Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

“PARADIGMA ILMU PENGETAHUAN”


O
L

E
H

MUDARIS, S.Pd.I
NIM: 2021530026
IHSAN PURNAMA, SP
NIM: 2021530025
ABD RAHMAN, S.Pd.I
NIM: 2021530027

MAKALAH MATA KULIAH:


FILSAFAT ILMU
DOSEN PENGAMPU : Dr. ISKANDAR, M.Si
PASCA SARJANA IAIN LHOKSMAWE
Jl. Cempaka No. 2 Lancang Garam Banda Sakti – Lhokseumawe

2021

1
BAB I

A. PENDAHULUAN
Dewasa ini terdapat perhatian yang semakin besar terhadap filsafat ilmu.
Perkembangan cepat dialami oleh banyak ilmu serta pengaruhnya yang semakin
besar terhadap kehidupan masyarakat. Filsafat ilmu ialah penyelidikan tentang
ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan cara-cara memperolehnya. Dengan kata lain
filsafat ilmu sesungguhnya merupakan suatu penyelidikan lanjutan.1
Pembagian-pembagian nama dan istilah dalam filsafat mengkotak-kotakkan
setiap pengetahuan yang sering kali berdasar pada pengalaman, selain itu tidak
dipungkiri bahwa berfilsafat sebagai manifestasi kegiatan intelektual yang telah
meletakkan dasar-dasar paradigmatik bagi tradisi dalam kehidupan masyarakat
ilmiah ala barat.
Sejalan dengan ajaran filsafat Auguste Comte yang dikenal sebagai bapak
Sosiologi, logico–positivisme yang juga digagas oleh dirinya, merupakan model
epistemologi yang di dalamnya terdapat lengkah-langkah progresinya menempuh
jalan melalui observasi, eksperimentasi dan komparasi mendapatkan apresiasi
yang berlebihan sehingga model ini juga mulai dikembangkan dalam penelitian
ilmu-ilmu sosial.2 Dari sinilah kita akan membahas tiga hal penting tentang
positivisme dan post-positivisme saja.

1. Berling, Kwee, Mooij Van Peursen, Pengantar filsafat lmu. PT Tiara Wacana: Yogyakarta. Cet ke-
V, 2003. Hlm 1.
2[. Tim Dosen Filsafat Ilmu, Filsafat Ilmu: Liberty Yogyakarta. 2003. Hlm.6

2
BAB II

B. PEMBAHASAN
a. Paradigma
paradigma adalah cara pandang seseorang mengenai suatu pokok
permasalahan yang bersifat fundamental untuk memahami suatu ilmu maupun
keyakinan dasar yang menuntun seorang untuk bertindak dalam kehidupan
sehari-hari. Capra (1991) dalam bukunya Tao of Physics menyatakan bahwa
paradigma adalah asumsi dasar yang membutuhkan bukti pendukung untuk
asumsi-asumsi yang ditegakkannya, dalam menggambarkan dan mewarnai
interpretasinya terhadap realita sejarah sains3.
Sedangkan Kuhn (1962) dalam bukunya The Structure of Scientific
Revolution menyatakan bahwa paradigma adalah gabungan hasil kajian yang
terdiri dari seperangkat konsep, nilai, teknik dll yang digunakan secara bersama
dalam suatu komunitas untuk menentukan keabsahan suatu masalah berserta
solusinya4.
Paradigma dapat diartikan sebagai seperangkat keyakinan atau
kepercayaan yang mendasari seseorang dalam melakukan segala tindakan.
Selanjutnya hanya tinggal kita saja yang perlu untuk mencermati dari berbagai
macam paradigma yang ada.

1. PERGESERAN PARADIGMA ILMU PENGETAHUAN


Padangan tentang paradigma ilmu pengetahuan nampak akan selalu
berubah antar waktu. Suatu kelahiran paradigma yang baru tidak akan pernah
terlepas dari paradigma sebelumnya. Atau mungkin paradigma yang muncul
setelah paradigma sebelumnya sebagai paradigma yang selalu berusaha untuk
memperbaiki kekurangan-kekurang yang ada pada paradigma sebelumnya.
Pergeseran paradigma akan selalu muncul untuk mendapatkan realitas yang

3 Capra, F. Tao of Physics, London: Flamingo. 1991 hlm.5


4 Kuhn, T.S. Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains. Edisi Terjemahan. Rosda Karya. Bandung.
1962.hlm.7

3
sebenarnya sesuai dengan masa atau waktu yang selalu berganti sesuai dengan
jaman dan peradaban yang ada di muka bumi ini.
Untuk itu, Mulyana (2003) menyebut 2 faktor yang mendorong terjadinya
pergeseran paradigma yaitu:

“ …1)gugatan para ilmuwan perihal daya eksploratori pendekatan


kuantitatif-positivistik terhadap objek kajian dan 2) laju perubahan
social yang begitu cepat memerlukan pendekatan dan model studi
yang lebih kontekstual dan handal5”.
Pergeseran paradigma tersebut akan munculkan penganut-penganut yang
mempercayai dan meyakini masing-masing paradigma yang ada. Oleh sebab itu,
adanya pergeseran paradigma menciptakan suatu pengembangan dalam
paradigmailmu pengetahuan.

b. Positivisme
Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai
satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang
berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan
pada data empiris.
Positivisme, kata asalnya adalah “positif”, berarti yang diketahui, yang
factual, dan yang positif. Segala uraian yang diluar fakta atau kenyataan
dikesampingkan. Oleh karena itu, metafisika ditolak. Apa yang diketahui secara
positif adalah segala yang tampak dan yang dapat diukur. Dengan demikian
positivisme membatasi filsafat dan ilmu pada bidang gejala-gejala saja.6
Dalam paradigma ilmu, ilmuwan telah mengembangkan sejumlah perangkat
keyakinan dasar yang mereka gunakan dalam mengungkapkan hakikat ilmu yang
sebenarnya dan bagaimana cara untuk mendapatkannya. Tradisi pengungkapan
ilmu ini telah ada sejak adanya manusia, namun secara sistematis dimulai
sejak abad ke-17, ketika Descartes (1596-1650) dan para penerusnya

5 Mulyana, D. Metdologi Penelitian Kualitatif Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial
Lainnya. Rosda Karya. Bandung. 2003.hlm. 9
6 Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, M.A. Filsafat Agama. 2009. Rajawali Pers: Jakarta. Hlm. 114

4
mengembangkan cara pandang positivisme, yang memperoleh sukses besar
sebagiamana terlihat pengaruhnya dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi dewasa ini. Paradigma ilmu pada dasarnya berisi jawaban atas
pertanyaan fundamental proses keilmuan manusia, yakni bagaimana, apa, dan
untuk apa. Tiga pertanyaan dasar itu kemudian dirumuskan menjadi beberapa
dimensi.7
a. Dimensi ontologis, pertanyaan yang harus dijawab oleh seorang ilmuwan
adalah: Apa sebenarnya hakikat dari sesuatu yang dapat diketahui ( knowable),
atau apa sebenarnya hakikat dari suatu realitas (reality). Dengan demikian dimensi
yang dipertanyakan adalah hal yang nyata (what is nature of reality?).
b. Dimensi epistemologis, pertanyaan yang harus dijawab oleh seorang ilmuwan
adalah: Apa sebenarnya hakikat hubungan antara pencari ilmu (inquirer) dan
objek yang ditemukan (know atau knowable)?
c. Dimensi axiologis, yang dipermasalahkan adalah peran nilai-nilai dalam
suatu kegiatan penelitian.
d. Dimensi retorik yang dipermasalahkan adalah bahasa yang digunakan dalam
penelitian.
e. Dimensi metodologis, seorang ilmuwan harus menjawab pertanyaan:
bagaimana cara atau metodologi yang dipakai seseorang dalam menemukan
kebenaran suatu ilmu pengetahuan? Jawaban terhadap kelima dimensi
pertanyaan ini, akan menemukan posisi paradigma ilmu untuk menentukan
paradigma apa yang akan dikembangkan seseorang dalam kegiatan keilmuan.8
Positivisme merupakan paradigma ilmu pengetahuan yang paling awal
muncul dalam dunia ilmu pengetahuan. Keyakinan dasar aliran ini berakar dari
paham ontologi realisme yang menyatakan bahwa realitas ada (exist) dalam
kenyataan yang berjalan sesuai dengan hukum alam (natural laws). Dengan kata
lain, Positivisme merupakan suatu aliran filsafat yang menolak aktifitas yang
berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan
pada data empiris.

7 Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Belukar. 2006. hlm.76-77


8 Ibit.76.

5
Positivisme muncul pada abad ke-19 dimotori oleh sosiolog Auguste Comte,
dengan buah karyanya yang terdiri dari enam jilid dengan judul The Course of
Positive Philosophy (1830-1842). Ia lahir di Montpellier, Prancis. Sebuah karya
penting, Cours de Philosofia Positif (kursus tentang filsafat positif), dan berjasa
dalam mencipta ilmu sosiologi.
Positivisme memandang agama sebagai gejala peradaban manusia yang
primitive. August Comte, tokoh positivisme, membagi sejarah umat manusia atas
tiga tahap. Pertama, tahap teologis, yaitu manusia masih terpaku pada hakikat
„batin‟ segala sesuatu, sebab pertama, dan tujuan terakhir. Jadi seseorang masih
percaya kepada Yang Mutlak. Tingkat teologi menerangkan segala-galanya
dengan pengaruh dan sebab-sebab yang melebihi kodrat.9 Kedua, tahap
metafisika, yaitu perubahan bentuk saja dari zaman teologis. Kekeuatan-kekuatan
adikridati yang berupa dewa diganti dengan kekuatan yang abstrak lewat proses
generalisasi. Ketiga, tahap positif, yairtu ketika orang sadar bahwa tidak ada
gunanya untuk berusaha mencapai pengenalan, baik teologis maupun metafisis.
Zaman ini, seseorang tidak mau lagi melihat awal dan tujuan alam semesta, tetapi
berusaha menemukan hokum-hukum kesamaan yang ada dibelakang fakta lewat
pengamatan dan akanya. Tujuan tertinggi pada zaman ini akan tercapai, bila mana
segala gejala telah dapat disusun dan diatur di dalam satu fakta yang umum saja. 10
Comte berpendapat bahwa tiga tahap perkembangan umat manusia tidak saja
berlaku bagi suatu bangsa atau suku, tetapi juga individu dan ilmu. Ketika masa
kanak-kanak, seseorang menjadi teolog. Ketika remaja, dia menjadi meyafisikus,
dan ketika dewasa dia menjadi positivis. Ilmu juga demikian. Pada awalnya ilmu
dikuasai oleh teologis, sesudah itu di abstraksikan oleh metafisika, dan akhirnya
baru dicerahkan oleh hokum-hukum positif.
Comte-lah yang pertama kali menggunakan istilah sosiologi untuk
menggantikan istilah phisique sociale dari Quetelet. Ia membedakan antara
social statics dan social dynamic. Pembedaan itu hanyalah untuk tujuan analisis,
keduanya menganalisa fakta sosial yang sama, hanya dengan tujuan yang berbeda.

9 Prof. I.R. Poedjaeijatna. Pembimbing ke Arah alam dan filsafat. 1997. PT. Rineka Cipta: Jakarta.
Hlm. 121.
10 Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, M.A. Filsafat Agama. 2009. Rajawali Pers: Jakarta. hlm. 115.

6
Yang pertama menelaah fungsi jenjang-jenjang peradaban, yang kedua menelaah
perubahan-perubahan jenjang tersebut.11
Di bawah naungan payung positivisme, ditetapkan bahwa objek ilmu
pengetahuan maupun pernyataan-pernyataan ilmu pengetahuan (Scientific
Proporsition) haruslah memenuhi syarat-syarat (Kerlinger, 1973) sebagai berikut:
dapat di/ter-amati (observable), dapat di/ter-ulang (repeatable), dapat di/ter-ukur
(measurable), dapat di/ter-uji (testable), dan dapat di/ter-ramalkan (predictable).12
Salah seorang pendukung positivisme adalah Herbert Spencer. Spencer
sependapat dengan Comte, terutama tentang eksistensi Tuhan. Menurutnya,
keterangan mengenai dunia, baik yang bersifat keagamaan maupun yang bersifat
metafisik menimbulkan pertentangan. Agama dan metafisik ingin memberikan
penjelasan tentang asal mula sesuatu, padahal manusia tidak mampu mengetahui
hal itu.
Seorang positivis, membatasi dunia pada hal-hal yang bias dilihat, yang bisa
diukur, dan yang bias dibuktikan kebenarannya. Karena agama-maksudnya Tuhan
tidak bias dilihat, diukur, dan dibuktikan, maka agama tidak mempunyai arti dan
faedah. Suatu pernyataan dianggap benar oleh positivisme apabila pernyataan itu
sesuai dengan fakta.
Setelah positivisme ini berjasa dalam waktu yang cukup lama (± 400 tahun),
kemudian berkembang sejumlah „aliran‟ paradigma baru yang menjadi landasan
pengembangan ilmu dalam berbagai bidang kehidupan.

c. Postpositivisme
Post Positivisme lawan dari positivisme: cara berpikir yg subjektif Asumsi
terhadap realitas: there are multiple realities (realitas jamak), Kebenaran subjektif
dan tergantung pada konteks value, kultur, tradisi, kebiasaan, dan keyakinan.
Natural dan lebih manusiawi.13

11. Paradigm positivism dan postposivisme. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Muhammadiyah Tangerang. hlm.7.
12. Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu. 2006. Yogyakarta: Belukar. hlm. 78-79
13. Ibit.79

7
Munculnya gugatan terhadap positivisme di mulai tahun 1970-1980an.
Pemikirannya dinamai “post-positivisme”. Tokohnya; Karl R. Popper, Thomas
Kuhn, para filsuf mazhab Frankfurt (Feyerabend, Richard Rotry). Paham ini
menentang positivisme, alasannya tidak mungkin menyamaratakan ilmu-ilmu
tentang manusia dengan ilmu alam, karena tindakan manusia tidak bisa di prediksi
dengan satu penjelasan yang mutlak pasti, sebab manusia selalu berubah.
Salah satu pendiri postpositivisme adalah Karl Popper. Karl Popper lahir
di Vienna, Austria, 28 Juli 1902 dan meninggal di London, Inggris, 17
September 1994 (umur 92 tahun). Popper merupakan salah satu dari sekian
banyak filsuf ilmu dan pakar dalam bidang psikologi belajar. Popper dikenal
dengan gagasan falsifikasi, sebagai lawan dari verifikasi terhadap ilmu. Falsifikasi
adalah gagasan melihat suatu teori dari sudut pandang kesalahan. Dengan
menganggap teori itu salah, dan dengan segala upaya dibuktikan kesalahan
tersebut hingga mutlak salah, dibuatlah teori baru yang menggantikannya.
Post-positivisme merupakan perbaikan positivisme yang dianggap memiliki
kelemahan-kelemahan, dan dianggap hanya mengandalkan kemampuan
pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Secara ontologis aliran post-
positivisme bersifat critical realism dan menganggap bahwa realitas memang ada
dan sesuai dengan kenyataan dan hukum alam tapi mustahil realitas tersebut dapat
dilihat secara benar oleh peneliti. Secara epistomologis: Modified
dualist/objectivist, hubungan peneliti dengan realitas yang diteliti tidak bisa
dipisahkan tapi harus interaktif dengan subjektivitas seminimal mungkin. Secara
metodologis adalah modified experimental/ manipulatif.14
Observasi yang didewakan positivisme dipertanyakan netralitasnya, karena
observasi dianggap bisa saja dipengaruhi oleh persepsi masing-masing orang.
Proses dari positivisme ke post-positivisme melalui kritikan dari tiga hal yaitu:
a. Observasi sebagai unsur utama metode penelitian,
b. Hubungan yang kaku antara teori dan bukti. Pengamat memiliki sudut pandang
yang berbeda dan teori harus mengalah pada perbedaan waktu,
c. Tradisi keilmuan yang terus berkembang dan dinamis (Salim, 2001).

14. Ibit.80

8
Post positivisme merupakan sebuah aliran yang datang setelah positivisme dan
memang amat dekat dengan paradigma positivisme. Salah satu indikator yang
membedakan antara keduanya bahwa post positivisme lebih mempercayai proses
verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi melalui berbagai macam metode.
Dengan demikian suatu ilmu memang betul mencapai objektivitas apabila telah
diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai cara.15
Asumsi Dasar Post Positivisme:
a. Fakta tidak bebas nilai, melainkan bermuatan teori.
b. Falibilitas Teori, tidak satupun teori yang dapat sepenuhnya dijelaskan dengan
bukti-bukti empiris, bukti empiris memiliki kemungkinan untuk menunjukkan
fakta anomali.
c. Fakta tidak bebas melainkan penuh dengan nilai.
d. Interaksi antara subjek dan objek penelitian. Hasil penelitian bukanlah
reportase objektif melainkan hasil interaksi manusia dan semesta yang penuh
dengan persoalan dan senantiasa berubah.
e. Asumsi dasar post-positivisme tentang realitas adalah jamak individual.
f. Hal itu berarti bahwa realitas (perilaku manusia) tidak tunggal melainkan
hanya bisa menjelaskan dirinya sendiri menurut unit tindakan yang bersangkutan.
g. Fokus kajian post-positivis adalah tindakan-tindakan (actions) manusia sebagai
ekspresi dari sebuah keputusan.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang postpositivisme empat pertanyaan dasar
berikut, akan memberikan gambaran tentang posisi aliran ini dalam kancah
paradigma ilmu pengetahuan.
Pertama, Bagaimana sebenarnya posisi postpositivisme di antara paradigma-
paradigma ilmu yang lain? Apakah ini merupakan bentuk lain dari positivisme
yang posisinya lebih lemah? Atau karena aliran ini datang setelah positivisme
sehingga dinamakan postpositivisme? Harus diakui bahwa aliran ini bukan suatu
filsafat baru dalam bidang keilmuan, tetapi memang amat dekat dengan paradigma
positivisme. Salah satu indikator yang membedakan antara keduanya bahwa

15. Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu. hlm.80

9
postpositivisme lebih mempercayai proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil
observasi melalui berbagai macam metode. Dengan demikian suatu ilmu memang
betul mencapai objektifitas apabila telah diverifikasi oleh berbagai kalangan
dengan berbagai cara.16
Kedua, Bukankah postpositivisme bergantung pada paradigma realisme yang
sudah sangat tua dan usang? Dugaan ini tidak seluruhnya benar. Pandangan awal
aliran positivisme (old-positivism) adalah anti realis, yang menolak adanya
realitas dari suatu teori. Realisme modern bukanlah kelanjutan atau luncuran dari
aliran positivisme, tetapi merupakan perkembangan akhir dari pandangan
postpositivisme.17
Ketiga, banyak postpositivisme yang berpengaruh yang merupakan penganut
realisme. Bukankah ini menunjukkan bahwa mereka tidak mengakui adanya
sebuah kenyataan (multiple realities) dan setiap masyarakat membentuk realitas
mereka sendiri? Pandangan ini tidak benar karena relativisme tidak sesuai dengan
pengalaman sehari-hari dalam dunia ilmu. Yang pasti postpositivisme mengakui
bahwa paradigma hanyalah berfungsi sebagai lensa bukan sebagai kacamata.
Selanjutnya, relativisme mengungkap bahwa semua pandangan itu benar,
sedangkan realis hanya berkepentingan terhadap pandangan yang dianggap
terbaik dan benar. Postpositivisme menolak pandangan bahwa masyarakat dapat
menentukan banyak hal sebagai hal yang nyata dan benar tentang suatu objek oleh
anggotanya.
Keempat, karena pandangan bahwa persepsi orang berbeda, maka tidak ada
sesuatu yang benar-benar pasti. Bukankah postpositivisme menolak kriteria
objektivitas? Pandangan ini sama sekali tidak bisa diterima. Objektivitas
merupakan indikator kebenaran yang melandasi semua penyelidikan. Jika kita
menolak prinsip ini, maka tidak ada yang namanya penyelidikan. Yang ingin
ditekankan di sini bahwa objektivitas tidak menjamin untuk mencapai
kebenaran.18

16. Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu. hlm.80


17 Ibit.80
18.Ibit.81.

10
d. Perbedaan Paradigma Positivisme dan Postpositivisme
Untuk dapat membedakan paradigma Positivistik dan paradigm
postpositivitik maka penulis merumuskan dalam bentuk tabel berikut:

ASUMSI POSITIVISTIK POST POSITIVISTIK


Ontology Bersifat nyata, artinya Realis kritis-artinya realitas itu
realita itu mempunyai memang ada, tetapi tidak akan
keberadaan sendiri dan pernah dapat dipahami
diatur oleh hukum-hukum sepenuhnya.
alam dan mekanisme yang
bersifat tetap.
Epistemologi  Dualis/objektif, adalah - Objektivis modifikasi - artinya
mungkin dan esensial bagi objektivitas tetap merupakan
peneliti untuk mengambil pengaturan (regulator) yang
jarak dan bersikap tidak ideal, namun objektivitas hanya
melakukan interaksi dapat diperkirakan dengan
dengan objek yang penekanan khusus pada penjaga
diteliti. eksternal, seperti tradisi dan
 Nilai, faktor bias dan komunitas yang kritis.”
faktor yang mempengaruhi
lainnya secara otomatis
tidak mempengaruhi hasil
studi.
Metodologi bersifat eksperimental / Eksperimental / manipulatif yang
manipulatif : pertanyaan- dimodifikasi, maksudnya
pertanyaan dan/atau menekankan sifat ganda yang
hipotesis-hipotesis kritis.
dinyatakan dalam bentuk Memperbaiki ketidakseimbangan
proposisi sebelum dengan melakukan penelitian
penelitian dilakukan dan dalam latar yang alamiah, yang
diuji secara empiris lebih banyak menggunakan

11
(falsifikasi) dengan metode-metode kualitatif, lebih
kondisi yang terkontrol tergantung pada teori-grounded
secara cermat (grounded - theory) dan
memperlihatkan upaya
(reintroducing) penemuan dalam
proses penelitian.”

12
BAB III
D. PENUTUP
Kesimpulan

1. Positivisme merupakan aliran pemikiran yang membatasi pikiran pada


segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis
definisi dan relasi antara istilah-istilah. Positifisme sekarang merupakan
istilah umum untuk posisi filosofis yang menekanakan aspek faktual
pengetahuan, khususnya pengetahuan ilmiah dan umumnya positivisme
berupaya menjabarkan pernyataan-pernyataan faktual pada suatu landasan
pencerapan (sensasi). Atau dengan kata lain, positivime merupakan suatu
aliran filsafat yang menyatakan ilmu-ilmu alam (empiris) sebagai satu-
satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak nilai kognitif dari
studi filosofi satau metafisik.
2. Post Positivisme lawan dari positivisme: cara berpikir yang subjektif
Asumsi terhadap realitas. Munculnya gugatan terhadap positivisme di
mulai tahun 1970-1980an. Salah satu pendiri pospositivisme adalah Karl
Popper. Paham ini menentang positivisme, alasannya tidak mungkin
menyamaratakan ilmu-ilmu tentang manusia dengan ilmu alam.
3. Untuk dapat membedakan paradigma Positivistik dan paradigm
postpositivitik di lihat dari segi asumsi ontology, asumsi epistemology
dan asumsi aksiologi.

13
DAFTAR PUSTAKA

Berling, Kwee, Mooij Van Peursen, 2003.Pengantar filsafat lmu. PT Tiara


Wacana: Yogyakarta. Cet ke-V,
Tim Dosen Filsafat Ilmu, 2003. Filsafat Ilmu: Liberty Yogyakarta
Capra, F. Tao of Physics, 1991. London: Flamingo.
Kuhn, T.S. 1962. Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains. Edisi Terjemahan.
Rosda Karya. Bandung.
Mulyana, D. 2003. Metdologi Penelitian Kualitatif Paradigma Baru Ilmu
Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Rosda Karya. Bandung.
Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, M.A. 2009. Filsafat Agama.. Rajawali Pers: Jakarta
Muhammad Muslih, 2006. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Belukar.
Prof. I.R. Poedjaeijatna. 1997. Pembimbing ke Arah alam dan filsafat. PT. Rineka
Cipta: Jakarta.
Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, M.A. 2009. Filsafat Agama. Rajawali Pers: Jakarta
Paradigm positivism dan postposivisme. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Tangerang
Muhammad Muslih, 2006. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Belukar

14

Anda mungkin juga menyukai