Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH NALAR KEILMUAN ISLAM; BAYANI, BURHANI,

DAN IRFANI
Mata Kuliah Filsafat Ilmu

Dosen Pengampu:
Ali Usman, S.Fil.I, M.S.I

Disusun Oleh:
Syafira Silmi Kaffah (20105030022)
Aisy Maziyah Najibah (20105030030)
Fadil Muttaqin Wicaksono (20105030089)
Amirah Saniyah Serepa (20105030115)

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


SEMESTER 3 KELAS C
FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UIN SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Khazanah keilmuan pemikiran Islam seiring berjalannya waktu, terus melakukan
pengembangan, tradisi keilmuan itu sendiri ada tiga kategori; nalar bayani, irfani, dan
juga burhani. Walaupun ketiga istilah ini sudah popular di berbagai teks arab, seberti
qur’an, Bahasa arab, filsafat, dan kalam. Akan tetapi ketiga term tersebut muncul sebagai
suatu bentuk nalar atau epistemologi keilmuan baru yang berlatarbelakang Ketika
Muhammad Jabir melakukan dekonstruksi tradisi keilmuan islam dalam “kritik nalar
arab-nya”

B. Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud Bayani
b. Apa yang dimaksud Irfani
c. Apa yang dimaksud Burhani

C. Tujuan
a. Mengetahui maksud Bayani
b. Mengetahui maksud Irfani
c. Mengetahui makna Burhani
BAB II
PEMBAHASAN

1. Bayani

Metode bayani adalah metode yang menggunakan teks dalam memperoleh ilmu
pengetahuan. Metode ini sangat mengandalkan teks dalam mencari kebenaran. Apa pun
fenomena yang terjadi dalam realitas dunia akan dicari bimbingannya dalm teks. Dalam
konteks pemikiran Islam, metode bayani adalah metode tafsir atau takwil yang diterapkan
oleh para mufasir dalam menggali ilmu dari Alquran dan hadis. 1Dengan sedikit perbedaan,
dalam pandangan al-Jabiry, corak epistemologibayani didukung oleh pola pikir fikih dan
kalam.2
Dalam epistemologi Islam, tradisi menggali makna teks atau apa yang disebut dengan
tafsir merupakan salah satu metode ilmiah yang diakui sebagai sumber ilmu. Melalui metode
tafsir ini sang mufasir menggali makna yang tersembunyi di balik teks Tuhan yang sesuai
dengan kecenderungan sang mufasir. Itulah sebabnya dalam kitab-kitab tafsir ditemukan
informasi yang beragam tentang dasar-dasar ilmu.Seperti pembahasan mufasir tentang
dasar-dasar religious science, natural science, social science dan humaniora science.3
Selain interaksi dengan teks wahyu, dari aspek ilmu-ilmu keislaman, ditemukan juga
metode ilmiah -dalam konteks berinteraksi dengan teks- yang lain yang patut diketahui
untuk diimplementasikan oleh ilmuwan Muslim dalam aktivitasnya ketika menggeluti ilmu
sesuai bidangnya masing-masing. Misalnya, ilmu ushul al-Fiqh, takhrij al-Hadis dan al-
Jarh waat-Ta’dil. Dengan ilmu ushul al-Fiqh seorang pakar hukum Islam dapat memperoleh
pedoman dalam mengeluarkan hukum Islam, dan dengan ilmu takhrij al-Hadis seorang
pakar Islam mendapat bimbingan ketika mengeluarkan statemen tentang ilmu-ilmu
keislaman.

1
Al Rasyidin,, Filsafat, h. 93.
2
M. Amin Abdullah, Islamic Studies di perguruan tinggi: Pendekatan integratifinterkonektif, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, Cet 3, 2012), h. 202.
3
Bandingkan klasifikasi ilmu tersebut dengan Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi,
Epistemologi dan Aksiologi Pengetahuan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2015, Cet 8), h. 25-27.
Di sisi lain, yang membidangi rumpun ilmu lain selain agama juga diharuskanuntuk
mengetahui dan berinteraksi dengan teks dalam Islam. Karena dengan interaksi para
ilmuwan Muslim terhadap teks maka ilmu mereka akan tetap terbimbing dan terarah dalam
bingkai ajaran Islam.4Metode nalar bayani ini dapat dilacak akar perintahnya dalam
Alquran.5
Dengan demikian, epistemologi bayani pada dasarnya telah digunakan oleh
para fuqaha' (pakar fiqhi), mutakallimun (Theolog) dan usulliyun (Pakar usul al-fiqhi). Di
mana mereka menggunkan bayani untuk:
a. Memahami atau menganalisis teks guna menemukan atau mendapatkan makna
yang dikandung atau dikehendaki dalam lafaz, dengan kata lain pendekatan ini dipergunakan
untuk mengeluarkan makna zahir dari lafaz yang zahir pula.
b. Istinbat (Pengkajian) hukum-hukum dari al-nususal-diniyah (al-Qur'an dan
Hadis).
Dalam bahasa filsafat yang disederhanakan, pendekatan bayani dapat diartikan sebagai
model metodologi berpikir yang didasarkan atas teks. Dalam hal ini teks sucilah yang
memilki otoritas penuh menentukan arah kebenaran. Fungsi akal hanya sebagai pengawal
makna yang terkandung di dalamnya yang dapat diketehui melalui pencermatan hubungan
antara makna dan lafaz.
Hubungan antara makna dan lafaz dapat dilihat dari segi:
a. Makna wad'i, untuk apa makna teks itu dirumuskan yang meliputi
makna khas}, 'am dan musytarak.
b. Makna isti'mali, yaitu makna apa yang digunakan oleh teks, meliputi
makna haqiqah dan makna majaz.
c. Darajat al-wuduh, yaitu sifat dan kualitas lafaz,
meliputi muhkam, mufassar, zahir, khafi, musykil, mujmal, dan mutasyabih.
d. Turuq al-dilalah, yaitu penunjukan lafaz terhadap makna, meliputi dilalah al-
manzum dan dilalah al-mafhum.
Keunggulan bayani terletak pada kepada kebenaran teks (al-Qur’an dan Hadis) sebagai
sumber utama hukum Islam yang bersifat universal sehingga menjadi pedoman dan patokan.
4
Al Rasyidin, Filsafat, h. 102.
5
Q. S an-Nahl/ 16: 44.
Dalam epistemologi bayani sebenarnya ada penggunaan rasio, akan tetapi relatif sedikit
dan sangat tergantung pada teks yang ada. Penggunaan yang terlalu dominan atas
epistemologi ini telah menimbulkan stagnasi dalam kehidupan beragama, karena
ketidakmampuannya merespon perkembangan zaman. Hal ini dikarenakan epistemologi
bayani selalu menempatkan akal menjadi sumber sekunder, sehingga peran akal menjadi
terpasung di bawah bayang-bayang teks, dan tidak menempatkannya secara sejajar, saling
mengisi dan melengkapi dengan teks.
Sistem berpikir yang konstruksi epistemologinya dibangun di atas semangat akal dan
logika dengan beberapa premis merupakan keunggulan epistemologi burhani.
Namun Kendala yang sering dihadapi dalam penerapan pendekatan ini adalah sering
tidak sinkronnya teks dan realitas. Produk ijtihadnya akan berbeda jika dalam
pengarusutamaan teks atau konteks. Masyarakat lebih banyak memenangkan teks daripada
konteks, meskipun yang lebih cenderung kepada kontekspun juga tidak sedikit.
2. Irfani
Secara etimologi irfani berasal dari akar kata bahasa arab ‘arafa-ya’rifu, semakna dengan
ma’rifat berati pengetahuan. Tetapi ia berbeda dengan ilmu. Irfani atau ma’rifat berkaitan
dengan pengetahuan yang diperoleh secara langsung melalui pengalaman. Sedangkan ilmu
menunjukkan pada pengetahuan yang diperoleh melalui transformasi (naql) atau rasionalitas
(aql).6
Sedangkan secara terminologis irfani bisa diartikan sebagai pengungkapan atas
pengetahuan yang diperoleh melalui penyinaran dari hakikat Tuhan kepada hamba-Nya
(kasyf) setelah mengalami pengalaman spiritual, atau dalam filsafat biasa dipahami setelah
melalui perenungan intuisi. Dan dengan intuisi inilah manusia akan memperoleh
pengetahuan secara tiba-tiba tanpa melalui proses penalaran tertentu.
Pada tahap ini seseorang akan menerima atau memperoleh pengetahuan langsung dari zat
yang Maha Tahu yaitu Tuhan. Sehingga seseorang tersebut akan mampu melihat realitas
sebagai objek. Realitas inilah yang kemudian diungkapkan dengan rumusan tertentu yang
kita kenal dengan pengetahuan.7

6
Wira Hadi Kusuma, “Epistemologi Bayani, Irfani dan Burhani al-Jabiri dan Relevansinya Bagi Studi Agama
Untuk Resolusi Konflik dan Peacebuilding”. Syi’ar, Vol. 18, No. 1, 2018. Hal. 6.
7
Samsul Bahri, “Bayani, Burhani Dan Irfani Trilogi Epistemology Kegelisahan Seorang Muhammad Abid Al
Jabiri”. Cakrawala Hukum, Vol. XI, No. 1, 2015. Hal. 11.
Pengetahuan irfani ini merupakan lanjutan dari bayani, yang mana pengetahuan irfani
tidak di dasarkan pada teks bayani. Akan tetapi pengetahuan irfani ini di dasarkan pada
kasyf, yaitu tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Karena itu, pengetahuan irfani
tidak diperoleh berdasarkan analisis teks tetapi dengan hati nurani, dimana hati benar-benar
dalam keadaan suci, yang mana hal ini diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan-
Nya secara langsung.8
Kasyf sendiri menurut al-Jabiri merupakan sebuah pengalaman yang dihasilkan melalui
mujahadah dan riyadah (penempaan diri secara moral-spritual). Dimana manusia benar-benar
fokus mendekatkan diri kepada Tuhan dengan amalan-amalan yang dicintai-Nya. Sehingga
kasyf tidak dapat diperoleh begitu saja dengan usaha intelektual manusia, yang mana
manusia dituntut aktif dan kritis.9
Dengan demikian, di dalam filsafat kasyf atau mukasyfah dan intuisi yang dinilai lebih
dekat dengan kebenaran dari pada ilmu-ilmu (intelektual) yang digali dari argument-argumen
rasional dan akal. Karena rasional dan akal manusia hanya mampu menyentuh wilayah-
wilayah yang bersifat lahiriyah saja tanpa dapat menyentuh wilayah-wilayah yang bersifat
batiniyah. Dengan kasyf dan intuisi manusia mampu berhubungan langsung dengan hakikat
tunggal alam (Tuhan), yang mana hakikat tunggal alam ini bersifat batiniyah.10
Contoh konkrit dari irfani adalah seperti Newton yang menemukan gaya grafitasi bumi
setelah melihat buah apel yang jatuh. Dengan demikian pengetahuan dikonsep setelah
melalui perenungan intuisi. Dan contoh lain dari pengalaman spiritual adalah pengalaman
batin Rusulullah SAW ketika menerima wahyu al-Qur’an.
3. Burhani
Secara etimologi, kata burhani berasal dari kata Barhana-Yubarhinu-Burhanan diambil
dalam bentuk mashdar yang memiliki arti “membuktikan”. Dalam Lisan Al-Arab kata burhan
berarti penjelasan tentang bukti dan kejelasannya (Bayan Al-Hujjah wa Ittidahuha)11. Kata
burhan disebutkan sebanyak 8 kali dalam Al-Qur’an diantara surahnya terdapat surah An-
Nisaa ayat 174, Yusuf ayat 24, Al-Mu’minun ayat 117, Al-Baqarah ayat 111, Al-Anbiya’ ayat

8
Wira Hadi Kusuma, “Epistemologi Bayani, Irfani dan Burhani al-Jabiri dan Relevansinya Bagi Studi Agama
Untuk Resolusi Konflik dan Peacebuilding”. Syi’ar, Vol. 18, No. 1, 2018. Hal. 8.
9
Ibid.
10
https://gagasanhukum.wordpress.com/tag/irfani/, diakses pada 23 November 2021 pukul 19.36.
11
Ibn Manzur, Lisan Al-Arab, juz 1, (Kairo: Dar Al-Ma’arif. T.T), hal. 271
34, An- Naml ayat 64, Al-Qasas ayat 32 dan 75.12 Secara terminologi dalam istilah logika,
burhani adalah aktivitas- aktivitas penalaran yang bisa menetapkan kebenaran.
Berbeda dengan bayani dan irfani yang masih berkaitan dengan teks Suci, burhani
menyandarkan diri pada kekuatan rasio, akal, yang dilakukan Lewat dalil-dalil
logika.Burhani menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas Pengetahuan
sebelumnya yang telah diyakini .13 Epistemologi burhani menekankan visinya pada potensi
bawaan Manusia secara naluriyah, inderawi, eksperimentasi, dan konseptualisasi (al-hiss, al
tajribah wa muhakamah ‘aqliyah). Fungsi dan peran akal dalam Epistemologi burhani adalah
sebagai alat analitik – kritis.14
Jadi epistemologi burhani adalah epistemologi yang berpandangan Bahwa sumber ilmu
pengetahuan adalah akal. Akal menurut epistemologi ini Mempunyai kemampuan untuk
menemukan berbagai pengetahuan, bahkan Dalam bidang agama sekalipun akal mampu
untuk mengetahuinya, seperti Masalah baik dan buruk (tansin dan tawbih). Epistemologi
burhani ini dalam bidang keagamaan era sekarang sering digunakan oleh golongan
mu’tazilah dan moderat. Dalam filsafat, baik filsafat Islam maupun filsafat Barat istilah yang
Seringkali digunakan adalah rasionalisme yaitu aliran ini menyatakan bahwa Akal (reason)
merupakan dasar kepastian dan kebenaran pengetahuan, Walaupun belum didukung oleh
fakta empiris. Tokohnya adalah Rene Descartes (1596–1650, Baruch Spinoza (1632 –1677)
dan Gottried Leibniz (1646 –1716).21 Sementara dalam ilmu tafsir istilah yang sering
digunakan Pada makna burhani adalah tafsir bi al-ra’yi.
Selanjutnya, untuk mendapatkan sebuah pengetahuan, epistemologi burhani
menggunakan silogisme. Dalam bahasa Arab, silogisme diterjemahkan dengan qiyas atau al-
Qiyas yang mengacu kepada makna asal. Secara istilah, silogisme adalah suatu bentuk
argumen dimana dua proposisi yang disebut premis, dirujukan bersama Sedemikian rupa.
Sehingga sebuah keputusan pasti menyertai. Namun karena pengetahuan burhani tidak
bersumber kepada rasio objek-objek eksternal, maka ia harus melalui tahapan-tahapan
sebelum dilakukan silogisme15

12
Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz Al-Qur’an Al-Karim (Kairo: Dar al-Hadith,
1364 H), hal. 118
13
Al-jabiri, Isykaliyat al-fikr al-Arabi al-Mu’ashir, (Beirut, Markaz Dirasah al-Arabiyah, 1989) hal. 59
14
Mochamad Hasyim, “Epistemologi Islam (Bayāni, Burhani, Irfani)”, Vol.3, No. 2, Pasuruan, Juni 2018
15
Soleh, “M ‘Abed Al-Jabiri: Model Epistemologi Islam”, hal. 251
Contoh dari pola berpikir burhani imam hanafi adalah ketetapan mengenai kafa’ah. Imam
Abu Hanifah di baghdad – yang merupakan komunitas campuran Arab, Persia dan Turki –
menetapkan peraturan tentang kafa’ah (kesetaraan) dalam hal kekakayaan dan status dalam
akad perkawinan. Sementara di madinah, yang tersusun atas masyarakat yang lebih
homogen, peraturan pernikahan seperti itu tadi tidak dibutuhkan. Untuk sebuah alasan yang
sama, budak memiliki hak atas harta kekayaan di Baghdad, sementara di Madinah mereka
tidak memilikinya.
BAB III
PENUTUP

Nalar keilmuan Islam terbagi menjadi tiga, yakni Bayani, Irfani, dan Burhani. Ketiga
nalar ini memiliki ciri khas sendiri. Bayani adalah metode berpikir berdasarkan teks, di
sini terdapat Al-Qur’an sebagai teksnya. Sedangkan Irfani adalah metode berpikir ysng
berlandaskan atas pengamatan langsung, dan praktek atau realitas spiritual keagamaan.
Di sini terdapat praktek-praktek kesufian, misal hulul, ittihad dll. Dan yang ketiga adalah
Burhani yakni model pemikiran yang tidak didasarkan pada teks, melainkan atas dasar
keruntutan logika. Di sini banyak terdapat ilmu-ilmu pengetahuan dan humanitas.
DAFTAR PUSTAKA

Al Rasyidin,, Filsafat,
Al-jabiri, Isykaliyat al-fikr al-Arabi al-Mu’ashir, (Beirut, Markaz Dirasah al-Arabiyah,
1989)
Bandingkan klasifikasi ilmu tersebut dengan Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu: Mengurai
Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Pengetahuan, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2015, Cet 8).
Ibn Manzur, Lisan Al-Arab, juz 1, (Kairo: Dar Al-Ma’arif. T.T),
Kusuma, W. H. (2018). Epistemologi Bayani, irfani, dan burhani Al-JAbiri dan
relevansinya bagi studi agama untuk resolusi konflik dan peacebuilding. Syi'ar Vol.
18.
Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz Al-Qur’an Al-Karim
(Kairo: Dar al-Hadith, 1364 H),
Mochamad Hasyim, “Epistemologi Islam (Bayāni, Burhani, Irfani)”, Vol.3, No. 2,
Pasuruan, Juni 2018
M. Amin Abdullah, Islamic Studies di perguruan tinggi: Pendekatan
integratifinterkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet 3, 2012).
Samsul Bahri, “Bayani, Burhani Dan Irfani Trilogi Epistemology Kegelisahan Seorang
Muhammad Abid Al Jabiri”. Cakrawala Hukum, Vol. XI, No. 1, 2015.
Soleh, “M ‘Abed Al-Jabiri: Model Epistemologi Islam”.
Wira Hadi Kusuma, “Epistemologi Bayani, Irfani dan Burhani al-Jabiri dan Relevansinya
Bagi Studi Agama Untuk Resolusi Konflik dan Peacebuilding”. Syi’ar, Vol. 18, No.
1, 2018.
https://gagasanhukum.wordpress.com/tag/irfani/, diakses pada 23 November 2021 pukul
19.36.

Anda mungkin juga menyukai