Anda di halaman 1dari 13

IDEA: Jurnal Humaniora ISSN: 2655-7258 | 2655-3139

PERKEMBANGAN PARADIGMA EPISTEMOLOGI DALAM FILSAFAT ISLAM

Dudi Badruzaman

STAI Sabili Bandung


Email: badruzaman.dudi@yahoo.com

Abstract. Based on historical reports, Islamic epistemology paradigm has evolved


from time to time bringing different schools each other. This paper aims at revealing
such differences. Methods employed are philosophical Literary Review where
compiled data are analyzed inductively to formulate theoretical constructions.
Research findings reveal that peripatetic philosophers highlight their mind as a
dominant tool to gain knowledge using demonstrative method (burhani).Whilst
illuminative philosophers, ‘irfaniyyin, and Sufis believe that knowledge can only be
derived from mystical intuition after purification of the heart (qalb) trough practices
(riya-ah). Different schools such as ones held by Mulla Sadra and Abed al-Jabiri are
based on those distinctive principles.

Keywords: epistemology, science, knowledge, ratio, intuition and philosophy

Abstrak. Paradigma epistemologi pemikiran Islam menurut laporan sejarah


mengalami perkembangan dari zaman ke zaman, yang berbeda prinsip antara aliran
yang satu dengan yang lain. Tulisan ini bertujuan untuk menguak letak perbedaan
antara aliran-aliran tersebut. Metode kepustakaan filsafat dilakukan dengan analisa
data induktif untuk merumuskan konstruksi teoritik. Temuan penelitian ini adalah,
bahwa para filosof Muslim Paripatetik mengedepankan akal atau rasio sebagai alat
yang paling dominan untuk memperoleh pengetahuan yang benar dengan
menggunakan metode demonstratif (burhani). Sementara filosof iluminasi, kaum
‘irfani, dan kaum sufi berprinsip bahwa pengetahuan hakiki hanya dapat diperoleh
melalui intuisi-mistik, setelah melalui proses penyucian hati (qalb) dengan berbagai
bentuk latihan (riya-ah). Sementara epistemologi Mulla Sadra menggunakan tipe
“hikmah”, yaitu pemaduan antara visi rasional dengan visi mistik, yang kemudian
diselaraskan dengan syari’at. Epistemolog kontemporer, Abed al-Jabiri memilih
epistemologi burhani yang meyakini bahwa sumber pengetahuan adalah rasio, bukan
teks atau intuisi.

Keywords: epistemologi, ilmu, pengetahuan, rasio, intuisi dan filsafat.

1. Pendahuluan konsekuensinya memilki body of


knowledge masing-masing.1
Setiap jenis pengetahuan
Epistemologi adalah salah satu
mempunyai ciri-ciri yang spesifik
cabang pokok bahasan dalam wilayah
mengenai apa (ontologi), bagaimana
filsafat yang memperbincangkan seluk
(epistemologi), dan untuk apa
beluk pengetahuan. Persoalan sentral
(aksiologi) pengetahuan tersebut
epistemologi adalah mengenai apa yang
disusun. Ketiga dasar filosofis inilah
dapat kita ketahui, dan bagaimana cara
yang merupakan sumber derivasi
mengetahuinya. Epistemologi
paradigma keilmuan, sehingga setiap
bermaksud mengkaji dan mencoba
pengetahuan memiliki ciri-ciri
menemukan ciri-ciri umum dan hakikat
paradigmatik masing-masing yang
dari pengetahuan manusia, bagaimana

1
Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu (Yogyakarta:
Belukar, 2008), hlm7

52
Perkembangan Paradigma Epistemologi Dalam Filsafat Islam | 53

pengetahuan itu diperoleh dan diuji Mengenai alat pencapaian


kebenarannya.2 pengetahuan, para pemikir Islam secara
Epistemologi adalah umum sepakat ada tiga alat epistemologi
pengetahuan mengenai pengetahuan yang dimiliki manusia untuk mencapai
yang juga sering disebut “teori pengetahuan, yaitu; indera, akal, dan
pengetahuan (theory of knowledge)”. hati. Berdasarkan tiga alat tersebut, maka
Surajiyo, secara lebih rinci menyatakan terdapat tiga metode pencapaian
bahwa pokok bahasan epistemologi pengetahuan, yaitu: a) metode observasi
adalah meliputi hakikat dan sumber sebagaimana yang dikenal dalam
pengetahuan, metode memperoleh epistemologi Barat, atau juga disebut
pengetahuan, dan kriteria kesahihan metode bayani yang menggunakan
pengetahuan. Pengetahuan filsafat indera sebagai pirantinya, b) metode
adalah pengetahuan logis tentang objek deduksi logis atau demonstratif
yang abstrak logis, dalam arti rasional (burhani) dengan menggunakan akal,
dan dapat juga dalam arti supra- dan c) metode intuitif atau ‘irfani dengan
rasional.3 menggunakan hati.
Logis adalah yang masuk akal, Miska M. Amien menyatakan,
terdiri dari logis rasional yakni suatu bahwa epistemologi Islam membahas
pemikiran yang masuk akal, tetapi masalah-masalah epistemologi pada
menggunakan ukuran hukum alam, dan umumnya dan juga secara khusus
logis supra-rasional yaitu pemikiran akal membicarakan wahyu dan ilham,
yang kebenarannya berdasarkan logika sebagai sumber pengetahuan dalam
yang ada di dalam susunan Islam. Wahyu hanya diberikan Allah
argumentasinya, benar-benar bersifat kepada para nabi dan rasul melalui
abstrak meskipun melawan hukum alam. Malaikat Jibril, dan berakhir pada Nabi
Perlu diingat, bahwa dalam epistemologi Muhammad Saw., penutup para nabi dan
terdapat beberapa perbedaan mengenai rasul. Wahyu hanya khusus untuk para
teori pengetahuan, karena setiap ilmu nabi, karena ia merupakan konsekwensi
memiliki obyek, metode, sistem, dan kenabian dan kerasulan. Ilham adalah
tingkat kebenaran yang berbeda-beda, inspirasi atau pancaran ilahi yang
baik dari sudut pandang maupun metode. ditiupkan ruh suci ke dalam hati nabi
Dalam wacana pemikiran Islam, secara atau wali. Inspirasi atau intuisi pada
historis para filosof Muslim telah prinsipnya dapat diterima setiap orang.5
membahas epistemologi yang diawali Oleh sebab itu, di satu sisi
dengan membahas sumber-sumber epistemologi Islam berpusat pada Allah,
pengetahuan yang berupa realitas. dalam arti Allah sebagai sumber
Realitas dalam epistemologi Islam tidak pengetahuan dan kebenaran, tetapi di sisi
hanya terbatas pada realitas fisik, tetapi lain, epistemologi Islam berpusat pada
juga mengakui adanya realitas yang manusia, dalam arti manusia sebagai
bersifat nonfisik, baik berupa realitas pelaku pencari pengetahuan
imajinal (mental) maupun realitas (kebenaran). Terkait dengan bahasan
metafisika murni.4 epistemologi Islam, Amin Abdullah.

2 4
Sudarminta, Epistimologi Dasar, Pengantar Mulyadi Kartanegara, Panorama Filsafat Islam
Filsafat Pengetahuan (Yogyakarta: Kanisius, (Bandung: Mizan, 2002),hlm 58.
5
2002), hlm 18. Jumantoro dan Syamsul Munir, Kamus Ilmu
3
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati Tasawuf (Wonosobo: Amza, 2005), hlm 86.
Sejak Thales Sampai James (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1998), 16.

Vol 2, No.1, April 2019


54 | Dudi Badruzaman

menyatakan bahwa dalam wacana pengertian bahwa kebenaran selalu


filsafat Islam, wilayah metafisika, berubah, tidak tetap.6
epistemologi, dan etika menyatu dalam Sebaliknya Parmenides (304-475
bentuk mistik (mysticism). Aspek yang SM) berpendapat bahwa segala yang
lebih menarik dikaji lebih dalam dari berasal dari penangkapan indera tidak
ketiga ranah tersebut adalah hubungan ada yang layak disebut pengetahuan, dan
antara “mistisisme” dan “epistemologi”. bahwa satu-satunya pengetahuan sejati
Di sinilah urgensi tulisan ini, hanyalah berkaiatan dengan konsep-
karena menurut laporan sejarah para konsep. Sedang pernyataan “salju
filosof dan sufi Muslim secara dinamis berwarna putih” dianggap penuh dengan
dari zaman ke zaman telah melakukan ketidakjelasan dan ketidakpastian. Plato
upaya pemaduan atau harmonisasi antara (427-347 SM) lebih cenderung pada
mistisisme dan filsafat dalam rangka rasionalisme Parmenides. Ia berpendapat
mencapai pengetahuan hakiki, sehingga bahwa pengamatan inderawi tidak
muncul berbagai paradigma dalam memberikan pengetahuan yang kokoh
epistemologi Islam. Secara spesifik, karena sifatnya selalu berubah-ubah.
tulisan ini mengkaji secara mendalam Plato tidak mempercayai kebenaran
dan sistematis paradigma pemikiran pengamatan inderawi dalam proses
epistemologi para filosof dan sufi pencarian pengetahuan. Ia
Muslim dengan tujuan untuk mengemukakan bahwa di luar wilayah
mendeskripsikan beberapa hal, pertama, pengamatan inderawi ada “ide”. Dunia
paradigma pemikiran epistemologi para “ide” bersifat tetap, tidak berubah-ubah
filosof Muslim Paripatetik; kedua, dan kekal. Aristoteles (384-322 SM)
prinsip-prinsip pemikiran epistemologi menyanggah teori Plato dengan
para sufi dan filosof iluminasi; ketiga, mengatakan bahwa ide-ide bawaan tidak
rumusan pemikiran epistemologi ada. Kalau Plato menekankan adanya
transenden teosofi Mulla Sadra, dan dunia ‘ide’ yang berada di luar benda-
keempat, tipologi pemikiran benda empirik, maka Aristoteles tidak
epistemologi kontemporer ‘Abid al- mengakui adanya dunia seperti itu.
Jabiri. Hukum-hukum dan pemahaman
yang bersifat universal bukan hasil
2. Epistemologi Para Filosof bawaan dari sejak lahir, melainkan dari
Yunani dan Romawi pemahaman yang dicapai lewat proses
panjang pengamatan empirik manusia.
Diskursus epistemologi dapat
Aristoteles mengakui bahwa
dilacak dari sejarah pemikiran para
pengamatan inderawi itu berubah-ubah,
filosof Yunani kuno, yaitu Heraklitos
tidak tetap atau kekal. Tetapi dengan
(535-484 SM) yang berpendapat bahwa
pengamatan dan penyelidikan yang terus
alam semesta ini selalu dalam keadaan
menerus terhadap hal-hal dan benda-
berubah, sesuatu yang dingin berubah
benda konkret, maka akal akan dapat
menjadi panas, dan begitu sebaliknya.
melepaskan atau mengabstraksikan
Dunia ini selalu bergerak, tidak ada yang
idenya dari benda konkret tersebut.7
tetap, panta rhei, semuanya mengalir.
Menurut Aristoteles
Implikasi pernyataan ini mengandung
pengetahuan harus selalu berisi
kenyataan yang dapat diindera, yang

6 7
Tafsir, Filsafat Umum..., 41-2. Musa Asy’arie, Filsafat Islam, Kajian Ontologis,
Epistemologis, Aksiologis, dan Perspektif
(Yogyakarta: LESFI, 1992), 23-4.

DOI: https://doi.org/10.29313/idea.v0i0.4168
Perkembangan Paradigma Epistemologi Dalam Filsafat Islam | 55

merangsang budi kita kemudian diolah pengetahuan manusia, yaitu;


oleh akal pikir. Pada era hellenisme pengetahuan inderawi, pengetahuan
Romawi muncul Plotinus (205-270 M) rasional, dan pengetahuan intuisi.
yang berupaya memadukan atau Pertama, pengetahuan inderawi, yaitu
melakukan sintesis antara ajaran Plato pengetahuan yang diperoleh secara
dan Aristoteles, tetapi pada prakteknya ia langsung ketika orang mengamati
condong kepada Plato. Plotinus obyek-obyek material, kemudian dalam
berpendapat bahwa Yang Satu adalah proses tanpa tenggang waktu dan tanpa
pangkal dari segala-galanya. Yang Satu berpindah ke imajinasi. Pengetahuan
adalah Yang Asal, Yang Sempurna, yang diperoleh dengan jalan ini bersifat
Yang Menjadi Sebab Pertama dari segala tidak tetap, tetapi selalu berubah dan
yang ada, dari Yang Satu mengalir bergerak setiap waktu. Kedua,
menjadi wujud yang beragam melalui pengetahuan rasional, yakni
proses “emanasi”. Proses pelimpahan pengetahuan yang diperoleh dengan
dari Yang Satu ini dapat dianalogkan jalan menggunakan akal yang bersifat
dengan proses pancaran cahaya. Jadi, universal, tidak parsial dan bersifat
pengetahuan dapat diperoleh manusia immaterial. Pengetahuan ini menyelidiki
melalui pancaran langsung dari Yang sampai pada hakikatnya. Sebagai contoh
Satu atau Tuhan. Pemikiran ketiga tokoh adalah orang yang mengamati manusia,
filosof di atas (Plato, Aristoteles, dan menyelidikinya sampai pada hakikatnya
Plotinus) merupakan representasi pola dan sampai pada kesimpulan bahwa
pemikiran filsafat yang berkembang manusia adalah makhluk yang berfikir.
secara menyeluruh di dunia Islam dalam Ketiga, pengetahuan ishraqi yang
bingkai ajaran Islam.8 merupakan pengetahuan yang datang
dan diperoleh langsung dari pancaran
3. Paradigma Pemikiran nur-Ilahi. Puncak pengetahuan ini adalah
Epistemologi Filosof Muslim pengetahuan yang diperoleh para Nabi
Paripetetik untuk membawakan ajaran yang berasal
dari wahyu Tuhan. Menurutnya
Sejarah mencatat, bahwa di
pengetahuan inilah yang mutlak dan
kalangan filosof Muslim Paripatetik
benar. Pengetahuan ini hanya dimiliki
memiliki perhatian yang sangat kuat
oleh mereka yang berjiwa suci dan dekat
dalam membahas epistemologi. Filsafat
dengan Allah.10
Paripatetik adalah gabungan
Al-Farabi (870-950 M),
Aristotelian-Neoplatonis, sebagai corak
mengemukakan bahwa manusia
pertama filsafat Islam yang mencapai memperoleh pengetahuan melalui daya
kematangannya di tangan Ibn Sina.
mengindera, menghayal, dan berfikir, di
Dalam tradisi pemikiran Islam dikenal
mana ketiga daya ini merujuk pada
dengan “massya’i”, yang berarti
kedirian manusia, yaitu: jism, nafs, dan
berjalan, karena Aristoteles dalam
‘aql. Pertama, daya mengindera yang
menyampaikan ajarannya berjalan-jalan
memungkinkan manusia untuk
di sekitar gedung olah raga di kota
menerima rangsangan seperti panas dan
Athena yang bernama paripatos.9
dingin, yang dengan daya ini manusia
Al-Kindi (801-860 M)
dapat mengecap, membau, mendengar
menyebutkan ada tiga macam
suara, meraba, dan melihat. Kedua, daya

8 10
. Drajad, Suhrawardi, Kritik..., hlm 18. Ahmad Musthofa, Filsafat Islam (Bandung:
9
Dick Hartoko, Kamus Populer Filsafat (Jakarta: Pustaka Setia, 1997), hlm 104.
Rajawali Press, 1986),hlm 79.

Vol 2, No.1, April 2019


56 | Dudi Badruzaman

menghayal yang memungkinkan tidak mencapai derajat tersebut, sebab


manusia untuk memperoleh kesan dari masih bisa tertipu oleh bayangannya
hal-hal yang dirasakan setelah obyek sendiri. Menurut Ibn Rushd, untuk
tersebut lenyap dari jangkauan indera. mendapatkan pengetahuan yang benar
Daya ini adalah menggabungkan atau tentang Pencipta alam ini hanya dengan
memisahkan seluruh kesan-kesan yang penalaran yang benar berdasarkan
ada sehingga menghasilkan potongan- logika. Logika merupakan sarana untuk
potongan atau kombinasi-kombinasi mendapatkan hakikat kebenaran
yang beragam, dan hasilnya bisa jadi meyakinkan, yang disebut dengan
benar, bisa jadi salah. Ketiga, daya “metode burhani” (demonstratif).13
berfikir yang memungkinkan manusia Akan tetapi Ibn Rushd juga
memahami berbagai pengertian, berpendapat bahwa jalan untuk menuju
sehingga dapat membedakan yang mulia kebenaran tidak hanya melalui refleksi
dari yang hina serta menguasai seni dan filsafat (burhani), namun ada jalan lain,
ilmu.11 yakni melalui analisa mendalam
Ibn Sina (980-1037 M) terhadap kitab suci. Berdasarkan uraian
mengemukakan teori al-Ruh al- ringkas tentang pemikiran epistemologi
Muqaddas (ruh yang disucikan), yakni dari para filosof muslim Paripatetik
jiwa insani yang merupakan fakultas menunjukkan bahwa akal atau rasiolah
rasional yang dipersiapkan dari yang paling dominan sebagai sarana
keterjagaan dan berhubungan dengan untuk memperoleh pengetahuan yang
akal universal, dan kebutuhannya benar dengan menggunakan metode
dicukupi dengan ilham dan demonstratif (burhani). Posisi al-Qur’an
wahyu.Sesuai dengan tradisi filsafat dan al-hadis bagi mereka adalah hanya
Yunani yang universal, Ibn Sina sebagai alat legitimasi, sehingga
menyatakan bahwa seluruh pengetahuan penerapannya dengan cara memberikan
adalah sejenis abstraksi untuk ta’wil yang rasional.
memahami bentuk sesuatu yang
diketahui. Ia berpendapat bahwa 4. Prinsip-Prinsip
pengetahuan yang benar dapat diperoleh Epistemologi Al-Gazali,
lewat akal yang merupakan satu-satunya Suhrawardi dan Ibn ‘Arabi
sarana yang melaluinya, sehingga kita
Al-Gazali (1058-1111 M)
mampu mencapai kebenaran dan
sebagai tokoh sufi filosof juga
membangun kepribadian.12
membahas epistemologi dengan
Ibn Rushd (1126-1198 M) yang
populer sebagai “Komentator pendapatnya, bahwa manusia memiliki
tiga alat untuk memperoleh
Aristoteles” berpendapat, bahwa jalan
pengetahuan, yaitu; panca indera, akal,
untuk mencapai pengetahuan ada dua
dan qalb. Pertama, panca indera
macam, yaitu indera dan rasio. Ibn
menghasilkan pengetahuan inderawi
Rushd berpendapat, bahwa hanya
yang tidak meyakinkan karena memiliki
pengetahuan yang dihasilkan rasio yang
berbagai kelemahan, ia bukan
bisa dianggap sebagai pengetahuan
merupakan ilmu yang riil. Kedua, akal
sejati, sedang pengetahuan hasil indera

11 13
hmad Zaenul Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim Suparman Syukur, Epistemologi dalam
(Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004), 77-9. Filsafat Ibn Rusyd (Yogyakarta: IAIN Sunan
12
MM Sharif (ed), A history of Muslem Kalijaga, 1996), hlm145.
Philosophy (Delhi: Low Price Publication, 1998),
hlm 159.

DOI: https://doi.org/10.29313/idea.v0i0.4168
Perkembangan Paradigma Epistemologi Dalam Filsafat Islam | 57

sebagai alat berpikir yang menghasilkan Baginya esensilah yang primer dan
pengetahuan, dan dalam proses fundamental dari suatu realitas, sedang
berpikirnya dibutuhkan indera yang eksistensi hanya sekunder, merupakan
merupakan abdi dan pengikut setia akal. sifat dari esensi, dan hanya ada dalam
Akal berfungsi mengolah rangsangan pikiran manusia.15
inderawi dalam proses memperoleh Kemudian muncul epistemologi
pengetahuan, sehingga memiliki banyak ‘irfani (gnostik) Ibn ‘Arabi yang
kelemahan.14 berpangkal kepada pengetahuan
Ketiga, qalb (hati) sebagai alat ma’rifat, yaitu pengetahuan yang
memperoleh pengetahuan hakiki yang diperoleh secara intuitif melalui ilham
diistilahkan dengan ilmu ladunni yang dari Allah secara langsung mengenai
berupa ilham, yaitu ilmu yang masuk kebenaran dan hakikat sesuatu yang
secara mendadak ke dalam hati seolah- dapat ditangkap oleh rasa batiniyah
olah disusupkan tanpa diketahui dari (dhauq). Menurut Ibn ‘Arabi ada tiga
mana datangnya, yang diperoleh tanpa macam pengetahuan, yaitu: 1)
memerlukan usaha dan mengotak-atik pengetahuan intelek (al-‘ilm al-aqli)
argumen. Selanjutnya muncul yang merupakan hasil penalaran akal, 2)
Suhrawardi sebagai penggagas filsafat pengetahuan keadaan (al-‘ilm al-ahwal),
illuminasi dalam Islam yang sangat sebagai hasil eksperimen, dan 3)
menguasai filsafat Islam terutama al- pengetahuan rahasia (al-‘ilm al-asrar),
Farabi dan Ibn Sina yang disebutnya yang mirip dengan wahyu.38 Ibn ‘Arabi
sebagai Paripatetisme, tetapi kemudian (9964-1240 M) telah berjasa
dikritik, meskipun ia sendiri terpengaruh merumuskan epistemologi yang dikenal
pandangan-pandangan mereka. Ia juga dengan ‘irfan (gnosis) atau ma’rifat,
mengenal dengan baik konsep para sufi yaitu pengetahuan dengan representasi
abad ketiga dan keempat Hijriah, seperti yang dicerahkan dan diperoleh dari
Abu Yazid al-Bus¦ami, al-Hallaj, dan pengetahuan dengan kehadiran mistik
Abu al--asan al-Kharqani, yang mereka melalui relasi illuminatif.
itu menurut Suhrawardi adalah para Ibn ‘Arabi menyatakan bahwa
illuminasionis Persi yang asli. pengetahuan ma’rifat diperoleh secara
Filsafat illuminasi (-ikmah al- intuitif melalui ilh?m dari Allah secara
Ishraq), yaitu aliran filsafat Islam yang langsung mengenai kebenaran dan
lahir sebagai reaksi terhadap aliran hakikat sesuatu, yang dapat ditangkap
Paripatetik. Aliran ini dibangun oleh oleh rasa batiniah (dhauq). Istilah ‘irfan
Suhrawardi al-Maqtul (1153-1191 M) secara etimologis berarti pengetahuan
dengan konsepnya bahwa yang hakiki dan ma’rifat, dan secara terminologis
dari segala sesuatu adalah cahaya. konsep pencapaian pengalaman tingkat
Lawan dari cahaya adalah kegelapan, tertinggi yang tidak hanya dapat
dan ada realitas lain sebagai dirasakan dalam diri, tetapi dapat pula
penghubung di antara keduanya yang dijelaskan dengan nalar. ‘Irfan adalah
disebut “barzakh”. Secara ontologis, pengenalan atau pengetahuan yang
konsep tentang eksistensi-esensi filsafat mendalam tentang hakikat segala
paripatetik yang menyatakan bahwa sesuatu termasuk keagamaan dan
yang fundamental dari realitas adalah katuhanan secara esoterik (batin).
“eksistensi” ditolak oleh Suhrawardi. Pengetahuan esoterik berbeda dengan

14 15
Imam al-Gazali, I+ya’ Ulum al-Din, Jilid 3 Mazhar dalam Fazlur Rahman, Filsafat
(Surabaya: Salim Nabhan, tt),hlm 9. Shadra, ter. Munir A. Muin (Bandung: Pustaka,
2000),hlm xv.

Vol 2, No.1, April 2019


58 | Dudi Badruzaman

pengetahuan spekulatif. Pengetahuan ini kemudian mencari legitimasi syariat, dan


bersifat positif dan memiliki realitas berbeda dengan filsafat illuminasi dan
mandiri. Cara memperolehnya melalui ‘irfan yang bertitik tolak dari
shuhud terhadap realitas sesuai pengalaman mistik kemudian berusaha
pengetahuan Tuhan. Perbedaannya, mengungkapkan secara rasional dan
pengetahuan Tuhan bersifat absolut dan menyelaraskan dengan syariat. Al-
pengetahuan esoterik manusia bersifat hikmah al-muta’aliyah bertitik tolak dari
terbatas.16 rasio kemudian mencari pengalaman
Berdasarkan uraian singkat di mistik atau sebaliknya yang kemudian
atas, dapat dipahami bahwa para filosof diselaraskan dengan syariat.17
Iluminasi, kaum ‘Irfani dan kaum sufi Proses memperoleh
filosof yang diwakili oleh Al-Gazali pengetahuan dalam al-hikmah al-
pada prinsipnya berpendapat bahwa muta’aliyah dilakukan dengan tiga cara,
pengetahuan yang hakiki (ma‘rifah) yaitu; pertama, dimulai dari pengalaman
hanya dapat diperoleh melalui intuisi- rohani kemudian dicari dukungan rasio,
mistik, setelah melalui proses penyucian dan kemudian diselaraskan dengan
hati (qalb) dengan berbagai bentuk syariat; kedua, diawali dari pemikiran
latihan (riya-ah), sehingga mampu rasional kemudian dihayati dengan
mengakses ilmu-ilmu secara langsung pengalaman rohani, dan kemudian dicari
dari Pemilik ilmu (Tuhan). Al-Qur’an dukungan syariat; ketiga, bermula dari
dan al-Hadis bagi mereka merupakan ajaran syariat kemudian dirasionalkan,
landasan pokok, tetapi dengan dan seterusnya dipertajam dengan
penghayatan batin secara esoterik, bukan penghayatan rohani. Penulis dalam
dari sisi makna literal ataupun ta’wil melakukan pelacakan literatur
rasional. memperoleh data bahwa Mulla Sadra
dalam menyikapi berbagai wacana
5. Rumusan Epistemologi sebelumnya, terutama filsafat
Transenden Teosofi Mulla Paripatetik, filsafat illuminasi (hikmah
Sadra al-ishraq) Suhrawardi, dan ‘irfan Ibn
‘Arabi, adalah dengan melakukan
Pada abad ke 17 Masehi lahir al-
harmonisasi. Masing-masing wacana
-ikmah al-Muta’aliyah atau trancendent
diakui eksistensinya secara proporsional
theosophy (wisdom yang tinggi) yang
dan tidak dijadikan medan pengabsahan
dibangun oleh Mulla -adra, sebagai
sepihak yang berakibat terjadinya klaim
aliran filsafat Islam yang berdasarkan
kebenaran (truth claim). Meskipun
pada intuisi-intelektual, pembuktian corak pemikiran Sadra merupakan hasil
rasional, dan syariat Islam. Ia merupakan
sintesis dari berbagai aliran pemikiran
“babak baru” dalam tradisi filsafat Islam
sebelumnya, namun tidak berarti hanya
dengan konsep filsafat “eksistensialis”
sekedar “rekonsiliasi” dan “kompromi”
dalam Islam. Secara epistemologis al-
secara dangkal, melainkan didasari oleh
hikmah al-muta’aliyah berbeda dengan
suatu prinsip filosofis yang matang, yang
teologi yang bertitik tolak dari syariat
dikemukakan dan dijelaskannya untuk
kemudian mencari legitimasi rasio,
pertama kali dalam sejarah pemikiran
berbeda dengan filsafat Paripatetik yang
Islam. Prestasinya tidak hanya
bertitik tolak dari filsafat Yunani
melakukan sintesis, tetapi juga

16 17
2Ibn ‘Arabi, al-Futuhat al-Makkiyyah..., hlm Mulla Sadra, al--ikmah al-Muta‘aliyah fi al-
78 Asfar al-‘Aqliyyah al-Arba‘ah, Jilid 1 (Bayrut: Dar
al-I+ya’ al-Turath al-‘Arabiyyah, 9189), hlm 12.

DOI: https://doi.org/10.29313/idea.v0i0.4168
Perkembangan Paradigma Epistemologi Dalam Filsafat Islam | 59

menemukan ide-ide baru yang segar, kesemuanya menyatu dalam doktrin


yang pada gilirannya membentuk gnostik sebagai hasil dari illuminasi
“mazhab filsafat baru” di dunia Islam, yang diterima melalui penyucian diri.
yaitu al-+ikmah al-muta’aliyah (teosofi Karena itulah mengapa tulisan-tulisan
transenden).18 Mulla Sadra merupakan kombinansi dari
Dalam konteks ini Nasr pernyataan-pernyataan logika, intuisi
menyatakan: “The particular genius of gnostik, dan sunnah Nabi, serta ayat-ayat
Mulla Sadra was to synthesize and unity al-Qur’an). Pada hakikatnya bangunan
the three paths lead to the truth, viz., epistemologi Sadra didasarkan pada
reveleation, rational demonstration, and prinsip bahwa jiwa manusia akan
purification as soul, which lats in turn mampu menangkap hakikat segala
leads to illumination. For him gnosis, sesuatu dengan beberapa kemungkinan;
philosophy, and revealed religion were pertama, karena kekuatan daya
elements of a harmonious assemble the berfikirnya dalam menkonsepsikan
harmony of which he sought to reveal in sesuatu, maka ia mendapatkan hembusan
his own life as well as in his writing. He angin lembut dari Tuhan, maka
formulated a perspective in which tersingkaplah semua hijab dan
rational demonstration of philosophy, musnahlah semua penghalang mata hati
although not necessarily limited to that (ba¦irah), sehingga terbukalah jiwanya
of the Greeks, became closely tied to the untuk menangkap sebagian dari apa yang
Qur’an and the saying of the prophet and ditetapkan Allah Swt. di lawh mahfud.
the Imams, and these in turn became Kedua, terkadang manusia mampu
unified with the gnosis doctrine which menangkap hakikat itu dalam keadaan
result from the illumination received by tidur, di mana terlihat apa yang akan
a purified soul. That is why Mullah terjadi di masa yang akan datang. Perlu
Sadra’s writing are combination as diketahi bahwa, hijab itu akan lenyap
logical statements, Gnostic intuition, dengan sempurna ketika manusia mati,
traditional of prophet, and the Qur’anic dan terbukalah semua penghalang.
verses”.19 (Keluarbiasaan Mulla Sadra Ketiga, tersingkapnya hijab karena
adalah keberhasilannya melakukan pertolongan Allah Swt. yang bersifat
sintesis dan penyatuan terhadap tiga arus rahasia, sehingga nampaklah di dalam
kebenaran utama, yaitu; wahyu, hati manusia tersebut rahasia-rahasia
demonstrasi rasional dan penyucian alam malakut yang kadang-kadang
jiwa, yang membelokkan arah filsafat kontinyu, dan kadang-kadang hanya
menuju illuminasi. Baginya gnostik, seke jap. Mengenai metode memperoleh
filsafat dan wahyu agama merupakan pengetahuan, Sadra menjelaskan bahwa
elemen harmonisasi yang bermuara pada ada dua macam metode, yakni: a)
pola hidup yang ditampilkannya sebaik metode hu¦uli, yaitu ilmu yang diperoleh
tulisannya. Dia memformulasikan melalui belajar dan usaha (al-ta’allum
sebuah perspektif dalam kerangka wa al-kasb), dan b) metode hu-uri, yaitu
demonstrasi rasional filosofis, tetapi pengetahuan yang diperoleh melalui
tidak terbatas pada filsafat Yunani, pemberian langsung dan penarikan ilahi
namun juga menjadi sangat erat (al-wahb wa al-jazbah). Mengenai
kaitannya dengan al-Qur’an, al-Hadis validitas kebenaran pengetahuan hu¦uli,
dan pernyataan para Imam, dan Sadra sependapat dengan kebanyakan

18 19
Bagir dalam Murtadla Muthahhari, Filsafat Sharif (ed.), A history of Muslem..., .hlm 939
Hikmah, Pengantar Pemikiran Sadra, ter. Mizan
(Bandung: Mizan, 2002), 12-4.

Vol 2, No.1, April 2019


60 | Dudi Badruzaman

filosof Paripatetik dengan konsepnya dalam membangun pemikiran


bahwa pengetahuan (hu¦uli) adalah epistemologinya berupaya
merupakan gambaran secara visual yang mendamaikan metode filosofis dan
dihasilkan dari suatu obyek pada diri metode sufistik (metode burhani dan
subyek, sehingga kriteria kebenarannya ‘irfani), dan kemudian diselaraskan
adalah korespondensi antara subyek dengan syariat Islam. Baginya kebenaran
dengan obyek eksternal.20 hanya dapat dipahami dengan
Sementara pengetahuan hu-uri menggabungkan dan mengapresiasi
yang diperoleh dengan tidak adanya secara seimbang antara metode filosofis
pemisahan dua obyek, eksternal dan dan metode sufistik dengan tetap
internal, maka validitas kebenarannya, mengikuti panduan syariat Islam.
terbebas dari dualisme kebenaran dan
kesalahan. Secara substansial antara 6. Tipologi Epistemologi
ilmu hu-uri dan ilmu hu¦uli dapat Kontemporer ‘Abid al-
dibedakan. Ilmu hu¦uli adalah Jabiri
pengetahuan yang didapat berdasarkan
Perkembangan mutakhir dalam
proses korespondensi yang terjadi antara
diskursus epistemologi Islam yang
subyek dengan obyek eksternal,
digagas oleh ‘Abid al-Jabiri, yaitu;
sehingga keduanya merupakan
epistemologi bayani, ‘irfani, dan
eksistensi independen yang berbeda satu
burhani. Bayani adalah model
sama lain. Sementara ilmu hu-uri
epistemologi yang menekankan otoritas
diperoleh dengan tidak adanya
teks . secara langsung atau tidak
pemisahan dua obyek, eksternal dan
langsung, dan dijustifikasi lewat nalar
internal, maka validitas kebenarannya,
kebahasaan yang digali lewat inferensi
terbebas dari dualisme kebenaran dan
kesalahan. Ada tiga ciri utama ilmu hu- (isti-lal) secara langsung ataupun tidak
langsung. Secara langsung, artinya
uri, yaitu: 1) ia hadir secara eksistensial
memahami teks sebagai pengetahuan
di dalam diri subyek, 2) ia bukan
yang sudah jadi, langsung diaplikasikan
merupakan konsepsi yang dibentuk dari
tanpa pemikiran. Secara tidak langsung,
silogisme yang terjadi pada mental, dan
artinya memahami teks sebagai suatu
3) ia bebas dari dualisme kebenaran dan
pengetahuan mentah sehingga perlu
kesalahan.
ditafsirkan dengan penalaran. Meski
Menurut Sadra, proses
demikian peran akal atau rasio tidaklah
memperoleh pengetahuan dapat
bebas, sebab dalam tradisi bayani, rasio
dilakukan dengan tiga cara, yaitu;
pertama, dimulai dari pengalaman rohani atau akal tidak mampu memberikan
pengetahuan kecuali disandarkan pada
kemudian dicari dukungan rasio, dan
teks.21
kemudian diselaraskan dengan syariat,
Epistemologi bayani akan
kedua, diawali dari pemikiran rasional
menghasilkan al-‘Ilm al-Tawqifi. Pokok
kemudian dihayati dengan pengalaman
bahasan al-‘Ilm al-Tawqifi adalah teks
rohani, dan kemudian dicari dukungan
yang berisi wahyu Allah Swt. merupakan
syariat, ketiga, bermula dari ajaran
bahasan tentang agama bukan tentang
syariat kemudian dirasionalkan, dan
keberagamaan. Kelemahan epistemologi
seterusnya dipertajam dengan
dengan tradisi berpikir tekstual (bayani),
penghayatan rohani. Artinya, Sadra

20 21
Mulla Sadra, Al--ikmah Jilid 6...,hlm 151. Mu+ammad ‘Abid al-Jabiri, Bunyah al-‘Aqli al-
‘Arabi (Bayrut: Markaz al-Thaqafi al- ‘Arabi,
9111),hlm 92.

DOI: https://doi.org/10.29313/idea.v0i0.4168
Perkembangan Paradigma Epistemologi Dalam Filsafat Islam | 61

adalah ketika dia harus berhadapan Pola pikir yang dipakai kalangan
dengan teks keagamaan yang ‘irfani menggunakan konsep lahir dan
membicarakan komunitas, kultur, batin. Artinya, pengetahuan diperoleh
bangsa atau masyarakat yang beragama dari yang ba¦in menuju yang +ahir atau
lain, menimbulkan permasalahan dari ma‘na menuju lafaz}. Ba¦in adalah
tersendiri. Ada kecenderungan ketika sebagai hakikat, sementara lahir teks
berhadapan dengan agama lain adalah pelindung dan penyinar, sehingga
cenderung defensif, apologis, dan +ahir nas} (bacaannya) harus dimaknai
pesimis. Upaya untuk menghindari hal secara ba¦in (ta’wil-nya). Ta’wil
itu semua, dan termasuk untuk diartikan sebagai transformasi ungkapan
pengembangan pola pikir bayani ini, jika lahir ke batin dengan berpedoman pada
pengayom pola pikir ini mampu isharah (petunjuk batin).Makna yang
memahami, berdialog, dan mengambil lahir maupun yang batin sama-sama
manfaat sisi fundamental yang dimiliki berasal dari Tuhan. Makna lahir adalah
oleh pola pikir lain, yaitu ‘irfani dan pola turunnya (tanzil) kitab dari Tuhan
pikir burhani. Begitu pula sebaliknya, melalui para nabi-Nya, sedang yang
sebab ketiga pola pikir ini merupakan ba¦in adalah turunnya pemahaman (al-
pola pikir yang serumpun. Oleh sebab fahm) dari Tuhan melalui qalbu sebagian
itu, untuk mendapatkan pengetahuan kaum mukminin, yaitu kaum ‘irfani.
dari teks, epistemologi bayani Epistemologi burhani atau pendekatan
menempuh dua jalan. Pertama, rasional argumentatif adalah pendekatan
berpegang pada redaksi (lafadz) teks, yang didasarkan pada kekuatan rasio
dengan menggunakan kaidah bahasa yang dilakukan melalui dalil-dalil
Arab, seperti nahwu dan saraf sebagai logika. Teks dan konteks dalam
alat analisis. Kedua, berpegang pada pendekatan ini, “sebagai dua sumber
makna teks dengan menggunakan kajian” berada dalam satu wilayah yang
logika, penalaran atau rasio sebagai saling berkaitan. Teks tidak berdiri
analisis. Istilah ‘irfani digunakan untuk sendiri, ia selalu terkait dengan konteks
membedakan antara pengetahuan yang yang mengelilingi dan mengadakannya
diperoleh dengan indera dan akal, sekaligus konteks dari mana teks itu
dengan pengetahuan yang diperoleh dibaca dan ditafsirkan, sehingga
melalaui kashf (ketersingkapan). pemahaman burhani akan lebih kuat.
Epistemologi ‘irfani secara umum Berbeda dengan epistimologi bayani dan
menggunakan metode penghayatan batin ‘irfani yang masih berkaitan dengan teks
dengan beberapa istilah yang khas bagi suci, epistimologi burhani sama sekali
kaum sufi. Secara metodologis, tidak mendasarkan diri pada teks, juga
pengetahuan ‘irfani tidak diperoleh tidak pada pengalaman spiritual. Burhani
berdasarkan rasio, tetapi menggunakan menyandarkan diri pada rasio, akal yang
kesadaran intuitif dan spiritual, dilakukan lewat dalil-dalil logika.
karenanya pengetahuan yang Bahkan dalil-dalil agama hanya bisa
dihasilkannya adalah pengetahuan yang diterima jika ia sesuai dengan logika
sui generis, pengetahuan yang paling rasional. Jadi, sumber pengetahuan
dasar dan sederhana, yaitu pengetahuan burhani adalah rasio, bukan teks atau
yang tidak tereduksi, bahkan terkadang intuisi. Rasio inilah yang dengan dalil-
sampai pada pengetahuan yang dalil logika, memberikan penilaian dan
takterkatakan (unspeakable).22 keputusan terhadap informasi-informasi

22
Muslih, Filsafat Ilmu..., hlm 198-200.

Vol 2, No.1, April 2019


62 | Dudi Badruzaman

yang masuk lewat indera, yang dikenal keteraturan berpikir logis) dan upaya
dengan istilah tasawwur dan ta¦diq.23 yang terus-menerus dilakukan untuk
Menurut epistimologi burhani, memperbaiki dan menyempurnakan
untuk mendapatkan sebuah temuan-temuan, rumus-rumus dan teori-
pengetahuan, harus menggunakan aturan teori yang telah dibangun dan disusun
silogisme yang dalam bahasa Arab oleh jerih payah akal manusia
disebut al-qiyas al-jami‘, yang mengacu (pragmatik). Kalau saja tiga pendekatan
pada makna asal dan mengumpulkan. keilmuan Islam, yaitu bayani, ‘irfani, dan
Sebelum melakukan silogisme terlebih burhani saling terkait dan terpatri dalam
dahulu dilakukan tahap-tahap sebagai satu kesatuan yang utuh, maka corak dan
berikut: (1) tahap pengertian (ma‘qulat), model keberagamaan Islam, menurut
(2) tahap pernyataan (‘ibarat), dan (3) hemat penulis, jauh lebih komprehensif,
tahap penalaran (tahlilat). Epistimologi dan bukannya bercorak dikotomis-
burhani bersumber pada realitas atau al- atomistis seperti yang dijumpai sekarang
waqi’, baik realitas alam, sosial, ini.24
humanitas, maupun keagamaan. Makna
sendiri butuh aktualisasi sebagai upaya
untuk bisa dipahami dan dimengerti, 7. Kesimpulan
sehingga di sinilah ditempatkan kata-
Berdasarkan temuan penelitian
kata. Atau dengan redaksi lain, kata-kata
sebagaimana dipaparkan di atas, dapat
adalah sebagai alat komunikasi dan
diambil beberapa kesimpulan, pertama,
sarana berpikir di samping sebagai
paradigma pemikiran epistemologi para
simbol pernyataan makna. Secara
filosof Muslim Paripatetik
struktural, proses yang dimaksud di atas
menunjukkan, bahwa akal atau rasiolah
terdiri dari tiga hal; pertama, proses
yang paling dominan sebagai sarana
eksperimentasi, yakni pengamatan
untuk memperoleh pengetahuan yang
terhadap realitas. Kedua, proses
benar dengan menggunakan metode
abstraksi, yakni terjadinya gambaran
demonstratif (burhani). Posisi al-Qur’an
atas realitas tersebut dalam pikiran.
dan al-Hadis bagi mereka adalah hanya
Ketiga, ekspresi, yakni mengungkapkan
sebagai alat legitimasi, sehingga
realitas dalam kata-kata.
penerapannya dengan cara memberikan
Menurut M. Amin Abdullah,
ta’wil yang rasional. Kedua, para filosof
tolok ukur validitas keilmuannya pun
Illuminasi, kaum ‘Irfani dan kaum sufi
sangat berbeda dari nalar bayani dan
filosof yang diwakili oleh al-Gazali pada
‘irfani. Jika nalar bayani tergantung pada
prinsipnya berpendapat bahwa
kedekatan dan keserupaan teks atau na
pengetahuan yang hakiki (ma‘rifah)
dan realitas, dan nalar ‘irfani lebih pada
hanya dapat diperoleh melalui intuisi-
kematangan social skill (empati, simpati,
mistik, setelah melalui proses penyucian
verstehen), maka dalam nalar burhani
hati (bqal) dengan berbagai bentuk
yang ditekankan adalah korespondensi
latihan (riya-ah), sehingga mampu
(al-mutabaqah bayn al-‘aql wa nizam al-
mengakses ilmu-ilmu secara langsung
tabi‘ah, yakni kesesuaian antara rumus-
dari Pemilik ilmu (Tuhan). Al-Qur’an
rumus yang diciptakan oleh akal
dan al-Hadis bagi mereka merupakan
manusia dengan hukum-hukum alam).
landasan pokok, tetapi dengan
Selain korespondensi juga ditekankan
penghayatan batin secara esoterik, bukan
aspek koherensi (keruntutan dan
dari sisi makna literal ataupun ta’wil

23 24
Yazdi, Ilmu Huduri...., hlm 51-3. Abdullah, Islamic Studies..., hlm 386.

DOI: https://doi.org/10.29313/idea.v0i0.4168
Perkembangan Paradigma Epistemologi Dalam Filsafat Islam | 63

rasional. Ketiga, bangunan pemikiran Aksiologis, dan Perspektif.


epistemologi Mulla Sadra adalah Yogyakarta: LESFI.
mendamaikan metode filosofis dan Drajad, Amroni. 2005. Suhrawardi,
metode sufistik (metode burhani dan Kritik Falsafah Paripatetik.
‘irfani), dan kemudian diselaraskan Yogyakarta: LKIS.
dengan syariat Islam. Baginya kebenaran Al-Gazali, Imam. tt. I+ya’ ‘Ulum al-Din,
hanya dapat dipahami dengan Jilid 3. Surabaya: Salim Nabhan.
menggabungkan dan mengapresiasi Hamdi, Ahmad Zaenul. 2004. Tujuh
secara seimbang antara metode filosofis Filsuf Muslim. Yogyakarta: Pustaka
dan metode sufistik dengan tetap Pesantren.
mengikuti panduan syariat Islam. Hartoko, Dick. 1986. Kamus Populer
Keempat, tipologi epistimologi burhani Filsafat. Jakarta, Rajawali Press.
‘Abid al-Jabiri sama sekali tidak Ibn ‘Arabi, Mu+yi ad-Din. tt. al-Futu+at
mendasarkan diri pada teks, juga tidak al-Makkiyyah, Jilid 1. Bayrut, Dar-
pada pengalaman spiritual. Burhani al-Fikr.
menyandarkan diri pada rasio, akal yang Ibn Sina. 2009. A+wal al-Nafs, ter. M.S.
dilakukan lewat dalil-dalil logika. Nasrullah. Bandung: Pustaka
Bahkan dalil- dalil agama hanya bisa Hidayah.
diterima jika ia sesuai dengan logika Al-Jabiri, ‘Abid. 1999. Bunyah al-‘Aqli
rasional. Jadi, sumber pengetahuan al-‘Arabi. Bayrut: Markaz al-Thaqafi
burhani adalah rasio, bukan teks atau al-‘Arabi
intuisi. Rasio inilah yang dengan dalil- Jumantoro dan Syamsul Munir. 2005.
dalil logika, memberikan penilaian dan Kamus Ilmu Tasawuf. Wonosobo:
keputusan terhadap informasi-informasi Amza.
yang masuk lewat indera, yang dikenal Kartanegara, Mulyadi. 2002. Panorama
dengan istilah ta¦awwur dan ta¦diq. Wa Filsafat Islam. Bandung: Mizan.
al-Lah a‘lam bi al-¦awab. Kaelan. 2005. Metodologi Penelitian
Filsafat. Yoyakarta: UGM.
Kadir, Muslim A. 2003. Ilmu Islam
Daftar Pustaka
Terapan. Yogyakarta, Pustaka
Amien, Miska, M. 1983. Epistemologi Pelajar.
Islam. Jakarta: Universitas Labib, Muhsin. 2004. Mengurai
Indonesia. Tasawuf, ‘Irfan dan Kebatinan.
Abdullah, M. Amin. 2006. Islamic Jakarta: Lentera.
Studies di Perguruan Tinggi. Muslih, Muhammad. 2008. Filsafat
Yoyakarta, Pustaka Pelajar. Ilmu. Yogyakarta: Belukar.
Afifi, A.E. 1989. Filsafat Mistik Ibn Musthofa, Ahmad. 1997. Filsafat Islam.
‘Arabi, ter. Syahrur Mawi dan Nandi Bandung: Pustaka Setia.
Rahman. Jakarta: Media Pratama. Muthahhari, Murtadla. 2002. Filsafat
Al-Ahwani, Fu’ad. tt. Dirasat al- Hikmah, Pengantar Pemikiran
Falsafah al-Islamiyyah. Mesir: D?ar Sadra, ter. Mizan. Bandung: Mizan.
al-Fikr. Nur, Syaifan. 2003. Filsafat Mulla
Amstrong, Amatullah. 1996. Khazanah Sadra. Jakarta: Teraju.
Istilah Sufi, Kunci Memasuki Dunia Rahman, Fazlur. 2000. Filsafat Shadra,
Tasawuf, ter. Nasrullah dan Ahmad ter. Munir A. Muin. Bandung:
Baiquni. Bandung: Mizan. Pustaka. ____________. 1975. The
Asy’arie, Musa. 9111. Filsafat Islam, Philosohopy of Mulla Sadra. New
Kajian Ontologis, Epistemologis, York: State University of New York
Press, Albany.

Vol 2, No.1, April 2019


64 | Dudi Badruzaman

Rahmat, Jalaluddin. 2004. al-Hikmah al- Wahyudi, Imam. 2007. Pengantar


Mutaaliyah, Filsafat Islam Pasca Ibn Epistemologi. Yogyakarta: LIMA
Russyd. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. dan Faisal Fondation.
Sadra, Mulla. 1981. al--ikmah al- Yazdi, Mehdi Haeri. 1994. Ilmu Huduri,
Muta‘aliyah fi al-Asfar al-Aqliyyah Prinsip-Prinsip Epistemologi dalam
al-Arba‘ah, Jilid 1. Bayrut: Dar al- Filsafat Islam, ter. Ahsin
I+ya’ al-Turath al-Arabiyyah. Muhammad. Bandung: Mizan.
____________.1967.Al-Syawa+id al-
Rububiyyah. Mashhed: University
Press. ____________. 1984.
Mafati+ al-Gayb. Teheran:
Academy of Philosophy.
____________. 1984. Iksir al-‘Arifin.
Tokyo: Jami’ah Tokyo. Sharif, MM
(ed). 1998. A history of Muslem
Philosophy. Delhi: Low
Price Publication. Suriasumantri, Jujun
S. 1983. Filsafat Ilmu Sebuah
Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
Suhartono, Suparlan. 2008. Filsafat Ilmu
Pengetahuan. Yogyakarta: al-Ruzz
Media.
J. 2002. Epistemologi Dasar, Pengantar
Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta:
Kanisius.
Surajiyo. 2008. Filsafat Ilmu dan
Perkembangannya di Indonesia.
Jakarta: Bumi Aksara.
Suhrawardi, Shi+ab al-Din. 2003. -
ikmah al-Ishraq, ter. Muhammad al-
Fayyadl. Yogyakarta: Islamika.
Syukur, Suparman. 1996. Epistemologi
dalam Filsafat Ibn Rushd.
Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga.
____________. 2007. Epistemologi
Islam Skolastik. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Tafsir, Ahmad. 1998. Filsafat Umum,
Akal dan Hati Sejak Thales Sampai
James. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Taftazani, Abul Wafa. 2003. Pengantar
Tasawuf Islam, ter. Rafi’ Usmani.
Bandung: Pustaka.
al-Walid, Khalid. 2005. Tasawuf Mulla
Sadra. Bandung: Muthahhari Press.

DOI: https://doi.org/10.29313/idea.v0i0.4168

Anda mungkin juga menyukai