Anda di halaman 1dari 16

TEORI INDUKSI DAN HIPOTESIS SERTA PERKEMBANGAN DEMARKASI FALSIFIKASI

DAN DUNIA TIGA SEBAGAI KRITIK POLA PEMIKIRAN POSITIVISME

UIN SUNAN AMPEL SURABAYA

Muchammad Aldian Asmaradana-05040120121

05040120121@student.uinsby.ac.id

A. Pendahuluan
Seiring pergantian dan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan atau science
selalu mengalami pertumbuhan. Hal ini tentunya muntut manusia yang hidupdi tiap
zaman untuk memiliki pola pemikiran yang progresif secara akal pikiran maupun
rasional ilmiahnya. Hal ini dibuktikan dengan munculnya banyak aliran pemikiran
yang mana masing-masing darinya memiliki pola, konsep, dan metodologi tersendiri
dalam mengkaji suatu realitas. Hal ini juga berlaku untuk setiap filsuf yang hidup di
setiap era,para filsuf juga memiliki kebebasan pola pikir guna menyelidiki suatu
kebenaran dari realitas sama halnya dengan orang awam lainnya. Sehingga
persoalan-persoalan utama epistemologi atau teori pengetahuan juga senantiasa
bertumbuhkembang seiring majunya zaman.
Sebagai wujud perkembangan teori pengetahuan di setiap zaman. Pada abad
ke-19 sampai 20, perkembangan teori pengetahuan didominasi oleh para saintis
berpaham positivisme. Aliran positivisme ini sendiri digagas oleh Auguste Comte
melalui bukunya yang berjudul Cours de Philosophie Phositive.1 sebagai wujud kontra
revolusi Perancis. Aliran ini memiliki sifat anti spekulatif, realistis, materialistis,
kristis, dan skeptis. Prinsip filosofik tentang positivisme pertama kali dikembangkan
oleh kaum empiris inggris bernama Francis Bacon dan menghasilkan suatu tesis
yang menganggap ilmu merupakan satu-satunya pengetahuan yang valid, dan fakta-
fakta sejarah yang mungkin dapat mejadi objek pengetahuan.

1
Mohammad Rivaldi Dochmie, “Keilmiahan Ilmu-Ilmu Islam Ditinjau Dari Prinsip Falsifikasi Karl Popper,”
Prosiding Konferensi Integrasi Interkoneksi Islam dan Sains 1, no. September (2018): 145.
1
Dengan demikian aliran positivisme menolak segala kekuatan atau subyek
pengetahuan di belakang fakta dan menolak segala penggunaan metode diluar yang
digunakan untuk menelaah fakta. Karena pada dasarnya Aliran positivisme ini juga
dinamai sebagai logical empirism atau scientific empirism.2 Yang mendasarkan
metodologi epistemologinya terhadap faktor empiris. Yang bermakna bahwa segala
pengetahuan didasarkan pada sebuah pengalaman atau observasi. Pandangan ini
tumbuh semakin pesat sejak munculnya eksponen dari Bacon dan kaum positivisme
sebelumnya yang mengembangkan konsep positivisme logis.3
Munculnya konsep Positivisme logis ini melahirkan suatu pengaruh
perkembangan teori pengetahuan yang sangat besar, terutama pada ilmu-ilmu alam.
Diantara tokoh-tokoh yang terkenal adalah Rudolf Carnap (1891-1970), yang
tergabung dalam lingkaran Wina (Vienna Circle).4 Dimana kebenaran suatu ilmu di
sini harus memenuhi 5 kriteria utama yakni observable (teramati), repeatable
(terulangi), measurable (terukur), testable (teruji), predictable (terramalkan).5
Kriteria ini diciptakan oleh kaum positivisme logis tidak lain adalah untuk
melanjutkan metode induksi yang digagas oleh Francis Bacon dan para eksponen
positivisme terdahulu. Bagi mereka fungsi pokok filsafat menurut mereka adalah
melakukan kajian metodologi epistemologi dan penjernian konsep ilmiah. 6
Terkait hal itu para filsuf yang tergabung dalam lingkaran Wina (Vienna
Circle) berusaha mencari garis pemisah atau garis demarkasi antara pernyataan
bermakna/pengetahuan (meaningfull) dan yang tidak bermakna/non pengetahuan
(meaningless) berdasarkan kemungkinan untuk diverifikasi. 7 Hal ini kemudian
menjadi suatu yang penting dalam perkembangan teori pengetahuan di era
positivisme logis karena menjadi peletak dasar menentukan kesahihan proposisi

2
J Jørgensen, The Development of Logical Empiricism, International encyclopedia of unified science (University
of Chicago Press, 1951), 6.
3
Paul Edwards, The Encyclopedia of Philosophy., 1967, 52.
4
K Bertens, Filsafat Barat dalam abad XX (Jakarta: Gramedia, 1981), 166.
5
Mohammad Muslih, Mansur. Zahri, and Surgana., Filsafat ilmu : kajian atas asumsi dasar, paradigma dan
kerangka teori ilmu pengetahuan (Yogyakarta: Belukar, 2004), 100.
6
Donny Gahral. Adian and M Saleh. Mude, Menyoal objektivisme ilmu pengetahuan : dari David Hume sampai
Thomas Kuhn (Jakarta: Teraju, 2002), 83.
7
Muslih, Zahri, and Surgana., Filsafat ilmu : kajian atas asumsi dasar, paradigma dan kerangka teori ilmu
pengetahuan, 100.
2
yang kokoh bagi kaum positivisme atau kaum induktifis. Induktif sendiri merupakan
konsep pemikiran untuk menentukan keabsahan generalisasi serangkaian hasil
terbatas menjadi hukum yang bersifat umum atau universal.8
Namun dibalik kuatnya struktur proposisi keilmuan yang diramu oleh kaum
positivism, ternyata tidak terlepas dari kritik beberapa tokoh Neo-Pragmatisme
seperti Karl Raymond Popper, Thomas Kuhn, dan W.V. Quine dan masih banyak
tokoh lain. Namun diantara banyaknya kritik yang ada, dalam artikel ini penulis akan
memusatkan perhatian pada kritik yang diutarakan oleh Karl Raymond Popper.
Yang mana Karl Raymond Popper tidak setuju dengan konsep demarkasi
pengetahuan dan non-pengetahuan kaum positivisme yang mendasarkannya pada
verifikasi.9 Tidak hanya melontarkan kritik atas teori tersebut Popper juga
menawarkan solusi penyelesaian atasnya, yakni dihadirkannya teori falsifikasi
dengan metode deduktif yang menurutnya lebih efektif dibanding metode induksi
yang digagas oleh kaum positivisme. Teori Karl Raymond Popper ini kemudian
menjadi angin segar bagi dunia perkembangan teori epistemologi pada abad ke-20,
selain menjelaskan mengenai kritik Popper mengenai demarkasi verifikasi penulis
juga akan mengemukakan pendapat popper tentang tiga tahap perkembangan
manusia melalui tiga dunia sebagai wujud kritiknya terhadap teori kaum positivisme
yang telah dipopulerkan dan menuai kontroversi dari kalangan agamis.

B. Teori Induksi dan Hipotesis Dalam Pikiran Positivisme Logis.


Jika berbicara teori induksi dan hipotesis tentu tidak akan terlepas dari
proses perkembangan epistemologi. Tahap awal paling awal lahirnya epistemologi
adalah adanya metode silogistik yang dikembangkan pada masa rennaisance.10
Sampai pada awal abad ke-17, perkembangan lanjut epistemologi dilanjutkan oleh
penganut madzhab induktif yang dipelopori oleh Francis Bacon, diikuti oleh David
Hume, Imanuel Khan, John Lock, John Stuart Mill, Whewell, dll. Bacon memimpin
kritik terhadap pemikiran silogistik, karena menurut Bacon untuk dapat
8
A F Chalmers, Apa Itu Yang Dinamakan Ilmu? : Suatu Penilaian Tentang Watak Dan Status Ilmu Serta
Metodenya (Jakarta: Hasta Mitra, 1983), 4.
9
Adian and Mude, Menyoal objektivisme ilmu pengetahuan : dari David Hume sampai Thomas Kuhn, 83.
10
Surajiyo, “Ilmu filsafat: suatu pengantar / Surajiyo” (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), 71,
3
memperoleh keterangan yang cukup, maka perlu untuk membentuk anggapan-
anggapan sebelumnya yang diperoleh dari observasi indrawi. Sehingga kemudian
menghasilkan suatu kesimpulan pengetahuan.11
Pendapat Bacon ini kemudian dikenal dengan metode Induktif. Dimana data
dikumpulkan melalui observasi dan eksperimen untuk menyibak rahasia alam dan
kemanusiaan melalui pengamatan yang terorganisir. 12 Metode induktif ini
merupakan metode empiris ilmiah dalam memahami fenomena alam dan
kemanusiaan.13 Dengan kata lain pengetahuan yang diperoleh dari metode induktif
adalah pengetahuan yang bersifat indrawi. Hasil dari ilmu pengetahuan yang
mendasarkan pada pengamatan indrawi dan faktual disebut dengan pengetahuan
empiris.
Pengetahuan empiris yang bersifat indrawi ini tidak bisa serta-merta
digunakan, namun harus diolah melalui proses ilmiah yang lebih lanjut. Kebanyakan
persoalan yang muncul dalam metode induktif bukan sekedar mengumpulkan fakta
empiris seperti pernyataan Bacon. Metode induktif ini memunculkan problem
mengenai cara manuisa menafsirkan dan menerapkan fakta yang kemudian
digunakan untuk membangun suatu teori yang dapat dipertimbangkan dan
dipahami. Problem ini menghadapkan metode induktif kepada permasalahan
keabsahan ide teoritis serta pemrosesan data empiris. Keabsahan suatu ide teoritis
ini lantas menjadi penting karena dalam pengembangannya akan digunakan untuk
memecahkan berbagai problematika kehidupan.
Menarik garis sejarah, perkembangan epistemologi dengan madzhab induktif
ini memiliki implikasi metodologis bahwa silogisme Aristoteles tidak digunakan lagi.
Maka dimunculkanlah metode induktif sebagai pengganti metode deduktif silogisme
yang dipopulerkan oleh Aristoteles. Metode yang didasarkan kepada pengamatan
empiris, analisis data indrawi, penyimpulan yang terwujud dalam hipotesis
(kesimpulan sementara), dan verifikasi hipotesis sebagai demarkasi keabsahan data
11
Ahmad Tafsir, Filsafat ilmu mengurai ontologi, epistemologi dan aksiologi pengetahuan (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2009), 44.
12
J M Bochenski, Jujun S Suriasumantri, and Yayasan Obor Indonesia (Jakarta)., Ilmu dalam perspektif (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2001), 88.
13
Ahmad Susanto, “Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, Dan Aksiologis,”
Jakarta: Bumi Aksara (2011): 141.
4
indrawi ini juga dihadapkan pada problem keterbatasan jangkauan manusia dalam
melakukan observasi indrawi. Maka observasi ini harus diperluas dan ditunjang
dengan sarana prasarana pendukung, pengandaian teoritis, dan kemampuan
merumuskan hasil observasi logis. Menurut Bacon dalam Barclay menyebutkan
bahwa ilmu-ilmu empiris dibangun berdasarkan pemahaman yang mengakar pada
hipotesis, eksperimen, observasi, kesimpulan, dan kemampuan melakukan verifikasi
secara independen.
Metode Induktif pada dasarnya adalah sebuah metode menarik kesimpulan
dari penalaran yang bersifat khusus sampai pada penalaran yang bersifat umum.
Cara kerjanya dengan mengamati beberapa hal atau sesuatu yang memiliki ciri
khusus. Sebagai cara kerja, metode induksi berguna karena mendasarkan pada
pengamatan faktual dan dipakai sebagai landasan ilmu empiris dan lebih bersifat
operasional. Secara umum cara kerja ilmu empiris dapat ditampilkan dalam bidang
kajian metode induktif. Seperti gambar cara kerja metode ilmiah induktif.

Pembentukan TEORI
konsep,pembentukan proposisi, Interpretasi
penyusunan proposisi. makna/gagasan
PROBLEM/persepsi bahan

Generalisasi Empiris OBSERVASI

Hipotesis

HUKUM

Gambar 1. Cara kerja metode ilmiah induktif (Daur Empiris)

C. Verhaak dan R. Haryono Imam memeriksa prosedur ilmiah ilmu empiris


dalam tiga langkah yaitu pengamatan, percobaan, dan penemuan. 14 Sejarah
pengamatan tentu melibatkan realitas historis dari sejarah ilmu pengetahuan dan
14
Hasyim Hasanah, “Cara Kerja Ilmu Empiris.Pdf,” At-Taqaddum, 2015, 18.
5
kemanusiaan. Selanjutnya dilakukan percobaan dengan upaya pembenaran “context
of justification “. Proses demikian meripakan proses yang bisa dilakukan oleh aliran
positivis-logis, sebagai model alur empiris.
Dalam upaya untuk melanjutkan kerangka pikir induktif di era abad ke-19
hingga ke-20. Kaum positivisme melahirkan kriteria kebenaran ilmu pengetahuan
yakni observable (teramati), repeatable (terulangi), measurable (terukur), testable
(teruji), predictable (terramalkan). Upaya ini dilakukan tidak lain untuk
mengembangkan metodologi pengamatan terhadap suatu data yang didapat, guna
mencapai suatu teori pengetahuan yang sahih. Selain itu kaum positivisme yang
tergabung dalam lingkaran Wina (Vienna Circle) juga berupaya mencari suatu garis
pemisah atau garis demarkasi antara meaningfull (bermakna), dan meaningless
(tidak bermakna) berdasar kemungkinanya untuk di verifikasi. Berdasarkan teori
demarkasi yang dikukuhkan oleh kaum positivis bahwa suatu proposisi dapat
dikatakan sebuah pengetahuan atau meaningfull apabila ia dapat diverifikasi
berdasarkan pengalaman dan pengamatan faktual, maka sebagai akibat dari prinsip
tersebut teologi dan metafisika tidak dapat dikatakan sebagai suatu pengetahuan
atau meaningless karena tidak dapat diverifikasi dengan metode induksi.
Berangkat dari hal tersebut menjadikan sebuah celah kelemahan metode
induktif. Yang mana metode induktif mentransformasikan analisis biologik ke dalam
analisi sosial diniai sebagai akar terpuruknya nilai-nilai spiritual dan bahkan nilai-
nilai kemanusiaan.15 Hal ini dikarenakan manusia tereduksi ke dalam pengertian
fisik biologik. Selain itu, karena paham ini menggolongkan suatu yang tidak nampak
secara indrawi sebagai hal yang tidak bermakna, maka faham ini akan
mengakibatkan banyak manusia yang nantinya tidak percaya terhadap Tuhan,
Malaikat, Setan, surga, dan neraka yang diyakini dalam dogma agama. Hal ini
dibuktikan dengan tingkat ketidakpercayaan terhadap Tuhan di abad ke-19 ketika
aliran positivisme dan metodologi induktifnya populer.
Karena aliran positivisme dan paham induktif nya hanya memusatkan
perhatian pada sesuatu yang nampak dan empiris maka tidak dapat menemukan

15
Irham Nugroho, “Positivisme Auguste Comte: Analisa Epistemologis Dan Nilai Etisnya Terhadap Sains,”
Cakrawala: Jurnal Studi Islam 11, no. 2 (2016): 145.
6
pengetahuan yang valid. Menurut kritikus metodologi induktif Popper, paham
positivistik dengan metode induktif yang mereka anut hanya akan melahirkan
hipotesis atau dugaan sementara, tak ada kebenaran terakhir. Jadi setiap teori yang
ada selalu terbuka untuk digantikan oleh teori yang lebih tepat. Selain itu problem
fundamental lainnya muncul yaitu mengenai hukum tiga tahap perkembangan
manusia. Menurut kaum positivisme perkembangan pengetahuan manusia
mengalami tiga tahap, yakni tahap teologi, tahap metafisik/abstrak, dan tahap
positif.16 Hal ini lantas menjadi celah bagi para kritikus atas keresahan kaum agamis
waktu itu. Mulai permulaan abad ke-20 lahirlah kritik dari berbagai tokoh terhadap
metodologi induktif tokoh-tokoh lingkaran Wina. Salah satu darinya yang paling
keras mengutarakan kritiknya adalah Karl Raymond Popper dengan metode
demarkasi falsifikasi dan teori perkembangan pengetahuan manusia yang melalui
tiga dunia.

C. Karl R. Popper dan Kritik Demarkasi Falsifikasi serta Dunia Tiganya


Sebelum membahas teori falsifikasi Karl Raymond Popper, terlebih dahulu
akan diuraikan bahwa Popper termasuk golongan filsuf seperti Imanuel Kant, yang
mencoba menjembatani konflik antara empirisme dan rasionalisme dengan paham
rasionalisme-kritis. Madzhab keilmuan yang dianut popper ini memiliki dua terma
dalam pengembangannya yakni rasionalisme dan kritis. Yang mana rasionalisme
adalah paham atau aliran keilmuan yang menekankan bahwa ilmu pengetahuan
tidak akan pernah lepas dengan akal daripada indera manusia. Popper hadir dengan
rasionalisme kritis yang dipeloporinya, yang pada dasarnya terinspirasi oleh tradisi
diskusi Yunani pada zaman dahulu. Dimana diskusi tersebut dilakukan untuk
mengkaji suatu materi hingga menemukan celah kelemahannya, agar selanjutnya
dapat dikembangkan dan ditingkatkan
Dengan prinsip semacam ini dapat melepaskan ilmu pengetahuan dari dogma
dan kestatisan, atau dengan kata lain ilmu pengetahuan akan berkembang secara
dinamis dan mengalami transformasi. Inilah yang kemudian menjadi landasan dasar

16
Asep Saepullah, “Epistemologi Falsifikasionisme Karl R. Popper: Relevansinya Bagi Teologi Dan Pemikiran
Keislaman,” Journal of Islamic Civilization 2, no. 2 (2020): 61.
7
atau prinsip awal dari terbitnya teori falsifikasi hasil pemikiran Popper. 17 Popper
memulai kiprahnya untuk merekonstruksi konsep peneguhan teori ala positivisme
dengan memodifikasi gagasan Imanuel Kant, namun menurutnya upaya ini
dilakukan hanya dengan memberi sentuhan penyempurnaan (finishing touch)
dengan menyisipkan empirisme kritis dan rasionalisme kritikal miliknya pada
filsafat kritis Kant. Menurutnya lewat metode pengujian kritis seperti ini, keketatan
ilmiah dan logika dapat masuk dalam empirisme.
Perlu diketahui bahwasannya rasionalisme hadir sebagai salah satu upaya
untuk menemukan batasan mengenai ilmu pengetahuan. Dari gagasan rasionalisme
lahirlah positivisme sebagai hasil pengembangannya yang juga dikenal dengan
empirisme logis dengan madzhab induktif nya. Yang kemudian paham induktif
tersebut menimbulkan satu kritik dari filsuf bernama Karl Raymond Popper, ia
merupakan salah satu kritikus pada permulaan abad ke-20 yang paling tajam,
terhadap gagasan kaum lingkaran Wina mengenai metodologi induktif. Ia lahir di
Wina, 21 Juli 1902 dari keluarga Yahudi Protestan. Meski Popper banyak berkenalan
dengan gagasan-gagasan filosuf yang tergabung dalam lingkaran Wina, namun ia tak
sependapat dengan gagasan mereka dalam bidang keilmuan terutama terkait
dengan tiga ide utama, yakni masalah induksi, demarkasi, dan dunia ketiga. Dalam
masalah induksi Popper tidak sependapat dengan penerapan keabsahan generalisasi
yang didasarkan pada prinsip induksi. Misalnya, “Apabila sejumlah besar A telah
diobservasi pada variasi kondisi yang luas, dan apabila semua A yang diobservasi
tanpa kecuali memiliki sifat B, maka semua A memiliki sifat B”. 18 Karena sebuah
hipotesa, hukum atau teori yang dihasilkan dengan metode itu hanya bersifat
sementara, sejauh belum ditemukan kesalahan-kesalahan yang ada di dalamnya.
Dalam kasus tersebut menurut Popper hanya perlu ditemukan A yang memiliki sifat
C, maka runtuhlah pernyataan tersebut.
Karena menurut Popper kesimpulan yang diberikan oleh para kaum
positivistik di atas tidak dapat membedakan antara science (pengetahuan ilmiah)

17
Ibid., 65.
18
Chalmers, Apa Itu Yang Dinamakan Ilmu? : Suatu Penilaian Tentang Watak Dan Status Ilmu Serta Metodenya,
5.
8
dan pseudo-science (pengetahuan semu) atau empirical method and a non empirical
method dalam standar kriteria ilmu maupun sistem antara empirical science dengan
matematics and logic as metaphysical.19 Juga tidak memberikan tanda pembeda yang
cocok bagi karakteristik suatu sistem teoristis yang bersifat empiris dan non-
metafisik. Atau dengan kata lain tidak memberikan kriteria demarkasi yang valid.
Terlepas dari gambaran ilmu yang dipersembahkan oleh kaum induktifis
positivisme logis yang dikemas secara logis, rasional, anti spekulatif, konkrit dan
teratur serta valid sehingga mendapat tempat dan banyak penganut di kalangan
masyarakat.
Untuk menguatkan kembali, menurut Popper suatu ilmu tidak bisa serta-
merta dikatakan ilmiah hanya karena melalui proses verifikasi atau pembenaran
terhadap teori yang dibangun atas data-data observasi yang hasilnya baru mencapai
hipotesa atau pernyataan yang boleh jadi seperti yang diusung positivisme selama
ini, menurutnya suatu ilmu dapat dipandang ilmiah atau bermakna apabila dapat
melalui proses pengujian atau testable, dengan kemampuan teori tersebut
mematahkan penyangkalan dari teori-teori baru. Tidak seperti hasil pemikiran
induktif, teori/hukum pemikiran ini tidak akan berakhir pada tahap dugaan
sementara atau hipotesis. Melainkan akan diperkokoh dengan argumen-argumen
menyangkal yang sebelumnya telah dilalui oleh sebuat teori, atau yang oleh Popper
disebut corroboration.20 Semakin besar upaya penyangkalan terhadap suatu teori
maka semakin kokoh pula keberadaan teori tersebut. Popper secara sederhana
mengenalkannya sebagai metode falsifikasi dimana memiliki skema pemikiran
berikut.

19
Karl R Popper and William Warren Bartley, Quantum Theory and the Schism in Physics : From the Postscript
to the Logic of Scientific Discovery (London; New York: Routledge, 1992), 34.
20
Komarudin, “Falsifikasi Karl Popper Dan Kemungkinan Penerapannya Dalam Keilmuan Islam,” Jurnal at-
Taqaddum 6, no. 2 (2014): 451.
9
Teori atau ilmu Jika hasil prediksi atau uji falsifikasi
salah, maka semua atau seluruh promis
dalam teori atau ilmu juga salah. Teori
tidak dapat diverifikasi, tetapi hanya
dapat difalsifikasi
Prediksi melalui uji
Falsifikasi

Gambar 2. Skema pemikiran falsifikasi

Berangkat dari kelemahan metodologi induktif kaum positivisme logis,


Popper mengembangkan pemikirannya dan berujung pada lahirnya falsifikasi yang
ditawarkan. Dengan mendekonstruksi ilmu positif dari cara induktif menjadi
dedukti dengan cara uji kesalahan (falsifiable). Sehingga ilmu-ilmu agama seperti
teologi dan metafisika memiliki kesempatan yang sama dengan ilmu empiris untuk
dibuktikan kebenarannya secara ilmiah. Karena menurutnya teori terlebih dahulu
harus bisa dimengerti dengan sudut pandang yang tepat sebelum mengatakannya
tidak bermakna atau bermakna, jadi harus melibatkan banyak aspek dan tidak hanya
melibatkan observasi indrawi belaka yang memiliki keterbatasan menafsirkan
ajaran-ajaran Teologi atau dogma agama.
Pada bagan langkah pengujian falsifikasi, bisa ditarik kesimpulan bahwa fakta
yang didapat dari pengalaman (perceptual experiences) pada saat berbenturan
dengan teori (existing theory) bila ia konsisten (consistent), maka ia akan diterima
sebagai teori yang digunakan saat ini. Bila tidak, kita membuat suatu teori dimana
suatu hipotesis dimunculkan dan diuji secara empiris (empirical test). Pada saat teori
tersebut tidak sesuai dengan kebenaran (falsified) maka teori tersebut ditolak lalu
kembali membuat suatu teori. Bila teori tersebut lolos dari falsifikasi, maka teori
tersebut diterima sebagai teori yang digunakan sementara (tentatively accepted new
theory)
10
Perceptual Experiences Existing theory

Consistent Accepted Existing


Theory

Generate New Theory

Hipotheses

Empirical Test
Reject New Theory

Falsified

Tentatively Accepted
New Theory

Gambar 3. Langkah-langkah pengujian falsifikasi


(www.geocities.ws/feubl/art2.html)

Maka pengembangan ilmu dilakukan dengan cara merontokkan teori karena


terbukti salah, untuk mendapatkan teori baru. Sebab, falsifikasi menjadi metode atau
alat untuk membedakan genuine science (ilmu murni), dari apa yang disebut Popper
sebagai pseudo science (ilmu tiruan). Oleh karena itulah, Popper mengatakan
“Science is revolution in permanence and criticism is the heart of the scientific
enterprise”. Jadi, kriteria, keilmiahan sebuah teori adalah teori itu harus bisa
disalahkan (falsifiability), bisa disangkal (refutability), dan bisa di uji (testability).
Namun Popper tak berhenti sampai disitu untuk mengembangkan keutuhan teori
filsafatnya, Popper mengemukakan konsep pemikiran lain mengenai Dunia Tiga. 21
Hal ini dilahirkan guna mengkritik pemikiran kaum positivme logis tentang tiga
tahap perkembangan pengetahuan manusia, yakni tahap teologi atau fiktif, tahap
metafisik/abstrak, dan tahap positif. Yang mana hal ini menuai keresahan dari

21
Ibid., 455.
11
kalangan agamis sebab tahap teologi dianggap sebagai pseudo-science (pengetahuan
semu), hanya karena ketidakmampuannya untuk memverifikasi ilmu agama sendiri.

Menurutnya dunia kesatu yang berupa kenyataan-kenyataan fisik dunia;


dunia kedua yang berupa segala kejadian dan kenyataan psikhis dalam diri manusia;
dan dunia ketiga yang berupa hipotesa, hukum, dan teori ciptaan manusia dan hasil
kerjasama antara dunia kesatu dan dunia kedua serta seluruh bidang kebudayaan,
seni, metafisika, agama, dan lainnya. 22 Melalui pemikirannya tentang dunia ketiga
seperti ini, tampaknya Popper ingin menghindari dua hal yang ekstrim, yakni
pandangan obyektifisme yang memandang hukum alam ada pada kenyataan fisik
dan pandangan subyektifisme yang beranggapan bahwa hukum alam adalah dimiliki
dan dikuasai oleh manusia. Menurutnya, manusia terus bergerak semakin mendekati
kebenaran. Melalui proses falsifikasi, manusia akan menemukan kesalahan yang ada
pada sebuah teori atau ilmu, lalu teori atau ilmu yang salah akan ditinggalkannya
dan digantikannya dengan yang baru. Demikian seterusnya hingga aktifitasnya
semakin mendekati kepada kebenaran.

WORLD ONE WORLD TWO

Physical world Objective knowlwdge

WORLD THREE

Subjective reality

Gambar 4. Bagan pandangan dunia menurut Popper.

22
Muslih, Zahri, and Surgana., Filsafat ilmu : kajian atas asumsi dasar, paradigma dan kerangka teori ilmu
pengetahuan, 109.
12
Teori yang dikemukakan Popper ini dipandang memiliki kontribusi besar
bagi perkembangan ilmu, terutama kebermanfaatannya dalam memberi angin segar
terhadap perkembangan metode ilmiah terutama setelah era agungnya madzhab
Francis Bacon dan semua eksponen positivisme yang hanya mengandalkan metode
Induksi semata dalam membangun teori yang kemudian akan ditetapkan sebagai
hukum mutlak. Yang mana menurut Popper hal ini hanya akan menghasilkan
kemubadziran atau inkonsistensi-inkonsistensi logis. Misalnya pada upaya
pembuktian ratusan tahumn terhadap kebenaran teori Newtonian. Yang ternyata
tak kunjung menemukan titik terang. Yang terjadi kemudian hanya berupa
tautology dan tidak pernah menemukan kebenaran teori baru. Atas metode
demarkasi falsifikasi Popper,penerapan metode deduktif untuk menguji kehandalan
suatu teori sangat memungkikan,karena itu ilmu pengetahuan akan terus
berkembang.

Selain memunculkan kemungkinan bagi seseorang untuk membangun suatu


teori baru dengan melakukan kritik terhadap keilmuannya sendiri tanpa harus
merasa dipermalukan atas kegagalan teorinya, munculnya gagasan Popper ini
membuga kemungkinan bagi para ilmuwan untuk melakukan kritik keilmuan
berdasarkan pandangan metafisika, agama, atau yang lain. Sehingga tidak salah
apabila disebutkan pemikiran Popper ini memiliki efek praktis yang mengubah cara
ilmuwan bekerja.

Dalam hal ini Popper setidaknya telah mengembalikan eksistensi ilmu agama,
teologi, dan metafisika yang sebelumnya dikesampingkan oleh penganut madzhab
induktif. Setidaknya popper telah melakukan dua hal bermakna yang mengubah
paradigma ilmu pengetahuan hingga kini, yakni pertama mengembalikan
kebermaknaan metafisika dalam ilmu pengetahuan, yang sebelumnya dianggap
kaum positivisme tidak bermakna atau meaningless. Kebermaknaan ini dijelaskan
Popper melalui pembuktian historis bahwasannya metafisika sudah sejak lama
dijadikan sebagai dasar asumsi-asumsi ilmu pengetahuan sebelum kemudian

13
dibuktikan, contohnya yakni metafisika Demokritos. 23 Kedua, Popper juga
menghilangkan kemutlakan kebenaran yang didasarkan pada observasi belaka.
Baginya semua teori hanyalah merupakan kemungkinan-kemunginan (probability)
saja, yang mana hanya mendekati kebenaran dan bukan menjadi kebenaran mutlak.

Dengan ketiadaan kemutlakan kebenaran tersebut, maka keilmiahan pun


dapat dibangun dari berbagai landasan (termasuk metafisika), bukan hanya induksi
atau verifikasi semata. Sehingga terbuka ruang kemungkinan bagi ilmu-ilmu agama
dan metafisika yang tidak didasari oleh induksi, untuk dapat mendekati kebenaran
tersebut (menjadi ilmiah). Namun, keterbukaan tersebut hanya dapat diraih melalui
prinsip falsifikasi. Apabila tidak di uji melalui falsifikasi, maka kemungkinan
mendekati kebenarannya hanya akan tetap menjadi kemungkinan (probability).

D. Kesimpulan

Ilmu pengetahuan utamanya metodeilmiah terus berkembang seiring


berkembangnya zaman, diawali dengan pemikiran deduktif Aristoteles pada masa
rennaisance yang kemudian mendapat kritik oleh Francis Bacon yang merupakan
penggagas madzhab induktif atau aliran yang memiliki pemikiran
penggeneralisasian fakta khusus menjadi pernyataan universal. Madzhab ini kokoh
berdiri hingga muncul kritik dari Karl Raymond Popper yang sealiran dengan
Imanuel Kant dengan rasionalisme kritisnya, berusaha mengkritik konsep
demarkasi verifikasi empiris yang diciptakan kaum positivisme dengan konsep
falsifikasi dan dunia tiga nya yang berfokus pada penguatan hipotesa yang
merupakan capaian akhir metode induktif dengan melakukan uji kesalahan.
Pencapaian Popper dapat dikatakan sebagai angin segar bagi perkembangan metode
ilmiah pasca era Francis Bacon. Popper telah mengembalikan makna metafisikan
dan nilai agama yang sebelumnya dianggap kaum positivisme tidak bermakna atau
meaningles . dapat dikatakan pula bahwa temuan popper ini melahirkan cara kerja
baru ilmuan yang dikemas praktis.

23
M. Nur, “Revivalisasi Epistemologi Falsifikasi,” Jurnal Agama dan Hak Azazi Manusia In Right 2, no. 1 (2012):
9.
14
DAFTAR PUSTAKA

Adian, Donny Gahral., and M Saleh. Mude. Menyoal objektivisme ilmu pengetahuan : dari
David Hume sampai Thomas Kuhn. Jakarta: Teraju, 2002.

Asep Saepullah. “Epistemologi Falsifikasionisme Karl R. Popper: Relevansinya Bagi Teologi


Dan Pemikiran Keislaman.” Journal of Islamic Civilization 2, no. 2 (2020): 60–71.

Bertens, K. Filsafat Barat dalam abad XX. Jakarta: Gramedia, 1981.

Bochenski, J M, Jujun S Suriasumantri, and Yayasan Obor Indonesia (Jakarta). Ilmu dalam
perspektif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001.

Chalmers, A F. Apa Itu Yang Dinamakan Ilmu? : Suatu Penilaian Tentang Watak Dan Status
Ilmu Serta Metodenya. Jakarta: Hasta Mitra, 1983.

Dochmie, Mohammad Rivaldi. “Keilmiahan Ilmu-Ilmu Islam Ditinjau Dari Prinsip Falsifikasi
Karl Popper.” Prosiding Konferensi Integrasi Interkoneksi Islam dan Sains 1, no.
September (2018): 145–150.

Edwards, Paul. The Encyclopedia of Philosophy., 1967.

Hasanah, Hasyim. “Cara Kerja Ilmu Empiris.Pdf.” At-Taqaddum, 2015.

Jørgensen, J. The Development of Logical Empiricism. International encyclopedia of unified


science. University of Chicago Press, 1951. https://books.google.co.id/books?id=%5C_-
QoAQAAIAAJ.

Komarudin. “Falsifikasi Karl Popper Dan Kemungkinan Penerapannya Dalam Keilmuan


Islam.” Jurnal at-Taqaddum 6, no. 2 (2014): 444–465.

Muslih, Mohammad, Mansur. Zahri, and Surgana. Filsafat ilmu : kajian atas asumsi dasar,
paradigma dan kerangka teori ilmu pengetahuan. Yogyakarta: Belukar, 2004.

Nugroho, Irham. “Positivisme Auguste Comte: Analisa Epistemologis Dan Nilai Etisnya
15
Terhadap Sains.” Cakrawala: Jurnal Studi Islam 11, no. 2 (2016): 167–177.

Nur, M. “Revivalisasi Epistemologi Falsifikasi.” Jurnal Agama dan Hak Azazi Manusia In
Right 2, no. 1 (2012): 1.

Popper, Karl R, and William Warren Bartley. Quantum Theory and the Schism in Physics :
From the Postscript to the Logic of Scientific Discovery. London; New York: Routledge,
1992.

Surajiyo. “Ilmu filsafat: suatu pengantar / Surajiyo.” Jakarta: Bumi Aksara, 2012.
http://opac.library.um.ac.id/oaipmh/../index.php?
s_data=bp_buku&s_field=0&mod=b&cat=3&id=43934.

Susanto, Ahmad. “Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, Dan
Aksiologis.” Jakarta: Bumi Aksara (2011): 76–79.

Tafsir, Ahmad. Filsafat ilmu mengurai ontologi, epistemologi dan aksiologi pengetahuan.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009.

16

Anda mungkin juga menyukai