Anda di halaman 1dari 4

Putri Amrita Sari (1606832933)

Senin, 23 Oktober 2017


The Epistemology of Theory Testing in Criminology
Bahan Bacaan:
Dicristina, B. (2006). The Epistemology of Theory Testing in Criminology. In B. Arrigo, & C. Williams,
Philosophy, Crime, and Criminology (pp. 134-164). Illionis: University of Illionis Press.
Sejak abad Pencerahan, telah banyak ahli yang mengkonstruksi dan mengevaluasi berbagai teori tentang
hukum, kejahatan, dan penghukuman. Namun, hanya ada relatif sedikit persetujuan diantara kriminolog tentang
kualitas teori-teori tersebut dan tampaknya persetujuan tersebut tidak akan muncul dalam waktu singkat.
Kriminologi dapat dikatakan kekurangan epistemologi yang jelas dan rasional yang dapat digunakan sebagai
panduan untuk pengujian teori. Untuk itulah bahan ini mencoba menjelaskan dua dimensi yang berkaitan
dengan hal tersebut, yakni masalah pada induksi dan masalah pada theory-laden observation.
I. Theory Testing
Secara umum, pengujian terhadap teori dilakukan dengan membandingkan suatu teori dengan kriteria
tertentu, antara lain ‘fakta’ empiris, aturan logika formal, persetujuan antarbidang ilmu, kondisi ideal politik dan
ekonomi, serta standar lainnya yang dapat digunakan sebagai acuan evaluasi. Dalam kriminologi, pengujian
teori berarti pengujian secara empiris, yakni sebuah usaha untuk membandingkan teori dengan hasil observasi
tentang realitas suatu hal yang dianggap direpresentasikannya. Kredibilitas teori dalam suatu pengujian teori
bergantung pada seberapa sesuai teori tersebut dengan ‘fakta’ yang ada. Teori dikatakan terbukti secara empiris
bila teori tersebut banyak memiliki konsistensi dengan ‘fakta’. Teori dapat dikatakan kekurangan bukti empiris,
bahkan ditolak. Agar dapat disebut sebagai teori ilmiah, suatu teori harus memiliki dua kriteria, yaitu
terintegrasi logis dan terverifikasi empiris.
II. The Problem of Induction
Untuk memahami permasalahan induksi dalam pengujian teori, kita perlu memahami perbedaan antara
dua jenis teori (nomotetis dan idiografis) dan dua orientasi penelitian (verifikasi dan falsifikasi). Permasalahan
induksi terutama berkaitan dengan pengujian teori nomotetis dan kegagalan verifikasi untuk menyelesaikan
permasalah induksi yang berkontribusi dalam pembentukan falsifikasi.
Teori nomotetis adalah teori yang berisi seperangkat proposisi umum yang bertujuan untuk menjelaskan
sebuah fenomena umum, yakni fenomena yang dapat terjadi berulang kali di tempat dan waktu berbeda. Teori
nomotetis dapat dikatakan sebagai teori universal dalam kondisi tertentu. Jenis teori ini biasanya bertujuan
untuk menjelaskan hukum, kejahatan, dan penguhukuman yang terjadi pada orang yang berbeda, di tempat
berbeda, dan pada waktu yang berbeda.

1
Teori idiografis adalah teori yang berisi seperangkat proposisi yang bertujuan untuk menjelaskan
fenomena tertentu yang terjadi di tempat dan waktu tertentu. Teori ini biasanya menjelaskan suatu peristiwa
dalam sejarah. Teori ini juga teori yang digunakan oleh pengacara untuk menjelaskan suatu dugaan tindak
kejahatan. Dalam kriminologi, teori idiografis digunakan untuk menjawab pertanyaan, misalnya; “Mengapa
tingkat kejahatan kekerasan di Amerika Serikat meningkat pada tahun 1960 dan 1990?”; “Mengapa tingkat
penahanan di Amerika Serikat meningkat sejak tahun 1960-an?”
Perbedaan antara verifikasi dan falsifikasi cenderung sulit dipahami. Verifikasi adalah suatu tujuan
penelitian yang biasanya berasosiasi dengan logika positivisme dan meliputi usaha untuk mengakumulasi
“fakta” yang konsisten dengan teori. Semakin banyak fakta yang konsisten dengan teori, maka semakin kredibel
teori tersebut. Sedangkan, falsifikasi adalah suatu orientasu penelitian yang biasanya berasosiasi dengan filosofi
‘anti-positivis’ milik Karl Popper. Falsifikasi biasanya meliputi usaha untuk mengakumulasi ‘fakta’ yang
bertentatangan dengan teori.
III. The Verification of Nomothetic Theories: A Seductive Delusion?
Teori nomotetis yang bertujuan untuk menjelaskan fenomena umum yang terjadi di tempat dan waktu
berbeda tidak dapat membandingkan secara langsung suatu kejadian dengan semua ‘fakta’ yang relevan.
Sehingga, teori nomotetis tidak dapat diobservasi secara langsung. Verifikasi terhadap teori nomotetis, jika
memungkinkan, dapat dilakukan secara tidak langsung melalui penalaran induktif dan bergantung pada validitas
dari prinsip induktif. Menurut John Stuart Mill, induksi adalah proses untuk mengeneralisasi suatu pengalaman
tertentu yang kita alami.
Dalam memverifikasi teori nomotetis, prinsip induktif harus lah lebih rasional dibanding proses
verifikasi itu sendiri. Namun, rasionalitas penalaran induktif belum ditemukan hingga saat ini. Kemudian,
David Hume menyebut kondisi tersebut sebagai permasalah induksi (problem of induction). Menurut Hume,
manusia tidak dapat menarik kesimpulan dari suatu objek, bahkan bagi objek yang telah berkali-kali dialami.
Apa yang dilakukan manusia hanyalah menjustifikasi objek tersebut. Hal ini menyebabkan prinsip induktif
tidak dapat diverifikasi. Kesimpulan yang ditarik dari prinsip induktif hanyalah dugaan yang tidak dapat
didemonstrasikan. Meskipun demikian, apabila kita ingin memverifikasi suatu teori nomotetis, kita dapat
mencoba melakukan epistemologi irrasional.
III.1. The Falsification of Nomothetic Theories: A Rational Alternative?
Ketidakmungkinan memverifikasi teori nomotetis karena prinsip induktif yang digunakan diragukan
kevaliditasannya, dapat diganti dengan melakukan dua hal berikut; 1) Melakukan falsifikasi; 2) Membuat teori
idiografis dibanding membuat teori nomotetis. Bagian ini akan lebih menjelaskan tentang falsifikasi teori
nomotetis.

2
Hingga saat ini, belum ada ahli yang mengatakan bahwa teori nomotetis dapat difalsifikasi langsung
melalui proses deduktif. Seorang ahli bernama Popper senantiasa membentuk dan meyakini bahwa falsifikasi
merupakan alternatif dari verifikasi yang rasional. Hal ini disebabkan karena falsifikasi tidak berhubungan sama
sekali dengan penalaran dan prinsip induktif. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, falsifikasi berupaya
untuk mengumpulkan semua fakta yang bertentangan dengan teori yang ingin diuji. Namun, falsifikasi tidak
mengharuskan semua fakta tersebut untuk dikomparasi dengan ‘fakta’ yang ingin dijelaskan. Melalui proses
deduktif, teori yang diuji dapat dibandikan dengan proporsi yang relatif lebih sedikit dari ‘fakta’ yang ada. Bagi
Popper, asumsi kebenaran dalam sebuah pernyataan terkadang memperbolehkan kita untuk menjustifikasi klaim
bahwa penjelasan teori universal adalah salah.
Meskipun demikian, falsifikasi memiliki dua pokok masalah; 1) pertanyaan tentang seberapa banyak
‘fakta’ yang bertentangan yang dibutuhkan untuk menolak suatu teori; 2) bagaimana membuat dan
mengevaluasi pernyataan fakta yang berbeda. Bahasan ini akan lebih berfokus kepada permasalahan pertama.
Thomas Kuhn menyatakan bahwa apabila semua ‘fakta’ yang bertentangan dianggap kegagalan terhadap suatu
teori, maka semua teori akan ditolak. Sehingga, Thomas Kuhn menyatakan bahwa Poperian membutuhkan
suatu kriteria khusus sebagai ‘derajat falsifikasi’. Namun, kriteria yang diusulkan Kuhn malah kembali ke
permasalahan induksi.
Popper mengatasi permasalahan ini dengan mengusulkan suatu gagasan yang disebut dengan
‘corroboration’ atau pembenaran, yakni suatu kriteria yang meliputi evaluasi dari pengujian teori secara
empiris, bagaimana hasil pengujian tersebut, dan apakah teori tersebut lulus dari pengujian yang dilakukan.
Apabila suatu teori tersebut dapat diuji dan konsisten dengan ‘fakta’ yang ada dan apabila teori tersebut telah
lolos dari ‘eksperimen krusial’ yang dilakukan terhadapnya, maka teori ini memiliki ‘derajat kebenaran’.
Menurut Popper, apabila dibandingkan dengan teori yang berlawanan dengannya, teori dengan pembenaran
terbaik adalah teori yang telah banyak diuji dan memiliki lebih banyak konten informatif.
III.2. Prelude to the Next Problem
Menurut Wesley Salmon (1995), terdapat cara lain untuk menyelesaikan permasalahan induksi. Cara ini
adalah dengan menganggap bahwa teori yang ada secara umum benar. Pendapat Salmon ini membuat kita tidak
perlu repot melakukan verifikasi maupun falsifikasi.
IV. The Problem of Theory Laden Observation
Problem of Theory Laden Observation merupakan permasalahan yang paling penting untuk dibahas
terkait dengan pengujian teori ini. Untuk memahami Problem of Theory Laden Observation, kita perlu
membedakan antara teori eksplanatori dengan teori observasional. Teori eksplanatori adalah teori yang berusaha
untuk diuji. Sedangkan, teori observasional adalah teori yang digunakan untuk mengumpulkan data atau fakta.

3
Dalam kriminologi, teori observasional digunakan untuk mengkonstruksikan data kejahatan resmi, data
viktimisasi, data self-report, dan lain sebagainya. Sedangkan, teori eksplanatori biasanya bertujuan untuk
menjelaskan data yang ada ini. Contoh dari teori eksplanatori adalah teori Marxisme, feminisme, teori belajar,
teori anomie, dan lain sebagainya. Sebuah pengujian empiris dalam kriminologi melibatkan komparasi antara
satu atau lebih teori eksplanatori dan sebuah teori observasional. Teori observasional membentuk pengumpulan
data, analisis data, dan juga ‘fakta empiris’ yang digunakan untuk menguji teori eksplanatori. Suatu teori terdiri
dari berbagai dugaan dan persepsi kondisional, sehingga suatu teori tidak pernah merefleksikan realita dengan
akurat dan dapat mengarah pada data dan kesimpulan yang terdistorsi.
V. Ironism, Self-Creation, and Theory Testing
Berdasarkan uraian sebelumnya, diketahui bahwa baik verifikasi maupun falsifikasi untuk menguji teori
nomotetis ataupun idiografis memiliki permasalahannya masing-masing. Selain itu, permasalahan induksi dan
permasalahan theory-laden observation juga belum terselesaikan. Oleh karena itu, seorang ahli bernama Richard
Rorty membentuk sebuah perspektif berdasarkan pemikiran posmodern yang diharapkan dapat menyelesaikan
permasalahan-permasalahan tersebut. Perspektif ini ia sebut sebagai perspektif ironis.
Perspektif ironis terdapat dalam karya Rorty yang berjudul Philosophy and the Mirror of Nature (1979).
Perspektif ironis menolak korespondensi teori kebenaran. Pemikir ironis menganggap bahwa kebenaran tidak
ditemukan, melainkan dibuat. Sehingga, pemikir ironis sangat terfokus pada self-creation dan menganggap
karya mereka sebagai poetic dibanding teologis maupun metafisika. Rorty mendeskripsikan ironis sebagai teori
yang berada di antara dua posisi, yakni menolak korespondensi kebenaran,tetapi sekaligus mengapresiasi
pemikiran bahwa kebenaran senantiasa dibuat bukan ditemukan. Ironis tidak percaya akan upaya untuk mencari
hakikat intrinsik dari diri manusia dan dunia di sekitarnya.
Ironis terfokus pada gagasan self-creation, yakni gagasan bahwa manusia senantiasa berupaya untuk
memodifikasi bahasa yang telah diketahuinya. Hal ini merupakan upaya untuk membentuk hal yang terbaik
bagi diri manusia sendiri. Ironis juga berupaya untuk mengenali bahasa dari kelompok atau komunitas lain
sebagai gambaran bahwa mereka tidak ingin terjebak dalam bahasa mereka sendiri.
Banyak kritik yang diberikan pada perspektif ironis. Namun, terdapat dua kritik yang paling penting.
Pertama, perspektif ironis dicela karena terlalu banyak mengandung relativisme. Kedua, perspektif ironis
dianggap terlalu menonjolkan kekejaman karena redeskripsi yang dilakukan perspektif ini senantiasa membuat
penderitaan yang diderita seseorang selalu teringat.
Dalam kriminologi, perspektif ironis merupakan metode yang tepat untuk mendapat empirisisme dari
kejahatan, hukum, dan penghukuman. Hal ini dikarenakan bagi perspektif ironis yang menganggap bahwa
pengetahuan dapat dibuat, tidak ada pengetahuan yang lebih superior dibanding pengetahuan lainnya.

Anda mungkin juga menyukai