05040120121@student.uinsby.ac.id
A. Pendahuluan
Seiring pergantian dan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan atau science
selalu mengalami pertumbuhan. Hal ini tentunya muntut manusia yang hidupdi tiap
zaman untuk memiliki pola pemikiran yang progresif secara akal pikiran maupun
rasional ilmiahnya. Hal ini dibuktikan dengan munculnya banyak aliran pemikiran
yang mana masing-masing darinya memiliki pola, konsep, dan metodologi tersendiri
dalam mengkaji suatu realitas. Hal ini juga berlaku untuk setiap filsuf yang hidup di
setiap era,para filsuf juga memiliki kebebasan pola pikir guna menyelidiki suatu
kebenaran dari realitas sama halnya dengan orang awam lainnya. Sehingga
persoalan-persoalan utama epistemologi atau teori pengetahuan juga senantiasa
bertumbuhkembang seiring majunya zaman.
Sebagai wujud perkembangan teori pengetahuan di setiap zaman. Pada abad
ke-19 sampai 20, perkembangan teori pengetahuan didominasi oleh para saintis
berpaham positivisme. Aliran positivisme ini sendiri digagas oleh Auguste Comte
melalui bukunya yang berjudul Cours de Philosophie Phositive.1 sebagai wujud kontra
revolusi Perancis. Aliran ini memiliki sifat anti spekulatif, realistis, materialistis,
kristis, dan skeptis. Prinsip filosofik tentang positivisme pertama kali dikembangkan
oleh kaum empiris inggris bernama Francis Bacon dan menghasilkan suatu tesis
yang menganggap ilmu merupakan satu-satunya pengetahuan yang valid, dan fakta-
fakta sejarah yang mungkin dapat mejadi objek pengetahuan.
1
Mohammad Rivaldi Dochmie, “Keilmiahan Ilmu-Ilmu Islam Ditinjau Dari Prinsip Falsifikasi Karl Popper,”
Prosiding Konferensi Integrasi Interkoneksi Islam dan Sains 1, no. September (2018): 145.
1
Dengan demikian aliran positivisme menolak segala kekuatan atau subyek
pengetahuan di belakang fakta dan menolak segala penggunaan metode diluar yang
digunakan untuk menelaah fakta. Karena pada dasarnya Aliran positivisme ini juga
dinamai sebagai logical empirism atau scientific empirism.2 Yang mendasarkan
metodologi epistemologinya terhadap faktor empiris. Yang bermakna bahwa segala
pengetahuan didasarkan pada sebuah pengalaman atau observasi. Pandangan ini
tumbuh semakin pesat sejak munculnya eksponen dari Bacon dan kaum positivisme
sebelumnya yang mengembangkan konsep positivisme logis.3
Munculnya konsep Positivisme logis ini melahirkan suatu pengaruh
perkembangan teori pengetahuan yang sangat besar, terutama pada ilmu-ilmu alam.
Diantara tokoh-tokoh yang terkenal adalah Rudolf Carnap (1891-1970), yang
tergabung dalam lingkaran Wina (Vienna Circle).4 Dimana kebenaran suatu ilmu di
sini harus memenuhi 5 kriteria utama yakni observable (teramati), repeatable
(terulangi), measurable (terukur), testable (teruji), predictable (terramalkan).5
Kriteria ini diciptakan oleh kaum positivisme logis tidak lain adalah untuk
melanjutkan metode induksi yang digagas oleh Francis Bacon dan para eksponen
positivisme terdahulu. Bagi mereka fungsi pokok filsafat menurut mereka adalah
melakukan kajian metodologi epistemologi dan penjernian konsep ilmiah. 6
Terkait hal itu para filsuf yang tergabung dalam lingkaran Wina (Vienna
Circle) berusaha mencari garis pemisah atau garis demarkasi antara pernyataan
bermakna/pengetahuan (meaningfull) dan yang tidak bermakna/non pengetahuan
(meaningless) berdasarkan kemungkinan untuk diverifikasi. 7 Hal ini kemudian
menjadi suatu yang penting dalam perkembangan teori pengetahuan di era
positivisme logis karena menjadi peletak dasar menentukan kesahihan proposisi
2
J Jørgensen, The Development of Logical Empiricism, International encyclopedia of unified science (University
of Chicago Press, 1951), 6.
3
Paul Edwards, The Encyclopedia of Philosophy., 1967, 52.
4
K Bertens, Filsafat Barat dalam abad XX (Jakarta: Gramedia, 1981), 166.
5
Mohammad Muslih, Mansur. Zahri, and Surgana., Filsafat ilmu : kajian atas asumsi dasar, paradigma dan
kerangka teori ilmu pengetahuan (Yogyakarta: Belukar, 2004), 100.
6
Donny Gahral. Adian and M Saleh. Mude, Menyoal objektivisme ilmu pengetahuan : dari David Hume sampai
Thomas Kuhn (Jakarta: Teraju, 2002), 83.
7
Muslih, Zahri, and Surgana., Filsafat ilmu : kajian atas asumsi dasar, paradigma dan kerangka teori ilmu
pengetahuan, 100.
2
yang kokoh bagi kaum positivisme atau kaum induktifis. Induktif sendiri merupakan
konsep pemikiran untuk menentukan keabsahan generalisasi serangkaian hasil
terbatas menjadi hukum yang bersifat umum atau universal.8
Namun dibalik kuatnya struktur proposisi keilmuan yang diramu oleh kaum
positivism, ternyata tidak terlepas dari kritik beberapa tokoh Neo-Pragmatisme
seperti Karl Raymond Popper, Thomas Kuhn, dan W.V. Quine dan masih banyak
tokoh lain. Namun diantara banyaknya kritik yang ada, dalam artikel ini penulis akan
memusatkan perhatian pada kritik yang diutarakan oleh Karl Raymond Popper.
Yang mana Karl Raymond Popper tidak setuju dengan konsep demarkasi
pengetahuan dan non-pengetahuan kaum positivisme yang mendasarkannya pada
verifikasi.9 Tidak hanya melontarkan kritik atas teori tersebut Popper juga
menawarkan solusi penyelesaian atasnya, yakni dihadirkannya teori falsifikasi
dengan metode deduktif yang menurutnya lebih efektif dibanding metode induksi
yang digagas oleh kaum positivisme. Teori Karl Raymond Popper ini kemudian
menjadi angin segar bagi dunia perkembangan teori epistemologi pada abad ke-20,
selain menjelaskan mengenai kritik Popper mengenai demarkasi verifikasi penulis
juga akan mengemukakan pendapat popper tentang tiga tahap perkembangan
manusia melalui tiga dunia sebagai wujud kritiknya terhadap teori kaum positivisme
yang telah dipopulerkan dan menuai kontroversi dari kalangan agamis.
Pembentukan TEORI
konsep,pembentukan proposisi, Interpretasi
penyusunan proposisi. makna/gagasan
PROBLEM/persepsi bahan
Hipotesis
HUKUM
15
Irham Nugroho, “Positivisme Auguste Comte: Analisa Epistemologis Dan Nilai Etisnya Terhadap Sains,”
Cakrawala: Jurnal Studi Islam 11, no. 2 (2016): 145.
6
pengetahuan yang valid. Menurut kritikus metodologi induktif Popper, paham
positivistik dengan metode induktif yang mereka anut hanya akan melahirkan
hipotesis atau dugaan sementara, tak ada kebenaran terakhir. Jadi setiap teori yang
ada selalu terbuka untuk digantikan oleh teori yang lebih tepat. Selain itu problem
fundamental lainnya muncul yaitu mengenai hukum tiga tahap perkembangan
manusia. Menurut kaum positivisme perkembangan pengetahuan manusia
mengalami tiga tahap, yakni tahap teologi, tahap metafisik/abstrak, dan tahap
positif.16 Hal ini lantas menjadi celah bagi para kritikus atas keresahan kaum agamis
waktu itu. Mulai permulaan abad ke-20 lahirlah kritik dari berbagai tokoh terhadap
metodologi induktif tokoh-tokoh lingkaran Wina. Salah satu darinya yang paling
keras mengutarakan kritiknya adalah Karl Raymond Popper dengan metode
demarkasi falsifikasi dan teori perkembangan pengetahuan manusia yang melalui
tiga dunia.
16
Asep Saepullah, “Epistemologi Falsifikasionisme Karl R. Popper: Relevansinya Bagi Teologi Dan Pemikiran
Keislaman,” Journal of Islamic Civilization 2, no. 2 (2020): 61.
7
atau prinsip awal dari terbitnya teori falsifikasi hasil pemikiran Popper. 17 Popper
memulai kiprahnya untuk merekonstruksi konsep peneguhan teori ala positivisme
dengan memodifikasi gagasan Imanuel Kant, namun menurutnya upaya ini
dilakukan hanya dengan memberi sentuhan penyempurnaan (finishing touch)
dengan menyisipkan empirisme kritis dan rasionalisme kritikal miliknya pada
filsafat kritis Kant. Menurutnya lewat metode pengujian kritis seperti ini, keketatan
ilmiah dan logika dapat masuk dalam empirisme.
Perlu diketahui bahwasannya rasionalisme hadir sebagai salah satu upaya
untuk menemukan batasan mengenai ilmu pengetahuan. Dari gagasan rasionalisme
lahirlah positivisme sebagai hasil pengembangannya yang juga dikenal dengan
empirisme logis dengan madzhab induktif nya. Yang kemudian paham induktif
tersebut menimbulkan satu kritik dari filsuf bernama Karl Raymond Popper, ia
merupakan salah satu kritikus pada permulaan abad ke-20 yang paling tajam,
terhadap gagasan kaum lingkaran Wina mengenai metodologi induktif. Ia lahir di
Wina, 21 Juli 1902 dari keluarga Yahudi Protestan. Meski Popper banyak berkenalan
dengan gagasan-gagasan filosuf yang tergabung dalam lingkaran Wina, namun ia tak
sependapat dengan gagasan mereka dalam bidang keilmuan terutama terkait
dengan tiga ide utama, yakni masalah induksi, demarkasi, dan dunia ketiga. Dalam
masalah induksi Popper tidak sependapat dengan penerapan keabsahan generalisasi
yang didasarkan pada prinsip induksi. Misalnya, “Apabila sejumlah besar A telah
diobservasi pada variasi kondisi yang luas, dan apabila semua A yang diobservasi
tanpa kecuali memiliki sifat B, maka semua A memiliki sifat B”. 18 Karena sebuah
hipotesa, hukum atau teori yang dihasilkan dengan metode itu hanya bersifat
sementara, sejauh belum ditemukan kesalahan-kesalahan yang ada di dalamnya.
Dalam kasus tersebut menurut Popper hanya perlu ditemukan A yang memiliki sifat
C, maka runtuhlah pernyataan tersebut.
Karena menurut Popper kesimpulan yang diberikan oleh para kaum
positivistik di atas tidak dapat membedakan antara science (pengetahuan ilmiah)
17
Ibid., 65.
18
Chalmers, Apa Itu Yang Dinamakan Ilmu? : Suatu Penilaian Tentang Watak Dan Status Ilmu Serta Metodenya,
5.
8
dan pseudo-science (pengetahuan semu) atau empirical method and a non empirical
method dalam standar kriteria ilmu maupun sistem antara empirical science dengan
matematics and logic as metaphysical.19 Juga tidak memberikan tanda pembeda yang
cocok bagi karakteristik suatu sistem teoristis yang bersifat empiris dan non-
metafisik. Atau dengan kata lain tidak memberikan kriteria demarkasi yang valid.
Terlepas dari gambaran ilmu yang dipersembahkan oleh kaum induktifis
positivisme logis yang dikemas secara logis, rasional, anti spekulatif, konkrit dan
teratur serta valid sehingga mendapat tempat dan banyak penganut di kalangan
masyarakat.
Untuk menguatkan kembali, menurut Popper suatu ilmu tidak bisa serta-
merta dikatakan ilmiah hanya karena melalui proses verifikasi atau pembenaran
terhadap teori yang dibangun atas data-data observasi yang hasilnya baru mencapai
hipotesa atau pernyataan yang boleh jadi seperti yang diusung positivisme selama
ini, menurutnya suatu ilmu dapat dipandang ilmiah atau bermakna apabila dapat
melalui proses pengujian atau testable, dengan kemampuan teori tersebut
mematahkan penyangkalan dari teori-teori baru. Tidak seperti hasil pemikiran
induktif, teori/hukum pemikiran ini tidak akan berakhir pada tahap dugaan
sementara atau hipotesis. Melainkan akan diperkokoh dengan argumen-argumen
menyangkal yang sebelumnya telah dilalui oleh sebuat teori, atau yang oleh Popper
disebut corroboration.20 Semakin besar upaya penyangkalan terhadap suatu teori
maka semakin kokoh pula keberadaan teori tersebut. Popper secara sederhana
mengenalkannya sebagai metode falsifikasi dimana memiliki skema pemikiran
berikut.
19
Karl R Popper and William Warren Bartley, Quantum Theory and the Schism in Physics : From the Postscript
to the Logic of Scientific Discovery (London; New York: Routledge, 1992), 34.
20
Komarudin, “Falsifikasi Karl Popper Dan Kemungkinan Penerapannya Dalam Keilmuan Islam,” Jurnal at-
Taqaddum 6, no. 2 (2014): 451.
9
Teori atau ilmu Jika hasil prediksi atau uji falsifikasi
salah, maka semua atau seluruh promis
dalam teori atau ilmu juga salah. Teori
tidak dapat diverifikasi, tetapi hanya
dapat difalsifikasi
Prediksi melalui uji
Falsifikasi
Hipotheses
Empirical Test
Reject New Theory
Falsified
Tentatively Accepted
New Theory
21
Ibid., 455.
11
kalangan agamis sebab tahap teologi dianggap sebagai pseudo-science (pengetahuan
semu), hanya karena ketidakmampuannya untuk memverifikasi ilmu agama sendiri.
WORLD THREE
Subjective reality
22
Muslih, Zahri, and Surgana., Filsafat ilmu : kajian atas asumsi dasar, paradigma dan kerangka teori ilmu
pengetahuan, 109.
12
Teori yang dikemukakan Popper ini dipandang memiliki kontribusi besar
bagi perkembangan ilmu, terutama kebermanfaatannya dalam memberi angin segar
terhadap perkembangan metode ilmiah terutama setelah era agungnya madzhab
Francis Bacon dan semua eksponen positivisme yang hanya mengandalkan metode
Induksi semata dalam membangun teori yang kemudian akan ditetapkan sebagai
hukum mutlak. Yang mana menurut Popper hal ini hanya akan menghasilkan
kemubadziran atau inkonsistensi-inkonsistensi logis. Misalnya pada upaya
pembuktian ratusan tahumn terhadap kebenaran teori Newtonian. Yang ternyata
tak kunjung menemukan titik terang. Yang terjadi kemudian hanya berupa
tautology dan tidak pernah menemukan kebenaran teori baru. Atas metode
demarkasi falsifikasi Popper,penerapan metode deduktif untuk menguji kehandalan
suatu teori sangat memungkikan,karena itu ilmu pengetahuan akan terus
berkembang.
Dalam hal ini Popper setidaknya telah mengembalikan eksistensi ilmu agama,
teologi, dan metafisika yang sebelumnya dikesampingkan oleh penganut madzhab
induktif. Setidaknya popper telah melakukan dua hal bermakna yang mengubah
paradigma ilmu pengetahuan hingga kini, yakni pertama mengembalikan
kebermaknaan metafisika dalam ilmu pengetahuan, yang sebelumnya dianggap
kaum positivisme tidak bermakna atau meaningless. Kebermaknaan ini dijelaskan
Popper melalui pembuktian historis bahwasannya metafisika sudah sejak lama
dijadikan sebagai dasar asumsi-asumsi ilmu pengetahuan sebelum kemudian
13
dibuktikan, contohnya yakni metafisika Demokritos. 23 Kedua, Popper juga
menghilangkan kemutlakan kebenaran yang didasarkan pada observasi belaka.
Baginya semua teori hanyalah merupakan kemungkinan-kemunginan (probability)
saja, yang mana hanya mendekati kebenaran dan bukan menjadi kebenaran mutlak.
D. Kesimpulan
23
M. Nur, “Revivalisasi Epistemologi Falsifikasi,” Jurnal Agama dan Hak Azazi Manusia In Right 2, no. 1 (2012):
9.
14
DAFTAR PUSTAKA
Adian, Donny Gahral., and M Saleh. Mude. Menyoal objektivisme ilmu pengetahuan : dari
David Hume sampai Thomas Kuhn. Jakarta: Teraju, 2002.
Bochenski, J M, Jujun S Suriasumantri, and Yayasan Obor Indonesia (Jakarta). Ilmu dalam
perspektif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001.
Chalmers, A F. Apa Itu Yang Dinamakan Ilmu? : Suatu Penilaian Tentang Watak Dan Status
Ilmu Serta Metodenya. Jakarta: Hasta Mitra, 1983.
Dochmie, Mohammad Rivaldi. “Keilmiahan Ilmu-Ilmu Islam Ditinjau Dari Prinsip Falsifikasi
Karl Popper.” Prosiding Konferensi Integrasi Interkoneksi Islam dan Sains 1, no.
September (2018): 145–150.
Muslih, Mohammad, Mansur. Zahri, and Surgana. Filsafat ilmu : kajian atas asumsi dasar,
paradigma dan kerangka teori ilmu pengetahuan. Yogyakarta: Belukar, 2004.
Nugroho, Irham. “Positivisme Auguste Comte: Analisa Epistemologis Dan Nilai Etisnya
15
Terhadap Sains.” Cakrawala: Jurnal Studi Islam 11, no. 2 (2016): 167–177.
Nur, M. “Revivalisasi Epistemologi Falsifikasi.” Jurnal Agama dan Hak Azazi Manusia In
Right 2, no. 1 (2012): 1.
Popper, Karl R, and William Warren Bartley. Quantum Theory and the Schism in Physics :
From the Postscript to the Logic of Scientific Discovery. London; New York: Routledge,
1992.
Surajiyo. “Ilmu filsafat: suatu pengantar / Surajiyo.” Jakarta: Bumi Aksara, 2012.
http://opac.library.um.ac.id/oaipmh/../index.php?
s_data=bp_buku&s_field=0&mod=b&cat=3&id=43934.
Susanto, Ahmad. “Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, Dan
Aksiologis.” Jakarta: Bumi Aksara (2011): 76–79.
Tafsir, Ahmad. Filsafat ilmu mengurai ontologi, epistemologi dan aksiologi pengetahuan.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009.
16