Anda di halaman 1dari 21

PARADIGMA ILMU, MACAM-MACAMNYA, PERGESERAN SERTA

PARADIGMA ISLAM UNTUK PENGEMBANGAN ILMU

Adib Muhammad ‘Ulwan


Mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Bahasa Arab Universitas Islam Negeri
Antasari Banjarmasin
Nim: 200211060126

Tugas Terstruktur Mata Kuliah Filsafat Ilmu


Dosen Pengampu: Dr. Muhammad Zainal Abidin, M.Ag,
Dr. Ahmad Muradi, M. Ag

Abstrak

Paradigma adalah pandangan yang mendasar dari para ilmuwan atau


peneliti mengenai apa yang seharusnya menjadi kajian dalam ilmu pengetahuan,
apa yang menjadi pertanyaannya dan bagaimana cara menjawabnya. Adapun
perbedaan paradigma terjadi karena adanya perbedaan teori yang digunakan,
metode dan instrument yang ada untuk mencapai suatu kebenaran. Pandangan
tentang paradigma ilmu akan selalu berubah antar waktu. Lahirnya paradigma
baru takkan pernah terlepas dari paradigma lama. Atau mungkin paradigma
yang muncul setelah sebelumnya sebagai paradigma penyempurna atas
kekurangan-kekurangan paradigma sebelumnya. Pergeseran paradigma akan
selalu muncul untuk mendapatkan realitas yang sesuai dengan masa atau waktu
yang selalu berganti sesuai dengan jaman dan peradaban yang ada di muka bumi
ini. Begitupula eksisnya paradigma islam yang kehadirannya diharapkan dapat
menjadi solusi bagi ketertinggalan umat Islam dalam perkembangan
pengetahuan, pemikiran, serta keilmuan.

Kata Kunci: Paradigma, Paradigma Ilmu, Paradigma Islam


Pendahuluan

Dewasa ini kajian tentang filsafat ilmu selalu saja menjadi bahan yang
hangat untuk didiskusikan, terlebih mengenai perkembangan paradigma yang
mana ia salah satu dari pada bahasan pokok dalam kajian filsafat ilmu. Betapa
tidak, sebab paradigma adalah cara pandang setiap individu mengenai suatu
pokok permasalahan yang bersifat fundamental untuk memahami suatu ilmu
maupun keyakinan dasar yang mana sangat mendasari tiap orang dalam
mengambil setiap tindakannya di kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu dalam
makalah ini digunakan metode deskriptif dimana untuk menemukan definisi-
definisi yang terkandung di dalam permasalahan untuk kemudian
menggabungkannya menjadi sebuah narasi agar dapat menjelaskan permasalahan
inti. Dan dari penelitian yang terdahulu dapat disimpulkan bahwa paradigma ilmu
pengetahuan akan selalu berubah antar waktu. Begitupun lahirnya paradigma
baru, tidak akan pernah terlepas dari paradigma sebelumnya. Atau mungkin
paradigma yang muncul setelah paradigma sebelumnya sebagai paradigma yang
selalu berusaha untuk memperbaiki kekurangan-kekurang yang ada pada
paradigma sebelumnya. Pergeseran paradigma akan selalu muncul untuk
mendapatkan realitas yang sebenarnya sesuai dengan masa atau waktu yang
selalu berganti sesuai dengan zaman dan peradaban yang ada di muka bumi. Oleh
karena itu penulis ingin mengajak para pembaca sekalian untuk mengetahui lebih
dalam mengenai pembahasan yang terkait dengan paradigma, macam-macamnya
hingga paradigma Islam sehingga dengan mengetahui semua corak paradigma
yang dibawakan di makalah ini diharapkan kita bisa berparadigma dengan
sebagaimana mestinya.

Pengertian Paradigma

Kata paradigma berasal dari bahasa Inggris yang merupakan kata serapan
dari bahasa Latin yaitu paradigma yang berarti suatu model atau pola. Juga dalam
bahasa Yunani paradeigma yang berarti membandingkan. Kata ini berasal dari
para yang berarti di samping, di sebelah dan deiknunai berarti memperlihatkan.
Sementara dalam Kamus besar bahasa Indonesia paradigma diartikan sebagai
model dari teori ilmu pengetahuan dan kerangka berpikir.1

Paradigma dapat didefinisikan bermacam-macam tergantung pada sudut


pandang yang menggunakannya. Berikut pendapat para pakar mengenai definisi
paradigma. Capra menyatakan bahwa paradigma adalah asumsi dasar yang
membutuhkan bukti pendukung untuk asumsi-asumsi yang ditegakkannya, dalam
menggambarkan dan mewarnai interpretasinya terhadap realita sejarah sains.
Sedangkan Kuhn mengemukakan bahwa paradigma adalah gabungan hasil kajian
yang terdiri dari seperangkat konsep, nilai, teknik dan lain-lain yang digunakan
secara bersamaan dalam suatu komunitas untuk menentukan keabsahan suatu
masalah berserta solusinya. Adapun paradigma menurut Guba didefinisikan
sebagai seperangkat keyakinan atau kepercayaan yang mendasari seseorang
dalam melakukan segala tindakan. Selanjutnya paradigma oleh Bhaskar diartikan
sebagai seperangkat asumsi yang dianggap benar apabila melakukan suatu
pengamatan supaya dapat dipahami dan dipercaya dan asumsi tersebut dapat
diterima. Dengan kata lain bahwa paradigma adalah sebuah bingkai yang hanya
perlu diamati tanpa dibuktikan karena masyarakat para pendukungnya telah
mempercayainya. Hanya tinggal kita saja yang perlu untuk mencermati berbagai
macam paradigma yang ada.2

Macam-Macam Paradigma

Terdapat empat paradigma ilmu pengetahuan yang dikembangkan dalam


menemukan hakikat realitas atau ilmu pengetahuan yaitu: Positivisme,

1
Syukri Abu Bakar, “PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN THOMAS S. KUHN DAN
RELEVANSINYA DENGAN KAJIAN KEISLAMAN,” Al-Ittihad: Jurnal Pemikiran dan Hukum Islam 6. No. 1 (Juni
2020): h. 48-49.
2
Erlina Diamastuti, “PARADIGMA ILMU PENGETAHUAN, SEBUAH TELAAH KRITIS,” Jurnal Akuntansi Universitas
Jember, no. Filsafat Ilmu (t.t.): h. 62.
Postpositivisme (Classical Paradigm, Conventionalism Paradigm), Critical
Theory (Realism) dan Konstruktivisme.3

1. Positivisme

Positivisme merupakan paradigma ilmu pengetahuan yang muncul paling


awal dalam dunia pengetahuan. Pada dasarnya aliran ini berasal dari paham
ontologi realisme yang menyatakan bahwa realitas ada (exist) dalam kenyataan
yang berjalan sesuai dengan hukum alam (natural laws). Dalam hal ini, penelitian
diupayakan untuk mengungkapkan kebenaran realitas yang ada, dan bagaimana
realitas tersebut senyatanya berjalan.4

Positivisme muncul pada abad ke-19 yang mana dipelopori oleh seorang
sosiolog Auguste Comte melalui karya monumentalnya yang terdiri dari enam
jilid dengan judul “The Course of Positive Philosophy”. Comte secara garis besar
menjabarkan prinsip-prinsip positivisme yang sampai saat ini masih banyak
digunakan. John Stuart Mill dari Inggris memodifikasi serta mengembangkan
pemikiran Comte lalu menuangkannya ke dalam sebuah karya yang cukup
monumental yang berjudul “A System of Logic”. Kemudian Emile Durkheim
seorang Sosiolog Perancis menguraikannya dalam bukunya “Rules of the
Sosiological Method ” yang kemudian menjadi rujukan bagi para peneliti ilmu
sosial yang beraliran positivisme.5

Menurut Emile Durkheim objek studi sosiologi adalah fakta sosial (social-
fact): “any way of acting, whether fixed or not, capable of exerting over the
individual an external constraint; or something which in general over the whole
of a given society whilst having an existance of its individual manifestation”.
Fakta sosial yang dimaksud meliputi: Bahasa, sistem hukum, sistem politik,

3
Mohammad Adib, Filsafat Ilmu, Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta:
PUSTAKA PELAJAR, 2010), h. 112.
4
Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu, Kajian atas Asumsi dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu
Pengetahuan (Yogyakarta: LESFI, 2016), h. 88.
5
Mohammad Muslih, h. 89.
pendidikan dan lain-lain. Meskipun fakta sosial berasal dari luar kesadaran
individu, tetapi dalam penelitian positivisme, informasi kebenaran itu ditanyakan
oleh peneliti kepada individu yang dijadikan responden penelitian. Untuk
mencapai kebenaran tersebut, maka seorang pencari kebenaran (peneliti) harus
menyakan langsung kepada objek yang diteliti, dan objek dapat memberikan
jawaban langsung kepada peneliti yang bersangkutan. Hubungan epistemologi ini
menempatkan si peneliti di belakang layar untuk mengobservasi hakekat realitas
apa adanya untuk menjaga objektivitas temuan. Karena itu secara metodologis,
seorang peneliti menggunakan metodologi eksperimen-empirik untuk menjamin
agar temuan yang diperoleh betul-betul objektif dalam menggambarkan keadaan
yang sebenarnya. Mereka mencari ketepatan yang tinggi, pengukuran yang akurat
dan penelitian objektif, juga mereka menguji hipotesis melalui analisis terhadap
bilangan-bilangan yang berasal dari pengukuran.6

Di dalam koredor positivisme telah ditetapkan bahwa objek ilmu


pengetahuan maupun pernyataan-pernyataan seputar ilmu pengetahuan
(Scientific Proporsition) haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1) Dapat diamati/teramati (observable)


2) Dapat diulang/terulang (repeatable)
3) Dapat diukur/terukur (measurable)
4) Dapat diuji/teruji (testable)
5) Dapat diprediksi/terprediksi (predictable)

Adapun syarat 1 sampai 3 adalah syarat-syarat yang diberlakukan atas


objek ilmu pengetahuan, sedangkan dua syarat terakhir diberlakukan atas
proposisi-proposisi ilmiah karena syarat-syarat tersebutlah paradigma
positivisme ini sangat bersifat behavioral, operasional dan kuantitatif.

6
Mohammad Muslih, h. 89.
Paradigma positivisme telah menjadi pegangan para ilmuwan untuk
mengungkap kebenaran realitas. Setelah positivisme berjasa dalam kurun waktu
yang cukup lama yaitu + 400 tahun, kemudian berkembanglah setelahnya
sejumlah aliran paradigma baru yang menjadi landasan pengembangan ilmu
dalam berbagai bidang kehidupan.7

2. Postpositivisme

Paradigma yang satu ini merupakan aliran yang ingin memperbaiki


kelemahan dan kekurangan paradigma positivisme, yang hanya mengandalkan
kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Secar ontologis
aliran ini bersifat critical relism yang memandang bahwa realitas memang ada
dalam kenyataan sesuai hukum alam, tetapi satu hal yang mustahil adalah
bilamana suatu realitas dapat dilihat secara benar oleh manusia (peneliti). Oleh
karena itu, secara metodologis pendekatan eksperimental melalui observasi
tidaklah cukup, tetapi harus menggunakan metode tringulation yaitu penggunaan
bermacam-macam metode, sumber data, peneliti, dan teori. 8

Secara epistemologis, hubungan antara pengamat atau peneliti dengan


objek atau realitas yang diteliti tidaklah bisa dipisahkan, seperti yang diusulkan
oleh aliran positivisme. Aliran ini menyatakan bahwa suatu hal tidak mungkin
mencapai atau meraih kebenaran apabila pengamat berdiri di belakang layar
tanpa ikut terlibat dengan objek secara langsung. Oleh karena itu, hubungan
antara pengaman dengan objek harus bersifat interaktif, dengan catatan bahwa
pengamat harus bersifat se-netral mungkin, sehingga tingkat subjektifitas dapat
dikurangi secara minimal.9

Untuk mengetahui lebih jauh tentang postpotivisme empat pertanyaan


dasar berikut, akan memberikan gambaran tentang posisi aliran ini dalam kancah

7
Mohammad Muslih, h. 90.
8
Mohammad Muslih, h. 90.
9
Mohammad Muslih, h. 90.
paradigma ilmu pengetahuan. Pertama, Bagaimana sebenarnya posisi
postpositivisme diantara paradigma-paradigma ilmu yang lain? Apakah ini
merupakan bentuk lain dari positivisme yang posisinya lebih lemah? Atau karena
aliran ini datang setelah positivisme sehingga dinamakan postpositivisme? Harus
diakui bahwa aliran ini bukan suatu filsafat baru dalam bidang keilmuan, akan
tetapi memang amat dekat dengan paradigma positivisme. Salah satu indikator
yang membedakan antara keduanya bahwa postpositivisme lebih mempercayai
proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi melalui berbagai macam
metode. Dengan demikian suatu ilmu telah benar-benar mencapai objektivitas
apabila telah diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai cara.

Kedua, Bukankah postpositivisme bergantung pada paradigma realisme


yang sudah sangat tua dan usang? Dugaan ini tidak semuanya benar. Pandangan
awal aliran positivisme (old positivism) adalah anti realis, yang menolak adanya
realitas dari suatu teori.Namun Realisme modern bukanlah kelanjutan atau hasil
dari aliran positivisme, tetapi merupakan perkembangan akhir dari pandangan
postpositivisme.10

Ketiga, banyak postpositivisme yang berpengaruh yang merupakan


penganut realisme. Bukankah hal tersebut menunjukkan bahwa mereka tidak
mengakui adanya sebuah kenyataan (multiple realities) dan setiap masyarakat
membentuk realitas mereka sendiri? Pandangan ini tidak benar karena relativisme
tidak sesuai dengan pengalaman sehari-hari dalam dunia ilmu. Yang pasti
postpositivisme mengakui bahwa paradigma hanyalah berfungsi sebagai lensa
bukan sebagai kacamata. Selanjutnya, relativisme mengungkap bahwa semua
pandangan itu benar, sedangkan realis hanya berkepentingan terhadap pandangan
yang dianggap terbaik dan benar.11

10
Mohammad Muslih, h. 91.
11
Mohammad Muslih, h. 92.
Postpositivisme menolak pandangan bahwa masyarakat dapat menentukan
banyak hal sebagai hal yang nyata dan benar tentang suatu objek oleh anggotanya.

Keempat, karena pandangan bahwa persepsi orang berbeda-beda, maka


tidak ada sesuatu yang benar-benar pasti. Bukankah postpotivisme menolak
kriteria objektivitas? Pandangan ini sama sekali tidak bisa diterima. Objektivitas
merupakan indikator kebenaran yang melandasi semua penyelidikan. Jika kita
menolak prinsip ini, maka tidak ada yang namanya penyelidikan. Yang ingin
ditekankan bahwa objektivitas tidak menjamin untuk mencapai kebenaran.

3. Konstruktivisme

Konstruktivisme, adalah salah satu diantara banyak paham yang


menyatakan bahwa positivisme dan postpositivisme merupakan paham yang
keliru dalam mengungkap realitas dunia. Oleh karena itu, kerangka berpikir
kedua paham tersebut harus ditinggalkan dan diganti dengan paham yang bersifat
konstruktif. Paradigma ini muncul melalui proses yang cukup lama setelah sekian
generasi ilmuwan sebelumnya berpegang teguh pada paradigma positivisme.
Konstruktivisme muncul setelah sejumlah ilmuwan menolak tiga prinsip dasar
positivisme: (1) Ilmu merupakan upaya mengungkap realitas; (2) Hubungan
antara subjek dan objek penelitian harus dapat dijelaskan; (3) Hasil temuan
memungkinkan untuk digunakan sebagai proses generalisasi pada waktu dan
tempat yang berbeda.12

Pada awal perkembangannya paradigma ini mengembangkan sejumlah


indikator sebagai pijakan dalam melaksanakan penelitian dan pengembangan
ilmu. Beberapa indikator itu antara lain: (1) Penggunaan metode kualitatif dalam
proses pengumpulan data dan kegiatan analisis data; (2) Mencari relevansi
indikator kualitas untuk mencari data-data lapangan; (3) Teori-teori yang
dikembangkan harus lebih bersifat membumi (grounded theory); (4) Kegiatan

12
Mohammad Muslih, h. 93.
ilmu harus bersifat natural yaitu apa adanya ketika pengamatan dan terhindar dari
kegiatan penelitian yang telah diatur dan berorientasi serta bersifat laboratorium;
(5) Pola-pola yang diteliti berisi kategori-kategori jawaban menjadi unit analisis
dari variabel-variabel penelitian yang kaku dan steril; (6) Penelitian lebih besifat
partisipatif daripada mengontrol sumber-sumber informasi dan lain-lainnya.13

Secara ontologis, paradigma ini menyatakan bahwa realitas bersifat sosial


dan karena itu akan menumbuhkan bangunan teori atas realitas majemuk dari
masyarakatnya. Dengan demikian, tidak ada suatu realitas yang dapat dijelaskan
secara tuntas oleh suatu ilmu pengetahuan. Realitas ada sebagai seperangkat
bangunan yang menyeluruh dan bermakna yang bersifat konfliktual dan dialektis.
Karena itu, paham ini menganut prinsip relativitas dalam memandang suatu
fenomena alam atau sosial. Jika tujuan penemuan ilmu dalam positivisme adalah
untuk membuat generalisasi terhadap fenomena alam atau sosial. Jika tujuan
penemuan ini dalam positivisme adalah untuk membuat generalisasi terhadap
fenomena alam lainya, maka kostruktivisme lebih cenderung menciptakan ilmu
yang diekspresikan dalam bentuk pola-pola teori, jaringan atau hubungan timbal
balik sebagai hipotesis kerja, bersifat sementara, lokal dan spesifik. Dalam
pernyataan lain, realitas itu merupakan konstruksi mental, berdasarkan
pengalaman sosial, bersifat lokal dan spesifik dan tergantung pada orang yang
melakukannya. Karena itu suatu realitas yang diamati sesorang tidaklah bisa
digeneralisasikan kepada semua orang seperti yang biasa dilakukan kalangan
positivis atau postpositivis.14

Sejalan dengan itu, secara filosofis, hubungan epistemologis antara


pengamatan dan objek menurut aliran ini bersifat suatu kesatuan, subjektif dan
merupakan hasil perpaduan interaksi di antara keduanya. Sementara secara
metodologis, paham ini secara jelas menyatakan behwa penelitian harus

13
Mohammad Muslih, h. 93.
14
Mohammad Muslih, h. 94.
dilakukan di luar laboratorium, yaitu di alam bebas secara sewajarnya (natural)
untuk menangkap fenomena alam apa adanya dan secara menyeluruh tanpa
campur tangan dan manipulasi pengamat atau pihak peneliti. Dengan setting
natural tersebut, maka metode yang paling banyak digunakan adalah metode
kualitatif daripada metode kuantitatif.

Suatu teori muncul berdasarkan data yang ada, bukan dibuat sebelumnya,
dalam bentuk hipotesis sebagaimana dalam penelitian kuantitatif. Untuk itu
pengumpulan data dilakukan metode hermeneutik dan dialektik yang difokuskan
pada konstruksi, rekonstruksi dan elaborasi suatu proses sosial. Metode pertama
dilakukan melalui identifikasi kebenaran atau konstruksi pendapat dari orang-
perorang, sedangkan metode kedua mencoba untuk membandingkan dan
menyilangkan pendapat dari orang-perorang yang diperoleh melalui metode
pertama untuk memperoleh suatu konsensus kebenaran yang disepakati bersama.
Dengan demikian, hasil akhir dari suatu kebenaran merupakan perpaduan
pendapat yang bersifat reflektif, subjektif dan spesifik mengenai hal-hal tertentu.
Dengan ditemukannya paradigma konstruktivisme ini, dapat memberikan
alternatif paradigma dalam mencari kebenaran tentang realitas sosial, sekaligus
menandai terjadinya pergeseran model rasionalitas untuk mencari dan
menentukan aturan-aturan ke model rasionalitas praktis yang menekankan
peranan contoh dan interpretasi mental. Konstruktivisme dapat melihat warna dan
corak yang berbeda dalam berbagai disiplin ilmu, khususnya disiplin ilmu-ilmu
sosial, yang memerlukan intensitas interaksi antara peneliti dan objek yang
dicermati, sehingga akan berpengaruh pada nilai-nilai yang dianut, etika,
akumulasi pengetahuan, model pengetahuan dan diskusi ilmiah. 15

15
Mohammad Muslih, h. 95.
4. Critical Theory

Aliran yang satu ini sebenarnya tidak dapat dikategorikan sebagai suatu
paradigma, tetapi lebih tepatnya dapat disebut dengan ideologically oriented
inquiry, yaitu suatu wacana atau cara pandang terhadap realitas yang mempunyai
orientasi ideologis terhadap paham tertentu. Ideologi ini meliputi: Neo-
Marxisme, Materialisme, Feminisme, Freireisme, Partisipatory inquiry, dan
paham-paham lainnya. Critical Theory merupakan suatu aliran pengembangan
keilmuan yang berdasarkan pada suatu konsepsi kritis terhadap berbagai
pemikiran dan pandangan yang sebelumnya ditemukan sebagai paham keilmuan
lainnya.16

Dilihat dari segi ontologis, paradigma ini agak serupa dengan post-
positivisme yang menilai objek atau realitas secara (critical realism), yang tidak
dapat dilihat secara benar oleh pengamatan manusia. Karena itu untuk mengatasi
masalah ini, secara metodologis paham ini mengajukan metode dialog dan
komunikasi dengan transformasi untuk menemukan kebanaran realitas yang
hakiki. Secara epistemologis, hubungan antara pengamat dengan realitas yang
menjadi objek merupakan suatu hal yang tidak bisa dipisahkan. Karena itu, aliran
ini lebih menekankan pada konsep subjektivitas dalam menemukan ilmu
pengetahuan, karena nilai-nilai yang dianut oleh subjek atau pengamat sangat
berperan dalam menentukan kebenaran tentang suatu hal. 17

Terdapat dua konsepsi tentang Critical Theory yang perlu diuraikan dalam
makalah ini. Pertama, kritik internal terhadap analisis argumen dan metode yang
digunakan dalam berbagai penelitian. Kritik ini difokuskan pada alasan teoritis
dan prosedur dalam memilih, mengumpulkan dan menilai data empiris. Dengan
demikian aliran ini amat mementingkan alasan, prosedur dan bahasa yang
digunakan dalam mengungkap suatu kebenaran. Karena itu, penilaian silang yang

16
Mohammad Muslih, h. 95.
17
Mohammad Muslih, h. 96.
secara kontinyu dan pengamatan data secara intensif merupakan ‘ciri khas’
paradigma ini. Kedua, makna critical dalam menformulasikan masalah logika.
Logika bukan hanya melibatkan pengaturan formal dan kriteria internal dalam
pengamatan tetapi juga melibatkan bentuk-bentuk khusus dalam pemikiran yang
difokuskan pada skeptisisme (rasa ingin tahu dan rasa ingin bertanya) terhadap
kelembagaan sosial dan konsepsi tentang realitas yang berkaitan dengan ide,
pemikiran dan bahasa melalui kondisi sosial historis. Critical dalam konsep ini
berkaitan dengan kondisi pengaturan sosial, distribusi sumber daya yang tidak
merata dan kekuasaan.18

Paling sedikit ada enam tema pokok yang menjadi ciri paradigma Critical
Theory dalam praktik keilmuan. Pertama: problem prosedur, metode dan
metodologi keilmuan. Pada umumnya prosedur, metode dan metodologi dalam
penelitian suatu bidang keilmuan merupakan suatu hal yang terpisah dan rigid
dan cenderung untuk melupakan hal-hal yang bersifat sosial dan historis. Dalam
konsepsi Critical Theory, hal ini adalah sesuatu yang tidak dibenarkan sebab
prosedur dan metode bukan suatu hal yang berdiri sendiri melainkan merupakan
bagian dari kehati-hatian, pertanyaan dan praktek yang sedang berlaku di
masyarakat.19

Kedua: perumusan kembali standard dan aturan keilmuan sebagai logika


dalam konteks historis. Dalam paradigma yang telah diterima secara umum,
logika ilmu biasanya diperoleh melalui proses yang valid dan kontinyu dalam
menjelaskan dan menformulasikan ilmu pengetahuan sebagai pengembangan dan
bersifat progresif dan kumulatif. Formulasi ini dalam konteks Critical Theory
tidak selamanya benar. Dalam beberapa hal logika ilmu dapat berubah, tetapi
tidak selalu kumulatif dan progresif, tetapi dapat terjadi sebagai potongan-
potongan pengalaman dan praktik dalam transformasi sosial. Oleh karenanya,

18
Mohammad Muslih, h. 96.
19
Mohammad Muslih, h. 97.
standard dan aturan keilmuan lebih banyak dipahami sebagai logika yang
berkembang dalam konteks sejarah yang terjadi dalam masyarakat. 20

Ketiga: dikotomi: objek dan subjek. Dalam berbagai penelitian ilmu,


penekanan terhadap objektifitas merupakan suatu keharusan agar temuan yang
didapat lebih berarti. Adapun hal-hal yang bersifat subjektif hendaknya dihindari
sejauh mengkin. Mengenai pemisahan antara dua unsur ini, menurut pandangan
Critical Theory merupakan suatu hal yang dibuat-buat. Dalam praktik, hal-hal
yang bersifat hard data dalam bentuk angka, analisis kuantitatif tidak dapat
dipisahkan dengan soft data yaitu pikiran, perasaan dan persepsi orang yang
menganalisis. Karena itu, dikotomi semacam itu tidak mendapat tempat dalam
paradigma ini.21

Keempat: keberpihakan ilmu dalam interaksi sosial. Paradigma lama selalu


berpandangan bahwa ilmu merupakan sesuatu yang netral (science is a value free)
dan ilmu tidak mengenal perbedaan-perbedaan dalam masyarakat untuk
mengungkap kebenaran realitas yang ada. Pertanyaan-pertanyaan di atas menurut
Critical Theory tidak realistis dalam kehidupan sehari-hari. Ilmu itu diciptakan
memang untuk memihak pada keadaan, kelompok atau orang-orang tertentu,
sesuai yang disukai oleh penggagasnya. Banyak ilmu-ilmu murni yang dianggap
netral yang diciptakan untuk digunakan mempertahankan suatu kelompok,
ideologi dan paham-paham tertentu. Sebagai contoh, kaidah pasar bebas dalam
sistem ekonomi kapitalis walaupun dianggap netral dan natural, namun tetap
digunakan untuk melanggengkan paham liberalisme yang dijunjung tinggi oleh
dunia Barat.

Kelima: pengembangan ilmu merupakan produksi nilai-nilai. Ilmu yang


dikembangkan selama ini, bukan semata-mata hanya untuk mengungkap realitas
yang ada dan mencari kebenaran dari realitas tersebut. Namun pengembangan

20
Mohammad Muslih, h. 97.
21
Mohammad Muslih, h. 97.
ilmu juga diarahkan untuk memproduksi nilai-nilai yang dapat dijadikan
pegangan manusia dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, ilmu statistik
yang diciptakan sebagai alat untuk menganalisis fenomena alam bukan hanya
sebagai alat untuk mengungkap realitas tetapi juga menciptakan nilai-nilai pasti,
kaku dan asosial dalam masyarakat. Demikian pula dengan temuan-temuan
lainnya dalam berbagai bidang kehidupan, yang kesemuanya diarahkan untuk
memproduksi sejumlah nilai yang dapat digunakan oleh orang lain dalam
menjalani hidupnya.22

Keenam: ilmu pengetahuan (khususnya ilmu sosial) merupakan studi


tentang masa lalu. Paradigma yang menyatakan bahwa ilmu pengetahuan
merupakan hasil studi masa kini, merupakan pernyataan yang kurang masuk akal.
Hampir semua ilmu sosial pada dasarnya merupakan studi tentang keteraturan
sosial pada masa lampau. Hasilnya memang digunakan untuk mempelajari atau
menghindari hal-hal yang dianggap kurang bermanfaat dalam berbagai aspek
realitas kehidupan masyarakat pada masa yang akan datang. Karena itu, ilmu
merupakan masa depan secara tidak langsung, namun bukan karena ilmu dapat
memprediksi dan mengontrol, melainkan ilmu dapat mengatur fenomena yang
dapat menuntun kita tentang berbagai kemungkinan, dan di sisi lain ilmu juga
dapat menyaring kemungkinan-kemungkinan yang lain.

Keempat paradigma yang telah disebutkan memiliki tampilan yang sangat


berbeda. Dengan melihat paparan di atas maka timbul pertanyaan, paradigma
manakah yang paling baik? Jawabnya tidak ada satupun paradigma yang sanggup
mengungguli satu sama lain, mengingat paham ini merupakan cara pandang
seseorang terhadap suatu realitas yang tergantung pada keadaan tertentu. Dalam
bidang-bidang ilmu eksak, biasanya paham positivisme dan postpositivisme yang

22
Mohammad Muslih, h. 98.
mungkin paling banyak digunakan, sedangkan di bidang sosial, critical theory
atau konstruktivisme-lah yang menjadi pegangan.23

Pergeseran Paradigma (Shifting Paradigm)

Istilah paradigm shift atau perubahan paradigma, pada awalnya digunakan


oleh M. Polanyi dan dikembangkan oleh Thomas Kuhn. M. Polanyi dan Thomas
Kuhn, meyakini bahwa pengalaman subjektif ilmuwan menjadikan ilmu
pengetahuan sebagai suatu disiplin yang relatif.24 Pergeseran paradigma diartikan
sebagai perpindahan persepsi dan cara pandang tentang suatu objek keilmuan
tertentu dari pandangan lama ke pandangan baru, dari kebenaran lama ke
kebenaran baru. Konsepsi tentang pergeseran paradigma membuka kesadaran
bersama bahwa para ilmuan itu tidak selamanya meyakini sebuah produk
keilmuan itu sebagai sesuatu yang final kebenarannya, obyektivitas atau
kebenaran itu bersifat relatif dan ada saatnya jika sebuah obyektivitas atau
kebenaran ilmiah itu mulai diragukan validitasnya dan beralih pada keyakinan
kebenaran paradigma baru.25

Para ilmuanpun pada awalnya meyakini sebuah kebenaran keilmuan yang


sudah mapan sekaligus menjadi penerus penemuan ilmiah dari paradigma lama.
Perkembangan selanjutnya, para ilmuan selalu mengadakan penelitian ilmiah
dengan berbagai pendekatan ilmiah dan inovasi-inovasi baru, sehingga berhasil
menemukan sehimpunan pengetahuan normal (normal science) dan tidak lagi
meragukan kebenarannya.

Pada masa normal science ini ilmu pengetahuan dalam posisi mampu
menjawab masalah dan mampu memunculkan solusi. Tetapi seiring dengan
perkembangan waktu, pada masanya ilmu pengetahuan akan mengalami

23
Mohammad Muslih, h. 99.
24
Nur Akhda Sabila, “Paradigma dan Revolusi Ilmiah Thomas S. Khun (Aspek Sosiologis, Antropologis, dan
Historis dari Ilmu Pengetahuan),” Zawiyah: Jurnal Pemikiran Islam 5. No.1 (Juli 2019): h. 92.
25
Inayatul Ulya dan Nushan Abid, “Pemikiran Thomas Kuhn dan Relevansinya Terhadap Keilmuan Islam,”
FIKRAH: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan 3. No. 2 (Desember 2015): h. 267.
kegagalan dalam mengatasi masalah-masalah yang timbul dan hanya akan
memunculkan anomaly saja. Keadaan tersebut berimplikasi pada keraguan
masyarakat tentang kebenaran keilmuan pada masa lalu sehingga hal ini
memotivasi munculnya paradigma baru yang dapat menawarkan alternatif solusi.
Paradigma baru yang muncul ini akan membuat para ilmuan lain kembali
melakukan penelitian-penelitian lanjutan untuk meneliti kebenaran baru tersebut.
Sehingga apabila paradigma baru tersebut dapat diterima sebagai sebuah
kebenaran ilmiah dan mengalahkan paradigma lama, maka paradigma lama akan
mulai ditinggalkan dan beralih pada paradigma baru, keadaan inilah yang disebut
sebagai pergeseran paradigma.

Menurut Thomas Kuhn, para ilmuan dalam komunitas keilmuan tertentu


mampu menjelaskan realitas dengan kebenaran ilmiah tertentu yang dianggap
sangat efektif dengan instrumen yang efisien dalam menemukan jumlah dan
ketepatan masalah melalui cara pergeseran paradigma.26

Berdasarkan uraian di atas, pergeseran paradigma (Shifting Paradigm)


dapat dimaknai sebagai berikut:

a. Menampilkan logika berfikir baru karena ketidakmampuan logika


berfikir lama untuk menyelesaikan masalah-masalah baru yang muncul.

b. Merupakan hal yang natural bahwa dalam pengembangan keilmuan,


paradigma lama yang dibangun selalu memunculkan asumsi-asumsi baru baik
disadari ataupun tidak. Hal inilah yang mendasari munculnya masalah baru dan
tidak dapat diselesaikan berdasarkan teori dan paradigma lama.

c. Kemunculan paradigma baru dapat menawarkan solusi baru, tetapi


berimplikasi pada berpalingnya paradigma lama ke paradigma baru dan terkesan

26
Inayatul Ulya dan Nushan Abid, h. 268.
berbenturan. Sehingga, paradigma baru terkadang disikapi dengan kecurigaan
dan bahkan permusuhan.

Namun pergeseran paradigma lebih jauhnya akan menciptakan suatu


pengembangan dalam paradigma ilmu pengetahuan baik itu secara umum
ataupun dalam keilmuan Islam sendiri. 27

Paradigma Islam Untuk Pengembangan Ilmu

Pada pembahasan sebelumnya kita telah berbicara panjang lebar tentang


paradigma ilmu pengetahuan, baik itu macam-macamnya, karakteristik, serta
manfaatnya bagi masyarakat pada umumnya, terlepas dari unsur agama apapun.
Dan dari sini kita akan memulai bahasan paradigma yang dikaji serta
dikembangkan oleh cendekiawan islam yang mana nantinya buah fikiran mereka
akan menjadi cikal bakal berkembangnya paradigma Islam yang membuat umat
islam mengalami kemajuan dalam berpikir sehingga ke depannya akan terbuka
kemungkinan-kemungkinan lahirnya paradigma baru yang akan
menyempurnakan paradigma lama yang sebelumnya dikemukakan oleh para
pakar cendekiawan Muslim.

Jika berbicara mengenai tokoh pemikir dunia barat yang pandangan


mengenai paradigmanya sangat dikenal oleh orang-orang banyak, maka
muncullah nama Thomas Kuhn, namun di Indonesia sendiri terdapat seorang
tokoh yang pemikirannya sangatlah berpengaruh dalam paradigma Islam, dialah
KuntoWijoyo.

Sebelum beranjak kepada pemikiran KuntoWijoyo mari kita berpikir serta


merenung sejenak mengenai realitas ilmu dalam dunia Islam yang seakan-akan
tidak memiliki progres signifikan dalam perkembangannya sedang di saat yang
bersamaan umat Islam dihadapkan kepada tantangan dan perubahan zaman yang

27
Erlina Diamastuti, “PARADIGMA ILMU PENGETAHUAN, SEBUAH TELAAH KRITIS,” h. 63.
amat kompleks. Namun di sisi lain dunia barat dengan gencarnya terus-terusan
mengembangkan ilmu-ilmu modern seperti sains kealaman, sosiologi,
antropologi, psikologi, hermeneutika, dan ilmu-ilmu lainnya sebagai bentuk
respon yang sangat nyata oleh ilmuwan barat terhadap realitas dan kebutuhan
masyarakat mereka.28

Oleh sebab itu muncullah KuntoWijoyo dengan gagasan paradigma


ilmunya yang bersifat integralistik, sebagai jalan tengah terhadap dua model
keilmuan yang berkembang di kalangan umat muslim yang mana model pertama
adalah mereka yang bertahan dengan model ilmu-ilmu keislaman klasik, yang
meski sarat dengan nilai-nilai keislaman, namun sangat terbatas serta kurang
memiliki relevansi yang signifikan atas keperluan umat di zaman modern ini.
Adapun model kedua adalah mereka yang mengadopsi ilmu-ilmu barat, yang
mana lebih relevan dengan realitas zaman sekarang, namun berpijak pada nilai-
nilai yang berbeda dengan Islam.29

Sebagaimana yang diungkapkan oleh M. Zainal Abidin (2016) dalam


bukunya Paradigma Islam Dalam Pembangunan Ilmu Integralistik: Membaca
Pemikiran KuntoWijoyo dari segi konstruksi paradigma Islam Kuntowijoyo
berpijak pada semangat pengilmuan Islam dalam pembangunan ilmu yang
integralistik. Ilmu menjadi pilihan dalam menyelesaikan berbagai persoalan
umat. Perspektif ilmu juga dipergunakan dalam menggali sumber ilmu. Yang
berasal dari 3 sumber ilmu; ayat-ayat qauliyyah, ayat-ayat kauniyyah, dan ayat-
ayat insâniyyah, KuntoWijoyo menetapkan Al-Quran (ayat-ayat qauliyyah)
sebagai dasar paradigma Islam. Untuk kepentingan tersebut, maka digunakan dua
pendekatan dalam memahami Al-Quran. Yang pertama pendekatan sintesis

28
Muhammad Zainal Abidin, PARADIGMA ISLAM DALAM PEMBANGUNAN ILMU INTEGRALISTIK: MEMBACA
PEMIKIRAN KUNTOWIJOYO (Yogyakarta: IAIN ANTASARI PRESS, 2016), h. iii.
29
Muhammad Zainal Abidin, h. iv.
untuk pesan-pesan Al-Quran yang berkaitan dengan kisah atau amtsal. Yang
kedua pendekatan analitis berkaitan dengan konsep-konsep kunci Al-Quran.

Dari segi metodologis, paradigma Islam menawarkan konsep integralisasi


dan objektifikasi. Integralisasi, yaitu pemaduan antara ilmu-ilmu wahyu dan
temuan-temuan manusia. Objektifikasi, yaitu produk ilmu harus benar-benar
bersifat objektif. Dilihat dari segi tujuan, paradigma Islam bermaksud melakukan
transformasi transendental, yang dalam implementasinya berupaya untuk
mengeksplorasi pesan-pesan Al-Quran dengan visi humanisasi (amr ma’rûf),
liberasi (nahî munkar), dan transendensi (îmân billâh).

Kedua, landasan filosofi paradigma Islam terbentuk dari nilai-nilai


keislaman, keindonesiaan, dan kemodernan. Nilai-nilai tersebut secara bertautan
mewarnai pemikiran paradigma Islam KuntoWijoyo. Dengan semangat serta
spirit dari nilai-nilai tersebut, KuntoWijoyo meyakini bahwa wahyu Al-Quran
memiliki signifikansi dalam membangun ilmu integralistik dan menghilangkan
pandangan dikotomis dalam bidang ilmu.

Ketiga, paradigma Islam dinilai memiliki prospek yang cukup kuat dalam
melahirkan ilmu-ilmu keislaman yang relevan dengan realitas dan kebutuhan
umat Islam. Namun, prospek ini akan semakin optimal apabila terus dibangun
kolaborasi yang integral antara tiga macam ayat-ayat Tuhan, yakni ayat-ayat
qauliyyah, ayat-ayat kauniyyah, dan ayat-ayat insâniyyah dengan tetap
mengapresiasi kekhasan segenap perangkat dan metode kerja yang umumnya
berlaku pada masing-masing ayat-ayat tadi. Paradigma keilmuan Islam yang
ditawarkan KuntoWijoyo dilihat dari peta pemikiran keilmuan Islam
kontemporer; afirmatif-apologetik, instrumentalis, dan Islamisasi ilmu,
merupakan model varian lain, yakni tetap menjadikan Al-Quran sebagai rujukan,
namun dengan model pendekatan dan langkah yang berbeda, karena selain
menghadapkan Al-Quran langsung pada ranah praktik pengalaman umat manusia
pada ruang dan waktu yang berbeda, juga menempatkan Al-Quran sebagai dasar
pengembangan teori ilmu. Dengan demikian, konsepsi paradigma keilmuan Islam
KuntoWijoyo akan memperlebar serta memperluas peta pemikiran intelektual
muslim dalam upaya pengembangan ilmu di dunia Islam, sekaligus merupakan
bantahan terhadap kritikan yang menolak penggunaan Al-Quran di luar kajian
ilmu-ilmu agama.30

Penutup

Agama Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin memiliki ajaran
yang sesuai dengan perkembangan zaman dan waktu. Oleh sebab itu, tidak perlu
ada pembaharuan terhadap teks terhadap ajaran Islam. Akan tetapi yang perlu
diperbarui adalah paradigma manusia terhadap agama dan bukan al-Quran yang
harus digugat untuk menghadapi perkembangan zaman. Dan hendaklah pula
umat Islam memperluas paradigma mereka dalam memahami teks al Quran yang
terus-menerus dilakukan sepanjang zaman. Dalam hal ini, ayat-ayat Al-Qur’an
perlu dipahami dan diberi interpretasi berdasarkan realitas kekinian. Dengan
intrepretasi beserta reintrpretasi tersebut menjadikan agama mampu dan sejajar
atau bahkan posisinya lebih tinggi dan teratas dalam berdialog dengan kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi.

Daftar Pustaka

Erlina Diamastuti. “PARADIGMA ILMU PENGETAHUAN, SEBUAH


TELAAH KRITIS.” Jurnal Akuntansi Universitas Jember, no. Filsafat
Ilmu (t.t.).
Inayatul Ulya dan Nushan Abid. “Pemikiran Thomas Kuhn dan Relevansinya
Terhadap Keilmuan Islam.” FIKRAH: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi
Keagamaan 3. No. 2 (Desember 2015).
Mohammad Adib. Filsafat Ilmu, Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika
Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2010.
Mohammad Muslih. Filsafat Ilmu, Kajian atas Asumsi dasar, Paradigma dan
Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: LESFI, 2016.

30
Muhammad Zainal Abidin, “FILSAFAT ILMU-ILMU KEISLAMAN INTEGRALISTIK: STUDI PEMIKIRAN
KUNTOWIJOYO,” IAIN Antasari Banjarmasin 13. No.2 (Juli 2014): h. 132-133.
Muhammad Zainal Abidin. “FILSAFAT ILMU-ILMU KEISLAMAN
INTEGRALISTIK: STUDI PEMIKIRAN KUNTOWIJOYO.” IAIN
Antasari Banjarmasin 13. No.2 (Juli 2014).
———. PARADIGMA ISLAM DALAM PEMBANGUNAN ILMU
INTEGRALISTIK: MEMBACA PEMIKIRAN KUNTOWIJOYO.
Yogyakarta: IAIN ANTASARI PRESS, 2016.
Nur Akhda Sabila. “Paradigma dan Revolusi Ilmiah Thomas S. Khun (Aspek
Sosiologis, Antropologis, dan Historis dari Ilmu Pengetahuan).” Zawiyah:
Jurnal Pemikiran Islam 5. No.1 (Juli 2019).
Syukri Abu Bakar. “PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU
PENGETAHUAN THOMAS S. KUHN DAN RELEVANSINYA
DENGAN KAJIAN KEISLAMAN.” Al-Ittihad: Jurnal Pemikiran dan
Hukum Islam 6. No. 1 (Juni 2020).

Anda mungkin juga menyukai