dipandang secara abstrak
yuridis yang semata-mata hanya memandang perbuatan yang dihasilkan
oleh pelaku saja melainkan di lihat dari sudut pandang yang lebih konkrit
bahwa perbuatan yang dilakukan itu sangat besar dipengaruhi oleh sifat-
sifat asli dari pribadi pelaku itu, faktor biologis maupun faktor lingkungan
hidup dalam masyarakat.22
17
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung,
Hlm. 26.
18
Ibid, Hlm. 62.
19
Ibid, Hlm. 25 dan 62.
20
Ibid, Hlm. 63.
21
Ibid, Hlm 64.
22
Ibid, Hlm. 32.
Dengan pandangan seperti ini tentu saja alasan kebebasan
berkehendak yang dimiliki oleh seseorang dalam melakukan tindak pidana
tidak dapat secara langsung dipersalahkan dan dijatuhi sanksi pidana. 23 Hal
ini berkaitan erat dengan sifat-sifat pelaku yang memiliki kebutuhan
berbeda-beda, sehingga sangat tidak tepat jika menerapkan sanksi pidana
yang sama dan berorientasi pada pemberian penderitaan yang lebih pada
setiap tindak pidana yang telah dilakukan oleh pelaku.24
Beranjak dari pemahaman itu maka aliran modern menerapkan
sistem individualisasi pidana dengan tujuan untuk meresosialisasikan
pelaku tindak pidana karena sistem pemidanaan yang dianut bersifat
obyektif.25 Sehingga hakim diperbolehkan melakukan interpretasi terhadap
hukum dalam memutuskan pelaku itu bersalah atau tidak, dan sanksi
pidana apa yang tepat untuk dijatuhkan, karena undang-undang hanya
menentukan alternatif-alternatif dalam batasan minimum dan maksimum
untuk memberikan sanksi pidana.26
Pada akhirnya aliran modern ini menganggap bahwa sanksi
pidana bukanlah alat terakhir (ultimum remedium) dalam memerangi
kejahatan tetapi harus dibarengi dengan tindakan-tindakan (treatments)
sosial yang berfungsi dalam mencegah (preventive) dan membina pelaku
tindak pidana sebagai upaya untuk memberikan perlindungan terhadap
masyarakat.
“Begal” merupakan sebutan secara sosiologis terhadap jenis
tindak pidana perampasan kendaraan bermotor dengan kekerasan. Pada
dasarnya, “begal” bukanlah kata baru untuk menunjukkan adanya tindak
pidana yang sangat-sangat mengancam keamanan di sekitar wilayah
tertentu. Karena dalam terminologi hukum tidak mengenal penyebutan
“begal”. Oleh karena itu, sekalipun suatu daerah tu dianggap rawan
23
Teguh Prasetyo, Loc. Cit.
24
Cesare Lembroso dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit, Hlm. 63.
25
Ibid, Hlm. 32.
26
Ibid, Hlm. 65.
“begal” tetap saja itu merupakan sebuah tindak pidana yang dikategorikan
sebagai pencurian dengan kekerasan.
Memaknai hal tersebut, tentu saja konsep pemidanaan yang
dijadian rujukan yang tepat untuk memerangi “begal” ini adalah konsep
pemidanaan yang dianut oleh aliran modern. Karena jika dilihat secara
kasat mata, berkembangnya kejahatan “begal” semata-mata bukan karena
kehendak bebas yang dimiliki oleh pelaku “begal” melainkan adanya
faktor lain yang mempengaruhi, seperti faktor kebutuhan, faktor biologis
dan faktor lainnya yang sangat deteminan terhadap kejahatan “begal” ini.
Dengan adanya faktor luar yang sangat mendeterminan
munculnya kejahatan “begal”, tidak serta merta dapat ditarik kesimpulan
bahwa seharusnya untuk memberantas kejahatan ini diperlukan pula upaya
penanggulangan yang luar biasa karena pada dasarnya “begal” ini bukan
suatu bentuk kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) melainkan hanya
sebuah bentuk dari kejahatan konvensional. Pun demikian dalam
memberantas kejahatan “begal” tidak dapat hanya menerapkan sanksi
pidana sebagai balasan dari perbuatannya yang merugikan sehingga pelaku
“begal” harus mendapatkan hal yang setimpal bahkan lebih. Hal tersebut
tentu sangat bertentangan dengan paham aliran modern yang dianut.
Karena pada dasarnya, sekalipun “begal” yang dilakukan itu sifatnya
sangat sadis terhadap korbannya tetap saja dalam penjatuhan sanksi,
sistem individualisasi pidana digunakan untuk melihat kepatutan dalam
pemberian sanksi.
Disinilah terlihat bahwa tujuan pemidanaan yang berorientasi
pada pelakunya, hanya melihat pelaku sebagai pembuat tindak pidana
yang seharusnya dijatuhkan sanksi sesuai dengan kategori masing-masing
pelaku meskipun telah melakukan kajahatan yang sama yang bukan
berorientasi pada tindak pidana yang telah dibuatnya. Hal ini
berkesesuaian dengan apa yang menjadi tujuan dalam pidana modern yaitu
pidana (punishment) bukan semata-mata sebagai alat akhir untuk
memberikan efek jera terhadap pelaku melainkan untuk kembali
memasyarakatkan pelaku dan mencegah terjadinya tindak pidana
berikutnya. Karena pada dasarnya pula hukum pidana Indonesia juag telah
melaksanakan ide double track system, artinya bahwa hukum pidana
Indoensia tidak hanya menerapkan sistem sanksi hukuman melainkan juga
menerapkan sistem sanksi tindakan sebagai upaya keluar dari jalur
pemidanaan menggunakan hukuman sebagai alat terakhir dalam membalas
semua perbuatan pelaku.
Oleh karena itu, meskipun “begal” menjadi tindak pidana yang
sangat mengancam kesejahteraan masyarakat, bukan berarti “begal” harus
mendapat hukuman yang setimpal terhadap perbuatan yang meraka
lakukan. Seharusnya juga, tidak perlu adanya penyematan kata “begal”
dalam tindak pidana yang dalam terminologi hukum disebut perampasan
kendaraan bermotor (pencurian) dengan kekerasan, karena kata-kata
“begal” mereduksi pemikiran masyarakat untuk bertindak sproradis dan
menganggap itu adalah tindak pidana luar biasa yang harus mendapatkan
pembalasan yang luar biasa pula.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Menurut pemikiran aliran kriminologi klasik dapatlah dikatakan bahwa
“begal” ini dianggap sebagai bentuk pernyataan kehendak bebasnya
setiap individu tersebut yang disertai dengan imingan hidup bahagia
tanpa didasari bangunan ekonomi yang mapan. Hal tersebut tentunya
akan menekan setiap individu di tengah-tengah masyarakat sehingga
memberikan alasan moril yang cukup dan dijewantahkan dalam
tindakan nyata yang keliru berupa tindakan kriminal “begal”.
Sedangkan menurut aliran kriminologi positif beranggapan bahwa
fenomena “begal” tidaklah dapat dilepaskan dari pengaruh faktor dari
luar diri setiap individu pelaku “begal” tersebut. Artinya aliran ini
mengakui bahwa manusia atau individu pelaku “begal” memiliki
akalnya diserta kehendak bebasnya untuk menentukan pilihannya.
Penulis setuju jika maraknya aksi “begal” merupakan perbuatan yang
dilahirkan karena faktor-faktor lain diluar perilaku pelaku diantaranya
keadaan ekonomi, keadaan sosialis dan riwayat hidupnya serta
pengetahuan pelaku mengenai perbuatannya.
2. Dilihat dari persepektif pemidanaan, meskipun tindak pidana “begal”
sangat meresahkan dan mengancam masyarakat, penjatuhan sanksi
pidana tidak melihat dari perbuatan yang dihasilkan oleh pelaku,
melainkan melihat sifat-sifat pelaku dan faktor determinan lainnya
yang mempengaruhi watak pelaku dalam melakukan kejahatan
“begal”. Sehingga orientasinya bukan pada pembalasan terhadap
perbuatannnya melainkan bagaimana meresosialisasi pelaku agar sadar
dan mencegah untuk kembali melakukan kejahatan “begal”.