Anda di halaman 1dari 13

,METODOLOGI PENGEMBANGAN KEILMUAN (EPISTIMOLOGI I) DALAM

PERSPEKTIF ISLAM DAN BARAT: OBSERVASI (BURHANI), ESKPERIMEN


(IJBARI) DAN RASIONAL (JADALI) DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN BARAT

Makalah Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Islam Ilmu Pengetahuan

Dosen Pengampu:

Dr. Muhammad Sungaidi, M. A

Disusun Oleh :

Muhammad Rifky Ichsan (11190530000159)

Muhammad Thoriq Husain (11190530000145)

Ryan NoerFaishal (11190530000155)

MD – 4D

PRODI MANAJEMEN DAKWAH

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2021 M/1442 H
1

METODOLOGI PENGEMBANGAN KEILMUAN (EPISTIMOLOGI I) DALAM


PERSPEKTIF ISLAM DAN BARAT: OBSERVASI (BURHANI), ESKPERIMEN
(IJBARI) DAN RASIONAL (JADALI) DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN BARAT
A. Pendahuluan
a. Latar Belakang
Dalam banyak hal, epistemologi dipahami akan mampu menentukan kebenarancara kerja suatu
ilmu. Epistemologi dengan polanya yang tertentu akan membentuk polakebenaran dari suatu ilmu
tersebut. Bahkan, pada tahap tertentu, kebenaran yang masihselalu ingin ditemukan tersebut mampu
menjadi pijakan tindakan dalam peradabanmanusia, baik di dunia Barat maupun di dunia Timur.
Hubungan epistemologi dengan filsafat dapat diibaratkan seperti pohon denganrantingnya. Pohon
filsafat memiliki cabang-cabang berupa subdisiplin: filsafat ilmu, etika,estetika, filsafat antropologi dan
metafisika. Cabang disiplin filsafat ilmu tersebut akhirnyamemiliki ranting-ranting dan sub-sub disiplin
yakni logika, ontologi, epistemologi danaksiologi. Namun ruang lingkup filsafat ilmu dapat
disederhanakan menjadi
tiga pertanyaan mendasar, yakni: apa yang ingin diketahui (ontologi),1bagaimana caramemperoleh
pengetahuan-pengetahuan (epistemologi) dan apakah nilai pengetahuantersebut bagi manusia
(aksiologi).

Makalah ini mencoba memposisikan epistemologi ilmu dalam perspektif Barat danIslam. Tentu
saja, di antara mereka terdapat beberapa persamaan dan perbedaan sekaligus.Dengan pendekatan
deskriptif makalah ini disajikan.

b. Rumusan Masalah.

1. Apa yang dimaksud dengan epistimologi?


2. Bagaimana epistimologi ilmu dalam perspektif Islam?
3. Bagaimana epistimologi dalam perspektif barat?
2

B. Pembahasan

1. Pengertian, Ruang Lingkup dan Kedudukan Epistimologi

Secara etimologis, epistemologi berasal dari kata berbahasa Yunani episteme yang berarti
pengetahuan atau ilmu, dan logos yang juga berarti pengetahuan. Epistemologi berupaya menjawab
pertanyaan “apa yang dapat kita ketahui, dan bagaimana kita dapat mengetahuinya” (what can we know,
and how do we know it ).1 Dari dua pengertian tersebut dapat dipahami bahwa epistemologi adalah ilmu
tentang pengetahuan, atau pemikiran tentang pengetahuan. Ada juga yang menyatakan bahwa episteme
memiliki arti knowledge atau science, sedangkan logos berarti the theory of the nature of knowing
andthe means by which we know.2

Pada mulanya istilah epistemologi digunakan untuk membedakan dua cabang filsafat; yaitu
epistemologi dan ontologi.3 Epistemologi dapat diartikan sebagai studi yang menganalisa dan menilai
secara kritis tentang mekanisme dan prinsip-prinsip yang membentuk keyakinan. Persoalan
epistemologi menempati pokok bahasan yang begitu penting, sehingga seorang filosof Muslim modern
Muhammad Baqir al-Shadr menyatakan, “Jika
sumber-sumber pemikiran manusia, kriteria-kriteria, dan nilai-
nilai pengetahuannya tidak ditetapkan, maka tidaklah mungkin melakukan studi apapun, bagaimanapun
bentuknya.(4).

Dalam dunia filsafat, epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan mengenai hakikat
ilmu, dan di saat bersamaan menjadikan ilmu sebagai proses yakni usaha pemikiran yang sistematik
dan metodik untuk menemukan prinsip kebenaran yang terdapat pada suatu kajian ilmu. Epistemologi
menanyakan apakah yang menjadi obyek kajian suatu ilmu, dan seberapa jauh tingkat kebenaran yang
bisa dicapainya dankebenaran yang bagaimana yang bisa dicapai dalam kajian ilmu; kebenaran
obyektif,subyektif, absolut atau relatif.

Dalam pandangan Azizy, epistemologi adalah filsafat ilmu

1 Suparlan Supartono, Filsafat ilmu Pengetahuan,(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2005), 157.


2 A. Qodri Azizy, Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman, (Jakarta: Dipertais Agama RI, 2003), 2.
3 Ledger Wood, ”Epistemology”, dalam Dagobert D. Runes, The Dictionary of Philoshopy, (NewJersey: litlle Field,

Adam &co., 1976), 94.


3

yang berkecenderungan berdiri sendiri. Epistemologi seolah membicarakan dirinya sendiri, membedah
lebih dalam tentang dirinya sendiri. Ia berhubungan dengan apa yang perlu diketahui dan

bagaimana cara mengetahui pengetahuan. Epistemologi atau teori pengetahuan ini kemudian
didefinisikan sebagai cabang filsafat yang berhubungan denganhakikat dan lingkup pengetahuan,
praanggapan dan dasar-dasarnya serta reliabilitas umum yang dapat digunakan untuk mengakui sesuatu
sebagai ilmu pengetahuan.
Namun demikian, sebagaimana dinyatakan oleh Gadamer, 4 mengingat subyek ilmu adalah
manusia, dan manusia hidup dalam ruang dan waktu yang terbatas, maka kajian ilmu pada
kenyataannya selalu berada dalam batas-batas, baik batas-batas yang melingkupi hidup manusia,
maupun batas-batas obyek kajian yang menjadi fokusnya, dan setiap batas-batas itu dengan sendirinya
selalu membawa konsekuensi-konsekuensi tertentu.

2. Epistimologi Ilmu Dalam Perspektif Islam

Dalam konsep filsafat Islam, obyek kajian ilmu itu adalah ayat-ayat Tuhan sendiri,yaitu ayat-ayat
Tuhan yang tersurat dalam kitab suci yang berisi firman-firman-Nya, dan ayat-ayat Tuhan yang tersirat
dan terkandung dalam ciptaan-Nya yaitu alam semesta dandiri manusia sendiri. Kajian terhadap kitab
suci akan kembali melahirkan ilmu agama,sedangkan kajian terhadap alam semesta, dalam dimensi
fisik atau materi, melahirkan ilmualam dan ilmu pasti, termasuk di dalamnya kajian terhadap manusia
dalam kaitannya dengan dimensi fisiknya. Akan tetapi, suatu kajian pada dimensi non
fisiknya, yaitu perilaku, watak dan eksistensinya dalam berbagai aspek kehidupan, melahirkan ilmu
humaniora. Adapun kajian terhadap ketiga ayat-ayat Tuhan itu yang dilakukan pada tingkatan makna,
yang berusaha untuk mencari hakikatnya, melahirkan ilmu filsafat.

Oleh karena itu, jika dilihat pada obyek kajiannya, maka agama, ilmu dan filsafat adalah berbeda,
baik dalam hal metode yang ditempuhnya, maupun tingkat dan sifat dari kebenaran yang dihasilkannya.
Akan tetapi jika dilihat dari sumbernya, maka ketiganya berasal dari sumber yang satu, yaitu ayat-ayat-
Nya. Dalam kaitan ini, maka ketiganya padahakikatnya saling berhubungan dan saling
melengkapi. Ilmu dipakai untuk memecahkan persoalan-
persoalan teknis, filsafat memberikan landasan nilai-nilai dan wawasan yang menyeluruh, sedangkan
agama mengantarkan kepada realitas pengalaman spiritual, memasuki dimensi yang Ilahi.

4Hans-Georg Gadamer, Reason in the Age of Science, terj. Frederick G. Lawrence, (Cambridge :Cambridge :
University, 1993), 12.
4

Wawasan epistemologi Islam pada hakikatnya “bercorak tauhid”,dan tauhid dalam konsep Islam,
tidak hanya berkaitan dengan konsep teologi saja, tetapi juga dalam konsep antropologi dan
epistemologi. Epistemologi Islam sesungguhnya tidak mengenal prinsip dikotomi keilmuan, seperti
yang sekarang banyak dilakukan di kalanganumat Islam Indonesia, yang membagi ilmu agama dan
ilmu umum, atau syariah dan nonsyariah.
Epistemologi Islam lahir dan berkembang secara dinamis dalam kurun waktu yang panjang.
Bahkan, perkembangannya bukan hanya saja secara ilmiah semata, melainkan juga karena dinamika
politik dan keberpihakan ideology yang sangat kental. Dengan demikian, dalam tulisan ini penulis
secara sengaja “mencukupkan” pada peta epistemologi sebagaimana yang diperkenalkan Muhammad
Abid al-Jabiri dalam kedua karya besarnya; Takwin al-‘Aql al-Arabi dan Bunyah al-‘Aql al-Arabi.
Dalam pandangan al-Jabiri,epistemology Islam secara keseluruhan terpola ke dalam tiga bentuk, yaitu
Bayani, Irfani,dan Burhani.
1. Bayani

Secara etimologi, Bayan berarti penjelasan (eksplanasi). Al-Jabiri menjelaskan


berdasarkan beberapa makna yang diberikan kamus Lisan al-Arab mengartikan sebagai al-fashl wa
al-infishal (memisahkan dan terpisah) dalam kaitannya dengan metodologi dan al-dhuhur wa al-
idhar (jelas dan penjelasan) berkaitan dengan visi dari metode bayani.5

Sementara itu, secara terminologi bayan mempunyai dua arti 1) (sebagai aturan penafsiran
wacana, (2) sebagai syarat-syarat memproduksi wacana. Makna terminologi ini baru lahir
belakangan, yakni pada masa kodifikasi (tadwin). Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang
menekankan otoritas teks (nash), secara langsung atau tidaklangsung. Secara langsung artinya
memahami teks sebagai pengetahuan jadi danlangsung mengaplikasikannya tanpa perlu pemikiran;
secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir
dan penalaran. Meski demikian, hal ini bukan berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna
dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada teks.

5 Muhammad Abid al-Jabiri, Post Tradisionalism Islam, Terj. Ahmad Baso, (Yogyakarta: LKiS,2000), 60.
5

Pada masa Syafi’i (767-820 M), bayani berarti nama yang mencakup makna-makna yang
mengandung persoalan ushul/pokok dan yang berkembang hingga ke furu’atau cabang. Dari segi
metodologi, Syafi’i membagi bayan dalam lima bagian dan tingkatan, yaitu: 1) Bayan yang tidak
butuh penjelasan lanjut berkenaan dengan sesuatu yang telah dijelaskan Tuhan dalam alQur’an

sebagai ketentuan bagi makhlukNya, 2) Bayan yang beberapa bagiannya masih global sehingga
butuh penjelasan sunnah, 3) Bayan yang keseluruhannya masih global sehingga butuh penjelasan
sunnah, 4) Bayan sunnah sebagai uraian atas sesuatu yang tidak terdapat dalam al-Qur’an, 5) Bayan
Ijtihad yang dilakukan dengan Qiyas atas sesuatu yang tidak terdapat dalam al-Qur’an maupun
sunnah. Dari lima derajat bayan tersebut, Syafi’I kemudian menyatakan bahwa yang pokok ada
tiga yaitu al Qur’an, sunnah dan qiyas, kemudian ditambah ijma.6
Pada perkembangan selanjutnya, bayani tidak lagi sekedar penjelas atas kata-kata sulit
dalam al-Qur’an tetapi telah berubah menjadi sebuah metode bagaimana memahami sebuah teks,
membuat kesimpulan atasnya, kemudian memberikan uraian secara sistematis atas pemahaman
tersebut. Paduan antara metode fikih yang eksplanatoris dan theologi yang dialektik dalam rangka
membangun epistemologi bayani ini terlihat sangat kental mewarnai.
Untuk mendapatkan pengetahuan, epistemologi bayani menempuh dua jalan. Pertama,
berpegang pada redaksi teks dengan menggunakan kaidah bahasa Arab. Kedua, menggunakan
metode qiyas (analog); dan inilah prinsip utama epistemologi bayani. Dalam kajian ushul fikih,
qiyas diartikan memberikan keputusan hukum suatu masalah berdasarkan masalah lain yang telah
ada kepastian hukumnya dalam teks karena adanya kesamaan ‘illat. Ada beberapa hal yang harus
dipenuhi dalam melakukan qiyas: 1)Adanya alAshl yakni nash suci yang memberikan hukum dan
dipakai sebagai ukuran, 2)al-far’ yakni sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam nash ,3)hukum al-
ashl yakni ketetapan hukum yang diberikan oleh ashl, 4)‘illah yakni keadaan tertentu yang dipakai
sebagai dasar ketetapan hukum
Ashl.7
Contoh qiyas adalah soal hukum meminum arak dari kurma. Arak dari perasankurma
disebut far’u (cabang ) karena tidak ada ketentuan hukumnya dalam nash dan ia akan di qiyaskan
dalam khamr. Khamr adalah ashl atau pokok sebab terdapat dalam teks (nash) dan hukumnya

6A. Khudori Soleh, “M. Abid Al-Jabiri Model Epistemologi Islam”, dalam, A. Khudori Soleh,(ed.), Pemikiran Islam
Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2003), 182.

7Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al -‘Arabi , (Bairut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-‘Arabiyah, 1992), 146;A.
Khudori Sholeh, Wacana Baru…, 188-189.
6

haram, alasannya (‘illah) karena memabukkan. Hasilnya, arak adalah haram karena ada persamaan
antara arak dan khamr, yakni sama sama memabukkan.
Menurut al-Jabiri, metode qiyas sebagai cara mendapatkan pengetahuan dalam
epistemologi bayani digunakan dalam 3 aspek yaitu : 1)qiyas jali, dimana far ’u mempunyai
persoalan hukum yang kuat dibanding ashl, 2)qiyas fi ma’na al-nash dimana ashl dan fa ’

mempunyai derajat hukum yang sama, 3)qiyas al-kahfi di mana‘illat ashl tidak diketahui secara
jelas dan hanya menurut perkiraan mujtahid. Metode qiyas bayani ini tidak hanya untuk menggali
pengetahuan dari teks tetapi juga bisadikembangkan dan digunakan untuk mengungkapkan
persoalan non fisik (ghaib).
2. Irfani

Irfani dari kata dasar bahasa Arab‘arafah semakna denganma’ rifah yang berarti pengetahuan.
Tapi ia berbeda dengan ilmu.Irfan atauma’ rifat berkaitandengan pengetahu an yang diperoleh
secara langsung lewat pengalaman, sedangkan ilm menunjuk pada pengetahuan yang diperoleh
lewat transformasi (naql ) atau rasianalitas(‘ aql ). Karena itu, secara terminologis,
irfanbisadiartikansebagaipengungkapanatas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakika
t oleh Tuhan kepada hambaNyasetelah adanya olah ruhani yang dilakukan atas dasar cinta.8

Perkembangan irfani secara umum dibagi dalam 5 fase. Pertama, fase pembibitan,Terjadi
pada abad pertama Hijriyah dengan bentuk prilaku zuhud atas dasar takut danmengharap pahala
(al-khauf wa al-raja’ ). Kedua, fase kelahiran terjadi pada abad kedua Hijriyah. Jika awalnya zuhud
dilakukan atas dasar takut dan mengharap pahala, dalam periode ini, di tangan Robiah al-Adawiyah
( 801 M )zuhud dilakukan atas dasar cinta (al-hubb) pada Tuhan, bebas dari rasa takut atau harapan
mendapat pahala. Ketiga, Fase pertumbuhan terjadi abad 3 –4 H, Para tokoh sufisme mulai menaruh
perhatianterhadap hal-hal yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku, sehingga sufismemenjadi
ilmu moral keagamaan (akhlak). Keempat, fase puncak terjadi pada abad ke- 5H. Pada periode ini,
irfani mencapai masa gemilang. Irfani menjadi jalan yang jelas karakternya untuk mencapai
pengenalan serta kefanaan dalam tauhid dan kebahagiaan.Kelima, fase spesifikasi terjadi abad ke-
6 dan 7 H berkat pengaruh al-Ghazali yang besar, irfani menjadi metode pemikiran yang semakin
dikenal dan berkembang dalammasyarakat Muslim. Pada fase ini, pengertian irfani telah terpecah
dalam 2 aliran, yaitu irfani Sunni dan irfani teoretis. Keenam, fase kemunduran terjadi abad ke -8
H. Sejakabad itu, irfan tidak mengalami perkembangan bahkan mengalami kemunduran.

8 Reynold A. Nicholson,Tasawuf Menguak Cinta Ilahi, terj. A. Nashir Budiman (Jakarta:Rajawali, 1987), 68.
7

3. Burhani
Dalam bahasa Arab, al-burhan berarti argumen yang jelas. Bahasa lainnya adalah alisyarah
(isyarat/tanda), al-washf (sifat), al-idzhar (menampakkan).

Secara umum ia berarti pembuktian untuk membenarkan sesuatu. Sebagai aktifitas


kognitif, epistemologi burhani merupakan gerakan rasionaldengan melakukan penggalian
premispremis yang menghasilkan konklusi yang bernilai. Burhani ini adalah dunia pengetahuan
filsafat dan sains yang diderivasikandari gerakan penerjemahan buku-buku asing, khususnya karya
Aristoteles ke
dalam peradaban Arab. Karena penerjemahan bukubuku itu dilatari oleh kehendak politikuntuk
mendukung akal retoris melawan serbuan tren akal gnostis, maka tidak herankalau dalam
praktiknya latar belakang ini mempunyai pengaruh yang dominan. Danterjadilah hubungan yang
sangat erat antara keduanya dalam tataran pemikiran teologimaupun filsafat Islam.

Cara berfikir analitik ala Aristoteles ini masuk kedalam pemikiran Islam pertamakali lewat
progam penterjemahan buku-buku filsafat yang gencar dilakukan pada masakekuasaan AlMakmun.
Pemikir Muslim pertama yang mengenalkan dan menggunakan metode burhani adalah al-Khindi.
Namun, karena masih dominannya epistemologi bayani dan minimnya referensi maka metode
burhani tidak begitu bergema. Epistemologi burhani ini semakin berkembang dalam sistem
pemikiran Islam Arab setelah masa al-Razi. Metode burhani akhirnya benar benar mendapat tempat
dalamsistem pemikiran Islam setelah masa al-Farabi.43 Al-Farabi mempersyaratkan bahwa
premis-premis burhani harus merupakan premis-
premis yang benar, primer dan diperlukan. Premis yang benar adalah premis yang memberi
keyakinan, menyakinkan. Suatu premis bisa dianggap menyakinkan bila memenuhi tiga syarat; (1)
kepercayaan bahwa sesuatu (premis) itu berada atau tidakdalam kondisi spesifik, (2) kepercayaan
bahwa sesuatu itu tidak mungkin merupakansesuatu yang lain selain darinya, (3) kepercayaan
bahwa kepercayaan kedua tidakmungkin sebaliknya. Selain itu, burhani bisa juga menggunakan
sebagian dari jenis- jenis pengetahuan indera, dengan syarat bahwa obyekobyek pengetahuan
inderatersebut harus senantiasa sama (konstan) saat diamati, di manapun dan kapanpun, dan tidak
ada yang menyimpulkan sebaliknya.
8

3. Epistemologi dalam Perspektif Barat


Para ilmuwan berbeda pendapat dalam menguraikan epistemologi. Louis O.Kattsoff, misalnya,
mengklasifikasikan epistemologi menjadi enam, yakni rasionalisme,empirisme, fenomenologisme,
intuisionisme, metode ilmiah dan hipotesis.9 Sedangkan Pradana Boy ZTF mengklasifikasikan menjadi
tiga, yaitu rasionalisme, empirisme, dan kritisisme.9 Dalam makalah ini, epistemologi dalam

perspektif Barat diuraikan melaluitiga gambaran epistemologi, yakni Rasionalisme, Empirisme, dan
Kritisisme. Hal
ini, paling tidak dalam pandangan penulis, ketiga model epistemologi tersebut dianggap“mewakili”
pokok-pokok pemikiran Barat lainnya semacam positivisme,fenomenologisme, ataupun pragmatisme.
1. Rasionalisme
Secara umum, rasionalisme adalah pendekatan filosofis yang menekankan akal budi (rasio)
sebagai sumber utama pengetahuan.10 Hal ini menunjukkan bahwasumbangan akal lebih besar
daripada sumbangan indra, sehingga dapat diterima adanyastruktur bawaan (ide, kategori). Dalam
pandangan epistemologi rasionalisme, tidakmungkin suatu ilmu dibentuk hanya berdasarkan fakta
dan data empiris (pengamatan)semata. Pada masa klasik, aliran rasionalisme dipelopori oleh Plato,
sedangkan masa modern dipelopori oleh Descartes13 dan Leibniz.14 Ketiga tokoh ini merupakan
tokoh yang paling terkenal dalam aliran rasionalisme.
Dalam polemik pemikiran Plato dan Aristoteles yang merupakan cikal bakal aliran Rasionalisme
dan Empirisme, terlihat jelas bahwa Plato lebih menekankan akal sebagai sumber pengetahuan,
sedangkan Aristoteles lebih menekankan indera daripada akal sebagai sumber pengetahuan.
Menurut Plato, hasil pengamatan inderawi tidak memberikan pengetahuan yang kokoh, karena
sifatnya selalu berubah-ubah, sehinggakebenarannya tidak dapat dipercayai. Dalam proses
pencariannya, Plato menemukan bahwa ada kebenaran diluar pengamatan inderawi yang
disebut “idea”. Dunia idea bersifat tetap dan tidak berubah-
ubah dan kekal. Berbeda dengan Aristoteles,menurutnya bahwa ide-ide bawaan ini tidak ada dan
dia tidak mengakui dunia semacamitu. Dia lebih mengakui bahwa pengamatan inderawi itu
berubah-ubah, tidak tetap, dantidak kekal, tetapi dengan pengamatan inderawi dan penyelidikannya
yang terus-menerus terhadap hal-hal dan benda-benda konkret, maka akal/rasio akan dapat
melepaskan atau mengabstraksikan idenya dengan benda-benda yang konkret tersebut.10
2. Empirisme

9ouis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono ,(Yogyakarta: TiaraWacana, 1996), 136-148
10Amin Abdullah, dkk., Filsafat Islam: Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis Perspektif, (Yogyakarta:
LESFI, 1992), 30.
9

Secara etimologis, empirisme berasal dan kata Yunani yaitu empeiria/empeiros yang berarti
berpengalaman dalam, berkenalan dengan, dan terampil untuk. BahasaLatinnya yaitu experientia
(pengalaman). Sehingga secara istilah, empirisme adalah doktrin bahwa sumber seluruh
pengetahuan harus dicari dalam pengalaman atau pengalaman inderawi merupakan satusatunya
sumber pengetahuan dan bukan akal/rasio.

Dengan demikian, penganut epistemologi empirisme mengembalikan pengetahuan dengan semua


bentuknya kepada pengalaman inderawi. Dalam masa klasik, aliranempirisme dipelopori oleh
Aristoteles, sedangkan pada masa modern dipelopori olehF. Bacon, T. Hobbes, John Locke, David
Hume dan John Stuart Mill. Pengetahuaninderawi menurut Aristoteles merupakan dasar dari semua
pengetahuan. Tak ada ide-ide natural yang mendahuluinya. Akan tetapi, ilmu hakiki dalam
pandangannya adalah ilmu tentang konsep-konsep dan makna-makna universal yang
mengungkapkan hakikat dan esensi sesuatu.
3. Kritisisme
Antara rasionalisme dan empirisme telah terdapat pertentangan yang sangat jelas,yakni antara
rasio dan pengalaman sebagai sumber kebenaran pengetahuan. Manakah yang sebenarnya sebagai
sumber pengetahuan itu? Karena kedua aliran tersebut salingmempertahankan pendapatnya
masing-masing, maka
untuk“mendamaikan”pertentangan kedua aliran tersebut, tampillah Immanuel Kant sebagai seora
ng filsufJerman (1724-1804). Kant mengubah kebudayaan dengan menggabungkan
aliranrasionalisme dan empirisme, sehingga terbentuk aliran yang dikenal dengan
kritisisme.Kritisisme adalah filsafat yang diintrodusir oleh Immanuel Kant dengan memulai
perjalanannya menyelidiki batasbatas kemampuan rasio sebagai sumber pengetahuanmanusia,
sekaligus kelemahan kemampuan indera.11

11 Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika Suatu Pengantar , (Bandung: Yayasan Plara,1997), 76
10

C. Kesimpulan
Secara etimologis, epistemologi berasal dari kata berbahasa Yunani episteme yang berarti
pengetahuan atau ilmu, dan logos yang juga berarti pengetahuan. Epistemologi berupaya menjawab
pertanyaan “apa yang dapat kita ketahui, dan bagaimana kita dapat mengetahuinya” (what can we know,
and how do we know it ). Dari dua pengertian tersebut dapat dipahami bahwa epistemologi adalah ilmu
tentang pengetahuan, atau pemikiran tentang pengetahuan. Ada juga yang menyatakan bahwa episteme
memiliki arti knowledge atau science, sedangkan logos berarti the theory of the nature of knowing
andthe means by which we know.

Pada mulanya istilah epistemologi digunakan untuk membedakan dua cabang filsafat; yaitu
epistemologi dan ontologi. Epistemologi dapat diartikan sebagai studi yang menganalisa dan menilai
secara kritis tentang mekanisme dan prinsip-prinsip yang membentuk keyakinan. Persoalan
epistemologi menempati pokok bahasan yang begitu penting, sehingga seorang filosof Muslim modern
Muhammad Baqir al-Shadr menyatakan, “Jika
sumber-sumber pemikiran manusia, kriteria-kriteria, dan nilai-
nilai pengetahuannya tidak ditetapkan, maka tidaklah mungkin melakukan studi apapun, bagaimanapun
bentuknya.
11

Dalam dunia filsafat, epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan mengenai hakikat
ilmu, dan di saat bersamaan menjadikan ilmu sebagai proses yakni usaha pemikiran yang sistematik
dan metodik untuk menemukan prinsip kebenaran yang terdapat pada suatu kajian ilmu. Epistemologi
menanyakan apakah yang menjadi obyek kajian suatu ilmu, dan seberapa jauh tingkat kebenaran yang
bisa dicapainya dankebenaran yang bagaimana yang bisa dicapai dalam kajian ilmu; kebenaran
obyektif,subyektif, absolut atau relatif.

Dalam pandangan Azizy, epistemologi adalah filsafat ilmu


yang berkecenderungan berdiri sendiri. Epistemologi seolah membicarakan dirinya sendiri, membedah
lebih dalam tentang dirinya sendiri. Ia berhubungan dengan apa yang perlu diketahui dan bagaimana
cara mengetahui pengetahuan. Epistemologi atau teori pengetahuan ini kemudian, didefinisikan
sebagai cabang filsafat yang berhubungan denganhakikat dan lingkup pengetahuan,

praanggapan dan dasar-dasarnya serta reliabilitas umum yang dapat digunakan untuk mengakui sesuatu
sebagai ilmu pengetahuan.
Namun demikian, sebagaimana dinyatakan oleh Gadamer, mengingat subyek ilmu adalah manusia,
dan manusia hidup dalam ruang dan waktu yang terbatas, maka kajian ilmu pada kenyataannya selalu
berada dalam batas-batas, baik batas-batas yang melingkupi hidup manusia, maupun batas-batas obyek
kajian yang menjadi fokusnya, dan setiap batas-batas itu dengan sendirinya selalu membawa
konsekuensi-konsekuensi tertentu.
E. Daftar Pustaka

Azizy, A. Qodri. 2003. Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman, (Jakarta: Dipertais Agama RI).
Al-Jabiri, Muhammad Abid. 2000. Post Tradisionalism Islam, Terj. Ahmad Baso, (Yogyakarta:
LKiS).
_____, Bunyah al-‘Aql al -‘Arabi.1992. (Bairut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-‘Arabiyah), 146;A.
Khudori Sholeh, Wacana Baru.
Amin, 1992 dkk., Filsafat Islam: Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis Perspektif,
(Yogyakarta: LESFI).
Ash-Shadr, Muhammad Baqir.1991. Falsafatuna, terj. M. Nur Mufid bin Ali, (Bandung: Mizan).
Gadamer, Hans-Georg.1993. Reason in the Age of Science, terj. Frederick G. Lawrence, (Cambridge
:Cambridge : University).
Kattsoff, ouis O. 1996. Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono ,(Yogyakarta: TiaraWacana).
Nicholson, Reynold A. 1987. Tasawuf Menguak Cinta Ilahi, terj. A. Nashir Budiman
12

(Jakarta:Rajawali).
Praja, Juhaya S.1977. Aliran-aliran Filsafat dan Etika Suatu Pengantar , (Bandung: Yayasan Plara).
Soleh, A. Khudori. 2003. “M. Abid Al-Jabiri Model Epistemologi Islam”, dalam, A. Khudori
Soleh,(ed.), Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela ).
Supartono, Suparlan. 2005. Filsafat ilmu Pengetahuan,(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media).

Wood, Ledger. 1976. ”Epistemology”, dalam Dagobert D. Runes, The Dictionary of Philoshopy,
(NewJersey: litlle Field, Adam &co).

Anda mungkin juga menyukai