Pengantar Kriminologi.
Pendahuluan.
Kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang sifatnya masih baru apabila kita ambil
definisinya secara etimologis berasal dari kata crimen yang berarti kejahatan dan logos
yang berarti pengetahuan atau ilmu pengetahuan, sehingga kriminologi adalah ilmu
/pengetahuan tentang kejahatan. Istilah kriminologi untuk pertama kali (1879) digunakan
oleh P. Topinard, ahli dari perancis dalam bidang antropologi, sementara istilah yang
sebelumnya banyak dipakai adalah antropologi criminal.
Menurut E.H. Sutherland, kriminologi adalah seperangkat pengetahuan yang mempelajari
kejahatan sebagai fenomena social, termasuk didalamnya proses pembuatan undangundang, pelanggaran undang-undang dan reaksi terhadap pelanggaran undang-undang.
Bonger mengatakan bahwa kriminologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kejahatan
seluas-luasnya.
Sejarah kriminologi.
Meskipun Kriminologi bisa dianggap sebagai ilmu pengetahuan baru yang diakui baru
lahir pada abad ke-19 ( sekitar tahun 1850 )bersamaan dengan ilmu sosiologi tetapi
karangan-karangan tentang kriminologi bisa ditemukan pada zaman kuno yaitu zaman
Yunani dimulai dengan karangan Plato dalam Republiek menyatakan antara lain bahwa
emas , manusia adalah sumber dari banyak kejahatan sedangkan Aristotelis menyatakan
bahwa kemiskinan adalah sumber dari kejahatan.
Kemudian abad pertengahan Thomas Aqunio menyatakan bahwa orang kaya
memboros-boroskan kekayaanya disaat dia jatuh miskin maka dia akan mudah menjadi
pencuri
Perkembangan hukum pidana pada Akhir abad ke 19 yang dirasakan sangat tidak
memuaskan membuat para ahli berfikir mengenai efektifitas hukum pidana itu sendiri,
Thomas Moore melakukan penelitian bahwa sanksi yang berat bukanlah faktor yang
utama untuk memacu efektifitas hukum pidana buktinya lewat penelitiannya ditemukan
bahwa para pencopet tetap beraksi disaat dilakukan hukuman mati atas 24 penjahat di
tengah-tengah lapangan. Ini membuktikan bahwa sanksi hukum pidana tidak berarti apaapa. Ketidakpuasan terhadap hukum pidana, Hukum acara pidana dan sistem
penghukuman menjadi salah satu pemicu timbulnya kriminologi
Perkembangan ilmu statistik juga mempengaruhi timbulnya kriminologi. Statistik sebagai
pengamatan massal dengan menggunakan angka-angka yang merupakan salah satu
pendorong perkembangan ilmu sosial.
Quetelet (1796-1829) ahli statistik yang pertama kali melakukan pengamatan terhadap
kejahatan. Dialah yang pertama kali membuktikan bahwa kejahatan adalah fakta yang
ada dimasyarakat, dalam penelitiannya Quetelet menemukan bahwa kejahatan memiliki
pola-pola yang sama setiap tahunnya maka beliau berpendapat bahwa kejahatan dapat
diberantas dengan meningkatkan/ memperbaiki kehidupan masyarakat.
Sarjana lain yang menggunakan statistik dalam pengamatan terhadap kejahatan adalah G
Von Mayr ( 1841-1925) ia menemukan bahwa perkembangan antara tingkat pencurian
dengan tingkat harga gandum terdapat kesejajaran (positif). Bahwa tiap-tiap kenaikan
harga gandum 5 sen dalam tahun 1835 1861 di bayern. Jumlah pencurian bertambah
dengan 1 dari antara 100.000 penduduk. Dalam perkembangannya ternyata tingkat
kesejajaran tidak selalu tampak. Karena adakalanya berbanding berbalik ( invers) antara
perkembangan ekonomi dengan tingkat kejahatan.
Sebutan kriminologi sendiri diperkenalkan oleh Topinard ( 1830-1911) seorang ahli
antropologi dari perancis.
Aliran Pemikiran Dalam Kriminologi
Yang dimaksud dengan aliran pemikiran disini adalah cara pandang (kerangka acuan,
Paradigma, perspektif) yang digunakan oleh para kriminolog dalam melihat, menafsirkan,
menanggapi dan menjelaskan fenomena kejahatan.
Oleh karena pemamahaman kita terhadap dunia social terutama dipengaruhi oleh cara
kita menafsirkan peristiwa-peristiwayang kita alami/lihat, sehingga juga bagi para
ilmuwan cara pandang yang dianutnya akan dipengaruhi wujud penjelasan maupun teori
yang dihasilkannya. Dengan demikian untuk dapat memahami dengan baik penjelasan-
Tujuan hukum pidana memberi system dalam bahan-bahan yang banyak dari hukum:
azas-azas dihubungkan satu sama lain sehingga dapat dimasukkan dalam satu system.
Penyelidikan secara demikian adalah dogmatis yuridis. Peninjauan bahan-bahan hukum
pidana terutama dilakukan dari sudut pertanggung jawaban manusia tentang perbuatan
yang dapat dihukum. [1]
Pada prinsipnya sesuai dengan sifat hukum pidana sebagai hukum public tujuan pokok
diadakannya hukum pidana ialah melindungi kepentingan kepentingan masyarakat
sebagai suatu kolektiviteit dari perbuatan-perbuatan yang mengancamnya atau bahkan
merugikannya baik itu datang dari perseorangan maupun kelompok orang (suatu
organisasi). Berbagai kepentingan bersifat kemasyarakatan tersebut antara lain ialah
ketentraman, ketenangan dan ketertiban dalam kehidupan masyarakat.[2] Salah satu
kesimpulan dari seminar kriminologi ke-3 1976 di Semarang antara lain, hukum pidana
hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk social defense yaitu untuk
perlindungan masyarakat.[3]
Namun demikian, dalam perspektif Barat yang kehidupan bersamannya lebih didasarkan
pada paham-paham seperti individualisme dan liberalisme. Konsep tentang tujuan
diadakannya hukum pidana agaknya cenderung diorientasikan untuk memberikan
perlindungan terhadap berbagai macam kepentingan warga Negara secara individu dari
kesewenang-wenangan penguasa. Konsep demikian antara lain dapat ditelusuri melalui
berbagai pemikiran barat khususnya yang terkait dengan gagasan tentang azas legalitas.
Sementara itu, ada pula pemikiran yang menggabungkan secara sekaligus dua tujuan
diadakannya hukum pidana yang telah disebutkan diatas. Sehingga konsepnya menjadi
bahwa hukum pidana diadakan tujuannya adalah disamping untuk melindungi
kepentingan-kepentingan yang bersifat kemasyarakatan, sekaligus (secara implisit) juga
melindungi kepentingan-kepentingan yang bersifat perseorangan.[4]
Hukum pidana dilihat sebagai ilmu kemasyarakatan tidak terlepas dari sebab-sebab dari
kejahatan (Kriminology). Didalam Etiology terdapat beberapa aliran (mazhab=sekolah)
tentang sebab-sebab kejahatan antara lain:[5]
1. Aliran Biologi-Kriminal (mazhab Italia), penganjurnya adalah DR. C.
Lombrosso yang menyimpulkan bahwa memang ada orang jahat dari sejak lahir
dan tiap penjahat mempunyai banyak sekali sifat yang menyimpang dari orangorang biasa.
2. Aliran Sosiologi-Kriminil (mazhab Prancis), penganjurnya A.Lacassagne,
aliran ini menolak aliran diatas dengan mengeluarkan pendapat bahwa seseorang
pada dasarnya tidak jahat, ia akan berbuat jahat disebabkan karena susunan, corak
dan sifat masyarakat dimana penjahat itu hidup.
3. Aliran Bio-Sosiologis, penganjurnya adalah E. Feri, aliran ini merupakan
sintesa dari kedua aliran diatas yang menyimpulkan kejahatan itu adalah hasil dari
factor-faktor individual dan social.
Persoalan ini menimbulkan bermacam-macam teori hukum pidana, pada akhirnya
teori hukum pidana dibagi dalam 3 jenis, yaitu:
a. Teori mutlak (pembalasan), penganutnya Immanuel Kant, Hegel,
Herbart, Stahl. Teori ini teori tertua (klasik) berpendapat bahwa dasar
keadilan hukum itu harus dalam perbuatan jahat itu sendiri. Seseorang
mendapat hukuman karena ia telah berbuat jahat. Jadi hukuman itu melulu
untuk menghukum saja (mutlak) dan untuk membalas pebuatan itu
(pemabalasan).
b. Teori relative (teori tujuan), teori ini berpendapat dasar hukum
bukanlah pembalasan tetapi lebih kepada maksud/ tujuan hukuman,
artinya tujuan ini mencari manfaat daripada hukuman. Beberapa doktrin
mengajarkan yaitu diantaranya tujuan hukuman untuk mencegah kejahatan
dipengaruhi
oleh
hal-hal
eksternal
diluar
dirinya.
Dalam
aliran ini sesungguhnya adalah cermin atau malah penjabaran dari konsep
mengenai tujuan diadakannya hukum pidana yang kedua (yaitu melindungi
kepentingan-kepentingan yang bersifat perseorangan dari setiap individu
warga Negara). Hal ini terlihat dari konsep aliran modern ini yang menghendaki
aspek kondisional dalam diri pelaku tujuannya ialah agar individu pelaku
kejahatan yang menjadi calon terpidana tersebut pun dapat tetap terjamin
perlindungan hak-haknya dari kemungkinan mengalami kesewenag-wenangan
penguasa.
3. Aliran Hukum Pidana Neo Klasik/ Neo Modern (Daad-Daader Strafrecht)
Secara garis besar, konsep pemikiran tentang hukum pidana yang beraliran Neo Klasik/
Neo Modern (Daad-Daader Strafrecht) memiliki ciri-ciri pokok sebagai berikut:
a. Titik setral perhatian hukum pidana dan penegakannya dalam aliran ini adalah
aspek perbuatan pidana dan pelaku dari perbutan pidana secara seimbang (DaadDaader artinya perbuatan dan pelakunya). Jadi suatu pemidanaan adalah haruslah
didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan secara matang dan seimbang antara
fakta berupa telah terjadinya tindak pidana yang dilakukan seseorang maupun
kondisi subyektif dari pelaku tindak pidana khususnya saat ia berbuat. Gabungan
antara keduanya harus bisa melahirkan keyakinan bahwa orang tersebut memang
pelaku sebenarnya dari tindak pidana yang terjadi dan untuk itu ia memang patut
dicela, yang dalam hal ini ialah dengan cara dikenakan sanksi pidana terhadap
dirinya.
b. Apabila aliran ini dikaitkan dengan salah satu konsep tentang tujuan
diadakannnya
hukum
pidana,
maka
bisa
dikatakan
bahwa
aliran
ini
KUHP
yang
selalu
diawali
dengan
kata-kata:
Barang
siapa
melakukan..dst, hal ini menunjukkan arti bahwa siapa yang berbuat tindak
pidana akan dikenai pidana tertentu (tanpa harus memperhatikan kondisi subyektif pelaku
saat berbuat). Ini adalah ciri khas aliran pemikiran hukum pidana klasik yang sangat
menekankan aspek perbuatan daripada pelakunya. Namun, apabila dikaitkan dengan
hukum pidana Indonesia mendatang (RUU KUHP Indonesia) maka dapat dikatakan
bahwa bangunan RUU KUHP adalah mencerminkan sosok hukum pidana yang beraliran
neo klasik/ neo modern atau daad-daader strafrecht.[7] Kesimpulan ini karena dilihat
dari beberapa konsepnya yaitu:[8]
a. Pasal 51 tentang tujuan pemidanaan. Yaitu:
Ayat (1):
1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakan norma hukum
demi pengayoman masyarakat
2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga
menjadi orang yang baik dan berguna.
3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan
keseimbangan dam mendatangkan rasa damai dalam masyarakat
4. membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Ayat (2):
Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat
manusia.
a. Pasal 52-94 tentang pedoman pemidanaan yang baik bersifat umum maupun
pedoman pemidanaan bagi setiap jenis sanksi pidana.
Menurut aliran ini orang yang melanggar undang-undang tertentu harus menerima
hukuman yang sama tanpa mengingat umur, kesehatan jiwa, kaya miskinnya, posisi
sosial dan keadaan-keadan lain. Hukuman dijatuhkan harus berat, namun propossional,
dan untuk memperbaiki, dan lain-lain. Meskipun aliran ini kurang mampu menjelaskan
mengapa seseorang berperilaku jahat, namun hingga sekarang mencengkram kuat dan
mempengaruhi terhadap pemberian makna penjahat. Penjahat adalah mereka yang dicap
demikian oleh undang-undang, merupakan pengaruh nyata terhadap pola berfikir banyak
ahli (hukum) di Indonesia.
Aliran positivis muncul sebagai proses ketidak puasan dari jawaban-jawaban aliran
klasik, aliran ini berusaha menjelaskan mengapa seseorang bisa bertindak jahat. Aliran ini
bertolak pada pandangan bahwa perilaku manusia ditentukan oleh faktor-faktor di luar
kontrolnya, baik yang berupa faktor biologik maupun kultural. Ini berarti bahwa manusia
bukan makhluk yang bebas untuk berbuat menuruti dorongan keinginannya dan
intelegensinya, akan tetapi makhluk yang dibatasi atau ditentukan oleh perangkat
biologiknya dan situasi kulturalnya.
Lambroso, yang dianggap sebagai pelopor mazhab ini pada pertengahan abad ke 19
secara tegas mengetengahkan apa yang disebut Born Criminal (penjahat sejak lahir),
bahwa penjahat sejak lahirnya merupakan tipe khusus, dengan kalsifikasi khusus
misalnya pencuri, pembunuh atau penjahat-penjahat lainnya memiliki tanda atau ciri
yang berbeda-beda, Aliran biologis yang dipeloporinya ini meskipun mendapat kritikan
dari beberapa ahli kriminologi, namun sampai saat ini pengaruh dari Lombroso masih
terasa, misalnya seseorang akan dicurigai apabila menampilakan ciri-ciri biologis
berambut gondrong, berdahi lebar, seperti satau atau dua jumlah uyeng-uyeng di kepala
bayi yang baru dilahirkan, dll. Kemudian muncul aliran yang memperluas dari individu
(biologis) kepada kondisi-kondisi yang dapat menghasilkan penjahat. Kejahatan
merupakan produk sistem sosial, yang menekankan pada struktur kesempatan yang
berbeda atau diffrential opartunity structure, kemiskinan, rasisme dan lain-lain, sebagai
faktor penyebab yang penting. Tercatat beberapa tokoh teori ini seperti Tarde, Lacasagne,
WA Bonger dan Sutherland. Ketidak puasan terhadap aliran-aliran di atas kemudian
menampilkan perspektif baru dalam melihat mengapa seseorang dapat menjadi jahat,
sebagai hasilnya muncul apa yang disebut denagan perspektif aliran kriminologi baru
yang memiliki pemikiran-pemikiran kritis dan radikal.
Munculnya aliran ini, tidak luput dari perkembangan atau konteks perubahan-perubahan
sosial di Amerika Serikat sekitar tahun 1960, dan dibagian-bagian dunia setelah redanya
perang dingin, muncul apa yang disebut dengan kriminologi kritis sampai radikal., bahwa
pengungkapan terhadap kejahatan harus lebih kritis, selektif dan waspada. Wawasan
kriminologi ini disebut kriminologi baru. Munculnya kriminologi baru ini salah satunya
dan di mulai dengan munculnya teori Labbeling (labelling theory), dikemukakan Howard
Becker yang mengatakan pada dasarnya kejahatan merupakan suatu proses dalam
konteks, dipengaruhi oleh kondisi-kondisi sosial.
Perkembangan selanjutnya, perbuatan jahat (kejahatan) ditafsirkan sebagai hasil dari
keadaan disorganisasi sosial dan kejahatan diakibatkan dari berbagai hal yang bersifat
sosial seperti Industrialisasi, perubahan sosial yang cepat dan modernisasi. Kejahatan
bukanlah kualitas perbuatan yang dilakukan oleh orang, melainkan sebagai akibat
diterapkannya peraturan dan sanksi oleh orang-orang lain kepada seorang pelanggar.
Oleh karena itu teori labelling ini telah merubah konteks studi kriminologi, yaitu dari
penjahat kepada proses terjadinya kejahatan, meskipun istilah pertamanya teori ini
muncul dalam bukunya Frank Tannenbaun, dan E.M Lemert, Disusul kemudian oleh
teori-teori yang dikemukakan Austin Turk, Ralf Dahrendorf Chambliss dan Seidman,
dengan teori Konflik,aliran ini disebut pula dengan aliran Kriminologi radikal.
Bagi aliran-aliran kriminologi baru penyimpangan adalah normal, dalam pengertian
manusia terlibat secara sadar dalam penjara-penjara yang sesungguhnya dan masyarakat
yang juga merupakan penjara, dalam menyatakan kebhinekaan mereka. Tugas ahli
kriminologi bukanlah sekedar mempermasalahkan stereotype atau bertindak sebagai
pembawa-pembawa alternatif phenomenological realities, kewajiban ahli kriminologi
adalah untuk menciptakan suatu masyarakat di mana kenyataan-kenyataan keragaman
personal, organik dan sosial manusia tidak menjadi korban kriminalisasi penguasa.
waktu itu sangat dominan (Rezim Orde Baru begitu alergi terhadap pandanganpandangan kritis dan perlawanan, sehingga aliran-aliran kritis sering dicurigai). Saat ini
penafsiran terhadap kejahatan mengalami suatu perubahan cukup mendasar, yang timbul
akibat perubahan besar disegala bidang kehidupan, sehingga kalau boleh saya jelaskan
bahwa kritik terhadap kriminologi baru yang dikemukakan kedua pakar krimonolog di
atas adalah kritik yang kering interpretasi, tidak melihat konteks. Hanya perlu
diperhatikan mengenai kritik dari Paul Meodikdo, tentang generalisasi yang terlau jauh
dari jangkauannya, untuk kategori ini kita memang harus berhati-hati karena
penyamarataan itu memang akan menyesatkan mengenai pandangan kita tentang
kejahatan.
Bahwa aliran aliran baru terutama kritis dan radikal, dalam menguraikan teori mereka
didasarkan kepada kemampuan apa yang disebut dengan motif-motif berfikir kritis
dengan melihat tembus melihat dibalik (adegan), dengan kata lain untuk tidak
menerima apa adanya Take for Granted. Sebagai contoh, hal ini bisa dilihat dari uraian
Steven Box , mengenai hubungan kejahatan dengan kekuasaan, dengan menguraikan
suatu analisis bahwa Undang-Undang Percobaan usaha kriminal (Criminal Attemps
Act), 1981, dimaksudkan untuk mencabut hukum-hukum sus yang banyak dikutuk
orang. Akan tetapi penguatan hukum usaha percobaan bisa direntangkan sebagai akibat
dari undang-undang ini, untuk mencakup usaha pencurian materi yang tidak di kenal oleh
orang-orang tidak dikenal, serta usaha untuk mencuri mobil yang sedang diparkir.
Sekedar keberadaan (kehadiran), terutama kalau wajah anda tidak sesuai, atau warna kulit
anda kurang layak di sebuah jalan dengan sebuah mobil yang sedang diparkir, dimata
polisi bisa di anggap sebagai suatu usaha percobaan pencurian mobil. Melalui undangundang ini wewenang polisi telah ditambah dan bukannya dikurangi. Demikian pula
dengan undang-undang polisi dan Bukti Kriminal, (police and Criminal Evidence Bill
1982 ) adalah contoh lain dari usaha negara untuk mendapatkan kekuasaanya. Ini hanya
sekedar satu di dalam satu deretan manuver legal yang konsekuensi latennya, tidak peduli
apapun maksud yang dinyatakan, adalah untuk meningkatkan kekuasan polisi untuk
menyerang privasi individu dan menunda mereka sampai bukti ditemukan, bisa
dibayangkan efek yang timbul. Tengok pula bagaimana di Indonesia kejahatan mengalir
Kejahatan merupakan persoalan yang dialami manusia dari waktu ke waktu, bahkan dari
sejak Adam-Hawa kejahatan sudah tercipta, maka dari itulah kejahatan merupakan
persoalan yang tak henti-hentinya untuk diperbincangkan oleh karena itu di mana ada
manusia, pasti ada kejahatan Crime is eternal-as eternal as society. Masalah ini
merupakan suatu masalah yang sangat menarik, baik sebelum maupun sesudah
kriminologi mengalami pertumbuhan dan perkembangan seperti dewasa ini. Maka
pengertian kejahatan adalah relativ tak memilki batasRelativitas kejahatan dan aspek
yang terkait di dalamnya tidaklah merupakan konsepsi hukum semata-mata, sekalipun
memang legalitas penentuan kejahatan lebih nyata nampak dan dapat dipahami, akan
tetapi aspek-aspek hukum diluar itu (extra legal) tidaklah mudah untuk ditafsirkan.
karena kenisbian konsep kejahatan yang aneka macam seperti itu sering didengar didalam
percakapan sehari-hari, kejahatan dalam artian hukum, sosiologi, dan kombinasi dari
semuanya itu. Relativitas jelas akan berpengaruh terhadap penggalian faktor sebab
musababnya yang pada gilirannya berpengruh terhadap metode penanggulangan
kriminalitas pada umumnya.
Tentunya relativitas kejahatan memerlukan atau bergantung kepada ruang dan waktu,
serta siapa yang menamakan seuatu itu adalah kejahatan.Misdaad is benoming yang
berarti tingkah laku didefenisikan sebagai jahat oleh manusia-manusia yang tidak
mengkualifikasikan diri sebagai penjahat. Meskipun kejahatan itu relatif, ada pula
perbedannya antara mala in se dengan mala in prohibita.Mala in se adalah suatu
perbuatan yang tanpa dirumuskan sebagai kejahatan sudah merupakan kejahatan.
Sedangka Mala in prohibita, adalah suatu perbuatan manusia yang diklasifikasikan
sebagai kejahatan apabila telah dirumuskan sebagai kejahatan dalam Undang-undang.
Siapakah sebenarnya penjahat itu. Apakah cukup mereka yang dinyatakan melakukan
perbuatan yang dilarang dan diberi sanksi hukum yang tercantum dalam pasal undangundang disebut sebagai penjahat? Dalam KUH-Pidana (kita) tidak ada satu pasal pun
yang mengatakan bahwa penjahat adalah..., dan KUH-Pidana kita tidak menyebutkan
siapakah orangnya yang menyandang gelar penjahat. Akan tetapi mereka hanya dicap
sebagai penjahat dengan sebutan barang siapa (Yesmil Anwar. 2004:5), tentunya
penjahat itu merupakan label atau stigma dari undang-undang.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, ternyata aliran klasik atau aliran positif tidak
dapat bertahan lama, aliran-aliaran ini kembali mendapat kritikan dari aliran atau mazhab
sosiologis. Dalam lapangan kriminologi, aliran ini paling banyak melahirkan variasivariasi dan perbedaan-perbedaan analisa dari sebab musabab kejahatan. Pokok pangkal
dari ajaran ini adalah kelakuan-kelakuan jahat yang dihasilkan dari proses-proses yang
sama seperti kelakuan-kelakuan sosial lainnya.
Bukan suatu penjungkirbalikan terhadap paham klasik, positivistik, namun merupakan
sebuah perkembangan yang begitu dasyat dalam lapangan kriminologi. Edwin Hardin
Sutherland (1883-1950), boleh kita sebuat sebagai seorang berani tampil beda dalam
menelaah kejahatan, the white collar crime adalah suatu hal yang bagus, yang ia
hasilkan, bahwa kejahatan tidak hanya dilakukan orang-orang kelas bawah, namun
kejahatan dilakukan juga oleh orang-orang kelas atas. J.E Sahetapy menyebut hal ini
sebagai kejahatan dalam kemasan baru.
Kejahatan dalam tataran seperti yang Sutherland kemukakan adalah merupakan
educated criminals. Dalam pandangannya, Pelaku kejahatan adalah orang-orang yang
berasal dari kelas-kelas sosial dan ekonomi yang rendah, kejahatan tersebut itu berupa,
perampokan, pencurian, dan kekerasan lainya hal ini menunjukan bahwa kejahatan
merupakan fenomena yang dapat diketemukan juga dalam kelas-kelas masyarakat yang
lebih tinggi, yang penyebabnya tidak dapat dijelaskan secara tradisional, seperti
kemiskinan, atau fakto-faktor patologik yang bersifat individual.