Anda di halaman 1dari 73

Bab 1 PENDAHULUAN

A. PENDEKATAN SEJARAH 1. Periodisasi Sejarah Kita melihat periodisasi sejarah filsafat barat, sebab kita hidup diabad ke-20, tempat ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan masalah sentral , yang merupakan tradisi dari pemikiran Barat, Skema I.1.: Teknologi menjadi maju, filsafat (spekulatif) ditinggalkan Ilmu-ilmu empirik Abad Ke-5 SM 15 16 m Renaisance (abad emansipasi Abad Tengah (agama) a. Filsafat Yunani Kuno Ciri kosmosentris (alam ) manusia sebagai bagian dari alam . b. Abad Pertengahan
Teosentris, peranan gereja sangat dominan, muncul istilah Imago Dei, homo viator, pada abad ini ukuran baik adalah segala sesuatu yang sesuai dengan perintah Tuhan. Orientasinya Super-Natural . c. Abad ke-15-16 Humanisme, orentasi pada manuia. Renaisance membuat self confidence untuk berprestasi. Humanisme melahirkan Individualisme dan Naturalisme. 1) Individualisme, secara individual lebih diarahkan pada pribadi masing-masing. Etikanya berarti tanggung jawab secara individual, dampaknya mendorong prestasi, kreativitas secara individual. Secara defacto individualisme yang mendorong munculnya tokoh-tokoh ilmu pengetahuan dan bukan kolektifisme. Dampak negatifnya , individualisme mendorong egoistisisme (bukan manusia yang menjadi ukuran tetapi Aku), diri sendiri lebih penting dari pada masyarakat.

18 m Engligtenment (Aufklarung) Revolusi industri

20 m. IPTEK modern

2) Naturalisme manusia dianggap mempunyai kodrat yang ansich baik, yang harus dihargai dan menjadi ukuran. Dipakai sebagai titik tolak dalam bidang sosial, politik, hukum, ekonomi; disini ditaruh benih ateisme sehingga pada abad ke-18 timbul aliran-aliran yang bersifat ateistik, pada abad ke-19 muncul Marx, abad ke-20 Marleau Pounty, Sartre dan sebagainya. d. Abad ke-17 Humanisme mendorong rasionalisme, empirisme. Manusia harus menggunakan rasio (akal budaya) untuk bisa menguasai dunia, rasio yang dilandasi empiris (pengalaman). Rasionalisme dan empirisme mendorong ilmu pengetahuan. `e. Abad ke-18 Mendorong lahirnya materialisme dan positivisme 1) Materialisme, penghargaan besar terhadap materi, manusia didorong untuk mengadakan materi . Orientasi pada materi berarti juga mengingkari hal-hal yang bersifat immateri, berkembang kearah ateisme. 2) Positivisme, mendorong pada perhitungan kwantitatif, menerjemahkan sesuatu secara kwantitatif . Ilmu pengetahuan terutama ilmu pengetahuan alam maju, sehingga pada abad ke-19 timbul ilmu pengetahuan sosial yang berorientasi pada positivisme, Toko yang terkenal Auguste Comte, dengan tiga tahapnya : a) Tahap religius b) Tahap metafisik-rasional (dalam bentuk-bentuk kualitatif) c) Tahap positif f. Abad ke-19 Timbul reaksi sosialisme dari Karl Marx (Marxisme), timbul Neo-Positivisme dan kemudian ateisme, 1) Ateisme suatu orientasi yang mempertanggungjawabkan bahwa sikap dirinya adalah ateis, jadi bukan sekedar mengingkari Tuhan , Tetapi juga supaya lebih bebas dalam penghargaannya kepada manusia. 2) Marxisme; ateisme untuk membebaskan manusia dari kesengsaraan. Ateisme dari Marxs adalah humanisme. Baginya agama adalah kumpulan dari orangorang frustasi. Untuk membebaskannya orang harus bangun, sebab kepercayaan terhadap Tuhan adalah mimpi. Sosialisme dari Marx dikaitkan dengan gerakan untuk membebaskan manusia dari alienasi , khususnya alienasi ekonomi dengan memperbaiki struktur ekonomi dan seluruh kehidupan manusia . Ekonomi dianggap sebagai faktor dasar dari kehidupan manusia. 3) Neo-Positivisme : Positivisme yang dibantu oleh hasil teknologi yang ada pada waktu itu. Neo-positivisme berkembang kearah scientisme, diluar ilmu berarti tidak ada kebenaran (ateisme ilmiah)

g. Abad ke-20
Timbul materialisme modern yang didukung oleh teknologi maju. Dampak yang nampak , justru materialisme inilah yang membuat manusia sebagai penguasa yang bersikap serakah terhadap dunia . Serakah tidak hanya terhadap alam , tetapi juga terhadap manusia. Di Amerika timbul Pragmatisme : Orientasi yang hanya menghargai sesuatu sejauh mempunyai fungsi. Pragmatisme terhadap barang mati tidak apa-apa,tetapi apabila dihadapkan pada manusia,timbul persoalan bahwa manusia hanya sebagai fungsi dari suatu sistemyang lebih besar, sehingga tidak nampak subjekya. DARI PENDAKATAN SEJARAH, KITA MELIHATBEBERAPA FAKTA PENTING a. Pada abad ke-17, ilmu-ilmu alam dan sosial melepaskan diri dari methode filsafat yang spekulatif dan kualitatif , kerja sama antara ilmu dan filsafat tidak terlaksana akibat pemisahan ini. Kerugian yang nampak; filsaft kehilangan objek (formal maupun material), sedangkan ilmu kehilangan refleksi filosofinya b. Di dalm sejarah barat ada kesatuan antara latar belakang filsafat tertentu dengan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang diciptakan. Sesudah abad pertengahan, Barat telah melaju, baik ilmu pengetahuan dan tekhnologi sejak ia menolak agama dan pemikiran-pemikiran yang spekulatif - kualitatif spiritual. Harus diakui ilmu pengetahuan dan tekhnologi di Barat berkembang, dan mempunyai sejarah yang panjang dari manusia-manusianya dalam menjawab tantangan zamannya, sehingga timbul suatu ilusi bahwa agama dan filsafat adalah sumber penghambat utama kemajuan manusia. Ilusi tersebut mau tidak mau ikut terbawa juga keberbagai belokan dunia yang menerima ilmu pengetahuan dan tekhnologi sebagai barang jadi. Di Indonesia gejala itu juga terjadi seperti yang digambarkan oleh Prof. Dr. Soeroso H. Prawiroharjo, M.A. dalam pidatao pengukuhan jebatan guru besar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada . Menurut guru besar ini, di Amerika pada tanun-tahun limapuluhan dan enampuluhan gerakan New Scientismyang positivistik empiristik dalam ilmu poitik sedang dalam puncak perkembangannya dalam arti pengaruh yang diberikannya. Dengan demikian mudah difahami mengapa banyak pengajar Indonesia yang dikirim ke Amerika, setelah penyelesaian study mereka dan kembali ke Indonesia, membwa pengaruh orentasi ilmu politik yang demikin itu, baik sepotong-sepotong, maupun keseluruhan dan baik disadari maupun tidak oleh yang bersangkutan. Bahkan, pengaruh yang demikian itu masih berlangsung dengan kuatnya hingga saat ini. Saya fikir hal itu juga terjadi di bidang lain, selain ilmu politik. c. Tetapi permasalahan yang terjadi dalam tubuh filafat sendiri perluh segera dibenahi. Masalah Pertama Pendidikan filsfat pada khususnya dan memasyarakatkannya bukan merupakan hal yang mudah. 1) Filsafat dianggap mudah dipahami dan tidak jelas manfaatnya. 2) Dilain pihak filafat justu dianggap sangat menarik dan dianggap dapat memecahkan persoalan besar dalam hidup, persoalan-persoalan mendasar dan eksistensial Ke dua konstalasi sikap diatas ternyata menajdi kenyataan : 1) Filasafat memang sukar dan tidak jelas manfaatnya 2) Belajar filasafat ternyata menjadi pembicaraan rumit dan teknis, yang tidak sama seali tmpak sangkut pautnya lagi dengan penyelesain masalah hidup yang besar. (Toeti H,Noerhadi, 1982 )

Jadi yang perlu dijelaskan pertama kali bahwa yang diharapkan dari filafat terlalu banyak, dan bahwa memang persoalan besar harus diterjemahkan lebih dahulu ke peristilahan yang khusus, dan ini merupakan tugas berat bagi kita. Masalah Kedua Filsafat ternyata tidak memiliki power apa pun, sering kali ia hanya bersifat himbauan. Padahal masalah dewasa ini, bukan sekedar berurusan dengan atas norma yang membutuhkan pedoman hidup dan himbauan semata-mata, melainkan menggumuli masalah-masalah konkrit seperti kemiskinan, ledakan penduduk, perang dan sebagainya. B. 1. Yang berarti mencintai dan Sophia yang berarti kebijaksanaan. Kedua perkataan tersebut, Philein dan Sophia, berarti mencintai kebijaksanaan. Kebijaksanaan pula berarti kebenaran di dalam perbuatan. Suatu sikap dasar yang harus kita anut sebagai orang yang beriman ialah: bahwa kebenaran yang mutlak ada pada Tuahn, manusia hanya dapat mencari kebenaran itu karena didorong oleh cintanya akan kebenaran itu. Perkembangan selanjutnya, Filsafat memiliki berbagai macam pengertian antara lain : a. Cinta kebijaksanaan b. Ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat segla sesuatu untuk memperoleh kebenaran dan kenyataan. c. Hasil pikiran yang kritis dan dikemukakan secara sistematis d. Hasil pikiran manusi yang paling dalam. e. Pendalaman lebih lanjut dari Ilmu Pengetahuan f. Pandangan hidup g. Hasil analisa dan abstraksi h. Anggapan dasar i. Bersifat Kritis-Rasional, Kritis-Refleksi, Radikal, Integral, Tidak Pragmentaris, Universal j. Kritis, analitis,evaluatif, dan abstrktif Filasafat merupakansuatu refleksi yang merupakan kegiatan akal budi, perenungan. Bisa dikatakan pula refleksi merupakan pengetahuan tahap kedua. Pengertian yang diterima, direnungkan lebih lanjut, sehingga kecuali pengertian kita juga memperoleh arti dan makna. Yang direfleksikan filsaat adalah apa saja, yang tidak terbatss pada bidang/tema tertentu. Tujuan untuk memperoleh kebenaran yang mendasar (pengertian yang mendasar) diupayakan dengan cara meletakkan objek pembahasan dalam konteks yang paling mendasar yaitu konteks keberadaannya (ontologis) dan melihat pada konteks hakikatnya. Ilmu Pengetahuan empirik bertolak pada fakta (apa yang telah terjadi), gejala (apa yang nampak) sehingga menjadi data (apa yang telah diberikan). Filsafat dari semua itu ingin memperoleh hakekat. Pada dasarnya tugas filsfat ialah: a. Menyajikan pertanyaan yang tidak diajikan dalam empirik. b. Mengadakan revolusi dalam perepsi. PENGERTIAN FILSAFAT Arti Filsafat Filsafat itu sendiri menurut asal katanya berasal dari bahssa Yunani Philein

c. Mencegah pemikiran rutin dan mengembalikan pada pemikiran refleksi. d. Mencegah pemikiran mekanistik dan mengembalikannya pada pemikiran aktif dan kreatif. (Rangkain diskusi penelitian filsafat yayasan Filsafat Indonesia, jakarta, 152-1985). 1. Cabang Filsafat a. Logika - Apakah hukum-hukum penyimpulanyang lurus, hukum-hukum tentang berpikir. b. Metodologi Filsafat - Apakah teknis penyelidikan /penelitian filsafat. c. Metafisika/Ontologi - Apakah kenyataan itu. Bagaimana meletakkan objek pembahasan pada konteks keberadaannya d. Kosmologi - Bagaimana kenyataan itu ada pada keteraturannya. e. Epistemologi - Apakah kebenaran itu. f. Biologi Kefilsafatan - Apakah hidup itu. g. Psikologi Kefilsafatan - Apakah jiwa itu h. Antropologi Kefilsafatan - Apakah manusia itu. i. Sosiologi Kefilsafatan - Apakah masyarakat, negar, organisasi dan sebagainya. j. Estetika- Apakah yang indah itu. k. Filsafat Agama - Apakah keagamaan itu. l. Etika - Apakah yang baik itu. (louis O, Kattosoff, Elements of Philosophy) 2. Etika Sebagai Cabang Filsafat Hidup kita seakan-akan terentang dalam suatu jaringan norma yang berupa ketentuan, kewajiban, larangan dan sebagainya. Jaringan itu seolah-olah menmbelenggu kita, mencegah kita dari bertindak sesuai dengan segala keinginan kita, mengikat kita untuk melakukan sesuatu yang sebetulnya kita benci. Maka timbullah pertanyaan : dengan hak apa orang mengharapkan kita tunduk terhadap norma itu ? Bagaimana kita bisa menilai norma itu? Tugas etika bertugas mencari jawaban itu. Etika merupakan penyelidikan filsafat tentang moral, yaitu mengenai kewajiban amnusia serta tentang yang baik dan yang buruk. Etika didefinisikan sebagai filsafat tentang bidang moral. Dari semua cabang filsafat lain etika dibedakan oleh karena tidak mempersoalkan keadaan manusia melainkan bagaimana ia harus bertindak. Etika adalah filsafat tentang praxis manusia. Etika adalah praksiologik. Sipat dasar etika adalah sipat kritis. Etika bertugas untuk mempersoalkan norma yang dianggap berlaku. Diselidikinya apakah dasar dari suatu norma itu dan apakah dasar itu membenarkan ketaatan yang dituntut oleh norma itu. Terhadap norma yang de fakto berlaku, etika mengajukan pertanyaan tentang legitimasinya, ( Apakah berlaku de fakto pula ) . Norma yang tidak dapat mempertahankan diri dari pertanyaan kritis ini akan kehilangan haknya. Etika mempersoalkan pula hak setiap lembga, seperti orang tua, lembaga, negaradan agama untuk memberi perintah atau larangan yang harus ditaati. Bukan seakan-akan etika menolak adanya norma atau menyangkal hal pelbagai lembaga dalam masyarakat untuk menuntut ketaatan, tetapi lebih jauh menuntut pertanggugjawaban. Tak ada lembaga atau perseorangan yang berhak menentukan begitu saja bagaimana orang lain harus bertindak. Wewenang untuk menuntut ketraatan perlu dibuktikan.

Etika dapat mengantar orang kepada kemampuan untuk berskap kritis dan rasional, untuk membentuk pandapatnya sendiri dan bertindak sesuai dengan apa yang dapat dipertanggungjawabkannya sendiri. Etika menyanggupkan orang untuk mengambil sikap yang rasional terhadap semua norma, baik norma tradisi maupun norma lainnya, sekaligus etika membantu manusia untuk menjadi lebih otonom. Otonomi manusia tidak terletak dalam kebebasan dari segala norma dan tidak sama dengan kesewenang-wenang , melainkan tercapai dalam kebebasan untuk mengakui norma yang diyakininya sendiri sebagi kewaajibannya. Justru dalam persaingan ideologi dan pelbagai sistem normatif serta berhadapan dengan berbagai lembaga yang kian hari kian berkuasa, seolah-olah menuntut begitu saja agar masyarakat tunduk terhadap ketentuan mereka, etika perlu sebagai pengantar pemikiran kritis dan dewasa yang dapat membedakan apa yang sah dan apa yang palsu, dengan demikian memungkinkan kita untuk mengambil sikap sendiri serta ikut menentukan arah perkembangan masyarakat. Etika dapat menjadi pemikiran rasional dan bertanggung jawab bagi si ahli ilmu masyarakat, pendidik, politikus dan pengarang, serta bagi siapa saja yang tidak rela diombang-ambingkan oleh kegoncangan norma-norma masyarakat sekarang. (Von Magnis, 197: 13-14)

Bab 2 KPENGERTIAN ETIKA DAN NORMA


A. PENGERTIAN ETIKA 1. Asal Usul Etika (Etimologik), berasal dari kata yunani Ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Identik dengan perkataan moral yang berasal dari kata Latin Mos yang dalam bentuk jamaknya Mores yang berarti juga adat atau cara hidup. Etika dan moral sama artinya, tetapi dalam pemakaian sehari-hari ada sedikit perbedaan . Moral dan atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang ada. Contoh : - Perbuatan itu bermoral - Sesuai dengan norma - Etika Istilah lain yang identik dengan Etika : a. Susila (Sanskerta) yang lebih menunjukkan kepada dasar-dasar, prinsip, aturan hidup (atau sila) yang lebih baik (su). b. Akhlak (Arab) Moral berarti akhlak, etika berarti ilmu akhlak. Etika merupakan cabang dari Filsafat, etika mencari kebenaran dan sebagai filsafat ia mencari keterangan. (benar) yang sedalam-dalamnya. Sebagai tugas tertentu bagi etika, ia mencari ukuran baik buruknya bagi tingkah laku manusia. Etika hendak mencari, tindakan manusia manakah yang baik. (Poedjawijatna, 1972:3). 2. Definisi Etika The normative science of the conduct of human beings living in societies is a science which judge this conduct to be right or wrong, to be good or bad, or in some similar way, this definition says, firts of all, that ethics is a science, and science may be defined as a systematic and more or less complete body of knowledge about a particular set of related events or objects (William Lillie 1957 : 1-2) The term ethics is used in three different but related ways, signifying 1) a general patten or way of life 2) a set of rules of conduct or moral code3) inquiry about ways of live and rules of conduct.(Paul Edwards, 1967:81-82). Ethic (from Greek Ethos, character) is the systematic study of the nature of value concepts, good bad ought right wrong etc. And of the general 7

principles which justify us in applying them to anything; also called moral philosophy (from latin mores customs). The Present article is not concerned with the history of ethics but treats its general problems apart from their historical setting (encyclopaedia Britanica, 1972:752). Ilmu yang mempelajari segala soal kebaikan dan keburukan didalam kehidupan manusia semuanya teristimewa yang mengenai gerak-gerik fikiran dan rasa yang dapat merupakan pertimbangan dan perasaan sampai mengenai tujuannya yang dapat merupakan perbuatan (Ki Hajar Dewantara, 1962:459). Ilmu pengetahuan ini tidak membahas kebiasaan yang semata-mata berdasarkan tata adab (manners), melainkan membahas adat berdasarkan sifatsifat dasar dan bersandar atas intisari manusia, ialah suatu adat istiadat yang terikat pada pengertian baik atau buruk dalaam tingka laku manusia. Etika berhubungan dengan seluruh Ilmu Pengetahuan tentang manusia dan masyarakat sebagai antropologi, psikologi, sosiologi, ekonomi, ilmu politik dan ilmu hukum. Perbedaannya terletak pada aspek keharusannya (ought). Perbedaan dengan teologi moral , karena tidak bersandarkan pada kaidah-kaidah keagamaan, tetapi terbatas pada pengetahuan yang dilahirkan tenaga manusia sendiri (Austin Fogothey:3-4). Dari berbagai definisi di atas, perlu diberikan beberapa catatan. Lillie menggolongkan etika sebagai ilmu pengetahuan normatif yang bertugas memberikan pertimbangan perilaku manusia dalam masyarakat apakah baik atau buruk, benar atau salah. Dalam Encyclopedia Britanica, etika dinyatakan dengan tegas sebagai filsafat moral, yaitu study yang sistematiks mengenai sifat dasar dari komsepkomsep nilai baik, buruk, harus benar, salah dan sebagainya. Batasan yang diberikan Fagothey begitu luas, etika berhubungan dengan ilmu antropologi, psikologi, sosiologi, ekonomi, ilmu politik dan ilmu hukum. Etika berbeda dengan bidang-bidang tersebut dalam aspek tinjauannya dari segi keharusan. Etika harus juga dibedakan dari teologi moral. Definisi Fagothey nampak kurang menunjukkan sifat dasar etika itu sendiri. Frankena menjelaskan bahwa etika sebagai cabang filsafat, yaitu filsafat moral atau pemikiran kefilsapatan tentang moralitas, problem moral, dan pertimbangan moral. Dari berbagai definisi tentang etika dapak diklasifikasikan 3 jenis definisi : a. Yang menekankan pada aspek historik b. Yang menekankan secara deskriptif c. Yang menekanakan pada sifat dasar etika sebagai ilmu yang normatif dan bercorak kefilsafatan.

Jenis etika pertama dipandang sebagai filsafat yang khusus membicarakan tentang nilai baik dan buruk dari perilaku manusia . Jenis yang kedua etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang membicarakan masalah baik perilaku manusia dalam kehidupan bersama. Definisi demikian tidak melihat kenyataan bahwa ada keragaman norma karena adanya ketidaksamaan waktu dan tempat, akhirnya etika menjadi ilmu yang deskriptif dan lebih bersifat sosiologik. Jenis ketiga etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat normatif, evaluatif yang hanya memberikan nilai baik buruk terhadap perilaku manusia. Dalam hal ini tidak perlu menunjukkan adanya fakta, cukup memberikan informasi, menganjurkan dan merefleksikan. Atas dasar jenis definisi yang terakhir ini etika digolongkan sebagai pembicaraan yang bersifat informatif, direktif dan reflektif. Definisi dari suatu disiplin ilmu selalu saja kurang memadai dengan apa yang ingin diungkapkannya. Tetapi andaikata rumusan atau definisi itu diuraikan selengkapnya dengan panjang lebar, tentu bukan definisi yang baik. Pendapat Hazlitt mengenai sistem etika cukup dapat memberikan pengarahan. Sistem etika dapat berarti suatu kode atau suatu kumpulan asas yang membentuk suatu keseluruhan yang konsisten, kohern dan terpadu, tetapi agar dapat tercapai koherensi, harus dicari kriteria dengan cara bertindak, atau menetapkan atauran dari perilaku yang diuji. Jelaslah bahwa pengertian etika dari segi arti kata saja kurang memberikan gambaran lengkap bagaimana etika dapat digunakan dalam segala aspek kehidupan manusia, apalagi jika dikaitkan dengan perkembangan etika kontenporer yang sudah sangat luas jangkauannya. Persoalan tentang baik buruk, benar salah mulai lebih banyak dianalisa dari segi mengapa dan bagaimana dari pada apanya. Menunjukkan adanya problem Meta-Etika. Tetapi keterkaitan dan kesepakatan meta-etika akan berguna bagi kebulatan tanggung-jawab atas norma-norma yang telah diyakini . Dari segi ini yang kurang tercermin jika etika hanya difahami dari sudut etimologik semata-mata. 3. Objek Etika Objek etika (menurut Frans Von Magnis, 1979: 15-16) adalah pernyataan moral, apabila diperiksa segala macam moral, pada dasarnya hanya dua macam, pernyataan tentang tindakan manusia dan pernyataan tentang manusia sendiri atau tentang unsur-unsur keperibadian manusia seperti : motif-motif, maksud dan watak, ada himpunan pernyataan ketiga yang tidak bersifat moral , tetapi penting dalam rangka pernyataan tentang tindakan , skemanya adalah sebagai berikut :

Skema II.1 : Etika


Pandangan Moral Pernyataan Moral 1. Pernyataan tentang tindakan manusia 2. Pernyataan

Persoalan Moal

tentang manusia sendiri


3. Pernyataan bukan moral

Perincian : 1. Dalam beberapa pernyataan kita mengatakan bahwa suatu tindakan tertentu sesuai atau tidak sesuai dengan norma-norma moral dan oleh karena itu adalah betul , salah dan atau wajib. Contoh: Engkau harus mengembalikan uang itu Mencuri itu salah Perintah jahat tidak boleh ditaati disebut pernyataan Kewajiban. 2. Orang, kelompok orang dan unsur-unsur kepribadian (motif, watak, maksud, dan sebagainya) kita nilai sebagai baik , buruk, jahat dan mengagumkan, suci memalukan dan bertanggungjawab, pantas ditegur, disebut pernyataan penilaian moral. 3. Himpunan pernyataan ketiga yang harus diperhatikan adalah penilaian bukan moral. Contoh: Mangga itu enak , anak itu sehat, mobil ini baik, kertas ini jelek dan sebagainya. Perbedaan Penting Pernyataan di atas : 1. Pernyataan kewajiban tidak mengenal tingkatan , wajib atau tidak wajib, betul atau salah, tidak ada tengahnya 2. Penilaian moral dan bukan moral mengenal tingkatan , mangga dapat agak enak, enak sekali, watak dapat amat jahat, atau agak jahat; dan sebagainya Suatu tindakan tidak baik atau buruk, melainkan betul atau salah, wajib atau tidak wajib. Karena baik dan buruk menginginkan tingkat-tingkatnya sedangkan tindakan itu hanya dapat sesuai atau sesuai dengan normal moral, maka yang baik atau buruk 10

adalah orang yang menjalankan tindakan itu, atau maksud dan motifnya didalam berbuat demikian. Penilaian bukan moral memainkan peranan terbesar dalam hidup sehari-hari , dan terus menerus mengarahkan tindakan kita kepada yang kita nilai baik, menyenangkan, berguna, arif dan sebagainya. Nilai-nilai itu diselidiki oleh filsafat nilai atau Aksiologi. Tetapi dalam etika penilaian bukan moral hanya perlu diperhatikan sejauh ada kewajiban untuk melaksanakannya. Begitu pula pembahasan penilaian moral mengandaikan analisa pernyataan kewajiban terlebih dulu. Nilai moral direalisasikan dalam melakukan tindakan yang sesuai dengan kewajiban . Orang dinilai sebagai jujur, misalnya karena tidak melakukan korupsi. Tentu saja penilaian itu hanya masuk akal , karena telah diandaikan bahwa korupsi itu sesuatu yang tidak boleh. Macam dan dalamnya nilai moral apakah itu kesetiaan , kebesaran hati, apakah orang itu sangat setia , atau sekali ini setia - tergantung baik dari kekhususan kewajiban moral maupun dari kekhususan situasi saat kewajiban itu dilakukan . Memberi makan kepada anak kecil dan menyelamatkannya dari rumah yang sedang dimakan api , sama-sama berarti melakukan kewajiban tetapi nilai moral tindakan yang satunya lebih tinggi. Inti etika adalah analisa pernyataan kewajiban. Penilaian bukan moral disinggung sejauh diperlukan dalam rangka pembicaraan perrnyataan kewajiban . Dari bidang nilai-nilai moral dibicarakan kebebasan dan tanggungjawab. (Magnis, 1979:16). B. PENGERTIAN NORMA Pada mulanya berarti alat tukang batu atau tukang kayu berupa segitiga. Pada perkembangannya, norma berarti ukuran, garis pengarah , atau aturan, kaidah bagi pertimbangan dan penilaian. Nilai yang menjadi milik bersama di dalam satu masyarakat dan telah tertanam dengan emosi yang mendalam akan menjadi norma yang disepakati bersama. Segala hal yang kita beri nilai baik, cantik atau berguna akan kita usahakan supaya diwujudkan kembali didalam perbuatan kita . Sebagai hasil usaha itu timbullah ukuran perbuatan atau norma tindakan. Norma kalau telah diterima oleh anggota masyarakat selalu mengandung sanksi atau pahala (reinforcement). - Tidak dilakukan sesuai norma-hukum, celaan dan sebagainya - Dilakukan sesuai dengan norma-pujaan, balas jasa dan sebagainya. Skema II.2.: Penilaian Nilai

Norma 11

1. Macam Norma a. Norma teknis dan permainan. Hanya berlaku untuk mencapai tujuan tertentu atau untuk kegiatan sementara dan terbatas Contoh: - Aturan main bulutangkis - Aturan perusahaan bagi karyawan b. Norma yang berlaku umum 1) Peraturan sopan santun 2) Norma hukum 3) Norma moral 1) Peraturan Sopan santun dibedakan dari norma moral oleh karena hanya berlaku berdasarkan suatu kebiasaan karena menurut pendapat kebanyakan orang dapat saja diubah contoh: makan dan sebagainya 2) Norma hukum: tidak semua norma hukum sekaligus mengikat secara moral dan tidak semua norma moral diwujudkan atau dijadikan norma hukum Norma hukum adalah norma yang pelaksanaannya dapat dituntut dan dipaksakan serta pelanggarnya ditindak dengan pasti oleh penguasa syah dalam masyarakat Norma hukum biasanya (kecuali hukum adat) berlaku berdasarkan undang-undang atau perundang-undangan. Norma hukum adalah sesuatu yang dapat dibuktikan berlakunya . Sering dapat dipastikan mulai dengan hari apa norma hukum itu berlaku. 3) Norma moral, dengan sendirinya belum tentu pelanggarnya dapat ditindak dan dapat dituntut pelaksanaannya. Contoh : - Hubungan seksual diluar pernikahan - Menertawakan orang lain yang buruk rupa Norma moral menjadi dasar menentukan , bagaimana kita menilai orang. Catatan problematik Bahwa norma sopan santun mengalah terhadap norma hukum dan norma moral sudah jellas. Bagaimana kalau normal moral bertabrakan norma hukum? Contoh : Ibu yang janda mempunyai anak , disuatu pihak ia berkewajiban moral memberi makan anaknya . Dilain pihak salah satu jalan untuk itu ia harus melacurkan diri. Thomas Aquinas berpendapat, suatu hukum yang bertentangan dengan hukum moral kehilangan kekuatannya , Terhadap norma moral, semua norma lain seharusnya (das Sollen) mengalah. Dengan demikian norma moral muncul sebagai suatu kekuatan yang amat besar dalam hidup manusia. Norma 12

ini lebih besar pengaruhnya dari pada pendapat masyarakat pada umumnya dan bahkan juga dari pada kehendak segala macam penguasa. Atas dasar norma moral orang bersikap dan menilai norma lain yang berlaku, termasuk ketentuan penguasa. (Magnis, 1979:21). Skema II.3.: - Norma moral - Norma Hukum - Aturan sopan Santun Pergaulan

Contoh : Kalau didalam norma moral ada pernyataan Membunuh adalah jahat, maka norma hukum dan sopan santun harus menjelmakan nya. 2. Norma dalam Etika a. Ada Fakta Fundamental tentang hidup susila Tiap-tiap penilaian menyandarkan suatu ukuran (devos). Manusia dalam bertingkah laku tergantung pada norma. Norma mewajibkan manusia secara mutlak, tetapi norma juga tidak memaksa orang, orang tetap bebas, orang dapat menatati norma, dan dapat pula bersikap masa bodoh. Dari sudut lain norma memberikan dorongan kepada manusia, ia tidak membiarkan kita beristirahat, orang bisa saja menentang perintah norma, barangkali ini akan suka dikerjakan, tetapi pada lain pihak hal ini juga tidak dapat dikerjakan . Apabila manusia menentang norma, ia tahu bahwa ia berbuat buruk , ia ditegur oleh insan kamil (kesadaran moralnya). Ada rasa bersalah dan menyesal dan tidak tenang. Penyesalan dibedakan dengan rasa sayang bahwa sesuatu telah terjadi, sayang dirasakan orang bila ia berbuat kurang tepat, menyesal dirasakan apabila ia berbuat buruk , dan hal ini diketahui dan diinsafinya. Orang tidak dapat menghapus perbuatan yang salah. Justru ini yang penting dan membuat tidak enak.

13

Tabel II.1 Aspek Sumber Sopan Santun Bersifat tradisional Konventif Menyesuaikan perilaku manusia Melangsunkan kebiasaan (direktif Sesuai dengan situasi dan kondisi Menyempurnakan tradisi Insedintal Melihat partisipasi pada masyarakat Dilakukan oleh Kebiasaan masyarakat (adat tradisi) Masyarakat Hukum Datang dari sesuatu kekuatan diluar diri manusia(heteronom ) Mempengaruhi perbuatan manusia Memberikan kewajiban (normatif dan mengakui hak (atributif) Bersyarat (hipotetis) Moral Datang dari dalam diri manusia sendiri (otonom) Mempengaruhi batin manusia Memberikan kewajiban (normative Mutlak Kategoris

Isi Tujuan

Kadar

Motif Sifat Penglihatan

Menyempurnakan masyarakat Lokal Melihat Tindakan lahir Dilakukan oleh kebiasaan formal

Pelaksanaan

Menyempurnakan manusia Universal Melihat itikad, budi, hati nurani, keinsafan batin Dilakukan oleh daya dalam diri manusia sendiri Insan Kamil

Sanksi

Negara

(Sutrisno Hudoyo, 1980:24) Norma susila dapat berfungsi mewajibkan karena ia bebas dari kesenangan manusia yang semau-maunya . Manusia tidak menguasai norma , tetapi norma yang menguasai manusia . Norma mempunyai sifat sebagai perintah kamu harus dan Kamu Jangan, tanpa menghiraukan kehendak atau keinginan yang bersangkutan. b. Ada dua macam norma dalam berlakunya 1) Bersyarat (hipotesis) yaitu apabila manusia hendak mencapai tujuan tertentu ; termasuk jenis ini umpamanya : aturan perkuliahan ; yang berlaku bagi orang yang mengikuti kuliah ; ingin lulus dan jadi sarjana .

14

bagi orang yang memandang kelulusan dan kesarjanaan itu lebih rendah dari hal-hal lain , maka aturan tadi tidak perlu dihiraukan. Norma bersyarat itu didasarkan atas pengalaman. Kita bisa menyusun suatu aturan untuk mencapai tujuan tertentu, karena dari pengalaman itu kita mengambil suatu kesimpulan pengangan itulah yang bisa membawa secara cepat dan tepat kearah tujuan. 2). Tidak Bersyarat (Kategoris) Perintah jangan membunuh, Jangan memperkosa hak orang lain tidak dimaksudkan sebagai aturan yang bersyarat . melainkan mutlak, tak bersyarat, absolut. Disini tidak dikatakan bahwa kita jangan membunuh apabila kita ingin memcapai suatu tujuan tertentu. Ini artinya berlaku untuk segala keadaan , tidak bergantung pada tujuan tertentu. Sifatnya yang tidak bersyarat itu jelas terasa dalam perkataan wajib, suatu istilah khas etika yang oleh Drijakara dikatakan sebagai ikatan yang membebaskan . Kita terikat untuk melakukan kewajiban, tetapi kalau kita kerjakan justru kita akan merasa ringan, karena sesudah itu merasa tidak mempunyai beban apapun. Umpamanya, perkosaan dianggap sebagai perintang atau merugikan perkembangan masyarakat, tetapi jelas bahwa perintah kesusilaan itu tidak mempertimbangkan akibatnya. Barangkali disini terdapat kecendrungan yang bersifat deontis, yang menekankan pada aspek keharusan . Apabila etika juga dianggap bercorak teleologis yang menekankan tujuan, bukan berarti perintah kesusilaan menekankan adanya akibat langsung dari perbuatan susila yang diperintahkan tetapi karena perintah kesusilaan bertujuan membentuk manusia yang utuh atau mengembalikan harkat kemanusiaan yang sebenarnya. Bisa terjadi orang taat pada perintah kesusilaan teapi akibat langsung yang didapatkan justru tidak merupakan akibat yang diharapkan , sebagai konsekwensi dari perbuatan itu. Oleh karena itu pula, secara moral tidak dapat diterima apabila orang berbuat kebaikan demi upah. Apabila ada upah yang berwujud materi misalnya, ini hanya sebagai akibat perbuatan yang baik yang tidak dimaksudkan sebelum perbuatan itu dilakukan. Dikatakan bahwa perintah kesusilaan berasal dari realitas yang trasenden, ini berarti disamping realitas yang tidak langsung dari pengalaman hidup manusia , juga menyangkut pengalaman hidup atau realitas empiris manusia. Tetapi seringkali ada realitas empiris hidup manusia yang tidak dapat dijelaskan. Oleh karena itu penjelasan historis, psikologi, sosiologi atau analisa bahasa seperti di atas, tidak dapat menjelaskan dengan tuntas fakta kesusilaan. Selalu ada faktor X yang tidak dapat dijelaskan . Dari sinilah manusia akan masuk kedalam bidang yang lebih filosofik atau bahkan kepada agama.

15

3. Jalan Fikiran Kita Untuk Menanggapi Norma a. Manusia dalam hidupnya sadar akan adanya norma yang bersifat transenden . dalam arti yang mengatasi manusia dan realitas empirik. Norma itu berada dan ia berlaku, karena transenden maka norma susila itu berfungi mewajibkan tanpa syarat , absolut. Jadi ada realitas ideal yang dikuasai oleh norma atau perintah-perintah kesusilaan. b. Transenden tidak berarti bebas sepenuhnya dari realitas empirik. Realitas emperik dipengaruhi oleh perintah kesusilaan dan dijelmakan oleh perbuatan manusia itu sendiri ; artinya manusia melibatkan perintah kesusilaan dalam kehendak dan perbuatan yang dilkukan. Memang ada usaha manusia tertentu yang berusaha melepaskan diri dari perintah kesusilaan, tetapi akibatnya ia justru memiliki beban, ia sukar secara utuh melepaskan diri dari kekuasaan norma. c. Perintah dan norma kesusilaan itu tidak semata-mata bersifat keras, mewajibkan dan mendorong orang secara otoriter dalam dirinya sendiri, tetapi harus dilihat dari sikap atau tanggapan orang terhadap norma dari sifat kesusilaan tersebut. Apabila orang dengan ikhlas, sukarela mengerjakan apa yang diminta akan diperintahkan oleh norma atau perintah kesusilaan, maka hal tersebut hanya akan menjelmakan pengaruh yang memberi kesukaan, berfaedah atau berguna saja. Apabila orang memasukkan dan melibatkan norma atau perintah kesusilaan didalam kehendak dan perbuatannya sendiri, maka ia hampir :tidak tahu bahwa norma itu ada. Orang tersebut akan berada dalam suatu posisi yang tidak mengenal salah . Ini berarti kesempurnaan . Dalam keadaan yang demikian , ia tidak tahu akan baik dan buruk , karena ia hanya berbuat yang baik-baik saja. Ia tidak akan memiliki beban apapun . Akan tetapi kalau manusia mencoba untuk melepaskan dari kekuasaan norma , maka manusia lalu mengenal norma dan perintah kesusilaan sebagai hal-hal yang bersifat keras , oteriter dalam perintah yang diungkapnya. d. Dalam norma kesusilaan dikenal apa yang disebut hirarki, jadi ada norma kesusilaan yang rendah , lebih tinggi dan bahkan ada yang tertinggi. Dikatakan bahwa norma-norma itu semuanya dapat sama-sama mewajibkan , meskipun dapat terjadi bahwa wajib yang satu dianggap lebih tinggi dari yang lain. e. Sifat norma kesusilaan tidak dapat dilihat secara empirik , tidak dapat ditetapkan sebagai kesimpulan pemikiran akan yang berdasar pengalaman. Kita tidak belajar mengenal norma melalui pengalaman , dan pemikiran atau oleh kedua-duanya . Kita mencapai realitas norma susila tidak dengan alat pancaindera dan pemikiran. Pengetahuan kita tentang norma tadi mempunyai corak yang khusus meskipun tidak meninggalkan sama sekali pengalaman dan pemikiran. Penerimaan norma berdasarkan pada keyakinan dan kepercayaan dalam arti yang luas. Keyakinan selalu melibatkan seluruh totalitas manusia sebagai diri, 16

maka pengetahuan tentang norma merupakan persoalan manusia , sebagai manusia yang total. Seluruh manusia itu baik dan buruk, sukar untuk ditentukan, manusia meraih norma atau norma yang meraih manusia. Sulit untuk dianalisa. Kesusilaan mempunyai sifat yang sangat pribadi, dan oleh karena itu juga mengarah kepada manusia pribadi yang total. Disinilah letak masalah mengapa norma dan perintah kesusilaan itu tidak dapat ditunjukkan semuan seperti contoh; adanya ungkapan dugaan kesusilaan sekedar ungkapan yang emosional. Dengan itu pula norma kesusilaan tidak dapat dibuktikan kebenarannya dalam arti moral yang sesungguhnya. Barangkali kebenaran yang terbuka, atas dasar pengalaman dan pemikiraan, pada prinsipnya dapat kita jelaskan pada setiap orang. Tetapi keyakinan itu senantiasa pribadi sipatnya. Dapat terjadi dalam menanggapi norma atau perintah kesusilaan bagi yang satu sudah terang dan jelas, bagi yang lainya tidak atau belum terang. Tetapi hal ini pun tak berarti bahwa suatu keyakinan itu semata-mata subjektif, tetapi justru dalam kesusilaan sangat teriakat pada pribadi orang dan tidak mudah diberikan kepada orang lain. Methode yang terbaik dalam kesusilaan adalah memberikan keteladanan dalam bertingkah laku. Dengan demikian menyebabkan orang lain membuka diri menerima kebenaran yang diyakini tadi, walaupun kemungkinan perbedaan pendapat masih tetap saja ada. Tetapi persoalan yang lain timbul, mannusia bisa salah dalam hal keyakinannya tentang norma tertentu. Sebab kontrol terhadap pengalaman dan pemikiran tidak ada disini. Sering kali kita manganggap benar hal-hal yang diambil alih dari orang lain. Ini merupakan gejala identifikasi yang salah. Ia melakukan hal tersebut tanpa mengadakan penyelidikan yang cukup, apakah ia secara pribadi juga menyetujui perbuatan yang dilakukan. Motif yang bermacam-macam mempunyai pengaruh yang besar bahkan menentukan dalam proses terbentuknya keyakinan. Untuk ini kita harus meneliti motivasi yang mnedorong perbuatan kita. Kita harus menempatkan diri dibawah pengaruh pribadi orang susila yang telah dimurnikan, hasrat yang buruk harus kita bersihkan. f. Diaktakan bahwa sikap pada diri kita sendiri, sesama manusia , lingkungan bahkan Tuhan diatur oleh norma kesusilaan. Yang menjadi masalah adalah: 1) Kesusilaan dalam arti sempit, yang berarti sebagian besar pembicaraan kesusilaan hanya mempersoalkan hubungan yang ada antar- manusia. Disebut sebagai panggilan yang etis, apabila orang lain menjadi sesuatu yang memanggil manusia, yang mewajibkan Aku sebagai manusia sedemikian rupa,sehinga manusia yang satu bertanggung jawab terhadap manusia yang lain. 2) Apakah kita dapat berbicara secara khusus tentang wajib terhadap diri sendiri? Disini soalnya bagaimana kita secara tegas mimiliki suatu prinsip 17

bahwa berbuat susila berarti memenuhi wajib terhadap diri sendiri. Manusia harus memberikan penghormatan terhadap diri dalam arti berusaha menigkatkan martabat dengan berbuat susila , sehingga dengan demikian menyadari adanya kewajiban susila itu. C. ASAS NORMA 1. Aliran Dalam hal pendapat tentang yang menjadi asas norma tertinggi dalam kesusilaan, terdapat 3 aliran: a. Yang berpendapat asas norma terdapat dalam diri manusia itu sendiri. b. Asas norma terdapat diluar manusia, tetapi mengenai suatu hal yang ada hubungnnya dengan manusia, untuk kepentingan manusia. c. Asas itu terdapat diluar manusia , yaitu pada Tuhan. Ad. a. Asas Norma Terdapat Dalam Diri Manusia Dapat dibedakan : 1) Ukurannya dalam diri manusia dalam alat-alat rohaninya: yaitu: akal, rasa, kehendak. Sifatnya : Subjektif 2) Ukurannya hakikat kodrat manusia Sipatnya ; objektif Ad. b. Asas Norma Terdapat di Luar Mnausia 1) Berdasarkan faedah (utilitarianisme) : faedah bagi perorangan dan masyarakat 2) Berdasarkan kemajuan masyarakat Timbul berbagai aliran berarti timbul perbedaan penilaian tentang baik dan buruk. Skema II. 4 : Tuhan

Manusia

Hal-hal di luar diri manusia

18

Skema II. 5 :

C
B

A = Manusia sebagai manusia lain B = Manusia sebagai diri sendiri C = Hubungan antara manusia sebagai diri sendiri dengan manusia lainnya.

Sebab Etika dalam banyak aliran: 1. Karena tiap-tiap pendapat ingin menyelenggarakan ukurn murni tunggal, dengan mengesampingkan orang atau pihak lain 2. Ukuran harus terdapat pada pihak yang bersangkutan yang perlu diambil dalam keseluruhan diri. 2. Ukuran Dalam Kesusilaan Kesusilaan dalam Etika adalah, ukuran baik dan buruk tidak mungkin untuk membuat suatu pedoman bagi hidup sehari-hari yang bisa dipergunakan. Ini merupakan hal yang mengecewakan. Sebab hasil Etika di samping merupakan hal yang abstrak umum (teoretik) juga merupakan hal yang praktis. Berhubung yang menjadi subjek kesusilaan itu manusia, dan perbuatan kesusilaan itu mengenai hubungan manusia dengan macam-macam pihak, maka dalam mengambil ukuran bagi kesusilaan dalam kenyataannya, yang dijadikan ukuran langsung untuk itu ialah manusia dalam hubungan diri dengan hal-hal di luar manusia, dengan mengingat hubungan dengan lain-lain (misalnya Tuhan). Mengenai apakah ada ukuran semacam itu dalam kesusilaan, ada 3 golongan : a. Golongan yang menyatakan bahwa sebenarnya tidak ada ukuran, kecuali : 1) bahwa perbuatan kesusilaan tergantung kepada tiap manusia sendiri. (Ukuran individual). 2) Perbuatan kesusilaan tergantung kepada Tuhan. Jadi ukuran di sini tetap ada, tetapi merupakan hal yang sifatnya umum. Ini disebut Ukuran yang berasal dari Tuhan.

19

b. Golongan Kedua dari sistem Etika, ialah yang mengakui adanya baik dan buruk dalam arti umum yang terdapat di luar diri manusia. Dibedakan dalam 3 macam : 1) Sistem Hedonisme, eudaimonisme, kefaedahan yang individual, individualistik, egosentris, egoisme. 2) Utilitarisme, Utilitarisme Kemasyarakatan, Altruisme. 3) Utilitarisme kemajuan masyarakat yang evolusionistik/empirisme yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari empirisme yang hanya mengakui adanya kenyataan yang berwujud gejala, yang berwujud hal barang sesuatu yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia. Dalam empirisme tak ada tempat bagi akal manusia, yang memungkinkan adanya asas yang bersifat universal dan abstrak. Seberapa jauh segala sesuatu itu mempunyai hubungan dengan manusia, dikaitkan denga hasrat manusia. 1). Hasrat untuk memiliki hal tersebut. 2). Hasrat untuk menyingkiri hal tersebut. c. Golongan Ketiga, yang mencari ukuran baik dan buruk dalam diri manusia sendiri. 1) Subjektif Ukuran baik dan buruk, diletakkan dalam alat kekuasaan jiwa manusia (akal, rasa, kehendak) 2) Objektif Diletakkan pada kodrat manusia. Ad. 1) Subjektif a) Yang berdasarkan Rasa Etika berdasarkan keindahan Etika plus Estetika. Menurut pendirian ini ukuran baik dan buruk terletak pada alat manusia, yang dalam penjelmaannnya memberikan rasa keindahan. Ukuran baik buruk, terletak pada timbul atau tidaknya rasa keindahan. Maka pendirian ini membuat sama-sama hal yang terdapat sebagai hasil perbuatan alat-alat kekuasaan jiwa manusia, yaitu : etika dan estetika. Walaupun harus diakui manusia memberi nilai dalam perbuatan sering mencampur dengan keindahan dan kebaikan budi, tetapi toh basisnya berlainan. Selain itu ada aliran yang lebih luas lingkungannya mengenai rasa yang menganggap ukuran baik dan buruk terdapat pada rasa kebaikan umum, yang ditimbulkan secara instiktif oleh manusia disebut rasa moral dari orang banyak (moral sense). Tidak saja rasa moral dianggap sebagai penilaian perbuatan, tetapi juga ukuran baik buruk.

20

Ada : 5 macam pendapat : i. Rasa moral umum dianggap sebagai dasar, karena rasa umum ini memberikan kesenggangan yang tertinggi. Baik terhadap diri sendiri atau orang lain. Jadi pendirian ini bersangkutan dengan hedonisme, dan eudaimonisme. Karena rasa itu menjadi penjelmaannya. ii. Rasa moral umum merupakan penjelmaan reaksi dari akal. Di sini berdasarkan sebab yang menimbulkan rasa, yaitu rasa itu menjadi penjelmaannya. iii.Rasa moral umum menjadi ukuran seberapa jauh merupakan kesadaran, jadi rasa umum yang sadar dan timbul dalam kesadaran. iv.Seberapa jauh merupakan suatu tujuan yang mutlak bagi semua manusia. Sehingga rasa moral umum sebagai ukuran kebaikan dihubungkan dengan rasa diri manusia sendiri. v. Rasa moral umum yang merupakan hasil dari usaha manusia untuk meninggikan derajat rasa kemanusiaan. Hingga manusia dapat melepaskan dari hakikat hewan. b) Yang berdasar Akal Sehat Yang dimaksud dengan akal sehat, bukan dari manusia perseorangan tetapi dari seluruh manusia pada umumnya. Akal sehat manusia seluruhnya, yang dimaksud ialah keputusan yang dengan sendirinya diambil manusia dalam lapangan Etika. Akal sehat dalam Etika lain dengan akal sehat dalam hidup sehari-hari yang disebut dengan Insan Kamil Umum. Akal sehat dalam Etika ini mengadakan putusan baik buruk, dan tidak memberikan alasan yang bertanggungjawab. Kalau dalam baik buruk telah dapat dipertanggungjawabkan, maka hal ini bukan akal sehat seperti yang kita maksudkan. Akal sehat yang dimaksudkan tak lain dari keputusan dengan tidak sadar mengenai soal-soal konkrit, khusus, yang dalam coraknya dialami kebanyakan manusia. c) Yang Berdasar Kehendak Yaitu kehendak yang tak didorong keputusan akal. Bukan kehendak yang dikaitkan kepada hasil tangkapan pancaindera, tetapi kehendak yang ditujukan kepada hal tertentu, yaitu kehendak untuk menempatkan diri dalam kedudukan, kepentingan dan kebahagiaan orang lain. Setelah demikian itu tercapai, kesediaan kehendak tersebut, maka kehendak itu yang menjadi ukuran kebaikan. Kalau kehendak yang dalam keadaan demikian itu menganggap sesuatu perbuatan orang lain baik, maka itulah ukuran kebaikan. Jadi ukuran baik-buruk berdasarkan kehendak yang ada dalam diri orang. Untuk mengukur diri sendiri kehendak harus tetap, sehingga kehendak memandang kepada orang yang punya kehendak dari sudut orang lain 21

seluruhnya. Seseorang harus menempatkan dirinya pada orang lain seluruhnya. Baik buruk tergantung pada orang lain. Orang lain yang menetapkan kebaikan dan keburukan dari kehendak kita. Atau jaganlah kita sendiri menempatkan kebaikan dan keburukan kita sendiri, namun serahkanlah kepada orang lain. Hal ini dapat tercapai kalau kehendak kita bersedia. Menurut aliran ini, kita harus melepaskan diri dari pribadi sendiri. Menyerahkan kepada orang lain, diri kita tidak mempunyai kepentingan untuk disebut baikburuk. Ad. 2) Objektif Dapat dikatakan menitikberatkan sifat kodrat manusia sebagai mahluk berakal. Hidup atau berbuat yang sesuai dengan akal adalah ukuran kebaikan, yaitu memberi tempat bagi akal diatas nafsu, keinginan kebutuhan, rasa, kehendak. Segala sesuatu harus di bawah pimpinan akal.

22

Bab 3 KEBEBASAN SEBAGAI FAKTOR PENENTU


A. KEBEBASAN MANUSIA 1.Objek Material etika Etika mepunyai objek material perilaku, atau perbuatan manusia yang secar sadar. Disini terdapat pengertian bahwa etika berarti pula sikap untuk memahami pilihan-pilihan yang seharusnya diambil diantara sekian banyak pilihan bertingkah laku. Etika tidak akan berguna tanpa dilandasi sikap tanggung jawab. Etika itu sendiri suatu perencanaan menyeluruh yang mengaitkan daya kekuatan alam dan masyarakat dengan bidang tanggung jaawab manusia (Van Peursen,1976:193). Tanggung jawab hanya dapat dituntut apabila ada kebebasan untuk memilih. a. Bebas dalam paham negatifdan positif Disebut bebas apabila kemungkinan-kemungkinan untuk bertindak tidak dibatasi oleh suatu paksaan dari atau keterikatan kepada orang lain. Faham ini disebut negatif karena hanya dikatakan bebas dari apa, tetapi tidak ditentukan bebas untuk apa. Seseorang dikatakan bebas, apabila : 1) Dapat menetukan sendiri tujuan-tujuannya dan apa yang dilakukannya. 2) Dapat memilih antara kemungkinan-kemungkinan yang tersedia baginya. 3) Tidak dipaksa/terikat untuk membuat ssesuatu yang tidak dipilihnya sendiri ataupun dicegah dari berbuat apa yang dipilihnya sendiri, oleh kehendak orang lain, negara ataupun kekuasaan apapun. Kebebasan itu mengenai segala macam kegiatan pada manusia, yaitu kegiatan yang diasadari,disengaja dan dilakukan demi satu tujuan disebut tindakan. Tidak setiap pembatasan dari kemungkinan kita untuk bertindak dianggap melawan kebebasan. Contoh: Keterbatasan jenis kelamin kita, keterbatasan keesukuan kita, keterbatasan asal keturunan kita dan sebagainya. Jadi pembatasan pembatasan yang keluar dari keterbatasan kita sendiri (keterbatasan kemampuan jasmani dan rohaniah kita ) tidak mengurangi kebebasan kita. Hal itu dapat dimengerti keterbatasan bukan sesuatu yang asing melainkan sama dengan kodrat kita sendiri . Hanya pembatasan pembatasan dari luar mengurangi kebebasan, tetapi toh tidak semuanya. Contoh : Kita dipaksa duduk diatas atap oleh banjir. Walau kita dibatasi geraknya oleh air. Kita tetap bebas pergi ketempat lain- kalau kita dapat dan menerima resikonya.

23

Faham negatif tentang kebebasan mempunyai arti empirik yang jelas. Orang itu bebas kalau kemungkinan-kemungkinan untuk bertindak tidak dibatasi oleh orang lain dengan bentuk paksaan atau tekanan. Timbul pengertian yang poitif. Bebas tidak hanya dari sesuatu melainkan juga untuk sesuatu . Von magnis (1979:45-46), menyatakan keberatan atas faham positif kebebasan ini, dengan alasan: Pengertian tersebut betul dan dapat membantu untuk memperdalam pengertian tentang manusia. Tetapi sebagai titik tolak sangat meragukan. 1) Kata bebas kehilangan arti empiris yang jelas. 2) Hal terssebut akan digunaksn sebagai dalih pembenaran pengekanganpengekangan terhadap kebebasan b. Tiga Macam Kebebasan 1). Kebebasan jasmaniah Tidak adanya paksaan terhadap kemungkinan-kemungkinan kita untuk menggerakkan badan kita. Jangkauan kebebasan jasmaiah ini ditentukan oleh kemampuan badan kita sendiri. Jadi jangkauan itu tentu saja tidak tak terbatas. Tetapi addanya batasan jangkauan kemampuan kita, tidak menguragi melainkan menentukan sifat kebebasan kita . Kita berjenis kelmain tetapi tidak dapat terbang, semua itu tidak dapat disebut melanggar kebebasan jasmaiah kita. Yang melanggar kebebasan jasmaniah hanyalah paksaan, yaitu pembatasan oleh seorang atau lembaga masyarakat berdasarkan kekuatan jasmaniah yang ada padanya. Sebagai badan fisik tubuh kita dapat saja ditaklukkan oleh kekuatan fisik dari luar. 2). Kebebasan kehendak Kebebasan untuk menghendaki sesuatu.jangkauan kebebasan kehendak adalah sejauh jangkauan kemungkinan untuk berpikir, karena manusia dapat memikirkan apa saja ia dapat juga menghendaki apa saja. Lain dengan kebebasan jasmaniah, kebebasan kehendak tidak dapat secara langsung dibatasi dari luar. Orang tidak dapat dipaksa menghendaki sesuatu . Saya dapat dipksa atua diancam sampai membuat sesuatu atas kehendak saya, tetapi dengan demikian kehendak sendiri tetap tidak dapat dipaksakan. Contoh: Bagaimanapun, dengan ancaman apapun saya tidak dapat kawin dengan orang tersebut dibuat mencintai orang yang saya benci. Walaupun mungkin saya dapat. Tetapi secara tidak langsung kebebasan berpikir dan berkehendak dapat saja dipengaruhi dari luar, misalnya dengan informasi-informasi, tekanan-tekanan psikis atau fisik, hipnosis, obat-obatan. Kebebasan kehendak tidak memiliki batas jelas dengan kebebasan jasmaniah. Semakin suatu tindakan dilakukan sampai tujuannya tercapai, semakin kuat juga kehendak orang itu. 3). Kebebasan Moral a). Arti luas. Tidak adanya macam-macam ancaman, takanan larangan dan lain desakan yang tidak sampai berupa paksaan pisik. b). Arti sempit Tidak adanya kewajiban. Saya bebas apabila kemungkinan kemungkinan saya untuk bertindak itu tidak ada yang diwajibkan ( sehigga dengan memilih kemungkinan yang lain saya langgar kewajiban ) dan tidak ada yang dilarang.

24

Contoh : Saya bebas ddalam arti moral untuk memakai bis atau oplet untuk kekota. Tetapi saya tidak bebas dalam arti moral untuk membayar karcis atau tidak. 2. Kebebasan Dan Tanggung jawab a. Manusia dalam bertindak, yaitu : Melakukan ssesuatu dengan sengaja, dengan maksud dan tujunan tertentu. Kemampuan ini khusus manusiawi. Hewan dapat berbuat tetapi didorong dan berdasar naluri, perangsang, kebiasaan. ( ingat percobaan Pavlov ). Kebebasan mengandung kemampuan khusus manusiawi untuk bertindak, yaitu dengan menentukan sendiri apa yang mau dibuat berhadapan dengan macam-macam unsur. Manusia bebas berarti manusia dapat menentukan sendiri tindakannya. Manusia dalam bertindak dipengaruhi oleh lingkungan luar, tetapi juga dapt mengambil sikap dan menentukan dirinya sendiri. Manusia tidak begitu saja dicetak oleh dunia luar dan dorongandoronganya didalam, melainkan dia membuat dirinya sendiri berhadapan dengan unsurunsur tersebut. Dengan demikian kebebasan ternyata merupakan tanda dan ungkapan martabat manusia, sebagai satu-satunya makhluk yang tidak hanya ditentukan dan digerakkan, melainkan yang dapat menentukan dunianya sendiri. Apa saja yang dilakukan tidak atas kesadaran dan keputusannya sendiri, dianggap sebagai hal yang tidak wajar. b. Kebebasan Dengan Kewajiban Moral Problem : Apakah kewajiban moral menghilangkan kebebasan moral.Analisa kesadaran moral memperlihatkan bahwa dalam kesadarn moral yang berkembang penuh, orang melakukan kewajibannya karena ia sendiri setuju. Walaupun melakukan kewajiban dapat membawa pengorbanan, tetapi setelah itu justru merassabebas. Mentati kewajiban moral secara otonom, sedikitpun tidak merendahkan manusia. Bahkan sebaliknya: Baru berhadapan dengan kewajiban moral manusia dapat menghayati kebebasan dengan sepenuhnya .(Drijarkara, 1966: Menyebutnya sebagai ikatan yang membebaskan ). Kita terikat untuk melakukan kewajiban, tetap justru kalau kita mengerjakan, kita akan merasa ringan, tidak mempunyai beban c. Kebebasan Yang Bertanggung Jawab Kebebasan yang ditantang kalau berhadapan dengan kewajiban moral. Sikap moral yang dewasa adalah sikap bertanggung jawab. Tak mungkin ada tanggung jawab tanpa ada kebebasan. Jadi kebebasan mengandung pengertian : 1) Kemampuan untuk menentukan dirinya sendiri. 2) Kemampuan untuk bertanggung jawab 3) Kedewasaan manusia 4) Keseluruhan kondisi yang memungkinkan manusia untuk melaksanakan tujuan hidupnya. Tingkah lakunya yang didasarkan pada sikap, sistem nilai dan pola pikir berarti bukan instinktif, terdapat makna kebebasan manusia yang merupakan objek material Etika.

25

3. Aliran Tentang Kebebasan a. Indeterminisme. Kebebassan adalah dasar mutlak manusia, dasar bagi perbuatan manusia b. Determinisme Mengingkari semua kebebasan, jadi semua perbuatan manusia ditentukan bermacam-macam faktor. c. Manusia sebagai titik sentral Menghubungkan determinisme dengan kebebasan moral dan menekankan arti partisipasi manusia di dalam alam ini. Oleh karena manusia berbuat pilihanpilihan antara berbagai kemungkinan, ia kadang-kadang menjadi faktor penyebab yang aktif atau menjadi penyebab yang pasif . 2..Kita Mengakui Kebebassan Sebagai kenyataan Hidup manusia. a.Semua manusi mempunyai kesadaran akan kebebasan dan yakin bahawa mereka dapat memilih diantara beberapa kemungkinan. b.Perkembangan rasa tanggung jawab tidak akan mempunyai arti, kalau manusia tidak mempunyai kebebasan untuk melakukan pilihan. c, Penilain moral tentang perbuatan dan watak seseoran menghendaki manusia harus mempunyai kebebasan. Seluruh sistem pujian dan hukuman menghendaki sebagi syaratnya kebebasan dan tanggung jawab. d.Berfikir menunjukkan bahwa manusai dihadapkan kepada pilihan diantara beberapa kemungkinan.
Sarana: -Teknologi - Ilmu -T - Hardware

Pola Pikir Manusia bertindak Sistem nilai

Manusia

Tingkahlaku

Dunianya

Relasi / Struktur Alam

Sikap
Skema III.1 Latar Belakang filosofik
Keterangan : Sikap Sistem nilai Pola Fikir

Lingk ungan

: Suatu kecendrungan terhadap sesuatu , berdasarkan stimulasi yang dibutuhkan untuk terciptanya situasi kondisi tertentu. : Sistem yang menjawab apa yang baik menyangkut mentalitas; : Sistem yang menjawab apa yang benar, muncul ide-ide, pemikir-pemikir

B.TINGKAH-LAKU DAN KEMAUAN BEBAS

26

1.Tujuan akhir manusia terdapat dalam kebahagiaan sempurna, disebabkan memiliki Tuhan. Belum dapat tercapai dalam hidup di dunia, melainkan dalam kehidupan di akhirat. Hidup ini hanya merupakan perantara suatu jalan untuk mencapai tujuan akhir. Kehidupan mannusia terdiri dari rangkaian perbuatan, yang ada dibawah pengawasan, sehingga ia hidup layak sebagai mana selayaknya derajat manusia. Perbuatan ini, dinamakan Tingkahlaku.Tujuan hidup adalah bertingkah laku sedemikian rupa, hingga kita dapat mencapai kebahagiaan sempurna. 2.Pencapain tujuan akhir harus tergantung tingkah laku manusia dalam hidupnya. 3.Tingkah laku terdiri dari perbuatan-perbuatan kemanusiaan. Perbuatan tersebut dikuasai manusia oleh pengawasan yang sadar serta kemauan bebas, dan oleh sebab itu, manusia bertanggung jawab terhadap perbuatannya. Perbuatan kemanusiaan adalah hasil sekumpulan proses kejiwaan. a. Tertarik pada tujuan. b. Usaha untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut c. Pembahasan cara-cara pencapaian tujuan d. Pelaksanaan e. Rasa senang karena tujuan tercapai atau sebaliknya. 4.Perbuatan Kemanusiaan Bersifat Tiga Anasir. a. Pengetahuan yang memberikan tujuan dan jalan-jalannya, memberikan pertimbangan, menjaga perhatian serta kesadaran yang diperlukan untuk menentukan kemauan. Pengetahuan adalah : syarat bagi tindakan kemauan yang sebenarnya. b. Kerelaan kemauan yang menuntut bahwa pelaksanan mengetahui apa yang dikerjakan, dan menuntut pula bahwa pelaksana mau mengerjakan. c. Kebebasan, manusia dapat memilih yang harus diperbuatnya. 5.Kemauan Bebas a. Suatu perbuatan dapat mengakibatkan baik serta buruk. b Kerelaan. Positif, kalau mau mengerjakan sesatu, Negatif, kalau mau meninggalkan sesuatu. Tidak ada kerelaan, kalau seseorang tak menghendaki apapun. Yang tidak mungkin, kalau kita sudah memikirkan pelaksanaan perbuatan,dan berlebih sudah membicarakannya. Dengan demikian tentu akan ada kerelaan, baik kalau perbuatan itu kita laksanakan, maupun kalau tidak dilaksanakan. c.Bagaimana supaya perbuatan dapat disebut Bebas. 1). Maksud adalah aktual, apabila ada kemauan dengan sadar di saat pelaksanaan perbuatan. 2). Maksud adalah virtual, apabila kemauan sendiri tak ada lagi, melainkan pelaksanaan perbuatan dipengaruhi oleh pengetahuan tadi. 3). Maksud adalah habitual, apabila kemauan tak ada lagi, tak disangkal, tetapi yang mempengaruhi lagi pelaksanaan perbuatan. 4). Maksud interpretatif, adalah maksud yang sebenarnnya tak pernah ada, tetapi orang berpendapat bahwa orang yang bersangkutan akan melaksanakan kemauan, kalau ia telah memikirkan seluruh keadaan. Catatan :

27

Untuk kebebasan perbuatan maksud virtual telah mencukupi syarat. Untuk menjalankan beberapa kewajiban, maksud habitual saja telah mencukupi. d.Dibedakan antara cara-cara menghendaki perbuatan sendiri dan cara-cara menghendaki akibatnya. Ada akibat yang memang di kehendaki sebagai tujuan perbuatan, ada akibat yang terpaksa dihadapi dan tidak dimaksudkan. Hal ini berjalan secara bersama-sama. Jika orang berusaha menyinkiri justru orang tidak bisa hidup. Sebab itu orang tidak selamanya harus mencegah kejahatan atau keburukan. Dalam keadan-keadaan tertentu orang diperbolehkan melaksanakan perbuatan, yang tidak hanya menyebabkan akibat baik, tetapi juga yang buruk. Asas Akibat Rangkap yang Diizinkan : 1) Perbuatan itu sendiri tak boleh bersifat jahat, 2) Akibat baik tak boleh didapatkan dari sebab jahat, karena kalau begitu yang jahat dikehendaki secara langsung, yaitu sebagai jalan ke akibat baik. Tujuan yang baik tidak membenarkan cara-cara jahat. 3) Akibat buruk/ jahat, bukan maksud/ tujuan yang pokok. 4) Alasan kuat, akibat baik nya lebih kuat dibandingkan akibat buruk, tak ada cara lain yang lebih tepat e. Beberapa pengaruh yang dapat mengubah kebebasan 1) Ketidaktahuan, terhadap apa-apa yang harusnya diketahui , dapat pula terjadi bahwa ketidaktahuan itu secara mutlak tak dapat diatasi atau paling tidak secara praktis tak dapat diatasi. Dalam keadaan ini tidak mungkin ada kebebasan. Apabila ketidak tahuan itu dapat diatasi , maka orang bertanggungjawab terhadap ketidak tahuannya. Jahat sama sekali, kalau seseorang dengan sengaja ingin tetap dalam ketidaktahuan. 2) Tidak adanya pengendalian hawa nafsu, emosi kuat dari daya keinginan. Hawa nafsu dapat timbul sebelum kemauan kita mempengaruhinya.Dengan demikian hawa nafsu mengurangai kebabasan perbuatan, tetapi jarang meniadakan kebebasan sama sekali jika nafsu diakibatkan dengan sengaja, maka orang bertanggungjawb atas hal tersebut dan juga atas segala akibatnya, terlebih-lebih atas hal sebelumnya telah diketahuinya. 3) Ketakutan, adalah kegelisahan jiwa yang diakibatkan orang melihat bahaya yang bakal datang. Kalau suatu tindakan didorong oleh ketakutan, kebebasannya terkurangi. 4) Kekerasan, adalah kekuatan dari luar, yang memaksa kita untuk mengerjakan sesuatu yang tidak kita kehendaki. Kalau kekerasan tidak dapat dielakkan, kebebasan dilenyapkan, selama hati tidak menyetujuai tindakan tersebut. 5) Kebiasaan yang diartikan cara tetap pelaksanaan perbuatan. Kebiasaan itu diadakan oleh pengulangan perbuatan yang serupa. Pertanggungjawaban pada kebebasan kebiasaan dan pada perhatian serta usaha, untuk meninggalkannya.

28

Bab 4 KESADARAN MORAL ( HATI NURANI )


A. PENGERTIAN KESADARAN MORAL ( HATI NURANI )
1. Kesadaran Moral merupakan faktor penting memungkinkan tindakan manusia selalu bermoral, berperilaku susila, lagi pula tindakannya akan sesuai dengan norma yang berlaku. Kesadaran moral didasarkan atas nilai-nilai yang benar-benar esensial, fundamental. Perilaku manusia yang berdasarkan atas kesadaran moral, perilakunya selalu direaliasaikan sebagaiamana yang seharusnya, kapan saja dan dimana saja. Sekalipun tidak asda orang yang melihatnya, tindakan yang bermoral akan selalu dilakukan. Sebab tindaanberdsarakan atas kesadaran, bukan berdasarkan atas suatu kekuasaan apapun dan juga bukan karena paksaan, tetapi berdasarkan kekuasaan kesadaran moral itu sendiri.Hati Nurani, didalam bahasa barat dikenal istilah: conscience, conscientia, gewisen, geweten Conscientia (Latin) merupakan terjemahan dari Sunedesis (Yunani), yang arti umumnya sama-sama mengetahui dan biasanya sama-sama mengetahui perbuatan orang lain . Jadi sunedesis itu ditujuka kepada perbuatan sendiri, maka sunedesis dapat diterjemahkan dengan sadar akan (perbuatannya sendiri) a. Dari arti umum ini, maka pandangan Yunani kuno dapat dijumpai arti lain dari Sunedesis ini , yaitu: 1) Sebagai kesadaran yang membuat orang berbuat jahat menjadi gelisah dan tersisksa. 2) Suatu hidup yang tnpa ketakutan, damai dan tenang karena orthe sunedesis (kesadaran yang baik\benar), yaitu kesadaran bahwa perbuatannya baik dan disini nampak bahwa sunedesis diartikan dalam hubungannya dengan baikburuk perbuatan 3) Kesadaran ini juga mulai dipersonifikasikan sebagai Dewa yang memerintah. (to Sunaidos) 4) Sunaidesi yang berarti bahwa seluruh fikiran, keinginan dan kehendak manusia yang dapat dicemarkan oleh perbuatan kita, dan suneddesis menjadi sesuatu yang dalam atau didalam manusia. Didalam arti yang terakhir ini sunedesis sering diganti dengan sunaidos, sesuatu yang mengendalikan manusia dari dalam (egomonikon) Suneidos ini harus dijaga agar tetap berih dalam keadaan murni seperti aslinya, atau seperti kodratnya. Orang yang menuruti kehendak egomonokon dan menjaga sunedos-nya diberi nama cuncuneidetos yaitu orang yang didalamnyabaik atau orang yang hati nuraninya baik b. Dalam bahsa latin Conscientia juga mempunyai arti umum,yaitu mengetahui dan sadar, belum menjurus ke sesuatu hubungan dengan baik-buruknya perbuatan, baikburuknya manusia. Namun terutama pada cicero dan Seneca

29

conscientiamendapat penekanan arti seperti pada sunedesis dalam bahasa Yunani, yaitu: 1) Kekuatan conscientia menyebabkan orang yang berbuat sesuatu yang jahat tetap damai dan tenang, orang yang berbuat jahat akan selalu gelisah dan takut (takut akan hukunman yang selalu membayanginya) 2) Dalam istilah recta conscientia atau hati nurani yang lurus, manusia tidak boleh menyimpang dan harus mengikutinya Hati nurani yang lurus berdasar atas recta-ratio, akal budi yang lurus. Cicero :Menganggap sebagai sesuatu yang penting bagi hidup manusia, melebihi pendapat umum dan kemashhuran. Concientia adalah dasar kebajikan. Cicero menyamakan concientia dengan keputusan pribadi. Tuo tibi judicio utendum est- kamu harus memakai keputusanmu sendiri. 3) Bagi Seneca conscientia dapat berarti: conscientia bona (hati nurani yang baik atau malam conscientia (hati nurani yang jahat ). Bagi seneca mempertahankan :cosncientia yang baik agar tetap lebih baik lebih penting dari pada mempertahankan jabatatn dan kemashuran.

B. UNSUR KESADARAN MORAL


1. Von Magnis menyebut 3 unsur kesadaran moral . a. Perasaan Wajib atau keharusan untuk mealakukan tindakan yang bermoral itu ada, dan terjadi didalam setiap hati sanubari manusia, siapapun, dimanapun dan kapanpun. Kewajiban tersebut tidak dapat ditawar-tawar, karena sebagai kewajiban maka andaikata dalam pelaksanaannya tidak dipatuhi berarti suatu pelanggaran moral . Tentang rasa wajib ini menunjukkan bahwa suara batin harus selalu ditaati, karena suara batin justru sebagai kesadaran bahwa seseorang merasa mempunyai beban atas kewajiban mutlak, untuk melaksanakan sesuatu, tidak ada kekuatan apapun yang berhak mengganggu pelaksanaanya. Normal moral dibedakan dengan normanorma lainya oleh karena disertai kewajiban mutlak untuk melaksanakanya. b.Rasional, Kesadaran moral dapat dikatakan rasional, karena berlaku umum, lagi pula terbuka bagi pembenaran atau penyangkalan . Dinyatakan pula sebagi hal yang objektif dapat di universalisasikan, artinya dapat disetujui, berlaku pada setiap waktu dan tempat bagi setiap orang yang berada pada situasi yang sejenis. Dalam masalah rasionalitas kesadaran moral itu manusia meyakini bahwa akan sampai pada pendapat yang sama sebagai suatu masalah moral, asal manusia bebas dari paksaan atau tekanan,tidak mencari keuntungan sendiri, tidak berpihak, bersedia untuk bertindak sesuai dengan kaidah yang berlaku umum, pengetahuan jernih dan mengetahui informasi. c.Kebebasan Atas kesadarn moralnya seseorang bebas untuk mentaatinya, Bebas dalam menentukan perilakunya dan di dalam penentuan itu sekaligus terpampang pula nilai manusia itu sendiri.

30

2.Poedjawijatna, berpendapat kata hati (istilah lain bagi kesadaran moral ) bertindak sebagai berikut : a. Index atau Petunjuk Memberi petunjuk tentang baik buruknya sesuatu tindakan yang mungkin akan dilakukan seseorang. b Iudex atau Hakim,

Sesudah atau tindakan dilakukan, kata hati menetukan baik buruknya tindakan. c Vindex atau Penghukum Jika ternyata tindakan itu buruk, maka dikatakan dengan tegas dan berulang kali bahwa buruklah itu. 3. Prof Notonagoro. a. Sebelum Sebelum melakukan tindakan, kata hati sudah memutuskan satu diantara 4 hal, yaitu : memerintahkan, malarang, menganjurkan, dan atau membiarkan. b.Sesudah Sesudah melakukan tinndakan, bila bermoral diberi penghargaan, bila tidak bermoral dicela, atau dihukum. 4 Vernon J. Bourke, 1953:129, menampilkan bagan tentang petunjuk rasional mengenai proses penalaran yang praktis dalam tindakan manusia yaitu : sampai pada tahap conscience (kesadaran kata hati ), tahap mana merupakan prinsip keempat dari norma dasar bagi pertimbangan moral, dilihat atas kedudukan akal manusia didalam konteks semesta lainnya, yaitu dalam urutan jejang dari makhluk alami yang paling rendah sampai pada suatu yang tertinggi, dari makhluk alami sampai akal abadi- Tuhan. Dengan melihat bagan tersebut, ternyata dapat pula ditunjukkan adanya unsur-unsur kesadaran moral yaitu : adanya kewajiban, rasional, objektif dan adanya kebebasan, ( dikutif dari Sutrisno hudoyo, 1980 :1920).

31

Skema IV.1

5.Beberapa Catatan : a. Setiap keputusan memang harus diambil sesuai dengan suara batin. b Tetapi suara batin tidak mengambang diudara kosong. Suara batin harus terus menerus disesuaikan dengan apa yang objektif betul, dan oleh karena itu wajib memperhatikan semua argumen, unsur, formasi, pertimbangn, dan lain-lain yang terdapat. c. Jadi suara batin dapat juga keliru. Artinya : saya dapat menyakini sesuatu dengan jujur sebagai kewajiban saya yang sebetulnya tidak merupakan kewajiban saya ; misalnya karena saya kurang berinformasi atau karena tidak tepat dalam mempertimbangkan semua segi masalahnya. d. Kalau begitu, apakah saya bersalah ? saya tidak bersalah, apabila saya bertindak sesuai dengan suar bathin saya pada saat itu keliru. Tetapi saya dapat bersalah kalau sebelum keputusan itu saya ambil , saya tidak mencari semua informasi yang mungkin, atau karena saya menutup diri terhadap pertimbangan orang lain. Kalau sesudahnya saya mengerti bahwa keputusan saya sebetulnya keliru, maka saya wajib untuk mengubahnya sejauh itu masih mungkin. e. Mungkin sekali pada saat keputusan harus diambil saya belum sampai ke suatu kepastian pendapat, jadi saya tetap msih bimbang. Kalau begitu saya bebas untuk

32

memilih apa yang anggap saya lebih tetap walaupun saya sadari, saya barangkali keliru. Kalau saya tidak dapat memastikan apakah suatu tindakan tertentu memang merupakan kewajiban saya, jadi apabila saya tetap masih ada alasan untuk meragukan apakah saya memang berkewajiban untuk melakukannya dan berhak untuk memilih sekehendak saya (probabilisme). Kita memang sering harus bertindak dalam keadaan masih ragu-ragu. Manusia jarang mencapai kepastian serratus persen. Itukah resiko yang harus kita ambil. Kalau kemudian ternyata salah pilih, kita tetaop tidak bersalah, ( dikutip dari Von Magnis,19 79: 33

33

Bab 5 HAK, KEWAJIBAN, DAN KEADILAN


A HAK 1. Pengerian Hak 1. Wewenang atau kekuasan secara etis untuk mengerjakan, meninggalkan, memiliki, mempergunakan atau menuntut sesuatu. 2. Hak adalah panggilan kepada kemauan orang lain dengan perantara akalnya, perlawanan dengan kekuasaan atau kekuatan fisik untuk mengakui wewenang yang ada pada pihak lain. 3. Hak selalu berhubumgan dengan sesuatu yaitu: a. Hak objektik adalah sesuatu yang menjadi hak, b. Hak subjektif wewenang atau kekuasaan itu sendiri,disasarkan kepada hak objektif Supaya hak bisa terlaksana harus ada pihak lain yang memenuhi tuntunan hak itu.keharusan untuk memenuhi hak tersebut disebut kewajiban. (RBS Fudyartan. To, 1974: 750. Hak ialah semacam milik, kepunyaan, yang tidak merupakan benda saja, melainkan pula tindakan, fikiran dan hasil pikiran itu, ( Poedjawijatna, 1972:44). Jalan Pikiran : Manusia mempunyai hak kerena mempunyai kewajiban untuk mencapai tujuan akhir dengan hidup sesuai dengan hukum moral atau norma kesusilaan. Supaya manusia dapat melaksanakan kewajiban perlu adanya kebebasan manusia untuk memilih alat atau cara yang dibutuhkan, dengan tidak mendapat rintangan atau paham dari orang lain, serta atau cara untuk mencapai tujuan perbuatan manusia, benar-benar mempunyai nilai kebaikan secara objektif . Di sini terlihat bahwa dalam pelaksanaan kewajiban, sekaligus terhadap hak manusia. 2. Unsur yang Ada Dalam Meninjau Hak a. Subjek hak bukan hanya seorang , tetapi juga kelompok yang berupa lembaga, badan hukum. Seperti: negara, masyarakat dan sebagainya. b. Adanya hak pada tiap manusia dan lembaga hukum tadi menimbulkan kewajiban orang atau kembaga-lembaga lain untuk memenuhi hak tadi. c. Materi hak adalah tujuan atau hak objek manusia. Hak manusia selengkapnya adalah pencapaian kebahagiaan yang sempurna.

34

d. Asas hak adalah alasan untuk memperoleh hak yang ril. Asas hak itu juga merupakan realitas yang harus ada pada manusia sebagai personalitas. Terbagi mnejadi: 2. 1) Hak Kodrati, adalah hak manusia karena kodratnya. 2) Hak Derivat, yaitu hak yang diperoleh di dalam konstelasi perjalanan hidup manusia itu. 3.Konsep Hak Ada juga yang disebut konsep hak (hak asasi, hak alamiah) yang juga diperoleh didalam perjalanan hidup, perjuangan hidup manusia, seperti hak asasi yang dimuat dalam Universal Declaration of Human Rights dari PBB Hak yang dikonsepkan ini secara implisit menunjukkan bahwa didalam perjuangan dan perjalanan hidup manusia ternyata hak manusia tidak/belum mendapatkan kedudukan yang semestinya. Dengan kata lain banyak pihak yang belum melaksanakan kewajiban hidupnya dengan baik Pada dasarnya hak dan kewajiban, tidak perlu dirumuskan dalam suatu pernyataan yang bersipat politis. Kekuasaan moral adalah kekuasaan yang menyentuh langsung hati nurani, dan tidak sekedar kulit luar semata-mata. Ini merupakan akibat berkembagnya positivisme Moral yang tidak mengakui adanya hak-hak alami, hak asasi setiap manusia. Diangggapnya yang menjadi sumber hak manusia berasal dari seuatu di luar diri manusia. Dalam hal ini, yang menjadi sumber hak dari positivisme Moral adalah sebagai berikut: a. Negara Keberatannya, kalau negara dijadika sumber hak, bahkan semua hak, maka negara itu sendiri tidak mempunyai hak untuk ada, dan tidak mempunyai dasar bagi hak-hak yang diberikannya. Kalau negara menjadi sumber hak, maka negara dapat dengan sewenangwenang mencabut hak-hak para anggotanya negara otoriter Dengan kata lain, kalau negara itu merupakan sumber hak, dari manakah hak yang pertama bagi negara itu sendiri. b. Kontrak (Perjanjian) Masalahnya dimanakah sumber hak pada kontrak pertama. Kontrak pun hanya dapat dipertahankan dengan kebenaran. c. Kebebasan sama untuk semua Jika sumber hak itu dibebankan pada kebebasan sama unutk semua, yaitu kebebasan mutlak yang tidak dipaksakan dari luar, maka segala hak hanyalah terbatas pada perbutan lahiriah saja..

35

Dalam keadaan seperti itu, hukum akan terpisah dengan Etika, dan hak tidak lagi mempunyai arti yang konkrit, oleh karena tidak ada hak tanpa kewajiban, Sedangkan dalam hal ini, kewajiban menjadi terkurangi. d. Kebiasaan Kebiasaan adalah ulangan perbuatan yang sama. Bagaimna kalau kebiasaan di jadikan sumber hak. Persoalannya: Dari manakah datangnya hak pada perbuatanyang pertama. Kalau kebiasaan tersebut berupa perbuatan jahat, apakah dengan kebiasaan jahat lalu tumbuh Hak? 4. Poedjawijatna (1972), berpendapat bahwa Sumber Hak adalah Kemanusian. Manusialah yang mempunyai hak , timbul dari kemanusianya Manusia sebagai individu istimewa yang disebut pribadi, individu yang berbudi dan berkehendak. Demi kepribadiannya ini manusia yang satu berbeda dengan manusia yang lainnya. Ia mempunyai hak yang semata-mata kepunyaannya sendiri dan tidak boleh diambil alih oleh manusia yang lain. Yang jelas dalam hal ini ialah: manusia itu ada dan hidup, maka ia berhak akan hidup itu, ia berbudi dan berkehendak, maka ia berhak atas keyakinan budinya dan kemerdekaan kehendaknya Dengan demikian, jika ada orang lain yang memusnahkannya atau mengurangi hak itu, disebut perkosaan. Karena itulah hak manusia timbul dari kemanusian. Hak yang muncul dari asas manusia ini diebut hak asasi manusia Dikatakan selanjutnya, kemanusian merupakan sumber hak, sekaligus merupakan batas hak. Di dunia ini masih banyak kasus pemerkosan terhadap hak-hak manusia. Kasus perampasan hak sesama manusia, merupakan gejala apa yang disebut filosop Brasilia, Paulo Freire, sebagai dehumanisasi yang merupakan hambatan humanisasi ( Khususnya dalam bidang pendidikan ) Humanisasi selalu dihadapkan pada alternatifnya:dehumanisasi. Tugas humanisai yang merupakan panggilan setiap manusia terhambat oleh penindasan, ketidak adilan dan perampasan. Di sini harus diadakan aksi pembebasan dan pembebasan dari situasi ini harus dilaksanakan oleh mereka sendiri yang terkena penindasan. Proses pemulihan kembali kemanusiaan membutuhkan suatu bentuk pendidikan yang memungkinkan terjadinya proses konsientasi, yaitu perkembangan kesadaran, dari kesadaran pasrah menjadi kesadaran yang kritis. Inilah aksi budaya bagi pembebasan . Untuk itulah, urai Paulo Freire lebih lanjut. Jangan sampai teori terputus dari praktek dan menjadi verbalisme semata-mata. Sebaliknya kalau praktek terputus dari teori, berakibat menjadi aktivisme buta. Tidak ada praktis sejati diluar kesatuan dialektis antara praktek dan teori . Demikian juga tidak ada konteks teoretik bila tidak dalam kesatuan dialektis dengan konteks konkrit.

36

Dalam konteks konkrit, dimana terdapat fakta, kita menemukan diri kita terselubung oleh yang ril, tetapi tidak selalu disertai pemahaman kritis, mengapa fakta menjadi seperti itu. Dalam konteks teoritik, sementara dipertahankan kaitannya dengan konteks konkrit, kita mencari reison detre dari fakta Refleksi hanya menjadi sah kalau membawa kita kembali ke dalam konteks dimana rekleksi itu menjelaskan fakta. Dengan demikian refleksi membuat kegiatan kita lebih efektif. Pembebasan tidak datang dari atas, pembebasan yang sejati hanya bisa terjadi dari dan oleh orangnya sendiri. Pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan diri sendiri (self education) 5. Di samping pendapat tentang sumber hak yang berasal dari manusia dan kemanusiaannya, ada pendapat yang menyatakan sumber hakiki hak asasi tentulah pada Tuhan sendiri. Kalau kita amati dalam sejarah filsafat, kita akan melihat bahwa diman ada orang berpikir tentang etika atau kesusilaan selalu akan terlihat adanya usaha untuk mencapai fundamen atau dasar yang lebih tinggi dari manusia itu sendiri. Drijarkara (966) :42 z) menulis ; Apa yang disebut kesusilaan pada hakikatnya adalah perkembangan yang sejati kodrat manusia. Dengan demikkian ditunjukkan dasar kesusilaan yang terletak pada kita sendiri. Kesusilaan adalah tuntutan kodrat, tidak menghendaki hak, kesusilaan berarti memperkosa kodrat kita sendiri. Tiap perbuatan yang tidak susila, merupakan perkosan kodrat. Dengan demikian nampaklah bahwa kodrat menjadi dasar kesusilaan. Namun dalam berfikir tentang kesusilaan , manusia selalu mencari dasar yang lebih tinggi lagi, dasar yang terakhir. Itulah sebabnya kesusilaan (dan ini termasuk seluruh aspeknya) Bagaimana pun juga selalu dihubungkan dengan Tuhan Ke Tuhanan adalah dasar dari seluruh kesusilaan . Ke Ttuhanan adalah dasar dan tujuan dari kesusilaan . Tanpa ke Tuhanan tidak mungkin ada kesusilaan yang berkembang betul-betul Catatan: Etika yang mendasarkan pada prinsip ini, harus dibedakan dengan Etika yang mendasarkan diri pada aturan agama terrentu. Tetapi semata-mata berprinsip pada dasar pikiran bahwa dasar kesusilaan prinsip pengakuan adanya fundamen yang paling dasar atau sumber yang paling tinggi (Tuhan). Adanya dorongan dan keharusan untuk berbuat susila (dalam hal ini termasuk bagaimana hak dan kewajiban manusia ) merupakan tanda bahwa manuia tidak sempurna, terbatas bahwa manusia tidak berada atas kekuatannya sendiri. Bertindak susila, melaksanakan kewajiban dalam arti memberikan apa yang menjadi hak pihak lain , pada hakekatnya melaksanakan perintah Tuhan.

37

B. KEWAJIBAN 1. Pengertian Kewajiban. Sebagai sisi lain dari hak, mempunyai 2 pengertian : Kewajiban Subjektif Adalah keharusan secara etis dan moral untuk melakukan sesuatu dan atau meninggalkannya. Keawajiban Objektif Sesuatu yang harus dilakukan atau ditinggalkan Kewajiban membatasi hak, artinya bahwa tidak ada kewajiban tanpa hak, yang terjallin dalam hak adalah subjek kewajiban, dan yang terjalin dalam kewajiban adalah subjek hak Wajib itu pada dasarnya adalah kebaikan yang dengan keharusan dibebankan pada kehendak kita yang merdeka untuk dilaksanakan (Drijarkara, 1996: halaman 29). Tuhan mempunyai hak terhadap makhluknya sedangkan makhluk hanya mempunyai kewajiban terhadap Tuhan, bukan hak. Secara vertikal, makhluk mempunyai semata mata kewajiban terhadap Khalik. Pada horisontal hak dan kewajiban itu dipertahankan sama . 2.. Pelaksanaan kewajiban Dalam pelaksanaan kewajiban, terletak apa yang disebut tanggung jawab manusia. Dipandang dari segi ini, tanggung jawab berarti sikap pendiriaan yang menyebabkan manusia menetapkan bahwa dia hanya akan mengguanakn kemerdekaannya untuk melaksanakan yang susila. Keharusan dari wajib adalah keharusan principium identitas, Manusia itu harus berlaku sebagai manusia, jika tidak, dia pungkiri kemanusiaannya. Tanggung jawab berarti mengerti perbuatannya. Dia berhadapan dengan perbuatannya sebelum berbuat, selama berbuat atau setelah berbuat dan mengalami perbuatannya sebagai objek yang dibuat. Tanggung jawab adalah kewajiban menanggung bahwa perbuatan yang dilakukan oleh seseorang adalah sesuai dengan kodrat manusia. Berani bertanggung jwab bahwa seseorang berani menentukan , berani memastikan bahwa perbutan ini sesuai dengan tuntunan kodrat manusia dan bahwa hanya karena itulah perbuatan tadi dilakukan.

38

C. KEADILAN Kesadaran dan pelaksanaan untuk memberikan pada pihak lain sesuatu yang sudah semestinya harus diterima oleh pihak lain itu, sehingga masing-masing pihak mendapatkan kesempatan yang sama untuk melaksanakan hak dan kewajibannya tanpa mengalami rintangan dan paksa. Memberi dan menerima yang selaras dengan hak dan kewajiban, itulah keadilan. Ada 4 Macam Wujud Keadilan ( Aristoteles Notonagoro ). a. Keadilan tukar menukar Yaitu suatu kebajikan tingkah laku manusia untuk selalu memberikan kepada sesamanya, sesuatu yang menjadi hak fihak lain, atau sesuatu yang sudah semestinya harus diterima oleh pihak lain itu. Dengan adanya keadilan tukar menukar, terjadilah saling memberi dan saling menerima. Keadilan itu timbul di dalam hubungan antar manusia sebagai orang-seorang terhadap sesamanya didalam masyarakat. b. Keaadilan Distributif atau Membagi Yaitu suatu kebajikan tingkah laku masyarakat dan alat penguasanya untuk selalu membagikan segala kenikmatan dan beban bersama, dengan cara rata, dan merata, menurut keselarasan sifat dan tingkat perbedaan jasmani maupun rohani. Keadilan dalam membagi ini, terdapat dalam hubungan antara masyarakat dengan warganya. c. Keaadilan Sosial Yaitu suatu kebajikan tingkah laku manusia didalam hubungan dengan masyarakat, untuk senantiasa memberikan dan melakssanakan segala sesuatu yang menunjukkan keemakmuran dan kesejahteraan bersama sebagai tujuan akhir dari masyarakat atau negara. e. Keadilan Hukum ( Umum ) Yaitu mengatur hubungan antara anggota dan kesatuannya untuk bersama-sama selaras dengan kedudukan dan fungsinya untuk mencapai kesejahteraan umum.

39

Bab 6 PEMECAHAN ETIKA NORMATIF


A. KEWAJIBAN SEBAGAI NORMA Di Barat, Filosof Immanuel Kant (1724 1804) memilih kewajiban sebagai norma perbuatan yang baik , sebagai guru besa Geografi di Universitas Konisberg, kota tempat ia dilahirkan dan tempat yang tidak pernah ditinggalkan selama hidupnya, ia telah menyumbangkan teori nebulae sebagai asal usul bumi ini. Kemudian ia pindah kelapangan filsafat , dan menghasilkan karya Kritik der Reinen Vernumft (Analisa tentang akal budi yang murni, 1781, Kritik der Reinen Vernumft (Analisa tentang akal-budi yang praktis, 1788), serta kritik der Urteilskraft (Analisa tentang daya pertimbangan, 1970). Semua karyanya itu merupakan sumbangan yang sangat bernilai di dalam filsafat. Etik Immanuel Kant Kant sangat terkesan oleh keadaan yang serba teratur, didalam alam ini. Segala sesuatu di dalam alam ini seolah-olah berbuat sesuai dengan peraturan. Dua hal yang selalu menimbulkan keheranan dan rasa terharu di dalam jiwanya adalah langit di atas yang penuh dengan bintang dan hukum moral di dalam dirinya sendiri. Hukum alam adalah hukum akal dan hukum akal tercermin di dalam hukum moral, yang timbul di dalam batin manusia. Kemauan manusia diatur oleh akalnya, maka hukum morallah yang mengatur orang didalam dirinya sendiri. Jadi moral manusialah yang membawa manusia ke dalam hubungan teratur di dalam jagad ini. Moral manusia bagi Kant berarti rasa kewajibannya. Hukum alam timbul di dalam batin manusia sebagai rasa kewajiban atau juga disebut sebagai kata hati. Kewajiban manusia ialah patuh pada hukum moral di dalam batinnya. Hukum moral, yang menghendaki supaya kewajiban seseorang harus berada di atas keinginan dan dorongan alamnya, dirumuskan dengan ungkapan:Du sollst . . . . (Kamu harus). Bagi Kant, perbuatan yang baik ialah yang dilakukan dengan kemauan atau niat yang baik. Misalnya: seseorang yang hendak membantu temannya dari keadaan yang lebih buruk ke keadaan yang lebih baik. Perbuatan ini menurut Kant sudah dapat dinilai baik. Jadi niat yang menjadi syarat bagi kehidupan moral. Supaya niat itu baik, maka seseorang harus berbuat dengan rasa wajib.

40

Hukum moral berwujud di dalam bentuk Kategorische Imperative. Ini merupakan suara dari kewajiban yang memerintah supaya berbuat secara langsung. Hukum ini bersifat a priori, artinya dijabarkan dari ratio dan dapat dipakaikan pada pengalaman. Dunia gejala mengenai pengetahuan biasa ditentukan syaratnya oleh pengalaman dan sifatnya relatif. Tetapi dunia moral merupakan kenyatan mutlak dan oleh sebab itu tidak bersyarat. Kalau kemauan dikuasai oleh akal, ia pun mutlak dan tidak bersyarat, artinya tidak memungkinkan, adanya pengecualian. Inilah yang dinamakan Kategorische Imperative, yaitu hukum moral. Ada berbagai rumusan Kategorische Imperative ini. Rumusan pertama : Perbuatan hukum moral itu menjadi dasar penentuan umum dari kemauan Anda. Berbentuk perintah dasar: Anda harus berbuat apa yang telah ditetapkan oleh hukum, tidak peduli akibat yang mungkin timbul daripadanya. Rumusan Kedua: Objek-objek alam mempunyai nilai sebagai alat, hanya manusia yang mempunyai nilai berbeda secara intrinsik yang menjadi dasar bagi penghargaan diri manusia. Rumusan Ketiga: Hukum moral baru mendapat artinya, bila ada 3 postulat, yaitu : kemerdekaan, Keabadian jiwa dan Tuhan. B. KESENANGAN SEBAGAI NORMA 1. Aliran Hedonisme Dalam filsafat Yunani kuno tokoh pertama yang di kenal mengajarkan aliran hedonisme (hedone=kesenagan) ialah Democritus (400 SM 370 SM). Democritus memandang kesenangan sebagai tujuan pokok di dalam kehidupan ini. Yang dimaksudkannya bukanlah kesenangan fisik, tetapi kesenangan sebagai perangsang bagi intelek manusia. Pengikut Socrates yang bernama Aristippus (lebih kurang 395 Sebelum Masehi) mengajarkan bahwa kesenaganlah yang merupakan satu-satunya nilai yang ingin dicari manusia. Yang dimaksudnya dengan kesenangan ialah rasa senang yang diperdapat langsung melalui pancaindera. Orang yang bijaksana selalu mengusahakan kesenangan sebanyak-banyaknya. Kesenagan baginya merupakan pengalaman yang lunak,sebab kekerasan dipandangnya menimbulkan rasa sakit. Epicurus (341-270 Sebelum Masehi) adalah seorang tokoh dari zaman Hellenisme yang telah memperdalam aliran hedonisme. Kesenangan masih tetap menjadi norma perbuatan yang baik. Tetapi kesenangan disini tidak meliputi kesenangan badaniah, sebab kesenagan jenis ini akhirnya akan menimbulkan rasa sakit. Banyak makan enak misalnya menyebabkan sakit perut atau menyebabkan mencret atau rasa tidak senang di dalam tubuh.

41

Senang bagi Epicurus berarti tidak adanya rasa sakit dalam badan dan tidak ada kesulitan jiwa; jadi bukanlah seks, tetai mencari alasan dengan teliti dan meghilangkan kepercayaan yang menimbulkan kerisauan di alam jiwa seperti terhadap soal mati. Mengejar nilai, seperti uang, kehormatan, kekuasaan, juga akhirnya tidak akan memberi kepuasan. Sebab uang yang bertambah banyak bukannya akan membawa ketenangan, tetapi akan menimbulkan kesulitan yang lebih banyak lagi. Begitu pula halnya dengan kekuasaan dan penghormatan. Puncak kesenangan bagi Epicurus ialah ketenangan jiwa. Jiwa dapat meninjau kembali peristiwa yang menyenangkan di masa lampau dan juga mungkin masa yang akan datang. Jiwa pun dapat mengatasi keterbatasan tubuh manusia. Biarpun badan sakit, namun jiwa mungkin dapat mengatasinya dengan memusatkan fikiran pada hal lain. Sebaliknya, jiwa dapat mengalami rasa sakit yang lebih berat dari pada badan, seperti yang kelihatannya pada orang sakit jiwa. Oleh sebab itulah harus diusahakan supaya jiwa dengan terganggu, sehingga kita mendapat ketenangan. Aliran hedonisme dari Yunani Kuno timbul kembali dalam abad ke tujuh belas di Inggris dengan dalil kesenanganlah yang dipandang sebagai hasil yang dinilai baik untuk setiap perbuatan. Tetapi di Inggris timbul segi yang baru di dalam aliran hedonisme ini. Pada aliran di Yunani kuno hasil yang hendak dicapai oleh perbuatan yang baik ialah kesenangan untuk orang oleh perbuatan yang baik ialah kesenangan untuk orang seorang, tetapi di Inggris, adalah untuk orang sebanyak-baunyaknya: The graetest good for the greatest number. Inilah prinsip dasar Jerenmy Bentham dan John Stuart Mill, yang mengembangkan aliran hedonisme ini menjadi aliran hedonisme yang modern, dengan nama baru: Utilitarianisme (Utility-berguna). 2. Aliran Utilitarisme. 1) Jeremy Bentham (1748-1832). Bentham hidup dalam Revolusi Amerika Serikat, Revolusi Perancis, masa peperangan Napoleon, dan pada tingkat-tingkat pertama Revolusi Industri. Oleh karena kemusnahan dan kekacauan yang juga timbul di Inggris, ia ingin membawa perubahan sosial dalam bidang politik, hukum, dan etik. Ke dalam tiga bidang ini dimasukkannyalah prinsip "utility". Sikap etis yang wajar ialah menghitung-hitung dengan cermat rasa senang dan jumlah rasa sakit sebagai hasil suatu perbuatan untuk kemudian mengurangi jumlah rasa sakit daripada jumlah rasa senang. Perhitungan jumlah rasa senang dan jumlah rasa sakit, (hedonistic calculus) dapat dilakukan, sebab Bentham melihat tujuh unsur atau dimensi dari nilai rasa sakit atau rasa senang, yaitu: 1. Intensity, kuat lemahnya perasaan sakit atau senang, 2. Duration, lama atau pendeknya waktu berlakunya rasa senang, 42

3. Certainty, kepastian akan timbulnya perasaan itu, 4. Propinquity, dekat;jauhnya dalam waktu terjadinya perasaan itu, 5. Fecundity, kemungkinan perasaan itu diikuti oleh perasaan yang sama, 6. Purity, kemurnian, tidak bercampurnya dengan perasaan yang berlawanan, 7. Extent, jumlah orang yang terkena perasaan itu. Enam unsur pertama mengenai perbuatan yang menimbulkan rasa senang/sara sakit dari orang seorang. Unsur ke tujuh, etik individualistis menjadi etik sosial. Dengan "hedonic calculus" Bentham memberikan dasar matematis kepada bidang etik, sebab ke tujuh dimensi dapat diukur. Oleh karena itu dapat memberi arah bagi perbuatan manusia. 2) John Stuart Mill (1806-1873). Munusia yang mempunyai kemampuan yang tinggi dapat mencapai rasa senang yang tinggi pula. Kesenangan batin lehih tinggi tarafnya daripada kesenangan badaniah. Manusia mengingini sesoorang yang baik terletak pada perbuatan yang baik. Itulah makanya ditekankan sekali akibat perbuatan soseorang. Suatu perbuatan tidak dapat di katakan baik atau buruk, kalau dilakukan oleh seorang yang baik atau jahat. Penilaian terhadap seseorang dapat dilakukan, tetapi sebaliknyaperbuatan yang baik tidak perlu herarti bahwa orang yang telah melakukan perbuatan itu mempunyai watak yang baik. Perbuatan yang baik berarti perbuatan yang memberikan hasil yang diingini. Bagi John Stuart Mill penghidupan sosial adalah sesuatu wajar bagi manusia. Antara perhatian seseorang dan perhatian masyarakat tidak ada perbedaan yang jelas. Perasaan sosial merupakan tenaga yang kuat, yang semakin meningkat kalau orang bertambah maju. Kalau orang bekerja sama di dalam masyarakat sebagaimana mestinya, perhatiannya pun akan menjadi sama, sebab mereka sadar bahwa perhatian orang lain menurut hakikatnya berada dalam keadaan selaras dengan perhatian orang seorang. Tujuan Mill ialah hendak meningkatkan rasa kebahagiaan masyarakat, supaya dapat mencapai jumlah rasa senang yang sebanyak-banyaknya; bukanlah tujuannya untuk meningkatkan kebahagiaan orang seorang. C. PERWUJUDAN DIRI SEBAGAI NORMA Semenjak zaman Yunani kuno sampai sekarang aliran perwujudan diri sendiri terkenal di dalam aliran etik dan juga di dalam dunia pendidikan. Yang baik menurut aliran ialah "pengisian sesuatu". Sesuatu yang hendak diisi 43

bukanlah alam, tetapi diri manusia sendiri. Perwujudan diri sendiri berarti perkembangan secara harmonis segala kesanggupan manusia yang normal. Aliran etik yang berpangkal pada etik Aristoteles ini dinamakan aliran eudaemonisme. "Eudamonia" berarti dipimpin secara langsung oleh "Daemon" (jin) yang baik, Istilah ini umumnya diterjemahkan dengan kebahagiaan. Tetapi bagi Aristoteles mencapai "eudaemonia" artinya lebih banyak daripada mencapai kepuasan batin dan perasaan yang bersifat sementara, yang dikenal dengan perkataan bahagia, tetapi "berhasilnya seseorang mengalami penghidupan yang baik". Selanjutnya "eudaemonia" yang dicapai itu merupakan peristiwa yang menghendaki waktu yang lama untuk menjadi stabil. Di dalam proses itu telah tersimpul pengertian perkembangan fungsi jiwa yang lengkap, yang menjadikan manusia itu makhluk yang berbudi dan anggota masyarakatnya. Jadi biarpun Aristoteles menyebut-nyebut soal kebahagiaan, ia tidak dimasukkan orang ke dalam aliran hedonisme. Baginya mencapai kebahagiaan sebagai perasaan yang tetap bukanlah pembenaran suatu perbuatan. Orang yang hendak mencapai keadaan "eudaemon" ialah orang yang telah mengatur kehidupannya dengan baik, bukan orang yang memburu kesenangan atau kebahagiaan. D. KEKUASAAN SEBAGAI NORMA Sejak Yunani kuno, alam telah mendapat perhatian di dalam filsafat. Hakikat alam hendak dicari oleh "filosof alam" yang secara kronologis dimulai oleh Tholes sampai Democritus. Di dalam abad ke tujuh belas, ilmu tentang alam berkembang dengan pesat sekali, tetapi baru dalam pertengahan abad ke sembilan belas alam kembali menjadi pangkal tolak bagi semua bidang filsafat sesudah Darwin menerbit kan karyanya yang terkenal tentang evolusi Origin or Species (1859) dan Descent of Man (1872). Sebab sebelum itu manusia selalu dipandang berlainan, malahan kadang-kadang berlawanan dengan alam. Binatang tidak mengenal hak, hanya mengenal kekuasaan dan kekerasan, jadi binatang dipandang sebagai tidak mempunyai moral. Tetapi Darwin menjadikan manusia sebagai bagian dari alam itu sendiri. Evolusi di dalam kehidupan ini.mulai dari makhluk yang paling sederhana sampai kepada yang tertinggi. Hal ini disebabkan oleh karena perjuangan hidup (Struggle for life). Di dalam perjuangan hidup itu ada sebagian yang terus hidup, tetapi ada pula yang musnah karena perjuangan. Hanya yang paling kuat yang dapat bertahan di dalam kehidupan. Hal inilah yang dirumuskannya sebagai survival of the fittest. Dengan dalil tersebut Darwin dapat menerangkan perkembangan seluruh hidup di dalam alam. Hanya antara manusia dan beruk besar, seperti orang hutan, rantai penyambung dari perkembangan evolusi telah putus. Yang hilang ini harus dicari. Timbul pertanyaan apa sebab putus hubungan itu di sini.

44

Lebih sulit lagi kalau soal ini dibawa ke dalam bidang etik. Dengan kedudukannya yang baru di dalam alam ini, sebagai bagian dari alam itu sendiri, tidak seperti menurut pandangan dahulu, bertentangan dengan alam, maka pandangan etik yang dahulu pun harus pula diubah. Perubahan inilah yang dibawa ke dalam bidang etik oleh Herbert Spencer (1820-1903). la menafsirkan kehidupan sebagai persesuaian yang terus-menerus antara hubungan luar dengan hubungan dalam. Perbuatan yang baik baginya adalah perbuatan memelihara dan menyesuaikan kehidupan, orang seorang atau sekelompok orang. Aliran evolusi dengan dalilnya "struggle for existence" diteruskan oleh Nietzsche ke dalam etiknya yang keras sifatnya, sebab menurut ajarannya ini yang paling kuat yang akan menang, atau yang akan berhasil dan kekuasaan di pertahankannya sebagai sesuatu yang benar, Kalau Fichte menimbulkan perasaan pada manusia bahwa mereka adalah anggota suatu negara nasional, maka filosof Hegel (1770-1831) memperluas gagasan itu dengan menjadikan segala yang ada, termasuk manusia, sebagai perkembangan dari yang Mutlak menurut tingkatan these, antithese, dan sinthese. Peristiwa sejarah pun berlaku menurut tingkatan perkembangan yang dialektis ini sampai puncak perkembangannya dicapai di dalam bentuk negara. Negara bagi Hegel menjadi sumber perundang-undangan dan kemerdekaan. Kalau orang mengabdi kepada negara, maka orang itu ikut menjadi bagian dari Negara. Ide Yang Objektif, yang juga hidup di dalam dirinya sendiri, karena manusia ditinjau dari segi batinnya hanya sebagian dari negara. Malalahan Hegel memandang negara nasional lebih tinggi daripada manusia. Ia mendewadewakan negara. Selain menjadi sumber hukum, negara pun menjadi sumber moral. Orang-orang yang berbuat sesuai dengan peraturan negara sudah dianggapnya berbuat secara etis. Apa .yang diperintahkan oleh negara adalah baik bagi Hegel. Pemujaan terhadap negara ini diperkuat lagi oleh M.S. Chamberlain di dalam bukunya Die Grundlagen des Neunzehnten Jahrhundert (Dasar-dasar Abad ke Sembilan Belas). Ia. menyatakan, semua orang besar di dunia mempunyai da rah Jerman, termasuk tentunya Napoleon Bonaparte orang Corsica: Buku tahun 1899, yang telah memherikan kompleks harga diri yang tinggi kepada orang Jerman, merupakan reaksi terhadap buku yang sejenis tentang teori bangsa-bangsa, yang ditulis Comte de Gobineau Essay sur l'inegality des races humaines. (Esei Tentang Ketidaksamaan Antara Bangsa-Bangsa Manusia, 1855). Ia menyatakan bahwa bangsa Roman-Perancis, Italia, Spanyol, merupakan bangsa yang lain. Dengan teori keunggulan bangsa sendiri ini, yang mengakibatkan rakyat banyak mendapat harga diri tinggi yang palsu, manusia semakin erat terikat kepada bangsanya, sehingga kemerdekaan etis dan tanggung jawab individual pun hilang. Hal-hal inilah yang hendak ditentang oleh Nietzsche.

45

Friedrich Nietzsche (1844-1900). Pada permulaan berfilsafat Nietzsche dipengaruhi sekali oleh filsafat Shoopenhauer (1788-1860) yang memandang "noumenon" atau "Ding an sich" menurut Immanuel Kant yang sebenarnya adalah kemauan yang berada pada manusia pada jagad ini yang berkembang ke dalam "phaenoumenon". Soal ini yang dikupas Schopenhauer di dalam karyanya Die Weltals Wille und Idea (Jagad Sebagai Kemauan dan ide, 1819). Kekuatan dan dorongan yang kelihatan pada tumbuh-tumbuhan, binatang, dan juga pada manusia adalah tenaga yang sama yang menjadi dasar dari semua kehidupan dan yang dinamai oleh filosof Schopenhauer sebagai "Willens zum Leben" (kemauan untuk hidup). Nietzsche memandang segala benda mengusahakan pembebasan kekuatannya. hidup pertama-tama hendak

Kehidupan itu sendiri bagi Nietzsche adalah: "Wille zur Macht" (Kemauan untuk Berkuasa). la juga memandang kehidupan sebagai usaha tetap untuk memberi bentuk pada dorongan batin yang belum terbentuk. lnilah yang merupakan hakikat kehidupan dan kriterium bagi nilai-nilai. Selanjutnya dapat pula kita tunjuk kepada bukunya Antichrist, yang khusus ditulisnya untuk menentang Agama. Mengapa ia menentang Agama itu ? Nietszsche melihat, dasar moral yang berlaku waktu itu adalah moral Agama Kristen. Dasar moral ini dinamakannya "Sklaven moral" (Moral budak), yang dirincinya sebagai moral orang-orang yang: .abused, oppressed, the suffering, the unemanancipated, the weary and those uncertain of themselves". Moral yang seperti ini adalah spekulasi atas kelemahan manusia. Manusia yang lemah minta dikasihani, karena inilah yang berguna baginya. Hal ini berarti pula semua kekuatan hidup, dorongan hidup alamiah ditekan. Di dalam moralitas budak, yang bernilai ialah: . . . serve to alleviate the existence of existence of sufferers are brought into prominence and flooded with light, it is here that symphaty, the helping hand, the warm heart, patience, dilligence, humility and friendliness attain to honour, for here these are most useful quantities and almost the only means of supporting the burden of existence". Moralitas budak ini dipandang Nietzuche berasal dari moralitas Kristen yang diwarisi dari moral Yahudi, yang telah memutarbalikkan nilai-nilai sehingga

46

menilai yang miskin dan yang menderita sebagai yang haik, tetapi yang kuat dan berkuasa dipandang sebagai membahayakan dan oleh sebab itu dipandang buruk. Manusia seharusnya menerima dan menjalankan kehidupan itu sepenuhnya. Orang harus kembali ke dalam kehidupan yang penuh, ke dalam dorongan naluri, yang menimbulkan berbagai naluri, sebab inilah yang paling mendalam pada manusia. Kalau hal ini membawa manusia kepada kekuasaan, maka hal ini pun harus diterimanya, Hal ini harus dilakukan tanpa memikirkan kebudayaan dan etik yang ada, sebab kebudayaan Barat itu sudah dekaden dan etik yang berlaku adalah etik kelompok. Etik kelompok, yang dinamainya "Sklavenrnoral" ini bertentangan dengan "Herrenmoral" (Moralitas tuan/bangsawan). Moral yang lemah seperti yang dilukiskan di atas tidak berlaku bagi golongan Ubermensch yang berkuasa. Karena orang dengan moral yang seperti itu tidak mempunyai kemauan untuk hidup. Mereka akan mengatakan "tidak" terhadap kehidupan, sebagai akibat rasa belas kasihan. Moral inilah yang nantinya akan membawa kehancuran kepada kebudayaan Barat. Menurut Nietzsche kemajuan yang sebenarnya tidak akan terdapat dengan jalan mengangkat rakyat banyak kepada tingkatan yang lebih tinggi, tetapi dengan jalan pembentukan golongan manusia yang unggul, yaitu Ubermensch. Golongan inilah yang harus ditimbulkan di atas rakyat biasa, yang menurut Nietzsche merupakan tugas manusia, karena ia memandang manusia sebagai bersifat sementara. Tujuan manusia baginya untuk menghasilkan kelompok Ubermensch. Ubermensch inilah nanti akan muncul, kalau manusia telah berani menghancur nilai-nilai yang lama untuk kemudian membentuk nilai-nilai baru, yang berdasarkan kekuasaan dan berkembang menuju kepada tingkatan yang lebih tinggi serta mengandung keinginan untuk herkuasa. Golongan rakyat biasa masih boleh mengikuti moral budaknya, karena mereka diperlukan sebagai dasar untuk pembangunan Ubermensch, Ubermensch ini menciptakan sendiri nilai baru sambil merombak nilai lama. Umwertung aller Werte (merombak kembali segala nilai) ini tugas Ubermensch untuk dapat mebangun kebudayaan baru. Untuk keperluan itu kemauan untuk berkuasa berkembang pada Ubermensch dalam bentuk keberanian, keindahan, dan kebudayaan. Manusia yang unggul seperti ini hidup bebas di dalam hutan seperti Siegfried menurut salah satu gubahan musik Richard Wagner. Oleh karena citacita Nietzche sejajar dengan ideal menurut R. Wenger, maka komponis ini mulamula dipujanya benar tetapi kemudian ditinggalkannya setelah Wagner, menurut Nietzsch, telah mengadakan kompromi dengan etika kristen, yang kelihatan dari salah satu gubahannya. Cita-cita Ubermensch ini secara biologis dan psikologis tidak dapat dipertanggungjawabkan. Begitu pula bukti-bukti tentang silsilah moralnya mudah disanggah, tetapi cita-cita Nietzsch ini hidup dan diperkembangkan oleh golongan Nazi di Jerman. E. ADAT SEBAGAI NORMA 47

Di dalam penghidupan sehari-hari, kadang-kadang tidak jelas bagi kita norma yang akan kita pakai. Oleh karena tidak jelas itu, kita kadang-kadang memakai salah satu norma dan menilai perbuatan orang lain dengan norma yang lain pula. Bukan hanya dalam pemakaian norma ini ada perbedaan, tetapi juga kita ketahui adanya perbedaan norma dan nilai di dalam satu kebudayaan sendiri. Ada perbuatan yang dinilai baik oleh anggota masnyarakat, tetapi dinilai buruk oleh anggota masyarakat lainnya. Dengan sendirinya timbul pertanyaan, apakah ada sesuatu yang dapat dijadikan norma bagi perbuatan manusia ? Menjadi pangkal tolak bagi jalan fikiran dari aliran relativisme, yang menetapkan norma-norma perbuatan yang baik menurut adat kebiasaan. Relatif artinya nisbi, lawan dari mutlak, yang dibayangkan oleh keberlainan iklan di dalam berbagai lubuk itu. Soal ini terutama diselidiki oleh sarjana sosiologi yang mengkhususkan diri di dalam soal kebudayaan dan sarjana antropologi. Pendapat mereka didasarkan atas hasil penelitian mereka di dalam atau tentang berbagai jenis kebudayaan. Oleh sebab itu pendapat mereka di dalam aliran relativisme ini selengkapnya diberi nama relativisme dalam kebudayaan. Menurut pendapat mereka, norma yang mutlak tidak ada. Semua norma bersifat nisbi, relatif di dalam waktu dan relatif di dalam tempat. Sesuatu perbuatan dinilai baik dalam satu kebudayaan, tetapi mungkin dinilai buruk di dalam kebudayaan lain. Tetapi di dalam keberbagai ragaman dan keberlainan kebudayaan itu ada pula sarjana antropologi, seperti A. B. Krober dan C. Kluckhohn, yang mencari persamaan antara segi-segi beberapa kebudayaan. Biarpun kebudayaan itu berlain-lainan, namun garis besar dari pokok-pokok semua kebudayaan yang sebenarnya adalah sama. Inti tiap kebudayaan adalah manusia, sedangkan manusia itu menghadapi dan memecahkan soal-soal pokok yang sama pula, di mana pun manusia itu berada. Semua harus makan, minum, memelihara dirinya dari bahaya dan memelihara keturunan. Kalau dibanding-bandingkan hal-hal yang bersamaan dan hal-hal yang berlainan, maka menurut para ahli akan lebih banyak ditemui persamamaan daripada perbedaan. Di dalam bentuk cara hidup yang umum sekali ditemui adalah gotong-royong. Di sini harus ada cara-cara berbuat yang sama, bahasa yang sama, yang menimbulkan nilai-nilai yang sama diterima oleh anggota masyarakat yang mempunyai satu kebudayaan. Nilai yang sama inilah yang memungkinkan dilaksanakan pekerjaan besar di dalam bentuk gotongroyong. Selanjutnya di dalam semua kebudayaan bukan saja ada pola kebudayaan yang universal sifatnya, tetapi ada nilai-nilai yang di mana pun juga berlaku. Di mana pun juga, berdusta, mencuri, menghendaki kekerasan, tidak dapat diterima orang. Kawin beradik-kakak di mana pun juga tidak dapat diterima orang. Menghormati orang tua masuk nilai yang universal. Begitulah nilai-nilai dan pola-pola kebudayaan yang universal merupakan isi kebudayaan yang langgeng, yang tidak lekang oleh panas dan tidak lapuk oleh 48

hujan. Sifatnya yang universal ini bukanlah sesuatu hal yang aneh, sebab kehi dupan manusia adalah kehidupan yang bermoral, Adanya norma dan nilai-nilai yang universal ini menunjuk kepada sesuatu yang paling dalam pada diri manusia. Sifatnya yang universal ini tidak pula menjadikannya sesuatu yang mutlak, karena perubahan dari satu situasi kehidupan mungkin akan menyebabkan berubahnya norma dan nilai itu. Perbuatan dan nilai-nilai yang berbeda dari berbagai kebudayaan bukanlah berarti perbedaan norma-norma etik, tetapi perbedaan dalam memberi arti pada suatu situasi. Hal ini yang sebenarnya adalah perbedaan psikologis. Sebalik nya, mungkin pula perbuatan yang sama menunjuk pada isi psikologis yang berbeda dan perbedaan perbuatan mungkin pula mempunyai fungsi yang sama. Untuk menetapkan apakah manusia betul-betul mempunyai nilai yang bertentangan perlu diperlihatkan bahwa hubungan antara arti dari satu situasi dengan evaluasi dapat berubah-ubah. Inilah yang tidak dapat dilakukan oleh aliran relativisme. Jadi perbedaan di dalam kebudayaan tidak dapat dijadikan alasan bagi relativisme dalam nilai-nilai dan norma-norma. Relativisme ini sudah lama ada di dalam bidang filsafat, yang dipelopori oleh filosof Yunani Protagoras dengan rumusnya yang terkenal: "Manusia adalah ukuran dari segala benda", yang diartikan orang bahwa kebenaran itu adalah soal orang seorang, jadi berubah-ubah. Oleh sebah itu tidak ada ukuran yang mutlak bagi etik, metafisika, dan agama.

49

Bab 7 PERSOALAN DALAM ETIKA


A. PERSOALAN TENTANG NILAI ETIKA 1. Apa Yang Seharusnya Dilakukan

Etika cabang Aksiologi yang mempersoalkan predikat nilai baik dan buruk dalam arti susila, atau tidak susila. Sebagain masalah khusus, Etika juga mempersoalkan sifat-sifat yang menyebabkan seseorang berhak, untuk disebut susila atau bajik. Sifat-sifat tersebut dinamakan kebajikan lawannya keburukan. 2. Ruang Lingkup Etika Apabila kita mulai mempelajari Etika, 2 hal yang perlu dikatakan : a. Apabila ditanya hasil apa yang diharapkan dari buku Filsafat ini, mungkin akan dijawab antara lain : Saya mengharapkan untuk mempelajari bagaimana caranya agar dapat hidup lebih baik. b. Apabila didesak lagi, mungkin akan dijawab antara lain : Saya ingin belajar bagaimana cara untuk berbuat baik dan menghindari keburukan. Banyak pembicaraan tentang etika yang tidak pernah menyinggung masalah yang sebenarnya, karena banyak yang mendasarkan diri prinsip pembenaran yang sama sekali berbeda. Seseorang mendasarkan pada kefaedahan, pencegahan keburukan dan lain sebagainya. Etika lebih menaruh perhatian pada pembicaraan tentang prinsip pembenaran dari pada tentang keputusan yang sungguh-sungguh telah diadakan. Etika tidak memberikan kepada arah yang khusus atau pedoman yang tegas dan tetap tentang bagaimana caranya hidup dengan bajik. 3. Kesusilaan Dan Ketidaksusilaan 50

Kesusilaan dan ketidaksusilaan tidak hanya bersangkutan dengan tingkah laku dalam masalah seksual semata-mata. Mencuri, berbuat tidak adil, kejam dan sebagainya dapat dipandang sebagai tindakan orang yang tidak susila. Suatu kenyataan bahwa persoalan tentang hidup manusia yang paling fundamental ini, masih begitu jauh dari penyelesaian, meskipun persoalan itu merupakan persoalan yang paling umum terjadi dan yang paling menarik perhatian.

4. Arti Etika Etika dipergunakan dalam dua arti : a. Terlihat dalam pernyataan seperti Saya mempelajari etika. Dalam penggunaan ini etika dimaksudkan sebagai suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian perbuatan, yang dilakukan orang-orang. b. Istilah etika, terjadi bila orang mengatakan : Ia seorang yang bersifat Etis, Ia seorang yang adil, atau Pembunuhan dan Bohong itu tidak susila. Dalam hal ini Etis adalah suatu preikat yang dipergunakan untuk memperbedakan barang-barang, perbuatan-perbuatan atau orang-orang tertentu dengan yang lain. Etia dalam arti ini sama dengan susila (moral). Hendaknya diingat, untuk dianamakan bersifat susila tidak perlu sama dengan atau sesuai dengan kebiasaan yang tetap dari suatu kelompok manusia. Karena mungkin juga kita dapat mencap salah satu diantara kebiasaan yang tetap itu sendiri sebagai sesuatu yang tidak susila. Etika sebagai ilmu mungkin menyelidiki tentang : tanggapan kesusilaan. Etika sebagai etika normatif bersangkutan dengan membuat tanggapan. Dibedakan antara : a. Berbicara mengenai istilah etika

51

1) Etika Deskriptif Ilmu pengetahuan (Etika) semata-mata bersifat deskriptif dan hanya berusaha untuk membuat deskriptif yang cermat. Etika deskriptif mungkn merupakan suatu cabang sosiologi, tetapi ilmu tersebut penting bila kita mempelajari Etika utnuk menhetahui apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap tidak baik. Ini membantu menghindari pandangan yang sempit, tetapi perbedaan yang besar di dalam praktek kesusilaan juga mengakibatkan timbulnya teori bahwa tanggapan kesusilaan itu melulu besifat relatif terhadap kebudayaan yang di dalamnya orang mengadakan tanggapan tersebut. Etika deskriptif bersangkutan dengan pencatatan terhadap corak-corak, predikat-predikat serta tanggapan-tanggapan kesusilaan yang dapat ditemukan. Berhubungdengan itu, ilmu ini tidak dapat membicarakan tentang ukuran-ukuran bagi tanggapan kesusilaan yang baik, meskipun kadang-kadang etika deskriptif mencampuradukkan, antara menerima suatu tanggapan kesusilaan dengan kebenarannya. Singkatannya, etika deskriptif hanya melukiskan tentang predikat dan tanggapan kesusilaan yang telah diterima dan dipakai. 2) Etika Normatif Etika dipandang sebagai sesuatu ilmu yang mengadakan ukuran atau norma yang dapat dipakai untuk menanggapi atau menilai perbuatan. Menerangkan tentang apa yang seharusnya terjadi dan apa yang ahrus dilakukan, dan memungkinkan kita untuk mengukur dengan apa yang seharusnya terjadi. Etika normatif bersangkutan dengan penyelesaian ukuran kesusilaan yang benar. b. Berbicara dalam istilah etika

1) Etika Kefilsafatan Untuk memprtahankan pengertian etika sebagai suatu ilmu, tetapi menghindari untuk menjabarkannya menjadi sosiologi, maka ada orangorang yang berbicara tentang etika kefilsafatan.

52

Analisa tentang apa yang orang maksudkan bilamana mempergunakan predikat-predikat kesusilaan. Analisa itu diperoleh dengan mengadakan penyelidikan tentang penggunaan yang sesungguhnya dari predikatpredikat yang terdapat di dalam pernyataan-pernyataan. 2) Etika Praktis dicontohkan dilema yang diahdapi oleh seorang dokter yang menghadapi pasien yang sedang sekarat. Persoalannya : Dokter dapat membunuh pasien, dengan demikian melepaskannya dari rasa sakit derita. Timbulnya pertanyaan : Apakah baik bagi saya sg seorang dokter untuk membunuh pasien saya ?. Diandaikan bahwa pasien itu minta dibunuh da semua anggota keluarganya setuju. Hidup adalah milik Tuhan, apa hak dokter untuk mencabutnya. Tetapi bagaimana dengan kemungkinan berakhirnya rsa sakit yang berarti kebahagiaan, dengan membunuh semua itu akan terjadi. Dokter tidak berhak membunuh, bagaimanapun keadaan pasien tersebut.

Disinilah diperlukan etika praktis 5. a. Persoalan Etika Prinsip apakah yang dapat ditetapkan, untuk dapat membuat tanggapan kesusilaan ?

(Dalam setiap persoalan etika yang praktis, kesulitan yang dihadapi ialah untuk mencapai suatu keputusan mengenai perbuatan apa yang harus dilakukan). Ini merupakan persoalan yang ke-2 (b) dibawah ini, yaitu : b. Apakah perbuatan yang baik itu berarti perbuatan yang dapat dibenarkan secara kesusilaan ? Catatan : Apabila dalam persoalan 1 (a) perkataan dapat yang kedua ditiadakan, maka penyelidikan dapat dipersempit diubah menjadi bidang etika deskriptif, apabila dapat tersebut diubah menjadi seharusnya, kita brsangkutan dengan etika normatif. Dalam hal yang terakhir ini, kita dapat mengajukan pertanyaan ke-3 (c) dibawah ini, yaitu : 53

c. ini.

Apakah arti seharusnya dan apakah yang menjadi sumber keharusan

Persoalan ke-2 (b) dapat dijawab secara dangkal dengan mengatakan bahwa suatu perbuatan adalah baik apabila perbuatan itu sesuai dengan prinsip kesusilaan. Yang berarti mempersempit persoalan etika seluruhnya. Banyak teori etika dewasa ini, mendekati persoalan dari suatu analisa tentang arti yang dikandung oleh predikat-predikat kesusilaan, baik, benar, seharusnya, wajib, dan lawannya : d. Apakah tanggapan kesusilaan itu dapat diverifikasi, dan jika dapat bagaimana caranya ? e. Arti apakah yang dikandung oleh predikat-predikat nilai itu. - mencakup pertanyaan mengenai arti seharusnya. 6. Tanggapan Kesusilaan Hanya Ungkapan Emosi Pembunuhan dalah sesuatu yang buruk dan tidak boleh dilakukan. Terdiri dari 2 pernyataan : a. Pembunuhan dalah sesuatu yang buruk. b. Pembunuhan tidak boleh dilakukan. Kalimat kognitif terdiri dari 2 macam : a. Kalimat kognitif yang sebenarnya tergantung pada arti yang dikandung oleh istilahnya atau kalimat analitis. b. Kalimat kognitif yang sebenarnya tergantung pada sesuatu pengamatan empirik atau indera, atau kalimat sintesis. Contoh : Hujan Turun, merupakan kalimat sintesis-empiris. Sebuah segitiga mempunyai tiga sisi, merupakan kalimat analitis, dengan jalan definisi. Tetapi apabila diajukan kalimat : Alangkah indah terbenamnya matahari. ini memuakkan, di sini reaksi psikologis (emosional).

54

Kembali kita perhatikan kalimat : Pembunuhan dalah sesuatu yang buruk. Pembunuhan tidak boleh dilakukan. Faham positivisme akan mengatakan, kalimat yang pertama itu bersifat empiris, kalimat kedua tidaklah demikian, karena kalimat yang kedua itu hanya mengulangi apa yang telah terkandung di dalam kalimat yang pertama. Dengan jalan definisi keburukan adalah sesuatu yang tidak boleh dilakukan. Kalimat yang kedua, itu secara analitis diakibatkan oleh kalimat yang pertama. Kita mengetahui bahwa keburukan (sesuatu yang buruk) mengandung arti sesuatu yang tidak boleh dilakukan. Jika ada yang menunjukkan sesuatu yang ia katakan burukdan sekaligus mengatakan bahwa hal itu harus dilakukan, maka akan dikatakan bahwa : 1) Apa yang dikatakan itu tidak merupakan keburukan 2) Dalam keadaan yang sangat khusus, apa yang dikatakan tidak benar-benar buruk Dan akan dikatakan bahwa apabila apa yang dikatakan itu benar-benar buruk, maka hal itu tidak boleh dilakukan. Tidak berarti bahwa buruk dan tidak boleh dilakukan itu secara analitis berhubungan, sehingga tidak dapat menolak yang satu dan menerima yang lain. Bagaimana status kalimat : Pembunuhan adalah sesuatu yang buruk. Disini tidak ditanyakan apakah pertanyaan itu benar atau salah. Yang dinyatakan ialah apakah pernyataan itu merupakan suatu kalimat analitis, ataukah sintetis. Bagaimana cara orang menggunakan kaliat tersebut ? jawaban atas pertanyaan ini dapat memberikan suatu metode untuk mengadakan verifikasi, kalimat itu. Buruk tidak merupakan bagian dari pembunuhan. Mungkin pernyataan itu tidak bersifat analitis. Apakah sifatnya sintetis, artinya dapatkah pernyataan itu dikuatkan dengan jalan pengamatan empirik ? Pembunuhan adalah sesuatu yang buruk itu mengandung arti, tetapi hanya sebagai suatu ungkapan emosi anda. Ngeri, tidak suka, dan lain sebagainya, diungkapkan sebagai suatu tanggapan.

55

Atas masalah ini diminta komentar kritik dari mahasiswa

B. PERSOALAN ETIKA TEORITIK DAN NORMATIF

1. Persoalan Etika Teoritik a. Etika teoritik membahas tentang asas-asas yang melandasi sistem kesusilaan. Etika praktis :Etika terapan membiarakan masalah-masalah kesusilaan yang konkrit. Etika terapan membutuhkan banyak pengetahuan mengenai masalah yang dihadapi manusia sehari-hari. Contoh : masalah yang menyangkut pencemaran lingkungan tidak mungkin dapat semata-mata diselesaikan oleh ahli kesusilaan. Suatu penalaran yang bersifat kesusilaan mencakup baik premise yang bercorak kesusilaan, maupun yang bercorak kenyataan empirik. Ditinjau dari segi teori mungkin saja ada penalaran yang semata-mata menggunakan premise yang bercorak kesusilaan, namun dalam kenyataan jarang terdapat. 1. Salah satu diantara persoalan yang terdapat dalam etika teoritik adalah berbentuk pertanyaan. Apakah dapat dikatakan bahwa pada diri ummat manusia terdapat keseragaman asasi dalam hal keyakinan kemanusiaan ? apakah pada dasarnya manusia mempunyai pemdirian yang sama tentang baik dan buruk ? tingkat pertama tentu akan mendapat jawaban ingkar. Memang setiap manusia itu mempunyai pendirian di bidang kesusilaan, tetapi pertanyaan mengenai mana yang baik mana yang buruk tidak memperoleh jawaban yang sama di setiap tempat. Namun demi membela pendapat bahwa suatu kesusilaan yang bersifat alami yang merupakan ciri khas manusia, perlu diajukan alasan-alasan kuat untuk membenarkannya. Pertama. Kesimpulan yang bersifat kesusilaan. Tidak hanya tergantung pada premise yang bercorak kesusilaan, tetapi juga pada premise empirik. Sehingga ada kemungkinan besar bahwa perbedaan yang terdapat dalam hal pendirian di bidang kesusilaan tidak terletak pada perbedaan keyakinan kesusilaan yang asasi, melainkan pada perbedaab pandangan terhadap/mengenai keadaan/kejadian yang bersifat empirik. Besar 56

kemungkinan manusia pada dasarnya mempunyai kesamaan dalam pendirian dasar kesusilaan. Tetapi kemudian menarik kesimpulan kesusilaan yang berbeda berdasarkan perbedaan pandangan terhadap halhal yang bersifat empirik. Seandainya hal tersebut benar, hari depan umat manusia adalah cerah. Dengan bertambah banyaknya pengetahuan kita yang bersifat empirik, dan dengan usaha menyebarluaskan pengetahuan tersebut ke seluruh dunia, kiranya dapat diterapkan bahwa dalam hal pendirian kesusilaan ummat manusia akan saling sepakat. Kedua. Diakui bahwa manusia berbeda keyakinan dalam bidang kesusilaan, dan dalam hal ini pendapat itu berkembang. Tetapi dalam perkembangan lebih lanjut, manusia akan sampai pada pandangan kesusilaan (ideal) yang semakin sama. Ketiga. Dikatakan pula bahwa memang diantara ummat manusia, kita dapati perbedaan dalam hal keyakinan kesusilaan yang untuk sementara belum dapat tumbuh saling mendekati, tetapi sesungguhnya perbedaan tersebut tidaklah sebesar yang disangka orang. Karena sesungguhnya apa yang mengalami perubahan dalam perjalanan sejarah dan apa yang berbeda dalam suatu lingkungan kebudayaan yang lain, bukanlah nilainilainya sendiri, melainkan yang berubah dan berbeda itu ialah pandangan manusia tentang tata urutan nilai. Nilai-nilai yang dihargai tinggi dalam suatu lingkungan kebudayaan tertentu, biasanya juga ditentukan oleh lingkungan. 2. Persoalan lain, ialah bersangkutan dengan kebebasan manusia dan persoalan determinisme. Determinisme mengatakan bahwa segala sesuatu sudah ditentukan berdasarkan hukum sebab-akibat, dan ini harus pula dterapkan dalam etika. Dalam hal ini harus diakui bahwa manusia mengira melakukan perbuatan secara bebas, namun keadaan tersebut bersifat semu. Sesungguhnya perbuatan yang dilakukan sepenuhnya ditentukan oleh pelbagai macam motif. Disamping itu watak kita ditentukan oleh asal-usul keturunan, lingkungan, dan lain sebagainya. Di lain pihak pendapat lain mengatakan bahwa tidak mungkin ada perbuatan kesusilaan apabila orang-orang yang melakukan perbuatan itu tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan tadi. ought implies can. Terdapat pelbagai bentuk determinisme. Contoh :

57

b. Determinisme Naturalistik, terutama didapati pada penulis roman pada akhir abad ke-19. Manusia dipandang sebagai hasil terakhir dari asalusulnya dan dari lingkungannya. c. Determinisme keekonomian, misal : Marxisme, gagasan yang dipunyai oleh manusia, perbuatan yang dilakukan ditentukan oleh keadaan ekonominya. d. Determinisme Metafisik, misal pada Benedictus despinosa, yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam sejarah dunia berlangsung secara niscaya (mau tak mau pasti terdapat/terjadi) dan segala-galanya difahamkan sebagai Tuhan. e. Determinisme keagamaan, yang mengatakan bahwa sesungguhnya yang melakukan perbuatan apa saja itu (pada hakikatnya) adalah Tuhan. Contoh : Augustinus dan Calvin, yang menegaskan berhasilnya usaha penyelamatan jiwa manusia yang didalamnya manusia turut ambil bagian, sepenuhnya hasil pemberian karunia oleh Tuhan. Sedangkan yang termasuk tokoh Indeterminisme serta faham manusia antara lain Immanuel Kant dan Jean Paul Sartre. Kant tidak memungkiri bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam dunia, gejalagejalanya ditentukan oleh berlakunya hukum sebab-akibat. Tetapi sebaliknya, kita harus bertitik tolak dari pandangan bahwa manusia itu merupakan makhlukn kesusilaan, dengan pandangan dasar bahwa manusia itu makhluk yang bebas. Kant mengajarkan bahwa disamping dunia gejala, yaitu dunia sebagaimana yang terhampar di depan kita, terdapat dunia yang adanya tidak tergantung pada manuisa sebagai subjek pebgetahuan. Ajaran yang demikian ini, menyebabkan ia dapat menyelesaikan persoalan kebebasan dan determinisme sebagai berikut : Di dalam dunia gejala manusia sepenuhnya ditentukan oleh berlakunya hukum sebab-akibat sedangkan di dalam dunia yang adanya tidak tergantung dan diketahui atau tidak oleh manusia, manusia itu memiliki kebebasannya. Sartre dan sebagian besar penganut Eksistensialisme mengakui bahwa manusia itu sejak semula sudah ditentukan untuk berada di dalam situasi tertentu, yaitu : a. Tempat tinggal (My Place) Tempat tinggal merupakan tempat kita berada dan mempengaruhi struktur eksistensi kita. 58

b. Masa lampau (My Past) Masa lampau kita, yang tidak mungkin dapat kita hilangkan. c. Lingkungan (My Environment) d. Sesama (My Fellowman) e. Kematian (My Death) Meskipun demikian, manusia itu seakan-akan dijatuhi hukuman dalam bentuk kebebasan (Condemnedto be free) dan sikap yang dapat diminta pertanggungjawaban atas perbuatannya. Meskipun manusia itu terikat oleh situasi yang didalamnya ia berada, namun ia harus merencanakan sendiri kehidupannya. Renana inilah yang harus dipertanggungjawabkan. Kesalahan dan atau ketepatan tergantung dalam hal melakukan pilihan. b. Apakah perbuatan kesusilaan tergantung pada pandangan dunia ? apakah tergantung pandangan dunia yang kita anut ? secara sepintas orang cenderung untuk mengetahui-iyakan. Bukankah perbuatan kita diarahkan oleh pemikiran kita tentang manusia dan dunia. Contoh : sebagai orang Islam kita akan memperlakukan sesama manusia sesuai dengan konsep Islam tentang manusia. Namun sesungguhnya yang menjadi masalahnya, lebih rumit dari yang terpikir secara dangkal. Ternyata orang yang berlainan pandangan hidup, dan pandangan dunia, ternyata dapat juga apda akhirnya mempunyai pandangan kesusilaan yang sama. Itu berarti: 1) Pandangan dunia, merupakan sumber ilham, tetapi bukan merupakan sumber bahan keterangan bagi manusia. 2) Dapat memberi daya kepada manusia untuk hidup secara baik, tetapi tidak mengatakan tentang apakah yang disebut baik itu. Tetapi persoalannya adalah : Perbuatan kesusilaan di samping ditentukan oleh pandangan tentang kenyataan empirik, juga oleh pandangan tata urutan nilai. Pandangan kita tentang tata urutan nilai trsebut sudah tentu ditentukan oleh pandangan dunia serta pandangan keagamaan kita. Tetapi kenyataan pandangan dunia yang berlainan dapat sampai pada pandangan tentang tata urutan nilai yang kurang lebih sama. Secara demikian dapat terjadi bahwa penganut Islam, Kristen, Budha, bahkan Humanisme, Marxisme sama-sama membrikan nilai pokok pada

59

manusia sebagai makhluk yang berkepribadian dan yang memiliki kebebasan. Tetapi juga sering terjadi bahwa perbedaan dalam hal pandangan kesusilaan tergambar dalam pandangan dunia yang berlainan. Disebabkan karena baik pandangan kesusilaanm maupun pandangan dunia masing-masing merupakan kebulatan sendiri-sendiri, sehingga mengakibatkan perbedaan yang besaryang mendapat titik berat ialah bagian-bagian tertentu dalam pandangan dunia yang bersangkutan. Catatan : Pandangan Dunia (Weltansschauung) yang dimaksud ialah cara manusia memandang, serta memberi tanggapan dunia serta maknanya dan terhadap kehidupan manusia. Persoalan terpenting yang terdapat dalam etika teoritik ialah bagaimana cara orang menyusun sistem kesusilaannya. Dengan kata lain, yang dipertanyakan ialah mengenai dasar-dasar sistem tersebut. Apakah yang menjadikan suatu perbuatan atau suatu maksud tertentu, merupakan perbuatan dan maksud yang baik. Apakah kenikmatan hidup, faedah, wajib hidup, dan lain-lainnya. Sesungguhnya tidak ada satupun sistem kesusilaan yang dapat menggantikan/menyisihkan tanggung jawab pribadi seseorang. Oleh karena itu filsafat kesusilaan (etika) merupakan suatu bidang yang secara sadar atau tidak harus diusahakan oleh setiap bidang. c. Di samping ada etika individual yaitu etika yang menyangkut manusia sebagai perorangan saja, ada etika sosial yang menyangkut hubungan antar-perorangan. Di samping etika membicarakan peningkatan kualitas manusia perorangan, juga mempersoalkan umpamanya hubungan yang ada di lingkungan keluarga, problema perang, dan sebagainya. Tetapi kedua bagian etika tersebut tidak dapat dipisahkan, walaupun dapat dibedakan. Bahkan pembedaannya sukar diterapkan. Sebab perorangan itu selalu tetap perorangan dalam masyarakat. Di lain pihak manusia sebagai Aku yang unik, dan eksistensial, juga tidak ada seorang pun yang berdiri sendiri. Demikianlah tetap dibedakan etika individual sebagai ajaran tentang sikap tingkah laku perbuatan yang baik bagi perorangan dan etika

60

sosial sebagai ajaran yang sama bagi perorangan sebagai bagian dari kesatuan yang lebih besar. Masalah yang timbul dalam etika sosial 1) Tujuan Etika itu memberitahukan, bagaimana kita dapat menolong manusia di dalam kebutuhannya yang riil dengan cara yang susila dapat dipertanggungjawabkan. Guna mencapai tujuan ini, seorang etikus sosial tidak hanya harus tahu norma-norma susila yang berlaku, melainkan ia harus tahu pula kebutuhan yang tersebut tadi, dan sebabsebab timbulnya kebutuhan tadi. 2) Dalam etika sosial lebih mudah timbul beragam pandangan dibandingkan etika individual. Norma-norma ahrus selalu diterapkan pada keadaan yang konkrit, setiap norma menjelmakan kewajiban. Kewajiban yang paling umum itu melakukan kebaikan. Dalam kenyataan terbukti bahwa tidak hanya ada satu kewajiban, melainkan berbagai kewajiban. Sebabnya, di dunia ini tidak hanya satu, tetapi ada beragam norma. Wajib yang beragam itu tidak terlepas satu sama lain, tetapi bersatu dan berkaitan dan membentuk sistem hirarki norma. Inilah yang dicoba untuk memecahkan persoalan apabila ada benturan norma atau benturan kewajiban. Pengetahuan dan kesadaran terhadap hirarki mana yang lebih tinggi sangat diperlukan dalam rangka ini. Pada umumnya, yang mempunyai nilai kebenaran lebih besar, luas, tingkatannya lebih tinggi. 1. Persoalan Etika Normatif Etika normatif, sebenarnya merupakan sebuah aturan yang mengarahkan secara konkrit, tentang bagaimana seharusnya bertingkah laku. Konsep keadilan itu baik, persahabatan itu baik, kebencian, permusuhan itu buruk yang semuanya masih bersifat abstrak universal, memerlukan penjabaran kriterianya. Persoalan yang timbul adalah analisa meta-etika yang m,enanyakan relevansi etika normatif, dalam kedudukannya sebagai etika makro. Pengalaman yang mengajarkan begitu nilai dasar dinormakan, maka akan kehilangan makna. Apakah pada dasarnya nilai-nilai dasar tidak membutuhkan pelembagaan khusus.

61

Kalau kesan terebut benar, sepatutnya kedudukan etika normatif ditinjau kembali sebagai pedoman. Persoalan yang baru muncul, atas dasar apa perbuatan manusia dinilai. Manusia tidak dapat hidup tanpa pedoman. Benturan antara kebutuhan terhadap etika normatif dengan keterbatasannya mengisyaratkan adanya kaitan meta-etika dalam persoalan etika normatif. 2. persoalan yang ingin dipecahkan adalah kenyataan bahwa manusia meta-etika memang tidak selalu menjamin kelurusan etika normatif, tetapi paling tidak ia tetap berfungsi sebagai petunjuk. Khususnya ketika suatu nilai dasar, sudah mulai dibuat sebagai norma yang tertutup. Etika normatif yang seharusnya berfungsi sebagai petunjuk, menjadi bergerak ke arah sebaliknya. Persoalan lain adalah menyangkut datangnya nilai dasar itu sendiri. a. Tinjauan Teori-teori dasar etika normatif 1) Ditinjau asal kejadiannya, etika normatif berkisar dalam dua pola dasar Pertama : Teori Deontologis (Yunani : Deon, yang diharuskan, yang wajib) mengatakan bahwa betul salahnya tindakan tidak dapat ditentukan dari akibat-akibat tindakan itu melainkan ada cara bertindak yang begitu saja terlarang, atau begitu saja wajib. Kedua : Teori Teleologois (Yunani : Telos, tujuan mengatakan bahwa betul tidaknya tindakan justru tergantung dari akibatakibatnya : kalau akibatnya baik, boleh atau bahkan wajib melakukan, kalau akibatnya buruk, tidak boleh. Ketentuan-ketentuan : Teori Deontologia, kelemahannya justru pada sifat mengharuskannya yang tidak dapat ditawar-tawar. Tentu saja kaidah seperti itu hanya akan menghilangkan keluwesan dalam menanggapi perubahan situasi, atau perkembangan waktu. Ekstrimnya, telah mendidik manusia bersikap fanatisme buta.

62

Di samping itu teori deontologis tidak mampu memecahkan dilema etis. Contoh : jangan membunuh orang lain. Lalu bagaimana kalau orang itu gila, mengamuk dan membunuh banyak orang. Situasinya hanya mengharuskan satu pilihan, orang itu harus dibunuh. Kelemahan Teori teleologis Menghilangkan dasar yang membawa kepastian. Setiap laternatif baru yang menguntungkan (akibatnya) dapat diakui sebagai normanya. Tidak mempunyai ketegasan Mudah terjebak pada kaidah untuk menghalalkan segala cara

Sehingga merampok, membunuh, memperkosa dapat dibenarkan apabila tujuannya baik. Antara teori dedontologis dengan teori teleologis, saling dapat mengisi kelemahan masing-masing. Situasi khusus dari teori teleologis, dapat dijadikan dasar pertimbangan, interprestasi dari deontologis. Sebaliknya,kekhasan deontologis dapat dimanfaatkan untuk mengarahkan teleologis, agar kepastian dalam menanggapi realitas dapat ditemui. 2) Ditinjau dari sudut aspirasinya. Ada dua pokok yang dapat digolongkan : Pertama : Sistem etika yang dibangun dari aspirasi atas, disusun dari sesuatu yang transenden yang telah diakui kekuatan dan kebenarannya. Vetikal dan berlakunya mutlak. Sering ditemui dalam etika keagamaan, yang melibatkan Tuhan dalam kerangka moralnya. Model ini mempunyai kelebihan dalam menjawab batas definitif kemanusiaan, yaitu maut dan kehidupan sesudahnya. Disebut Heteronomos (Adam Schaaf), - Adanya faktor luar kekuatan manusia yang ikut campur dalam memecahkan problem manusia. Kedua :

63

Sistem etika yang disusun melalui aspirasi bawah. Yang menjadi landasan adalah fenomena dan realita eksistensi manusia. Menurut sistem ini tidak mungkin manusia, akan tepat mengarahkan dirinya, jika ia tidak berangkat dari pengalaman hidupnya. Disebut Autonomos melalui experience vacue (Bergson). Persoalan : Dari sudut Agama, etika heteronomos tidak ada masalah. Soalnya menjadi lain dengan tinjauan filosofik. - Tidak berlaku bagi orang yang tidak beriman - Apakah kehendak Tuhan itu - Terperangkap dalam Irasionalisme Sistem etika Autonomos, terdapat kelemahan : - Kecenderungan humanisme mutlak yang menonjolkan akal, sehingga cenderung menghilangkan dimensi transedental. - Rasionalisasi yang menghilangkan aspek batiniah. Pemecahan : Sistem etika yang bersendikan rasionalitas mengandung resiko kerelativan dalam berlakunya. Hanya soalnya bagaimana etika keagamaan tidak terjebak pada sikap irasionalitas. Kerelativan tersebut dapat dihilangkan dengan sendi-sendi transendental. b. Alternatif Sistem etika Normatif problem umum 1. sejauh mana Etika Normatif mencerminkan nilai dasarnya, sehingga terbentuk peta norma moral yang bukan saja merupakan deretan rumus-rumus yang disodorkan secara baku, begitu saja melainkan hasil olahan nilai dasar dan disajikan secara bijaksana 2. Sistem etika, harus menghindarkan pengertian utopis (idealisme abstrak) yang terputus dari aspirasi kenyataan. Bagaimana nilai dasar dapat di implementasikan dalam situasi nyata. 3. Nilai-nilai sebagai aspirasi yang meliputi, dan menjiwai norma. Dalam pelaksanaannya diperhitungkan syarat pendukung, kemampuan, situasi kondisi pelaksanaan. 64

Bab 8 UNIVERSALITAS DAN RELATIVITAS NORMA MORAL


A. PERSOALAN-PERSOALAN YANG MENYANGKUT UNIVERSALITAS DAN RELATIVITAS NORMA MORAL 1. Tema pertanyaan tentang adanya kesenjangan antara "hal yang seharusnya" (das Sollen) dengan "hal yang senyatanya" (das Sein). 2. Tema pertanyaan tentang adanya banyak aliran dalam etika, mengapa hal itu terjadi, yang akhirnya berkembang ke arah pertanyaan-: Apakah ada norma Universal dalam Etika ? 3. Tema pertanyaan tentang kaitan antara Etika dengan bidang yang lain, misalnya Etika dengan Estetika, Etika dengan Politik, tentang peranan Etika, derajat (gradasi) norma mana yang lebih dipentingkan apabila terjadi pembenturan norma. 1) Tema Pertama Tema ini sebenarnya merupakan tema yang paling "sederhana" di antara pertanyaan yang diajukan. Contoh: Pertanyaan yang sering diajukan, adalah: "Apa sebab di dalam kehidupan, seringkali terjadi orang yang berbuat baik menurut ukuran Etika justru mendapatkan akibat yang tidak mengenakkan, sedangkan orang yang berbuat buruk menurut ukuran Etika justru hidupnya senang". Atau: "Orang yang jujur dan baik dalam pekerjaan tetap miskin, orang yang korup bisa kaya dan menikmati hidupnya". Ada fakta fundamental tentang hidup secara susila. Manusia dalam seluruh aspek hidupnya tergantung dari norma. Dan salah-satunya adalah norma moral. Norma moral mewajibkan manusia secara mutlak, tetapi di samping itu ia tidak memaksa orang. Di sinilah makna kebebasan: bebas untuk memilih, untuk mau taat kepada norma moral, dapat pula masa bodoh, bahkan dapat menentangnya. Di sini norma moral mengadakan dorongan yang terus menerus, tetapi orang bisa saja menentang perintah norma moral: barangkali di sini dapat dikerjakan, tetapi pada lain pihak tidak dapat dikerjakan. Sebab apabila manusia menentang norma moral, ia tahu bahwa ia berbuat buruk, ia ditegur oleh "insan kamil"-nya. Ada rasa bersalah dan menyesal. Norma moral dapat berfungsi mewajibkan, karena norma itu terbebas dari kemauan manusia. Manusia tidak menguasai norma moral, tetapi norma moral menguasai kita.

65

Norma moral mempunyai sifat sebagai perintah "kamu harus" dan "kamu jangan", tanpa menghiraukan kehendak atau keinginan yang bersangkutan. Norma moral tidak bersifat hipotetis atau bersyarat (Hipotetis adalah norma yang berlaku apabila manusia hendak mencapai tujuan tertentu). Termasuk jenis ini umpamanya aturan perkuliahan, yang mengatakan bagaimana orang harus kuliah, supaya cepat lulus, dengan nilai baik, secara formal, maupun mutu yang sebenarnya. Jadi aturan-aturan itu berlaku bagi orang yang ingin lulus dan jadi sarjana, sedangkan bagi orang yang memandang kelulusan dan kesarjanaan itu lebih rendah daripada hal lain, maka aturan tadi bisa diabaikan. Dan norma bersyarat itu didasarkan pada pengalaman. Kita bisa menyusun suatu aturan untuk mencapai tujuan tertentu, karena dari pengalaman kita bisa mengambil kesimpulan, pengalaman itulah yang bisa membawa secara cepat dan tepat ke arah tujuan. Tetapi norma moral bersifat kategoris atau tidak bersyarat. Perintah "jangan membunuh", "jangan memperkosa hak orang lain", tidak dimaksudkan sebagai aturan yang bersyarat, melainkan bersifat mutlak, tidak bersyarat. Pada norma moral tidak dikatakan bahwa kita jangan membunuh apabila kita ingin mencapai suatu tujuan tertentu, dan ini berarti berlaku untuk segala keadaan dan tidak bergantung kepada suatu tujuan tertentu. Sifatnya yang tidak bersyarat itu jelas terasa dalam perkataan "wajib". Suatu ungkapan khas norma moral yang oleh Drijarkara dalam buku Pertjikan Filsafat, dikatakan sebagai ikatan yang membebaskan. Kita terikat untuk melakukan kewajiban, tetapi justru kalau kita mengerjakan, kita akan merasa ringan, karena sesudah itu merasa "tidak mempunyai beban" apa pun. Dan perintah tidak bersyarat ini, tidak berasal dari pengalaman. Perintah kesusilaan berasal dari kenyataan yang transenden. "Jangan membunuh" dan "jangan memperkosa hak orang lain", tidak berdasarkan pengalaman. Walaupun, umpamanya dikatakan, "perkosaan hak" adalah merintangi dan merugikan perkembangan masyarakat. Tetapi jelas, perintah-perintah susila semacam itu tidak mempertimbangkan akibat-akibatnya. Di sini terdapat kecenderungan yang bersifat "deontis" yang menekankan pada aspek keharusan. Dan apabila Etika juga dikatakan bersifat "teleologis" yang menekankan pada aspek tujuan. Tujuan yang dimaksud, bukan berarti perintah kesusilaan menekankan pada akibat-akibat langsung dari perbuatan manusia. Tetapi norma susila atau moral bertujuan untuk membentuk manusia yang utuh, atau mengembalikan harkat kemanusiaan yang sebenarnya. Jadi apabila orang taat kepada norma moral, ada kemungkinan akibat yang didapatkan justru bukan merupakan akibat yang dihadapkan sebagai konsekuensi dari perbuatan. Ada kemungkinan dalam kehidupan manusia, perbuatan baik "dicela" dan perbuatan buruk "dipuji". Taat kepada norma moral, bisa berarti selamat, tetapi toh, selamat tidak selalu berarti dengan bermanfaat. Oleh karena itu pula, secara moral tidak dapat diterima, apabila. orang berbuat kebaikan demi upah. Apabila ada upah yang berwujud materi misalnya, ini hanya 66

sebagai akibat perbuatan yang baik, yang tidak dimaksudkan sebagai tujuan utama sebelum perbuatan itu dilakukan. Ada baiknya, kita menyimak kritik dari kaum Positivis bahwa pada umumnya "kesalahan" yang dilakukan adalah menganjurkan suatu perbuatan susila dengan menunjukkan akibat-akibat langsung yang menyenangkan dan memberikan kesukaan. Sehingga menimbulkan suatu kritik bahwa kebanyakan norma moral, perintah berbuat susila, ungkapan susila sebagai norma, perintah dan ungkapan yang emosional saja. Kritik ini dimulai dengan menunjukkan 2 (dua) kalimat kognitif (Lihat Kattsoff, Unsur-unsur Filsafat, Bab XVI). a. Kalimat kognitif analitik yang kebenarannya terkandung dalam istilahnya. Contohnya: "Segi empat mempunyai empat sisi". b. Kalimat kognitif yang sintetik, kebenarannya terkandung dalam realitas yang mendukungnya. Contohnya: "Di luar ruang ini hujan turun". Kalimat yang tidak analitik maupun yang tidak sintetik, tidak dapat dikatakan benar, walaupun diucapkan dengan sungguh-sungguh dan bagi yang mengucapkan, merupakan "kebenaran". Contohnya : Saya mengatakan "Alangkah cantiknya Lydia Kandou", walaupun saya ucapkan dengan sungguh-sungguh, belum tentu orang lain sependapat dengan saya. Di sinilah, sering dikatakan bahwa norma moral, walaupun diucapkan dengan kesungguhan, dianggap semata-mata sebagai hal yang emosional. Sebab akibat menyenangkan yang dijanjikan, merupakan akibat-akibat yang tidak dapat dipastikan. Contoh yang sering dikemukakan: Norma moral mengatakan, "jangan nyontek dalam ujian supaya selamat". Di sini tidak dipersoalkan kebenaran pernyataan itu, tetapi hubungan antara "jangan nyontek" dengan "supaya selamat". Apakah merupakan hal yang analitik berhubungan, sehingga "jangan nyontek" tidak dapat meniadakan "supaya selamat". Di sini ternyata kita bisa melihat bahwa 'selamat" tidaklah secara analitik berhubungan dengan "jangan nyontek". Kemudian, apakah ini merupakan kalimat sintetik, yaitu yang dapat dikuatkan dengan pengalaman atau realita yang empirik bahwa apabila "kita tidak nyontek", kita akan selamat", ataukah "yang nyontek" justru yang selamat. Sehingga di sini timbul kecurigaan bahwa apabila kita berbicara "jangan nyontek" karena kita merasa tidak mempunyai ilmu teknik penyontekan, atau tidak mempunyai kesempatan untuk nyontek, atau iri hati melihat orang lain yang nyontek dapat nilai tinggi, lulus cepat, dan sebagainya. Akhirnya motivasi kejiwaan itu diungkapkan dan disebut sebagai norma moral, perintah susila, tanggapan atau. ungkapan kesusilaan. Dan juga harus diingat bahwa kesalahan Naturalistik (menyamakan antara kebaikan dengan sesuatu yang lain, misalnya: "kesenangan" atau "kepentingan"), dalam. norma moral, sering juga menjadi sasaran kritikus norma moral. 67

Secara ideal, kita menerima tiga postulat bagi norma moral yang dikemukakan oleh Immanuel (1724-1804), yaitu: kebebasan kehendak, keabadian jiwa dan Tuhan yang dimaksudkan agar norma moral mendapatkan makna yang sebenarnya dan sebagai salah-satu jawaban tepat bagi persoalan di atas. Hanya masalahnya sekarang, bagaimana meyakinkan hal ini kepada orangorang yang sama sekali tidak mempunyai pengalaman keagamaan, atau mempunyai pengalaman keagamaan tetapi pengalaman itu berupa trauma kejiwaan yang menyakitkan. 2) Tema Kedua Tema pertama di atas adalah tema filsafat juga, di mana selalu berhadapan dengan persoalan antara hal yang seharusnya (das Sollen) dengan hal yang senyatanya (das Sein). Dalam bidang Etika itu sendiri secara terus-menerus terjadi perdebatan yang tak pernah bisa diramalkan kapan selesainya. Sebagian mempertahankan pendapat bahwa prinsip Etika bersifat umum, berlaku bagi setiap orang, setiap tempat dan setiap waktu. Oleh sebab itu tidak dibutuhkan adanya norma yang sifatnya khusus. Sebagian lagi berpendapat bahwa walaupun norma yang umum itu ada dan harus ada, selalu dibutuhkan norma yang sifatnya khusus. Apakah Etika mampu bertindak sebagai petunjuk jalan hidup, apakah Etika hanya sekedar menaruh perhatian pada prinsip baik tingkah-laku daripada keputusan yang harus diambil apabila terjadi suatu kasus. Akhirnya kita pun melihat persoalan Etika tidaklah semata-mata bersifat teoritik mum! mengenai gejala moral, karena pada akhirnya ia memang akan harus menjawab dan merumuskan "bagaimana seharusnya" hidup. Dan persoalan itu tidak sekedar ingin mengetahui spa yang baik dan spa yang buruk dalam perbuatan, melainkan juga mempersoalkan "bagaimana seharusnya" menjadi baik dan "bagaimana seharusnya" meninggalkan yang buruk. Saya kira pun, tujuan Etika tidak semata-mata menyodorkan prinsip-prinsip baik buruk yang kaku, melainkan yang lebih penting adalah menuntut tanggung jawab atas segala yang diperbuat dengan sadar, sengaja, sesuai dengan kadar kebebasan yang dimiliki oleh manusia. Tema kedua mengajukan pertanyaan yang "cukup sulit", yaitu bagaimana kita harus mengakui dan memperkuat pembenaran tentang norma moral mempunyai "kelebihan" di atas norma-norma yang lain. Andaikata norma moral mempunyai "kelebihan" tersebut, berarti ia mempunyai sifat yang universal dan mutlak berlakunya. Tetapi apakah benar pendapat tersebut, sebab mengapa di dalam kenyataan dunia tidak pernah terjadi adanya norma yang bulat, yang diakui oleh semua pihak dan sekaligus untuk dalam penjabaran dan pelaksanaannya. Adanya pandangan yang berbeda ada yang menganggap, kewajiban sebagai norma tertinggi, ada yang kesenangan, perwujudan diri, kekuasaan, adat dan bahkan Tuhan sebagai norma tertinggi, yang kesemuanya masih terpecah dalam aliran-aliran

68

yang juga saling bertentangan, telah memperkuat anggapan dan pertanyaan "Di mana letak universalita norma moral". Di sini nampak bahwa persoalan tidak sekedar terletak pada kesenjangan antara "hal yang seharusnya" (Das Sollen) dengan "hal Yang senyatanya" (das Sein), tetapi persoalan yang justru lebih baik, "Benarkah tidak ada kesenjangan dalam "hal yang seharusnya" (das Sollen) sendiri. Inilah persoalan yang menumbuhkan ungkapan "universalitas" dan "relativitas" norma moral. "Kalau begitu norma moral bersifat relatif". Paul Edward (ed.) dalam Encyclopedia of Philosophy menggolongkan bentuk relativisme ke dalam 3 macam: a. Relativisme kultural b. Relativisme normatif c. Relativisme meta etika. a. Relativisme Kultural Seringkali dalam pertemuan kuliah, dikemukakan pertanyaan oleh mahasiswa dengan disertai contoh-contoh, misalnya: "Dikatakan hak berbicara merupakan hak Yang Universal, tetapi mengapa di Indonesia mempunyai aturan yang berbeda dengan di Amerika Serikat". "Mengapa sampai terjadi perbedaan antara bunuh diri di tempat lain dengan harakiri di Jepang". "Bagaimana dengan kebiasaan suku Eskimo yang membunuh orang tuanya yang sudah renta justru sebagai perwujudan rasa cinta dan menghormat". Inilah letak dari Relativisme kultural, kita melihat perbedaan, tetapi sebelum melangkah lebih jauh, Yang paling penting melihat kesamaan nilai dasarnya. Dalam contoh pertama di atas kesamaan nilai dasarnya terletak dalam hal kesamaan menghormati salah-satu hak asasi manusia. Contoh kedua terletak dalam pengertian bahwa setiap tingkah laku perbuatan kita harus dihadapi dengan tanggung jawab dan contoh ketiga, terletak pada penghormatan dan rasa cinta kepada orang tua. Di sini kita tawarkan pendapat Sidney Hook, (Harsya Bachtiar, ed, Percakapan dengan Sidney Hook) bahwa persoalan semacam. ini harus didekati secara historis dan konkrit, dan tidak secara abstrak dan terlepas dari sejarah. Salah apabila mengandaikan masalah manusia, nasional, dan kebudayaan, bisa dipecahkan dengan begitu saja. Di sini kita dapat mengatakan bahwa pada setiap bangsa, setiap saat dan tempat, dengan beberapa pembahasan tertentu yang timbul dari setiap manusia haruslah memiliki hak atas pengadilan yang jujur. Melihat kesamaan nilai dasar dan pengakuan terhadap adanya perbedaan inilah yang justru dapat menerangkan mengapa ada relativisme ini. Yang tidak boleh sampai menjerumuskan kita dalam suatu pandangan bahwa norma saya baik dan norma orang lain buruk dan menganggap bahwa itu sebagai 69

prinsip dasar, yang akan menghilangkan makna nilai dasar. Sebab justru perbedaan situasi dan kondisi itulah yang menuntut untuk diterangkan secara tidak sama. Artinya, secara historis dan konkrit, budaya Indonesia tidak menerima cara bicara dan mengemukakan pendapat secara terang-terangan atau barangkali negara Indonesia terlalu menganggap risiko menanggung akibat kebebasan bicara, baik dari segi politik, ekonomi dan kebudayaan sendiri. Artinya, harakiri di Jepang bersangkutan erat dengan moral, seperti kita lihat dalam Koentjaraningrat (Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, halaman 98), faham moral Jepang terletak pada unsur-unsur, bertanggung jawab sampai sejauh-jauhnya kalau perlu dengan mengorbankan diri sendiri, terhadap sesuatu tugas yang telah disanggupi dan kesetiaan mutlak terhadap kesatuan sosial yang sudah dipilih untuk diikuti. Jadi harakiri di Jepang lain dengan Let's me go; by bay gon" karena ditinggal kekasih, padahal perut sudah terlanjur gendut. Artinya, membunuh orang tua renta di Eskimo bisa diterangkan secara rasional sebagai usaha membebaskan orang tua dari penderitaan, sebab kita toh bisa membayangkan, menanti maut di hawa dingin, bukan suatu pekerjaan yang ringan. b. Relativisme Normatif Pertanyaan yang diajukan pada umumnya berkisar pada suatu keraguan mahasiswa, "Apakah benar norma moral yang umum harus diterangkan begitu saja dalam kehidupan". "Apa sebabnya timbul bermacam-macam norma, di sini kita bisa berbicara di sana tidak". Kita sering melihat sebagian orang menganggap bahwa jika ada pernyataan norma moral yang sifatnya universal itulah yang memecahkan seluruh persoalan. Kalau ada pernyataan: "Saya harus jujur", maka pernyataan itu harus dipegang secara kaku, dengan mengabaikan pertimbangan lain. Padahal, adanya kasus menunjukkan bahwa ternyata memang dibutuhkan norma khusus untuk menangani situasi dan kondisi yang sifatnya khusus pula. Sehingga meskipun dibutuhkan prinsip universal, sering prinsip tersebut tidak dapat memecahkan masalah konkrit begitu saja. Tetapi harus diingat, tidak pula kita beranggapan bahwa tidak ada kriteria mutlak, baik dan buruk. Kita masih percaya adanya kriteria itu, sebab pengertian dan kesadaran terhadap kriteria mutlak baik dan buruk itulah dasar pengajaran, dan pendidikan Etika dan tanpa itu mustahil kita dapat menghayati ajaran Etika atau bahkan Agama. Nilai universal, prinsip universal, masih ada. Sebab, apabila sebuah norma moral tidak memiliki keuniversalan dan kemutlakan dalam nilai dasarnya, maka ia bukan norma moral. Contoh Relativisme Normatif: Sifat jujur, merupakan prinsip yang mutlak, tetapi dalam kehidupan suami istri, kita toh harus "menyembunyikan" sebagian pengalaman masa lampau demi kebahagiaan dan keutuhan rumah tangga.

70

Kebebasan bicara. Satu prinsip dalam hak asasi manusia yang bersifat umum universal. Tetapi layakkah dalam ruang sidang, peserta diskusi bicara satu sama lain selagi, seorang pemasaran sedang bicara? Layakkah apabila kebebasan bicara dipakai pula untuk membuat fitnah terhadap seseorang, golongan atau kelompok lain. Menolong orang, adalah tindakan yang bermoral. Jikalau ada orang yang jatuh di sungai, itu kewajiban saya untuk menolongnya, menurut norma moral umum. Tetapi apabila saya tidak ada di tempat kejadian, atau tidak memiliki alat untuk menolongnya, atau tidak bisa berenang, dan saya memaksa diri untuk menolong, maka saya menjadi orang yang paling tolol di dunia. Kita harus menafsirkan norma yang umum sebagai aspirasi yang meliputi dan menjiwai. Dan dalam pelaksanaannya kita memperhitungkan syarat-syarat pendukung, mempertimbangkan kemampuan dan tergantung dari situasi dan kondisi pelaksanaan. c. Relativisme Meta Etika Schumacher dalam Keluar dari Kemelut, halaman 153 mengatakan: "Di dalam keseluruhan filsafat, tak ada mata pelajaran yang lebih kacau, ketimbang Etika. Setiap orang yang meminta bimbingan tentang bagaimana sebaiknya ia bertingkah-laku dan datang kepada para profesor Etika, tak akan mendapatkan sesuatupun, kecuali banjir "pendapat". Dengan sedikit kekecualian, mereka memulai suatu penyelidikan mengenai Etika tanpa sebelumnya mendapat kejelasan tentang maksud manusia hidup di bumi". Jelaslah bahwa mustahil untuk menentukan apa yang baik dan buruk, benar atau salah, bajik, atau durjana tanpa suatu gagasan tentang maksud baik untuk apa dan sebagainya .... Jika pedoman kita, peta kehidupan kita yang bercatatan, tak dapat memperlihatkan kepada kita di mana letaknya yang baik dan bagaimana yang baik itu dapat dicapai maka peta itu tak berguna". Semua manusia, kata Sidney Hook, lebih sepakat, mengenai apa yang baik dan apa yang buruk daripada mengapa hal-hal tersebut baik dan mengapa buruk. Semua orang mengakui bahwa kesehatan baik, penyakit buruk, keadilan baik, ketidakadilan buruk, pengetahuan baik, ketidaktahuan buruk, dan sebagainya. Tidak ada pertentangan faham mengenai nilai-nilai dasar Etik ini, akan tetapi ada ketidakfahaman mengenai arti pernyataan meta Etik serta pembenarannya. Akhirnya, memang arah utama dari pertanyaan mahasiswa, apakah norma etika yang merupakan perumusan dari nilai dasar moral mampu mewakili makna dari nilai dasar tersebut. Sebab terjadi dalam kenyataan, apabila nilai dasar moral itu dirumuskan dalam norma, akan kehilangan makna yang sebenarnya. Keadilan baik, ketidakadilan buruk, cinta kasih baik, kebencian buruk, kemakmuran baik, kemiskinan buruk. Semua nilai dasar tersebut begitu dituangkan dalam norma, akhirnya pertanyaan "mengapa" semua itu baik dan buruk akan mendapatkan jawaban yang berbeda. Barangkali benar apa yang disinyalir oleh Kurt Baier (Lihat Von Magnis, Etika Umum, 1975, halaman 30) tentang adanya titik pangkal moral (the moral point of view). Kenyataan bahwa kita sering tidak mencapai

71

kesepakatan pendapat dalam norma moral hanya menunjukkan bahwa kita tidak mampu menempati titik pangkal moral tersebut yang berupa: 1) 2) 3) 4) 5) 6) Apabila semua pihak bebas dari paksaan dan tekanan. Tidak mencari keuntungan sendiri. Tidak berpihak dan berat sebelah. Bersedia untuk bertindak sesuai dengan kaidah yang dapat berlaku umum Mempunyai pengertian teoritik yang jelas, Mengetahui semua informasi yang bersangkutan dengan masalahnya. Persoalannya, apabila norma etika diragukan kedudukannya sebagai suatu batasan, kesulitan yang timbul memang atas dasar apakah perbuatan manusia dinilai baik buruknya. Akhirnya pula, persoalan yang menyangkut meta etika, adalah persoalan yang rumit. Pertanyaan tentang hakikat keadilan, hakikat ketidakadilan, bahkan hakikat kebaikan dan keburukan, seringkali tak dapat dijawab secara memuaskan. Pemecahan sementara yang ingin saya tawarkan adalah bagaimanapun sebuah norma etika harus bersifat terbuka, artinya terbuka kepada setiap pembenaran, penyangkalan, maupun terbuka dalam arti tidak menganggap normanya sendiri paling benar, dan norma orang lain salah. 3) Tema Ketiga Pertanyaan mahasiswa berkembang dari pertanyaan seperti: "Apa sebetulnya peran etik", "Apa betul norma etika kita letakkan di atas norma yang lain, tetapi norma etika yang mana"; atau pertanyaan yang mengundang senyum (sebab ditanyakan oleh mahasiswa yang cantik): "Bagaimana kalau dicium seorang wanita, melanggar norma moralkah, sebab di situ ada unsur membahagiakan orang lain dan unsur yang indah pula". Tema ketigalah yang sebetulnya meletakkan etika, sebagai praksiologi dan yang menyentuh secara langsung persoalan kehidupan keseharian manusia. Harus diakui bahwa penilaian bagi tingkah-laku manusia meliputi seluruh aspek dan segi kehidupan. Seluruh aspek hubungan yang melibatkan hubungan dengan diri sendiri, hubungan diri dengan manusia lain, hubungan diri dengan ikatan sosial dan lingkungan, serta hubungan diri dengan Pencipta. Etika mutlak bagi manusia, menjadi milik mutlak bagi manusia, sejauh manusia ingin mempunyai nilai secara manusiawi, manusia utuh. Di sini tidak ada pilihan lain kecuali ia harus selalu mempertahankan dan melaksanakan nilai-nilai moral. Kekuatan dan sekaligus kesadaran moral merupakan suatu kekuatan yang mendorong manusia, agar di dalam tingkah lakunya selalu ingat akan nilai moral. Etika itu sendiri berarti pula sikap untuk memahami pilihan yang seharusnya diambil di antara sekian banyak pilihan bertingkah laku. Yang patut dicatat bahwa norma moral dan perintah, untuk berbuat susila itu tidak semata-mata bersifat keras, mewajibkan dan mendorong orang secara otoriter 72

sebagai sifatnya. Tetapi harus dilihat dari sikap dan tanggapan manusia terhadap norma atau perintah tersebut. Apabila orang dengan ikhlas, sukarela mengerjakan apa yang diminta atau diperintahkan, oleh norma atau berbuat susila, maka hal tersebut akan menjelmakan pengaruh yang memberi kesukaan dan bermanfaat saja. Apabila manusia memasukkan dan melibatkan norma dan perintah tersebut di dalam kehendak dan perbuatannya sendiri, maka ia hampir 'tidak tahu" bahwa norma itu ada. Orang tersebut akan berada dalam suatu posisi yang tidak mengenal salah. Ini berarti kesempurnaan. Dalam keadaan yang demikian ia "tidak tahu" yang baik dan buruk, karena ia hanya berbuat yang baik-baik saja. la tidak memiliki "beban" apa pun. Barangkali kalau bisa dimasukkan ke dalam lingkup etika, maka ada ungkapan Friedriech Wilhelm Nietsche yang berbunyi "Amor Fati", yang artinya, kita tidak semata-mata menderita, tetapi bagaimana mencintai penderitaan itu. Juga identik dengan ajaran Zen Budhisme, kita jangan "melawan" sesuatu hal, tetapi kita harus "menerima" apa pun juga. Sebab melawan justru akan menimbulkan penderitaan. Kalau miskin, terimalah miskin itu dengan ikhlas, sebagai milik yang sah, dan kita tidak akan menderita karena kemiskinan kita. Untuk hal-hal tertentu dalam hidup kita, saya kira ajaran di atas bisa kita terima, khususnya dalam tanggapan kita terhadap norma-norma atau perintah kesusilaan. Akan tetapi kalau manusia mencoba melawan dan mencoba melepaskan dari "kekuasaan" norma moral, maka manusia akan mengenal norma dan perintah untuk berbuat susila tadi sebagai hal-hal yang bersifat keras, otoriter, dan memaksa. B. PENUTUP Sebagai penutup, saya ingin menekankan bahwa Etika sebagai pengetahuan tidak akan berguna tanpa dilandasi sikap tanggung jawab, sebab etika itu sendiri suatu perencanaan menyeluruh yang mengaitkan daya kekuatan alam dan masyarakat dengan bidang tanggung jawab manusiawi (Lihat: Van Peursen, Strategi Kebudayaan, halaman 193). Tanggung jawab hanya dapat dituntut apabila ada kebebasan untuk memilih. Apabila kebebasan sudah kita miliki, mampukah kita mempunyai keberanian moral dalam arti mau menanggung akibat apa pun dari perbuatan kita yang memilih prinsip kesusilaan atas dasar keyakinan kebenaran?

73

Anda mungkin juga menyukai