Anda di halaman 1dari 5

MISNOMER DALAM NOMENKLATUR DAN PENALARAN

POSITIVISME HUKUM
Kata misinomer adalah sebuah nomina serapan dari Bahasa Inggris yang
berarti kata atau istilah yang tidak cocok penempatannya. Sementara nomenklatur
berarti tata nama atau peristilahan. Jadi, judul di atas mensyaratkan adanya pemberian
istilah yang salah terhadap terminology positivism hukum.
Sebagian besar pensturdi hukum tentu tidak asing dengan kata “positif”
sebagai suatu isitilah yang kerap disandingkan dengan “hukum”. Dari kedua kata itu
lahirlah bentuk kata majemuk “hukum positif” dan “positivisme hukum” berlaku di
suatu tempat tertentu. Istilah berikutnya merupakan nama sebuah aliran filsafat
hukum, yang pada Abad ke-19 dan 20 barisannya telah diperkuat antara lain oleh
John Austin (Inggris) dan Hans Kelsen (Austria).
Suatu problematika yang barangkali tidak disadari, atau bahkan sengaja tidak
dipersoalkan oleh para penstudi hukum kebanyakan. Padahal dengan menyingkap
inkonsisitensi persistilahan ini, makin dapat dipahami tentang duduk persoalan,
sekaligus tentang apa dan bagaimana cara bernalar positivisme hukum itu. Duduk
persoalan ini penting diberikan perhatian, mengingat positifisme hukum telah tampil
sebagai pengawal setia ilmu hukum dogmatis dengan berbagai konsekuensi.
1. Wacana Modernitas
“Positifisme adalah jiwa moralitas. Karena itu, kritik atas modernitas harus
dimulaidari kritik asas positifisme dengan upaya-upaya untuk menemukan kekhasan
metodologi ilmu-ilmu sosial kemanusiaan” demikian tulis F. Budi Hardiman. Bagi
mereka yang memahami benar kuatnya pengaruh cara berpikir yang diasup oleh
pengemuka modernitas tentu dengan sendirinya dapat membayangkan betapa kuat
berakarnya positivisme ini sebagai suatu aliran berpikir yang menguasai zaman
modern.
Zaman modern sungguh-sungguh memberi persemaian yang kondusif bagi
corak berpikir positifisme . konteks politik ketika itu juga tepat seiring dengan paham
secular yag menjauhkan gereja dari kancah politik praktis serta konteks ekonomi
memberi energy besar pula pada positifisme dengan kemuculan paham kapitalisme.
Penemuan berbagai teknologi baru menambah kepercayaan diri manusia modern
yang akhirnya mendorong terjadinya penjelajahan samudra dan kolonialisasi terhadap
bangsa-bangsa non-Eropa yang dianggap mereka berderajat lebih rendah, apa yang
diserukan tokoh empirisme Inggris Francis Bacon, “Konoeledge is power”, benar-
benar menjadi kenyataan.
2. Dari Positivisme Logis ke Empirisme Logis
Di atas telah disinggung bahwa asumsi-asumsi yang diletakakkan oleh
positivism benar-benar telah mereduksi wacana epistimologi jaman modern hanya
pada sebatas urusan metode. Semua ilmu dinilai kelayakannya dari sudut metodologi.
Dan, semua itu dibaca melalui satu kaca mata, yakni optic ilmu-ilmu alam.
Ini berarti hanya metode ilmu-ilmu alam saja yang dapat menjustifikasi
keilmiahan ilmu-ilmu, termasuk ilmu-imu social. Norma-norma metodologis yang
dibangu di atas landasan berpikir ala Comte.
Dalam melakukan penalaran, seorang ilmuwan dari empirimse logis pertama-
tama akan melihat kepentingan dirinya. Dalam konteks ini, pendekatannya adalah
teleologis etis yang mengarah pada egoism. Hanya saja, pada taraf tertentu , ada
norma-norma social yang harus diperhatikan, yang oleh Schlik disebut sebagai
konsekuensi akibat evolusi dan seleksi alam. Pada titik ini berarti ego tersebut harus
berkompromi dengan nilai-nilai yang dibangun melalui deontologis-etis.
3. Reaksi terhadap Positivisme dan Empirisme Logis
Ada banyak reaksi terhadap positivisme logis dan empirisme logis ini.
Namun, reaksi yang keras terhadap positivisme logis dan empirisme logis datang dari
aliran rasionalisme kritis. Oleh sebab itu, pandangan rasionalisme kritis akan
dijadikan titik sorotan dari uraian berikut.
Tokoh besar di balik kelahiran rasionalisme kritis adalah, R. Popper (1902-
1994). Nama Popper lazimnya dikaitkan dengan asas-asas pokok teorinya tentang
pertumbuhan ilmu, berbeda dengan positivisme dan empirisme logis yang lebih
menyoroti struktur ilmu.
Teori adalah ciptaan manusia, deikan menurut Popper. Teori hanyalah
pendugaan dan pengiraan, yang berarti teori tidak pernah benar mutlak. Ilmu baru
dapat berkembang jika tiap-tiap teori secara terus menerusdiuji kebenarannya. Cara
pengujiannya adalah dengan menunjukan kesalahan (anomali) dari teori itu, bukan
sebaliknya. Di sini Popper memperkenalkan istilah “falsifikasi” sebagai lawan dari
“verifikasi”. Demikian penting falsifikasi ini, sehingga kriterium ini dijadikan Popper
sebagai pronsip demarkasi untuk membedakan antara ilmu dan non-ilmu.
Tahap-tahap pengembangan ilmu menurut Karl Popper ditunjukan sebagai
berikut:
Tahap I: Perumusan masalah. Ilmu mulai dari suatu masalah (problem)
Masalah itu timbul kalau terjadi sesuatu yang menyimpang dari apa yangdiharapkan
oleh seseorang (individu) berdasarkan perkiraan yang sudah dimiliki olehnya.
Penyimpangan ini mengakibatkan bahwa orang itu terpaksa mempertanyakan
keabsahan perkiraan itu dan pada dasarnya merupakan “masalah pengetahuan”.
Tahap II: pembuatan teori, berhadapan dengan masalah itu manusia kemudian
merumuskan suatu teori sebagai jawabannya. Teori itu adalah hasil daya cipta
pikirannya dan bersifat percobaan (trial) atau terkaan. Teori itu selalu lebih abstrak
daripada masalah.
Tahap III: Perumusan ramalan atau hipotesis. Teori itu selanjutnya,
digunakan untuk menurunkan ramalan-ramalan spesifik secara deduktif. Ramalan itu
adalah hipotesis dan menunjuk pada keadaan kenyataan empiris tertentu.
Tahap IV: Pengujian ramalan dan hipotesis. Ramalan dan hipotesis berikutnya
diuji melalui pengamatan dan eksperimen. Tujuan pengamatan dan eksperimen
adalah mengumpulkan “keterangan empiris” (data) yang dikucilkan teori dan
menunjukan ketidakbenarannya.
Tahap V: Penilaian hasil pengujian. Dasar yang dapat dipakai untuk tujuan
menilai benar tidaknya satu teori oleh Popper dinamakan “Pernyataan Dasar”.
Pernyatann seperti ini menggambarkan hasi pengujian. Di anatara semua pernyataan
dasar ini terdapat satu himpunan bagian yang memainkan peran khusus, yaitu
pernyataan yang bertentangan dengan teori. Pernyataan semcam ini adalah “penunjuk
ketidakbenaran potensial dari teori. Suatu teori sudah terbuka untuk difalsifikasikan
kalau berdasarkan hasil pengujian (tes, eksperien) dapat dirumuskan satu pernyataan
yang bertentangan dengannya.
Tahap VI: Pembuatan teori baru. Degna ditolaknya teori pertama itu manusia
mengalami maslah baru dan membutuhkan teori baru pula untuk mengatasinya. Teori
baru ini, sama dengan teori pertama, bersifat abstrak dan pada dasarnya tidak lain
hanya perkiraan atau dugaan sehingga tidak memberi kepastian apa-apa. Jawaban
yang diberikan adalah satu percobaan (trial) baru yang perlu diuji melalui pengujian
berikutnya.
Dalam aspek epistimologisnya, rasionalisme kritis selalu mengunkan pola
penalaran deeduktif, konsisten dengan predikat “rasionalisme” yang disandangnya.
Prosedur kerja deduktif, konsisten dengan predikat “rasionalisme” yang
disandangnya.
Dalam benak kaum rasionalisme kritis, tidak ada permasalahan yag timbul
dari sesuatu yang murni karena pengalaman (empiris). Masalsah baru timbul karena
teori yang mendahuluinya, ditolak melalui proses pungujian.
Penjelasan popper bahwa teori adalah bawaan manusia menunjukan aspek
ontologis yang dualitis dalam rasionalisme kritis. Sekalipun begitu, titik berangkat
penalaran rasionalisme kritis tetap harus berangkat dari sumbu z, bukan sumbu y.
alasannya sederhana, yakni karena rasionalisme kritis tetap harus berangkat tidak
pernah menyetujui penggunaan intuisi sebagai pengembangan ilmu, sesuatu yang
sangat melekat kuat pada aspek ontologis idealism yang absolut.
Tujuan penelitian ilmiah dengan demikian sungguh-sungguh berangkat dari
kebutuhuan untuk pengembangan teori. Dibandingkan dengan posotivisme/empirisme
logis, aspek aksiologis dan rasionalisme kritis lebih eksplisit terbaca. Rasionalisme
kritis tidak berbicara tentang nilai-nilai pragmatis dalam pengembangan ilmu. Sebab
ilmu adalah untuk ilmu.
Rasionalisme kritis sendiri mengandung beberapa celah yang menjadi lading
kritik pengkaji epistimologi. Dua nama yang banyak mewacanakan. Popper (dan
rasionalisme kritisnya) adalah Thomas S Kuhn (1922-1974).
4. Positivisme Hukum
Seiring dengan pengaruh positivism yang merambah dunia sains pada
umunya, maka tidak terkecuali disiplin hukumpun menghadapi badai serupa.
Pengaruh ini pada gilirannya memberi bentuk pada berbagai keluarga system hukum .
Positivism hukum, dalam definisnya yang paling tradisional tentang hakikat
hukum, memaknai sebagai norma-norma positif dalam system perundang-undagan.
Dari segi ontologinya, pemaknaan demikian mencerminkan penggabungan antara
idealism dan materialisme. Penjelasan mengenai hal ini dapat mengacu pada Teori
Hukum Kehendak (The Will Theory of Law) dari John Austin dan Teori Hukum
Murni (The Pure Norm Theory of Law) dari Hans Kelsen.
Berbeda dengan aliran hukum kodrat yang sibuk dengan permasalahan
validasi hukum buatan manusia, maka pada positivism hukum, aktivitasnya justru
diturunkan kepada permaslahan konkret. Masalah validitas (legitimasi) aturan tetap
diberi perhatian, tetapi standar regulasi yang dijadikan acuan adalah juga norma-
norma hukum. Logikanya, norma-norma hukum hanya mungkin diuji dengan norma
hukum pula, bukan dengan non-norma huku. Norma positi akan diterima sebagai
doktrin yang aksiomatis.sepanjang ia mengikuti “the rule systematizing logic of legal
science” yang memuat asas eksklusi, subsumsi,derogasi, dan nonkontradiksi.
Logika empirisme berangkat dari pemikiran bahwa kebenaran hanya mungkin
diverivikasi melalui pembuktian empiris. Pengetahuan yang tidak bias dibuktikan
dengan eksperimen (pembuktian pengalaman) adalah pengetahuan non-ilmiah (not
make sense). Dengan asumsi ini, berarti setiap pengethauan diperoleh secara
aposteriori, bukan apriori. Karena menggunkan prinsip logika-empirisme ini, maka
positivism logis akhirnya berkembang menjadi empirisme logis. Model penalaran
positivism hukum, jika diamati dengan seksama, ternyata justru menghindari asas
logika-empirisme ini.
Di antara tiga cabang disiplin hukum, cabang ilmu hukum (dogmatis) adalah
yang paling kuat dipengaruhi oleh positivisme hukum. Dalam kenyataannya ilmu
hukum dogmtis justru menghindari kebenaran-kebenaran yang secara empiris dapat
dibuktikan “ketidakbenarannya”. Apa yang disebut dengan fiksi hukum adalah salah
satu bukti ketidakbenaran tersebut. Fiksi hukum yang paling terkenal adalah “semua
orang dianggap tahu hukum” (setelah suatu peraturan perundang-undangan
dipublikasikan secara formal dalam lembaran negara/lembaran daerah). Fiksi ini
memang dibuat bukan tanpa tujuan. Ilmu hukum dogmatis yang berpegang teguh
pada system hukum postif memerlukan kepastian agar suatu aturan dapat ditegakkan
segera setekah norma hukum tersebut dinyatakan berlaku. Dengan demikian alasan
“ketidaktahuaan” tidak mungkin digunakan karena hanya menggerogoti tujuan
kepastian hukum tersebut.
Tentu saja kedekatan model penalaran rasionalisme kritis dengan positivism
hukum sebagaiamana dipraktikan oleh ilmu hukum dogmatis ini perlu diberi catatan.
Seperti telah dikritik oleh Anthony O. Hear bahwa diabaikannya pola penalaran
induktif oleh rasionalisme kritis, memang merupakan sesuatu yang mustahil.
Positivism hukumpun sebenarnya perlu dikritik untuk alasan yang sama.
5. Catatan Penutup
Misinoner dalam nomenklatur positivisme hukum hanya mungkin dapat
dipahami apabila struktur dan posisi ilmu hukum (dogmatis) sebagai ilmu praktis
normologis otoritatif juga benar-benar telah dimengerti. Ilmu praktis mengemban
tugas untuk menyelesaikan problematika konkret yang dihadapi masyarakat. Ilmu
hukum adalah ilmu yang menjawab langsung masalah-masalah rill seperti itu. Oleh
karena itu, kenyataan-kenyataan social pula yang menjadi evaluator terhadap kinerja
ilmu hukum itu. Sifat yang normologis menunjukan bahwa ilmu hukum tidak
sepenuhnya tunduk pada hukum kausalitas sebagaimana diasumsikan berlaku bagi
ilmu-ilmu alam. Ketidakberlakuan itu karena ilmu hukum sendiri bersifat otoritatif,
yakni memerlukan energi kekuasaan, khususnya kekuasaan politis agar putusan
hukum itu memiliki kekuatan mengikat.
Metode penalaran bersinggungan langsung dengan metode penelitian.
Sebagaimana ditunjukkan dalamuraian di atas, positivisme hukum adalah aliran
pemikiran yang menggunakan metode penelitian tertentu dan model penalaran
tertentu , yang paling representative untuk menunjukkkan kekhasan karakteristik ilmu
hukum dogmatis. Sekalipun demikian, seperti dibentangkan dalam uraian di atas, ada
banyak ketidaksesuaiaan antara karakteristik positivisme hukum itu dengan aliran
berpikir positivisme yang selama ini terlanjur “dipandang” sebagai akar filosofis dari
positivisme hukum tersebut. Suatu misnomer dalam nomeklatur positivisme hukum.

Anda mungkin juga menyukai