Abstrak
Dewasa ini kajian tentang filsafat ilmu selalu saja menjadi bahan yang
hangat untuk didiskusikan, terlebih mengenai perkembangan paradigma yang
mana ia salah satu dari pada bahasan pokok dalam kajian filsafat ilmu. Betapa
tidak, sebab paradigma adalah cara pandang setiap individu mengenai suatu
pokok permasalahan yang bersifat fundamental untuk memahami suatu ilmu
maupun keyakinan dasar yang mana sangat mendasari tiap orang dalam
mengambil setiap tindakannya di kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu dalam
makalah ini digunakan metode deskriptif dimana untuk menemukan definisi-
definisi yang terkandung di dalam permasalahan untuk kemudian
menggabungkannya menjadi sebuah narasi agar dapat menjelaskan permasalahan
inti. Dan dari penelitian yang terdahulu dapat disimpulkan bahwa paradigma ilmu
pengetahuan akan selalu berubah antar waktu. Begitupun lahirnya paradigma
baru, tidak akan pernah terlepas dari paradigma sebelumnya. Atau mungkin
paradigma yang muncul setelah paradigma sebelumnya sebagai paradigma yang
selalu berusaha untuk memperbaiki kekurangan-kekurang yang ada pada
paradigma sebelumnya. Pergeseran paradigma akan selalu muncul untuk
mendapatkan realitas yang sebenarnya sesuai dengan masa atau waktu yang
selalu berganti sesuai dengan zaman dan peradaban yang ada di muka bumi. Oleh
karena itu penulis ingin mengajak para pembaca sekalian untuk mengetahui lebih
dalam mengenai pembahasan yang terkait dengan paradigma, macam-macamnya
hingga paradigma Islam sehingga dengan mengetahui semua corak paradigma
yang dibawakan di makalah ini diharapkan kita bisa berparadigma dengan
sebagaimana mestinya.
Pengertian Paradigma
Kata paradigma berasal dari bahasa Inggris yang merupakan kata serapan
dari bahasa Latin yaitu paradigma yang berarti suatu model atau pola. Juga dalam
bahasa Yunani paradeigma yang berarti membandingkan. Kata ini berasal dari
para yang berarti di samping, di sebelah dan deiknunai berarti memperlihatkan.
Sementara dalam Kamus besar bahasa Indonesia paradigma diartikan sebagai
model dari teori ilmu pengetahuan dan kerangka berpikir.1
Macam-Macam Paradigma
1
Syukri Abu Bakar, “PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN THOMAS S. KUHN DAN
RELEVANSINYA DENGAN KAJIAN KEISLAMAN,” Al-Ittihad: Jurnal Pemikiran dan Hukum Islam 6. No. 1 (Juni
2020): h. 48-49.
2
Erlina Diamastuti, “PARADIGMA ILMU PENGETAHUAN, SEBUAH TELAAH KRITIS,” Jurnal Akuntansi Universitas
Jember, no. Filsafat Ilmu (t.t.): h. 62.
Postpositivisme (Classical Paradigm, Conventionalism Paradigm), Critical
Theory (Realism) dan Konstruktivisme.3
1. Positivisme
Positivisme muncul pada abad ke-19 yang mana dipelopori oleh seorang
sosiolog Auguste Comte melalui karya monumentalnya yang terdiri dari enam
jilid dengan judul “The Course of Positive Philosophy”. Comte secara garis besar
menjabarkan prinsip-prinsip positivisme yang sampai saat ini masih banyak
digunakan. John Stuart Mill dari Inggris memodifikasi serta mengembangkan
pemikiran Comte lalu menuangkannya ke dalam sebuah karya yang cukup
monumental yang berjudul “A System of Logic”. Kemudian Emile Durkheim
seorang Sosiolog Perancis menguraikannya dalam bukunya “Rules of the
Sosiological Method ” yang kemudian menjadi rujukan bagi para peneliti ilmu
sosial yang beraliran positivisme.5
Menurut Emile Durkheim objek studi sosiologi adalah fakta sosial (social-
fact): “any way of acting, whether fixed or not, capable of exerting over the
individual an external constraint; or something which in general over the whole
of a given society whilst having an existance of its individual manifestation”.
Fakta sosial yang dimaksud meliputi: Bahasa, sistem hukum, sistem politik,
3
Mohammad Adib, Filsafat Ilmu, Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta:
PUSTAKA PELAJAR, 2010), h. 112.
4
Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu, Kajian atas Asumsi dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu
Pengetahuan (Yogyakarta: LESFI, 2016), h. 88.
5
Mohammad Muslih, h. 89.
pendidikan dan lain-lain. Meskipun fakta sosial berasal dari luar kesadaran
individu, tetapi dalam penelitian positivisme, informasi kebenaran itu ditanyakan
oleh peneliti kepada individu yang dijadikan responden penelitian. Untuk
mencapai kebenaran tersebut, maka seorang pencari kebenaran (peneliti) harus
menyakan langsung kepada objek yang diteliti, dan objek dapat memberikan
jawaban langsung kepada peneliti yang bersangkutan. Hubungan epistemologi ini
menempatkan si peneliti di belakang layar untuk mengobservasi hakekat realitas
apa adanya untuk menjaga objektivitas temuan. Karena itu secara metodologis,
seorang peneliti menggunakan metodologi eksperimen-empirik untuk menjamin
agar temuan yang diperoleh betul-betul objektif dalam menggambarkan keadaan
yang sebenarnya. Mereka mencari ketepatan yang tinggi, pengukuran yang akurat
dan penelitian objektif, juga mereka menguji hipotesis melalui analisis terhadap
bilangan-bilangan yang berasal dari pengukuran.6
6
Mohammad Muslih, h. 89.
Paradigma positivisme telah menjadi pegangan para ilmuwan untuk
mengungkap kebenaran realitas. Setelah positivisme berjasa dalam kurun waktu
yang cukup lama yaitu + 400 tahun, kemudian berkembanglah setelahnya
sejumlah aliran paradigma baru yang menjadi landasan pengembangan ilmu
dalam berbagai bidang kehidupan.7
2. Postpositivisme
7
Mohammad Muslih, h. 90.
8
Mohammad Muslih, h. 90.
9
Mohammad Muslih, h. 90.
paradigma ilmu pengetahuan. Pertama, Bagaimana sebenarnya posisi
postpositivisme diantara paradigma-paradigma ilmu yang lain? Apakah ini
merupakan bentuk lain dari positivisme yang posisinya lebih lemah? Atau karena
aliran ini datang setelah positivisme sehingga dinamakan postpositivisme? Harus
diakui bahwa aliran ini bukan suatu filsafat baru dalam bidang keilmuan, akan
tetapi memang amat dekat dengan paradigma positivisme. Salah satu indikator
yang membedakan antara keduanya bahwa postpositivisme lebih mempercayai
proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi melalui berbagai macam
metode. Dengan demikian suatu ilmu telah benar-benar mencapai objektivitas
apabila telah diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai cara.
10
Mohammad Muslih, h. 91.
11
Mohammad Muslih, h. 92.
Postpositivisme menolak pandangan bahwa masyarakat dapat menentukan
banyak hal sebagai hal yang nyata dan benar tentang suatu objek oleh anggotanya.
3. Konstruktivisme
12
Mohammad Muslih, h. 93.
ilmu harus bersifat natural yaitu apa adanya ketika pengamatan dan terhindar dari
kegiatan penelitian yang telah diatur dan berorientasi serta bersifat laboratorium;
(5) Pola-pola yang diteliti berisi kategori-kategori jawaban menjadi unit analisis
dari variabel-variabel penelitian yang kaku dan steril; (6) Penelitian lebih besifat
partisipatif daripada mengontrol sumber-sumber informasi dan lain-lainnya.13
13
Mohammad Muslih, h. 93.
14
Mohammad Muslih, h. 94.
dilakukan di luar laboratorium, yaitu di alam bebas secara sewajarnya (natural)
untuk menangkap fenomena alam apa adanya dan secara menyeluruh tanpa
campur tangan dan manipulasi pengamat atau pihak peneliti. Dengan setting
natural tersebut, maka metode yang paling banyak digunakan adalah metode
kualitatif daripada metode kuantitatif.
Suatu teori muncul berdasarkan data yang ada, bukan dibuat sebelumnya,
dalam bentuk hipotesis sebagaimana dalam penelitian kuantitatif. Untuk itu
pengumpulan data dilakukan metode hermeneutik dan dialektik yang difokuskan
pada konstruksi, rekonstruksi dan elaborasi suatu proses sosial. Metode pertama
dilakukan melalui identifikasi kebenaran atau konstruksi pendapat dari orang-
perorang, sedangkan metode kedua mencoba untuk membandingkan dan
menyilangkan pendapat dari orang-perorang yang diperoleh melalui metode
pertama untuk memperoleh suatu konsensus kebenaran yang disepakati bersama.
Dengan demikian, hasil akhir dari suatu kebenaran merupakan perpaduan
pendapat yang bersifat reflektif, subjektif dan spesifik mengenai hal-hal tertentu.
Dengan ditemukannya paradigma konstruktivisme ini, dapat memberikan
alternatif paradigma dalam mencari kebenaran tentang realitas sosial, sekaligus
menandai terjadinya pergeseran model rasionalitas untuk mencari dan
menentukan aturan-aturan ke model rasionalitas praktis yang menekankan
peranan contoh dan interpretasi mental. Konstruktivisme dapat melihat warna dan
corak yang berbeda dalam berbagai disiplin ilmu, khususnya disiplin ilmu-ilmu
sosial, yang memerlukan intensitas interaksi antara peneliti dan objek yang
dicermati, sehingga akan berpengaruh pada nilai-nilai yang dianut, etika,
akumulasi pengetahuan, model pengetahuan dan diskusi ilmiah. 15
15
Mohammad Muslih, h. 95.
4. Critical Theory
Aliran yang satu ini sebenarnya tidak dapat dikategorikan sebagai suatu
paradigma, tetapi lebih tepatnya dapat disebut dengan ideologically oriented
inquiry, yaitu suatu wacana atau cara pandang terhadap realitas yang mempunyai
orientasi ideologis terhadap paham tertentu. Ideologi ini meliputi: Neo-
Marxisme, Materialisme, Feminisme, Freireisme, Partisipatory inquiry, dan
paham-paham lainnya. Critical Theory merupakan suatu aliran pengembangan
keilmuan yang berdasarkan pada suatu konsepsi kritis terhadap berbagai
pemikiran dan pandangan yang sebelumnya ditemukan sebagai paham keilmuan
lainnya.16
Dilihat dari segi ontologis, paradigma ini agak serupa dengan post-
positivisme yang menilai objek atau realitas secara (critical realism), yang tidak
dapat dilihat secara benar oleh pengamatan manusia. Karena itu untuk mengatasi
masalah ini, secara metodologis paham ini mengajukan metode dialog dan
komunikasi dengan transformasi untuk menemukan kebanaran realitas yang
hakiki. Secara epistemologis, hubungan antara pengamat dengan realitas yang
menjadi objek merupakan suatu hal yang tidak bisa dipisahkan. Karena itu, aliran
ini lebih menekankan pada konsep subjektivitas dalam menemukan ilmu
pengetahuan, karena nilai-nilai yang dianut oleh subjek atau pengamat sangat
berperan dalam menentukan kebenaran tentang suatu hal. 17
Terdapat dua konsepsi tentang Critical Theory yang perlu diuraikan dalam
makalah ini. Pertama, kritik internal terhadap analisis argumen dan metode yang
digunakan dalam berbagai penelitian. Kritik ini difokuskan pada alasan teoritis
dan prosedur dalam memilih, mengumpulkan dan menilai data empiris. Dengan
demikian aliran ini amat mementingkan alasan, prosedur dan bahasa yang
digunakan dalam mengungkap suatu kebenaran. Karena itu, penilaian silang yang
16
Mohammad Muslih, h. 95.
17
Mohammad Muslih, h. 96.
secara kontinyu dan pengamatan data secara intensif merupakan ‘ciri khas’
paradigma ini. Kedua, makna critical dalam menformulasikan masalah logika.
Logika bukan hanya melibatkan pengaturan formal dan kriteria internal dalam
pengamatan tetapi juga melibatkan bentuk-bentuk khusus dalam pemikiran yang
difokuskan pada skeptisisme (rasa ingin tahu dan rasa ingin bertanya) terhadap
kelembagaan sosial dan konsepsi tentang realitas yang berkaitan dengan ide,
pemikiran dan bahasa melalui kondisi sosial historis. Critical dalam konsep ini
berkaitan dengan kondisi pengaturan sosial, distribusi sumber daya yang tidak
merata dan kekuasaan.18
Paling sedikit ada enam tema pokok yang menjadi ciri paradigma Critical
Theory dalam praktik keilmuan. Pertama: problem prosedur, metode dan
metodologi keilmuan. Pada umumnya prosedur, metode dan metodologi dalam
penelitian suatu bidang keilmuan merupakan suatu hal yang terpisah dan rigid
dan cenderung untuk melupakan hal-hal yang bersifat sosial dan historis. Dalam
konsepsi Critical Theory, hal ini adalah sesuatu yang tidak dibenarkan sebab
prosedur dan metode bukan suatu hal yang berdiri sendiri melainkan merupakan
bagian dari kehati-hatian, pertanyaan dan praktek yang sedang berlaku di
masyarakat.19
18
Mohammad Muslih, h. 96.
19
Mohammad Muslih, h. 97.
standard dan aturan keilmuan lebih banyak dipahami sebagai logika yang
berkembang dalam konteks sejarah yang terjadi dalam masyarakat. 20
20
Mohammad Muslih, h. 97.
21
Mohammad Muslih, h. 97.
ilmu juga diarahkan untuk memproduksi nilai-nilai yang dapat dijadikan
pegangan manusia dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, ilmu statistik
yang diciptakan sebagai alat untuk menganalisis fenomena alam bukan hanya
sebagai alat untuk mengungkap realitas tetapi juga menciptakan nilai-nilai pasti,
kaku dan asosial dalam masyarakat. Demikian pula dengan temuan-temuan
lainnya dalam berbagai bidang kehidupan, yang kesemuanya diarahkan untuk
memproduksi sejumlah nilai yang dapat digunakan oleh orang lain dalam
menjalani hidupnya.22
22
Mohammad Muslih, h. 98.
mungkin paling banyak digunakan, sedangkan di bidang sosial, critical theory
atau konstruktivisme-lah yang menjadi pegangan.23
Pada masa normal science ini ilmu pengetahuan dalam posisi mampu
menjawab masalah dan mampu memunculkan solusi. Tetapi seiring dengan
perkembangan waktu, pada masanya ilmu pengetahuan akan mengalami
23
Mohammad Muslih, h. 99.
24
Nur Akhda Sabila, “Paradigma dan Revolusi Ilmiah Thomas S. Khun (Aspek Sosiologis, Antropologis, dan
Historis dari Ilmu Pengetahuan),” Zawiyah: Jurnal Pemikiran Islam 5. No.1 (Juli 2019): h. 92.
25
Inayatul Ulya dan Nushan Abid, “Pemikiran Thomas Kuhn dan Relevansinya Terhadap Keilmuan Islam,”
FIKRAH: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan 3. No. 2 (Desember 2015): h. 267.
kegagalan dalam mengatasi masalah-masalah yang timbul dan hanya akan
memunculkan anomaly saja. Keadaan tersebut berimplikasi pada keraguan
masyarakat tentang kebenaran keilmuan pada masa lalu sehingga hal ini
memotivasi munculnya paradigma baru yang dapat menawarkan alternatif solusi.
Paradigma baru yang muncul ini akan membuat para ilmuan lain kembali
melakukan penelitian-penelitian lanjutan untuk meneliti kebenaran baru tersebut.
Sehingga apabila paradigma baru tersebut dapat diterima sebagai sebuah
kebenaran ilmiah dan mengalahkan paradigma lama, maka paradigma lama akan
mulai ditinggalkan dan beralih pada paradigma baru, keadaan inilah yang disebut
sebagai pergeseran paradigma.
26
Inayatul Ulya dan Nushan Abid, h. 268.
berbenturan. Sehingga, paradigma baru terkadang disikapi dengan kecurigaan
dan bahkan permusuhan.
27
Erlina Diamastuti, “PARADIGMA ILMU PENGETAHUAN, SEBUAH TELAAH KRITIS,” h. 63.
amat kompleks. Namun di sisi lain dunia barat dengan gencarnya terus-terusan
mengembangkan ilmu-ilmu modern seperti sains kealaman, sosiologi,
antropologi, psikologi, hermeneutika, dan ilmu-ilmu lainnya sebagai bentuk
respon yang sangat nyata oleh ilmuwan barat terhadap realitas dan kebutuhan
masyarakat mereka.28
28
Muhammad Zainal Abidin, PARADIGMA ISLAM DALAM PEMBANGUNAN ILMU INTEGRALISTIK: MEMBACA
PEMIKIRAN KUNTOWIJOYO (Yogyakarta: IAIN ANTASARI PRESS, 2016), h. iii.
29
Muhammad Zainal Abidin, h. iv.
untuk pesan-pesan Al-Quran yang berkaitan dengan kisah atau amtsal. Yang
kedua pendekatan analitis berkaitan dengan konsep-konsep kunci Al-Quran.
Ketiga, paradigma Islam dinilai memiliki prospek yang cukup kuat dalam
melahirkan ilmu-ilmu keislaman yang relevan dengan realitas dan kebutuhan
umat Islam. Namun, prospek ini akan semakin optimal apabila terus dibangun
kolaborasi yang integral antara tiga macam ayat-ayat Tuhan, yakni ayat-ayat
qauliyyah, ayat-ayat kauniyyah, dan ayat-ayat insâniyyah dengan tetap
mengapresiasi kekhasan segenap perangkat dan metode kerja yang umumnya
berlaku pada masing-masing ayat-ayat tadi. Paradigma keilmuan Islam yang
ditawarkan KuntoWijoyo dilihat dari peta pemikiran keilmuan Islam
kontemporer; afirmatif-apologetik, instrumentalis, dan Islamisasi ilmu,
merupakan model varian lain, yakni tetap menjadikan Al-Quran sebagai rujukan,
namun dengan model pendekatan dan langkah yang berbeda, karena selain
menghadapkan Al-Quran langsung pada ranah praktik pengalaman umat manusia
pada ruang dan waktu yang berbeda, juga menempatkan Al-Quran sebagai dasar
pengembangan teori ilmu. Dengan demikian, konsepsi paradigma keilmuan Islam
KuntoWijoyo akan memperlebar serta memperluas peta pemikiran intelektual
muslim dalam upaya pengembangan ilmu di dunia Islam, sekaligus merupakan
bantahan terhadap kritikan yang menolak penggunaan Al-Quran di luar kajian
ilmu-ilmu agama.30
Penutup
Agama Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin memiliki ajaran
yang sesuai dengan perkembangan zaman dan waktu. Oleh sebab itu, tidak perlu
ada pembaharuan terhadap teks terhadap ajaran Islam. Akan tetapi yang perlu
diperbarui adalah paradigma manusia terhadap agama dan bukan al-Quran yang
harus digugat untuk menghadapi perkembangan zaman. Dan hendaklah pula
umat Islam memperluas paradigma mereka dalam memahami teks al Quran yang
terus-menerus dilakukan sepanjang zaman. Dalam hal ini, ayat-ayat Al-Qur’an
perlu dipahami dan diberi interpretasi berdasarkan realitas kekinian. Dengan
intrepretasi beserta reintrpretasi tersebut menjadikan agama mampu dan sejajar
atau bahkan posisinya lebih tinggi dan teratas dalam berdialog dengan kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
Daftar Pustaka
30
Muhammad Zainal Abidin, “FILSAFAT ILMU-ILMU KEISLAMAN INTEGRALISTIK: STUDI PEMIKIRAN
KUNTOWIJOYO,” IAIN Antasari Banjarmasin 13. No.2 (Juli 2014): h. 132-133.
Muhammad Zainal Abidin. “FILSAFAT ILMU-ILMU KEISLAMAN
INTEGRALISTIK: STUDI PEMIKIRAN KUNTOWIJOYO.” IAIN
Antasari Banjarmasin 13. No.2 (Juli 2014).
———. PARADIGMA ISLAM DALAM PEMBANGUNAN ILMU
INTEGRALISTIK: MEMBACA PEMIKIRAN KUNTOWIJOYO.
Yogyakarta: IAIN ANTASARI PRESS, 2016.
Nur Akhda Sabila. “Paradigma dan Revolusi Ilmiah Thomas S. Khun (Aspek
Sosiologis, Antropologis, dan Historis dari Ilmu Pengetahuan).” Zawiyah:
Jurnal Pemikiran Islam 5. No.1 (Juli 2019).
Syukri Abu Bakar. “PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU
PENGETAHUAN THOMAS S. KUHN DAN RELEVANSINYA
DENGAN KAJIAN KEISLAMAN.” Al-Ittihad: Jurnal Pemikiran dan
Hukum Islam 6. No. 1 (Juni 2020).