Anda di halaman 1dari 9

TUGAS DISKUSI KELOMPOK SOSIOLOGI

KRIMINOLOGI

OLEH KELOMPOK II:

1.RENIANCE LENDE (2044111013)


2.MARWA SEDO SINA (2044111017)
3.HILDE GARDIS P.S HALE (2044111024)
4.MARIA DENISA MAU (2044111025)
5.ARIF HAMID A. KAMRAN (2044111027)
6.HERLINA NDA (2044111038)
7.JENI A. LOPO (2044111068)

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KUPANG
2023
A. Teori-Teori Dalam Krimonologi
Dalam perkembangan kriminologi, pembahasan mengenai sebab-musabab kejahatan
secara sistmatis merupakan hal baru, meskipun sebenarnya hal tersebut telah dibahas oleh
ahli kriminologi (kriminologi). Di dalam kriminologi juga dikenal adanya beberapa teori
yaitu:
1. Teori-teori yang menjelaskna kejahatan dari perspektif biologis dan psikologis.
2. Teori-teori yang menjelaskan kejahatan dari perspektif sosiologi.
3. Teori-teori yang menjelaskan dari perspektif lainnya.
4. Teori-teori tentang sebab-musabab kejahatan berubah menurut perkembangan zaman
yaitu:
 Zaman Kuno
Pada masa ini, dikenal pendapat Plato (427-347) dan Aristoteles (384-322)
yang pada dasarnya menyatakan makin tinggi penghargaan manusia atas
kekayaan makin merosot penghargaan akan kesusilaan demikian pula sebaliknya
kemiskinan (kemelaratan) dapat mendorong manusia yang menderita, kemiskinan
untuk melakukan kejahatan dan pemberontakan.
 Zaman Abad Pertengahan
Thomas Von Aquino (1226-1274) menyatakan bahwa orang kaya yang
hidup berfoya-foya bila miskin mudah menjadi pencuri. Permulaan zaman baru
dan masa sesudah revolusi Prancis banyak dikemukakan dan sebab-sebab sosial
lainnya juga masa kini dikenal dengan masa, pertengahan hukuman yang terlalu
bengis dan masa itu, sehingga tampil tokoh-tokoh seperti Montesquieu, Beccaria
dan lain-lain.

B. Teori Kriminologi Awal dan Klasik


1. Teori Klasik
Teori klasik merupakan label umum untuk kelompok pemikir tentang
kejahatan dan hukuman pada abad 18 dan awal abad 19. Anggota paling menonjol
dari kelompok pemikir tersebut antara lain: Cessare Beccaria dan Jeremy Bentham. 2
pemikir ini mempunyai gagasan yang sama, bahwa perilaku criminal bersumber dari
sifat dasar manusia sebagai makhluk hedonistic sekaligus rasional. Hedonistic, karena
manusia cenderung bertindak demi kepentingan diri sendiri. Sedangkan rasional,
karena mampu memperhitungkan untuk rugi dari perbuatan tersebut bagi dirinya
menurut aliran klasik, seorang individu tidak hanya hedonis tetapi juga rasional, dan
dengan demikian selalu mengkalkulasi untung rugi dari setiap perbuatannya termasuk
jika melakukan kejahatan kemampuan ini memberikan mereka tingkat kebebasan
tertentu dalam memilih tindakan yang akan diambil apakah memlalui kejahatan atau
tidak.sementara itu, Jeremy Bentham memilih suatau prinsip baru yaitu utilitarian
yang menyatakan bahwah suatu perbuatan tidak nilai dengan sistem irasionl yang
absolute, akan tetapi melalui sarana pembalasan tetapi untuk mencegah kejahatan.

2. Aliran Positif
Aliran Modern atau aliran positif muncul pada abad ke-19 yang bertitik tolak
pada paham determinisme tentang manusia. Faham ini menggantikan doktrin
kebebasan berkehandak (the doctrine of free will). Bagi aliran positif, manusia
dipandang tidak mempunyai kebebasan berkehendak, tetapi dipengaruhi oleh kondisi
internal dan eksternal manusia itu sendiri.
Teori Born Criminal dilandasi oleh evolusi dari Darwin.dengan teorinya
tersebut lamborssu membantah mengenai ‘’free will’’ yang menjadi dasar aliran
klasik dan mengajukan konsep determinisme. Inti dari ajaran Lamborsso yaitu:
1. Penjahatan adalah orang memiliki bakat jahat;
2. Bakat jahat tersebut di peroleh dari kelahiran ( bron criminal );
3. Bakat jahat dapat dilihat dari biologis ( atavistic stigmata );
Lamborsso mengemukakan bahwa seperti dahi yang sempit dan melengkung
kebelakang rahang yang besar dan gigi taring tajam,berbadan tegap, tangan lebih
panjang bibir tebal, hidung tidak mancung,dan lain sebagainya.

3. Aliran Neo Klasik


Aliran neo klasik berkembang pada abad ke 19. Ia mempunyai basis
pemikiran yang sama dengan aliran klasik, yakni kepercayaan pada kebebasan
berkehendak manusia.dokrtin dasarnya sama aliran klasik, yakni bahwa manusia
adalah makluk yang mempunyai rasio, berkehandak bebas karenanya bertanggung
jawab atas perbuatan-perbuatannya.perubahan-perubahan tersebut anatara l;ain:
a. Perubahan pada doktrin kehendak bebas.bagi aliran neo klsik,dalam melakukan
suatu perbuatan jahat, pelaku tidak hanya di tentukan free-wiill semata,tetapi juga
dipengaruhi oleh :
 Patologi,ketidakan mampuan untuk bertindak,sakit jiwa atau lain-lain keadaan
yang mencegah seseorang untuk memperlakukan kehendak bebasnya.
 Premeditasi,niat yang dijadikan ukuran dari kebebasan kehendak,akan tetpi hal ini
berkaitan dengan hal-hal yang aneh ( irasional )
b. Pengakuan adanya keadaan-keadaan atau keadaan mental dari individu.
c. Perubahan doktrin tanggung jawab sempurna yang mendasari pembalasan dalam
aliran kalsik.
d. Dimasukkan keterangan ahli dalam acara pengadilan untuk menntukan besar
tanggung jawab, apakah siterterdakwa mampu memilih antara yang benar dan yang
salah.

4. Teori Kartografi/Geografi
Ajaran ini adalah distribusi kejahatan dalam daerah-daerah tertentu, baik secara
geografis maupun secara sosial. Para tokoh aliran ini antara lain Quetet dan Queery.
Aliran ini dikembangkan di Prancis dan menyebar ke Inggris dan ke Jerman. Aliran
ini memerhatikan penyebaran kejahatan pada wilayah tertentu berdasarkan faktor
geografik dan sosial. Aliran ini berpendapat bahwa kejahatan merupakan perwujudan
dari kondisi-kondisi sosial yang ada. Aliran ini mengatakan bahwa kondisi geografis
mempengaruhi seseorang untuk berbuat kejahatan.
Mereka mempunyai asumsi berbeda antara penjahat dan bukan pada penjahat
terletak pada sifat tertentu pada kepribadian yang mengakibatkan seseorang tertentu
berbuat kejahatan dan seseorang lain tadi kecenderungan berbuat kejahatan mungkin
diturunkan dari orangtua atau merupakan ekspresi dari sifat kepribadian dan keadaan
maupun proses-proses lain yang menyebabkan adanya potensi-potensi pada orang
tersebut.
5. Teori Sosialis
Teori sosialis merupakan teori yang memiliki tiga unsur pengelompokkan
diantaranya Anomie, penyimpangan budaya dan kontrol sosial. Para ahli dalam teori
Anomie memandang kejahatan sebagai gejala sosial yang disebabkan oleh struktur
sosial yang mengalami perubahan sehingga seseorang tidak mampu beradaptasi
dengan lingkungannya.
Sedangkan dalam teori penyimpangan budaya, kejahatan dianggap sebagai
seperangkat nilai-nilai yang khas pada lower class. Kemudian untuk teori kontrol
sosial, kejahatan dikaitkan dengan variable-variabel yang bersifat sosiologis, antara
lain struktur lembaga, pendidikan dan kelompok dominan.

6. Teori Konflik
Pada dasarnya menunjukkan pada perasaan dan keterasingan khususnya yang
timbul dan tidak adanya kontrol seseorang atas kehidupannya sendiri.

7. Teori Labeling
Teori labeling merupakan teori untuk mengukur mengapa terjadinya kejahatan,
metode yang digunakan dalam teori ini adalah self report atau melakukan interview
terhadap pelaku kejahatan yang tidak tertangkap atau tidak diketahui oleh polisi.

C. Pendekatan-pendekatan Teoritis
1. Pendekatan Deskriptif
Yang dimaksud dengan pendekatan deskriptif adalah suatu pendekatan dengan
cara melakukan observasi dan pengumpulan data yang berkaitan dengan fakta-fakta
tentang kejahatan dan pelaku kejahatan seperti:
a.) Bentuk tingkah laku criminal,
b.) Bagaimana kejahatan dilakukan,
c.) Frekuensi kejahatan pada waktu dan tempat yang berbeda,
d.) Ciri-ciri khas pelaku kejahatan, seperti usia, jenis kelamin dan sebagainya,
e.) Perkembangan karir seorang pelaku kejahatan.
Di kalangan ilmuwan, pendekatan deskriptif dianggap sebagai pendekatan
yang bersifat sangat sederhana. Meskipun demikian, pendekatan ini sangat
bermanfaat sebagai studi awal sebelum melangkah pada studi yang lebih
mendalam. Hermann Mannheim menegaskan adanya beberapa syarat yang harus
dipenuhi bila menggunakan pendekatan ini, yaitu:
a. Pengumpulan fakta tidak dapat dilakukan secara random. Oleh karena itu,
fakta-fakta yang diperoleh harus dilakukan secaara selektif.
b. Harus dilakukan penafsiran, evaluasi dan memberikan pengertian secara
umum terhadap fakta-fakta yang diperoleh. Tanpa dilakukan penafsiran,
evaluasi dan memberti pengertian secara umum, maka fakta-fakta tersebut
tidak akan mempunyai arti.

2. Pendekatan Sebab-akibat
Disamping pendekatan deskriptif, pemahaman terhadap kejahatan dapat
dilakukan melalui pendekatan sebab akibat. Hal ini berarti fakta-fakta yang terdapat
di masyarakat dapat ditafsirkan untuk mengetahui sebab musabab kejahatan, baik
dalam kasus-kasus yang bersifat individual maupun yang bersifat umum. Hubungan
sebab-akibat dalam kriminologi berbeda dengan hubungan sebab-akibat yang
terdapat dalam hukum pidana. Dalam hukum pidana, agar suatu perkara dapat
dilakukan penuntutan harus dapat dibuktikan adanya hubungan sebab akibat antara
suatu akibat yang dilarang.

3. Pendekatan Secara Normatif


Kriminologi dapat dikatakan sebagai ideograpic discipline dan nomotethic
discipline. Dikatakan sebagai ideographic discipline karena kriminologi mempelajari
fakta-fakta, sebab-sebab dan kemungkinan-kemungkinan dalam kasus yang bersifat
individual. Sedangkan yang dimaksud dengan nomothetic-dicipline adalah tujuannya
untuk menemukan dan mengungkapkan hukum-hukum yang bersifat ilmiah, yang
diakui keseragaman dan kecenderungan-kecenderungannya.
Menurut pandangan Vouin-Leaute bahwa semua perbuatan yang anti sosial
dilarang oleh Undang-undang dan dirumuskan sebagai kejahatan dalam undang-
undang. Sedangkan menurut pendapat Sutherland dan Cressey mengemukakan 7
syarat untuk perbuatan yang digolongkan sebagai kejahatan, yaitu:
 Sebelum suatu perbuatan disebut sebagai kejahatan harus terdapat akibat-akibat
tertentu yang nyata, yang berupa kerugian.
 Kerugian yang ditimbulkan harus merupakan kerugian yang dilarang oleh
undang-undang dan secara jelas tercantum dalam hukum pidana.
 Harus ada perbuatan yang membiarkan terjadinya perbuatan yang menimbulkan
kerugia tersebut.
 Dalam melakukan perbuatan tersebut harus terdapat maksud jahat atau ‘’mens
rea’’.
 Harus ada hubungan antara perilaku dan ‘’mens rea’’.
 Harus ada hubungan kasual antara kerugian yang dilarang undang-undang dengan
perbuatan yang dilakukan atas kehendak sendiri (tanpa ada unsur paksaan).
 Harus ada pidana terhadap perbuatan tersebut yang ditetapkan oleh undang-
undang.

D. Hubungan Teori Kebijakan


Hubungan dari pembentukan hukum pidana adalah mengatur kehidupan manusia
agar tertib dan teratur. Pembentukan hukum pidana tentu saja harus memenuhi
persyaratan sehingga dapat memenuhi perkembangan sosial yang terjadi didalam
masyarakat. Penggunaan hukum sebagai sarana perubahan sosial yang dimaksudkan
untuk menggerakkan masyarakat agar bertingkah laku sesuai dengan irama dan tuntutan
pembangunan, seraya meninggalkan segala sesuatu yang sudah tak perlu lagi
dipertahankan.
Herbert L. Packer termasuk pakar yang menolak penggunaan hukum pidana dan
sanksi pidana dengan alasan bahwa sanksi pidana merupakan peninggalan kebiadaban
masa lampau. Bahkan munculnya aliran positivism dalam kriminologi yang mengaggap
pelaku adalah golongan manusia yang abnormal, menjadikan semakin kuatlah kehendak
untuk menghapuskan pidana (punishment) dan menggantinya dengan treatment. Pakar
hukum pidana yang mempunyai pandangan sebaliknya adalah pakar hukum pidana
Indonesia, Roeslan Saleh dengan mengemukakan tiga alasan, yaitu:
 Diperlukan tidaknya hukum pidana dengan sanksi hukum pidana tidak terletak
pada tujuan yang hendak dicapai, melainkan pada persoalan seberapa jauh untuk
mencapai tujuan itu hukum pidana dapat mempergunakan paksaan-paksaan.
 Bahwa masih banyak pelaku kejahatan yang tidak memerlukan perawatan atau
perbaikan, meski demikian masih tetap diperlukan suatu reaksi atas pelanggaran-
pelanggaran norma yang telah dilakukannya itu dan tidaklah dapat dibiarkan
begitu saja.
 Bahwa pengaruh pidana bukan saja akan dirasakan oleh si penjahat, tetapi juga
oleh orang lain yang tidak melakukan kejahatan.

Menurut Barda Nawawi Arief bahwa konsep kebijakan penanggulangan


kejahatan yang integral mengandung konsekuensi segala usaha yang rasional untuk
menanggulangi kejahatan hatus merupakan satu kesatuan yang terpadu. Ini berarti
kebijakan untuk menanggulangi kejahatan dengan menggunakan sanksi pidana, harus
pula dipadukan dengan usaha-usaha lain yang bersifat nonpenal. Usaha-usaha nonpenal
ini dapat meliputi kebijakan sosial atau pembangunan nasional.
Tujuan utama dari usaha-usaha nonpenal ini adalah memperbaiki kondisi-kondisi
sosial atau pembangunan nasional. Tujuan utama dari usaha-usahan nonpenal ini adalah
memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu secara tidak langsung mempunyai pengaruh
preventif terhadap kejahatan. Dengan demikian dilihat dari sudut criminal, keseluruhan
kegiatan preventif yang nonpenal itu sebenarnya mempunyai kedudukan yang sangat
strategis. Kegagalan dalam menganggap posisi startegis ini justru akan berakibat fatal
bagi usaha penanggulangannya kejahatan.
Mengenai upaya nonpenal yang mempunyai kedudukan yang sangat strategis ini
dijelaskan oleh Barda Nawawi Arief sebagai berikut bahwa upaya nonpenal ini harus
ditujuakn untuk menjadikan masyarakat sebagai lingkungan sosial dan lingkungan hidup
yang sehat (secara materil dan immateril) dari faktor-faktor kriminogen. Ini berarti
masyarakat dengan seluruh poetnsinya harus dijadikan sebagai faktor penangkal
kejahatan atau faktor dari anti kriminogen yang merupakan bagian integral dari
keseluruhan politik criminal. Dilihat dari sisi upaya nonpenal ini berarti, perlu digali,
dikembangkan dan dimanfaatkan seluruh potensi dukungan dan partisipasi masyarakat
dalam upaya untuk mengefektifkan dan mengembangkan extra legal system atau
informal and traditional system yang ada dimasyarakat.
Tujuan dari system peradilan pidana adalah:
a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.
b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa
keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana.
c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi
kejahatannya.

Anda mungkin juga menyukai