Anda di halaman 1dari 52

Twitter : @dnezzotion Email : aqua1796@gmail.

com

TANYA JAWAB SEPUTAR FILSAFAT ILMU

1. Apakah pengertian ontologi, epistemologi, dan aksiologi dalam filsafat?


2. Apakah paradigma? Apakah peran paradigma dalam pengembangan ilmu?
3. Mengapakah satu paradigma dalam ilmu pengetahuan berubah? Tuliskan
contoh untuk mendukung argumen Saudara!
4. Uraikan hubungan filsafat dengan ilmu?
5. Ada 5 kriteria yang digunakan unuk menentukan teori ilmiah. Uraikanlah
kelima kriteria itu dengan menuliskan contoh.
6. Satu teori dalam ilmu pengetahuan tidak mungkin mutlak kebenarannya.
Dengan kata lain, teori ilmu pengetahuan harus memiliki kesalahan.
Uraikan pengertian dan interpretasi pernyataan ini.
7. Jelaskan pegertian logika positivistik.
8. Apakah ciri dan asumsi ilmu pengetahuan?
9. Uraikan perbedaan antara fakta dan teori dan anatara fenomena dan
konsep?
10. Uraikan perbedaan Numena dari Phenomena. Yang manakah menjadi data
dalam kajian ilmu sosial dan kajian ilmu pengetahuan alam?
11. Apakah perbedaan utama ilmu sosial dari ilmu pengetahuan alam?
Patutkah dikatakan bahwa kajian ilmu sosial lebih rendah daripada kajian
ilmu penetahuan alam?
12. Dapatkah ilmu pengetahuan bebas dari nilai? Apakah kritik para pendukung
kelompok Feminisme, Sosiologi Ilmu dan Posmodernisme terhadap konsep
ilmu pengetahuan bebas dari nilai?
13. Menurut David Hume ada 6 langkah dalam metode induktif. Uraikan
keenam langkah itu dengan menuliskan contoh.

1 Matakuliah : Filsafat Ilmu


Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion Email : aqua1796@gmail.com

Soal :
1. Apakah pengertian Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi dalam filsafat?
Jawab :

Filsafat ilmu beserta cabang-cabangnya secara sederhana terbagi


menjadi tiga macam yang menjadi lahan kerja filsafat, yaitu ontologi, epistemologi
dan aksiologi. Ketiga dari lahan garapan filsafat tersebut termuat dalam tiga
pertanyaan di mana dalam ontologi bertanya tentang apa. Pertanyaan apa
tersebut merupakan pertanyaan dasar dari sesuatu. Sedangkan dalam
epistemologi mengenalinya dengan menggunakan pertanyaan mengapa.
Pertanyaan mengapa ini merupakan kelanjutan dari mengetahui dasar dan
pertanyaan mengapa merupakan kajian bagaimana cara mengetahuinya tersebut.
Sedangkan untuk aksiologi merupakan kelanjutan dari dari epistemologi dengan
menggunakan pertanyaan bagaimana. Pertanyaan bagaimana tersebut
merupakan kelanjutan dari setelah mengetahui dan cara mengetahuinya
diteruskan dengan bagaimanakah sikap kita selanjutnya. Kalau menurut Imanuel
Kant bahwa sistematika dalam filsafat mencangkup dengan tiga pertanyaan apa
yang dapat saya ketahui, apa yang dapat saya harapkan, apa yang dapat saya
lakukan. Pertanyaan tersebut mewakili dari wilayah pengetahuan ada, dan nilai.
Ontologi. Objek yang menjadi kajian dalam ontologi tersebut adalah
realitas yang ada. Dan dalam ontologi adalah studi tentang yang ada yang
universal, dengan mencari pemikiran semesta universal. Ontologi berusaha
mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan atau menjelaskan yang ada
dalam setiap bentuknya. Dalam ontologi merupakan studi yang terdalam dari
setiap hakekat kenyataan, seperti dapatkah manusia sungguh-sungguh memilih,
apakah ada Tuhan, apakah nyata dalam hakekat material ataukah spiritual,
apakah jiwa sungguh dapat dibedakan dengan badan.
Epistemologi. Objek yang menjadi kajian dalam Epistemologi adalah
studi tentang asal usul hakekat dan jangkauan pengetahuan. Apakah pengalaman
merupakan satu-satunya sumber pengetahuan. Apakah yang menyebabkan suatu
keyakinan benar dan yang lain salah. Adakah soal-soal penting yang tidak dapat

2 Matakuliah : Filsafat Ilmu


Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion Email : aqua1796@gmail.com

dijawab dengan sains dan dapatkah kita mengetahui pikiran dan perasaan orang
lain. Pengkajian dari epistemologi adalah hakekat pengetahuan yang terdiri empat
pokok persoalan pengetahuan seperti keabsahan, struktur, batas dan sumber.
Aksiologi dan Estetika. Aksiologi atau etika studi tentang prinsip-prinsip
dan konsep yang mendasari penilaian terhadap prilaku manusia. Contohnya
tindakan yang membedakan benar atau salah menurut moral, apakah kesenangan
merupakan ukuran dapat dikatakan sebagai ukuran yang baik, apakah putusan
moral bertindak sewenang-wenang atau bertindak sekehendak hati. Sedangkan
estetika studi yang mendasarkan prinsip yang mendasari penilaian kita atas
berbagai bentuk seni. Apakah tujuan seni, apa peranan rasa dalam pertimbangan
estetis, bagaimana kita mengenal sebuah karya besar seni.

Soal :
2. Apakah paradigma? Apakah peran paradigma dalam pengembangan ilmu?

Jawab :

Paradigma adalah istilah sebuah pandangan ilmiah dalam pemikiran filsuf


ilmu Thomas Kuhn. Dia mendefinisikan Paradigma sebagai “Praktek yang
mendefinisikan disiplin ilmiah pada beberapa poin dalam waktu.” Paradigma
dalam pemikiran Thomas Kuhn adalah sesuatu yang berdasar budaya dan deskrit.
Seorang ilmuan pengobatan Cina, dengan ilmu yang mendalam mengenai
pengobatan timur, akan memiliki pandangan pemikiran yang berbeda daripada
pemikiran seorang peneliti dari barat. Fungsi dari Paradigma menyediakan puzzle
bagi para ilmuan. Paradigma sekaligus menyediakan alat untuk solusinya. Ilmu
digambarkan oleh Thomas Kuhn sebagai sebuah kegiatan menyelesaikan puzzle.

Thomas Kuhn pertamakali menggunakannya dalam sains, menunjukkan


bahwa penelitian ilmiah tidak menuju ke kebenaran. Penelitian ilmiah sangat
tergantung pada dogma dan terikat pada teori yang lama. Dalam pemikiran Kuhn
paradigma secara tidak langsung mempengaruhi proses ilmiah dalam empat cara
dasar.

3 Matakuliah : Filsafat Ilmu


Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion Email : aqua1796@gmail.com

1. Apa yang harus dipelajari dan diteliti


2. Pertanyaan yang harus ditanyakan
3. Struktur sebenarnya dan sifat dasar dari pertanyaan itu
4. Bagaimana hasil dari riset apapun diinterpretasikan.

Kuhn mempercayai bahwa ilmu pengetahuan memiliki periode


pengumpulan data dalam sebuah paradigma. Revolusi kemudian terjadi setelah
sebuah paradigma menjadi dewasa. Paradigma mampu mengatasi anomali.
Beberapa anomali masih dapat diatasi dalam sebuah paradigma. Namun demikian
ketika banyak anomali anomali yang mengganggu yang mengancam matrik disiplin
maka paradigma tidak bisa dipertahankan lagi. Ketika sebuah paradigma tidak bisa
dipertahankan maka para ilmuan bisa berpindah ke paradigma baru.

Ketika berada pada periode pengumpulan data maka ilmu pengetahuan


mengalami apa yang dikatakan perkembangan ilmu biasa. Dalam perkembangan
ilmu biasa sebuah ilmu pengetahuan mengalami perkembangan. Ketika Paradigma
mengalami pergeseran maka itu disebut masa revolusioner. Ilmu dalam tahap
biasa bisa dikatakan sebagai pengumpulan yang semakin banyak dari solusi Puzzle.
Sedangkan pada tahap revolusi ilmiah terdapat revisi dari kepercayaan ilmiah atau
praktek.

Peran Paradigma dalam Pengembangan Ilmu:


1. Pengantar : Sebuah Peran bagi Sejarah.
Sejarah, jika dipandang lebih sebagai khasanah daripada sebagai anekdot
atau kronologi, dapat menghasilkan transformasi yang menentukan dalam citra
sains yang merasuki kita sekarang. Citra itu telah dibuat sebelumnya , bahkan oleh
para ilmuwan sendiri, terutama dari studi tentang pencapaian ilmiah yang tuntas
seperti yang direkam dalam karya-karya klasik dan, yang lebih baru, dalam buku-
buku teks yang dipelajari oleh setiap generasi ilmuwan yang baru untuk
mempraktekkan kejujurannya.
Namun, dari sejarah pun konsep yang baru itu tidak akan datang jika data-
data historis masih terus dicari dan diteliti dengan cermat terutama untuk

4 Matakuliah : Filsafat Ilmu


Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion Email : aqua1796@gmail.com

menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan oleh stereotip yang tidak


historis dan diambil dari buku-buku teks sains. Jika sains itu kontelasi fakta, teori
dan metode yang dihimpun dalam buku-buku teks yang ada sekarang, maka para
ilmuwan adalah orang-orang yang berhasil atau tidak, berusaha untuk
menyumbangkan suatu unsur kedalam konstelasi tertentu itu. Perkembangan
sains menjadi suatu proses timbunan yang semakin membesar yang membentuk
tekhnik dan pengetahuan sains.
Tetapi dalam tahun-tahun belakangan ini beberapa sejarahwan sains
berpendapat bahwa memenuhi fungsi yang diberikan kepada mereka oleh konsep
perkembangan dengan akumulasi itu semakin bertambah sulit. Sebagai pencatat
rangkain proses pertambahan mereka menemukan bahwa riset tambahan itu
menyebabkan lebih sukar, bukan lebih mudah, untuk menjawab pertanyaan
seperti: kapan oksigen ditemukan ? siapa yang pertama kali menemukan konsep
tentang penghematan energi?
Penemuan baru dalam teori juga bukan satu-satunya peristiwa ilmiah yang
mempunyai dampak revolusioner terhadap para spesialisasi yang wilayahnya
menjadi tempat terjadinya peristiwa itu. Komitmen-komitmen yang menguasai
sains yang normal juga tidak hanya menetapkan jenis-jenis maujud (entity) apa
yang dikandung oleh alam semesta, tetapi juga, dengan implikasi, maujud-maujud
yang tidak dikandungnya.
2. Jalan Menuju Sains yang Normal.
Dalam essai ini, sains yang normal berarti riset yang dengan teguh berdasar
satu atau lebih pencapaian ilmiah yang lalu, pencapaian yang oleh masyarakat
ilmiah tertentu pada suatu ketika dinyatakan sebagai pemberi fondasi pada
praktek selanjutnya. Sekarang pencapaian-pencapaian itu diceritakan, meskipun
jarang dalam bentuk aslinya, oleh buku-buku teks sains tingkat dasar maupun
tingkat lanjutan. Buku- buku tersebut populer pada awal abad 19, buku-buku
klasik termasyur karya : Physica karya Aristoteles, Almagest karya Ptolemaeus,
Princip dan Opticks karya Newton, Electricity karya Franklin, Chemistery karya
Lavoisier, dan Geology karya Lyell. Mereka bisa berbuat demikian karena sama-
sama memiliki karateristik yang esensial. Pencapaian mereka cukup baru, dan
belum pernah ada sebelumnya.
Pencapaian yang turut memiliki kedua karateristik ini selanjutnya disebut
“Paradigma”, istilah yang erat kaitannya dengan “ sains yang normal “. Dengan
memilih istilah ini bermaksud mengemukakan bahwa beberapa contoh praktek
ilmiah nyata yang diterima – contoh-contoh yang bersama-sama mencakup dalil,
teori, penerapan dan intrumentasi – menyajikan model-model yang daripadanya
lahir tradisi-tradisi padu tertentu dari riset ilmiah. Karena dalam essay ini konsep

5 Matakuliah : Filsafat Ilmu


Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion Email : aqua1796@gmail.com

paradigma akan sering menggantikan berbagai gagasan yang dikenal, maka lebih
banyak yang perlu dikatakan tentang alasan penggunaannya.
Pemisahan bidang-bidang yang di dalamnya telah terdapat paradigma yang
mantap sejak zaman prasejarah, seperti matematika dan astronomi, dan juga
bidang-bidang yang muncul dengan pembagian dan penggabungan ulang, seperti
biokimia, keadaan di atas merupakan kekhasan historis. Namun sejarah juga
mengemukakan beberapa alasan bagi kesulitan yang dijumpai di jalan itu. Dalam
ketiadaan paradigma atau calon paradigma, semua fakta yang mungkin dapat
merupakan bagian dari perkembangan sains tertentu cenderung tampak sama
relevannya.
3. Sifat Sains yang Normal
Dalam penggunaannya yang telah mapan, paradigma adalah model atau
pola yang diterima, dan aspek maknannya itu telah memungkinkan, karena tidak
memiliki kata yang lebih baik untuk mengambil paradigma, bagi keperluan sendiri
disini. Akan tetapi tidak lama lagi akan jelas bahwa pengertian model dan pola
yang memungkinkan pengambilan paradigma itu tidak sama benar dengan
pengertian yang biasa digunakan untuk mendefinisikan paradigma. Dalam
penerapan yang baku ini, paradigma berfungsi dengan memperbolehkan replikasi
contoh-contoh yang masing-masing pada prinsipnya dapat menggantikannya. Di
pihak lain, dalam sebuah sains paradigma jarang merupakan obyek dari replikasi,
akan tetapi, seperti keputusan yudikatif yang diterima dalam hukum tak tertulis, ia
adalah objek bagi pengutaraan dan rincian lebih lanjut dalam keadaan yang baru
atau lebih keras.
Untuk mengetahui bagaimana hal itu bisa terjadi, kita harus ingat betapa
sangat terbatasnya suatu paradigma, baik dalam cakupannya maupun dalam
ketepatannya, pada saat pertama kali muncul. Paradigma memperoleh statusnya
karena lebih berhasil darpada saingannya dalam memecahkan beberapa masalah
yang mulai diakui oleh kelompok pemraktek bahwa masalah-masalah itu rawan.
Tiga fokus penyelidikan sains yang aktual yaitu :
- Pertama adalah kelas fakta-fakta yang telah diperlihatkan oleh paradigma
bahwa sangat menyingkapkan sifat tertentu.
- Kedua yang biasa tetapi lebih kecil dari penetapan-penetapan fakta ditujukan
kepada fakta-fakta yang, meskipun sering tanpa banyak kepentingan hakiki,
dapat dibandingkan secara langsung dengan prakiraan-prakiraan teori
paradigma.
- Ketiga adalah yang ditujukan untuk mengartikulasikan suatu paradigma.
Eksperimen ini, lebih dari yang lain-lain, dapat menyerupai eksplorasi, dan
terutama sangat sering digunakan dalam periode-periode itu dan dalam sain-
sains yang lebih banyak berurusan dengan aspek-aspek kualitatif daripada
aspek-aspek kuantitatif dari regularitas alam.

6 Matakuliah : Filsafat Ilmu


Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion Email : aqua1796@gmail.com

4. Sains Normal sebagai Pemecah Teka-teki


Pada abad ke 18 , misalnya hanya sedikit perhatian yang diberikan kepada
eksperimen-eksperimen yang mengukur tarikan listrik dengan piranti seperti
neraca. Karena memberikan hasil yang konsisten maupun yang sederhana,
eksperimen-eksperimen itu tidak bisa digunakan untuk mengartikulasikan
paradigma yang menurunkannya. Oleh sebab itu, eksperimen-eksperimen itu
tetap merupakan kenyataan yang tidak berhubungan dan tidak dapat
dihubungkan dengan kemajuan yang berlanjut dalam riset kelistrikan.
Mengantarkan pada masalah riset yang normal kepada kesimpulan adalah
mencapai apa yang diantisipasi dengan suatu cara baru, dan hal ini memerlukan
pemecahan segala jenis teka-teki instrumental, konseptual dan matematis yang
rumit. Orang yang berhasil membuktikan bahwa ia adalah seorang pakar pemecah
teka-teki, dan tantangan teka-teki itu merupakan bagian penting dari apa yang
biasanya mendorongnya.
Meskipun demikian , individu yang terlibat di dalam masalah riset yang
normal itu hampir tidak pernah mengerjakan yang manapun diantara hal-hal ini.
Begitu terlibat, motivasinya agak berbeda jenisnya. Yang kemudian menantangnya
ialah keyakinan bahwa, jika ia cukup terampil, ia akan terampil memecahkan teka-
teki yang belum pernah dipecahkan atau dipecahkan lebih sempurna oleh
siapapun.
Adanya jaringan komitmen yang kuat ini, yang konseptual, teoritis dan
instrumental, dan metodologis, merupakan sumber utama metafora yang
menghubungkan sains yang normal kepada pemecahan teka-teki. Karena ia
menyajikan kaidah-kaidah yang mengatakan kepada pemraktek spesialisasi yang
telah matang seperti apa dunia dan sainsnya itu, pemraktek dengan yakin
memusatkan perhatiannya kepada masalah-masalah esoterik yang didefinisikan
baginya oleh pengetahuan yang ada dan oleh kaidah-kaidah ini.
5. Keunggulan Paradigma
Penyelidikan historis yang cermat terhadap suatu spesialitas tertentu pada
masa tertentu pada masa tertentu menyingkapkan seperangkat keterangan yang
berulang-ulang dan kuasistandar tentang berbagai teori dalam penerapan
konseptual, observational, dan instrumental. Inilah paradigma-paradigma
masyarakat yang diungkapkan dalam buku-buku teks, ceramah-ceramah, dan
praktek-praktek laboratoriumnya. Meskipun kadang-kadang terdapat ambiguitas,
paradigma-pardigma masyarakat sains yang matang bisa ditentukan dengan relatif
mudah. Dan memang kehadiran suatu paradigma tidak perlu menyiratkanpun
bahwa ada seperangkat kaidah yang lengkap.

7 Matakuliah : Filsafat Ilmu


Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion Email : aqua1796@gmail.com

Paradigma-paradigma bisa lebih unggul, lebih mengikat, dan lebih lengkap


darpada perangkat manapun dari kaidah-kaidah untuk riset, yang tidak
diragukanpasti disarikan dari paradigma-paradigma itu.
6. Anomali dan Munculnya Penemuan Sains.
Penemuan diawali dengan kesadaran akan anomali, yakni dengan
pengakuan bahwa alam, dengan suatu cara, telah melanggar pengharapan yang
didorong oleh paradigma yang menguasai sains yang normal. Kemudian ia
berlanjut dengan eksplorasi yang sedikit banyak diperluas pada wilayah anomali.
Dan ia hanya berakhir jika teori paradigma itu telah disesuaikan sehingga yang
menyimpang itu menjadi yang diharapkan. Pengasimilasian suatu fakta jenis baru
menuntut lebih dari penyesuaian tambahan pada teori, dan sebelum penyesuaian
itu selesai, sebelum ilmuwan itu tahu bagaimana melihat alam dengan cara yang
berbeda, fakta yang baru itu sama sekali bukan fakta ilmiah.
7. Krisis dan Munculnya Teori Sains
Perubahan yang melibatkan penemuan-penemuan ini semuannya destruktif
dan sekaligus konstruktif. Namun penemuan atau bukan, satu-satunya sumber
paradigma destruktif – kostruktif ini berubah. Kita akan mulai meninjau
perubahan yang serupa, tetapi biasanya lebih luas, yang disebabkan oleh
penciptaan teori-teori baru.
Dalam memahami munculnya teori-teori baru, tidak bisa tidak kita pun akan
memperluas pandangan dan pemahaman kita tentang penemuan. Meskipun
demikian kesalinglingkupan itu bukan identitas. Jika kesadaran akan anomali
memainkan peran dalam munculnya jenis-jenis gejala yang baru, maka tidak akan
mengejutkan bahwa kesadaran yang serupa, tetapi lebih mendalam, merupakan
prasarat bagi perubahan teori yang akan diterima. Karena menuntut paradigma
secara besar-besaran dan perubahan-perubahan besar dalam masalah-masalah
dan tehnik-tehnik sains yang normal. Munculnya teori-teori itu pada umumnya
didahului oleh periode ketidakpastian yang sangat tampak pada profesi. Para filsuf
sains telah berulang-ulang mendemonstrasikan bahwa terhadap sekelompok data
tertentu selalu dapat diberikan lebih dari satu konstruksi teoritis. Sejarah sains
menunjukkan bahwa, terutama pada tahap-tahap awal perkembangan suatu
paradigma baru , bahkan tidak begitu sulit menciptakan alternatif seperti itu.

8 Matakuliah : Filsafat Ilmu


Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion Email : aqua1796@gmail.com

8. Tanggapan terhadap Krisis


Kita asumsikan bahwa krisis merupakan prakondisi yang diperlukan dan
penting bagi munculnya teori-teori baru. Meskipun mereka mungkin kehilangan
kepercayaan dan kemudian mempertimbangkan alternatif-alternatif, mereka tidak
meninggalkan paradigma yang telah membawa mereka kedalam krisis. Artinya
mereka tidak melakukan anomali-anomali sebagai kasus pengganti meskipun
dalam perbendaharaan kata filsafat sains demikian adanya.
Akan tetapi, ini memang berarti apa yang akhirnya akan menjadi masalah
pokok – bahwa tindakan mempertimbangkan yang mengakibatkan para ilmuwan
menolak teori yang semula diterima itu selalu didasarkan atas lebih daripada
perbandingan teori itu dengan dunia. Putusan untuk menolak sebuah paradigma
selalu sekaligus merupakan putusan untuk menerima yang lain, dan pertimbangan
yang mengakibatkan putusan itu melibatkan perbandingan paradigma-paradigma
dengan alam maupun satu sama lain.
Sains yang normal berupaya dan harus secara berkesinambungan berupaya
membawa teori dan fakta kepada kesesuaian yang lebih dekat, dan kegiatan itu
dapat dengan mudah dilihat sebagai penguji atau pencari pengukuhan dan
falsifikasi. Ini berarti bahwa jika suatu anomali akan menimbulkan krisis, biasanya
harus lebih daripada sekadar sebuah anomali. Selalu ada kesulitan dalam
kecocokan paradigma alam; kebanyakan diantara cepat atau lambat diluruskan,
seringkali dengan proses-proses yang mungkin tidak diramalkan.
Kadang-kadang sains yang normal akhirnya ternyata mampu menangani
masalah yang membangkitkan krisis meskipun ada keputusan pada mereka yang
melihatnya sebagai akhir dari suatu paradigma yang ada. Transisi dari paradigma
dalam krisis kepada paradigma baru yang daripadanya dapat muncul dari tradisi
baru sains yang normal itu jauh dari proses kumulatif yang dicapai dengan
artikulasi atau perluasan paradigma yang lama.antisipasi sebelumnya bisa
membantu kita mengenal krisis sebagai pendahuluan yang tepat bagi munculnya
teori-teori baru, terutama karena kita telah meneliti versi kecil-kecilan dari proses
yang sama dalam membahas munculnya sebuah penemuan.
Paradigma baru sering muncul, setidak-tidaknya sebagai embrio, sebelum
krisis berkembang jauh atau telah diakui dengan tegas. Bertambah banyaknya
artikulasi yang bersaingan, kesediaan untuk mencoba apapun, pengungkapan
ketidakpuasan yang nyata, semuannya merupakan gejala transisi dari riset yang
normal kepada riset istimewa. Gagasan sains yang normal lebih bergantung
eksistensi semua ini ketimbang pada revolusi-revolusi.

9 Matakuliah : Filsafat Ilmu


Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion Email : aqua1796@gmail.com

9. Sifat dan Perlunya Revolusi Sains


Pada saat masyarakat terbagi kedalam dua kelompok atau partai yang bersaing,
yang satu berusaha mempertahankan konstelasi kelembagaan yang lama dan
yang lain berupaya mendirikan yang baru. Dan jika polarisasi itu terjadi, maka
penyelesaian secara politis gagal. Karena mereka berselisih tentang matrik
kelembagaan tempat mencapai dan menilai perubahan politik, karena tidak ada
supraintitusional yang diakui oleh mereka untuk mengadili perselisihan
revolusioner ini menggunakan bantuan tehnik-tehnik persuasi massa, seringkali
dengan melibatkan kekuatan. Meskipun revolusi mempunyai peran yang vital
dalam evolusi lembaga-lembaga politik, peran ini bergantung pada apakah
revolusi itu merupakan peristiwa yang sebagian ekstrapolitis dan
ekstraintitusional.
Seperti dalam revolusi politik, dalam pemilihan paradigmapun tidak ada
standar yang lebih tinggi daripada persetujuan masyarakat yang bersangkutan.
Untuk menyingkapkan bagaimana revolusi sains dipengaruhi, kita tidak hanya
harus meneliti dampak sifat dan dampak logika, tetapi juga tehnik-tehnik
argumentasi persuasif dan efektif didalam kelompok-kelompok yang sangat
khusus yang membentuk masyarakat sains itu.
Sesuatu yang bahkan lebih fundamental daripada standar-standar dan nilai-
nilai, bagaimanapun juga dipertaruhkan. Sampai disini saya berargumentasi hanya
bahwa paradigma-paradigma adalah esensial bagi sains. Sekarang saya ingin
memperagakan suatu pengertian bahwa paradigma-paradigma itu esensial bagi
alam.
10. Revolusi sebagai Perubahan atas Dunia
Yang lebih penting lagi, selama revolusi para ilmuwan melihat hal-hal yang
baru dan berbeda ketika mereka menggunakan instrumen-instrumen yang sangat
dikenalnya untuk menengok tempat-tempat yang pernah dilihatnya. Dalam sains,
jika perubahan persepsi menyertai perubahan paradigma, kita tidak
mengharapkan para ilmuwan secara langsung menyokong perubahan ini, ketika
memandang bulan, orang yang beralih kepada Copernicanisme tidak berkata ,”
saya biasanya melihat planet, tetapi sekarang saya melihat satelit,” ungkapan itu
akan menyiratkan pada sistem Ptolomeus adalah benar. Akhirnya orang yeng
beralih ke Astronomi baru berkata, “ Dulu saya menganggap bulan sebagai planet,
tetapi saya keliru.” Pernyataan itu memang berulang setelah terjadi revolusi sains.
Jika hal itu biasanya menyamarkan perubahan pandangan ilmiah atau
transformasi mental yang lain yang efeknya sama, kita tidak bisa mengharapkan
kesaksian langsung tentang perubahan itu. Akan tetapi, kita harus mencari bukti

10 Matakuliah : Filsafat Ilmu


Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion Email : aqua1796@gmail.com

tak langsung atau bukti berupa prilaku yang oelh ilmuwan dengan paradigma baru
terlihat berbeda dari yang telah dilihatnya sebelum itu.
11. Tampaknya Bukan sebagai Revolusi
Sampai disini saya telah mencoba memperagakan revolusi-revolusi dengan
ilustrasi, dan contoh-contohnya dapat dilipat gandakan sampai tingkat yang
memuakkan. Akan tetapi, jelas bahwa kebanyakan diantarannya, yang dengan
sengaja dipilih karena sudah dikenal, biasanya dipandang bukan sebagai revolusi,
melainkan tambahan kepada pengetahuan sains.
Namun, sebagai wahana pedagogis untuk melestarikan sains yang normal,
buku teks harus ditulis ulang seluruhnya atau sebagian apabila bahasa, struktur
masalah, atau standar sains yang normal berubah. Singkat kata, buku teks harus
ditulis ulang setelah revolusi sains dan, setelah ditulis ulang, mau tak mau ia akan
menyamarkan bukan hanya peran, melainkan juga adanya revolusi yang
menghasilkannya. Kecuali jika masa hidupnya pribadi mengalami revolusi,
kesadaran historis ilmuwan yang berkarya maupun orang awam pembaca
kepustakaan buku teks hanya memperluas akibat revolusi yang paling baru dalam
bidangnya.
Lebih dari aspek manapun dari sains, bentu pedagogis itu lebih menekankan
citra kita tentang sifat sains dan tentang peran penemuan dan penciptaan dalam
kemajuan.
12. Pemecahan Revolusi
Buku-buku teks yang baru saja kita bahas hanya dihasilkan sebagai akibat
revolusi sains. Mereka merupakan dasar tradisi baru sains yang normal. Tak dapat
dihindarkan pada masa-masa revolusi nampaknya keyakinan tangguh dan bandel,
dan kadang-kadang memang menjadi demikian. Akan tetapi, ia juga suatu
kelebihan. Keyakinan yang sama itulah yang memungkinkan adanya sains yang
normal atau sains yang memecah teka-teki. Dan hanya yang melalui sains yang
normallah masyarakat profesional para ilmuwan berhasil, pertama dalam
memanfaatkan lingkup potensial dan petisi paradigma yang lama, dan kemudian
dalam mengisolasi kesukaran melalui studi yang bisa memunculkan paradigma
baru.
Ini tidak menyatakan bahwa paradigma baru pada akhirnya meraih
kemenangan melalui estetika mistik. Sebaliknya, sangat sedikit orang yang
meninggalkan tradisi hanya karena alasan-alasan ini. Seringkali mereka yang
berbalik itu disesatkan. Akan tetapi jika suatu paradigma bagaimanapun harus
menang, ia harus memperoleh beberapa pendukung, yakni orang-orang yang akan
mengembangkannya sampai titik ketika argumen-argumen yang keras kepala itu
dapat dibuat dan dilipat gandakan.

11 Matakuliah : Filsafat Ilmu


Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion Email : aqua1796@gmail.com

13. Kemajuan melalui Revolusi


Mengapa kemajuan itu merupakan keuntungan yang dicadangkan hampir
eksklusif bagi kegiatan yang kita sebut sains? Jawaban yang paling biasa atas
pertanyaan itu adalah telah ditolak dalam tubuh esai ini. Kita harus
menyimpulkannya dengan bertanya apakah dapat ditemukan pengganti.
Kita harus belajar menyadari apa yang biasanya kita anggap efek itu sebagai
suatu penyebab. Jika kita dapat melakukannya, frase-frase seperti “ kemajuan
sains” dan “Objektivitas sains” akan menjadi tampak seolah-olah sebagian
dibesar-besarkan. Sebenarnya, satu aspek dari pleonasme itu baru saja dilukiskan.
Namun, jika dipandang dari dalam suatu masyarakattersendiri yang mana
saja , apakah masyarakat ilmuwan atau non ilmuwan, hasil dari karya yang kreatif
yang berhasil itu adalah kemajuan.
Paragrap terakhir menunjukkan arah , dipercaya pemecahan yang lebih baik
bagi masalah kemajuan sains harus dicari. Barangkali mereka memberi petunjuk
bahwa kemajuan sains itu tidak benar-benar seperti yang kita anggap. Akan tetapi
kesemertaan mereka menunjukkan bahwa suatu jenis kemajuan akan memberi
karakter pada kegiatan sain selama kegiatan itu bertahan. Dalam sain tidak perlu
ada kemajuan jenis lain. Agar lebih presis, mungkin kita harus melepaskan pikiran,
secara tegas dan tersirat, bahwa perubahab paradigma membawa ilmuwan dan
mereka yang belajar daripadanya semakin mendekati kebenaran.
14. Pascawacana – 1969.
Tanggapan para kritikus telah meningkatkan pemahaman tentang sejumlah
masalah yang ditimbulkan. di sekitar konsep paradigma. Dan pembahasanny
dimulai dari kesulitan itu. Setidak-tidaknya secara fisiologis, arti kedua dari
paradigma ini adalah yang lebih dalam dari yang dua, dan klaim yang dIbuat atas
namannya merupakan sumber utama berbagai kontroversi dan kesalahpahaman
yang ditimbulkan, terutama untuk tuduhan yang dibuat dari sains menjadi
kegiatan yang subyektif dan irasional.

12 Matakuliah : Filsafat Ilmu


Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion Email : aqua1796@gmail.com

Istilah paradigma sejak dini memasuki halaman-halaman yang terdahulu,


dan cara masuknya itu hakikatnya sirkular. Paradigma ialah apa yang dimiliki
bersama oleh anggota-anggota suatu masyarakat sains, dan sebaliknya,
masyarakat sains terdiri atas orang-orang yang memiliki paradigma bersama.
Pengetahuann sains, seperti bahasa, pada hakikatnya adalah milik bersama
suatu kelompok, kalau tidak sama sekali tidak ada apa-apa. Untuk memahaminya
kita perlu mengetahui karateristik-karateristik khusus dari kelompok yang
menciptakan dan menggunakannya.

Soal :
3. Mengapakah satu paradigma dalam ilmu pengetahuan berubah? Tuliskan
contoh untuk mendukung argumen Saudara!
Jawab :
Berawal dari kesadaran tentang realitas atas tangkapan indra dan hati
yang kemudian diproses akal untuk menentukan sikap mana yang benar dan mana
yang salah terhadap suatu objek atau realitas. Cara seperti ini bisa disebut sebagai
proses rasionalitas dalam limu. Sementara itu, proses rasionalitas itu mampu
mengantarkan seseorang untuk memahami metarsional sehingga muncul suatu
kesadaran baru tentang realitas metafisika yakni apa yang terjadi di balik objek
rasional yang bersifat fisik itu.
Para ilmuwan dalam ilmu normal biasanya bekerja dalam kerangka
seperangkat aturan yang sudah dirumuskan secara jelas berdasarkan paradigma
dalam bidang tertentu, sehingga pada dasarnya solusinya sudah dapat diantisipasi
terlebih dahulu. Dengan demikian, kegiatan ilmiah dalam kerangka ilmu noprmal
adalah seperti kegiatan “puzzle solving”. Implikasinya adalah bahwa kegagalan
menghasilkan suatu solusi terhadap masalah tertentu lebih mencerminkan tingkat
kemampuan ilmuwannya ketimbang sifat dari masalah yang bersangkutan atau
metode yang digunakan.
Jika paradigma baru itu diterima oleh komunitas ilmiah, maka hal itu
berarti bahwa paradigma terdahulu ditolak atau ditinggalkan. Paradigma yang
baru akan diterima sebagai pengganti yang lama, jika paradigma baru itu mampu
memberikan penyelesaian terhadap anomali yang ditemukan dan tidak
terselesaikan dalam kerangka paradigma lama, memiliki lebih banyak prefisi
kuantitatif dan dapat meramalkan fenomena baru, memiliki kualitas estetika
tertentu atau idukung oleh sejumlah anggota komunitas yang berpengaruh.

13 Matakuliah : Filsafat Ilmu


Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion Email : aqua1796@gmail.com

Diterimanya paradigma baru berarti terbentuk ilmu normal baru yang akan
berkembang sampai terjadi lagi revolusi ilmiah. Demikianlah bahwa dalam
dinamika kegiatan ilmiah, para ilmuwan dapat menyadari adanya peningkatan
anomali yang penyelesaiannya menyimpang dari paradigma yang berlaku.
Perubahan paradigma itu menimbulkan berbagai perubahan dalam
kegiatan ilmiah. Hal itu akan menimbulkan redefinisi ilmu yang bersangkutan.
Beberapa masalah dinyatakan sebagai masalah yang termasuk dalam disiplin lain
atau dinyatakan bukan masalah ilmiah lagi. Dengan demikian, yang sebelumnya
dianggap bukan masalah atau hanya masalah kecil, kini menjadi masalah pokok.
Standar dan kriteria untuk menentukan keabsahan masalah dan keabsahan solusi
masalah dengan sendirinya juga berubah. Secara umum dapat dikatakan bahwa
perubahan paradigma itu membawa transformasi dalam “ the scientific
imagination” dan dengan itu juga terjadi “transformation of the world”.
Berdasarkan deskripsi perkembangan aliran filsafat ilmu yang
berpengaruh tersebut di atas, kiranya dapat dikemukakan argumen sebagai
berikut:
Pertama, bahwa apa yang dikemukakan oleh Thomas Kuhn adalah sebagai suatu
pengungkapan sejarah perkembangan sains yang secara analitis dapat diketahui
secara pasti kategoris-kategoris yang terkandung dalam suatu pilihan objek
perkembangan sains itu sendiri. Dari segi metodologis apa yang dikemukakan oleh
Thomas Kuhn tersebut dapat menambah pemahaman kita tentang suatu proses
perkembangan ilmu pengetahuan dalam hal ini sains secara revolusioner dengan
paradigma sebagai citra pencarian kebenaran.
Kedua, sumbangan terbesar Thomas Kuhn di bidang disiplin ilmu lainnya adalah
tawaran suatu telaah baru terhadap ketatnya konstruksi metodologi yang
mungkin dapat membelenggu perkembangan ilmu itu sendiri walaupun disadari
hal itu tidaklah mudah manakala keberanian menampilkan suatu perspektif
paradigma baru dalam menatap persoalan suatu disiplin ilmu tidak juga
memunculkan persoalan-persoalan mendasar untuk ditelaah. Dalam hal ini
disinyalir adanya kebebasan untuk secara berani menelaah perkembangan disiplin
ilmu dan implementasinya terhadap masyarakat.
Ketiga, Indonesia saat ini sedang dilanda krisis multi dimensional, hal ini ditandai
dengan munculnya berbagai persoalan hidup yang kompleks dan tak kunjung
terselesaikan. Pendekatan secara sistematik masing-masing disiplin ilmu kiranya
tidak cukup untuk mengatasi multi krisis tersebut. Untuk itu perlunya suatu
dimensi paradigma baru yang mampu menciptakan keterkaitan antara berbagai
disiplin ilmu tanpa harus kehilangan jati diri masing-masing dalam bentuk lahirnya
sebuah terapi ilmiah baru guna memecahkan berbagai krisis tersebut. Telaah
alternatif yang dikemukakan oleh Thomas Kuhn tersebut di atas kemungkinan bisa
dijadikan solusi bagi pencapaian tujuan yang dimaksud.

14 Matakuliah : Filsafat Ilmu


Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion Email : aqua1796@gmail.com

Soal :
4. Uraikan hubungan filsafat dengan ilmu?
Jawab :

· Dalam sejarah filsafat Yunani, filsafat mencakup seluruh bidang ilmu


pengetahuan. Lambat laun banyak ilmu-ilmu khusus yang melepaskan diri dari
filsafat. Meskipun demikian, filsafat dan ilmu pengetahuan masih memiliki
hubungan dekat. Sebab baik filsafat maupun ilmu pengetahuan sama-sama
pengetahuan yang metodis, sistematis, koheren dan mempunyai obyek
material dan formal.

· Yang membedakan diantara keduanya adalah: filsafat mempelajari seluruh


realitas, sedangkan ilmu pengetahuan hanya mempelajari satu realitas atau
bidang tertentu.

· Filsafat adalah induk semua ilmu pengetahuan. Dia memberi sumbangan dan
peran sebagai induk yang melahirkan dan membantu mengembangkan ilmu
pengetahuan hingga ilmu pengetahuan itu itu dapat hidup dan berkembang.

· Filsafat membantu ilmu pengetahuan untuk bersikap rasional dalam


mempertang-gungjawabkan ilmunya. Pertanggungjawaban secara rasional di
sini berarti bahwa setiap langkah langkah harus terbuka terhadap segala
pertanyaan dan sangkalan dan harus dipertahankan secara argumentatif, yaitu
dengan argumen-argumen yang obyektif (dapat dimengerti secara
intersuyektif).

Ditinjau dari segi historis, hubungan antara filsafat dan ilmu


pengetahuan mengalami perkembangan yang sangat menyolok. Pada permulaan
sejarah filsafat di Yunani, “philosophia” meliputi hampir seluruh pemikiran
teoritis. Tetapi dalam perkembangan ilmu pengetahuan di kemudian hari,
ternyata juga kita lihat adanya kecenderungan yang lain. Filsafat Yunani Kuno yang
tadinya merupakan suatu kesatuan kemudian menjadi terpecah-pecah (Bertens,
1987, Nuchelmans, 1982).

Lebih lanjut Nuchelmans (1982), mengemukakan bahwa dengan


munculnya ilmu pengetahuan alam pada abad ke 17, maka mulailah terjadi
perpisahan antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian dapatlah
dikemukakan bahwa sebelum abad ke 17 tersebut ilmu pengetahuan adalah
identik dengan filsafat. Pendapat tersebut sejalan dengan pemikiran Van Peursen

15 Matakuliah : Filsafat Ilmu


Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion Email : aqua1796@gmail.com

(1985), yang mengemukakan bahwa dahulu ilmu merupakan bagian dari filsafat,
sehingga definisi tentang ilmu bergantung pada sistem filsafat yang dianut.

Dalam perkembangan lebih lanjut menurut Koento Wibisono (1999),


filsafat itu sendiri telah mengantarkan adanya suatu konfigurasi dengan
menunjukkan bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” telah tumbuh mekar-
bercabang secara subur. Masing-masing cabang melepaskan diri dari batang
filsafatnya, berkembang mandiri dan masing-masing mengikuti metodologinya
sendiri-sendiri.

Dengan demikian, perkembangan ilmu pengetahuan semakin lama


semakin maju dengan munculnya ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya
memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan baru bahkan kearah ilmu
pengetahuan yang lebih khusus lagi seperti spesialisasi-spesialisasi. Oleh karena
itu tepatlah apa yang dikemukakan oleh Van Peursen (1985), bahwa ilmu
pengetahuan dapat dilihat sebagai suatu sistem yang jalin-menjalin dan taat asas
(konsisten) dari ungkapan-ungkapan yang sifat benar-tidaknya dapat ditentukan.

Terlepas dari berbagai macam pengelompokkan atau pembagian dalam


ilmu pengetahuan, sejak F.Bacon (1561-1626) mengembangkan semboyannya
“Knowledge Is Power”, kita dapat mensinyalir bahwa peranan ilmu pengetahuan
terhadap kehidupan manusia, baik individual maupun sosial menjadi sangat
menentukan. Karena itu implikasi yang timbul menurut Koento Wibisono (1984),
adalah bahwa ilmu yang satu sangat erat hubungannya dengan cabang ilmu yang
lain serta semakin kaburnya garis batas antara ilmu dasar-murni atau teoritis
dengan ilmu terapan atau praktis.

Untuk mengatasi gap antara ilmu yang satu dengan ilmu yang lainnya,
dibutuhkan suatu bidang ilmu yang dapat menjembatani serta mewadahi
perbedaan yang muncul. Oleh karena itu, maka bidang filsafatlah yang mampu
mengatasi hal tersebut. Hal ini senada dengan pendapat Immanuel Kant (dalam
Kunto Wibisono dkk., 1997) yang menyatakan bahwa filsafat merupakan disiplin
ilmu yang mampu menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan
manusia secara tepat. Oleh sebab itu Francis Bacon (dalam The Liang Gie, 1999)
menyebut filsafat sebagai ibu agung dari ilmu-ilmu (the great mother of the
sciences).

16 Matakuliah : Filsafat Ilmu


Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion Email : aqua1796@gmail.com

Lebih lanjut Koento Wibisono dkk. (1997) menyatakan, karena


pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan “a higher level of knowledge”, maka
lahirlah filsafat ilmu sebagai penerusan pengembangan filsafat pengetahuan.
Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat menempatkan objek sasarannya: Ilmu
(Pengetahuan). Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan pada komponen-
komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu yaitu: ontologi,
epistemologi dan aksiologi. Hal ini didukung oleh Israel Scheffler (dalam The Liang
Gie, 1999), yang berpendapat bahwa filsafat ilmu mencari pengetahuan umum
tentang ilmu atau tentang dunia sebagaimana ditunjukkan oleh ilmu.

Interaksi antara ilmu dan filsafat mengandung arti bahwa filsafat dewasa
ini tidak dapat berkembang dengan baik jika terpisah dari ilmu. Ilmu tidak dapat
tumbuh dengan baik tanpa kritik dari filsafat. Dengan mengutip ungkapan dari
Michael Whiteman (dalam Koento Wibisono dkk.1997), bahwa ilmu kealaman
persoalannya dianggap bersifat ilmiah karena terlibat dengan persoalan-persoalan
filsafati sehingga memisahkan satu dari yang lain tidak mungkin. Sebaliknya,
banyak persoalan filsafati sekarang sangat memerlukan landasan pengetahuan
ilmiah supaya argumentasinya tidak salah. Lebih jauh, Jujun S. Suriasumantri
(1982:22), –dengan meminjam pemikiran Will Durant– menjelaskan hubungan
antara ilmu dengan filsafat dengan mengibaratkan filsafat sebagai pasukan marinir
yang berhasil merebut pantai untuk pendaratan pasukan infanteri. Pasukan
infanteri ini adalah sebagai pengetahuan yang diantaranya adalah ilmu. Filsafatlah
yang memenangkan tempat berpijak bagi kegiatan keilmuan. Setelah itu, ilmulah
yang membelah gunung dan merambah hutan, menyempurnakan kemenangan ini
menjadi pengetahuan yang dapat diandalkan.

Untuk melihat hubungan antara filsafat dan ilmu, ada baiknya kita lihat pada
perbandingan antara ilmu dengan filsafat dalam bagan di bawah ini, (disarikan
dari Drs. Agraha Suhandi, 1992)

17 Matakuliah : Filsafat Ilmu


Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion Email : aqua1796@gmail.com

Ilmu Filsafat
Segi-segi yang dipelajari dibatasi Mencoba merumuskan pertanyaan atas
agar dihasilkan rumusan-rumusan jawaban.
yang pasti
Mencari prinsip-prinsip umum, tidak
Obyek penelitian yang terbatas membatasi segi pandangannya bahkan
cenderung memandang segala sesuatu
secara umum dan keseluruhan

Tidak menilai obyek dari suatu Keseluruhan yang ada


sistem nilai tertentu.
Menilai obyek renungan dengan suatu
makna, misalkan , religi, kesusilaan,
keadilan dsb.
Bertugas memberikan jawaban
Bertugas mengintegrasikan ilmu-ilmu

Soal :
5. Ada 5 kriteria yang digunakan unuk menentukan teori ilmiah. Uraikanlah
kelima kriteria itu dengan menuliskan contoh
Jawab :
Filsafat ilmu memiliki tiga cabang kajian yaitu ontologi, epistemologi dan
aksiologi. Ontologi membahas tentang apa itu realitas. Dalam hubungannya
dengan ilmu pengetahuan, filsafat ini membahas tentang apa yang bisa
dikategorikan sebagai objek ilmu pengetahuan. Dalam ilmu pengetahuan modern,
realitas hanya dibatasi pada hal-hal yang bersifat materi dan kuantitatif. Ini tidak
terlepas dari pandangan yang materialistik-sekularistik. Kuantifikasi objek ilmu
pengetahuan berari bahwa aspek-aspek alam yang bersifat kualitatif menjadi
diabaikan. Epistemologis membahas masalah metodologi ilmu pengetahuan.
Dalam ilmu pengetahuan modern, jalan bagi diperolehnya ilmu pengetahuan
adalah metode ilmiah dengan pilar utamanya rasionalisme dan empirisme.
Aksiologi menyangkut tujuan diciptakannya ilmu pengetahuan,
mempertimbangkan aspek pragmatis-materialistis.
Dari semua pengetahuan, maka ilmu merupakan pengetahuan yang aspek
ontologi, epistemologi, dan aksiologinya telah jauh lebih berkembang
dibandingkan dengan pengetahuan-pengetahuan lain, dilaksanakan secara

18 Matakuliah : Filsafat Ilmu


Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion Email : aqua1796@gmail.com

konsekuen dan penuh disiplin (Jujun S.Suriasumantri, 1998). Kerangka filsafat di


atas akan memudahkan pemahaman mengenai keterkaitan berbagai ilmu dalam
mencari kebenaran.

1. TEORI KEBENARAN KORESPONDENSI


Teori kebenaran korespondensi adalah teori yang berpandangan bahwa
pernyataan-pernyataan adalah benar jika berkorespondensi terhadap fakta atau
pernyataan yang ada di alam atau objek yang dituju pernyataan tersebut.
Kebenaran atau suatu keadaan dikatakan benar jika ada kesesuaian antara arti
yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan fakta. Suatu proposisi adalah benar
apabila terdapat suatu fakta yang sesuai dan menyatakan apa adanya. Teori ini
sering diasosiasikan dengan teori-teori empiris pengetahuan.
Gejala-gejala alamiah, menurut kaum empiris, adalah bersifat kongkret
dan dapat dinyatakan lewat panca indera manusia. Gejala itu bila ditelaah
mempunyai beberapa karakteristik tertentu. Logam bila dipanaskan akan memuai.
Air akan mengalir ke tempat yang rendah. Pengetahuan inderawi bersifat parsial.
Hal ini disebabkan adanya perbedaan antara indera yang satu dengan yang lain
dan berbedanya objek yang dapat ditangkap indera. Perbedaan sensivitas tiap
indera dan organ-organ tertentu menyebabkan kelemahan ilmu empiris.
Ilmu pengetahuan empiris hanyalah merupakan salah satu upaya manusia
dalam menemukan kebenaran yang hakiki dengan segala kelebihan dan
kekurangannya. Penyusunan pengetahuan secara empiris cenderung menjadi
suatu kumpulan fakta yang belum tentu bersifat konsisten, dan mungkin saja
bersifat kontradiktif. Adanya kecenderungan untuk mengistimewakan ilmu
eksakta sebagai ilmu empiris untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi
manusia tidak selalu tepat. Pengistimewaan pengetahuan empiris secara kultural
membuat manusia modern seperti pabrik. Semua cabang kebudayaan yang
terbentuk menjadi produksi yang bersifat massal.
Keberhasilan ilmu eksakta yang berdasarkan empirisme dalam mengembangkan
teknologi -ketika berhadapan dengan ”kegagalan ” ilmu-ilmu human dalam
menjawab masalah manusia- membawa dampak buruk terhadap kedudukan dan
pengembangan ilmu-ilmu human. Analisis filsafat tentang kenyataan ini harus
ditempatkan secara proporsional, karena merupakan suatu usaha ilmiah untuk
membantu manusia mengungkap misteri kehidupannya secara utuh.

2. TEORI KEBENARAN KOHERENSI ATAU KONSISTENSI


Teori kebenaran koherensi adalah teori kebenaran yang didasarkan
kepada kriteria koheren atau konsistensi. Suatu pernyataan disebut benar bila

19 Matakuliah : Filsafat Ilmu


Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion Email : aqua1796@gmail.com

sesuai dengan jaringan komprehensif dari pernyataan-pernyataan yang


berhubungan secara logis. Pernyataan-pernyataan ini mengikuti atau membawa
kepada pernyataan yang lain. Seperti sebuah percepatan terdiri dari konsep-
konsep yang saling berhubungan dari massa, gaya dan kecepatan dalam fisika.
Kebenaran tidak hanya terbentuk oleh hubungan antara fakta atau realitas
saja, tetapi juga hubungan antara pernyataan-pernyataan itu sendiri. Dengan kata
lain, suatu pernyataan adalah benar apabila konsisten dengan pernyataan-
pernyataan yang terlebih dahulu kita terima dan kita ketahui kebenarannya.
Salah satu dasar teori ini adalah hubungan logis dari suatu proposisi
dengan proposisi sebelumnya. Proposisi atau pernyataan adalah apa yang
dinyatakan, diungkapkan dan dikemukakan atau menunjuk pada rumusan verbal
berupa rangkaian kata-kata yang digunakan untuk mengemukakan apa yang
hendak dikemukakan. Proposisi menunjukkan pendirian atau pendapat tentang
hubungan antara dua hal dan merupakan gabungan antara faktor kuantitas dan
kualitas. Contohnya tentang hakikat manusia, baru dikatakan utuh jika dilihat
hubungan antara kepribadian, sifat, karakter, pemahaman dan pengaruh
lingkungan. Psikologi strukturalisme berusaha mencari strukturasi sifat-sifat
manusia dan hubungan-hubungan yang tersembunyi dalam kepribadiannya.
Pengetahuan rasional yang berdasarkan logika tidak hanya terbatas pada
kepekaan indera tertentu dan tidak hanya tertuju pada objek-objek tertentu.
Gagasan rasionalistis dan positivistis cenderung untuk menyisihkan seluruh
pemahaman yang didapat secara refleksi. Pemikiran rasional cenderung bersifat
solifistik dan subyektif. Adanya keterkaitan antara materi dengan non materi,
dunia fisik dan non fisik ditolak secara logika. Apabila kerangka ini digunakan
secara luas dan tak terbatas, maka manusia akan kehilangan cita rasa batiniahnya
yang berfungsi pokok untuk menumbuhkan apa yang didambakan seluruh umat
manusia yaitu kebahagiaan.

3. TEORI KEBENARAN PRAGMATIS


Teori kebenaran pragmatis adalah teori yang berpandangan bahwa arti
dari ide dibatasi oleh referensi pada konsekuensi ilmiah, personal atau sosial.
Benar tidaknya suatu dalil atau teori tergantung kepada berfaedah tidaknya dalil
atau teori tersebut bagi manusia untuk kehidupannya. Kebenaran suatu
pernyataan harus bersifat fungsional dalam kehidupan praktis.
Menurut teori ini proposisi dikatakan benar sepanjang proposisi itu
berlaku atau memuaskan. Apa yang diartikan dengan benar adalah yang berguna
(useful) dan yang diartikan salah adalah yang tidak berguna (useless). Bagi para
pragmatis, batu ujian kebenaran adalah kegunaan (utility), dapat dikerjakan

20 Matakuliah : Filsafat Ilmu


Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion Email : aqua1796@gmail.com

(workability) dan akibat atau pengaruhnya yang memuaskan (satisfactory


consequences). Teori ini tidak mengakui adanya kebenaran yang tetap atau
mutlak.
Francis Bacon pernah menyatakan bahwa ilmu pengetahuan harus
mencari keuntungan-keuntungan untuk memperkuat kemampuan manusia di
bumi. Ilmu pengetahuan manusia hanya berarti jika nampak dalam kekuasaan
manusia. Dengan kata lain ilmu pengetahuan manusia adalah kekuasaan manusia.
Hal ini membawa jiwa bersifat eksploitatif terhadap alam karena tujuan ilmu
adalah mencari manfaat sebesar mungkin bagi manusia.
Manusia dengan segala segi dan kerumitan hidupnya merupakan titik
temu berbagai disiplin ilmu. Hidup manusia seutuhnya merupakan objek paling
kaya dan paling padat. Ilmu pengetahuan seyogyanya bisa melayani keperluan dan
keselamatan manusia. Pertanyaan-pertanyaan manusia mengenai dirinya sendiri,
tujuan-tujuannya dan cara-cara pengembangannya ternyata belum dapat dijawab
oleh ilmu pengetahuan yang materialis-pragmatis tanpa referensi kepada nilai-
nilai moralitas.
Aksiologi ilmu pengetahuan modern yang dibingkai semangat pragmatis-
materialis ini telah menyebabkan berbagai krisis lingkungan hidup, mulai dari efek
rumah kaca akibat akumulasi berlebihan CO2, pecahnya lapisan ozon akibat
penggunaan freon berlebihan, penyakit minimata akibat limbah methylmercury
hingga bahaya nuklir akibat persaingan kekuasaan antar negara. Ketiadaan nilai
dalam ilmu pengetahuan modern yang menjadikan sains untuk sains, bahkan sains
adalah segalanya, telah mengakibatkan krisis kemanusiaan. Krisis lingkungan dan
kemanusiaan, mulai dari genetic engineering hingga foules solitaire (kesepian
dalam keramaian, penderitaan dalam kemelimpahan). Manusia telah tercerabut
dari aspek-aspek utuhnya, cinta, kehangatan, kekerabatan, dan ketenangan.
Kedua krisis global ini telah menghantui sebagian besar lingkungan dan
masyarakat modern yang materialis-pragmatis.

4. TEORI KEBENARAN PERFORMATIF


Teori ini menyatakan bahwa kebenaran diputuskan atau dikemukakan
oleh pemegang otoritas tertentu. Contoh pertama mengenai penetapan 1 Syawal.
Sebagian muslim di Indonesia mengikuti fatwa atau keputusan MUI atau
pemerintah, sedangkan sebagian yang lain mengikuti fatwa ulama tertentu atau
organisasi tertentu. Contoh kedua adalah pada masa rezim orde lama berkuasa,
PKI mendapat tempat dan nama yang baik di masyarakat. Ketika rezim orde baru,
PKI adalah partai terlarang dan semua hal yang berhubungan atau memiliki atribut
PKI tidak berhak hidup di Indonesia. Contoh lainnya pada masa pertumbuhan

21 Matakuliah : Filsafat Ilmu


Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion Email : aqua1796@gmail.com

ilmu, Copernicus (1473-1543) mengajukan teori heliosentris dan bukan sebaliknya


seperti yang difatwakan gereja. Masyarakat menganggap hal yang benar adalah
apa-apa yang diputuskan oleh gereja walaupun bertentangan dengan bukti-bukti
empiris.
Dalam fase hidupnya, manusia kadang kala harus mengikuti kebenaran
performatif. Pemegang otoritas yang menjadi rujukan bisa pemerintah, pemimpin
agama, pemimpin adat, pemimpin masyarakat, dan sebagainya. Kebenaran
performatif dapat membawa kepada kehidupan sosial yang rukun, kehidupan
beragama yang tertib, adat yang stabil dan sebagainya.
Masyarakat yang mengikuti kebenaran performatif tidak terbiasa berpikir
kritis dan rasional. Mereka kurang inisiatif dan inovatif, karena terbiasa mengikuti
kebenaran dari pemegang otoritas. Pada beberapa daerah yang masyarakatnya
masih sangat patuh pada adat, kebenaran ini seakan-akan kebenaran mutlak.
Mereka tidak berani melanggar keputusan pemimpin adat dan tidak terbiasa
menggunakan rasio untuk mencari kebenaran.

5. TEORI KEBENARAN KONSENSUS


Suatu teori dinyatakan benar jika teori itu berdasarkan pada paradigma
atau perspektif tertentu dan ada komunitas ilmuwan yang mengakui atau
mendukung paradigma tersebut.
Banyak sejarawan dan filosof sains masa kini menekankan bahwa
serangkaian fenomena atau realitas yang dipilih untuk dipelajari oleh kelompok
ilmiah tertentu ditentukan oleh pandangan tertentu tentang realitas yang telah
diterima secara apriori oleh kelompok tersebut. Pandangan apriori ini disebut
paradigma oeh Kuhn dan world view oleh Sardar. Paradigma ialah apa yang
dimiliki bersama oleh anggota-anggota suatu masyarakat sains atau dengan kata
lain masyarakat sains adalah orang-orang yang memiliki suatu paradigma
bersama.
Masyarakat sains bisa mencapai konsensus yang kokoh karena adanya
paradigma. Sebagai konstelasi komitmen kelompok, paradigma merupakan nilai-
nilai bersama yang bisa menjadi determinan penting dari perilaku kelompok
meskipun tidak semua anggota kelompok menerapkannya dengan cara yang
sama. Paradigma juga menunjukkan keanekaragaman individual dalam penerapan
nilai-nilai bersama yang bisa melayani fungsi-fungsi esensial ilmu pengetahuan.
Paradigma berfungsi sebagai keputusan yuridiktif yang diterima dalam hukum tak
tertulis.
Pengujian suatu paradigma terjadi setelah adanya kegagalan berlarut-larut
dalam memecahkan masalah yang menimbulkan krisis. Pengujian ini adalah

22 Matakuliah : Filsafat Ilmu


Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion Email : aqua1796@gmail.com

bagian dari kompetisi di antara dua paradigma yang bersaingan dalam


memperebutkan kesetiaan masyarakat sains. Falsifikasi terhadap suatu paradigma
akan menyebabkan suatu teori yang telah mapan ditolak karena hasilnya negatif.
Teori baru yang memenangkan kompetisi akan mengalami verifikasi . Proses
verifikasi-falsifikasi memiliki kebaikan yang sangat mirip dengan kebenaran dan
memungkinkan adanya penjelasan tentang kesesuaian atau ketidaksesuaian
antara fakta dan teori.
Pengalihkesetiaan dari paradigma lama ke paradigma baru adalah
pengalaman konversi yang tidak dapat dipaksakan. Adanya perdebatan antar
paradigma bukan mengenai kemampuan relatif suatu paradigma dalam
memecahkan masalah, tetapi paradigma mana yang pada masa mendatang dapat
menjadi pedoman riset untuk memecahkan berbagai masalah secara tuntas.
Adanya jaringan yang kuat dari para ilmuwan sebagai peneliti konseptual, teori,
instrumen, dan metodologi merupakan sumber utama yang menghubungkan ilmu
pengetahuan dengan pemecahan berbagai masalah.
Dalam ilmu astronomi, keunggulan kuantitatif tabel-tabel Rudolphine dan
Keppler dibandingkan yang hitungan manual Ptolomeus merupakan faktor utama
dalam konversi para astronom kepada Copernicanisme. Dalam fisika modern, teori
relativitas umum Einsten mendapat ejekan karena ruang itu tidak mungkin
melengkung. Untuk membuat transisi kepada alam semesta Einstein, seluruh
konsep ruang, waktu, materi, gaya, dan sebagainya harus diubah dan di reposisi
ulang. Hanya orang-orang yang bersama-sama menjalani atau gagal menjalani
transformasi akan bisa menemukan dengan tepat apa yang mereka sepakati dan
apa yang tidak.

KESIMPULAN
Uraian dan ulasan mengenai berbagai teori kebenaran di atas telah menunjukkan
kelebihan dan kekurangan dari berbagai teori kebenaran.
Teori Kebenaran Kelebihan Kekurangan Korespondensi sesuai dengan
fakta dan empiris kumpulan fakta-fakta Koherensi bersifat rasional dan Positivistik
Mengabaikan hal-hal non fisik Pragmatis fungsional-praktis tidak ada kebenaran
mutlak Performatif Bila pemegang otoritas benar, pengikutnya selamat Tidak
kreatif, inovatif dan kurang inisiatif Konsensus Didukung teori yang kuat dan
masyarakat ilmiah Perlu waktu lama untuk menemukan kebenaran.
Teori kebenaran yang menurut penulis paling sesuai pada masa kini
adalah Teori Kebenaran Konsensus. Dengan kekuatan paradigma dan masyarakat
sains pendukungnya, diharapkan kebenaran konsensus dapat menjawab berbagai
problema kehidupan manusia di masa depan. Krisis global berupa krisis lingkungan

23 Matakuliah : Filsafat Ilmu


Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion Email : aqua1796@gmail.com

dan krisis kemanusiaan yang selama ini telah dialami oleh manusia karena Sains
Modern, cepat atau lambat akan dijawab oleh konsensus baru dengan paradigma
yang menghasilkan metode yang lebih tepat dalam mengantisipasi krisis global
tersebut.
Teori kebenaran yang paling lemah argumennya, adalah kebenaran
performatif. Kebenaran yang kuat adalah yang didasari oleh rasio, logika dan fakta
empiris serta fungsional bagi umat manusia. Kebenaran yang didukung luas oleh
masyarakat ilmiah, dan menjadi rujukan kebenaran tidak hanya dalam sains tetapi
juga masalah budaya dan sosial lebih baik dan kuat lagi.
Kelima macam teori kebenaran di atas adalah berbagai cara manusia
memperoleh kebenaran yang sifatnya relatif atau nisbi. Kebenaran absolut atau
kebenaran mutlak berasal dari Tuhan yang disampaikan kepada manusia melalui
wahyu. Alam dan kehidupan merupakan sumber kebenaran yang tersirat dari
tuhan untuk dipelajari dan diobservasi guna kebaikan umat manusia.

Soal :
6. Satu teori dalam ilmu pengetahuan tidak mungkin mutlak kebenarannya.
Dengan kata lain, teori ilmu pengetahuan harus memiliki kesalahan. Uraikan
pengertian dan interpretasi pernyataan ini.

Jawab :
Karl R. Popper (1902-1994) seorang pemikir Jerman yang sebenarnya aktif di
Lingkaran Wina, namun ia menolak prinsip verifikasi (pembuktian teori lewat
cocoknya fakta-fakta). Teori merupakan salah satu teori utama dalam Lingkaran
Wina, melalui teori ini, Lingkaran Wina menentukan batas antara pengetahuan
dan non-pengetahuan. Bila suatu pengetahuan tidak ditemukan fakta
pendukungnya atau tidak bisa di verifikasi, maka ia bukanlah pengetahuan.
Popper menolak verifikasi dan mengajukan penggantinya, yaitu falsifikasi.
Falsifikasi adalah kebalikan dari verifikasi, yaitu pengguguran suatu teori lewat
fakta.
Berikut ini akan dikemukakan beberapa inti pemikiran Popper. Popper
menegaskan bahwa ilmu pengetahuan tidak hanya dihasilkan dan bekerja dengan
logika induksi semata. Logika induksi adalah logika penarikan kesimpulan umum
melalui pengumpulan fakta-fakta konkret. Fakta-fakta konkret yang terkumpul
atau dikumpulkan digunakan untuk membenarkan suatu teori. Popper menolak
logika ini dan mengajukan kelemahannya.
Menurut Popper, logika induksi akan menuntut ilmuwan berfokus pada
fakta-fakta yang mendukung saja sembari mengabaikan fakta-fakta yang

24 Matakuliah : Filsafat Ilmu


Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion Email : aqua1796@gmail.com

mementahkan teori. Padahal suatu teori ketika diakurkan dengan kenyataan


berkemungkinan memiliki anomali (suatu peristiwa yang berbeda dari yang
diramalkan suatu teori. Oleh karena itu, menurut Popper daripada bersusah payah
mengumpulkan fakta-fakta yang membenarkan, lebih baik ilmuwan menggunakan
waktunya untuk mencari fakta anomali.
Pandangan rasionalistis beranggapan bahwa suatu teori baru akan diterima
kalau sudah terbukti bahwa ia dapat meruntuhkan teori lama yang ada
sebelumnya. Adapun pengujian terhadap kekuatan dua teori akan dilakukan
melalui suatu tes empiris, yaitu suatu tes yang direncanakan untuk memfalsifikasi
apa yang diujinya. Kalau dalam tes tersebut sebuah teori ternyata terfalsifikasi,
maka teori tersebut akan dianggap batal, sedangkan teori yang bertahan dan lolos
dalam akan diterima, sampai ditemukan cara pengujian yang lebih ketat untuk
mengujinya kembali. Disini pengetahuan menjadi maju, bukan karena hasil
akumulasi pengetahuan dari waktu ke waktu, melainkan oleh proses eliminasi
yang semakin keras terhadap kemungkinan kekhilafan dan kesalahan.
Dengan demikian apa yang dimaksud dengan objektif tidak pernah akan
tercapai, karena setiap ilmu memiliki kemungkinan salah atau keliru. Yang bisa
dicapai dalam sebuah ilmu hanyalah mengurangi kadar kesalahan sampai sejauh
mungkin dapat mendekati kebenaran objektif. Pengetahuan tidak maju secara
kumulatif, melainkan hanya berupa suatu aproximasi (semakin mendekati)
kebenaran.
Dari sisi lain hipotesis suatu pengetahuan mengharuskan adanya error
elimination yang terus-menerus, yang berarti melakukan kritik yang terus-
menerus. Maka kemajuan pengetahuan sebenarnya berarti pula meningkatnya
sikap kritis.

P1 TT EE
P2

(Baca : Problem pertama Teori Tentatif Error Eliminatiom


Problem 2)

Berarti pengetahuan akan dimulai dengan suatu masalah (P1). Untuk


memecahkan masalah tersebut diajukan suatu teori yang bersifat tentatif. Kalau
teori tersebut cukup sesuai dan berguna, maka dengan bantuannya dapat
tersingkir kekeliruan-kekeliruan yang antara lain telah menimbulkan P1. Akan
tetapi dengan dipecahkannya P1 maka serentak dengan itu lahir persoalan baru

25 Matakuliah : Filsafat Ilmu


Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion Email : aqua1796@gmail.com

(P2) -tidak peduli apakah kita menghendaki atau tidak) dan P2 kembali harus
diselesaikan dengan prosedur pada P1 dan begitu seterusnya.
Dari uraian Popper ini dapat dikemukakan beberapa kesimpulan. Pertama,
teori dijelaskan dalam hubungannya dengan masalah, karena pengetahuan selalu
dimulai dengan masalah. Untuk mengatasi masalah itu harus dimunculkan teori
tentatif. Teori tentatif berarti teori yang diduga dapat menyelesaikan masalah,
yang baru terbukti setelah ia secara empiris dapat menyelesaikan masalah. Kedua,
fungsi teori tentatif adalah “menyingkirkan kontradiksi” antara teori dan
kenyataan yang diamati. Bila teori tentatif sanggup menyingkirkan kontradiksi
maka teori tentatif itu dapat terus digunakan. Teori tentatif merupakan hipotesis
atau prognosis (rumusan yang bisa benar atau salah) yang diturunkan dari teori
utama untuk menyelesaikan suatu masalah. Bila teori tentatif tidak terbukti
menyelesaikan masalah, maka teori utamanya dianggap gagal atau tidak berlaku.
Falsifikasi adalah pengujian pengetahuan secara asimetris, dimana
kebenaran teori tersebut hanya sekedar dugaan sedangkan perkiraan kesalahan
merupakan suatu kepastian. Falsifikasi dijalankan menurut aturan logika modes
tollens, yang berarti bahwa konsekuensi yang ditarik dari suatu teori terbukti salah
maka teori itu sendiri pun pasti salah.
Dari teori falsifikasi ini, Popper menyimpulkan bahwa data positif tidak
pernah menjadi dasar pengetahuan. Yang menjadi dasar pengetahuan,
terciptanya teori baru atau runtuhnya teori lama, adalah kemampuan teori untuk
di falsifikasi. Kemudian Popper menjelaskan bahwa data se-objektif apapun selalu
sudah hasil interpretasi berdasarkan teori tertentu. Disinilah kemudian Popper
memperkenalkan apa yang dinamakannya sebagai dunia satu, yaitu dunia
pengetahuan objektif. Dunia tiga dibedakan dari dunia satu (dunia fisik) dan dunia
dua (dunia kesadaran). Bagi Popper yang benar-benar objektif (terlepas dari
pengaruh subjek dan nilai) adalah dunia tiga. Karena dunia satu (dunia benda-
benda) yang diamati adalah benda-benda yang dipilih dan ditafsirkan berdasar
dunia satu. Dunia dua (kesadaran) juga demikian, kesadaran manusia tidak pernah
merupakan kesadaran hampa melainkan selalu berupa kesadaran yang terisi oleh
pelbagai teori, kepercayaan, dam pengetahuan yang berasal dari dunia tiga.
Dunia tiga dinamakan dunia pengetahuan objektif, karena pengetahuan
pengetahuan yang terkumpul dalam dunia tiga tidak lagi dapat di kontrol akibat-
akibatnya oleh subjek yang melahirkannya. Dia berkembang menurut hukumnya
sendiri.
Konsep-konsep Popper ini kemudian banyak dikritik oleh Thomas Kuhn,
seorang filsuf yang menuliskan gagasannya dalam buku The Structure of Scientific
Refolution (1962). Kuhn mengatakan, Popper dianggap sebagai pendukung

26 Matakuliah : Filsafat Ilmu


Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion Email : aqua1796@gmail.com

positivisme terselubung, karena Popper masih mempercayai kesatuan ilmu.


Padahal menurut Kuhn, ilmu itu tidaklah tunggal melainkan plural. Ilmu-ilmu atau
teori-teori yang muncul dari paradigma tertentu. Paradigma dapat dianggap
sebagai super teori yang menjadi sumber bagi munculnya teori-teori. (Gahral
Adian. 2002:85).
Paradigma adalah : (1) kerangka konseptual untuk mengklasifikasi dan
menerangkan objek-objek fisikal alam; (2) patokan untuk menspesifikasi metode
yang tepat, teknik-teknik, dan instrumen penelitian; (3) kesepakatan tentang
tujuan-tujuan kognitif yang absah (Gahral, 2003: 86).
Paradigma menjadi kerangka konseptual dalam memersepsi kenyataan.
Suatu pemikiran dapat berkembang menjadi paradigma bila :
(1) Memiliki cukup banyak pengikut, yang berarti ada banyak komunitas
ilmiah yang mendukungnya
(2) Pemikiran tersebut membicarakan dan membuka cukup banyak daerah
persoalan yang merangsang para ilmuwan untuk mencari
pemecahannya.
Komunitas ilmuwan itulah yang kemudian memberikan legitimasi
kebenaran suatu teori jadi suatu paradigma mendapatkan legitimasinya bukan
secara objektif melainkan secara intersubjektif (antar ilmuwan). Positivisme
berkembang bukan karena dirinya objektif, melainkan karena ada komunitas
ilmuwan yang menjunjung dan terus memperbaharuinya.
Sementara itu, suatu paradigma selalu memiliki dua sisi : sisi ilmiah empiris
yang dapat di-tes, dan sisi metafisis (keyakinan tentang dunia dan manusia).
Seseorang menjadi penganut paradigma tertentu biasanya karena tertarik pada
sisi metafisis yang tidak bisa di-tes secara empriris, karena itu ketertarikan dan
ketidaktertarikan pada suatu paradigma tak bisa di falsifikasi.
Bagi Kuhn, Popper sangat dipengaruhi oleh idea of progress, yaitu keyakinan
bahwa perkembangan pengetahuan akan berjalan secara linear dan bahwa setiap
pergantian paradigma lama oleh paradigma baru selalu berarti kemajuan. Kuhn
meyakini idea of progress tidaklah benar, atau suatu model yang tidak memiliki
bukti dalam sejarah ilmu pengetahuan.
Pertama, apabila suatu eksperimen tidak berhasil membuktikan
prognosisnya, maka yang pertama harus disalahkan bukanlah teori utama yang
menjadi dasar prognosis itu, melainkan ilmuwan yang merencanakan prosedur
penelitian. Kedua, eksperimen yang secara sungguh-sungguh hendak menjatuhkan
suatu teori (experimentum crucis) merupakan peristiwa yang sangat langka.
Experimentum crucis diadakan bila terdapat krisis yang melanda suatu bidang ilmu
tertentu, dan karena itu mengundang para ilmuwan untuk mengatasinya. Krisis

27 Matakuliah : Filsafat Ilmu


Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion Email : aqua1796@gmail.com

muncul bila suatu hipotesis tidak terbukti dalam suatu tes empiris, namun
hipotesis tersebut tidak langsung dibatalkan melainkan dimasukkan dalam
kelompok anomali, dan apabila anomali itu mulai bertambah banyak dan kian
menumpuk, barulah kemudian timbul krisis.
Ketiga, Popper tidak membedakan dua jenis kerja ilmiah, yaitu kerja ilmiah
normal dan kerja ilmiah revolusioner. Ilmu normal adalah tahap pengembangan
dan penerapan suatu teori. Kekeliruan Popper adalah menganggap seluruh kerja
ilmiah sebagai kerja revolusi yang mengetes suatu teori kemudian
menggugurkannya. Popper mengabaikan cara kerja ilmiah normal, padahal banyak
ilmuwan yang disiapkan untuk mengikuti cara kerja ilmiah normal ketimbang cara
kerja ilmiah revolusioner. Kerja ilmiah normal merupakan dasar dari kerja ilmiah
revolusioner, karena prosedur experimentum crucis direncanakan justru pada
tahap ilmiah normal; jadi tanpa kerja ilmiah normal, revolusi ilmiah sama sekali
tidak mungkin ada.
Simpulnya, revolusi ilmiah bagaikan rencana-rencana baru yang membawa
perubahan penting, sedangkan ilmu normal kerja rutin keilmuan yang bila tidak
ada akan mengakibatkan proyek ilmiah tak dapat terpikirkan.
Keempat, setiap teori dengan sendirinya mengandung sifat kebal terhadap
falsifikasi. Kekebalan terhadap falsifikasi ini disebabkan karena setiap teori selalu
mengandung unsur hukum utama dan hukum empiris. Hukum utama merupakan
unsur logis dari suatu teori, sedangkan unsur empiris menetapkan seberapa luas
penerapan teori itu dalam kenyataan. Bidang terapan suatu teori sebenarnya
dapat diperluas ke segala arah, namun ketika penerapann itu tidak berhasil, tidak
serta merta teori utama (unsur hukum) di falsifikasi. Bila teori terapan gagal maka
ada dua kemungkinan yang terjadi :
(1) Teori bersangkutan belum bisa diperluas ke bidang terapannya
(2) Bidang bersangkutan ternyata bukan bidang yang tepat untuk penerapan
teori tersebut.
Maka dengan dua kemungkinan ini, kegagalan teori terapan dalam tes empiris
bukan menggugurkan teori inti, melainkan memperluas atau mempersempit
bidang terapan suatu teori.
Untuk lebih memahami pemikiran Kuhn, ada baiknya kita bicarakan Kuhn
secara terstuktur :
P1 SN A K
P2
P1 : Paradigma 1
SN : Ilmu Pengetahuan Normal
A : Anomali

28 Matakuliah : Filsafat Ilmu


Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion Email : aqua1796@gmail.com

K : Krisis
P2 : Paradigma 2

Dari model diatas dapat dikemukakan bahwa :


a. Paradigma menjadi patokan bagi ilmu umtuk melakukan riset, memecahkan
masalah bahkan menyeleksi masalah apa saja yang layak dibicarakan.
b. Kemajuan ilmu pengetahuan berawal dari perjuangan kompetitif berbagai
teori untuk mendapatkan legitimasi intersubjektif dari komunitas ilmuwan
c. Teori yang memperoleh legitimasi sosial akan tampil menjadi paradigma. Ini
adalah periode ilmu pengetahuan normal yang menjalankan pengetahuan
untuk melakukan pembenaran berdasarkan paradigma yang dianut.
d. Ketika suatu teori/ ilmu pengetahuan normal tidak dapat menyelesaikan
masalah, teori itu tidak langsung di falsifikasi melainkan dianggap memiliki
anomali. Ketika anomali itu terus semakin melebar, terjadilah krisis ilmu
pengetahuan normal.
e. Krisis memaksa komunitas ilmuwan mempertanyakan kembali secara
radikal dasar-dasar ontologis, metodologis, dan nilai-nilai yang selama ini
dianutnya. Krisis pada akhirnya mendorong lahirnya paradigma baru yang
sama sekali berbeda dengan paradigma sebelumnya.
f. Catatan : kita tidak mungkin membandingkan satu paradigma dengan
paradigma lain yang memiliki asumsi yang berbeda. Kuhn menyatakan,
“Dua ilmuwan yang bekerja pada dua paradigma yang berbeda “.

Soal :
7. Jelaskan pegertian logika positivistik.

Jawab :

Dalam dunia filsafat perdebatan antara epistemologi positivistik dengan


epistemologi humanistik sebenarnya sudah lama terjadi. Terutama oleh filosuf
Jerman Wilhelm Dilthey (1833-1911) dan Windeband, dimana keduanya telah
memasalahkan apa yang mereka namakan ilmu ideografis dan ilmu nomotetis.
Ilmu nomotetis (beta) yang berkaitan dengan pengkajian ilmu alam (natural
science) dengan gejalanya berulang-ulang, memungkinkan terciptanya sebuah
hukum. Sebaliknya ilmu ideografis (alfa) yang berhubungan dengan gejala yang
unik dan tak berulang, maka dibutuhkan metode yang berbeda dengan metode
ilmu alam.

29 Matakuliah : Filsafat Ilmu


Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion Email : aqua1796@gmail.com

Sementara itu dalam ilmu sosial, khususnya sosiologi, biasanya yang


disebut-sebut sebagai pelopor epistemologi positivistik adalah Auguste Comte
(1798-1875). Dia pula lah yang menamakan sosiologi sebagai fisika sosial. Namun
sebenarnya yang paling berjasa dalam penggunaan metode itu adalah Emile
Durkheim (1858-1917). Kendatipun Karl Popper (1906-1994) lah yang sebenarnya
paling berjasa mempromosikan logika positivistik dalam beberapa bukunya antara
lain : The Logic of Scientific Discovery (1959) dan Objective Knowledge (1973).

Paradigma positivistik ini pada dasarnya terikat pada ide yang


memandang sosiologi sebagai ilmu, memiliki kesamaan dengan ilmu alam sebagai
ilmu. Dan salah satu keyakinan yang paling penting dari pandangan ini adalah
adanya keyakinan bahwa fenomena sosial pada dasarnya memiliki pola, serta
tunduk pada hukum-hukum yang determenistik; sebagaimana hukum-hukum yang
mengatur hukum ilmu alam (Poluma, 1984:5)

Emile Durkheim adalah salah satu tokoh yang menghasilkan karya klasik
yang menjadi tumpuan teori positivistik. Ia menyebut konsep di atas sebagai
“fakta sosial”. Dan fakta sosial itu adalah sesuatu konsep yang memiliki realitas
empiris di dalam imajinasi individu. Fakta sosial antara lain meliputi : status
perkawinan, usia, agama, kondisi ekonomi, tingkat bunuh diri dan kejahatan.
Fakta sosial atau variabel itu konkrit, dapat diamati dan dapat diukur.

Dalam penelitiannya tentang bunuh diri, melalui data statistik, ia melihat


keajegan yang mencolok dalam data yang ditemui, ternyata gejala itu, tidak dapat
dijelaskan melalui faktor-faktor iklim, keturunan, penyakit jiwa dan sebagainya.
Namun keajegan itu harus dijelaskan secara sosial. Data juga menunjukkan bahwa
orang-orang yang sendirian ternyata lebih banyak yang bunuh diri daripada orang
yang sudah menikah. Hal ini menunjukkan tiadanya kepaduan kelompok (kohesi
sosial). Karenanya, fenomena yang menunjukkan lebih banyaknya orang Protestan
yang bunuh diri daripada orang Katolik, dapat dijelaskan, karena orang Katolik
lebih terikat pada komunitas-komunitas keagamaan, sedangkan dalam
Protestanisme terdapat anjuran yang kuat untuk bertanggungjawab secara
individual (Laeyendecker, 1983:288). Temuan-temuan inilah yang kemudian hari
melahirkan sebuah teori yang terkenal, yang menyatakan ada korelasi positif
antara lemah dan kuatnya integrasi sosial dengan gejala bunuh diri.

Ringkasnya ajaran Durkheim sebenarnya lebih diorientasikan dalam


integrasi sosial, khususnya dalam mencapai equilibrium. Karenanya ketertiban,

30 Matakuliah : Filsafat Ilmu


Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion Email : aqua1796@gmail.com

keselarasan dan solidaritas merupakan keperluan-keperluan umum dari


keharusan organisasi sosial. Dan di sini dibutuhkan indeks ekstern (peraturan-
peraturan) sebagai polisi lalu lintas individu.

Dari uraian singkat atas pengertian fakta sosial Durkheim di atas,


sangatlah jelas bagaimana sebenarnya yang menjadi dasar epistemologi Durkheim
yang membawa pada kesimpulan atas kebutuhan-kebutuhan pengutamaan faktor
eksternal, keajegan hukum sosial, hukum kausalitas, tuntutan obyektifitas dan
sifat empirik dalam ilmu sosial, yang kemudian menjadi dasar epistemologi
positivistik.

Dari semuanya itulah akhirnya mencirikan paham positivistik ini pada


kecermatan mengkonstruksikan teori. Khususnya dalam penyusunan proposisi
yang berkaitan dengan sifat teori sebagai “set of interconnected propositions” di
samping sebagai “unified theory of society”. Oleh karena itu konseptualisasi
seharusnya mampu melakukan prediksi setelah mengalami verifikasi dan
falsifikasi.

Positivisme logis adalah aliran pemikiran dalam filsafat yang membatasi


pikirannya pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada
analisis definisi dan relasi antara istilah-istilah. Fungsi analisis ini mengurangi
metafisika dan meneliti struktur logis pengetahuan ilmiah. Tujuan dari
pembahasan ini adalah menentukan isi konsep-konsep dan pernyataan-
pernyataan ilmiah yang dapat diverifikasi secara empiris.

Tujuan akhir dari penelitian yang dilakukan pada positivisme logis ini
adalah untuk mengorganisasikan kembali pengetahuan ilmiah di dalam suatu
sistem yang dikenal dengan ”kesatuan ilmu” yang juga akan menghilangkan
perbedaan-perbedaan antara ilmu-ilmu yang terpisah. Logika dan matematika
dianggap sebagai ilmu-ilmu formal.

Positivisme berusaha menjelaskan pengetahuan ilmiah berkenaan


dengan tiga komponen yaitu bahasa teoritis, bahasa observasional dan kaidah-
kaidah korespondensi yang mengakaitkan keduanya. Tekanan positivistik
menggarisbawahi penegasannya bahwa hanya bahasa observasional yang
menyatakan informasi faktual, sementara pernyataan-pernyataan dalam bahasa
teoritis tidak mempunyai arti faktual sampai pernyataan-pernyataan itu

31 Matakuliah : Filsafat Ilmu


Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion Email : aqua1796@gmail.com

diterjemahkan ke dalam bahasa observasional dengan kaidah-kaidah


korespondensi.

Auguste Comte dan Positivisme

Comte adalah tokoh aliran positivisme yang paling terkenal. Kamu


positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dimana metode-
metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukum
sosial kemasyarakatan. Aliran ini tentunya mendapat pengaruh dari kaum empiris
dan mereka sangat optimis dengan kemajuan dari revolusi Perancis.

Pendiri filsafat positivis yang sesungguhnya adalah Henry de Saint Simon


yang menjadi guru sekaligus teman diskusi Comte. Menurut Simon untuk
memahami sejarah orang harus mencari hubungan sebab akibat, hukum-hukum
yang menguasai proses perubahan. Mengikuti pandangan 3 tahap dari Turgot,
Simon juga merumuskan 3 tahap perkembangan masyarakat yaitu tahap Teologis,
(periode feodalisme), tahap metafisis (periode absolutisme dan tahap positif yang
mendasari masyarakat industri.

Comte menuangkan gagasan positivisnya dalam bukunya the Course of


Positivie Philosoph, yang merupakan sebuah ensiklopedi mengenai evolusi filosofis
dari semua ilmu dan merupakan suatu pernyataan yang sistematis yang semuanya
itu tewujud dalam tahap akhir perkembangan. Perkembangan ini diletakkan dalam
hubungan statika dan dinamika, dimana statika yang dimaksud adalah kaitan
organis antara gejala-gejala ( diinspirasi dari de Bonald), sedangkan dinamika
adalah urutan gejala-gejala (diinspirasi dari filsafat sejarah Condorcet).

Bagi Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode positif
yang kepastiannya tidak dapat digugat. Metode positif ini mempunyai 4 ciri, yaitu :

1. Metode ini diarahkan pada fakta-fakta


2. Metode ini diarahkan pada perbaikan terus menerus dari syarat-syarat
hidup
3. Metode ini berusaha ke arah kepastian
4. Metode ini berusaha ke arah kecermatan.

Metode positif juga mempunyai sarana-sarana bantu yaitu pengamatan,


perbandingan, eksperimen dan metode historis. Tiga yang pertama itu biasa
dilakukan dalam ilmu-ilmu alam, tetapi metode historis khusus berlaku bagi

32 Matakuliah : Filsafat Ilmu


Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion Email : aqua1796@gmail.com

masyarakat yaitu untuk mengungkapkan hukum-hukum yang menguasai


perkambangan gagasan-gagasan.

Karl R Popper: Kritik terhadap Positivisme Logis

Asumsi pokok teorinya adalah satu teori harus diji dengan


menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya,
dan Popper menyajikan teori ilmu pengetahuan baru ini sebagai penolakannya
atas ias ivism logis yang beranggapan bahwa pengetahuan ilmiah pada dasarnya
tidak lain hanya berupa generalisasi pengalaman atau fakta nyata dengan
menggunakan ilmu pasti dan logika. Dan menurut ias ivism logis tugas filsafat
ilmu pengetahuan adalah menanamkan dasar untuk ilmu pengetahuan.

Hal yang dikritik oleh Popper pada Positivisme Logis adalah tentang
metode Induksi, ia berpendapat bahwa Induksi tidak lain hanya khayalan belaka,
dan mustahil dapat menghasilkan pengetahuan ilmiah melalui induksi. Tujuan
Ilmu Pengetahuan adalah mengembangkan pengetahuan ilmiah yang berlaku dan
benar, untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan logika, namun jenis penalaran
yang dipakai oleh ias ivism logis adalah induksi dirasakan tidak tepat sebab jenis
penalaran ini tidak mungkin menghasilkan pengetahuan ilmiah yang benar dan
berlaku, karena elemahan yang ias terjadi adalah kesalahan dalam penarikan
kesimpulan, dimana dari premis-premis yang dikumpulkan kemungkinan tidak
lengkap sehingga kesimpulan atau generalisasi yang dihasilkan tidak mewakili
fakta yang ada. Dan menurutnya agar pengetahuan itu dapat berlaku dan bernilai
benar maka penalaran yang harus dipakai adalah penalaran deduktif.

Penolakan lainnya adalah tentang Fakta Keras, Popper berpendapat


bahwa fakta keras yang berdiri sendiri dan terpisah dari teori sebenarnya tidak
ada, karena fakta keras selalu terkait dengan teori, yakni berkaitan pula dengan
asumsi atau pendugaan tertentu. Dengan demikian pernyataan pengamatan, yang
dipakai sebagai landasan untuk membangun teori dalam ias ivism logis tidak
pernah ias dikatakan benar secara mutlak.

33 Matakuliah : Filsafat Ilmu


Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion Email : aqua1796@gmail.com

Soal :
8. Apakah ciri dan asumsi ilmu pengetahuan?

Jawab :
Ciri-ciri Ilmu Pengetahuan Ilmiah
Filsafat Ilmu Pengetahuan merupakan cabang filsafat yang menelaah baik
ciri-ciri ilmu pengetahuan ilmiah maupun cara-cara memperoleh ilmu
pengetahuan ilmiah. Ciri-ciri Ilmu Pengetahuan Ilmiah adalah sebagai berikut:
1) Sistematis.
Ilmu pengetahuan ilmiah bersifat sistematis artinya ilmu pengetahuan
ilmiah dalam upaya menjelaskan setiap gejala selalu berlandaskan suatu
teori. Atau dapat dikatakan bahwa teori dipergunakan sebagai sarana untuk
menjelaskan gejala dari kehidupan sehari-hari. Tetapi teori itu sendiri
bersifat abstrak dan merupakan puncak piramida dari susunan tahap-tahap
proses mulai dari persepsi sehari-hari/ bahasa sehari-hari, observasi/konsep
ilmiah, hipotesis, hukum dan puncaknya adalah teori.
Ciri-ciri yang sistematis dari ilmu pengetahuan ilmiah tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut:

teori

hukum

hipotesa

Hasil observasi (konsep ilmiah)

Persepsi sehari-hari (bahasa sehari-hari)

Gambar 5: Piramida Ilmu Pengetahuan Ilmiah


Sumber: Noerhadi T. H. (1998) Diktat Kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Pascasarjana Universitas Indonesia.

34 Matakuliah : Filsafat Ilmu


Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion Email : aqua1796@gmail.com

a) Persepsi sehari-hari (bahasa sehari-hari).


Dari persepsi sehari-hari terhadap fenomena atau fakta yang
biasanya disampaikan dalam bahasa sehari-hari diobservasi agar
dihasilkan makna. Dari observasi ini akan dihasilkan konsep ilmiah.
b) Observasi (konsep ilmiah).
Untuk memperoleh konsep ilmiah atau menyusun konsep ilmiah
perlu ada definisi. Dalam menyusun definisi perlu diperhatikan bahwa
dalam definisi tidak boleh terdapat kata yang didefinisikan. Terdapat 2
(dua) jenis definisi, yaitu: 1) definisi sejati, 2) definisi nir-sejati.
Definisi sejati dapat diklasifikasikan dalam:
1) Definisi Leksikal. Definisi ini dapat ditemukan dalam kamus, yang
biasanya bersifat deskriptif.
2) Definisi Stipulatif. Definisi ini disusun berkaitan dengan tujuan
tertentu. Dengan demikian tidak dapat dinyatakan apakah definisi
tersebut benar atau salah. Benar atau salah tidak menjadi masalah,
tetapi yang penting adalah konsisten (taat asas). Contoh adalah
pernyataan dalam Akta Notaris: Dalam Perjanjian ini si A disebut
sebagai Pihak Pertama, si B disebut sebagai Pihak Kedua.
3) Definisi Operasional. Definisi ini biasanya berkaitan dengan
pengukuran (assessment) yang banyak dipergunakan oleh ilmu
pengetahuan ilmiah. Definisi ini memiliki kekurangan karena
seringkali apa yang didefinisikan terdapat atau disebut dalam definisi,
sehingga terjadi pengulangan. Contoh: ”Yang dimaksud inteligensi
dalam penelitian ini adalah kemampuan seseorang yang dinyatakan
dengan skor tes inteligensi”.
4) Definisi Teoritis. Definisi ini menjelaskan sesuatu fakta atau fenomena
atau istilah berdasarkan teori tertentu. Contoh: Untuk mendefinisikan
Superego, lalu menggunakan teori Psikoanalisa dari Sigmund Freud.
Definisi nir-sejati dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu:
1) Definisi Ostensif. Definisi ini menjelaskan sesuatu dengan menunjuk
barangnya. Contoh: Ini gunting.
2) Definisi Persuasif. Definisi yang mengandung pada anjuran
(persuasif). Dalam definisi ini terkandung anjuran agar orang
melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Contoh: ”Membunuh
adalah tindakan menghabisi nyawa secara tidak terpuji”. Dalam

35 Matakuliah : Filsafat Ilmu


Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion Email : aqua1796@gmail.com

definisi tersebut secara implisit terkandung anjuran agar orang tidak


membunuh, karena tidak baik (berdosa menurut Agama apapun).
c) Hipotesis
Dari konsep ilmiah yang merupakan pernyataan-pernyataan yang
mengandung informasi, 2 (dua) pernyataan digabung menjadi proposisi.
Proposisi yang perlu diuji kebenarannya disebut hipotesis.
d) Hukum
Hipotesis yang sudah diuji kebenarannya disebut dalil atau hukum.
e) Teori
Keseluruhan dalil-dalil atau hukum-hukum yang tidak bertentangan
satu sama lain serta dapat menjelaskan fenomena disebut teori.

2) Dapat dipertanggungjawabkan.
Ilmu pengetahuan ilmiah dapat dipertanggungjawabkan melalui 3 (tiga)
macam sistem, yaitu:
a) Sistem axiomatis
Sistem ini berusaha membuktikan kebenaran suatu fenomena atau
gejala sehari-hari mulai dari kaidah atau rumus umum menuju rumus
khusus atau konkret. Atau mulai teori umum menuju fenomena/gejala
konkret. Cara ini disebut deduktif-nomologis. Umumnya yang
menggunakan metode ini adalah ilmu-ilmu formal, misalnya
matematika.
b) Sistem empiris
Sistem ini berusaha membuktikan kebenaran suatu teori mulai dari
gejala/ fenomena khusus menuju rumus umum atau teori. Jadi bersifat
induktif dan untuk menghasilkan rumus umum digunakan alat bantu
statistik. Umumnya yang menggunakan metode ini adalah ilmu
pengetahuan alam dan sosial.
c) Sistem semantik/linguistik
Dalam sistem ini kebenaran didapatkan dengan cara menyusun
proposisi-proposisi secara ketat. Umumnya yang menggunakan metode
ini adalah ilmu bahasa (linguistik).

36 Matakuliah : Filsafat Ilmu


Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion Email : aqua1796@gmail.com

3) Objektif atau intersubjektif


Ilmu pengetahuan ilmiah itu bersifat mandiri atau milik orang banyak
(intersubjektif). Ilmu pengetahuan ilmiah itu bersifat otonom dan mandiri,
bukan milik perorangan (subjektif) tetapi merupakan konsensus antar
subjek (pelaku) kegiatan ilmiah. Dengan kata lain ilmu pengetahuan ilmiah
itu harus ditopang oleh komunitas ilmiah.

Asumsi

Ilmu mengemukakan beberapa asumsi mengenai objek empiris. Ilmu


menganggap bahwa objek-objek empiris yang menjadi bidang penelaahannya
mempunyai sifat keragaman, memperlihatkan sifat berulang dan semuanya jalin-
menjalin secara teratur. Sesuatu peristiwa tidaklah terjadi secara kebetulan
namun tiap peristiwa mempunyai pola tetap yang teratur. Bahwa hujan diawali
dengan awan tebal dan langit mendung, hal ini bukanlah merupakan suatu
kebetulan tetapi memang polanya sudah demikian. Kejadian ini akan berulang
dengan pola yang sama. Alam merupakan suatu sistem yang teratur yang tunduk
kepada hukum-hukum tertentu.

Secara lebih terperinci ilmu mempunyai tiga asumsi mengenai objek


empiris. Asumsi pertama menganggap objek-objek tertentu mempunyai
keserupaan satu sama lain, umpamanya dalam hal bentuk, struktur, sifat dan
sebagainya. Berdasarkan ini maka kita dapat mengelompokkan beberapa objek
yang serupa ke dalam satu golongan. Klasifikasi merupakan pendekatan keilmuan
yang pertama terhadap objek-objek yang ditelaahnya dan taxonomi merupakan
cabang keilmuan yang mula-mula sekali berkembang. Konsep ilmu yang lebih
lanjut seperti konsep perbandingan (komparatif) dan kuantitatif hanya
dimungkinkan dengan adanya taxonomi yang baik.

Asumsi yang kedua adalah anggapan bahwa suatu benda tidak


mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu. Kegiatan keilmuan bertujuan
mempelajari tingkah laku suatu objek dalam suatu keadaan tertentu. Kegiatan ini
jelas tidak mungkin dilakukan bila objek selalu berubah-ubah tiap waktu.

37 Matakuliah : Filsafat Ilmu


Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion Email : aqua1796@gmail.com

Walaupun begitu tidak mungkin kita menuntut adanya kelestarian yang absolut,
sebab alam perjalanan waktu tiap benda akan mengalami perubahan. Oleh sebab
itu ilmu hanya menuntut adanya kelestarian yang relatif, artinya sifat-sifat pokok
dari suatu benda tidak berubah dalam jangka waktu tertentu. Tercakup dalam
pengertian ini adalah pengakuan bahwa benda-benda dalam jangka panjang akan
mengalami perubahan dan jangka waktu ini berbeda-beda untuk tiap benda.

Determinisme merupakan asumsi ilmu yang ketiga. Kita menganggap


tiap gejala bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan. Tiap gejala
mempunyai pola tertentu yang bersifat tetap dengan urut-urutan kejadian yang
sama. Namun seperti juga dengan asumsi kelestarian, ilmu tidak menuntut adanya
hubungan sebab akibat yang mutlak sehingga suatu kejadian tertentu harus selalu
diikuti oleh suatu kejadian yang lain. Ilmu tidak mengemukakan bahwa X selalu
mengakibatkan Y, melainkan mengatakan X mempunyai kemungkinan (peluang)
yang besar untuk mengakibatkan terjadinya Y. Determinisme dalam pengertian
ilmu mempunyai konotasi yang bersifat peluang (probabilistik).

Soal :
9. Uraikan perbedaan antara fakta dan teori dan antara fenomena dan konsep?

Jawab :

Menurut Soetrisno dan Hanafie (2007), bahwa teori tersusun dari


beberapa komponen pembentuk teori atau dengan kata lain komponen yang
tersusun ini merupakan komponen ilmu yang hakiki. Adapun komponen yang
dimaksud, yakni: fenomena, konsep, fakta, dan teori. Jika dianalisis lebih lanjut
bahwa ketiga komponen (fenomena, konsep, dan fakta) yang akhirnya
membentuk teori merupakan proses siklikal yang tidak linear, dimana teori yang
lahir akan terus dikoreksi akibat dari perubahan yang ada sekaligus menjawab
fenomena yang sesungguhnya.

38 Matakuliah : Filsafat Ilmu


Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion Email : aqua1796@gmail.com

Pembentukan teori berawal dari fenomena sebagai gejala atau kejadian


yang ditangkap oleh indera manusia, kemudian diabstraksi dengan konsep-
konsep. Konsep ialah istilah atau simbol-simbol yang mengandung pengertian
singkat dari fenomena. Dikarenakan konsep merupakan simbol-simbol yang
nampak dari suatu fenomena, maka ketika konsep tersebut semakin mendasar
akan melahirkan apa yang dinamakan variabel. Variabel sendiri dapat diartikan
suatu sifat atau jumlah yang mempunyai nilai kategorial, baik secara kualitatif
maupun kuantitatif. Jadi variabel akan berkembang seiring dengan kompleksitas
konsep yang dipakai untuk mengetahui fenomena yang hadir.

Untuk menganalisis fenomena atau kejadian sosial, seringkali kita


mencoba menghubungkan antara satu konsep dengan konsep lainnya.
Keterhubungan antar konsep (relation consept) yang didukung dengan data-data
empirik disebut fakta. Tentunya fakta tidak berdiri sendiri, melainkan mempunyai
jalinan dengan fakta-fakta yang lainnya. Jalinan fakta inilah yang disebut dengan
teori. Atau dengan kata lain teori adalah seperangkat konsep, defenisi, dan
proposisi-proposisi yang berhubungan satu sama lain, yang menunjukkan
fenomena secara sistematis, dan bertujuan untuk menjelaskan (explanation) dan
meramalkan (prediction) fenomen-fenomena.

Definisi tentang teori di atas senada dengan Richard Rudner (Poloma,


2004) yang mendefinisikan teori sebagai seperangkat pernyataan yang secara
sistematis berhubungan, termasuk beberapa generalisasi yang memiliki kemiripan
sebagai hukum, yang dapat diuji secara empiris. Selanjutya Poloma (2004)
menambahkan bahwa batasan demikian membutuhkan batasan konsep atau
variabel setepat-tepatnya, yang kemudian melahirkan pernyataan-pernyataan
atau proposisi-proposisi yang saling berkaitan satu sama lain untuk membentuk
suatu teori ilmiah. Tidak hanya itu saja, Poloma (2004) menegaskan bahwa unit
dasar teori sosiologi adalah konsep atau variabel sosiologis yang memberikan
dasar bagi pengujian empiris.

39 Matakuliah : Filsafat Ilmu


Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion Email : aqua1796@gmail.com

Soal :

10. Uraikan perbedaan Numena dari Phenomena. Yang manakah menjadi data
dalam kajian ilmu sosial dan kajian ilmu pengetahuan alam?
Jawab :

Pengertian Numena Dan Phenomena


Numena adalah arti hakiki dari benda itu sendiri yang tidak dapat kita jelaskan
dengan persepsi panca indera. Benda itu sendiri “The thing it self “yang satu, yang
tetap, tidak berubah, yang benar hanya nomena yang menjadi objek ilmu yang
benar. Noumena=Wahyu dalam bahasa filsafat=sebagai “Necessit”.
Phenomena berasal dari bahasa Yunani; “phainomenon”, apa yang terlihat, dalam
bahasa ndonesia bisa berarti:
1. Gejala, misalkan gejala alam
2. Hal-hal yang dirasakan dengan panca indra
3. Hal-hal mistik atau klenik
4. Fakta, kenyataan, kejadian
Jadi phenomena adalah segala sesuatu yang bisa kita persepsi dengan panca
indera.

Soal :
11. Apakah perbedaan utama ilmu sosial dari ilmu pengetahuan alam? Patutkah
dikatakan bahwa kajian ilmu sosial lebih rendah daripada kajian ilmu
penetahuan alam?
Jawab :

A. Perbedaan Ilmu-Ilmu Alam dengan Ilmu-Ilmu Sosial ditinjau dari Ontologi

Menganalisis tentang masalah perbedaan ilmu-ilmu alam dengan ilmu-


ilmu sosial ditinjau dari segi ontologi. Perlu diwacanakan tentang kriteria ilmu
sebagai latar dari kajian. Ilmu merupakan pengetahuan yang diatur secara
sistematis dan langkah-langkah pencapaiannya dipertanggungjawabkan secara
teoritis (Tim Dosen Filsafat Ilmu, 2007: 46). Ilmu pengetahuan juga memiliki ciri-
ciri yang umum yaitu memiliki objek, metode, sistematis dan kriteria kebenaran
(Kaelan, 1996: 26). Kajian ontologi dalam filsafat ilmu berhubungan dengan telaah
terhadap ilmu yang menyelidiki landasan suatu ilmu yang menanyakan apa asumsi
ilmu terhadap objek material dan objek formal, baik bersifat fisik atau kejiwaan
(Tim Dosen Filsafat Ilmu, 2007: 53).

40 Matakuliah : Filsafat Ilmu


Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion Email : aqua1796@gmail.com

Ilmu berkembang dengan pesat sering dengan penambahan jumlah


cabang-cabangnya. Hasrat untuk menspesialisasikan diri pada satu bidang telaah
yang memungkinkan analisis yang makin cermat dan seksama menyebabkan objek
forma dari disiplin keilmuan menjadi kian terbatas. Pada dasarnya cabang-cabang
ilmu tersebut berkembang dari dua cabang utama yakni filsafat alam yang
kemudian menjadi rumpun ilmu-ilmu alam atau the natural sciences dan filsafat
moral yang kemudian berkembang ke dalam cabang ilmu-ilmu sosial atau the
social sciences (Jujun S. Suriasumantri, 2005: 93).

Ilmu-ilmu alam membagi diri kepada dua kelompok lagi yakni ilmu alam
(the physical sciences) dan ilmu hayat (the biological sciences). Ilmu alam
bertujuan mempelajari zat yang membentuk alam semesta, sedangkan ilmu alam
kemudian bercabang lagi menjadi fisika (mempelajari massa dan energi), kimia
(mempelajari substansi zat), astronomi (mempelajari benda-benda langit, dan
ilmu bumi yang mempelajari bumi (Jujun S. Suriasumantri, 2005: 93). Tiap-tiap
cabang kemudian membikin ranting-ranting baru seperti fisika berkembang
menjadi mekanika, hidrodinamika, bunyi, cahaya, panas, kelistrikan dan
magnetisme, fisika nuklir dan kimia fisik (ilmu-ilmu murni).

Ilmu murni merupakan kumpulan teori-teori ilmiah yang bersifat dasar


dan teoritis yang belum dikaitkan dengan masalah-masalah kehidupan yang
bersifat praktis. Ilmu terapan merupakan aplikasi ilmu murni kepada masalah-
masalah kehidupan yang mempunyai manfaat praktis (Jujun S. Suriasumantri,
2005: 94).

Ilmu-ilmu sosial berkembang agak lambat dibanding dengan ilmu-ilmu


alam. Pada pokoknya terdapat cabang utama ilmu-ilmu sosial yakni antropologi
(mempelajari manusia dalam perspektif waktu dan tempat), psikologi
(mempelajari proses mental dan kelakuan manusia) ekonomi (mempelajari
manusia dalam memenuhi kebutuhan kehidupannya lewat proses pertukaran),
sosiologi (mempelajari struktur organisasi sosial manusia) dan ilmu politik
(mempelajari sistem dan proses dalam kehidupan manusia berpemerintahan dan
bernegara) (Jujun S. Suriasumantri, 2005: 94). Cabang utama ilmu-ilmu sosial ini
kemudian mempunyai cabang-cabang lain seperti antropologi terpecah menjadi
lima yakni arkeologi, antropologi fisik, linguistik, etnologi dan antropologi
sosial/kultural (Jujun S. Suriasumantri, 2005: 95).

41 Matakuliah : Filsafat Ilmu


Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion Email : aqua1796@gmail.com

B. Perbedaan Ilmu-Ilmu Alam dengan Sosial ditinjau dari Epistimologi

Epistemologi atau teori pengetahuan membahas secara mendalam


segenap proses yang terlibat dalam usaha untuk memperoleh pengetahuan. Ilmu
merupakan pengetahuan yang didapat melalui proses tertentu yang dinamakan
metode keilmuan. Metode inilah yang membedakan ilmu dengan buah pemikiran
yang lainnya (Jujun S. Suriasumantri, 2006: 9).

Munculnya persoalan epistemologi bukan mengenai suatu prosedur


penyelidikan ilmiah, tetapi dengan mempertanyakan “mengapa prosedur ini
bukan yang lain”. Dalam konteks ilmu sosial, filsafat mempertanyakan metode dan
prosedur yang dipergunakan peneliti sosial dari disiplin sosial (Tim Dosen Filsafat
Ilmu, 2007: 46). Ilmu alam memang terkait secara pokok dalam positivistik,
mempelajari sesuatu yang objektif, tidak hidup, dunia fisik. Kajian masyarakat,
hasil akal manusia, adalah subjektif, emotif bersifat subyektif. Tingkah laku
masyarakat adalah selalu mengandung nilai, dan pengetahuan reliabel tentang
kebudayaan hanya dapat digapai dengan cara mengisolasi ide-ide umum, opini
atau tujuan khusus masyarakat. Hal tersebut membuat tindakan sosial adalah
penuh bermakna subyektif.

Alat untuk memperoleh pengetahuan sangat tergantung dari asumsi


terhadap objek. Demikian juga telaah dalam filsafat ilmu, sarana dan alat untuk
memproses ilmu harus konsisten dengan karakter objek material ilmu.
Berdasarkan kondisi tersebut terdapat perbedaan paradigma yang disebabkan
oleh karakter objek yang berbeda. Misalnya antara ilmu alam dan ilmu sosial yang
terdapat perbedaan metode dan sarana yang dipakai (Tim Dosen Filsafat Ilmu,
2007: 47). Objek material adalah bahan yang dijadikan sasaran penyelidikan
(misalnya ilmu kedokteran, ilmu sastra, psikologi) sedangkan objek formal adalah
sudut pandang tertentu terhadap objek materialnya misalnya ilmu kedokteran
objek formalnya keadaan fisik manusia (Lasiyo dan Yuwono, 1984: 5).

Hindes Barry (Tim Dosen Filsafat Ilmu, 2007: 47) menyatakan bahwa
keabsahan yang merupakan bukti bahwa suatu ilmu adalah benar secara
epistemologis bukanlah sesuatu yang didatangkan dari luar, melainkan hasil dari
metode penyelidikan dan hasil penyelidikan. Oleh karena itu masalah keabsahan
apakah ukurannya cocok tergantung pada metode dan karakter objek, sehingga
jenis ilmu yang satu dan lainnya tidak sama. Dengan kata lain seseorang tidak bisa
menguji metode dan hasil ilmu yang satu dengan menggunakan ilmu lainnya.

42 Matakuliah : Filsafat Ilmu


Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion Email : aqua1796@gmail.com

Kajian tersebut dapat menjadi dasar perbedaan ilmu-ilmu alam dan sosial
berdasarkan perspektif epistimologi yaitu:

1. Ilmu-Ilmu Alam

Ilmu alam merupakan ilmu yang mempelajari objek-objek empiris di


alam semesta ini. Ilmu alam mempelajari berbagai gejala dan peristiwa yang
mempunyai manfaat bagi kehidupan manusia. Berdasarkan objek telaahnya maka
ilmu dapat disebut sebagai suatu pengetahuan empiris. Ilmu membatasi diri hanya
pada kejadian yang bersifat empiris. Objek-objek yang berada di luar jangkauan
pengalaman manusia tidak termasuk bidang penelaahan ilmu (Yuyun S, 1981: 6).

Ilmu alam mempunyai asumsi mengenai objek, antara lain:

1. Menganggap objek-objek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain,


yaitu dalam hal bentuk struktur dan sifat, sehingga ilmu tidak bicara
mengenai kasus individual melainkan suatu kelas tertentu.
2. Menanggap bahwa suatu benda tidak mungkin mengalami perubahan
dalam jangka waktu tertentu. Kelestarian relatif dalam jangka waktu
tertentu ini memungkinkan dilakukan pendekatan keilmuan terhadap objek
yang sedang diselidiki.
3. Menganggap tiap gejala bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat
kebetulan, tiap gejala mempunyai pola tertentu yang bersifat tetap dan
urut-urutan kejadian yang sama (Yuyun S, 1981: 7).

Dalam pandangan empirisme ilmu tidak menuntut adanya hubungan


kausalitas yang mutlak, sehingga suatu kejadian tertentu harus diikuti oleh
kejadian yang lain, melainkan bahwa suatu kejadian mempunyai kemungkinan
besar untuk mengakibatkan terjadinya kejadian lain. Ilmu tentang objek empiris
pada dasarnya merupakan abstraksi yang disederhanakan, hal ini perlu sebab
kejadian alam sangat kompleks. Kegiatan yang dilakukan dalam ilmu alam tidak
merupakan objek penelitian ilmu alam, sebab praktek ilmu alam merupakan suatu
aktivitas manusia yang khas. Manusia memang dapat terlibat sebagai subjek dan
sebagai objek, dengan kata lain manusia adalah mempraktekkan dan diprakteki
(Tim Dosen Filsafat Ilmu, 2007: 49).

43 Matakuliah : Filsafat Ilmu


Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion Email : aqua1796@gmail.com

2. Ilmu-ilmu Sosial

Ilmu sosial adalah ilmu yang mempelajari manusia dalam segala aspek
hidupnya, ciri khasnya, tingkah lakunya, baik perseorangan maupun bersama,
dalam lingkup kecil maupun besar. Objek material ilmu sosial lain sama sekali
dengan objek material dalam ilmu alam. Objek material dalam ilmu sosial adalah
berupa tingkah laku dalam tindakan yang khas manusia, bebas dan tidak
deterministik (Tim Dosen Filsafat Ilmu, 2007: 49).

Kajian yang berbeda-beda terhadap ilmu merupakan konsekuensi dari


perbedaan objek formal. Objek ilmu sosial yaitu manusia sebagai keseluruhan.
Penelitian dalam ilmu sosial juga menimbulkan perbedaan pendekatan. Dalam
ilmu manusia praktek ilmiah sebagai aktivitas manusiawi merupakan juga objek
penelitian ilmu manusia, misalnya psikologi, psikis, sosiologis, dan sejarah.
Spesifikasi ilmu sejarah adalah data peninggalan masa lampau baik berupa
kesaksian, alat-alat, makam, rumah, tulisan dan karya seni, namun objek ilmu
sejarah tidak dapat dikenai eksperiment karena menyangkut masa lampau.
Kondisi tersebut yang mempengaruhi kemurnian objek manusiawi berkaitan
dengan sikap menilai dari subjek penelitian, maka objektivitas ilmu sejarah
sebagai ilmu kemanusiaan (Tim Dosen Filsafat Ilmu, 2007: 51).

Klaim terhadap ilmu-ilmu sosial kadang dinilai gagal dalam menangkap


kekomplekan gejala, didasarkan pada kegagalan dalam membedakan antara
pernyataan beserta sistematika yang dipakai dengan gejala sosial yang dinyatakan
oleh pernyataan tersebut. Tidak semua argumentasi tentang kerumitan gejala
sosial yang menyebabkan ketidakmungkinan ilmu-ilmu sosial. Rangkaian
argumentasi yang lain didasarkan pada tuduhan bahwa metode keilmuan tidak
mampu untuk menangkap “keunikan” gejala sosial dan manusiawi. Penelaahan
sosial tertarik kepada keungikan tiap-tiap kejadian sosial, padahal metode
keimuan hanya mampu mensistematikakan berdasarkan generaslisasi, maka
keadaan in menyebabkan harus ditetapkannya metode yang lain dalam ilmu-ilmu
sosial (Jujun S. Suriasumantri, 2006: 143).

44 Matakuliah : Filsafat Ilmu


Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion Email : aqua1796@gmail.com

Objek penelaahan Ilmu Sosial mempunyai karakter (Jujun S. Suriasumantri, 2006:


134) di bawah ini:

1. Objek Penelaahan yang Kompleks

Gejala sosial lebih kompleks dibandingkan dengan gejala alam. Ahli ilmu
alam berhubungan dengan satu jenis gejala yakni gejala yang bersifat fisik. Gejala
sosial juga mempelajari karakteristik fisik namun diperlukan penjelasan yang lebih
dalam untuk mampu menerangkan gejala tersebut. Guna menjelaskan hal ini
berdasarkan hukum-hukum seperti yang terdapat dalam ilmu alam tidaklah cukup.

Ahli ilmu alam berhubungan dengan gejala fisik yang bersifat umum.
Penelaahannya meliputi beberapa variabel dalam jumlah yang relatif kecil yang
dapat diukur secara tepat. Ilmu-ilmu sosial mempelajari manusia selaku
perseorangan maupun selaku anggota dari suatu kelompok sosial yang
menyebabkan situasi yang bertambah rumit. Variabel dalam penelaahan sosial
adalah relatif banyak kadang-kadang membimbingkan peneliti.

Apabila seorang ahli kimia mencampurkan dua buah zat kimia dan
meledak, hal itu dapat dijelaskan dengan tepat dalam ilmu alam, namun apabila
terjadi kejahatan, maka kajiannya terdapat faktor yang banyak sekali untuk
dijelaskan. Faktor-faktor penjelas yang dimaksud antara lain, apa latar belakang
kejahatan, bagaimana latar belakang psikologi orang, mengapa harus memilih
melakukan kejahatan dan sebagainya. Tingkat-tingkat kejadian suatu peristiwa
sosial selalu menyulitkan ahli ilmu sosial untuk menetapkan aspek-aspek apa saja
yang terlibat, pola pendekatan mana yang paling tepat dan variabel-variabel apa
saja yang termasuk di dalamnya.

2. Kesukaran dalam Pengamatan

Pengamatan langsung gejala sosial lebih sulit dibandingkan dengan


gejala ilmu-ilmu alam. Ahli ilmu sosial tidak mungkin melhat, mendengar, meraba,
mencium atau mengecap gejala yang sudah terjadi di masa lalu. Serorang ahli
pendidikan yang sedang mempelajari sistem persekolahan di zaman penjajahan
dulu tidak dapat melihat dengan mata kepala sendiri kejadian-kejadian tersebut.
Keadaan ini berbeda dengan seorang ahli kimia yang bisa mengulang kejadian
yang sama setiap waktu dan mengamati suatu kejadian tertentu secara langsung.

45 Matakuliah : Filsafat Ilmu


Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion Email : aqua1796@gmail.com

3. Objek Penelaahan yang Tak Terulang

Gejala fisik pada umumnya bersifat seragam dan gejala tersebut dapat
diamati sekarang. Gejala sosial banyak yang bersifat unik dan sukar untuk terulang
kembali. Abstraksi secara tepat dapat dilakukan terhadap gejala fisik melalui
perumusan kuantitatif dan hukum yang berlaku umum. Masalah sosial sering kali
bersifat spesifik dan konteks historis tertentu. Kejadian tersebut bersifat mandiri.
Bervariasinya kejadian-kejadian sosial ditambah dengan sulitnya pengamatan
secara langsung waktu penelaahan dilakukan menyebabkan sukarnya
mengembangkan dan menguji hukum-hukum sosial.

4. Hubungan antara Ahli dan Objek Penelaahan Sosial

Gejala fisik seperti unsur kimia bukanlah suatu individu melainkan


barang mati. Ahli ilmu alam tidak usah memperhitungkan tujuan atau motif dari
planet. Ahli sosial mempelajari manusia yang merupakan makhluk yang penuh
tujuan dalam tingkah laku. Manusia bertindak sesuai dengan keinginannya dan
mempunyai kemampuan untuk melakukan pilihan atas tindakan yang akan
diambilnya. Hal ini menyebabkan manusia dapat melakukan perubahan dalam
tindakannya. Kondisi ini menyebabkan objek penelaahan ilmu sosial sangat
dipengaruhi oleh keinginan dan pilihan manusia maka gejala sosial berubah secara
tetap sesuai dengan tindakan manusia yang didasari keinginan dan pilihan
tersebut.

Ahli ilmu alam menyelidiki proses alami dan menyusun hukum yang
bersifat umum mengenai proses. Ahli alam tidak bermaksud untuk mengubah
alam atau harus setuju dan tidak setuju dengan proses tersebut. Ahli ilmu alam
hanya berharap bahwa pengetahuan mengenai gejala fisik dari alam akan
memungkinkan manusia untuk memanfaatkan proses alam. Ahli ilmu sosial
tidaklah bersikap sebagai penonton yang menyaksikan suatu proses kejadian
sosial.

Ahli ilmu alam mempelajari fakta dan memusatkan perhatiannya pada


keadaan yang terjadi pada alam. Ahli ilmu sosial juga mempelajari fakta
umpamanya mengenai kondisi-kondisi yang terdapat dalam suatu masyarakat.
Peneliti mencoba untuk tidak terlibat dalam pola yang ada di masyarakat, namun
kadang peneliti kemudian mengembangkan materi berdasarkan penemuannya
tersebut untuk dapat diaplikasikan kepada masyarakat.

46 Matakuliah : Filsafat Ilmu


Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion Email : aqua1796@gmail.com

Perbedaan-perbedaan secara epistemologi tersebut dapat dijadikan asumsi


bahwa pada pengkajian ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial tidak dapat
disamakan. Metode dalam pengkajian ilmu-ilmu alam berbeda objeknya sehingga
akan menyebabkan perbedaan cara pengkajian.

Kesimpulannya, bahwa perbedaan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial dalam


perspektif ontologi dan epistemologi antara lain:

1. Ditinjau dari perspektif ontologi, perbedaan ilmu-ilmu alam dan sosial yaitu
ilmu-ilmu alam merupakan cabang cari filsafat alam (the natural sciences)
sedangkan ilmu-ilmu sosial merupakan cabang dari filsafat moral (the social
sciences). Ilmu-ilmu alam kemudian terbagi menjadi ilmu alam dan ilmu
hayat. Ilmu alam terbagi lagi menjadi fisika, kimia, astronomi dan ilmu bumi.
Ilmu-ilmu sosial terbagi menjadi antropologi, psikologi, ekonomi, sosiologi,
dan ilmu politik.
2. Ditinjau dari perspektif epistemologi, perbedaan ilmu-ilmu alam dan sosial
terletak pada penggunaan prosedur ilmiah. Ilmu alam terkait secara pokok
dalam positifistik, mempelajari yang objektif, tidak hidup, dan dunia fisik.
Objek ilmu alam dianggap serupa, tidak mengalami perubahan dalam
jangka tertentu, dan setiap gejala terpola. Ilmu-ilmu sosial merupakan hasil
akal manusia, subjektif, dan emotif. Objek material ilmu sosial adalah
tingkah laku khas manusia dan tidak desterministik.
3. Pengetahuan tentang perbedaan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial
ditinjau dari aspek ontologis memberi pemahaman bahwa ilmu alam dan
ilmu sosial tersegmentasi dalam karakter yang sama. Perbedaan secara
ontologis menjadikan kejelasan batasan mengenai karakter ilmu yang lebih
bersifat ilmu alam atau ilmu sosial.
4. Tinjauan epistemologi tentang perbedaan ilmu-ilmu alam dan ilmu sosial
memberikan wacana tentang metode yang digunakan dalam mengkaji
masalah ilmu alam dan sosial. Metode yang digunakan harus disesuaikan
dengan karakter objeknya baik ilmu alam atau ilmu sosial. Ketepatan
metode menjadikan ilmu dapat dikaji secara benar

47 Matakuliah : Filsafat Ilmu


Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion Email : aqua1796@gmail.com

Soal :
12. Dapatkah ilmu pengetahuan bebas dari nilai? Apakah kritik para pendukung
kelompok Feminisme, Sosiologi Ilmu dan Posmodernisme terhadap konsep
ilmu pengetahuan bebas dari nilai?
Jawab :
Menurut saya ilmu itu bebas nilai karena dilihat dari dua aspek.
Pertama yaitu etika teologis dan yang kedua yaitu ontologis. Maka ilmu dalam
penempatan teoritis bebas nilai. Kegiatan ilmiah dapat dilakukan oleh siapa
saja tanpa memandang agama, etnis, ideologi, dan bangsa. Kecuali nilai yang
bisa mengikat, adalah kebenaran atau hikmah. kebenaran ilmu dalam
penempatan yang praktis adalah ilmu harus tunduk kepada nilai-nilai yang
bersifat menyeluruh atau universal yaitu mengabdi untuk kebenaran sehingga
tidak mungkin ilmu itu tidak bebas nilai.

Sumber: http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/2003335-ilmu-bebas-
nilai-atau-tidak/#ixzz1dozlwOld

Menurut The Liang Gie (1987) pengertian ilmu adalah rangkaian


aktivitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode untuk
memperoleh pemahaman secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam
berbagai seginya dan keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan
berbagai gejala yang ingin dimengerti manusia.
Di atas dijelaskan bahwa ilmu adalah rangkaian aktivitas manusia.
Dan aktivitas itu tidak akan dilaksanakan tanpa adanya metode tertentu.
Apabila suatu aktivitas dilaksanakan dengan metode tertentu maka akan
mendetangkan pengetahuan yang sistematis. Metode tertentu itu bisa
disebutkan salah satunya metoe ilmiah. Metode ilmiah bertujuan untuk
memperoleh atau mengembangkan pengetahuan.
Ilmu memiliki cirri-ciri tersendiri diantaranya : Adanya system dalam
penelitian, bersifat universalitas, objektivitas, ilmu pengetahuan harus dapat
diverifikasi oleh semua peneliti ilmiah yang bersangkutan karena ilmu harus
dapat dikomunikasikan, bersifat progresivitas, kritis, sebagai perwujudan
kebertautan antara teori dengan praktis.
Salah satu ciri dari ilmu adalah objektivitas. Yang dimaksud dengan
ilmu yang bersifat objektivitas adalah setiap ilmu terpimpin oleh objek dan
tidak didistorsi oleh prasangka-prasangka subjektif. Ilmu bersifat objektivitas
bisa mengantarkan ilmu itu sendiri, apakah ilmu itu bebas nilai atau tidak.

48 Matakuliah : Filsafat Ilmu


Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion Email : aqua1796@gmail.com

Ada beberapa pendapat yang membahas tentang itu. Masing-masing


ada yang berpendapat bahwa ilmu itu bebas nilai dan adda juga yang
berpendapat bahwa ilmu itu tidak bebas nilai. Menurut pendapat Joseph
Situmorang (1996) bebas nilai artinya tuntunan setiap kegiatan ilmiah agar
didasarkan pada hakekat ilmu pengetahuan itu sendiri. Itu berarti
bahwasannya ilmu pengetahuan menolak campur tangan faktor eksternal yang
tidak secara hakiki menentukan ilmu pengetahuan.
Adapun ciri-ciri bahwa ilmu itu bebas nilai adalah:
Bebas dari pengaruh eksternal. Contoh: faktor politis, geografis, ideologis,
agama, budaya dan lain lain.
- Tidak adanya batasan usaha ilmiah agar kemurnian ilmu peengetahuan
terjamin.
- Adanya pertimbangan etis dalam penelitian ilmiah.
Salah satu ciri mutlak ilmu pengetahuan adalah adanya objektivitas.
Padahal di pihak lain subjek yang mengembangkan ilmu dihadapkan pada nilai-
nilai yang ikut menentukan pemilihan atas masalah dan kesimpulan yang
dibuatnya. Oleh sebab itu tokoh sosiologis Weber sangat berhati-hati dalam
memutuskan apakah ilmu bebas nilai atau tidak.
Ada pula yang beranggapan bahwa ilmu itu tidak pernah bebas nilai.
Menurut Habermas bahwa ilmu pengetahuan terbentuk berdasarkan
kepentingan teknis. Karena tidak bisa lepas dari kepentingan teknis, ilmu
pengetahuan tidak bisa bersifat netral. Sebagai contoh ilmu sejarah dan
hermeneutika juga ditentukan oleh kepentingan praktis. Setiap kegiatan
teoritis yang melibatkan subjek-objek memiliki kepentingan tertentu.

Ilmu sebagai aktivitas ilmiah dapat berwujud penelaah (study),


penyelidikan (inquiry), usaha menemukan (attempt to find) atau pencarian
(find) . Untuk menemukan pengetahuan baru bagi aktivitas ilmiah yang paling
berbobot digunakan istilah research (penelitian) dan pencarian biasanya
dilakukaan berulang kali.
Aktivitas ilmiah sendiri tidak bisa terlepas dari beberapa faktor.
Beberapa faktor tersebut bisa saja mempengaruhi hasil dari aktivitas ilmiah.
Beberapa faktor tersebut diantaranya mengenai tempat dimana aktivitas
ilmiah itu dilakukan, siapa yang melakukan dan dari mana asalnya. Ada kalanya
aktivitas ilmiah sering terwarnai atau sering terpengaruh entah itu dari
aktivitas awal seperti mencari latar belakang, menentukan rumusan masalah
juga dalam hal mencari sampel atau bahan penelitian kadang-kadang hanya
ada di daerah asalnya.

49 Matakuliah : Filsafat Ilmu


Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion Email : aqua1796@gmail.com

Jadi netralitas nilai dalam aktivitas ilmiah sering dipertanyakan


keabsahannya. Karena aktivitas nilai sulit untuk melepaskan diri dari beberapa
faktor apalagi dari pengaruh faktor eksternal.

Contoh : Kenapa ilmu dikatakan bebas nilai?. Karena ilmu itu hanyalah suatu
pengetahuan belaka yang membuat manusia bisa mengetahui segala sesuatu
dan bisa bertindak (meskipun itu terbatas) dengan ilmu tersebut. Ilmu apa saja
tetap dikatakan bebas nilai; karena pada dasarnya, ilmu itu tidak mempunyai
tempat (mau dikatakan ilmu itu baik atau tidak baik, karena tergantung
pemakainya). Contoh ilmu hukum (yurisprudensi); ilmu hukum itu sendiri
bertempat dimana? Dan apakah ilmu hukum itu sendiri baik?. Kalau toh ilmu
hukum itu betempat pada kebaikan atau kebenaran, lalu kenapa orang yang
tidak bersalah harus di klaim salah, malah yang benar-benar terbukti salah
dianggap benar, itu kan konyol namanya. Makanya, ilmu itu diktakan bebas
nilai. Ilmu dinilai baik karena konsumennya baik, sebaliknya ilmu dinilai tidak
baik (buruk) karena pemakai salah menempatkan, meskipun esensinya ilmu itu
baik.

Soal :
13. Menurut David Hume ada 6 langkah dalam metode induktif. Uraikan
keenam langkah itu dengan menuliskan contoh.

Jawab :

Metode Induktif

Induksi yaitu suatu metode yang menyimpulkan pernyataan


pernyataan hasil observasi dalam suatu pernyataan yang lebih umum dan
menurut suatu pandangan yang luas diterima, ilmu-ilrnu empiris ditandai oleh
metode induktif, disebut induktif bila bertolak dari pernyataan tunggal seperti

50 Matakuliah : Filsafat Ilmu


Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion Email : aqua1796@gmail.com

gambaran mengenai hasil pengamatan dan penelitian orang sampai pada


pernyataan pernyataan universal.

David Hume telah membangkitkan pertanyaan mengenai induksi yang


membingungkan para filosof dari zamannya sampai sekarang. Menurut Hume,
pernyataan yang berda observasi tunggal betapapun besar jumlahnya, secara
logis tak dapat menghasilkan suatu pernyataan umum yang tak terbatas. dalam
induksi setelah diperoleh pengetahuan, maka akan dipergunakan ha-hal lain,
seperti ilmu mengajarkan kita bahwa kalau logam dipanasi juga akan
mengembang, bertotak dari teori ini kita tahu bahwa logam lain yang kalau
dipanasi juga akan mengambang. Dari contoh di atas bisa diketahui bahwa
induksi tersebut memberikan suatu pengetahuan yang disebut juga dengn
pengetahuan sintetik.

Komponen langkah-langkah Metodologis, yang terdiri 6 (enam) langkah


metodologis, yaitu:
a. Inferensi logis
b. Deduksi logis
c. Interpretasi, instrumentasi, penetapan sampel, penyusun skala.
d. Pengukuran, penyimpulan sampel, estimasi parameter.
e. Pengujian hipotesis.
f. Pembentukan konsep, pembentukan dan penyusunan proposisi.
Langkah Metodologis digambarkan dengan elips.

Penjelasan tentang langkah-langkah Metodologis adalah sebagai berikut:


a. Langkah pertama. Ada masalah yang harus dipecahkan. Seluruh langkah ini
(6 langkah) oleh Popper disebut Epistomology Problem Solving. Untuk

51 Matakuliah : Filsafat Ilmu


Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion Email : aqua1796@gmail.com

pemecahan masalah tersebut diperlukan kajian pustaka (inferensi logis)


guna mendapatkan teori-teori yang dapat digunakan untuk pemecahan
masalah.
b. Langkah kedua. Selanjutnya dari teori disusun hipotesis. Untuk menyusun
hipotesis diperlukan metode deduksi logis.
c. Langkah ketiga. Untuk membuktikan benar tidaknya hipotesis perlu adanya
observasi. Sebelum melakukan observasi perlu melakukan interpretasi teori
yang digunakan sebagai landasan penyusunan hipotesis dalam penelitian
adalah penyusunan kisi-kisi/dimensi-dimensi, kemudian penyusunan
instrumen pengumpulan data, penetapan sampel dan penyusunan skala.
d. Langkah keempat. Setelah observasi, selanjutnya melakukan pengukuran
(assessment), penetapan sampel, estimasi kriteria (parameter estimation).
Langkah tersebut dilakukan guna mendapatkan generalisasi empiris
(empirical generalization).
e. Langkah kelima. Generalisasi emperis tersebut pada hakekatnya merupakan
hasil pembuktian hipotesis. Apabila hipotesis benar akan memperkuat teori
(verifikasi). Apabila hipotesis tidak terbukti akan memperlemah teori
(falsifikasi).
f. Langkah keenam. Hasil dari generalisasi empiris tersebut dipergunakan
sebagai bahan untuk pembentukan konsep, pembentukan proposisi.
Pembentukan atau penyusunan proposisi ini dipergunakan untuk
memperkuat atau memantapkan teori, atau menyusun teori baru apabila
hipotesis tidak terbukti.

52 Matakuliah : Filsafat Ilmu


Oleh : Wahyu Efendi Nst

Anda mungkin juga menyukai