Anda di halaman 1dari 19

EPISTEMOLOGI ILMU

STUDI TENTANG PARADIGMA ILMU


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu

Dosen Pengampu:
Dr. Munawar Rizki Jailani, M.Sh., Ph.D

Oleh:
Irfan Akhram (2022530025)
Khadijah (2022530023)
Cut Nirawati (2022530064)

PROGRAM  PASCA SARJANA (PPs) INSTITUT AGAMA


PRODI  MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM  ( MPI )

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI


LHOKSEUMAWE
TA. 2022/2023
PENDAHULUAN

Ilmu pengetahuan tumbuh dan berkembang secara evolutif dalam


kehidupan manusia. Ia berlangsung dalam rentang waktu yang lama. Tumbuh
dan berkembangnya ilmu pengetahuan sangat dipengaruhi oleh dinamika
komunitas keilmuan dan berbagai persoalan yang berkembang dalam
kehidupan manusia. Problem kehidupan yang terjadi dalam kehidupan sehari-
hari bisa juga menjadi dasar bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Hal ini
disebabkan oleh sifat manusia yang tidak pernah puas dengan apa yang telah
diraihnya dalam kehidupan dan perubahan lingkungan hidup yang tidak
kondusif.

Tanpa kita sadari, kita sudah berada dalam paradigma yang berbeda dengan
pendahulu kita atau mungkin nenek moyang kita. Hal ini tidak mungkin kita
pungkiri karena itulah realita yang ada. Demikian pula dengan ilmu
pengetahuan. Ilmu pengetahuan juga tidak luput dari pergeseran paradigma.
Evolusi pengetahuan berlangsung secara terus menerus dan simultan dengan
berbagai temuan-temuan baru, yang didasarkan pada data dan fenomena baru.
Konstruksi keilmuan tersebut dibangun atas penemuan teori-teori baru.

Paradigma merupakan suatu pandangan yang mendasar dari ilmuan tentang


apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dijawab oleh suatu
cabang ilmu pengetahuan Perkembangan suatu ilmu pengetahuan disadari
atau tidak merupakan paradigmatisasi yang selalu muncul seiring dengan
semakin beragamnya spesialisasi fokus kajian dan metodologi yang
digunakan oleh suatu ilmu. Eksistensi suatu paradigma dalam ilmu
pengetahuan dipahami dalam dua pandangan yang berbeda, berdasarkan
proses terbentuknya.

2
PEMBAHASAN
EPISTEMOLOGI ILMU

A. Pengertian Epistemologi
Epistemologi adalah salah satu cabang pokok bahasan dalam wilayah
filsafat yang memperbincangkan seluk beluk pengetahuan. Persoalan sentral
epistemologi adalah mengenai apa yang dapat kita ketahui, dan bagaimana
cara mengetahuinya. Epistemologi bermaksud mengkaji dan mencoba
menemukan ciri-ciri umum dan hakikat dari pengetahuan manusia,
bagaimana pengetahuan itu diperoleh dan diuji kebenarannya.1

Epistemologi adalah pengetahuan mengenai pengetahuan yang juga


sering disebut “teori pengetahuan (theory of knowledge)”. Surajiyo,
secara lebih rinci menyatakan bahwa pokok bahasan epistemologi adalah
meliputi hakikat dan sumber pengetahuan, metode memperoleh
pengetahuan, dan kriteria kesahihan pengetahuan. Pengetahuan filsafat
adalah pengetahuan logis tentang objek yang abstrak logis, dalam arti
rasional dan dapat juga dalam arti supra-rasional.2

Logis adalah yang masuk akal, terdiri dari logis rasional yakni suatu
pemikiran yang masuk akal, tetapi menggunakan ukuran hukum alam, dan
logis supra-rasional yaitu pemikiran akal yang kebenarannya berdasarkan
logika yang ada di dalam susunan argumentasinya, benar-benar bersifat
abstrak meskipun melawan hukum alam. Perlu diingat, bahwa dalam
epistemologi terdapat beberapa perbedaan mengenai teori pengetahuan,
karena setiap ilmu memiliki obyek, metode, sistem, dan tingkat kebenaran
1
Sudarminta, Epistimologi Dasar, Pengantar Filsafat Pengetahuan (Yogyakarta: Kanisius,
2002), h l m . 18.
2
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales Sampai James (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1998), hlm 16.

3
yang berbeda-beda, baik dari sudut pandang maupun metode. Dalam wacana
pemikiran Islam, secara historis para filosof Muslim telah membahas
epistemologi yang diawali dengan membahas sumber-sumber pengetahuan
yang berupa realitas. Realitas dalam epistemologi Islam tidak hanya terbatas
pada realitas fisik, tetapi juga mengakui adanya realitas yang bersifat
nonfisik, baik berupa realitas imajinal (mental) maupun realitas metafisika
murni.3

Mengenai alat pencapaian pengetahuan, para pemikir Islam secara


umum sepakat ada tiga alat epistemologi yang dimiliki manusia untuk
mencapai pengetahuan, yaitu; indera, akal, dan hati. Berdasarkan tiga alat
tersebut, maka terdapat tiga metode pencapaian pengetahuan, yaitu: a)
metode observasi sebagaimana yang dikenal dalam epistemologi Barat,
atau juga disebut metode bayani yang menggunakan indera sebagai
pirantinya, b) metode deduksi logis atau demonstratif (burhani) dengan
menggunakan akal, dan c) metode intuitif atau ‘irfani dengan menggunakan
hati.
Miska M. Amien menyatakan, bahwa epistemologi Islam
membahas masalah- masalah epistemologi pada umumnya dan juga secara
khusus membicarakan wahyu dan ilham, sebagai sumber pengetahuan
dalam Islam. Wahyu hanya diberikan Allah kepada para nabi dan rasul
melalui Malaikat Jibril, dan berakhir pada Nabi Muhammad Saw., penutup
para nabi dan rasul. Wahyu hanya khusus untuk para nabi, karena ia
merupakan konsekwensi kenabian dan kerasulan. Ilham adalah inspirasi atau
pancaran ilahi yang ditiupkan ruh suci ke dalam hati nabi atau wali.
Inspirasi atau intuisi pada prinsipnya dapat diterima setiap orang .4

Oleh sebab itu, di satu sisi epistemologi Islam berpusat pada


Allah, dalam arti Allah sebagai sumber pengetahuan dan kebenaran, tetapi di
sisi lain, epistemologi Islam berpusat pada manusia, dalam arti manusia
sebagai pelaku pencari pengetahuan (kebenaran). Terkait dengan bahasan
3
Mulyadi Kartanegara, Panorama Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2002), hlm, 58.
4
Jumantoro dan Syamsul Munir, Kamus Ilmu Tasawuf (Wonosobo: Amza, 2005), hlm 86.

4
epistemologi Islam, Amin Abdullah. Menyatakan bahwa dalam wacana
filsafat Islam, wilayah metafisika, epistemologi, dan etika menyatu dalam
bentuk mistik (mysticism). Aspek yang lebih menarik dikaji lebih dalam
dari ketiga ranah tersebut adalah hubungan antara “mistisisme” dan
“epistemologi”.

B. Paradigma Ilmu
1. Pengertian Paradigma Ilmu

Paradigma dapat didefinisikan bermacam-macam tergantung pada sudut


pandang yang menggunakannya. Jika dari sudut pandang penulis, maka
paradigma adalah cara pandang seseorang mengenai suatu pokok permasalahan
yang bersifat fundamental untuk memahami suatu ilmu maupun keyakinan
dasar yang menuntun seorang untuk bertindak dalam kehidupan sehari-hari.
Capra (1991) dalam bukunya Tao of Physics menyatakan bahwa paradigma
adalah asumsi dasar yang membutuhkan bukti pendukung untuk asumsi-asumsi
yang ditegakkannya, dalam menggambarkan dan mewarnai interpretasinya
terhadap realita sejarah sains.5
Sedangkan Kuhn (1962) dalam bukunya The Structure of Scientific
Revolution menyatakan bahwa paradigma adalah gabungan hasil kajian yang
terdiri dari seperangkat konsep, nilai, teknik dll yang digunakan secara bersama
dalam suatu komunitas untuk menentukan keabsahan suatu masalah berserta
solusinya.
Paradigma menurut Guba (1990) seperti yang dikutip Denzin & Lincoln, (1994)
didefinisikan sebagai:

“a set of basic beliefs (or metaphysics) that deals with ultimates or


first principles…a world view that defines, for its holder the nature
of the world…”

Paradigma dapat diartikan sebagai seperangkat keyakinan atau

5
Jurnal Akuntansi Universitas Jember, paradigma ilmu pengetahuan sebuah telaah kritis, hlm. 62

5
kepercayaan yang mendasari seseorang dalam melakukan segala tindakan.
Selanjutnya Paradigma oleh Bhaskar (1989) diartikan sebagai: “... a) a set of
assumptions, b) belief concerning and c) accepted assume to be true” atau dapat
diterjemahkan sebagai seperangkat asumsi yang dianggap benar apabila
melakukan suatu pengamatan supaya dapat dipahami dan dipercaya dan asumsi
tersebut dapat diterima. Dengan kata lain bahwa paradigma adalah sebuah
bingkai yang hanya perlu diamati tanpa dibuktikan karena masyarakat para
pendukungnya telah mempercayainya. Hanya tinggal kita saja yang perlu untuk
mencermati dari berbagai macam paradigma yang ada.6

Selanjutnya Ritzer (1981) mendefinisikan paradigma sebagai,

“…A fundamental image of the subject matter within a science. It


serves to define what should be studied, what question should be asked,
how the should be asked and what rule should be followed in
interpreting the answer obtained. The paradigm is the broadest unit
consensus within a science and serve to differentiate on scientific
community (or subcommunity) from another. It subsumes, defines and
interrelates the exemplars theories and method and instruments that
exist within it”.

Ritzer (1981) menyatakan argumentasinya bahwa paradigma adalah


pandangan yang mendasar dari para ilmuwan atau peneliti mengenai apa yang
seharusnya menjadi kajian dalam ilmu pengetahuan, apa yang menjadi
pertanyaannya dan bagaimana cara menjawabnya. Paradigma juga dikatakan
sebagai konsensus dari para ilmuwan yang dapat melahirkan suatu komunitas
atau subkomunitas yang berbeda dengan yang lain. Paradigma yang berbeda
tersebut terjadi karena adanya perbedaan dalam teori yang digunakan, metode
dan instrument yang ada untuk mencapai suatu kebenaran.7

6
Norman K. Denzin, Hand Book of Qualitative Research, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009),
hlm 123.
7
George Ritzer, Sosiologi Berparadigma Ganda, (Jakarta: Rajawali Pers,1989),

6
2. Unsur-Unsur Paradigma

Sebuah perspektif dalam ilmu sosial-budaya biasanya dapat dibedakan satu


sama lain atas dasar asumsi-asumsi atau anggapan-anggapan dasarnya tentang
obyek yang diteliti, masalah-masalah yang ingin dijawab atau diselesaikan,
konsep-konsep, metode-metode serta teori-teori yang dihasilkannya. Pendapat
yang dilontarkan oleh Cuff dan Payne (1980:3) ini merupakan pendapat yang
dapat membawa kita kepada pemahaman tentang paradigma dalam ilmu sosial-
budaya. Dalam pendapat ini tersirat pandangan bahwa sebuah perspektif atau
pendekatan -Cuff dan Payne tidak menyebutnya sebagai “paradigma“- memiliki
sejumlah unsur, di antaranya adalah: asumsi dasar (basic assumption -Cuff dan
Payne menyebutnya bedrock assumption-, konsep, metode, pertanyaan dan
jawaban-jawaban yang diberikan.

Jika “perspektif“ adalah juga “paradigma“, maka unsur-unsur tersebut


dapat dikatakan sebagai unsur-unsur paradigma. Meskipun demikian, menurut
saya, pandangan Cuff dan Payne tentang unsur-unsur perspektif tersebut masih
belum lengkap. Masih ada elemen lain yang juga selalu ada dalam sebuah
paradigma ilmu sosial-budaya, namun belum tercakup di dalamnya, misalnya
model. Selain itu, unsur metode juga masih perlu dirinci lagi. Cuff dan Payne
juga masih belum menjelaskan bagaimana kira-kira urut-urutan unsur-unsur
tersebut dalam sebuah paradigma atau kerangka berfikir tertentu, sehingga posisi
masing-masing unsur terhadap yang lain tidak kita ketahui. Lebih dari itu, Cuff
dan Payne juga tidak selalu menjelaskan makna dari konsepkonsep yang
digunakannya secara rinci, sehingga kita tidak selalu dapat mengetahui dengan
baik apa yang dimaksudkannya.

Mengikuti jalan pikiran yang telah dibuka oleh Kuhn serta Cuff dan Payne,
sebuah paradigma, kerangka teori atau pendekatan dalam ilmu sosial-budaya
menurut hemat saya terdiri dari sejumlah unsur pokok, yakni: (1) asumsi-asumsi
dasar; (2) nilai-nilai; (3) masalah-masalah yang diteliti (4) model; (5) konsep-

7
konsep; (6) metode penelitian; (7) metode analisis; (8) hasil analisis atau teori
dan (9) etnografi atau representasi.8

3. Positivisme

Positivisme merupakan pradigma ilmu pengetahuan yang paling awal


muncul dalam dunia ilmu pengetahuan. Keyakinan dasar aliran ini berakar dari
paham ontologi yang menyatakan bahwa realitas ada (exist) dalam kenyataan
yang berjalan sesuai dengan hukum alam (natural laws). Positivisme muncul
abad ke-19 dimotori oleh sosiolog Auguste Comte, dengan buah karyanya yang
terdiri dari enam jilid dengan judul The course of positive philosophy (1830-
1842).9

Positivisme merupakan peruncingan tren pemikiran sejarah barat modern


yang telah mulai menyingsing sejak ambruknya tatanan dunia Abad pertengahan,
melalui rasionalisme dan empirisme. Positivisme adalah sorotan yang
khususnya terhadap metodologi dalam refleksi filsafatnya. Dalam positivisme
kedudukan pengetahuan diganti metodologi, dan satu-satunya metodologi yang
berkambang secara menyakinkan sejak renaissance, dan sumber pada masa
Aufklarung adalah metodologi ilmu-ilmu alam. Oleh karena itu, positivisme
menempatkan metodologi ilmu alam pada ruang yang dulunya menjadi wilayah
refleksi epistemology, yaitu pengetahuan manusia tentang kenyataan (Budi
Hardiman, 2003 : 54).

Filsafat positivistik Comte tampil dalam studinya tentang sejarah


perkembangan alam fikiran manusia. Matematika bukan ilmu, melainkan alat
berfikir logik. Aguste Comte terkenal dengan penjenjangan sejarah
perkembangan alam fikir manusia, yaitu: teologik, metaphisik, dan positif. Pada
jenjang teologik, manusia memandang bahwa segala sesuatu itu hidup dengan
kemauan dan kehidupan seperti dirinya. Jenjang teologik ini dibedakan menjadi
8
Heddy Shri Ahimsa-Putra,Paradigma Ilmu Sosial-Budaya, Antropologi Budaya Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Gadjah Mada. hlm.
9
Irham Nugroho, Jurnal Positivisme Auguste Comte: Analisa Epistemologis Dan Nilai Etisnya
Terhadap Sains, CAKRAWALA, Vol. XI, No. 2, Desember 2016. hlm. 171

8
tiga tahap, yaitu (Muhadjir, 2001 : 70).
a. Animism atau fetishisme. Memandang bahwa setiap benda itu
memiliki kemauannya sendiri.
b. Polytheisme. Memandang sejumlah dewa memiliki menampilkan
kemauannya pada sejumlah obyek.
c. Monotheisme. Memandang bahwa ada satu Tuhan yang
menampilkan kemauannya pada beragam obyek.
Meski Comte sendiri seorang ahli matematika, tetapi Comte memandang
bahwa matematika bukan ilmu, hanya alat berfikir logik, dan matematika
memang dapat digunakan untuk menjelaskan phenomena, tetapi dalam praktik,
phenomena memang lebih kompleks (Wryani Fajar Riyanto, 2011 : 413).10

4. Rasionalisme
Rasionalisme adalah faham filsafat yang menyatakan bahwa akal
(reason) adalah alat terpenting untuk memperoleh pengetahuan dan menetes
pengetahuan. Jika empirisme mengatakan bahwa pengetahuan diperoleh dengan
alam mengalami objek empiris, maka rasionalisme mengajarkan bahwa
pengetahuan diperoleh dengan dengan cara berpikir. Alat dalam berpikir itu
adalah kaidah-kaidah logis atau aturan-aturan logika.11 Rasionalisme tidak
mengingkari kegunaan indera dalam memperoleh pengetahuan. Pengalaman
indera diperlukan untuk merangsang akal dan memberikan bahan-bahan yang
menyebabkan akal dapat bekerja. Akan tetapi, untuk sampainya manusia kepada
kebenaran, adalah semata-mata dengan akal. Laporan indera menurut
rasionalisme merupakan bahan yang belum jelas dan kacau. Bahan ini kemudian
dipertimbangkan oleh akal dalam pengalaman berpikir. Akal mengatur bahan itu
sehingga dapatlah terbentuk pengetahuan yang benar. Akal dapat bekerja dengan
bantuan indera, tetapi akal juga dapat menghasilkan pengetahuan yang tidak
berdasarkan bahan inderawi sama sekali, jadi, akal dapat menghasilkan
pengetahuan tentang objek yang betul-betul abstrak.12
10
Ibid., 172
11
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum; Akal dai Hati Sejak Thales Sampai Capra, hlm, 25
12
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum; Akal dai Hati Sejak Thales Sampai Capra, hlm 128

9
Agar filsafat dan ilmu pengetahuan dapat diperbaharui, kita memerlukan
metode yang baik, demikian pendapat Descartes (tokoh utama rasionalisme).
Descarters sudah menemukan metode yang dicarinya, yaitu dengan
menyangsikan segala-galanya, atau keragu-raguan. Kemudian, ia menjelaskan,
untuk mendapatkan hasil yang sahih dari metode yang hendak dicanangkannya,
ia menjelaskan perlunya dalam empat hal yaitu sebagai berikut :
1) Tidak menerima sesuatu pun sebagai kebenaran, kecuali bila saya
melihat bahwa hal itu sungguh-sungguh jelas dan tegas, sehingga
tidak ada suatu keraguan apapun yang mampu merobohkannya.
2) Pecahkanlah setiap kesulitan atau masalah itu atau sebanyak mungkin
bagian, sehingga tidak ada keraguan apapun yang mampu
merobohkannya.
3) Bimbangkanlah pikiran dengan teratur, dangan mulai dari hal yang
sederhana dan mudah diketahui, kemudian secara bertahap
sampaipada yang paling sulit dan kompleks.
4) Dalam proses pencarian dan pemeriksaan hal-hal sulit, selamanya
harus dibuat perhitungan-perhitungan yang sempurna serta
pertimbanganpertimbangan yang menyeluruh, sehingga kita yakin
tidak ada satu pun yang diabaikan dalam penjelajahan itu.13

5. Fenomenologi
Fenomenologi adalah aliran filsafat yang dikembangkan oleh seorang
filosof berkebangsaan Jerman, Edmund Husserl. Kata fenomenologi terdiri dari
13
Juhaya S. raja, Alirai-Alirai Filsafat dai Etika, (Jakarta: KPicaia, 2003), Cet. 2, h. 95-96

10
dua kata bentukan yaitu fenomenon dan logos. Kata feomenon mempunyai arti
yang hampir sama dengan fantasi, fantom, fosfor, foto yang artinya sinar atau
cahaya. Akar kata itu jika dibentuk menjadi kata kerja berarti: nampak, terlihat
karena cahaya, bersinar. Fenomenon, dengan demikian, dapat diartikan sesuatu
yang nampak, yang terlihat karena bercahaya. Dalam bahasa Indonesia ada juga
kata yang digunakan
untuk mengartikan fenomena yaitu: gejala.14
Fenomenologi berarti uraian atau pembahasan tentang fenomena atau
sesuatu yang sedang menampakkan diri, atau sesuatu yang sedang menggejala.
Fenomenologi hakekatnya ingin mencapai pengertian yang benar, yaitu
pengertian yang menangkap realitas seperti dikehendaki oleh realitas itu
sendiri.15

Menurut feomenologi, realitas dapat ditangkap oleh pengertian manusia.


Pengertian adalah tempat bertemu dan bersatunya manusia dengan realitas.
Dalam pertemuan itu realitas menampakkan diri, menggejala, akan tetapi ia
juga menyembunyikan diri. Pengertian manusia tentang susuatu hal bisa
bertambah, menjadi lebih sempurna. Bertambah dan sempurnanya pengertian
itu karena manusia selalu menyelidiki, bertanya, dan terus bertanya.
Bertanya adalah kegiatan manusia untuk menghilangkan kabur yang
menyelimuti realitas. Realitas menampakkan diri, akan tetapi bersama itu juga
ia berkerudung (onthulling– verhulling). Manusia berusaha menghilangkan atau
menyingkap kerudung itu untuk dapat melihat realitas.16

Kabut yang menyelimuti realitas bukan semata-mata dari pihak realitas


saja, melainkan juga dari pihak yang melihat realitas. Konsepsi-konsepsi
manusia, cara berfikir, suasana hidup dan latar belakangnya sering menjadi
kabut tebal dalam melihat realitas.

14
N. Drijarkara, Percikan Filsafat, (Jakarta: PT Pembangunan, 1989), hlm. 116-117
15
Ibid., hlm. 118.
16
Mary Warnock, Existensialism (New York & Oxford: Oxford University Press,
1989), hlm. 26.

11
Konsepsi-konsepsi, cara berfikir, suasana hidup dan latar belakang yang
menjadi kabut orang melihat realitas itu ternyata tidak hanya dari dirinya sendiri,
tetapi kadang ditanam, dimasukkan ke dalam sanubari oleh zaman yang dialami.
Husserl menyarankan agar manusia sampai kepada realitas maka harus
melepaskan diri dari berbagai kegelapan itu dan menerobos kabut. Istilah
Husserl, “Nach den Sachen Selbst”, artinya kita harus menerobos kabut sampai
ke realitas yang sesungguhnya.17

6. Post-Modernisme

Jean-Francois Lyotard adalah orang yang memperkenalkan


postmodernisme dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan di tahun 1970-an
dalam bukunya yang berjudul “The Postmodern Condition: A Report on
Knowledge”. Dia mengartikan postmodernisme sebagai segala
kritik atas pengetahuan universal, atas tradisi metafisik, fondasionalisme
maupun atas modernisme.18
Menurut beberapa para ahli yang lainnya, seperti Louis Leahy,
postmodernisme adalah suatu pergerakan ide yang menggantikan ide- ide
zaman modern19. Menurut Emanuel, postmodernisme adalah keseluruhan usaha
yang bermaksud merevisi kembali paradigma modern. Sedangkan menurut
Ghazali dan Effendi, postmodernisme mengoreksi modernisme yang tidak
terkendali yang telah muncul sebelumnya.20
Postmodernisme adalah suatu pergerakan ide yang menggantikan ide-ide
zaman modern. Zaman modern dicirikan dengan pengutamaan rasio,
objektivitas, totalitas, strukturalisasi/ sistematisasi5, universalisasi tunggal dan
kemajuan saints6. Postmodern memiliki ide cita-cita, ingin meningkatkan
kondisi sosial, budaya dan kesadaran akan semua realitas serta perkembangan
dalam berbagai bidang. Postmodern mengkritik modernisme yang dianggap
17
N. Drijarkara, Percikan Filsafat, (Jakarta: PT Pembangunan, 1989), hlm. 116-117
18
Maksum, Ali, , Pengantar Filsatfat, (Ar-ruzz mmedia : Jakarta. 2012), hlm. 305-306
19
Leahy, Louis, Manusia Sebuah Misteri Sintesa Filosofis Makhluk Paradoks, Gramedia,
Jakarta. 1985,), hlm. 271
20
Johan Setiawan, Jurnal Filsafat, Pemikiran Postmodernisme Dan Pandangannya Terhadap Ilmu
Pengetahuan, Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta,

12
telah menyebabkan sentralisasi dan universalisasi ide di berbagai bidang ilmu
dan teknologi, dengan pengaruhnya yang mencengkram kokoh dalam bentuknya
globalisasi dunia.

Maka dapat disimpulkan bahwa postmodernisme merupakan suatu ide


baru yang menolak atau pun yang termasuk dari pengembangan suatu ide yang
telah ada tentang teori pemikiran masa sebelumnya yaitu paham modernisme
yang mencoba untuk memberikan kritikan-kritikan terhadap modernisme yang
dianggap telah gagal dan bertanggung jawab terhadap kehancuran martabat
manusia; ia merupakan pergeseran ilmu pengetahuan dari ide-ide modern
menuju pada suatu ide yang baru yang dibawa oleh postmodernisme itu sendiri.

7. Strukturalisme
Strukturalisme adalah faham atau pandangan yang menyatakan bahwa
semua masyarakat dan kebudayaan memiliki suatu struktur yang sama dan
tetap. Strukturalisme juga adalah sebuah pembedaan secara tajam mengenai
masyarakat dan ilmu kemanusiaan dari tahun 1950 hingga 1970, khususnya
terjadi di Perancis. Strukturalisme berasal dari bahasa Inggris, structuralism;
latin struere (membangung), structura berarti bentuk bangunan. Trend
metodologis yang menyetapkan riset sebagai tugas menyingkapkan struktur
objek-objek ini dikembangkan olerh para ahli humaniora. Strukturalisme
berkembang pada abad 20, muncul sebagai reaksi terhadap evolusionisme
positivis dengan menggunakan metode-metode riset struktural yang dihasilkan
oleh matematika, fisika dan ilmu-ilmu lain.21
Pada referenci lain juga menyebutkan Strukturalisme adalah teori yang
menyatakan bahwa seluruh organisasi manusia ditentukan secara luas oleh
struktur sosial atau psikologi yang mempunyai logika independen yang menarik,
berkaitan dengan maksud, keinginan, maupun tujuan manusia. Bagi Freud,
strukturnya adalah psyche; bagi Marx, strukturnya adalah ekonomi; dan bagi
Saussure, strukturnya adalah bahasa. Kesemuanya mendahului subyek manusia

21
http://amry90.blogspot.com/2013/06/filsafat-strukturalisme.html

13
individual atau human agent dan menentukan apa yang akan dilakukan manusia
pada semua keadaan.22
Strukturalisme terutama berkembang sejak Claude Levy-Strauss
Hubungan antara bahasa dan mitos menempati posisi sentral dalam pandangan
Lévi- Strauss tentang pikiran primitif yang menampakkan dirinya dalam
struktur- struktur mitosnya, sebanyak struktur bahasanya. Mitos biasanya
dianggap sebagai „impian‟ kolektif, basis ritual, atau semacam „permainan‟
estetika semata, dan figur-figur mitologisnya sendiri dipikirkan hanya sebagai
wujud abstraksi, atau para pahlawan yang disakralkan, atau dewa yang
turun ke bumi sehingga mereduksi mitologi sampai pada taraf semata
sebagai „mainan anak- anak‟, serta menolak adanya relasi apapun dengan
dunia dan pranata-pranata masyarakat yang menciptakannya. Perhatian Lévi-
Strauss terutama terletak pada berkembangnya struktur mitos dalam pikiran
manusia, baik secara normatif maupun reflektif, yaitu dengan mencoba
memahami bagaimana manusia mengatasi perbedaan antara alam dan budaya.
Tingkah laku struktur mitos yang tak disadari ini membawa Lévi-Strauss pada
analisis fonemik, di mana berbagai fenomena yang muncul direduksi ke dalam
beberapa elementer-struktural dasar, namun dengan satu permasalahan yang
mendasar.23
Penelusuran historis berdasarkan kajian ketokohan dalam strukturalisme
memberikan pemahaman lebih mendalam pada pembahasan epistemologi
strukturalisme. Konstruksi strukturalisme dan poststrukturalisme linguistik 10
dapat ditelaah pada pandangan Lévi-Strauss yang menetapkan suatu kesamaan
antara spesies-spesies alam dengan segolongan masyarakat.
Para strukturalis seperti Claude Levi-Struss, atau setidaknya para pemikir
yang sejalan dengan pemikiran strukturalisme, misalnya Max Weber, Emile
Durkheim, dan Ferdinand de Soussaure memiliki berbagai pandangan
mengenai relasi fenomena sosial. Levi-Strauss mengkonsepkan oposisi biner
pada struktur kesadaran manusia yang yang membentuk transformasi antara

22
K Bertens, Filsafat Barat Kontemporer, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), hlm. 124
23
Ibid, hlm. 66

14
struktur nirsadar (unconsciouss structure) dalam pikiran manusia yang
memepengaruhi struktur permukaan (surface structure). Weber dalam
hipotesisnya menyatakan bahwa ada makna yang tunggal atau yang sama
yang merupakan produk kesepakatan.
Tetapi strukturalisme yang dikenal sekarang adalah strukturalisme
Ferdinand deSaussure dan Levi-Strauss yang menjelaskan bahwa produksi
makna merupakan efek dari struktur terdalam dari bahasa, dan kebudayaan
bersifat analog dengan struktur bahasa, yang diorganisasikan secara internal
dalam oposisi biner: hitam-putih, baik-buruk, lelaki-perempuan dan lain
sebagainya. Dalam konteks pengabaian human agents, strukturalisme bersifat
antihumanis. Konsep strukturalisme tentang kebudayaan lebih memusatkan
perhatiannya pada sistem- sistem relasi dari struktur-struktur yang mendasari
sesuatu (umumnya bahasa) dan aturan-aturan bahasa yang memungkinkan
terjadinya makna. Sementara menurut Williams (1980), teks hanyalah bagian
dari cara berpikir yang diproduksi oleh perubahan kondisi-kondisi sosial dan
ekonomi. Kata Williams, “Kita harus berhenti dari prosedur umum untuk
mengisolir objek dan kemudian menyelidiki komponen-komponennya.
Sebaliknya kita harus menyelidiki praktek-praktek dan kemudian kondisi-
kondisinya”.24

PENUTUP
24
Heddy Sri, Strukturalisme Levi-Strauss Mitos dan karya sastra; hlm. 88

15
Kesimpulan
Dari hasil pemaparan materi di atas penulis mengambil sebuah
kesimpulan bahwa : Epistemologi adalah salah satu cabang pokok dari ilmu
filsafat yang memperbincangkan tentang seluk beluk pengetahuan, baik
pengaetahuan umum atau pengetahuan agama terkhususnya Agama Islam.
Epistemologi bermaksud mengkaji dan mencoba menemukan ciri-ciri umum
dan hakikat dari pengetahuan manusia, bagaimana pengetahuan itu diperoleh dan
diuji kebenarannya. Sedangkan Paradigma Ilmu dapat didefinisikan cara
pandang seseorang mengenai suatu pokok permasalahan yang bersifat
fundamental untuk memahami suatu ilmu maupun keyakinan dasar yang
menuntun seorang untuk bertindak dalam kehidupan sehari-hari.
Kemudian didalam Paradigma Ilmu juga terdapatat unsur-unsur paradigma yang
menjelaskankan tentang sebuah perspektif dalam ilmu sosial-budaya biasanya dapat
dibedakan satu sama lain atas dasar asumsi-asumsi atau anggapan-anggapan
dasarnya tentang obyek yang diteliti, masalah-masalah yang ingin dijawab atau
diselesaikan, konsep-konsep, metode-metode serta teori-teori yang dihasilkannya.
Oleh karena itu, mengikuti jalan pikiran yang telah dibuka oleh Kuhn serta Cuff
dan Payne yaitu seorang tokoh pertama mencetus teori unsur-unsur paradigma,
maka sebuah paradigma, kerangka teori atau pendekatan dalam ilmu sosial-
budaya menurut hemat saya terdiri dari sejumlah unsur pokok, yakni: (1) asumsi-
asumsi dasar; (2) nilai-nilai; (3) masalah-masalah yang diteliti (4) model; (5)
konsep-konsep; (6) metode penelitian; (7) metode analisis; (8) hasil analisis atau
teori dan (9) etnografi atau representasi. Bagian dari paradigma ilmu juga
memiliki point-point penting diantaranya adalah :

a. Positivisme yaitu : ilmu pengetahuan yang paling awal muncul dalam


dunia ilmu pengetahuan. Yang memiliki Keyakinan dasar dan berakar dari
paham ontologi yang menyatakan bahwa realitas ada (exist) dalam
kenyataan yang berjalan sesuai dengan hukum alam (natural laws).

16
b. Rasionalisme yaitu : Rasionalisme adalah faham filsafat yang menyatakan
bahwa akal (reason) adalah alat terpenting untuk memperoleh pengetahuan
dan menetes pengetahuan.
c. Fenomenologi yaitu : uraian atau pembahasan tentang fenomena atau
sesuatu yang sedang menampakkan diri, atau sesuatu yang sedang
menggejala.
d. Post-Modernisme yaitu : suatu ide baru yang menolak atau pun yang
termasuk dari pengembangan suatu ide yang telah ada tentang teori
pemikiran masa sebelumnya. dan
e. Strukturalisme yaitu : Strukturalisme adalah teori yang menyatakan bahwa
seluruh organisasi manusia ditentukan secara luas oleh struktur sosial atau
psikologi yang mempunyai logika independen yang menarik, berkaitan
dengan maksud, keinginan, maupun tujuan manusia.

Demikianlah rangkaian dari beberapa point tentang paradigma ilmu yang


telah di rangkumkan oleh penulis dengan sedemikian rupa, semoga dapat
dengan mudah dipahami dan dimengerti oleh para pembaca, sehingga menjadi
bahan diskusi dan pembahasan. Dikarenakan makalah ini jauh dari kata
kesempurnaan maka penulis menginginkan kritik dan saran perbaikan dari
pembaca semuanya.

17
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales Sampai James
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998)

Ahmad Tafsir, Filsafat Umum; Akal dai Hati Sejak Thales Sampai Capra,

George Ritzer, Sosiologi Berparadigma Ganda, (Jakarta: Rajawali Pers,1989

Heddy Sri, Strukturalisme Levi-Strauss Mitos dan karya sastra;

Heddy Shri Ahimsa-Putra,Paradigma Ilmu Sosial-Budaya, Antropologi Budaya


Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.

http://amry90.blogspot.com/2013/06/filsafat-strukturalisme.html

Irham Nugroho, Jurnal Positivisme Auguste Comte: Analisa Epistemologis Dan


Nilai Etisnya Terhadap Sains, CAKRAWALA, Vol. XI, No. 2, Desember
2016

Johan Setiawan, Jurnal Filsafat, Pemikiran Postmodernisme Dan Pandangannya


Terhadap Ilmu Pengetahuan, Program Pascasarjana Universitas Negeri
Yogyakarta,

Juhaya S. raja, Alirai-Alirai Filsafat dai Etika, (Jakarta: KPicaia, 2003)

Jumantoro dan Syamsul Munir, Kamus Ilmu Tasawuf (Wonosobo: Amza, 2005)

Jurnal Akuntansi Universitas Jember, paradigma ilmu pengetahuan sebuah telaah


kritis,

K Bertens, Filsafat Barat Kontemporer, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001),

Leahy, Louis, Manusia Sebuah Misteri Sintesa Filosofis Makhluk Paradoks,


Gramedia, Jakarta. 1985)

18
Maksum, Ali, , Pengantar Filsatfat, (Ar-ruzz mmedia : Jakarta. 2012),

Mary Warnock, Existensialism (New York & Oxford: Oxford University Press,
1989),

Mulyadi Kartanegara, Panorama Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2002)

N. Drijarkara, Percikan Filsafat, (Jakarta: PT Pembangunan, 1989),

Norman k. Denzin, Hand Book of Qualitative Research, (Yogyakarta: Pustaka


Pelajar 2009)

Sudarminta, Epistimologi Dasar, Pengantar Filsafat Pengetahuan (Yogyakarta:


Kanisius, 2002

19

Anda mungkin juga menyukai