Dudi Badruzaman
1
Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu (Yogyakarta:
Belukar, 2008), hlm7
52
Perkembangan Paradigma Epistemologi Dalam Filsafat Islam | 53
2 4
Sudarminta, Epistimologi Dasar, Pengantar Mulyadi Kartanegara, Panorama Filsafat Islam
Filsafat Pengetahuan (Yogyakarta: Kanisius, (Bandung: Mizan, 2002),hlm 58.
5
2002), hlm 18. Jumantoro dan Syamsul Munir, Kamus Ilmu
3
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati Tasawuf (Wonosobo: Amza, 2005), hlm 86.
Sejak Thales Sampai James (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1998), 16.
6 7
Tafsir, Filsafat Umum..., 41-2. Musa Asy’arie, Filsafat Islam, Kajian Ontologis,
Epistemologis, Aksiologis, dan Perspektif
(Yogyakarta: LESFI, 1992), 23-4.
DOI: https://doi.org/10.29313/idea.v0i0.4168
Perkembangan Paradigma Epistemologi Dalam Filsafat Islam | 55
8 10
. Drajad, Suhrawardi, Kritik..., hlm 18. Ahmad Musthofa, Filsafat Islam (Bandung:
9
Dick Hartoko, Kamus Populer Filsafat (Jakarta: Pustaka Setia, 1997), hlm 104.
Rajawali Press, 1986),hlm 79.
11 13
hmad Zaenul Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim Suparman Syukur, Epistemologi dalam
(Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004), 77-9. Filsafat Ibn Rusyd (Yogyakarta: IAIN Sunan
12
MM Sharif (ed), A history of Muslem Kalijaga, 1996), hlm145.
Philosophy (Delhi: Low Price Publication, 1998),
hlm 159.
DOI: https://doi.org/10.29313/idea.v0i0.4168
Perkembangan Paradigma Epistemologi Dalam Filsafat Islam | 57
sebagai alat berpikir yang menghasilkan Baginya esensilah yang primer dan
pengetahuan, dan dalam proses fundamental dari suatu realitas, sedang
berpikirnya dibutuhkan indera yang eksistensi hanya sekunder, merupakan
merupakan abdi dan pengikut setia akal. sifat dari esensi, dan hanya ada dalam
Akal berfungsi mengolah rangsangan pikiran manusia.15
inderawi dalam proses memperoleh Kemudian muncul epistemologi
pengetahuan, sehingga memiliki banyak ‘irfani (gnostik) Ibn ‘Arabi yang
kelemahan.14 berpangkal kepada pengetahuan
Ketiga, qalb (hati) sebagai alat ma’rifat, yaitu pengetahuan yang
memperoleh pengetahuan hakiki yang diperoleh secara intuitif melalui ilham
diistilahkan dengan ilmu ladunni yang dari Allah secara langsung mengenai
berupa ilham, yaitu ilmu yang masuk kebenaran dan hakikat sesuatu yang
secara mendadak ke dalam hati seolah- dapat ditangkap oleh rasa batiniyah
olah disusupkan tanpa diketahui dari (dhauq). Menurut Ibn ‘Arabi ada tiga
mana datangnya, yang diperoleh tanpa macam pengetahuan, yaitu: 1)
memerlukan usaha dan mengotak-atik pengetahuan intelek (al-‘ilm al-aqli)
argumen. Selanjutnya muncul yang merupakan hasil penalaran akal, 2)
Suhrawardi sebagai penggagas filsafat pengetahuan keadaan (al-‘ilm al-ahwal),
illuminasi dalam Islam yang sangat sebagai hasil eksperimen, dan 3)
menguasai filsafat Islam terutama al- pengetahuan rahasia (al-‘ilm al-asrar),
Farabi dan Ibn Sina yang disebutnya yang mirip dengan wahyu.38 Ibn ‘Arabi
sebagai Paripatetisme, tetapi kemudian (9964-1240 M) telah berjasa
dikritik, meskipun ia sendiri terpengaruh merumuskan epistemologi yang dikenal
pandangan-pandangan mereka. Ia juga dengan ‘irfan (gnosis) atau ma’rifat,
mengenal dengan baik konsep para sufi yaitu pengetahuan dengan representasi
abad ketiga dan keempat Hijriah, seperti yang dicerahkan dan diperoleh dari
Abu Yazid al-Bus¦ami, al-Hallaj, dan pengetahuan dengan kehadiran mistik
Abu al--asan al-Kharqani, yang mereka melalui relasi illuminatif.
itu menurut Suhrawardi adalah para Ibn ‘Arabi menyatakan bahwa
illuminasionis Persi yang asli. pengetahuan ma’rifat diperoleh secara
Filsafat illuminasi (-ikmah al- intuitif melalui ilh?m dari Allah secara
Ishraq), yaitu aliran filsafat Islam yang langsung mengenai kebenaran dan
lahir sebagai reaksi terhadap aliran hakikat sesuatu, yang dapat ditangkap
Paripatetik. Aliran ini dibangun oleh oleh rasa batiniah (dhauq). Istilah ‘irfan
Suhrawardi al-Maqtul (1153-1191 M) secara etimologis berarti pengetahuan
dengan konsepnya bahwa yang hakiki dan ma’rifat, dan secara terminologis
dari segala sesuatu adalah cahaya. konsep pencapaian pengalaman tingkat
Lawan dari cahaya adalah kegelapan, tertinggi yang tidak hanya dapat
dan ada realitas lain sebagai dirasakan dalam diri, tetapi dapat pula
penghubung di antara keduanya yang dijelaskan dengan nalar. ‘Irfan adalah
disebut “barzakh”. Secara ontologis, pengenalan atau pengetahuan yang
konsep tentang eksistensi-esensi filsafat mendalam tentang hakikat segala
paripatetik yang menyatakan bahwa sesuatu termasuk keagamaan dan
yang fundamental dari realitas adalah katuhanan secara esoterik (batin).
“eksistensi” ditolak oleh Suhrawardi. Pengetahuan esoterik berbeda dengan
14 15
Imam al-Gazali, I+ya’ Ulum al-Din, Jilid 3 Mazhar dalam Fazlur Rahman, Filsafat
(Surabaya: Salim Nabhan, tt),hlm 9. Shadra, ter. Munir A. Muin (Bandung: Pustaka,
2000),hlm xv.
16 17
2Ibn ‘Arabi, al-Futuhat al-Makkiyyah..., hlm Mulla Sadra, al--ikmah al-Muta‘aliyah fi al-
78 Asfar al-‘Aqliyyah al-Arba‘ah, Jilid 1 (Bayrut: Dar
al-I+ya’ al-Turath al-‘Arabiyyah, 9189), hlm 12.
DOI: https://doi.org/10.29313/idea.v0i0.4168
Perkembangan Paradigma Epistemologi Dalam Filsafat Islam | 59
18 19
Bagir dalam Murtadla Muthahhari, Filsafat Sharif (ed.), A history of Muslem..., .hlm 939
Hikmah, Pengantar Pemikiran Sadra, ter. Mizan
(Bandung: Mizan, 2002), 12-4.
20 21
Mulla Sadra, Al--ikmah Jilid 6...,hlm 151. Mu+ammad ‘Abid al-Jabiri, Bunyah al-‘Aqli al-
‘Arabi (Bayrut: Markaz al-Thaqafi al- ‘Arabi,
9111),hlm 92.
DOI: https://doi.org/10.29313/idea.v0i0.4168
Perkembangan Paradigma Epistemologi Dalam Filsafat Islam | 61
adalah ketika dia harus berhadapan Pola pikir yang dipakai kalangan
dengan teks keagamaan yang ‘irfani menggunakan konsep lahir dan
membicarakan komunitas, kultur, batin. Artinya, pengetahuan diperoleh
bangsa atau masyarakat yang beragama dari yang ba¦in menuju yang +ahir atau
lain, menimbulkan permasalahan dari ma‘na menuju lafaz}. Ba¦in adalah
tersendiri. Ada kecenderungan ketika sebagai hakikat, sementara lahir teks
berhadapan dengan agama lain adalah pelindung dan penyinar, sehingga
cenderung defensif, apologis, dan +ahir nas} (bacaannya) harus dimaknai
pesimis. Upaya untuk menghindari hal secara ba¦in (ta’wil-nya). Ta’wil
itu semua, dan termasuk untuk diartikan sebagai transformasi ungkapan
pengembangan pola pikir bayani ini, jika lahir ke batin dengan berpedoman pada
pengayom pola pikir ini mampu isharah (petunjuk batin).Makna yang
memahami, berdialog, dan mengambil lahir maupun yang batin sama-sama
manfaat sisi fundamental yang dimiliki berasal dari Tuhan. Makna lahir adalah
oleh pola pikir lain, yaitu ‘irfani dan pola turunnya (tanzil) kitab dari Tuhan
pikir burhani. Begitu pula sebaliknya, melalui para nabi-Nya, sedang yang
sebab ketiga pola pikir ini merupakan ba¦in adalah turunnya pemahaman (al-
pola pikir yang serumpun. Oleh sebab fahm) dari Tuhan melalui qalbu sebagian
itu, untuk mendapatkan pengetahuan kaum mukminin, yaitu kaum ‘irfani.
dari teks, epistemologi bayani Epistemologi burhani atau pendekatan
menempuh dua jalan. Pertama, rasional argumentatif adalah pendekatan
berpegang pada redaksi (lafadz) teks, yang didasarkan pada kekuatan rasio
dengan menggunakan kaidah bahasa yang dilakukan melalui dalil-dalil
Arab, seperti nahwu dan saraf sebagai logika. Teks dan konteks dalam
alat analisis. Kedua, berpegang pada pendekatan ini, “sebagai dua sumber
makna teks dengan menggunakan kajian” berada dalam satu wilayah yang
logika, penalaran atau rasio sebagai saling berkaitan. Teks tidak berdiri
analisis. Istilah ‘irfani digunakan untuk sendiri, ia selalu terkait dengan konteks
membedakan antara pengetahuan yang yang mengelilingi dan mengadakannya
diperoleh dengan indera dan akal, sekaligus konteks dari mana teks itu
dengan pengetahuan yang diperoleh dibaca dan ditafsirkan, sehingga
melalaui kashf (ketersingkapan). pemahaman burhani akan lebih kuat.
Epistemologi ‘irfani secara umum Berbeda dengan epistimologi bayani dan
menggunakan metode penghayatan batin ‘irfani yang masih berkaitan dengan teks
dengan beberapa istilah yang khas bagi suci, epistimologi burhani sama sekali
kaum sufi. Secara metodologis, tidak mendasarkan diri pada teks, juga
pengetahuan ‘irfani tidak diperoleh tidak pada pengalaman spiritual. Burhani
berdasarkan rasio, tetapi menggunakan menyandarkan diri pada rasio, akal yang
kesadaran intuitif dan spiritual, dilakukan lewat dalil-dalil logika.
karenanya pengetahuan yang Bahkan dalil-dalil agama hanya bisa
dihasilkannya adalah pengetahuan yang diterima jika ia sesuai dengan logika
sui generis, pengetahuan yang paling rasional. Jadi, sumber pengetahuan
dasar dan sederhana, yaitu pengetahuan burhani adalah rasio, bukan teks atau
yang tidak tereduksi, bahkan terkadang intuisi. Rasio inilah yang dengan dalil-
sampai pada pengetahuan yang dalil logika, memberikan penilaian dan
takterkatakan (unspeakable).22 keputusan terhadap informasi-informasi
22
Muslih, Filsafat Ilmu..., hlm 198-200.
yang masuk lewat indera, yang dikenal keteraturan berpikir logis) dan upaya
dengan istilah tasawwur dan ta¦diq.23 yang terus-menerus dilakukan untuk
Menurut epistimologi burhani, memperbaiki dan menyempurnakan
untuk mendapatkan sebuah temuan-temuan, rumus-rumus dan teori-
pengetahuan, harus menggunakan aturan teori yang telah dibangun dan disusun
silogisme yang dalam bahasa Arab oleh jerih payah akal manusia
disebut al-qiyas al-jami‘, yang mengacu (pragmatik). Kalau saja tiga pendekatan
pada makna asal dan mengumpulkan. keilmuan Islam, yaitu bayani, ‘irfani, dan
Sebelum melakukan silogisme terlebih burhani saling terkait dan terpatri dalam
dahulu dilakukan tahap-tahap sebagai satu kesatuan yang utuh, maka corak dan
berikut: (1) tahap pengertian (ma‘qulat), model keberagamaan Islam, menurut
(2) tahap pernyataan (‘ibarat), dan (3) hemat penulis, jauh lebih komprehensif,
tahap penalaran (tahlilat). Epistimologi dan bukannya bercorak dikotomis-
burhani bersumber pada realitas atau al- atomistis seperti yang dijumpai sekarang
waqi’, baik realitas alam, sosial, ini.24
humanitas, maupun keagamaan. Makna
sendiri butuh aktualisasi sebagai upaya
untuk bisa dipahami dan dimengerti, 7. Kesimpulan
sehingga di sinilah ditempatkan kata-
Berdasarkan temuan penelitian
kata. Atau dengan redaksi lain, kata-kata
sebagaimana dipaparkan di atas, dapat
adalah sebagai alat komunikasi dan
diambil beberapa kesimpulan, pertama,
sarana berpikir di samping sebagai
paradigma pemikiran epistemologi para
simbol pernyataan makna. Secara
filosof Muslim Paripatetik
struktural, proses yang dimaksud di atas
menunjukkan, bahwa akal atau rasiolah
terdiri dari tiga hal; pertama, proses
yang paling dominan sebagai sarana
eksperimentasi, yakni pengamatan
untuk memperoleh pengetahuan yang
terhadap realitas. Kedua, proses
benar dengan menggunakan metode
abstraksi, yakni terjadinya gambaran
demonstratif (burhani). Posisi al-Qur’an
atas realitas tersebut dalam pikiran.
dan al-Hadis bagi mereka adalah hanya
Ketiga, ekspresi, yakni mengungkapkan
sebagai alat legitimasi, sehingga
realitas dalam kata-kata.
penerapannya dengan cara memberikan
Menurut M. Amin Abdullah,
ta’wil yang rasional. Kedua, para filosof
tolok ukur validitas keilmuannya pun
Illuminasi, kaum ‘Irfani dan kaum sufi
sangat berbeda dari nalar bayani dan
filosof yang diwakili oleh al-Gazali pada
‘irfani. Jika nalar bayani tergantung pada
prinsipnya berpendapat bahwa
kedekatan dan keserupaan teks atau na
pengetahuan yang hakiki (ma‘rifah)
dan realitas, dan nalar ‘irfani lebih pada
hanya dapat diperoleh melalui intuisi-
kematangan social skill (empati, simpati,
mistik, setelah melalui proses penyucian
verstehen), maka dalam nalar burhani
hati (bqal) dengan berbagai bentuk
yang ditekankan adalah korespondensi
latihan (riya-ah), sehingga mampu
(al-mutabaqah bayn al-‘aql wa nizam al-
mengakses ilmu-ilmu secara langsung
tabi‘ah, yakni kesesuaian antara rumus-
dari Pemilik ilmu (Tuhan). Al-Qur’an
rumus yang diciptakan oleh akal
dan al-Hadis bagi mereka merupakan
manusia dengan hukum-hukum alam).
landasan pokok, tetapi dengan
Selain korespondensi juga ditekankan
penghayatan batin secara esoterik, bukan
aspek koherensi (keruntutan dan
dari sisi makna literal ataupun ta’wil
23 24
Yazdi, Ilmu Huduri...., hlm 51-3. Abdullah, Islamic Studies..., hlm 386.
DOI: https://doi.org/10.29313/idea.v0i0.4168
Perkembangan Paradigma Epistemologi Dalam Filsafat Islam | 63
DOI: https://doi.org/10.29313/idea.v0i0.4168