Anda di halaman 1dari 4

Nama : Putri Amrita Sari

NPM : 1606832933
Senin, 25 September 2017
Introduction: Philosophy, Crime, and Theoritical Criminology
Bahan Bacaan:
Williams, C. R., & Arrigo, B. A. (2006). Introduction: Philosophy, Crime, and Theoritical Criminology. In
C. R. Williams, & B. A. Arrigo (Eds.), Philosophy, Crime, and Criminology (pp. 1-35). Illinois:
University of Illinois.
Menurut sejarah, para filsuf hanya sedikit menulis tentang kejahatan dan kriminolog pun juga sangat
sedikit membahas filsafat. Berbeda dengan hukum dan keadilan, kejahatan tidak pernah dianggap sebagai
suatu fokus pembahasan dalam filsafat. Bahkan, hal ini terus berlanjut hingga kriminologi mulai
berkembang menjadi bidang ilmu sendiri. Kala itu, kriminologi tidak memiliki spekulasi, argumen, analisis,
dan kritik dari bidang filsafat. Sehingga, banyak anggapan yang menyatakan bahwa filsafat dan kriminologi
merupakan dua ilmu yang sangat berbeda. Padahal, kriminologi pada dasarnya bercampur dengan filosofi
dalam banyak hal dan irisan keduanya sejatinya dapat digunakan untuk eksposisi dan asimilasi oleh kedua
pihak. Hal tersebut yang kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam bahan ini.
I. Crime in Philosophy
Ilmu sosial dan filsafat sebelumnya merupakan suatu kesatuan dan sama selama hampir dua ribu
tahun. Pada abad pertengahan, psikolog, sosiolog, dan kriminolog sejatinya adalah filsuf dengan minat yang
berbeda-beda. Hubungan antara filsafat dan kejahatan sejatinya telah dimulai dari zaman dahulu. Pertanyaan
mendasar dalam kriminologi sejatinya merupakan pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh para filsuf.
Bahkan, istilah-istilah seperti ‘kejahatan’, ‘hukum’, dan ‘keadilan’ sejatinya berakar pada tradisi filsafat
jaman dahulu, seperti Plato. Setelah Plato tersebut, pemikiran tentang kriminologi dalam bidang filsafat
berlanjut pada fokus teologis di Abad Pertengahan, kemudian ke modernitas yang diawali dari gagasan-
gagasan Beccaria, dan berakhir pada posmodernis. Sebagai suatu fakta sosial, kejahatan selalu bergantung
pada ruang dan waktu.
I.1. Crime as Vice: Crime in the Origins of Philosophy
Teori tentang kejahatan dapat disimpulkan dari etika umum dan filosofi hukum berbagai pemikir dari
zaman dahulu. Salah satu pemikir tersebut adalah Plato, yang teori-teorinya tentang kejahatan cenderung
berdasar pada teori-teori psikologi umum. Plato menggambarkan kejahatan sebagai tiga hal, yakni; 1)
kejahatan sebagai ketidaktahuan; 2) kejahatan sebagai gangguan psikologis; 3) kejahatan sebagai penyakit.
Ketiga pengertian tersebut sama-sama mengganggap perbuatan kriminal sebagai kurangnya suatu
karakterologis yang berada pada sifat-sifat buruk dibanding pada sifat-sifat kebajikan. Namun, dua definisi
kejahatan oleh Plato dijelaskan lebih lanjut seperti di bawah ini.

1
Penjelasan tentang ‘kejahatan sebagai ketidaktahuan’ diawali dengan analisis bahwa keburukan
adalah suatu kondisi jiwa ketika jiwa tidak mengetahui tentang suatu hal (dalam kondisi bodoh). Bagi Plato
dalam konteks ini, orang menjadi jahat bukan karena keinginannya sendiri, melainkan karena
ketidaktahuannya akan apa yang benar, bagus, dan adil. Jika seseorang mengetahui apa yang benar, bagus,
dan adil, orang tersebut akan mengikuti hal tersebut. Walaupun, selalu ada kemungkinan untuk seseorang
salah menilai kebenaran sesungguhnya dan akhirnya terus-menerus dalam kondisi tidak tahu dan jahat.
Dalam menjelaskan definisi kedua yakni ‘kejahatan sebagai suatu gangguan psikologis’, Plato
menghubungkan kejahatan dengan nafsu yang ada dalam jiwa seseorang. Dalam karyanya yang berjudul
‘Republic’ cetakan pertama, Plato menjelaskan bahwa setiap jiwa dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu aspek
rasional, semangat, dan nafsu. Jiwa yang jahat tercirikan dengan adanya gangguan psikologis, yakni ketika
nalar kehilangan kekuasaannya dalam mengontrol jiwa dan adanya semangat atau keinginan yang sesat
untuk melakukan tindakan jahat. Plato kemudian dalam ‘Republic’ cetakan kesembilan menambahkan
bahwa kejahatan secara lebih spesifik disebabkan oleh rasa marah (anger), kesenangan (pleasure), dan
ketidaktahuan (ignorance). Maksudnya adalah rasa marah dan kesenangan memaksa seseirang untuk
melakukan perbuaan yang salah, dimana ketidaktahuan merefleksikan kurangnya pengetahuan dan
kurangnya kekuatan rasional dibanding emosi. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa pada zaman Plato atau
Yunani Kuno, kejahatan merupakan suatu bentuk dari perbuatan jahat atau amoral.
I.2. Crime as Sin: The Middle Ages
Pada Abad Pertengahan, definisi ‘kejahatan sebagai perbuatan jahat’ digantikan dengan pemikiran
bahwa ‘kejahatan merupakan dosa’. Dosa dalam konteks ini merupakan pelanggaran terhadap Tuhan yang
kemudian menunjukkan kelemahan manusia dan rendahnya iman. Pada abad ini, dunia manusia dan
kehidupan sosial dipahami sebagai pertarungan terus-menerus antara kebaikan dan keburukan, di mana
keburukan disebabkan oleh kekuatan supernatural yang ada di alam. Seseorang bisa menjadi jahat karena
dua cara, yakni karena menyerah pada godaan atau tidak sengaja dipengaruhi oleh kekuatan jahat. Manusia
secara hakikat dikatakan sebagai makhluk yang rentan terhadap kekuatan yang memaksa untuk melakukan
perbuatan dosa. Solomon pada tahun 2001 menjelaskan tentang 7 dosa mematikan yang dimiliki manusia,
antara lain rakus, sombong, malas, serakah, pemarah, nafsu, dan iri hati.
I.3. Crime as Rational Hedonism: The Emergence of Modernity
Pada abad kedelapan belas, muncul sebuah pemikiraan dalam kriminologi yang kemudian lebih
dikenal dengan pemikiran klasik. Bentham pada tahun 1996 menyimpulkan bahwa manusia secara rasional
mengkalkulasikan antara kesenangan dan rasa sakit yang mungkin didapatkan dari suatu tindakan yang akan
digunakan sebagai dasar perilaku untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dengan kerugian
seminimal mungkin. Manusia diasumsikan memiliki kehendak bebas, mampu untuk menentukan pilihannya
sendiri; rasional dan mampu untuk mengkalkulasi kepentingan dirinya; hedonistic, termotivasi untuk
mendapatkan kesenangan dan menghindari kerugian; bebas untuk menentukan takdirnya. Berdasarkan
2
asumsi-asumsi tersebut, kejahatan yang dilakukan manusia kemudian dianggap sebagai pilihan yang diambil
berdasarkan kehendaknya dan pemikiran yang matang.
I.4. Positivism: Philosophy and the Origins of Criminology
Positivisme muncul pada abad kedelapan dan kesembilan belas melalui karya Auguste Comte yang
menyatakan bahwa motode yang digunakan dalam ilmu pengetahuan alam juga dapat digunakan untuk
menjelaskan dunia sosial. Sehingga, positivisme merupakan suatu paradigma yang terfokus pada hubungan
sebab akibat dan determinisme. Positivisme lah yang melahirkan kriminologi sebagai suatu ilmu
pengetahuan. Kriminologi kemudian dikenal dengan ilmu pengetahuan berbasis empiris yang terdiri dari
analisis konkret, objektif, dan ilmiah terhadap segala fenomena yang dapat diamati. Hal ini membuat
terhapusnya spekulasi-spekulasi filosofis tentang kejahatan yang ada sebelumnya.
I.5. Postmodernism: Philosophical Resistance to Modern Criminology
Posmodern muncul pada tahun 1980-an dan mulai mempengaruhi kriminologi pada tahun 1990-an.
Posmodern menolak asumsi dari ilmu pengetahuan modern dan anggapan tentang dunia modern secara
umum dengan mengatakan bahwa modernitas telah gagal untuk menjelaskan secara keseluruhan tentang
diskontinuitas, penyimpangan, dan kontradiksi dari kehidupan sosial. Bagi posmodern, tidak ada Kebenaran
yang tunggal. Mereka menganggap ada banyak kebenaran yang berasal dari berbagai pandangan kelompok
atau orang yang terbentuk di bawah suatu kondisi tertentu. Posmodern sangat memperhatikan makna dan
asumsi-asumsi tersembunyi dari suatu gejala sosial. Salah satu hal yang paling penting dalam posmodern
adalah pandangan mereka bahwa realitas sosial sangat dipengaruhi oleh bahasa. Konstruksi pengetahuan dan
realita disusun, dibentuk, dan diberikan makna melalui komunikasi, baik secara lisan maupun tertulis. Suatu
wacana tidak dipandang sebagai suatu yang netral, melainkan sarat akan kepentingan. Wacana yang ada
mempengaruhi pengetahuan, termasuk pengetahuan tentang kejahatan, hukum, dan keadilan. Pengetahuan
tersebut berkaitan erat dengan bahasa yang ada di sekitar kita, yakni bagaimana kita mendefnisikan,
menginterpretasi, dan menginterpretasikan kembali realita sosial. Kejahatan kemudian dianggap oleh
posmodernis sebagai penggunaan kekuatan bahasa untuk membuat suatu perbedaan dengan mengurangi
ataupun menekan kemanusiaan seseorang yang lebih lemah.
II. Philosophy in Criminology: Charting a Philosophy of Crime
Filsafat adalah sebuah ilmu yang mempelajari hal yang paling umum dan paling abstrak di dunia dan
kategori-kategori yang dapat dipikirkan oleh manusia. Filsafat selalu berkaitan dengan konsep dan kategori
yang ada pada ilmu yang ingin dipelajari. Konsep dan kategori ini akan menghasilkan asumsi-asumsi yang
nantinya akan diproses lebih lanjut menjadi analisis yang lebih spesifik. Peran filsafat dalam kriminologi
dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, filsafat merupakan fondasi dari pemikiran, penelitian, dan ilmu
pengetahuan di krimnologi. Kedua, filsafat sebagai ‘under laborer’, maksudnya adalah filsafat memiliki
peran yang krusial dalam keseluruhan pembentukan arah dan penunjang dalam kriminologi. Dalam

3
kriminologi, filsafat banyak digunakan untuk menggali-gali konsep yang terkait dengan kriminologi,
misalnya konsep tentang kejahatan, hukum, keadilan, nalar, dan kesetaraan.
III. Criminology and the Questions of Philosophy
III.1. Ontology
Ontologi berasal dari kata onta yang berarti ada dan logos yang berarti ilmu, sehingga ontologi
merupakan ilmu yang mempelajari tentang eksistensi atau keberadaan suatu hal. Pertanyaan yang umumnya
terdapat dalam ontologi lebih bersifat konseptual, antara lain; 1) Apa yang dimaksud dengan kenyataan?; 2)
Apa perbedaan antara wujud dan kenyataan?; 3) Apa yang dimaksud dengan eksitensi?; 4) Apa tujuan dari
eksistensi manusia?
III.2. Epistemology
Epistemologi berasal dari kata episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti ilmu,
sehingga epistemologi secara sederhana dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari ilmu pengetahuan
itu sendiri. Hal-hal yang umumnya dibahas dalam epistemologi mencakup; 1) Hakikat dari ilmu
pengetahuan; 2) Sumber dari ilmu pengetahuan; 3) Batasan dari ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia.
Pertanyaan filosofis yang ada pada epistemology juga lebih bersifat konseptual dibanding ilmiah.
Pertanyaan filosofis, tersebut antara lain; Apa yang dimaksud dengan ilmu pengetahuan dan apa yang
dimaksud dengan ‘mengetahui’ sesuatu?; Pengetahuan macam apa yang sebenarnya kita miliki?; Haruskah
kita mengakui bahwa kita memiliki ilmu pengetahuan atau kita hanya menjustifikasi bahwa kita memiliki
pengetahuan berdasarkan kemungkinan-kemungkinan?; Bagaimana ilmu pengetahuan berbeda dari
pendapat?; Bagaimana cara memperoleh pengetahuan?
III.3. Ethics
Etika atau yang disebut juga dengan filsafat moral adalah cabang ilmu filsafat yang terfokus pada
pertanyaan terkait karakter manusia, pengambilan keputusan, tingkah laku, dan konsekuensi dari perilaku
individu maupun kelompok. Secara umum, etika bertujuan agar kita dapat mengetahui bagaimana kita harus
berperilaku terhadap orang lain dan apa yang harus kita lakukan dalam suatu situasi.
III.4. Aesthetics
Secara filosofis, estetika kontemporer dipelajari agar manusia dapat membedakan dua topik yang
menjadi fokus pembahasan, yakni filosofi seni dan filosofi pengalaman estetika tentang suatu objek yang
bukan merupakan karya seni. Pertanyaan yang terdapat dalam estetika, antara lain; Bagaimana kita dapat
menghargai nilai suatu bentuk seni tertentu dibanding yang lain?; Apa peran seni atau aktivitas kreatif
lainnya dalam kehidupan manusia?; Di mana seharusnya suatu produksi seni berada pada eksistensi
manusia?

Anda mungkin juga menyukai