Anda di halaman 1dari 33

Kesimpulan Kriminologi

DISUSUN OLEH

Patrick Firman M
B01181458

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2020
MODUL 1 KRIMINOLOGI
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN KRIMINOLOGI

Pada kegiatan belajar 1 ini, peserta kuliah akan mempelajari Sejarah dan
perkembagan Kriminologi. Mulai dari sejarah perkembangan kriminologi mulai dari zaman
kuno, zaman abad pertengahan, permulaan sejarah baru (Abad ke-16), abad ke-18 hingga
revolusi Perancis, dari revolusi Perancis hingga abad ke-19 dan terakhir abad ke-20.

1. Zaman Kuno
Plato (427-437 S.M) dalam bukunya Republiek telah mengemukakan bahwa
emas dan manusia merupakan sumber kejahatan. Makin tinggi kekayaan dalam
pandangan manusia, makin merosot penghargaan terhadap kesusilaan. Dalam
karya lainnya Plato mengemukakan jika dalam suatu masyarakat tidak terdapat
orang miskin dan tidak ada pula orang kaya, akan terdapat kesusilaan yang tinggi
karena disitu tak akan ada rasa iri hati dan kezaliman.
Pengarang yunani lain yaitu Aristoteles (384-322 S.M.) mengemukakan
bahwa kemiskinan menimbulkan kejahatan dan pemberontakan. Kedua pengarang
ini sangat berpengaruh dalam hukum pidana

2. Zaman Pertengahan
Thomas Van Aquino (1226-1274) mengemukakan pendapat bahwa
kemiskinan dapat menimbulkan kejahatan sedangkan orang kaya yang hidup
bermewah-mewah akan menjadi pencuri bila jatuh miskin

3. Permulaan Sejarah Baru (Abad Ke-16)


Pada zaman ini Thomas More membahas hubungan kejahatan dengan
masyarakat. Ahli hukum ini mengarang sebuah roman sisialistis yang bersifat
Utopis (1516). Dia mengkritik pemerintah Inggris yang menghukum penjahat
terlalu keras mengatakan kejahatan hanya berkurang bila ada perbaikan hidup
bukan karena hukuman yang keras.

4. Abad Ke-18 Hingga Revolusi Perancis


Pada abad ini mulai ada pertentangan terhadap hukum pidana dimana hukum
pidana. Pribadi penjahat tidak mendapat perhatian sehingga acara pidana bersifat
inquisitor. Pembuktian tergantung dari kemauan si pemeriksa dan pengakuan dari
si tersangka. Keadaan ini mengundang reaksu dimana reaksi terhadap ancient
regime (rezim lama) mempengaruhi hukum dan acara pidana. Keadaan ini
didukung dengan timbulnya aufklarung (pencerahan). Mulailah hak asasi manusia
diperlakukan pula terhadap si penjahat dan rasa keadilan semakin diperhatikan.

5. Dari Revolusi Perancis Hingga Abad Ke-19


Ada 3 (tiga) hal penting yang terjadi dalam kriminologi yaitu :
a. Perubahan dalam hukum pidana:
Perancis (1791) mengakhiri sistem hukum pidana lama, code penal-
nya dirumuskan dengan tegas bahwa kejahatan dan tiap manusia sama dimuka
undangundang. Hal ini sangat berpengaruh ke negara-negara lain. Hal ini
masih mendapat perlawanan karena penjahat berbuat jahat tidak sama dan
logis bila tidak dipersamakan. Suasana ini baru benar benar terjadi pada tahun
1970 abad ke-19 dimana kriminologi memberikan sumbangannya.

b. Sebab-sebab sosial dari kejahatan


W. Gowin (1756-1836) menerangkan adanya hubungan susunan
masyarakat dengan kejahatan. Ch. Hall (1739-1819) mengkritik keadaan sosial
yang pincang dari kaum buruh sebagai akibat industrialisasi. R. Owen
mengemukakan dalam bukunya “The book of the new moral world” pada
tahun 1844 mengatakan bahwa lingkungan yang tidak baik membuat kelakuan
seseorang menjadi jahat dan lingkungan yang baik sebaliknya

c. Sebab-sebab psikiatri antropologis dari kejahatan


Pada masa ini orang gila masih diperlakukan seperti penjahat. Penjahat yang
mempunyai kemauan bebas (free will) sedang orang gila sebelumnya tidak
memiliki kemauan bebas untuk memilih perbuatan baik atau buruk tetapi
berkat lahirnya ilmu psikiatrik mulailah ada perubahan.

6. Abad
Ada 3 (tiga) aliran yang berkembang pada abad ke-20 yaitu
a. Aliran Positif
Matza menyatakan bahwa ciri-ciri aliran positif adalah mengutamakan
pelaku kejahatan dari hukum pidana;
b. Aliran Hukum dan Kejahatan
Mannhein tahun 1965 menyatakan bahwa kejahatan adalah konsep
yuridis yang tingkah laku manusia dapat dihukum berdasarkan hukum pidana.
c. Aliran Social Defence
Penjelasan mengenai teori ini adalah tidak bersifat deterministik; tidak
menyetujui tipologi kejahatan; memiliki keyakinan akan nilai-nilai kesusilaan;
dan menolak dominasi ilmu pengetahuan modern dan menghendaki diganti
dengan politik kriminal
MODUL 2 KRIMINOLOGI
KARAKTERISTIK KRIMINOLOGI

1. Pengertian Kriminologi
Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan dari
berbagai aspek. Nama kriminologi pertama kali dikemukakan oleh Paul Topinard
(18301911), seorang ahli antropologi Perancis. Kriminologi terdiri dari 2 suku kata
yakni Crime yang berarti kejahatan dan Logos yang berarti ilmu pengetahuan, maka
kriminologi dapat berarti ilmu pengetahuan yang mempela-jari tentang kejahatan

2. Tujuan Mempelajari Kriminologi


Manfaat apa yang kita dapatkan dengan mempelajari kriminologi? Secara
sederhana kita dapat mengetahui bagaimana sebab orang melakukan kejahatan
berbeda halnya dalam hukum pidana, sebab orang mecuri karena lapar tidak dicari
mengapa ada kelaparan tetapi yang dipersoalkan bahawa yang melakukan kejahatan
pencurian melanggar Pasal 362 KUHP. Disini dapat dilihat perbedaannya dengan
kriminologi karena kriminologi mencari sebab orang tersebut melakukan pencurian.
Dengan kriminologi kita dapat memperoleh pengertian yang lebih mendalam
mengenai perilaku manusia, dan lembaga-lembaga masyarakat yang mempengaruhi
kecenderungan dan penyimpangan norma-norma hukum.

3. Pengertian Viktimologi dan Manfaat Mempelajari


Viktimologi Viktimologi merupakan istilah bahasa inggris Victimology yag
berasal dari bahasa latin yaitu Victima yang berarti korban dan Logos yang berarti
ilmu pengetahuan. Secara terminologis, viktimologi berarti suatu studi yang
mempelajari tentang korban, penyebab timbulnya korban dan akibat-akibat
penimbulan korban yang merupakan masalah manusia sebagai suatu kenyataan sosial.
Viktimologi merupakan suatu studi, pengetahuan ilmiah, yang mempelajari suatu
(viktimisasi) korban kejahatan sebagai suatu permasalahan manusia yang merupakan
suatu kenyataan sosial. Manfaat mempelajari viktimologi yaitu dalam rangka
memberikan pelayanan terhadap korban.

4. Hubungan Kriminologi dan Hukum Pidana


Ada beberapa persamaan dan perbedaan dari Hubungan Kriminologi dan Hukum
Pidana :
Persamaan
a. Sama- sama amemiliki obyek kajian yang sama yaitu kejahatan dan adanya
upaya-upaya untuk mencegah terjadinya kejahatan
Perbedaan
a. Kriminologi ingin mengetahui apa yang menjadi latar belakang seseorang
melakukan kejahatan sedangkan hukum pidana ingin mengetahui apakah
seseorang telah melakukan suatu kejahatan.
b. Hukum pidana menetapkan terlebih dahulu seseorang sebagai penjahat baru
langkah berikutnya giliran kriminologi meneliti mengapa seseorang itu melakukan
kejahatan.
c. Kriminologi memberi bahan dalam perumusan perundang-undangan pidana
sedangkan hukum pidana, pengertian kejahatan telah dirumuskan /dikodifikasikan
dalam KUHPidana dan Undang-Undang di luar KUHPidana
\
MODUL 3 KRIMINOLOGI
KLASIFIKASI KRIMINOLOGI

1. Pembagian Kriminologi
Menurut Edwin H. Sutherland dan Donald R. Cressey menyatakan bahwa
kriminologi adalah proses pembentukan hukum, pelanggaran hukum dan reaksi
terhadap para pelanggar hukum, maka dengan demikian kriminologi tidak hanya
mempelajari kejahatan saja tetapi juga mempelajari bagaimana hukum itu ber jalan.
W.A. Bonger (1934) sebagai pakar kriminologi mengatakan bahwa
kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari, menyelidiki sebab-sebab
kejahatan dan gejala kejahatan dalam arti seluas-luasnya. Yang dimaksud dengan
mempelajari kejahatan seluas-luasnya adalah termasuk mempelajari penyakit sosial
(pelacuran, kemiskinan, gelandangan dan alkoholisme).

2. Proses Kriminalisasi, Dekreminalisasi, dan Depenalisasi


a. Proses Kriminalisasi
Proses kriminalisasi adalah suatu proses dimana suatu perbuatan yang
mulanya tidak dianggap sebagai kejahatan, kemudian dengan dikeluarkannya
perundang-undangan yang melarang perbuatan tersebut, maka perbuatan itu
kemudian menjadi perbuatan jahat. Kriminalisasi (criminalization) merupakan
objek studi hukum pidana materiil (substantive criminal law) yang membahas
penentuan suatu perbuatan sebagai tindak pidana (perbuatan pidana atau
kejahatan) yang diancam dengan sanksi pidana tertentu. Perbuatan tercela yang
sebelumnya tidak dikualifikasikan sebagai perbuatan terlarang dijustifikasi
sebagai tindak pidana yang diancam dengan sanksi pidana.
b. Proses Dekriminalisasi
Proses dekriminalisasi adalah suatu proses dimana suatu perbuatan yang
merupakan kejahatan karena dilarang dalam perundang-undangan pidana,
kemudian pasal yang mneyangkut perbuatan itu dicabut dari perundang-undangan
dan dengan demikian perbuatan itu bukan lagi kejahatan. Dekriminalisasi adalah
suatu proses penghapusan sama sekali sifat dapat dipidananya suatu perbuatan
yang semula merupakan tindak pidana dan juga penghapusan sanksinya berupa
pidana. Dalam proses dekriminalisasi tidak hanya kualifikasi pidana saja yang
dahapuskan, tetapi juga sifat melawan hukum atau melanggar hukumnya, lebih
dari itu penghapusan sanksi negatif tidak diganti dengan reaksi sosial lain baik
perdata maupun administrasi.
c. Proses Depenalisasi
Pada proses depenalisasi, sanksi negatif yang bersifat pidana dihilangkan dari
suatu perilaku yang diancam pidana. Dalam hal ini hanya kualifikasi pidana yang
dihilangkan, sedangkan sifat melawan atau melanggar hukum masih tetap
dipertahankan. Mengenai hal itu penanganan sifat melawan atau melanggar
hukum diserahkan pada sistem lain misalnya sistem hukum perdata, sistem hukum
administrasi dan sebagainya.

MODUL 4 KRIMINOLOGI
RUANG LINGKUP KRIMINOLOGI

1. Skop Kriminologi
Skop (ruang lingkup) kriminologi mencakup 3 hal pokok yakni :
a. Proses pembuatan hukum pidana dan hukum acara pidana (making laws).
b. Etiologi kriminal yaitu membahas teori-teori yang menyebabkan terjadinya
kejahatn (breaking of laws).
c. Reaksi terhadap pelanggaran hukum (reacting toward the breaking of laws), reaksi
dalam hal ini bukan hanya ditujukan kepada pelanggar hukum berupa tindakan
represif tetapi juga reaksi terhadap calon pelanggar hukum berupa upaya-upaya
pencegahan kejahatan (criminal prevention).

2. Definisi Kriminologi
Dari sudut pandang hukum (a crime from the legal point of view) batasan
kejahatan adalah setiap tingkah laku yang melanggar hukum pidana. Bagaimanapun
jeleknya suatu perbuatan sepanjang perbuatan itu tidak dilarang dalam suatu
perundang-undangan maka perbuatan tesebut bukan merupakan suatu kejahatan. Dari
sudut pandang masyarakat (a crime from the sociological point of view), batasan
kejahatan adalah setiap perbuatan yang melanggar norma-norma yang masih hidup di
dalam masyarakat. Sebagai contoh bila seorang muslim minum minuman keras
sampai mabuk, perbuatan tersebut merupakan dosa (kejahatan) dari sudut pandang
masyarakat Islam namun dari sudur pandangan hukum bukanlah suatu kejahatan

3. Unsur-Unsur Kejahatan
Dalam pandangan kriminologi (positivistis) di Indonesia, kejahatan dipandang
sebagai pelaku yang telah diputus oleh pengadilan; perilaku yang perlu
didekriminalisasi; populasi pelaku yang ditahan; perbuatan yang melanggar norma;
perbuatan yang mendapatkan reaksi sosial.

4. Relativitas Pengertian Kejahatan


Pengertian kejahatan sangat relatif (selalu berubah), baik ditinjau dari sudut
pandang hukum (legal definition of crime) maupun ditinjau dari sudut pandang
masyarakat (sociological definition of crime).
a. Isi pasal-pasal dari hukum pidana sering berubah, contoh: UndangUndang
Narkotika yang lama yakni Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang
Narkotika digantikan dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika
b. Pengertian kejahatan menurut anggapan suatu masyarakat tertentu juga
selalu berubah
c. Pengertian kejahatan sering berbeda dari suatu tempat ke tempat yang lain,
dari suatu daerah dengan daerah lainnya. Misalnya ada daerah bila
kedatangan tamu terhormat, sang tamu tersebut disodori gadis untuk
menemaninya tidur. Perbuatan itu dianggap sebagai perbuatan terpuji di
tempat tersebut sedangkan di tempat lain (kebu-dayaan lain) hal itu
merupakan suatu hal yang memalukan (jahat).
d. Di dalam penerapan hukum juga sering berbeda-beda. Suatu tindakan yang
serupa, kadang-kadang hukuman yang berbeda dari hakim yang berbeda
pula.
e. Juga sering terlihat adanya perbedaan materi hukum pidana antara suatu
negara dibandingkan dengan negara lain. Misalnya pelacuran rumah bordil
(brother prostitution) di Australia dilarang dalam KUH Pidana Australia
sedangkan pelacuran di negara Belanda tidak dilarang

5. Penggolongan Kejahatan
Penggolongan Kejahatan Kejahatan dapat digolongkan atas beberapa
golongan berdasarkan beberapa pertimbangan yaitu :
a. Motif Pelakunya
b. Berdasarkan Berat/Ringannya Ancaman Pidana
c. Kepentingan Statistik
d. Kepentingan Pembentukan Teori
e. Ahli-ahli Sosiologi
MODUL 4 KRIMINOLOGI
RUANG LINGKUP KRIMINOLOGI
1. Statistik Kejahatan
Tidak semua kejahatan yang terjadi dapat dicatat dalam bentuk angka-angka,
ada pula kejahatan yang tidak tercatat disebabkan oleh pelaku, korban, aparat penegak
hukum atau masyarakat yang mengetahui kejadian tersebut. Namun, urung tak
melaporkannya. Akan tetapi, dalam statistik kejahatan, data kejahatan yang telah
diperoleh dapat memprediksi kejahatan tersebut. yang masih tersembunyi
(terselubung).
a. Kejahatan Tercatat
Statistik kejahatan adalah angka-angka kejahatan yang terjadi di suatu
tempat dan waktu tertentu.
b. Kejahatan Terselubung (Hidden Crime)
Selisih antara jumlah kejahatan yang sebenarnya terjadi di masyarakat
dengan jumlah kejahatan yang diketahui oleh polisi disebut sebagai
kejahatan tersembunyi (hidden crime).
c. Pihak Kepolisian
d. Pihak masyarakat

2. Analisis Statistik Kejahatan


a. Crime Total (CT) adalah jumlah seluruh kejahatan tertentu (misalnya pencurian,
pembunuhan, penipuan dan lain-lain) di suatu tempat.
b. Crime Index (CI) adalah jenis kejahatan yang dianggap serius (pembunuhan,
penganiayaan, pemerkosaan dan lain-lain) dan jenis kejahatan yang sering terjadi
(pencurian biasa, penipuan dan lain-lain) yang menimbulkan keresahan
masyarakat.
c. Crime Clock (CC) adalah menunjukkan pada beberapa kali kejahatan yang terjadi
pada setiap jam. Misalnya pencurian di daerah A adalah 1 jam, 20 menit dan 15
detik (1j, 20c/, 15 c/c/) berarti dalam kurun waktu tersebut terjadi satu kali
pencurian.
d. Crime Clearence (CCI) adalah menunjukkan berapa jumlah perkara yang
dilaporkan ke kepolisian dan jumlah perkara yang diselesaikan/dilimpahkan ke
kejaksaan dalam kurun waktu tertentu.
e. Crime Rate (CR) adalah angka yang menunjukkan pada tingkat kerawanan suatu
jenis kejahatan pada suatu daerah (kota) dalam waktu tertentu.
f. Crime Anatomy (CA) adalah penguraian unsur-unsur suatu jenis kejahatan
misalnya penjambretan
g. Crime Pattern (CP) adalah perbandingan persentase antara berbagai jenis
kejahatan tertentu, seperti kejahatan kekerasan (violent crimes).

MODUL 5 KRIMINOLOGI
ALIRAN-ALIRAN DALAM KRIMINOLOGI

1. Aliran Spiritualisme
Dalam penjelasan tentang kejahatan, spiritualisme memiliki perbedaan
mendasar dengan metode penjelasan kriminologi yang ada saat ini. Berbeda dengan
teori-teori saat ini spiritualisme memfokuskan perhatiaannya pada perbedaan antara
kebaikan yang datang dari tuhan atau dewa dan keburukan yang datang dari setan.
Seseorang yang telah melakukan kejahatan dipandang sebagai orang yang terkena
bujukan setan (evil/demon).

2. Aliran Naturalisme
Perkembangan paham naturalisme yang muncul dari perkembangan ilmu alam
menyebabkan manusia mencari model penjelasan lain yang lebih rasional dan mampu
membuktikan secara ilmiah. Lahirnya rasionalisme di Eropa menjadikan pendekatan
ini mendominasi pemikiran tentang penyebab kejahatan.
Dalam perkembangan lahirnya teori-teori tentang kejahatan dapat dibagi beberapa
aliran yaitu :
a. Aliran Klasik
1. Individu dilahirkan dengan kehendak bebas (free will) hidup menentukan
pilihannya sendiri.
2. Dalam bertingkah laku, manusia memiliki kemampuan untuk
memperhitungkan segala tindakan berdasarkan keinginannya sendiri
(hedonisme).
3. Individu memiliki hak asasi diantaranya hak untuk hidup, kebebasan, dan
memiliki kekayaan.
4. Pemerintah negara dibentuk untuk melindungi hak-hak tersebut dan muncul
sebagai hasil perjanjian sosial antara yang diperintah dan yang memerintah.
5. Setiap warga neggara hanya menyerahkan sebagain dari hak asasinya kepada
negara sepanjang diperlukan oleh negara untuk mengatur masyarakat dan
demi kepentingan bagian terbesar dari masyarakat.
6. Kejahatan merupakan pelanggaran terhadap perjanjian sosial, oleh karena itu
kejahatan merupakan kejahatan moral.
7. Hukuman hanya dibenarkan selama hukuman itu ditujukan untuk memelihara
perjanjian sosial..
8. Setiap orang dianggap sama di muka hukum, oleh karena itu seharusnya
setiap orang diperlakukan sama.
b. Aliran Positvisme
Aliran positivis muncul sebagai ketidakpuasan dari jawaban-jawaban aliran
klasik, aliran yang berusaha menjelaskan mengapa seseorang bisa bertindak jahat.
Aliran ini bertolak pada pandangan bahwa perilaku manusia ditentukan oleh
faktorfaktor di luar kontrolnya baik yang berupa faktor biologik maupun yang
kultural. Aliran positivis terdiri atas dua bagian besar yakni pertama determinasi
biologis (biologist determinism) perilaku manusia sepenuhnya bergantung pada
pengaruh biologis yang ada dalam dirinya. Kedua determinasi kultural (cultural
determinism) mendasari pemikiran mereka pada pengaruh sosial, budaya, dan
lingkungan dimana seseorang itu hidup.
c. Aliran Social Defence
Aliran social defence yang dipelopori oleh Judge Marc Angel telah
mengembangkan suatu teori yang berlainan dengan aliran terdahulu. Munculnya
teori ini disebabkan oleh teori aliran positif klasik dianggap terlalu statis dan kaku
dalam menganalisis kejahatan yang terjadi dalam masyarakat
MODUL 6 KRIMINOLOGI
TEORI KRIMINOLOGI DALAM PERSPEKTIF BIOLOGIS

1. Born Criminal (Lahir Sebagai Penjahat)


Teori born criminal dari Cesare Lombroso (1835-1909) lahir dari ide yang
diilhami oleh teori Darwin tentang evolusi manusia. Disini Lombroso membantah
tentang sifat free will yang dimiliki manusia. Doktrin atavisme menurutnya mem
buktikan adanya sifat hewani yang diturunkan oleh nenek moyang manusia. Gen ini
dapat muncul sewaktu-waktu dari turunannya yang memunculkan sifat jahat pada
manusia modern. Lombroso menggabungkan postivism Comte, evolusi dari darwin
serta pionerpioner lain dalam studir tentang hubungan kejahatan dan tubuh manusia.
Bersama-sama pengikutnya Enrico Ferri dan Rafaele Gorofalo, Lombroso
membangun suatu orientasi baru yaitu Mazhab Italia atau mazhab positif yang
mencari penjelasan atas tingkah laku kriminal melalui eksperimen dan penelitian
ilmiah.

2. Tipe Fisik
Teori-teori kriminologi berdasarkan tipe fisik dikemukakan oleh Ernest
Kretchmer, William H. Sheldon dan Sheldon Glueck dan Eleanor Glueck.
Ernest Kretchmer, dari hasil penelitian Kretchmer terhadap 260 orang gila di
Jerman, mengidentifikasi empat tipe fisik yaitu :
a. Asthenic: kurus, bertubuh ramping, berbahu kecil yang berhubungan
dengan schizophrenia (gila).
b. Athletic: menenagh tinggi, kuat, berotot, bertulang kasar.
c. Pyknic: tinggi sedang, figur yang tegap, leher besar, wajah luas yang
berhubungan dengan depresi.
d. Tipe campuran yang tidak terklasifikasi.

William H. Sheldon, Sheldon berpendapat bahwa ada korelasi yang tinggi


antara fisik dan temperamen seseorang. Sheldon memformulasikan sendiri kelompok
somatotypes yaitu :
a. The endomorph (tubuh gemuk);
b. The mesomorph (berotot dan bertubuh atletis);
c. The ectomporrph (tinggi, kurus, fisik yang rapuh).
MODUL 6 KRIMINOLOGI
TEORI KRIMINOLOGI DALAM PERSPEKTIF BIOLOGIS

1. LEARNING DISABILITIES
Disfungsi otak dan cacat neurologist secara umum ditemukan pada mereka
yang menggunakan kekerasan secara berlebihan dibanding orang pada umumnya.
Banyak pelaku kejahatan kekerasan kelihatannya memiliki cacat di dalam otaknya
dan berhubungan dengan terganggunya self-control. Deliquent cenderung memiliki
problem neurologis dibandingkan dengan non delinquent. Juga ada beberapa bukti
bahwa orang tua dari anak-anak delinquent memiliki problem neurologis
dibandingkan orang tua anak-anak non delinquent, sehingga ada kemungkinan faktor
genetika berhubungan dengan kekerasan dari orang tua.

2. Faktor Genetik
Faktor genetik dibagi menjadi 3 golongan berdasarkan twin studies, adoption studies
dan the xyy syndrome:
a. Twin Studies, Karl Cristiansen dan Sanoff A.Mednick melakukan suatu studi
terhadap 3.586 pasangan kembar. Mereka menemukan bahwa pada identical twins
(kembar yang dihasilkan dalam satu telur yang dibuahi yang membelah menjadi 2
embrio) jika pasangannya melakukan kejahatan, maka 50% pasangannya juga
melakukan, sedangkan pada fraternal twins (kembar yang dihasilkan dari 2 telur
yang terpisah) keduanya dibuahi pada saat bersamaan angka tersebut hanya 20%.
b. Adoption Studies, satu jalan untuk memisahkan pengaruh dari sifat-sifat yang
diwariskan dengan pengaruh dari kondisi lingkungan adalah dengan melakukan
studi terhadap anak-anak yang sejak lahirnya dipisahksn dari orang tua aslinya
dan ditempatkan pada keluarga angkat
c. The XYY Syndrome, Kromosom merupakan struktur dasar yang mengandung gen
kita, suatu materi biologis yang membuat masingmasing kita berbeda. Setiap
manusia memiliki 23 pasang kromosom yang diwariskan. Satu pasang kromosom
menentukan gender (jenis kelamin).
MODUL 7 KRIMINOLOGI
TEORI KRIMINOLOGI DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGIS

1. Teori Psikoanalisis
Teori psikoanalisis tentang kriminalitas menghubungkan delinquet dan
perilaku kriminal dengan suatu “conscience” (hati nurani) yang baik, dia begitu kuat
sehingga menimbulkan perasaan bersalah atau ia begitu lemah sehingga tidak dapat
mengontrol dorongan-dorongan dirinya bagi suatu kebutuhan yang harus dipenuhi
segera. Sigmund Freud (1856-1939), penemu dari psychoanalysis, berpendapat bahwa
kriminalitas mungkin hasil dari “an overactive conscience” yang menghasilkan
perasaan bersalah yang tidak tertahankan untuk melakukan kejahatan dengan tujuan
agar ditangkap dan dihukum. Begitu dihukum maka perasaan mereka akan mereda

2. Toeri Kekacauan Mental (Mental Disorder Theory)


Meskipun perkiraannya berbeda-beda, namun berkisar antara 20 hingga 60
persen penghuni lembaga pemasyarakatan mengalami satu tipe mental disorder
(kekacauan mental). Keadaan seperti ini digambarkan oleh seorang dokter Perancis
bernama Philippe Pinel sebagai manie sans delire (madness without confusion) atau
oleh dokter Inggris bernama James C. Prichard sebagai “moral insanity”, dan oleh
Gina Lomroso-Ferrero sebagai “irresistible atavistic impulses”. Pada dewasa ini
penyakit mental ini disebt sebagai psychopathy atau antisocial personality (suatu
keperibadian yang ditandai oleh suatu ketidakmampuan belajar dari pengalaman,
kurang kehangatan/keramahan dan tidak merasa bersalah).
MODUL 7 KRIMINOLOGI
TEORI KRIMINOLOGI DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGIS

1. Teori Pengembangan Moral


Psikolog Lawrence Kohlberg, pioneer dari teori pengembangan moral
menemukan bahwa pemikiran moral tumbuh dalam tiga tahapan. Pertama,
preconventional stage atau tahap pra-konensional. isini aturan moral dan nilainilai
moral anak terdiri atas “lakukan” dan “angan lakukan” untuk menhindari hukuman.
enurut teori ini anak-anak di bawah umur 9 hingga 11 tahun biasanya berpikir pada
tingkatan pra-konvensional ini. Remaja biasanya berpikir pada conventional level
(tingkatan konvensional). Pada tingkatan ini, seorang individu menyakini dan
mengadopsi nilai-nilai dan aturan masyarakat. Lebih jauh lagi mereka berusaha
menegakkan aturan-aturan itu. ereka biasana berpikir “mencuri itu tidak sah sehingga
saa tidak seharusna mencuri dalam kondisi apapun”

2. Teori Pembelajaran Sosial


Teori pembelajaran sosial ini berpendirian bahwa perilaku deliquent dipelajari
melalui proses psikologis yang sama sebagaimana semua perilaku nondeliquent.
Tingkah laku dipelajari jika ia diperkuat atau diberi ganjaran dan tidak dipelajari jika
ia tidak diperkuat. Ada beberapa jalan kita mempelajari tingkah laku : melakukan
observasi (observation), pengalaman langsung (direct exposure), dan penguatan yang
berbeda (differential reinforcement).
a. Observational Learning
Tokoh utama social learning theory ini adalah Albert Bandura
berpendapat bahwa individu-individu mempelajari kekerasan dan agresi
melalui behavioral modelling, anak belajar bagaimana bertingkah laku
melalui peniruan tingkah laku orang lain. Jadi tingkah laku secara sosial
ditransmisikan melalui contoh-contoh yang terutama datang dari keluarga,
sub-budaya dan media massa. Para psikolog telah mempelajari dampak
dari kekerasan keluarga terhadap anak-anak. Mereka mendapati bahwa
orang tua yang mencoba memecahkan kontroversi-kontroversi
keluarganya dengan kekerasan telah mengajari anakanak mereka untuk
menggunakan taktik serupa yaitu kekerasan.
b. Direct Experience
Gerard Patterson dan kawan-kawannya menguji bagaimana agresi
dipelajari melalui pengalaman langsung (direct experience). Mereka
melihat bahwa anak-anak yang bermain secara pasif sering menjadi korban
anak-anak lainnya tetapi kadang-kadang berhasil mengatasi serangan itu
dengan agresi balasan.
c. Differential Association Reinforcement
Ernest Burgess dan Ronald Akers menggabungkan learning theory dari
Bandura yang berdasarkan psikologi dengan teori differential association
dari Edwin Sutherland yang berdasarkan sosiologi dan kemudian
menghasilkan teori differential association reinforcement. Menurut teori
ini berlangsung terusnya tingkah laku kriminal tergantung ada apakah ia
diberi penghargaan atau diberi hukuman.
MODUL 8 KRIMINOLOGI
TEORI KRIMINOLOGI DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS

1. Latar Belakang Lahirnya Teori Kriminologi dari Perspektif Sosiologis


Teori-teori dari perspektif biologis dan psikologis sama-sama memiliki asumsi
bahwa tingkah laku kriminal disebabkan oleh beberapa kondisi fisik dan mental yang
mendasari yang memisahkan penjahat dan bukan penjahat. Mencari, mencoba
mengindentifikasikan macam manusia mana yang menjadi penjahat dan mana yang
bukan. Teori-teori tersebut menjelajah kepada kasus-kasus individu tetapi tidak
menjelaskan mengapa angka kejahatan berbeda antara satu daerah dengan daerah lain,
antara satu kelompok dengan kelompok lain, di dalam satu wilayah yang luas atau di
dalam kelompokkelompok individual. Perspektif strain dan penyimpangan budaya
terbentuk antara 1925 dan 1940 dan masih populer hingga hari ini memberi landasan
bagi teori-teori sub cultural. Teori-teori strain dan penyimpangan budaya memusatkan
perhatian pada kekuatan-kekuatan sosial (social forces) yang menyebabkan orang
melakukan aktivitas kriminal. Teori-teori strain dan penyimpangan budaya keduanya
berasumsi bahwa kelas sosial dan tingkah laku kriminal berhubungan tetapi berbeda
dalam hal sifat hubungan tersebut. Para penganut teori strain beranggapan bahwa
seluruh anggota masyarakat mengikuti satu set nilai-nilai budaya yaitu nilai-nilai
budaya dari kelas menengah

2. Teori Anomie
a. Emile Durkheim
Ahli sosiologi Perancis Emile Durkheim (1858-1917), menekankan pada
“normlessness, lessens social control” yang berarti mengendrornya pengawasan
dan pengendalian sosial yang berpengaruh terhadap terjadinya kemerosotan
moral, yang menyebabkan individu sukar menyesuaikan diri dalam perubahan
norma, bahkan kerapkali terjadi konflik norma dalam pergaulan. Dikatakan oleh
Durkheim bahwa tren sosial dalam masyarakat industri perkotaan modern
mengakibatkan perubahan norma, kebingungan dan berkurangnya kontrol sosial
atas individu. Individualisme meningkat dan timbul berbagai gaya hidup baru,
yang besar kemungkinan menciptakan kebebasan yang lebih luas disamping
mening katkan kemungkinan perilaku yang menyimpang seperti kebebasan seks
di kalangan anak muda. kebebasan seks di kalangan anak muda. Satu cara dalam
mempelajari masyarakat adalah dengan melihat pada bagianbagian komponennya
dalam usaha mengetahui bagaimana masingmasing berhubungan satu sama lain
Menurut Durkheim, penjelasan tentang perbuatan manusia tidak terletak pada diri
si individu tetapi terletak pada kelompok dan organisasi sosial. Dalam konteks
inilah Durkheim memperkenalkan istilah anomie sebagai hancurnya keteraturan
sosial sebagai akibat hilangnya patokan-patokan dan nilai-nilai. Anomie dari teori
Durkheim juga dipandang sebagai kondisi yang mendorong sifat individualistis
(memenangkan diri sendiri/egois) yang cenderung melepas-kan pengendalian
sosial. Keadaan ini akan diikuti dengan perilaku menyimpang dalam pergaulan
masyarakat
b. Robert Merton
Robert Merton dalam “social theory and social structure” pada tahun 1957
yang berkaitan dengan teori anomie Durkheim mengemukakan bahwa anomie
adalah suatu kondisi manakala tujuan tidak tercapai oleh keinginan dalam
interaksi sosial. Dengan kata lain anomie is a gap between goals and means
creates deviance. Tetapi konsep Merton tentang anomie agak berbeda dengan
konsep Durkheim. Masalah sesungguhnya tidak diciptakan oleh sudden social
change tetapi oleh social stucture yang menawarkan tujuan-tujuan yang sama
untuk mencapainya. Teori anomie dari Merton menekankan pentingnya dua unsur
penting di setiap masyarakat, yaitu cultural aspiration atau culture goals dan
institusionalised means atau accepted ways, dan disparitas antara tujuan dan
sarana inilah yang memberikan tekanan (strain). Berdasarkan perspektif tersebut
struktur sosial merupakan akar dari masalah kejhaatan (a structural explanation).
Teori ini berasumsi bahwa orang itu taat hukum dan semua orang dalam
masyarakat memiliki tujuan yang sama (meraih kemakmuran), akan tetapi dalam
tekanan besar mereka akan mela-kukan kejahatan.
c. Cloward dan Ohlin
Teori anomie versi Cloward dan Ohlin menekankan adanya differential
oppurtunity, dalam kehidupan dan stuktur masyarakat. Dalam bukunya mereka
berkata “bahwa pada kaum muda kelas bawah akan cenderung memilih satu tipe
subkultural lainnya (gang) yang sesuai dengan situasi anomie mereka dan
tergantung pada adanya struktur peluang melawan hukum dalam lingkungan
mereka”.
d. Cohen
Teori anomie Cohen disebut Lower Class Reaction Theory. Inti teori ini
adalah delinkuensi timul dari reaksi kelas bawah terhadap nilai-nilai kelas
menengah yang dirasakan oleh remaja kelas bawah sebagai tidak adil dan harus
dilawan.
e. Kritik terhadap Teori Anomie
Traub dan ittle (1975) memberikan kritiknya sebagai berikut : teori anomie
tampaknya beranggapan bahwa di setiap masyarakat terdapat nilai-nilai dan
normanorma yang dominan yang diterima sebagian besar masyarakatnya dan teori
ini tidak menjelaskan secara memadai mengapa hanya individu-individu tertentu
dari golongan masyarakat bawah yang melakukan penyimpangan. Analisis
Merton sama sekali tidak mempertimbangkan aspek-aspek interaksi pribadi untuk
menjadi deviant dan juga tidak memperhatikan hubungan erat antara kekuatan
sosial dengan kecenderungan bahwa seseorang akan memperoleh cap secara
formal sebagai deviant

MODUL 8 KRIMINOLOGI
TEORI KRIMINOLOGI DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS

1. Teori-Teori Penyimpangan Budaya (Cultural Deviance Theories)


Cultural deviance theories terbentuk antara 1925 dan 1940, teori ini
memusatkan perhatian kepada kekuatan-kekuatan sosial (social forces) yang
menyebabkan orang melakukan aktivitas kriminal. Culture deviance theories
memandang kejahatan sebagai seperangkat nilai-nilai pada lower class. Proses
penyesuaian diri dengan sistem nilai kelas bawah yang menentukan tingkah laku di
daerah-daerah kumuh, menyebabkan benturan dengan hukum-hukum masyarakat.
Tiga teori utama dari cultural deviance theories adalah :
a. Social Disorganization;
Social disorganization theory memfokuskan diri pada perkembangan
areaarea yang angka kejahatannya tinggi yang berkaitan dengan
disintegrasi nilai-nilai konvensional yang disebabkan oleh industrialisasi
yang cepat, peningkatan imigrasi dan urbanisasi. Menurut Thomas dan
Znaniecky bahwa lingkungan yang disorganized secara sosial dimana
nilai-nilai dan tradisi konvensional tidak ditransmisikan dari satu generasi
ke generasi berikutnya. Park dan Burgess mengembangkan lebih lanjut
studi tentang social disorganization dari Thomas dan Znaniecky dengan
mengintroduksi analisis ekologis dari masyarakat manusia. Penemuan ini
berkesimpulan bahwa faktor paling krusial (menentukan) bukanlah
etnisitasi melainkan posisi kelompok di dalam penyebaran status ekonomi
dan nilai-nilai budaya. Yang selanjutnya menunjukkan bahwa cultural
transmition adalah “delinquency was socially learned behavior, transmitted
from one generation to the next generation in disorganized urban areas”
(delinquensi adalah perilaku sosial yang dipelajari, yang dipindahkan dari
generasi yang satu ke generasi berikutnya pada lingkungan kota yang tidak
teratur).
b. Differential association;
Differential association theory memegang pendapat bahwa orang
belajar melakukan kejahatan sebagai akibat hubungan (contact) dengan
nilai-nilai dan sikapsikap antisosial serta pola-pola tingkah laku kriminal.
Sutherland membangun pemikiran yang lebih sistematis dibanding Shaw
dan Mckay dalam mengamati bahwa nilai-nilai delinquent ditransmisikan
dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sutherland menemukan istilah
differential association untuk menjelaskan proses belajar tingkah laku
kriminal melalui interaksi sosial itu. Setiap orang menurutnya mungkin
saja melakukan kontak (hubungan) dengan “definitions favorable to
violation of law‘ atau dengan “definitions unfavorable to violation of law”.
Rasio dari defenisi-defenisi atau pandangan-pandangan tentang kejaha-tan
ini apakah pengaruh-pengaruh kriminal atau non-kriminal lebih kuat dalam
kehidupan seseorang menentukan ia menganut atau tidak kejahatan
sebagai satu jalan hidup yang diterima. Dengan kata lain rasion dari
defenisi-defenisi (kriminal terhadap non kriminal) menentukan apakah
seseorang akan terlibat dalam tingkah laku kriminal.
c. Cultural conflict.
Cultural Conflict Theory menjelaskan keadaan masyarakat dengan ciri-
ciri yaitu kurangnya ketetapan dalam pergaulan hidup dan sering terjadi
pertemuan normanorma dari berbagai daerah yang satu sama lain berbeda
bahkan ada yang saling bertentangan. Menurut Thorsen Selllin, conduct
norms (norma-norma yang mengatur kehidupan kita sehari-hari)
merupakan aturan-aturan yang merefleksikan sikap-sikap dari kelompok-
kelompok yang masing-masing dari kita memilikinya. Tujuan dari norma-
norma tersebut adalah untuk mendefinisikan apa yang dianggap tingkah
laku tak pantas atau abnormal. Menurut Sellin, setiap kelompok
masyarakat memiliki conduct norms-nya sendiri dan bahwa conduct norms
dari satu kelompok mungkin bertentangan dengan conduct norms
kelompok lain. Sellin membedakan antara konflik primer dan konflik
sekunder, dimana konflik primer terjadi ketika norma-norma dari dua
budaya bertentangan (clash) sedangkan konflik sekunder muncul jika suatu
budaya berkembang menjadi budaya yang berbedabeda masing-masing
memiliki perangkat conduct normsnya sendiri. Konflik ini terjadi ketika
satu masyarakat homogen atau sederhana menjadi masyarakat-masyarakat
yang kompleks dimana sejumlah kelompokkelompok sosial berkembang
secara konstan dan norma-norma seringkali tertinggal.

2. Teori Kontrol Sosial (Social Control Theory)


Pengertian teori kontrol atau control theory merujuk pada setiap perspektif
yang membahas ihwal pengendalian tingkah laku manusia. Sementara itu pengertian
teori kontrol sosial merujuk kepada pembahasan delinquency dan kejahatan yang
dikaitkan dengan variabel-variabel yang bersifat sosiologis, antara lain struktur
keluarga, pendidikan dan kelompok dominan. Konsep kontrol sosial lahir pada
peralihan abad 20 puluh dalam satu volume buku dari E.A. Ross, salah seorang bapak
Sosiologi Amerika. Kontrol sosial dikaji dari perspektif makro maupun mikro.
Macrosocilogical studies menjelajah sistem-sistem formal untuk mengontrol
kelompok-kelompok. Sistem formal tersebut antara lain : (1) sistem hukum, undang-
undang dan penegak hukum; (2) kelompok-kelompok kekuatan di masyarakat; (3)
arahanarahan sosial dan ekonomi dari pemerintah atau kelompok swasta. Jenis-jenis
kontrol ini dapat menjadi positif maupun negatif. Positif apabila dapat merintangi
orang dari melakukan tingkah laku yang melanggar hukum. Negatif apabila
mendorong penindasan, membatasi atau melahirkan korupsi dari mereka yang
memilki kekuasaan

MODUL 9 KRIMINOLOGI
TEORI-TEORI KRIMINOLOGI DARI PERSPEKTIF LAIN

1. Latar Belakang Lahirnya Teori Kriminologi dari Perspektif Lain


Teori-teori dari perspektif lainnya ini merupakan suatu alternatif penjelasan
terhadap kejahatn yang berbeda dengan dua perspektif sebelumnya yang dianggap
sebagai traditional explanations. Para kriminolog dari perspektif ini ber alih dari
teoriteori yang menjelaskan kejahatan dengan melihat kepada sifat-sifat pelaku atau
kepada sosial. Mereka justru berusaha menunjukkan bahwa orang menjadi kriminal
bukan karena cacat/kekurangan internal tetapi karena apa yang dilakukan oleh orang-
orang yang berada dalam kekuasaan, khususnya mereka yang berada dalam sistem
peradilan pidana. Penjelasan alternatif ini secara tegas menolak model konsensus
tentang kejahatan dimana semua teori sebelumnya (baik dari mazhab klasik maupun
positif berada).

2. Teori Labeling
Para penganut labeling theory memandang para kriminal bukan sebagai orang
yang bersifat jahat (evil) yang terlibat dalam perbuatan-perbuatan bersifat slah tetapi
mereka adalah individu-individu yang sebelumnya pernah berstatus jahat sebagai
pemberian sistem peradilan pidana maupun masyarakat secara luas. Dipandang dari
perspektif ini, perbuatan kriminal tidak sendirinya signifikan, justru reaksi sosial
ataslah yang signifikan.
a. Becker
Melihat kejahatan itu melihat kejahatan itu sering kali bergantung pada
mata si pengamat karena anggota-anggota dari kelompok-kelompok yang
berbeda memiliki perbedaan konsep tentang apa yang disebut baik dan
layak dalam situasi tertentu.
b. Howard
Berpendapat bahwa teori labeling dapat dibedakan dalam dua bagian
yaitu: a. persoalan tentang bagaimana dan mengapa seseorang memperoleh
cap atau label dan b. efek labeling terhadap penyimpangan tingkah laku
berikutnya. Persoalan pertama dari labeling adalah memberikan label/cap
kepada seseorang yang sering melakukan kenakalan atau kejahatan.
Labeling dalam arti ini adalah labeling sebagai akibat dari reaksi
masyarakat. Persoalan labeling yang kedua (efek labeling) adalah
bagaimana labelling mempengaruhi seseorang yang terkena label/cap.
Persoalan ini memperlakukan labelling sebagai variabel yang independent
atau variabel bebas. Dalam kaitan ini terdapat dua proses bagaimana
labeling mempengaruhi seseorang yang terkena label/cap untuk melakukan
penyimpangan tingkah lakunya.
c. Scharg
Dua konsep penting dalam teori labeling adalah primary deviance dan
secondary deviance. Primary deviance ditujukan kepada perbuatan
penyimpangan tingkah laku awal, sedangkan secondary deviance adalah
berkaitan dengan reorganisasi psikologis dari pengalaman seseorang
sebagai akibat dari penangkapan dan cap sebagai penjahat. Sekali cap ini
dilekatkan pada seseorang, maka sangat sulit orang yang bersangkutan
untuk selanjutnya melepaskan diri sari cap dimaksud dan kemudian akan
mengidentifikasi dirinya dengan cap yang telah diberikan masyarakat
terhadap dirinya. Apabila demikian halnya, proses penyimpangan tingkah
laku atau deviant behavior, “haveng been created in society by control
agencies representing the interest of dominant groups.
d. Frank Tannembaum
Menanamkan proses pemasangan label tadi kepada si penyimpang
sebagai dramatisasi sesuatu yang jahat/kejam. Ia memandang proses
kriminalisasi ini sebagai proses memberikan label, menentukan, mengenal
(mengidentifikasi), menguraikan, menekankan/menitikberatkan, membuat
sadar, atau sadar sendiri, kemudian menjadi cara untuk menetapkan ciri-
ciri khas sebagai penjahat.
e. Edwin Lemmert
Lemert mengelaborasi pendapat Tannenbaum dengan
memformulasikan asumsi-asumsi dasar dari labeling theory. Lemert
membedakan dua jenis tindakan menyimpang : penyimpangan primer
(primary deviations) dan penyimpangan sekunder (secondary deviations).

3. Teori Konflik
Teori konflik lebih mempertanyakann proses pembuatan hukum. Pertarungan
(struggle) untuk kekuasaan merupakan suatu gambaran dasar eksistensi manusia.
Dalam arti pertarungan kekuasaan itulah bahwa berbagai kelompok kepentingan
berusaha mengontrol pembuatan dan penegakan hukum. Untuk memahami
pendekatan atau teori konflik ini, kita perlu melihat model tradisional yang
memandang kejahatan dan peradilan pidana sebagai lahir dari konsensus masyarakat
(communal consensus). Menurut model konsensus, anggota masyarakat pada
umumnya sepakat tentang apa yang benar dan apa yang salah, dan bahwa intisari dari
hukum merupakan kodifikasi nilai-nilai sosial yang disepakati tersebut. Sedangkan
model konflik, mempertanyakan tidak hanya proses dengan mana seseorang menjadi
kriminal, tetapi juga tentang siapa di masyarakat yang memiliki kekuasaan (power)
untuk membuat dan menegakkan hukum. Perspektif konflik meliputi beberapa variasi
sebagai berikut:
a. Teori Asosiasi Terkoordinir Secara Imperatif (Kaharusan)
Ralf Dahrendorf (1959) merumuskan kembali teori marxis mengenai
konflik kelas yang lebih pluralistik, dimana banyak kelompok bersaing
untuk kekuataan, pengaruh, dan dominasi.
b. Teori pluralistik model George Vold
George Vold mengemukakan bahwa masyarakat itu terdiri dari berbagai
macam kelompok kepentingan yang harus bersaing, dan bahwa konflik
merupakan salah satu unsurnya yang esensial/penting dengan kelompok-
kelompok yang lebih kuat, mampu membuat negara merumuskan undang-
undang/hukum demi kepentingan mereka
c. Teori Austin Turk (kriminal terdiri dari kelompok-kelompok yang lebih
kuat).
Turk adalah seorang tokoh penulis perspektif kriminologi konflik,
mengetengahkan proposisi teori hukum pidana yang diterapkan
kelompokkelompok yang lebih kuat (more powerpul groups define
criminal law)

4. Teori Radikal (Kriminologi Kritis)


Pada dasarnya perspektif krimnologi yang mengetengahkan teori radikal yang
berpendapat bahwa kapitalisme sebagai kausa kriminalitas yang dapat dikatakan
sebagai aliran Neo-Marxis. Dua teori radikal yaitu:
a. Richard Quinney
Menurut Richard Quinney beranggapan kejahatan adala akibat dari
kapitalisme dan problem kejahatan hanya dapat dipecahkan melalui
didirikannya negara sosialis
b. William Chamblis
Menurut Chamblis ada hubungan antara kapitalisme dan kejahatan yaitu :
1. Dengan diindustrialisasikannya masyarakat kapitalis, dan celah antara
golongan borjuis dan proletariat melebar, hukum pidana akan berkembang
dengan usaha memaksa golongan ploteriat untuk tunduk.
2. Mengalihkan perhatian kelas golongan rendah dari eksploitasi yang
mereka alami.
3. Masyarakat sosialis akan memiliki tingkat kejahatan yang lebih rendah
karena dengan berkurangnya kekuatan perjuangan kelas akan mengurangi
kekuatan-kekuatan yang menjurus kepada fungsi kejahatan
MODUL 10 KRIMINOLOGI
UPAYA-UPAYA PENANGGULANGAN KEJAHATAN DAN TUJUAN PEMIDANAAN

1. Upaya Penanggulangan Kejahatan (Criminal Prevention)


Penanggulangan kejahatan empirik terdiri atas tiga bagian pokok yaitu :
a. Pre-Emtif
Yang dimaksud dengan upaya pre-emtif disini adalah upaya-upaya awal yang
dilakukan oleh pihak kepolisian untuk mencegah terjadinya tindak pidana. Usaha-
usaha yang dilakukan dalam penanggulangan kejahatan secara pre-emtif adalah
menanamkan nilai-nilai/norma-norma yang baik sehingga norma-norma tersebut
terinternalisasi dalam diri seseorang. Meskipun ada kesempatan melakukan
pelanggaran/kejahatan tapi tidak adanya niatnya untuk melakukan hal tersebut
maka tidak akan terjadi kejahatan.
b. Preventif
Upaya-upaya preventif ini adalah merupakan tindak lanjut dari upaya preemtif
yang masih dalam tataran pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Dalam
upaya preventif yang ditekankan adalah menghilangkan kesempatan untuk
dilakukannya kejahatan
c. Represif
Upaya ini dilakukan pada saat telah terjadi kejahatan yang tindakannya berupa
penegakan hukum (law enforcement) dengan menjatuhkan hukuman.

2. Tujuan Pemidanaan
Pidana dipandang sebagai suatu nestapa yang dikenakan kepada pembuat
karena melakukan suatu delik. Ini bukan merupakan tujuan akhir tetapi tujuan
terdekat, inilah perbedaan antara pidana dan tindakan karena dapat berupa nestapa
juga, tetapi bukan tujuan. Tujuan akhir pidana dan tindakan dapat menjadi satu yaitu
memperbaiki pembuat. Sementara yang dimaksud dengan pemidanaan adalah
tindakan yang diambil oleh hakim untuk memidana seorang terdakwa sebagaimana
yang dikemukakan oleh Sudarto : menetapkan hukum atau memutuskan tentang
hukumannya (berschen) menetapkan hukum untuk suatu peristiwa itu tidak hanya
menyangkut hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata. dengan politik
hukum pidana dimana harus diarahkan kepada perlindungan masyarakat dari
kesejahteraan serta keseimbangan dan keselarasan hidup dengan memperhatikan.
Berkaitan dengan pemidanaan, maka muncullah beberapa teori tujuan dijatuhkannya
hukuman (tujuan pemidanaan) yaitu:
a. Teori Absolut atau Teori Pembalasan (vergeldings theorien)
Aliran ini menganggap sebagai dasar dari hukum pidana adalah alam
pikiran untuk pembalasan (vergelding atau vergeltung). Teori ini
diperkenalkan pada akhir abad 18 dan mempunyai pengikut seperti
Immanuel Kant, Hegel, Herbart, Stahl dan Leo polak. Menurut Kant
bahwa pembalasan atau suatu perbuatan melawan hukum adalah suatu
syarat mutlak menurut hukum dan keadilan, hukuman mati terhadap
penjahat yang melakukan pembunuhan berencana mutlak dijatuhkan
b. Teori Relatif atau Teori Tujuan (doel theorien)
Teori ini memberikan dasar pemikiran bahwa dasar hukum pidana adalah
teletak pada tujuan pidana itu sendiri. Oleh karena pidana itu mempunyai
tujuantujuan tertentu, maka disamping tujuan lainnya terdapat pula tujuan
pokok berupa mempertahankan ketertiban masyarakat (dehandhaving der
maatshappeljikeorde).
c. Teori Gabungan (vernegins theorien)
Disamping Teori absolut dan teori relatif tentang pemidanaan, muncul
teori ketiga yang di satu pihak mengakui adanya unsur pembalasan dalam
hukum pidana, akan tetapi di pihak lain juga mengakui pula unsur prevensi
dan unsur memperbaiki penjahat yang melekat pada tiap pidana. Grotius
mengembangkan teori gabungan yang menitikberatkan keadilan mutlak
yang diwujudkan dalam pembalasan, tetapi yang berguna bagi marakat.
Dasar tiap-tiap pidana ialah penderitaan yang berat sesuai dengan beratnya
perbuatan yang dilakukan oleh terpidana. Teori gabungan yang kedua
yaitu menitikberatkan pertahanan tata tertib masyarakat. Teori ini tidak
boleh lebih berat daripada yang ditimbulkannya dan gunanya juga tidak
boleh lebih besar daripada yang seharusnya.
MODUL 11 KRIMINOLOGI
STUDI KASUS PROSTITUSI DALAM PERSPEKTIF KRIMINOLOGI

1. Kriminologi dan Fenomena Pelacuran


Mempelajari dan menganalisis fenomena pelacuran harus didasari terlebih
dahulu dengan pemahaman yang mendalam tentang kriminologi itu sendiri, berbagai
jenis kejahatan, etiologi kejahatan, hingga reaksi masyarakat atas kejahatan tersebut.
Fenomena pelacuran telah banyak diangkat dalam layar lebar seperti film Ranjang
siang ranjang malam di era 1970 an titik banyak pula fenomena pelacuran dikisahkan
dalam beberapa novel seperti bekisar merah karya Ahmad Tohari Terusir karya Buya
HAMKA. Memang yang demikian hanyalah film dan novel yang sifatnya fiksi,
namun tidak dapat dipungkiri kalau bahan ceritanya banyak berangkat dari realitas
sosial. Paling tidak dengan bekal pengetahuan kriminologi lalu dikombinasikan
dengan novel Terusir karya Hamka kita dapat menemukan sebab dan akibatnya terjadi
pelacuran. Novel ini menarik pula dibaca untuk mereka yang memiliki pengetahuan
hukum Sebab di dalam ceritanya memantaskan sidang pengadilan bagi seorang ibu
yang terusir dari keluarganya, hidup miskin, menikah dengan seorang penjudi, hingga
terjerumus dalam dunia prostitusi karena tidak ada jalan lain yang menjadi pilihan
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan belajar kriminologi kita akan menjadi
manusia memiliki keinginan bijak dalam memandang permasalahan titik demikianlah
manfaat pribadi yang dapat diperoleh dalam mempelajari dan menekuni kriminologi.
Hasil penelitian Soedjono D dalam bukunya pelacuran melalui salah satu wawancara
dengan seorang pelacur bisa memberikan gambaran kalau Betapa sulitnya kehidupan
pelacuran. Prostitusi dengan berbagai kondisi yang melatarinya ekonomi psikologi,
poin yang diemban bagi kriminolog menjadi penting dalam formulasi ketentuan
pidana tentang pelacuran. Pertama Pasal 296, Pasal 297, Pasal 507 KUHP yang
hanya menjerat pidana bagi germo, mucikari dan pedagang wanita, tetapi tidak untuk
pelacurnya rasio regisnya terletak pada mereka yang memegang kendali atau dominan
dalam memelihara pelacuran, dialah yang menyediakan penawaran itu titik demikian
pula dalam pelaksanaannya, sebagai akibat dari adanya pelacuran jelas berasal dari
germo, mucikari, dan pedagang wanita dalam berbagai jenis dan cara, wajar adanya
untuk dianggap sebagai tindakan kriminal.

2. Pengertian Pelacuran
Prostitusi atau pelacuran bukanlah hal baru yang terjadi pada hari ini, bahkan
mewarnai berbagi sama hingga melintasi generasi titik kita bisa menemui berbagai
cerita tentang pelacuran dalam beberapa buku yang pernah ditulis oleh Lip Wijayanto
(Fresh Chicken ), atau yang ditulis oleh Moamar Emka (Jakarta Undercover )
mengenai kondisi peraturan, lengkap dengan segala mutasinya, bahkan modus
operandinya. Soal Siapa yang melayani dan siapa yang mencari pelayanan seksual
tetap sama model, seperti yang dulu, hanya yang berubah mungkin tempatnya
dulunya rumah reog sekarang kebanyakan wanita wanita pelacur dihimpun dalam
tempat mewah ( seperti losmen, panti pijat hotel, dan klub malam). Keberhasilan
memberantas pelacuran, nyatanya tidak gampang seperti yang dipikirkan atau sekedar
membalikkan telapak tangan, sebab berbagai penyebab orang terjerumus dalam dunia
gemerlap itu, bukan hanya ditentukan oleh suatu faktor seperti kemiskinan saja. Kata
pelacuran berasal dari bahasa latin” prostitution” yang selanjutnya diadaptasi dalam
bahasa Indonesia” prostitusi.” Secara sederhana, dapat diartikan sebagai perilaku
terang-terangan menyerahkan diri pada” Perzinahan” tanpa adanya ikatan
perkawinan. Untuk lebih memahami fenomena pelacuran sebagai gejala sosial yang
juga menjadi lapangan kajian kriminologi, berikut beberapa uraian mengenai
pelacuran sebagaimana sebelumnya telah dihimpun oleh Soedjono D (199: 17-18)

a. W.A. Bonger: Prostitusi adalah gejala sosial, ketika wanita menyediakan


dirinya untuk perbuatan seksual sebagai mata pencahariannya
b. Iwan Bloch: pelacuran adalah suatu bentuk tertentu dari Perhubungan
kelamin diluar perkawinan, dengan pola tertentu yaitu kepada siapapun
secara terbuka, hampir dengan selalu pembayaran, baik untuk
persebadanan, maupun kegiatan seks lainnya yang memberi kepuasan
yang diinginkan oleh bersangkutan;
c. Commenge: prostitusi adalah suatu perbuatan ketika seorang wanita
memperdagangkan atau menjual tubuhnya, yang dilakukan untuk
memperoleh pembayaran dari laki-laki yang datang membayarnya; dan
wanita tersebut tidak ada pencaharian nafkah lainnya dalam hidupnya,
kecuali yang diperolehnya Perhubungan sebentar-sebentar dengan banyak
orang;
d. Walter. C. Rechless: aturan tidak terbatas pada persebadanan dan
hubungan kelamin semata, melainkan juga berbagai bentuk pemuasan seks
lainnya;
e. George Ryley Scott: pelacuran adalah seorang laki-laki atau perempuan
yang karena semacam uupa, baik berupa uang atau lainnya, atau karena
semacam bentuk kesenangan pribadi dan sebagai bagian atau seluruh
pekerjaannya, mengadakan hubungan kelamin yang normal atau tidak
normal dengan berbagai-bagai orang, yang sejenis atau yang berlawanan
jenis dengan pelacur;
f. Paul Moedikono Moeliono: pelacuran adalah penyerahan badan wanita
dengan menerima bayaran kepada orang banyak guna pemuasan nafsu
seksual orang-orang tersebut.

3. Pelacuran Sebagai Masalah Sosial


Berbicara masalah pelacuran di Indonesia akan langsung menyinggung
susunan masyarakat, harga perempuan, dan masalah moral. Meskipun pelacuran
menurut hukum positif di Indonesia masih kontroversi tentang legal tidaknya.
Sebagian ahli berpendapat bahwa pelacuran merupakan Kejahatan akan tetapi ada
juga yang berpendapat bahwa wa ke lajuran bukanlah kejahatan titik terlepas dari itu
semua pelacuran adalah sebuah masalah sosial. Kesejahteraan sosial yang dimaksud,
yakni adanya standar-standar tertentu yang diberikan untuk menentukan segala
sesuatunya disebut Sejahtera baik itu dari segi keselamatan ketentraman dan
kemakmuran (jasmani, rohani, serta sosial) dalam kehidupan bersama. Dari segi
kesehatan masyarakat, pengaruh pelacuran terhadap penularan penyakit kelamin di
masyarakat sangat besar. Paransipe pendapat bahwa dalam kenyataan pelacur-pelacur
sesuai dengan mata pencaharian mereka, selalu mengadakan hubungan yang berganti-
ganti titik tamu-tamu adalah anggota masyarakat dari luar golongan pelacur dan dapat
membawa penyakit kelamin di dalam keluarganya. Dari segi pandangan agama Islam,
pelacuran menyangkut nilai-nilai, yaitu nilai baik dan buruk. Pengertian tentang baik
dan buruk antara lain disebutkan di dalam hukum Islam yang bersumber dari Al-
Quranul Karim dan Hadist Nabi Besar Muhammad SAW. Dari adat bugis-makassar,
pelacuran mendatangkan “siri” melanggar adat keramat bugis-makassar,
mendatangkan kesusahan pada orang tua, sana keluarga, dan mendatangkan aib
kepada pelakunya.

4. Faktor Penyebab Timbulnya Pelacuran


Kemungkinan diantara kita ada yang tidak sepakat kalau dikatakan bahwa
faktor utama yang mendorong timbulnya pelacuran berhubungan dengan sifat alami
manusia terutama faktor biologis. Bukankah pemenuhan kebutuhan seksualitas
merupakan Kebutuhan Dasar Manusia (KDM) sebagaimana Ia ditempatkan dalam
kebutuhan fisiologis oleh Abraham Maslow. Hingga saat ini, faktor biologis sebagai
penyebab timbulnya pelacuran juga masih sering dikemukakan kembali dalam
beberapa penelitian tentang itu, kerap lebih dikonkretkan bahwa ada juga yang
menjadi pelacur karena bersifat hiperseksual. Tentu dengan tidak menafikan beberapa
faktor lainnya, seperti kemiskinan dan faktor psikologis lainnya ( misalnya perceraian
yang berujung pada broken home). Selain faktor utama yakni faktor biologis dan sifat
alami manusia secara keseluruhan, hingga terjadi pelacuran, terdapat pula faktor
kejiwaan si pelaku dan faktor sosial ekonomi yang turut mewarnai penyebab
pelacuran dalam kehidupan masyarakat berikut uraiannya.
a. Faktor Kejiwaan
Teori Sigmun Frued membahas mengenai orang menjadi pelacur karena
telah mengalami kekecewaan pada permulaan kehidupan seksualnya. Hal
tersebut juga disebutkan oleh Halleck, bahwa faktor psikologis yang
dialami anak pada tahun-tahun pertamanya dapat membawa kepada
perbuatan yang dapat digolongkan kejahatan pada masa kecewanya. Selain
itu faktor kurangnya kasih sayang juga disebut Halleck sebagai salah satu
faktor terjadinya pelacuran.
b. Faktor Sosial Ekonomi
Variabel pendorong: faktor kemiskinan kemudian berpengaruh pada
pendidikan WTS an-naml rendah, tidak adanya keterampilan kerja, dan
adanya pengalaman seksual sebelum menyebabkan seseorang melacurkan
dirinya;
Variabel penentu: dari hasil penelitian yang kemudian ditulis dalam
bukunya “ pelacuran dalam masyarakat” A.S Alam berkesimpulan: “
variabel penentu lebih melihat pada diri si pelacur itu sendiri, Apakah ia
melacurkan diri karena kesadaran sendiri atau karena ditipu.”

5. Upaya Penanggulangan Pelacuran


Hingga kini sudah banyak tindakan yang digalakkan dalam penanggulangan
masalah pelacuran dengan menggunakan pendekatan kriminologi. Mulai dari cara
Represif hingga cara persuasif. Usaha-usaha pemerintah untuk mengatasi pelacuran
dapat dibedakan atas dua sistem yaitu :
a. Sistem Abolitition atau Penghapusan
Sistem ini digunakan dengan cara menghapuskan rumah-rumah germo,
menghukum wanita wanita pelacur
b. Sistem Pendaftaran
Sistem pendaftaran lebih pada pengeksplotasian kepada pelaku pelacuran,
ketika keuntungan-keuntungan dapat masuk dalam kas pemerintah titik
sebagai gantinya Wanita penghuni mempunyai kartu pendaftaran dan
dipelihara dengan baik titik
MODUL 12 KRIMINOLOGI
STUDI KASUS KENAKALAN REMAJA DALAM PERSPEKTIF KRIMINOLOGI

1. Pengertian Kenalakan Anak


Kenakalan anak remaja biasa disebut dengan istilah Juvenile berasal dari
bahasa Latin juvenilis, yang artinya anak-anak, muda, ciri karakteristik pada masa
muda, sifat- sifat khas pada periode remaja, sedangkan delinquent berasal dari
bahasa latin “delinquere yang berarti terabaikan mengabaikan, yang
kemudian diperluas artinya menjadi jahat, nakal, anti sosial, kriminal, pelanggar
aturan, pembuat ribut, pengacau peneror, durjana dan lain sebagainya.
Juveniledelinquencyatau kenakalan remaja adalah perilaku jahat atau kenakalan anak-
anak muda, merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan
remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka
mengembangkan bentuk perilaku yang menyimpang.

2. Faktor-Faktor Penyebab Kenakalan Anak


Kenakalan anak remaja tidak timbul dan ada begitu saja dalam setiap
kehidupan, karena kenakalan-kenakalan tersebut mempunyai penyebab yang
merupakan faktor- faktor terjadinya kenakalan anak remaja. Pada awalnya para
kriminolog mengasumsikan bahwa unsur-unsur niat dan kesempatan sangat
berpengaruh terhadap sebab-sebab timbulnya kejahatan atau kenakalan anak. Pada
unsur niat terkait dengan faktor-faktor endogen dan eksogen.
a. Faktor endogen adalah faktor-faktor yang berasal dari dalam diri anak itu
sendiri yang mempengaruhi tingkah lakunya, antara lain: - cacat yang
bersifat biologis dan psikis; - perkembangan kepribadian dan
intelegensi yang terhambat sehingga tidak bisa menghayati norma-norma
yang berlaku.
b. Faktor-faktor eksogen adalah faktor berasal dari luar diri anak yang
dapat mempengaruhi tingkah lakunya.

Dalam pergaulan sehari-hari sebagai makhluk sosial, maka baik penjahat


maupun anak delinkuen itu hidup di tengah-tengah masyarakat bersama-sama dengan
suatu kelompok tertentu. Kalau seseorang yang normal mungkin tidak
mengalami kesulitan menyesuaikan dirinya dengan kelompoknya. Namun tidak
demikian kalau seseorang itu dalam kondisi atau keadaan tidak normal, ia akan
mengalami kesulitan menyesuaikan dirinya dengan kelompok yang lebih besar. Bagi
anak, lingkungan pergaulan (peer group) yang jelek atau buruk cenderung dapat
mendorong terbentuknya perilaku yang buruk (negatif) pula, yang bahkan dapat
menjurus pada perilaku yang melanggar hukum, baik dalam taraf yang ringan
(mengutil atau mencuri) sampai yang berat (menganiaya atau membunuh). Bahkan
dengan maraknya kasus- kasus perkelahian antar pelajar, maka lingkungan
pergaulan yang buruk merupakan tempat yang potensial bagi kausa terjadinya
kenakalan anak.
Beberapa Teori yang melatar belakangi prilaku nakal yang dilakukan oleh
anak, adalah sebagai berikut:
a. Teori Kontrol Sosial
Teori Kontrol Sosial atau sering disebut Teori Kontrol, berangkat dari
asumsi dasar bahwa individu dalam masyarakat mempunyai
kecenderungan yang sama kemungkinannya menjadi baik atau jahat.
Baik jahatnya seseorang sepenuhnya tergantung pada masyarakatnya
b. Teori Subkultur Delinkuen
Teori ini dapat ditemukan dalam bukunya Albert K. Cohen (1955)
yang berjudul Delinkuen Boys, The Culture of The Gang. Fokus
perhatiannya terarah pada satu pemahaman bahwa perilaku delinkuen di
kalangan usia muda, kelas bawah merupakan cerminan ketidakpuasan
terhadap norma-norma dan nilainilai kelompok kelas menengah dan
mendominasi kultur masyarakat.
c. Teori Anomi
Teori Anomi diajukan oleh Robert K. Merton, dimana dalam teorinya
mencoba melihat keterkaitan antara tahap-tahap tertentu dari struktur
sosial dengan perilaku delinkuen, ia melihat bahwa tahapan tertentu dari
struktur sosial akan menumbuhkan suatu kondisi dimana pelanggaran
terhadap norma-norma kemasyarakatan merupakan wujud reaksi normal
(jadi seolah-olah terjadi keadaan tanpa norma atau anomi).
d. Teori Belajar
Teori Belajar (Social Learning Theory), dikembangkan oleh
Ronald Akkers yang dikaitkan dengan delinkuens anak.
Pendekatannya berpegang pada asumsi, bahwa perilaku seseorang
dipengaruhi oleh pengalaman belajar. Pengalaman
kemasyarakatan disertai nilai-nilai dan penghargaan dalam
kehidupan di masyarakat.
e. Teori Kesempatan
Teori kesempatan berangkat dari asumsi dasar bahwa terdapat hubungan
yang kuat antar lingkungan kehidupan anak, struktur ekonomi dan pilihan
perilaku yang diperbuat selanjutnya. Richard A. Cloward dan Lioyn Ohlin
berpendapat bahwa munculnya subculture delinkuen dan betuk-bentuk
perilaku yang muncul dari hal tsb, tergantung pada kesempatan, baik
kesempatan patuh norma maupun kesempatan penyimpangan norma.

3. Upaya Penanggulangan Kenakalan Anak


Upaya penanggulangan kenakalan anak memang harus benar-benar dilakukan
sedini mungkin, anak-anak delinkuen jika tidak ditangani secara benar akan dapat
berkembang menjadi penjahat (criminal) pada masa dewasanya. Dalam era modern
saat ini terdapat kecenderungan bahwa faktor lingkungan dapat menjadi salah satu
faktor dominan yang menyebabkan terjadinya kenakalan anak. Selain itu, dari faktor
lingkungan pula dapat digunakan sebagai salah satu sarana (solusi) dalam upaya
penanggulangan kenakalan anak. Lingkungan di mana anak tumbuh dan berkembang
sesungguhnya ikut bertanggungjawab dalam upaya menanggulangi kenakalan anak.
Berikut pola yang dapat dilakukan dalam upaya penanggulangan masalah kenakalan
anak remaja:
a. Upaya Pre-emtif
Upaya-upaya awal yang dilakukan dalam penanggulangan kejahatan untuk
mencegah terjadinya tindak pidana secara dini. Usaha-usaha yang
dilakukan dalam penanggulangan kejahatan secara pre-emtif adalah
menanamkan nilai-nilai atau normanorma yang baik sehingga norma-
norma tersebut terinternalisasi dalam diri seseorang. Kenakalan-kenakalan
yang dilakukan oleh anak-anak dan remaja seyogiyanya.
b. Upaya Preventif
Upaya pencegahan terjadinya kenakalan remaja secara umum.
1. Mengenal dan mengetahui ciri umum dan khas remaja
2. Mengetahui kesulitan-kesulitan yang secara umum dialami oleh para
anak. Kesulitan- kesulitan manakah yang biasanya menjadi sebab
timbulnya penyaluran dalam bentuk kenakalan.
3. Usaha pembinaan remaja :
a. Menguatkan sikap mental remaja supaya mampu menyelasaikan
persoalan yang dihadapinya.
b. Memberikan pendidikan bukan hanya dalam penambahan
pengetahuan dan keterampilan melainkan pendidikan mental dan
pribadi melalui pengajaran agama, budi pekerti dan etiket
c. Menyediakan sarana-sarana dan menciptakan suasana yang
optimal demi perkembangan pribadi yang wajar.
d. Usaha memperbaiki keadaan lingkungan sekitar, keadaan
sosial keluarga maupun masyarakat di mana terjadi banyak
kenakalan remaja.
c. Upaya Represif
Usaha menindak pelanggaran norma- norma sosial dan moral dapat
dilakukan dengan mengadakan hukuman terhadap setiap perbuatan
pelanggarannya.
Pada umumnya tindakan represif diberikan dalam bentuk memberikan
peringatan secara lisan maupun tulisan kepada pelajar dan orang tua,
melakukan pengawasan khusus oleh kepala sekolah dan team guru atau
pembimbing dan melarang bersekolah untuk sementara atau seterusnya
tergantung dari macam pelanggaran tata tertib sekolah yang digariskan.

Anda mungkin juga menyukai