DISUSUN OLEH
Patrick Firman M
B01181458
Pada kegiatan belajar 1 ini, peserta kuliah akan mempelajari Sejarah dan
perkembagan Kriminologi. Mulai dari sejarah perkembangan kriminologi mulai dari zaman
kuno, zaman abad pertengahan, permulaan sejarah baru (Abad ke-16), abad ke-18 hingga
revolusi Perancis, dari revolusi Perancis hingga abad ke-19 dan terakhir abad ke-20.
1. Zaman Kuno
Plato (427-437 S.M) dalam bukunya Republiek telah mengemukakan bahwa
emas dan manusia merupakan sumber kejahatan. Makin tinggi kekayaan dalam
pandangan manusia, makin merosot penghargaan terhadap kesusilaan. Dalam
karya lainnya Plato mengemukakan jika dalam suatu masyarakat tidak terdapat
orang miskin dan tidak ada pula orang kaya, akan terdapat kesusilaan yang tinggi
karena disitu tak akan ada rasa iri hati dan kezaliman.
Pengarang yunani lain yaitu Aristoteles (384-322 S.M.) mengemukakan
bahwa kemiskinan menimbulkan kejahatan dan pemberontakan. Kedua pengarang
ini sangat berpengaruh dalam hukum pidana
2. Zaman Pertengahan
Thomas Van Aquino (1226-1274) mengemukakan pendapat bahwa
kemiskinan dapat menimbulkan kejahatan sedangkan orang kaya yang hidup
bermewah-mewah akan menjadi pencuri bila jatuh miskin
6. Abad
Ada 3 (tiga) aliran yang berkembang pada abad ke-20 yaitu
a. Aliran Positif
Matza menyatakan bahwa ciri-ciri aliran positif adalah mengutamakan
pelaku kejahatan dari hukum pidana;
b. Aliran Hukum dan Kejahatan
Mannhein tahun 1965 menyatakan bahwa kejahatan adalah konsep
yuridis yang tingkah laku manusia dapat dihukum berdasarkan hukum pidana.
c. Aliran Social Defence
Penjelasan mengenai teori ini adalah tidak bersifat deterministik; tidak
menyetujui tipologi kejahatan; memiliki keyakinan akan nilai-nilai kesusilaan;
dan menolak dominasi ilmu pengetahuan modern dan menghendaki diganti
dengan politik kriminal
MODUL 2 KRIMINOLOGI
KARAKTERISTIK KRIMINOLOGI
1. Pengertian Kriminologi
Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan dari
berbagai aspek. Nama kriminologi pertama kali dikemukakan oleh Paul Topinard
(18301911), seorang ahli antropologi Perancis. Kriminologi terdiri dari 2 suku kata
yakni Crime yang berarti kejahatan dan Logos yang berarti ilmu pengetahuan, maka
kriminologi dapat berarti ilmu pengetahuan yang mempela-jari tentang kejahatan
1. Pembagian Kriminologi
Menurut Edwin H. Sutherland dan Donald R. Cressey menyatakan bahwa
kriminologi adalah proses pembentukan hukum, pelanggaran hukum dan reaksi
terhadap para pelanggar hukum, maka dengan demikian kriminologi tidak hanya
mempelajari kejahatan saja tetapi juga mempelajari bagaimana hukum itu ber jalan.
W.A. Bonger (1934) sebagai pakar kriminologi mengatakan bahwa
kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari, menyelidiki sebab-sebab
kejahatan dan gejala kejahatan dalam arti seluas-luasnya. Yang dimaksud dengan
mempelajari kejahatan seluas-luasnya adalah termasuk mempelajari penyakit sosial
(pelacuran, kemiskinan, gelandangan dan alkoholisme).
MODUL 4 KRIMINOLOGI
RUANG LINGKUP KRIMINOLOGI
1. Skop Kriminologi
Skop (ruang lingkup) kriminologi mencakup 3 hal pokok yakni :
a. Proses pembuatan hukum pidana dan hukum acara pidana (making laws).
b. Etiologi kriminal yaitu membahas teori-teori yang menyebabkan terjadinya
kejahatn (breaking of laws).
c. Reaksi terhadap pelanggaran hukum (reacting toward the breaking of laws), reaksi
dalam hal ini bukan hanya ditujukan kepada pelanggar hukum berupa tindakan
represif tetapi juga reaksi terhadap calon pelanggar hukum berupa upaya-upaya
pencegahan kejahatan (criminal prevention).
2. Definisi Kriminologi
Dari sudut pandang hukum (a crime from the legal point of view) batasan
kejahatan adalah setiap tingkah laku yang melanggar hukum pidana. Bagaimanapun
jeleknya suatu perbuatan sepanjang perbuatan itu tidak dilarang dalam suatu
perundang-undangan maka perbuatan tesebut bukan merupakan suatu kejahatan. Dari
sudut pandang masyarakat (a crime from the sociological point of view), batasan
kejahatan adalah setiap perbuatan yang melanggar norma-norma yang masih hidup di
dalam masyarakat. Sebagai contoh bila seorang muslim minum minuman keras
sampai mabuk, perbuatan tersebut merupakan dosa (kejahatan) dari sudut pandang
masyarakat Islam namun dari sudur pandangan hukum bukanlah suatu kejahatan
3. Unsur-Unsur Kejahatan
Dalam pandangan kriminologi (positivistis) di Indonesia, kejahatan dipandang
sebagai pelaku yang telah diputus oleh pengadilan; perilaku yang perlu
didekriminalisasi; populasi pelaku yang ditahan; perbuatan yang melanggar norma;
perbuatan yang mendapatkan reaksi sosial.
5. Penggolongan Kejahatan
Penggolongan Kejahatan Kejahatan dapat digolongkan atas beberapa
golongan berdasarkan beberapa pertimbangan yaitu :
a. Motif Pelakunya
b. Berdasarkan Berat/Ringannya Ancaman Pidana
c. Kepentingan Statistik
d. Kepentingan Pembentukan Teori
e. Ahli-ahli Sosiologi
MODUL 4 KRIMINOLOGI
RUANG LINGKUP KRIMINOLOGI
1. Statistik Kejahatan
Tidak semua kejahatan yang terjadi dapat dicatat dalam bentuk angka-angka,
ada pula kejahatan yang tidak tercatat disebabkan oleh pelaku, korban, aparat penegak
hukum atau masyarakat yang mengetahui kejadian tersebut. Namun, urung tak
melaporkannya. Akan tetapi, dalam statistik kejahatan, data kejahatan yang telah
diperoleh dapat memprediksi kejahatan tersebut. yang masih tersembunyi
(terselubung).
a. Kejahatan Tercatat
Statistik kejahatan adalah angka-angka kejahatan yang terjadi di suatu
tempat dan waktu tertentu.
b. Kejahatan Terselubung (Hidden Crime)
Selisih antara jumlah kejahatan yang sebenarnya terjadi di masyarakat
dengan jumlah kejahatan yang diketahui oleh polisi disebut sebagai
kejahatan tersembunyi (hidden crime).
c. Pihak Kepolisian
d. Pihak masyarakat
MODUL 5 KRIMINOLOGI
ALIRAN-ALIRAN DALAM KRIMINOLOGI
1. Aliran Spiritualisme
Dalam penjelasan tentang kejahatan, spiritualisme memiliki perbedaan
mendasar dengan metode penjelasan kriminologi yang ada saat ini. Berbeda dengan
teori-teori saat ini spiritualisme memfokuskan perhatiaannya pada perbedaan antara
kebaikan yang datang dari tuhan atau dewa dan keburukan yang datang dari setan.
Seseorang yang telah melakukan kejahatan dipandang sebagai orang yang terkena
bujukan setan (evil/demon).
2. Aliran Naturalisme
Perkembangan paham naturalisme yang muncul dari perkembangan ilmu alam
menyebabkan manusia mencari model penjelasan lain yang lebih rasional dan mampu
membuktikan secara ilmiah. Lahirnya rasionalisme di Eropa menjadikan pendekatan
ini mendominasi pemikiran tentang penyebab kejahatan.
Dalam perkembangan lahirnya teori-teori tentang kejahatan dapat dibagi beberapa
aliran yaitu :
a. Aliran Klasik
1. Individu dilahirkan dengan kehendak bebas (free will) hidup menentukan
pilihannya sendiri.
2. Dalam bertingkah laku, manusia memiliki kemampuan untuk
memperhitungkan segala tindakan berdasarkan keinginannya sendiri
(hedonisme).
3. Individu memiliki hak asasi diantaranya hak untuk hidup, kebebasan, dan
memiliki kekayaan.
4. Pemerintah negara dibentuk untuk melindungi hak-hak tersebut dan muncul
sebagai hasil perjanjian sosial antara yang diperintah dan yang memerintah.
5. Setiap warga neggara hanya menyerahkan sebagain dari hak asasinya kepada
negara sepanjang diperlukan oleh negara untuk mengatur masyarakat dan
demi kepentingan bagian terbesar dari masyarakat.
6. Kejahatan merupakan pelanggaran terhadap perjanjian sosial, oleh karena itu
kejahatan merupakan kejahatan moral.
7. Hukuman hanya dibenarkan selama hukuman itu ditujukan untuk memelihara
perjanjian sosial..
8. Setiap orang dianggap sama di muka hukum, oleh karena itu seharusnya
setiap orang diperlakukan sama.
b. Aliran Positvisme
Aliran positivis muncul sebagai ketidakpuasan dari jawaban-jawaban aliran
klasik, aliran yang berusaha menjelaskan mengapa seseorang bisa bertindak jahat.
Aliran ini bertolak pada pandangan bahwa perilaku manusia ditentukan oleh
faktorfaktor di luar kontrolnya baik yang berupa faktor biologik maupun yang
kultural. Aliran positivis terdiri atas dua bagian besar yakni pertama determinasi
biologis (biologist determinism) perilaku manusia sepenuhnya bergantung pada
pengaruh biologis yang ada dalam dirinya. Kedua determinasi kultural (cultural
determinism) mendasari pemikiran mereka pada pengaruh sosial, budaya, dan
lingkungan dimana seseorang itu hidup.
c. Aliran Social Defence
Aliran social defence yang dipelopori oleh Judge Marc Angel telah
mengembangkan suatu teori yang berlainan dengan aliran terdahulu. Munculnya
teori ini disebabkan oleh teori aliran positif klasik dianggap terlalu statis dan kaku
dalam menganalisis kejahatan yang terjadi dalam masyarakat
MODUL 6 KRIMINOLOGI
TEORI KRIMINOLOGI DALAM PERSPEKTIF BIOLOGIS
2. Tipe Fisik
Teori-teori kriminologi berdasarkan tipe fisik dikemukakan oleh Ernest
Kretchmer, William H. Sheldon dan Sheldon Glueck dan Eleanor Glueck.
Ernest Kretchmer, dari hasil penelitian Kretchmer terhadap 260 orang gila di
Jerman, mengidentifikasi empat tipe fisik yaitu :
a. Asthenic: kurus, bertubuh ramping, berbahu kecil yang berhubungan
dengan schizophrenia (gila).
b. Athletic: menenagh tinggi, kuat, berotot, bertulang kasar.
c. Pyknic: tinggi sedang, figur yang tegap, leher besar, wajah luas yang
berhubungan dengan depresi.
d. Tipe campuran yang tidak terklasifikasi.
1. LEARNING DISABILITIES
Disfungsi otak dan cacat neurologist secara umum ditemukan pada mereka
yang menggunakan kekerasan secara berlebihan dibanding orang pada umumnya.
Banyak pelaku kejahatan kekerasan kelihatannya memiliki cacat di dalam otaknya
dan berhubungan dengan terganggunya self-control. Deliquent cenderung memiliki
problem neurologis dibandingkan dengan non delinquent. Juga ada beberapa bukti
bahwa orang tua dari anak-anak delinquent memiliki problem neurologis
dibandingkan orang tua anak-anak non delinquent, sehingga ada kemungkinan faktor
genetika berhubungan dengan kekerasan dari orang tua.
2. Faktor Genetik
Faktor genetik dibagi menjadi 3 golongan berdasarkan twin studies, adoption studies
dan the xyy syndrome:
a. Twin Studies, Karl Cristiansen dan Sanoff A.Mednick melakukan suatu studi
terhadap 3.586 pasangan kembar. Mereka menemukan bahwa pada identical twins
(kembar yang dihasilkan dalam satu telur yang dibuahi yang membelah menjadi 2
embrio) jika pasangannya melakukan kejahatan, maka 50% pasangannya juga
melakukan, sedangkan pada fraternal twins (kembar yang dihasilkan dari 2 telur
yang terpisah) keduanya dibuahi pada saat bersamaan angka tersebut hanya 20%.
b. Adoption Studies, satu jalan untuk memisahkan pengaruh dari sifat-sifat yang
diwariskan dengan pengaruh dari kondisi lingkungan adalah dengan melakukan
studi terhadap anak-anak yang sejak lahirnya dipisahksn dari orang tua aslinya
dan ditempatkan pada keluarga angkat
c. The XYY Syndrome, Kromosom merupakan struktur dasar yang mengandung gen
kita, suatu materi biologis yang membuat masingmasing kita berbeda. Setiap
manusia memiliki 23 pasang kromosom yang diwariskan. Satu pasang kromosom
menentukan gender (jenis kelamin).
MODUL 7 KRIMINOLOGI
TEORI KRIMINOLOGI DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGIS
1. Teori Psikoanalisis
Teori psikoanalisis tentang kriminalitas menghubungkan delinquet dan
perilaku kriminal dengan suatu “conscience” (hati nurani) yang baik, dia begitu kuat
sehingga menimbulkan perasaan bersalah atau ia begitu lemah sehingga tidak dapat
mengontrol dorongan-dorongan dirinya bagi suatu kebutuhan yang harus dipenuhi
segera. Sigmund Freud (1856-1939), penemu dari psychoanalysis, berpendapat bahwa
kriminalitas mungkin hasil dari “an overactive conscience” yang menghasilkan
perasaan bersalah yang tidak tertahankan untuk melakukan kejahatan dengan tujuan
agar ditangkap dan dihukum. Begitu dihukum maka perasaan mereka akan mereda
2. Teori Anomie
a. Emile Durkheim
Ahli sosiologi Perancis Emile Durkheim (1858-1917), menekankan pada
“normlessness, lessens social control” yang berarti mengendrornya pengawasan
dan pengendalian sosial yang berpengaruh terhadap terjadinya kemerosotan
moral, yang menyebabkan individu sukar menyesuaikan diri dalam perubahan
norma, bahkan kerapkali terjadi konflik norma dalam pergaulan. Dikatakan oleh
Durkheim bahwa tren sosial dalam masyarakat industri perkotaan modern
mengakibatkan perubahan norma, kebingungan dan berkurangnya kontrol sosial
atas individu. Individualisme meningkat dan timbul berbagai gaya hidup baru,
yang besar kemungkinan menciptakan kebebasan yang lebih luas disamping
mening katkan kemungkinan perilaku yang menyimpang seperti kebebasan seks
di kalangan anak muda. kebebasan seks di kalangan anak muda. Satu cara dalam
mempelajari masyarakat adalah dengan melihat pada bagianbagian komponennya
dalam usaha mengetahui bagaimana masingmasing berhubungan satu sama lain
Menurut Durkheim, penjelasan tentang perbuatan manusia tidak terletak pada diri
si individu tetapi terletak pada kelompok dan organisasi sosial. Dalam konteks
inilah Durkheim memperkenalkan istilah anomie sebagai hancurnya keteraturan
sosial sebagai akibat hilangnya patokan-patokan dan nilai-nilai. Anomie dari teori
Durkheim juga dipandang sebagai kondisi yang mendorong sifat individualistis
(memenangkan diri sendiri/egois) yang cenderung melepas-kan pengendalian
sosial. Keadaan ini akan diikuti dengan perilaku menyimpang dalam pergaulan
masyarakat
b. Robert Merton
Robert Merton dalam “social theory and social structure” pada tahun 1957
yang berkaitan dengan teori anomie Durkheim mengemukakan bahwa anomie
adalah suatu kondisi manakala tujuan tidak tercapai oleh keinginan dalam
interaksi sosial. Dengan kata lain anomie is a gap between goals and means
creates deviance. Tetapi konsep Merton tentang anomie agak berbeda dengan
konsep Durkheim. Masalah sesungguhnya tidak diciptakan oleh sudden social
change tetapi oleh social stucture yang menawarkan tujuan-tujuan yang sama
untuk mencapainya. Teori anomie dari Merton menekankan pentingnya dua unsur
penting di setiap masyarakat, yaitu cultural aspiration atau culture goals dan
institusionalised means atau accepted ways, dan disparitas antara tujuan dan
sarana inilah yang memberikan tekanan (strain). Berdasarkan perspektif tersebut
struktur sosial merupakan akar dari masalah kejhaatan (a structural explanation).
Teori ini berasumsi bahwa orang itu taat hukum dan semua orang dalam
masyarakat memiliki tujuan yang sama (meraih kemakmuran), akan tetapi dalam
tekanan besar mereka akan mela-kukan kejahatan.
c. Cloward dan Ohlin
Teori anomie versi Cloward dan Ohlin menekankan adanya differential
oppurtunity, dalam kehidupan dan stuktur masyarakat. Dalam bukunya mereka
berkata “bahwa pada kaum muda kelas bawah akan cenderung memilih satu tipe
subkultural lainnya (gang) yang sesuai dengan situasi anomie mereka dan
tergantung pada adanya struktur peluang melawan hukum dalam lingkungan
mereka”.
d. Cohen
Teori anomie Cohen disebut Lower Class Reaction Theory. Inti teori ini
adalah delinkuensi timul dari reaksi kelas bawah terhadap nilai-nilai kelas
menengah yang dirasakan oleh remaja kelas bawah sebagai tidak adil dan harus
dilawan.
e. Kritik terhadap Teori Anomie
Traub dan ittle (1975) memberikan kritiknya sebagai berikut : teori anomie
tampaknya beranggapan bahwa di setiap masyarakat terdapat nilai-nilai dan
normanorma yang dominan yang diterima sebagian besar masyarakatnya dan teori
ini tidak menjelaskan secara memadai mengapa hanya individu-individu tertentu
dari golongan masyarakat bawah yang melakukan penyimpangan. Analisis
Merton sama sekali tidak mempertimbangkan aspek-aspek interaksi pribadi untuk
menjadi deviant dan juga tidak memperhatikan hubungan erat antara kekuatan
sosial dengan kecenderungan bahwa seseorang akan memperoleh cap secara
formal sebagai deviant
MODUL 8 KRIMINOLOGI
TEORI KRIMINOLOGI DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS
MODUL 9 KRIMINOLOGI
TEORI-TEORI KRIMINOLOGI DARI PERSPEKTIF LAIN
2. Teori Labeling
Para penganut labeling theory memandang para kriminal bukan sebagai orang
yang bersifat jahat (evil) yang terlibat dalam perbuatan-perbuatan bersifat slah tetapi
mereka adalah individu-individu yang sebelumnya pernah berstatus jahat sebagai
pemberian sistem peradilan pidana maupun masyarakat secara luas. Dipandang dari
perspektif ini, perbuatan kriminal tidak sendirinya signifikan, justru reaksi sosial
ataslah yang signifikan.
a. Becker
Melihat kejahatan itu melihat kejahatan itu sering kali bergantung pada
mata si pengamat karena anggota-anggota dari kelompok-kelompok yang
berbeda memiliki perbedaan konsep tentang apa yang disebut baik dan
layak dalam situasi tertentu.
b. Howard
Berpendapat bahwa teori labeling dapat dibedakan dalam dua bagian
yaitu: a. persoalan tentang bagaimana dan mengapa seseorang memperoleh
cap atau label dan b. efek labeling terhadap penyimpangan tingkah laku
berikutnya. Persoalan pertama dari labeling adalah memberikan label/cap
kepada seseorang yang sering melakukan kenakalan atau kejahatan.
Labeling dalam arti ini adalah labeling sebagai akibat dari reaksi
masyarakat. Persoalan labeling yang kedua (efek labeling) adalah
bagaimana labelling mempengaruhi seseorang yang terkena label/cap.
Persoalan ini memperlakukan labelling sebagai variabel yang independent
atau variabel bebas. Dalam kaitan ini terdapat dua proses bagaimana
labeling mempengaruhi seseorang yang terkena label/cap untuk melakukan
penyimpangan tingkah lakunya.
c. Scharg
Dua konsep penting dalam teori labeling adalah primary deviance dan
secondary deviance. Primary deviance ditujukan kepada perbuatan
penyimpangan tingkah laku awal, sedangkan secondary deviance adalah
berkaitan dengan reorganisasi psikologis dari pengalaman seseorang
sebagai akibat dari penangkapan dan cap sebagai penjahat. Sekali cap ini
dilekatkan pada seseorang, maka sangat sulit orang yang bersangkutan
untuk selanjutnya melepaskan diri sari cap dimaksud dan kemudian akan
mengidentifikasi dirinya dengan cap yang telah diberikan masyarakat
terhadap dirinya. Apabila demikian halnya, proses penyimpangan tingkah
laku atau deviant behavior, “haveng been created in society by control
agencies representing the interest of dominant groups.
d. Frank Tannembaum
Menanamkan proses pemasangan label tadi kepada si penyimpang
sebagai dramatisasi sesuatu yang jahat/kejam. Ia memandang proses
kriminalisasi ini sebagai proses memberikan label, menentukan, mengenal
(mengidentifikasi), menguraikan, menekankan/menitikberatkan, membuat
sadar, atau sadar sendiri, kemudian menjadi cara untuk menetapkan ciri-
ciri khas sebagai penjahat.
e. Edwin Lemmert
Lemert mengelaborasi pendapat Tannenbaum dengan
memformulasikan asumsi-asumsi dasar dari labeling theory. Lemert
membedakan dua jenis tindakan menyimpang : penyimpangan primer
(primary deviations) dan penyimpangan sekunder (secondary deviations).
3. Teori Konflik
Teori konflik lebih mempertanyakann proses pembuatan hukum. Pertarungan
(struggle) untuk kekuasaan merupakan suatu gambaran dasar eksistensi manusia.
Dalam arti pertarungan kekuasaan itulah bahwa berbagai kelompok kepentingan
berusaha mengontrol pembuatan dan penegakan hukum. Untuk memahami
pendekatan atau teori konflik ini, kita perlu melihat model tradisional yang
memandang kejahatan dan peradilan pidana sebagai lahir dari konsensus masyarakat
(communal consensus). Menurut model konsensus, anggota masyarakat pada
umumnya sepakat tentang apa yang benar dan apa yang salah, dan bahwa intisari dari
hukum merupakan kodifikasi nilai-nilai sosial yang disepakati tersebut. Sedangkan
model konflik, mempertanyakan tidak hanya proses dengan mana seseorang menjadi
kriminal, tetapi juga tentang siapa di masyarakat yang memiliki kekuasaan (power)
untuk membuat dan menegakkan hukum. Perspektif konflik meliputi beberapa variasi
sebagai berikut:
a. Teori Asosiasi Terkoordinir Secara Imperatif (Kaharusan)
Ralf Dahrendorf (1959) merumuskan kembali teori marxis mengenai
konflik kelas yang lebih pluralistik, dimana banyak kelompok bersaing
untuk kekuataan, pengaruh, dan dominasi.
b. Teori pluralistik model George Vold
George Vold mengemukakan bahwa masyarakat itu terdiri dari berbagai
macam kelompok kepentingan yang harus bersaing, dan bahwa konflik
merupakan salah satu unsurnya yang esensial/penting dengan kelompok-
kelompok yang lebih kuat, mampu membuat negara merumuskan undang-
undang/hukum demi kepentingan mereka
c. Teori Austin Turk (kriminal terdiri dari kelompok-kelompok yang lebih
kuat).
Turk adalah seorang tokoh penulis perspektif kriminologi konflik,
mengetengahkan proposisi teori hukum pidana yang diterapkan
kelompokkelompok yang lebih kuat (more powerpul groups define
criminal law)
2. Tujuan Pemidanaan
Pidana dipandang sebagai suatu nestapa yang dikenakan kepada pembuat
karena melakukan suatu delik. Ini bukan merupakan tujuan akhir tetapi tujuan
terdekat, inilah perbedaan antara pidana dan tindakan karena dapat berupa nestapa
juga, tetapi bukan tujuan. Tujuan akhir pidana dan tindakan dapat menjadi satu yaitu
memperbaiki pembuat. Sementara yang dimaksud dengan pemidanaan adalah
tindakan yang diambil oleh hakim untuk memidana seorang terdakwa sebagaimana
yang dikemukakan oleh Sudarto : menetapkan hukum atau memutuskan tentang
hukumannya (berschen) menetapkan hukum untuk suatu peristiwa itu tidak hanya
menyangkut hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata. dengan politik
hukum pidana dimana harus diarahkan kepada perlindungan masyarakat dari
kesejahteraan serta keseimbangan dan keselarasan hidup dengan memperhatikan.
Berkaitan dengan pemidanaan, maka muncullah beberapa teori tujuan dijatuhkannya
hukuman (tujuan pemidanaan) yaitu:
a. Teori Absolut atau Teori Pembalasan (vergeldings theorien)
Aliran ini menganggap sebagai dasar dari hukum pidana adalah alam
pikiran untuk pembalasan (vergelding atau vergeltung). Teori ini
diperkenalkan pada akhir abad 18 dan mempunyai pengikut seperti
Immanuel Kant, Hegel, Herbart, Stahl dan Leo polak. Menurut Kant
bahwa pembalasan atau suatu perbuatan melawan hukum adalah suatu
syarat mutlak menurut hukum dan keadilan, hukuman mati terhadap
penjahat yang melakukan pembunuhan berencana mutlak dijatuhkan
b. Teori Relatif atau Teori Tujuan (doel theorien)
Teori ini memberikan dasar pemikiran bahwa dasar hukum pidana adalah
teletak pada tujuan pidana itu sendiri. Oleh karena pidana itu mempunyai
tujuantujuan tertentu, maka disamping tujuan lainnya terdapat pula tujuan
pokok berupa mempertahankan ketertiban masyarakat (dehandhaving der
maatshappeljikeorde).
c. Teori Gabungan (vernegins theorien)
Disamping Teori absolut dan teori relatif tentang pemidanaan, muncul
teori ketiga yang di satu pihak mengakui adanya unsur pembalasan dalam
hukum pidana, akan tetapi di pihak lain juga mengakui pula unsur prevensi
dan unsur memperbaiki penjahat yang melekat pada tiap pidana. Grotius
mengembangkan teori gabungan yang menitikberatkan keadilan mutlak
yang diwujudkan dalam pembalasan, tetapi yang berguna bagi marakat.
Dasar tiap-tiap pidana ialah penderitaan yang berat sesuai dengan beratnya
perbuatan yang dilakukan oleh terpidana. Teori gabungan yang kedua
yaitu menitikberatkan pertahanan tata tertib masyarakat. Teori ini tidak
boleh lebih berat daripada yang ditimbulkannya dan gunanya juga tidak
boleh lebih besar daripada yang seharusnya.
MODUL 11 KRIMINOLOGI
STUDI KASUS PROSTITUSI DALAM PERSPEKTIF KRIMINOLOGI
2. Pengertian Pelacuran
Prostitusi atau pelacuran bukanlah hal baru yang terjadi pada hari ini, bahkan
mewarnai berbagi sama hingga melintasi generasi titik kita bisa menemui berbagai
cerita tentang pelacuran dalam beberapa buku yang pernah ditulis oleh Lip Wijayanto
(Fresh Chicken ), atau yang ditulis oleh Moamar Emka (Jakarta Undercover )
mengenai kondisi peraturan, lengkap dengan segala mutasinya, bahkan modus
operandinya. Soal Siapa yang melayani dan siapa yang mencari pelayanan seksual
tetap sama model, seperti yang dulu, hanya yang berubah mungkin tempatnya
dulunya rumah reog sekarang kebanyakan wanita wanita pelacur dihimpun dalam
tempat mewah ( seperti losmen, panti pijat hotel, dan klub malam). Keberhasilan
memberantas pelacuran, nyatanya tidak gampang seperti yang dipikirkan atau sekedar
membalikkan telapak tangan, sebab berbagai penyebab orang terjerumus dalam dunia
gemerlap itu, bukan hanya ditentukan oleh suatu faktor seperti kemiskinan saja. Kata
pelacuran berasal dari bahasa latin” prostitution” yang selanjutnya diadaptasi dalam
bahasa Indonesia” prostitusi.” Secara sederhana, dapat diartikan sebagai perilaku
terang-terangan menyerahkan diri pada” Perzinahan” tanpa adanya ikatan
perkawinan. Untuk lebih memahami fenomena pelacuran sebagai gejala sosial yang
juga menjadi lapangan kajian kriminologi, berikut beberapa uraian mengenai
pelacuran sebagaimana sebelumnya telah dihimpun oleh Soedjono D (199: 17-18)