FILSAFAT ILMU
EPISTEMOLOGI ISLAM
Dosen Pengampu :
Disusun Oleh :
MALANG
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah Swt atas segala limpahan rahmat, taufik dan
hidayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan penyusunan makalah kini dalam
bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Shalawat serta salam mari kita
panjatkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari
zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang seperti hari ini.
Pada kesempatan kali ini, kami juga ingin mengucapkan terima kasih
kepada Bapak Muhammad Faiq, S.H.I., M.H. selaku dosen pengampu mata kuliah
filsafat ilmu kelas B angkatan 2023 yang telah memberikan kami kesempatan untuk
dapat menyampaikan materi pada minggu selanjutnya.
Tak lupa pula pula, kami ucapkan terima kasih kepada teman-teman kelas
angkatan 2023 yang telah berinteraksi baik dengan kami, sehingga kami memiliki
rasa percaya diri untuk membahas materi ini pada minggu selanjutnya.
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas kelompok mata kuliah filsafat
ilmu, selain itu dengan adanya makalah ini diharapkan dapat membantu teman-
teman untuk memahami materi yang akan dibahas pada minggu selanjutnya.
PENDAHULUAN
Kata Epistomologi pasti asing untuk didengar apalagi maba atau mahaiswa
baru dan selalu menjadi bahan yang menarik untuk dikaji atau bedah lebih
detailnya. Dari hal itulah, menjadi dasar-dasar teori yang akan menjadi bahan
pijakan orang lain yang ingin mengetahui lebih dalam. Konsep-konsep ilmu
pengetahuan tersebut yang berkembang pesat dengan aspek praktis yang
timbulannya dapat diacak akarnya pada bagan pengetahuan yang membentuknya.
Dari epistemologi ini, filsafat modern terpecah menjadi beberapa bagian yaitu
pragnatisme, rasionalisme, positivisme, dan eksistensialisme yang lain.
PEMBAHASAN
2.1 Bayani
Kata bayani berasal dari Bahasa Arab “Bayan” yang memiliki arti
penjelasan atau eksplanasi. Sedangkan menurut Ibnu Mandzur dalam
kamunsnya Lisan al Arab memberikan makna lain yaitu, “al fashl wa
infishal” (memisahkan dan terpisah) yang memiliki makna metodologi dan
“Al dhuhur wa al idhhar” (jelas dan penjelasan) yang memiliki keterkaitan
dengan visi metode bayani.
Dalam kajian ilmu ushul fiqih, qiyas adalah keputusan hukum suatu
masalah berdasarkan masalah lain yang telah ada kepastian hukumnya,
karena adanya kesamaan illat. Ada beberapa rukun-rukun yang harus
dipenuhi jika ingin melakukan qiyas,yaitu:
1. Al-ashl,yaitu masalah yang telah ditetapkan hukumnya didalam
Al Qur’an dan as sunnah. Ashal biasanya juga disebut sebagai
maqhasid ‘alaih
1. Qiyas dalam kaitannya dengan status dan derajat hukum yang ada
pada ashl atau furu’(al qiyas bi I’tibar madiy istihqaq kullin min al
ashl wa al-far’I li al hukum). Pada bagian ini mencakup tiga hal:
● Qiyas jali, dimana kedudukan far’I mempunyai persoalan
yang kuat dibandingkan dengan ashl.
● Qiyas fi ma’na al-nash, dimana kedudukan ashl dan far’I
memiliki derajat hukum yang sama.
● Qiyas al-khafi, dimana kedudukan illat ashl tidak dapat
diketahui secara jelas hukumnya dan hanya menurut
perkiraan mujtahid saja.contohnya seperti hukum memukul
orang tua (far’i), masalah tersebut tidak ada dalilnya dalam
nash,sedangkan terdapat larangan berkata “ah” (ashl).
Walaupun perbuatan memukul lebih berat hukumnya
dibanding berkata “ah”.
2. Keterkaitan illat yang ada pada ashl maupun far’i, atau segala
sesuatu yang berhubungan dengan hal tersebut (qiyas bi I’tibar bina
al- hukm ala dzikr al illah au bi i’tibar dzikr ma yadull ‘alaiha).
Pada bagian ini meliputi dua hal, yakni:
● Qiyas al-illat, yaitu menetapkan illat yang ada ashl kepada
far’i.
● Keserupaan (syibh)
● Keserasian
● Menjauhkan(thard)
2.3 Irfani
A. Pengertian Al-Irfan
Mengerti makna irfani berasal dari kata irfan yang dalam bahasa arab
merupakan bentuk dasar (masdar) dari kata arafa yang semakna dengan
ma'rifat. Dimana objek pengalaman atau pengetahuan yang di peroleh
langsung oleh objek pengetahuan. Pengetahuan irfani tidak di dasarkan
atas teks seperti bayani tetapi pada tasauf, tersikapnya rahasia-raahasia
dari tuhan, singkatnya pengertian irfani adalah model metodologi berfikir
yang didasarkan atas pendekatan dan pengalaman langsung(direct
exprience) atas realitas spritual keagamaan. Metode irfani adalah model
metodologi yang didasarkan atas pendekatan dan pengalaman langsung
atas realitas spritual keagamaan, berbeda dengan sasaran bayani yang
bersifat eksotens, sasaran bidik irfani adalah bagian esoteris(batin) teks,
karena itu rasio berperan sebagai alat untuk menjelaskan berbagai
pengalaman spritual tersebut.
Menurut sejarahnya, epistimologi ini telah ada baik di persia ataupun
yunani jauh sebelumnya datangnya teks-teks keagamaan baik yahudi,
kristen maupun islam. Sementara dalam tradisi (sufisme) islam, ia baru
berkembang sekuitar abad ke 3H/9M dan abad 4H/10M, seiring dengan
berkembangnya doktrin ma’rifah yang di yakini sebagai pengetahuan
batin, terutama tentang tuhan. Istilah tersebut digunakan untuk
membedakan antara pengetahuan yanag di peroleh oleh indra (sense al-
hisst) dan akal atau keduanya dengan pengetahuan yang di peroleh
melalui kasyf (ketersingkapan) Ilham, iyan atau isyaraq, Di kalangan
mereka irfan di mengerti sebagai ketersingkapan lewat pengalaman
inditiuitif akibat persatuan antara yang mengetahui dan yang di ketahui,
(ittihd al-arif wa al-ma’rufiyang telah di anggap sebagai pengetahuan
tinggi. Sedangkan para ahli- al-irfan mempermudahnya menjadi
pembicaraannya mengenai al-naql dan al- tauzif, dan upaya menyikap
wacana qur’ani dan memperluas ibarahnya untuk memperbanyak makna,
jadi pendekatan irfani adalah suatu pendekatan yang di pergunakan daim
kajian pemikiran islam oleh para mutasawwifun dan arfun untuk
mengeluarakan makna batin lafz dan ibarah, dia juga merupakan
istimbad al- ma’rifah, al-qalbiyah dari al-qur’an,dimana pendekatan
pemahaman yang bertumpu pada instrumen pengalaman
batin.qalb,wijban,basirah dan intuisi.
Irfan dari kata dasar bahasa Arab raafa yang berarti pengetahuan.
Tetapi irfani berbeda dengan ilmu. Irfan berkaitan dengan pengetahuan
yang diperoleh secara langsung lewat pengalaman (experimence),
sedang ilmu menunjukkan pada pengetahuan yang diperoleh lewat
transformasi (naql) atau rasionalitas (aql). Karena itu, secara
terminologis, irfan bias diartikan sebagai pengungkapan atas
pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakekat oleh Tuhan
kepada hamba-Nya (kasy!) setelah adanya ruhani (riyadiah) yang
dilakukan atas dasar cinta (love). Sasaran bidik irfani adalah aspek
esoteric syareat.
B. Sumber yang di gunakan dalam epistimologi irfani
Perkembangan irfani secara umum bisa dibagi dalam lima fase, yaitu:
1. Fase pembibitan, terjadi pada abad pertama hijriyah. Pada masa ini
disebut irfan baru dalam bentuk laku zuhud (askestisme). Karakter
askestisme periode ini adalah (1) berdasarkan ajaran al-quran dan
sunnah, yakni menjauhi hal-hal duniawi demi meraih pahala dan
menjaga diri dari neraka. (2) bersifat praktis, tanpa ada perhatian
untuk menyusun teori atas praktek-praktek yang dilakukan. (3)
motifasi zuhudnya adalah rasa takut, yang muncul dan landasan
amal keagamaan secara sungguh-sungguh.
2. Fase kelahiran, terjadi pada abad kedua hijnyah. Pada masa ini,
beberapa tokoh sufisme mulai berbicara terbuka tentang irfan,
Karya-karya tentang irfan juga mulai ditulis, diawali ri’ayat huquq
Allah karya hasan basri (642-728 M) yang dianggap sebagai tulisan
pertama tentang irfani. Laku askestisme juga berubah. Jika awalnya
dilakukan atas dasar takut dan mengharap pahala, dalam periode ini,
ditangan Robiah Adawiyah (w.801 M), Zuhud dilakukan atas dasar
cinta kepada tuhan, bebas dari rasa takut atau harapan mendapat
pahala. Menurut Nicholson, zuhud ini adalah model prilaku irfan
yang paling dini atau irfan periode awal.
3. Fase pertumbuhan, terjadi abad 3-4 hijriyah. Sejak awal abad ke-3
H, para tokoh sufisme mulai menaruh perhatian terhadap hal-hal
yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku, sehingga sufisme
menjadi ilmu moral keagamaan (akhlaq). Pembahasan masalah ini
lebih lanjut mendorong mereka untuk membahas soal pengetahuan
intutif berikut sarana dan metodenya, tentang dzat Tuhan dan
hubungan-Nya dengan manusia atau hubungan manusia dengan-
Nya. Dengan demikian dengan fase ini, irfan telah mengkaji soal
moral, tingkah laku dan peningkatannya. Pengenalan intuitif
langsung pada tuhan, kefanaan dalam realitas mutlak. Pencapaian
kebahagiaan, kecenderungan umum fase ini masih pada psiko-
moral, belum pada tingkat metafisis. Ide-ide metafisis yang belum
terungkap secara jelas. Karena itu, Nicholson menyatakan dari segi
teoritis dan praktis, kaum sufis fase ini telah merancang suatu
system yang sempurna tentang irfan. Akan tetapi, karena bukan
filosof, mereka sedikit menaruh perhatian terhadap problem-
problem metafisika.
4. Fase puncak, terjadi pada abad ke-5 H. Pada masa periode ini irfan
mencapai masa gemilang. Banyak pribadi besar yang lahir dan
menulis tentang irfan, antara lain sai abu khair (w.1048 M) yang
menulis ruba’lyat, ibn utsman al- hujwiri (w.1077 M) menulis kasyf
al-mahjub, dan Abdullah al-anshori (w.1088 M) menulis manazil al
sa’irin, salah satu terpenting dalam irfan. Puncaknya al ghazali (w.
1111 M) menulis ihya’ ulum al-Din yang menyelaraskan tasawuf
dan fiqh (irfan dan bayani). Menurut Nicholson dan TJ. De Boer,
ditangan al-ghazali, irfan menjadi jalan yang jelas karakternya untuk
mencapai pengenalan serta kefanaandalam tauhid dan kebahagiaan.
5. Fase Spesikasi, terjadi abad ke-6 dan 7 H. Berkat pengaruh pribadi
Al-Gazali yang besar. Irfani menjadi semakin dukenal dan
berkembangan dalam masyarakat islam, Dengan demikian, pada
fase ini, secara epistemologis, irfani telah terpecah (terspesifikasi)
dalam dua aliran yaitu Irfan Sunni dan Irfan Teoritis.
6. Fase kemunduran, terjadi sejak abad ke-8 H. Sejak abad itu, irfan
tidak mengalami perkembangan berarti, bahkan justru mengalami
kemunduran. Pada tokohnya lebih cenderung pada pemberian
komentar dan ikhtiar atas karya-karya terdahulu, dan lelih menekan
bentuk ritus dan formalisme, yang mendoring mereka menyimpang
dari substansi ajarannya sendiri.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Muhammad ‘Abid al-Jabiri, -Bunyah al-’Aql al-’Arabi, , Beirut, Markaz Dirasat al-
Wihdah al-’Arabiyyah, 2009.
Wacana Baru Filsafat Islam, YTim Bumi Aksara, (Jakarta, Bumi Aksara, 1998),
Nicholson, Mistik dalam Islam, terj. Tim Bumi Aksara, (Jakarta, Bumi Aksara,
1998),