Anda di halaman 1dari 10

KRIMINOLOGI DAN HUKUM PIDANA1

A. PENGANTAR
Kriminologi merupakan sebuah cabang ilmu yang lahir dari perkembangan
hukum pidana. Oleh karena itu, sebelum menempuh mata kuliah kriminologi,
mahasiswa fakultas hukum disyaratkan telah menempuh dan lulus mata kuliah hukum
pidana. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa kriminologi merupakan cabang ilmu
baru. Realitasnya, istilah kriminologi sendiri baru muncul pada abad XIX. Walaupun
sebenarnya embrio kriminologi sudah muncul sejak zaman para filsuf Yunani kuno.
Khusus mengenai hal ini, akan dibicarakan dibicarakan pada bagian lain tulisan ini.
Sebagai sebuah cabang ilmu yang relatif baru, keberadaan kriminologi menjadi
amat penting, terutama bagi ilmu hukum pidana. Bahkan bisa dikatakan hukum pidana
jauh lebih membutuhkan kriminologi daripada sebaliknya. Dengan demikian, bisa
dikatakan kriminologi merupakan komplemen/pelengkap dari ilmu hukum pidana.
Dalam mempelajari kriminologi, ada sebuah perspektif dan paradigma yang
berbeda dibandingkan ketika mahasiswa mempelajari hukum pidana. Hukum pidana
berusaha memecahkan sebuah problema sosial menggunakan perspektif dan
paradigma yang bertumpu pada aturan-aturan/norma-norma tertulis yang
diejawantahkan dalam bentuk perundang-undangan. Sebaliknya, kriminologi berusaha
memandang sebuah kausa permasalahan dalam perspektif norma yang lebih luas.
Perspektif inilah yang secara prinsip membedakan kriminologi dan ilmu hukum pidana.
Kriminologi berusaha memahami fenomena-fenomena kejahatan yang terjadi di
masyarakat menggunakan teropong yang berbeda dari hukum pidana. Kriminologi
mencari apa penyebab dari kejahatan, mengapa seseorang menjadi pelaku kejahatan,
dan bagaimana reaksi masyarakat atas kejahatan tersebut. Kriminologi tidak bertugas
untuk menjatuhkan sanksi sebagaimana hukum pidana, namun kriminologi bertugas
untuk mencari sebuah kausa kejahatan dalam arti luas. Arti luas di sini dimaksudkan
bahwa kriminologi memandang fenomena kejahatan dari sudut kejahatan itu sendiri,
pelaku, dan reaksi masyarakat melalui teori-teori yang dimilikinya.

1
Bahan Ajar Mata Kuliah Kriminologi, 2018.
1
B. PENGERTIAN KRIMINOLOGI
Secara etimologi, kriminologi berasal dari bahasa latin, yaitu gabungan kata
crimen yang berarti kejahatan dan logos yang berarti ilmu. Secara sempit, kriminologi
dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang kejahatan. Terkait dengan
definisi kriminologi, dari sudut keilmuan, tidak ada definisi baku tentang kriminologi.
Banyak definisi yang dikemukakan oleh para ahli tentang kriminologi. W.A. Bonger
memberikan definisi kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki
perwujudan dari kejahatan dalam segala bentuk.2 Adapun Edwin H. Sutherland
menyatakan kriminologi adalah ...the body of knowledge regarding crime as a social
phenomenon. It includes within its scope the processes of making laws, of breaking
laws, and of reacting toward the breaking of laws... dari definisi yang diberikan
Sutherland, dapat kita simpulkan bahwa kriminologi terkait dengan 3 (tiga) hal, yaitu
pembuatan undang-undang, pelanggaran undang-undang, dan reaksi terhadap
pelanggaran undang-undang.3
Stephen Hurwitz memandang kriminologi sebagai bagian dari ilmu hukum
pidana (criminal science) yang dengan penelitian empirik atau nyata, berusaha mencari
gambaran tentang faktor-faktor kriminalitas.4 Wilhelm Sauer mendefinisikan
kriminologi sebagai ilmu pengetahuan tentang kejahatan yang dilakukan individu dan
bangsa-bangsa berbudaya, sehingga menciptakan obyek kriminologi menjadi 2 (dua)
yaitu perbuatan individu dan kejahatan.5
Sedangkan van Bemmelen memberikan definisi sederhana tentang kriminologi,
yaitu ilmu yang mencari sebab dari kelakuan-kelakuan yang merugikan dan asusila. Dari
definisi yang sederhana tersebut, sebenarnya memiliki pemaknaan yang tidak
sederhana. Untuk menentukan unsur “merugikan”, diperlukan bantuan ilmu ekonomi.
Untuk menentukan unsur “asusila” diperlukan ilmu etika. Sedangkan untuk membatasi
kelakuan yang merugikan dan asusila diperlukan ilmu hukum (pidana) dengan sanksi
yang tajam.6 Thorsten Sellin, seorang profesor sosiologi Universitas Pennsylvania

2
Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi – diperbarui oleh TH. Kempe, diterjemahkan R.A Koesnoen,
(Jakarta: PT. Pembangunan Djakarta, 1955), hal 19.
3
Stephen Hurwittz disadur oleh Ny. L. Moeljatno, Kriminologi, (Jakarta, Bina Aksara: 1986), hal 3-6.
4
Ibid.
5
Ibid.
6
Ibid.
2
menyatakan bahwa di Amerika Serikat, kriminologi digunakan untuk menggambarkan
tentang penjahat dan cara penanggulangannya.7 Adapun Prof. Moeljatno, menyatakan
bahwa kriminologi adalah pengetahuan tentang kejahatan dan kelakuan jelek dan
tentang orangnya yang tersangkut pada kejahatan dan kelakuan jelek tersebut.8
Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang berdasarkan pengalaman,
seperti ilmu pengetahuan lainnya yang sejenis, yang memperhatikan gejala-gejala dan
mencoba menyelidiki sebab-sebab dari gejala tersebut (etiologi) dengan cara-cara yang
ada padanya. Kejahatan adalah pokok penyelidikan kriminologi, dalam hal ini pokok-
pokok penyelidikan kriminologi berkisar pada kejahatan yang dilakukan dan orang-
orang yang melakukannya.
C. SEJARAH KRIMINOLOGI
Istilah kriminologi muncul pada abad 19, bersamaan dengan munculnya metode
statistik kriminal dari Adolph Quatelet dan buku L’uomo Deliquente (The Criminal Man)
oleh Cesare Lombrosso (1835-1909). Menurut Bonger, kemunculan kriminologi sebagai
sebuah cabang ilmu baru, tidak dapat dilepaskan dari jasa seorang antropolog
berkebangsaan Perancis, Paul Topinard (1830-1911). Pada waktu itu, Topinard
mengistilahkan sebuah ilmu yang mempelajari kejahatan dengan istilah kriminologi.9
Kriminologi sendiri apabila dilihat dari asal usul bahasanya, berasal dari bahasa latin,
yaitu crimen dan logos. Crimen berarti kejahatan dan logos yang berarti ilmu.
Semenjak ditemukan oleh Topinard, kriminologi semakin menemukan
bentuknya sebagai bidang pengetahuan ilmiah.10 Banyak pihak menyatakan bahwa
kriminologi mulai perkembangannya sejak abad 19, bersama-sama dengan ilmu sosial
(sosiologi dan antropologi) dan psikologi.11 Namun demikian, embrio kriminologi
sebenarnya sudah tumbuh mulai sejak lama. Hal ini dapat kita lihat dari pemikiran-
pemikiran para filsuf tentang asal usul kejahatan.

7
Ibid.
8
Ibid.
9
Mr. W.H. Bonger, adalah seorang guru besar Universitas Amsterdam, salah salah satu ahli kriminologi
terkemuka di Belanda. Lihat dalam Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi – diperbarui oleh TH. Kempe,
diterjemahkan R.A Koesnoen, (Jakarta: PT. Pembangunan Djakarta, 1955).
10
Pendapat ini dikemukakan oleh Soerjono Soekanto, dkk, dalam Soerjono Soekanto, Hengkie
Liklikuwata, Mulyana W Kusuma, Kriminologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Ghalia,1981), hal 5.
11
Lihat dalam Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, (Jakarta: Rajagrafindo, 2001), hal 3.
Lihat juga dalam Bonger, Ibid., hal 43-44.
3
Beberapa filsuf kenamaan, seperti Plato dan Aristoteles sudah sejak lama
menyatakan bahwa ada kaitan antara kejahatan dan kesejahteraan. Plato (427-347 SM)
mengemukakan bahwa emas dan manusia merupakan sumber dari banyak kejahatan.
Ditambahkan oleh Plato, lebih banyak manusia mementingkan kekayaan, lebih merosot
penghargaan terhadap kesusilaan. Pemikiran Plato, didukung oleh muridnya, yaitu
Aristoteles (384-322 SM) yang mengemukakan bahwa kemiskinan menimbulkan
kejahatan dan pemberontakan, kejahatan bertujuan untuk kemewahan. Ditambahkan
oleh Aristoteles, kejahatan yang besar tidak diperbuat untuk keperluan hidup, tapi
untuk kemewahan. Menginjak pada tahun masehi, Thomas Aquino (1226-1247)
memberikan suatu pernyataan bahwa terdapat korelasi antara kemiskinan dan
kejahatan. Menurutnya, orang kaya hidup untuk kesenangan dan memboroskan
kekayaannya, jika suatu kali jatuh miskin, mudah menjadi pencuri. Sedangkan Thomas
More (1478-1535) lebih memandang kejahatan yang dikaitkannya dengan sanksi yang
diterima oleh si pelanggar. Menurut More, hukuman berat untuk penjahat pada waktu
itu tidak berdampak banyak untuk menghapus kejahatan yang terjadi.12
Beberapa pernyataan di atas menunjukkan bahwa kriminologi sebenarnya
bukanlah sebuah ilmu baru, sejak lama manusia tanpa sadar sudah melakukan studi
kejahatan dengan mencari penyebab kejahatan yang terjadi pada masyarakat.
Beberapa pendapat, seperti Plato, Aristoteles, dan Aquino, menyatakan bahwa sumber
utama dari kejahatan adalah kemiskinan. Hal ini dapat kita maklumi, pada masa itu,
dimana keadaan sosial dan kultur masyarakatnya tidak sekompleks seperti saat ini,
maka alasan orang melakukan kejahatan adalah untuk mendapatkan kekayaan,
kejayaan, atau, kesejahteraan. Pertanyaan yang menarik, apakah pendapat para filsuf
tersebut masih berkorelasi dengan kondisi kita saat ini?
Pada awalnya, kriminologi digunakan sebagai cabang ilmu pembantu hukum
pidana. Saat ini, kriminologi telah berdiri sendiri sebagai salah satu disiplin ilmu.
Walaupun pada awal kemunculannya, kriminologi sempat dikritik Sellin sebagai a king
without country.13 Kritik ini dilontarkan karena dalam perkembangannya, kriminologi
mau tak mau selalu bergantung pada disiplin ilmu lainnya seperti antropologi, sosiologi,

12
Ibid., hal 1-2.
13
Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, (Bandung: Refika Aditama, 2007), hal 15.
4
hukum, ekonomi, statistik, kedokteran, psikologi. Terkait pendapat Sellin, Romli
Atmasmita menyatakan bahwa:14
1. kriminologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang tingkah laku manusia yang
tidak ada bedanya dengan ilmu lain yang juga mempelajari tingkah laku manusia;
2. kriminologi merupakan ilmu yang bersifat interdisiplin dan multidisiplin, dan
bukan merupakan ilmu yang monodisiplin;
3. kriminologi merupakan ilmu yang berkembang sejalan dengan perkembangan
ilmu pengetahuan lainnya;
4. perkembangan dalam studi kejahatan telah membedakan antara kejahatan
sebagai tingkah laku dan pelaku kejahatan sebagai subyek perlakuan sarana
peradilan pidana;
5. kriminologi telah menempatkan dirinya sejajar dengan ilmu pengetahuan lainnya,
tidak lagi merupakan bagian daripadanya.
Dalam sejarahnya, kriminologi dapat diterima dan mengalami perkembangan
yang pesat dikarenakan beberapa faktor. Pertama, ketidakpuasan terhadap hukum
pidana. Kedua, ditemukanya metode statistik. Kedua faktor tersebut, selanjutnya akan
diuraikan dalam penjelasan sebagai berikut.
1. Ketidakpuasan terhadap hukum pidana
Berbeda dengan kriminologi yang baru muncul pada abad ke-19. Hukum
pidana telah ada sejak manusia bermasyarakat. Dalam sejarahnya, hukum pidana
pernah dijadikan sebagai sarana menakut-nakuti dengan jalan menjatuhkan sanksi
pidana yang berat dan kejam. Keadaan ini pernah berlangsung dalam abad 16-18.
Pada masa itu, sanksi pidana dijatuhkan dengan tidak memperhatikan unsur
manusiawi, terutama pidana mati yang dijatuhkan dengan cara yang sadis.
Misalnya, pidana mati dilaksankan dengan mengikat tubuh terpidana ke roda kayu,
kemudian ditarik oleh roda tersebut.15
Selain sanksi dari hukum pidana yang sangat kejam, lapangan hukum acara
pidana juga menjadi sorotan. Hal ini dikarenakan pada masa itu, tersangka
diperlakukan sebagai “barang” pemeriksaan. Proses pemeriksaannya dilakukan

14
Ibid., hal 13.
15
Bonger, Ibid., hal 47.
5
secara rahasia dan tertutup. Pembuktiannya tergantung dari kemauan pemeriksa.
Pengakuan dipandang sebagai alat bukti yang utama.16
Banyaknya kritik yang ditujukan pada hukum pidana (termasuk hukum acara
pidana) pada masa itu, menimbulkan berbagai gerakan menentang sistem hukum
pidana. Gerakan tersebut dilakukan oleh beberapa tokoh, seperti Montesqueu,
Rousseau, Voltaire, dan Beccaria.17
Montesqueu (1689-1755) melalui bukunya yang terkenal, esprit des lois,
menentang tindakan sewenang-wenang, hukuman yang kejam, dan banyaknya
hukuman yang dijatuhkan. Rousseau (1712-1778) juga menentang tindakan kejam
terhadap penjahat. Voltoire (1649-1778), dalam pembelaannya terhadap Jean Calas
yang tidak bersalah, menentang sistem peradilan yang sewenang-wenang terhadap
Calas. Sedangkan Beccaria (1738-1794) juga menjadi penentang sistem peradilan
pidana yang bertindak sewenang-wenang, serta mengkritik keras penggunaan
pidana mati kepada pelaku tindak pidana.
2. Ditemukannya metode statistik kriminal
IS Susanto mengartikan statistik kriminal sebagai angka-angka yang
menunjukkan jumlah kriminalitas yang tercatat pada suatu waktu dan tempat
tertentu.18 Bagi kriminologi, statistik kriminal memiliki peran yang sangat penting,
yaitu guna membentuk gambaran tentang realitas kejahatan atau sebagai
konstruksi sosial dari realitas kejahatan di masyarakat.19 Secara umum, statistik
kriminal adalah “alat” yang digunakan sebagai pengukur kriminalitas dalam
masyarakat.20
Metode statistik ditemukan oleh Adolph Quetelet, seorang ahli statistik,
guru besar astronomi. Pada awal penemuannya, Quetelet menggunakan data
statistik kriminal di Perancis, guna membuktikan bahwa kejahatan adalah sebuah
fenomena yang bersifat massal (menyeluruh,pen), sehingga didapatkan sebuah
keteraturan, kecenderungan, atau bahkan hukum-hukum sosial. Dalam

16
Ibid., hal 48.
17
Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Ibid., hal 5.
18
I.S. Susanto, Diktat Kriminologi, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, tanpa tahun, hal 26.
19
Ibid.
20
Mardjono Reksodiputro, Kriminlogi dan Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Lembaga Kriminologi UI,
2007), hal 12.
6
pengamatannya, jumlah dan jenis kejahatan di negara tertentu setiap tahunnya
cenderung sama dan cara melakukannya sama.21 Dengan kata lain, dalam metode
statistik kriminal, ada pola-pola kejahatan yang seragam setiap tahunnya.
Tujuan dari statistik kriminal adalah memberikan gambaran/data tentang
kriminalitas yang ada di masyarakat, seperti jumlah, frekuensi penyebaran
kejahatan dan pelakunya. Diharapkan dengan mengetahui data tersebut, dapat
memberikan kontribusi bagi pemerintah guna membuat kebijakan penanggulangan
kejahatan yang tepat. Kaitannya dengan kriminologi, statistik kriminal digunakan
para ahli untuk menjelaskan fenomena kejahatan selanjutnya untuk menyusun
teori-teori kriminologi dalam menanggulangi kejahatan yang terjadi di
masyarakat.22
D. HUBUNGAN KRIMINOLOGI DAN HUKUM PIDANA
Kriminologi sesungguhnya tidak terlepas dari Hukum Pidana, dimana kriminologi
memberikan hasil-hasil penelitiannya untuk menunjang hukum pidana dan
membuktikan bahwa kasus-kasus yang tidak diatur dalam hukum pidana sama sekali
tidak dapat diabaikan. Hasil-hasil penelitian kriminologi dapat membantu pemerintah
dalam menangani masalah kejahatan, terutama melalui hasil-hasil penelitian etiologi
kriminal (mempelajari kausa kejahatan) dan penologi (mempelajari aspek pemidanaan
bagi terpidana). Penelitian kriminologi dapat membantu pembuat undang-undang
dalam hal kriminalisasi atau dekriminalisasi. Menurut Eddy Hiariej, keberadaan
kriminologi sangat penting bagi hukum pidana dalam rangka membuat atau mencabut
undang-undang pidana.23
Dilihat dari uraian di atas, maka terdapat hubungan yang sangat erat antara
kriminologi dengan hukum pidana. Walaupun pada awal kemunculan kriminologi,
banyak ahli yang menyatakan bahwa hukum pidana dan kriminologi adalah dua ilmu
yang memiliki perbedaan prinsip. Hal ini tidak dipungkiri. Keduanya memang memiliki
perbedaan prinsip. Bisa dikatakan, ilmu hukum pidana dan kriminologi adalah
pasangan, namun bergerak kearah yang berlawanan.

21
I.S. Susanto, Ibid., hal 26.
22
Ibid., hal 27-28.
23
Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, (Jogjakarta: Cahaya Atma Utama, 2014), hal 7.
Membuat undang-undnag terkait dengan proses kriminalisasi. Mencabut undang-undang terkait proses
dekrimininalisasi.
7
Awalnya, orang berpandangan bahwa kriminologi bukan bagian dari dari ilmu
hukum pidana. Ditambah lagi dengan tugas dan metode yang berbeda, semakin
mengukuhkan perbedaan diantara keduanya.24 Adanya perbedaan antara kriminologi
dan ilmu hukum pidana memang tidak dipungkiri, namun demikian, keduanya adalah
cabang ilmu yang saling berkaitan. Hukum pidana adalah suatu ilmu dogmatis dan
bekerja secara deduktif. Sedangkan kriminologi, adalah ilmu pengetahuan alam kodrati
dan bekerja secara empiris-induktif.25
Walaupun pada awalnya, terjadi gap diantara kriminologi dan ilmu hukum
pidana, dewasa ini perbedaan-perbedaan tersebut tidak begitu tajam, terutama setelah
perang dunia II. Dulu, ilmu hukum pidana bersifat dogmatis, sehingga berorientasi pada
perundang-undangan dan penafsiran atasnya. Namun saat ini, ilmu hukum pidana lebih
menekankan arti fungsional dan sosial dari perbuatan seseorang, kasuistik memerankan
peranan besar. Sedangkan kriminologi, saat ini sudah berkembang menjadi ilmu
pengetahuan gamma.26
Walaupun di atas sudah disinggung, bahwa setelah perang dunia II, gap yang
ada antara kriminologi dan ilmu hukum pidana tidak terlalu tajam, namun secara prinsip
tetap ada perbedaan diantara keduanya. Ilmu hukum pidana dipandang sebagai ilmu
pengetahuan normatif yang penyelidikan-penyelidikannya berpusat pada aturan-aturan
hukum dan penerapan dari aturan tersebut dengan tujuan mendapatkan cita-cita
keadilan.27 Sedang penyelidikan-penyelidikan yang dilakukan kriminologi berpusat pada
kondisi individu dan sosial dari suatu konflik dan akbat-akibatnya.28
Perbedaan prinsipal antara kriminologi dan ilmu hukum pidana yang telah
disinggung di atas, memang tidak menjadi pokok persoalan. Karena keduanya dapat
saling bekerjasama guna mewujudkan cita-cita hukum. Keduanya dapat bekerjasama
walaupun dengan arah yang berlawanan.
Dari uraian-uraian di atas, dapat dituliskan disini bahwa ilmu hukum pidana
merupakan ilmu tentang aturan/norma (hukum), sedangkan kriminologi adalah ilmu
yang mempelajari gejala hukum. Antara keduanya akan bermuara pada suatu kelakuan

24
Roeslan Saleh, Dari Lembaran Kepustakaan Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 1988), hal 9.
25
Ibid.
26
Ibid., hal 10.
27
Ibid., hal 10-11.
28
Ibid., hal 11.
8
yang melanggar norma. Hukum pidana menyebut kelakuan tersebut sebagai tindak
pidana (yang secara yuridis terbagi atas kejahatan dan pelanggaran). Sedangkan
kriminologi menyebut kelakuan yang bertentangan dengan norma dengan berbagai
istilah, misal delinkuen, kriminalitas, kejahatan. Walaupun baik hukum pidana dan
kriminologi mengenal kejahatan, namun konsepsi kejahatan dari keduanya berbeda
dalam pemaknaanya. Bagaimanapun juga, pemaknaan kejahatan dalam kriminologi
memiliki ruang lingkup lebih luas dibanding dengan kejahatan dalam hukum pidana.
E. MANFAAT KRIMINOLOGI BAGI HUKUM PIDANA
Sejak kelahirannya, kriminologi memiliki hubungan sangat erat dengan hukum
pidana. Hasil-hasil penelitian kriminologi dapat dipergunakan bagi pemerintah dalam
memahami dan menangani kejahatan yang terjadi di masyarakat. Kontribusi penelitian
kriminologi berperan besar dalam menemukan penyebab dari terjadinya kejahatan. Hal
ini dapat menjadi guidance bagi pemerintah dalam menentukan arah dan kebijakan
penanggulangan kejahatan. Bagi pemerintah, arah dan kebijakan penanggulangan
kejahatan tidak hanya dilakukan melalui kebijakan hukum, namun mencakup ruang
lingkup kebijakan yang sangat luas, yaitu kebijakan sosial (social policy), kebijakan
ekonomi, kebijakan politik, kebijakan kebudayaan, dan paket kebijakan lainnya.
Penelitian kriminologi juga berperan dalam membantu pemerintah dalam hal
kriminalisasi dan dekriminalisasi. Dari fungsinya ini, I.S Susanto menyebut kriminologi
sebagai signal wetenschap (ilmu pengetahuan sinyal).29 Melalui penelitian kriminologi,
akan didapat kapan suatu perbuatan pantas untuk dikriminalisasikan dan kapan suatu
perbuatan dapat didekriminalisasikan. Kriminalisasi mengandung makna penetapan
suatu perbuatan yang awalnya bukan sebagai tindak pidana, kemudian ditetapkan
sebagai tindak pidana. Sedangkan dekriminalisasi dapat dimaknai sebagai penetapan
suatu perbuatan yang tadinya dikatagorikan sebagai tindak pidana, menjadi bukan
tindak pidana. Contoh kriminalisasi adalah cyber crime dalam UU ITE, tindak pidana
narkotika dalam UU Narkotika. Contoh dari dekriminalisasi misalnya pencabutan UU
Subversi.

29
I.S. Susatno, Op. Cit., hal 13.
9
SUMBER REFERENSI:
Atmasasmita, Romli. Teori dan Kapita Selekta Kriminologi. Bandung: Refika Aditama. 2007.

Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi–diperbarui oleh TH. Kempe, diterjemahkan R.A


Koesnoen. Jakarta: PT. Pembangunan Djakarta. 1955.

Hiariej, Eddy O.S. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. Jogjakarta: Cahaya Atma Utama. 2014.

Hurwittz, Stephen. Kriminologi-disadur oleh L. Moeljatno. Jakarta: Bina Aksara. 1986.

Reksodiputro, Mardjono. Kriminlogi dan Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: Lembaga


Kriminologi UI. 2007.

Saleh, Roeslan. Dari Lembaran Kepustakaan Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika. 1988.

Santoso, Topo dan Eva Achjani Zulfa. Kriminologi. Jakarta: Rajagrafindo. 2001.

Soekanto, Soerjono dkk,. Kriminologi Suatu Pengantar. Jakarta: Ghalia. 1981.

Susanto, I.S. Diktat Kriminologi. Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, tanpa tahun.

10

Anda mungkin juga menyukai