Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

FILSAFAT ILMU

EPISTEMOLOGI ISLAM

Dosen Pengampu :

Muhammad Faiq S.HI., M.H

Disusun Oleh :

1. Hurratun kahfa (220703110016)

2. Anisa Retno Palupi (230703110059)

3. Fitrotul Ainiyyah Azzahroh (230703110132)

4. Reihan Faradisa Al Adhimi (230703110145)

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM

MALANG

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Swt atas segala limpahan rahmat, taufik dan
hidayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan penyusunan makalah kini dalam
bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Shalawat serta salam mari kita
panjatkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari
zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang seperti hari ini.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang


sudah berkomunikasi dalam penulisan makalah yang berjudul “Epistomologi
Islam” sehingga atas waktu, tenaga, dan pikiran yang telah disumbangkan, kami
dapat menyelesaikan makalah ini dalam rangka memenuhi tugas pada mata kuliah
Filsafat Ilmu.

Pada kesempatan kali ini, kami juga ingin mengucapkan terima kasih
kepada Bapak Muhammad Faiq, S.H.I., M.H. selaku dosen pengampu mata kuliah
filsafat ilmu kelas B angkatan 2023 yang telah memberikan kami kesempatan untuk
dapat menyampaikan materi pada minggu selanjutnya.

Tak lupa pula pula, kami ucapkan terima kasih kepada teman-teman kelas
angkatan 2023 yang telah berinteraksi baik dengan kami, sehingga kami memiliki
rasa percaya diri untuk membahas materi ini pada minggu selanjutnya.

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas kelompok mata kuliah filsafat
ilmu, selain itu dengan adanya makalah ini diharapkan dapat membantu teman-
teman untuk memahami materi yang akan dibahas pada minggu selanjutnya.

Karena keterbatasan kemampuan penulis, penulis menyadari bahwa dalam


penulisan makalah ini jauh dari kata sempurna dan masih terdapat beberapa
kekurangan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun untuk menyempurnakan makalah ini.

Malang, 25 September 2023


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kata Epistomologi pasti asing untuk didengar apalagi maba atau mahaiswa
baru dan selalu menjadi bahan yang menarik untuk dikaji atau bedah lebih
detailnya. Dari hal itulah, menjadi dasar-dasar teori yang akan menjadi bahan
pijakan orang lain yang ingin mengetahui lebih dalam. Konsep-konsep ilmu
pengetahuan tersebut yang berkembang pesat dengan aspek praktis yang
timbulannya dapat diacak akarnya pada bagan pengetahuan yang membentuknya.
Dari epistemologi ini, filsafat modern terpecah menjadi beberapa bagian yaitu
pragnatisme, rasionalisme, positivisme, dan eksistensialisme yang lain.

Secara etimologi, epistemologi merupakan kata gabungan yang diangkat


dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu episteme dan logos.“Episteme” artinya
pengetahuan, sedangkan “logos” lazim dipakai untuk menunjukkan adanya
pengetahuan sistematik. Epistemologi adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan
asal, karakter, sifat, dan jenis pengetahuan. Epistemologi ini salah satu topik yang
sering diperdebatkan dan dibahas dalam bidang filsafat. Pertanyaan yang mengenai
apa itu pengetahuan, bagaimana karakteristiknya, macamnya, serta hubungannya
dengan kebenaran maupun keyakinan.

Pandangan dunia seseorang dipengaruhi oleh konsepsi dan pengenalan


terhadap kebenaran. Kebenaran yang dimaksud adalah segala sesuatu yang
berhubungan dengan dunia luar. Nilai dan kualitas keberadaan manusia bergantung
pada pengenalan manusia terhadap kebenaran. Hal-hal yang berkaitan dengan
identifikasi ilmu, sumber ilmu, dan bagaimana cara mendapatkan ilmu tersebut
berhubungan dengan epistemologi.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa itu Bayani?


2. Apa sumber, perkembangan, dan metode serta konsep yang digunakan
dalam epistemologi Irfani?
1.3 Tujuan

1. Agar mengetahui secara mendalam apa itu Bayani


2. Untuk mengetahui sumber, perkembangan, dan metode serta konsep yang
dogunakan dalam epistomologi Irfani?
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Bayani

A. Pengertian dari Al-Bayani

Kata bayani berasal dari Bahasa Arab “Bayan” yang memiliki arti
penjelasan atau eksplanasi. Sedangkan menurut Ibnu Mandzur dalam
kamunsnya Lisan al Arab memberikan makna lain yaitu, “al fashl wa
infishal” (memisahkan dan terpisah) yang memiliki makna metodologi dan
“Al dhuhur wa al idhhar” (jelas dan penjelasan) yang memiliki keterkaitan
dengan visi metode bayani.

Sedangkan menurut terminologi, bayani memiliki 2 pengertian,


yang pertama yaitu sebagai aturan-aturan dalam wacana (qawanin tafsir al
khithabi) dan yang ke dua yaitu syarat_syarat dalam memproduksi wacana
(syurut intaj al khitabi). Pada dasarnya makna-makna terminologis ini baru
diketahui belakangan, yaitu pada masa kodifikasi (tadwin). Hal tersebut
ditandai dengan lahirnya Al Asybah wa al Nazhair fi al Qur’an al Karim
karya Muqotil ibn Sulaiman dan Ma’ani al Qur’an karya ibn ziyad al farra’
yang keduanya memiliki maksud yang sama yakni untuk menjelaskan
makna dan ibarat yang terdapat dalam al Qur’an.

Dalam mencari pengetahuan, epistemologi bayani memiliki 2 jalan


yaitu, berpegang pada redaksi (lafadz) ddengan teks menggunakan kaidah
Bahasa arab, contohnya ilmu nahwu dan shorof sebagai alat komunikasi.
Kedua ,menggunakan metode qiyas dan itu termasuk prinsip utama
epistemologi bayani.

Dalam kajian ilmu ushul fiqih, qiyas adalah keputusan hukum suatu
masalah berdasarkan masalah lain yang telah ada kepastian hukumnya,
karena adanya kesamaan illat. Ada beberapa rukun-rukun yang harus
dipenuhi jika ingin melakukan qiyas,yaitu:
1. Al-ashl,yaitu masalah yang telah ditetapkan hukumnya didalam
Al Qur’an dan as sunnah. Ashal biasanya juga disebut sebagai
maqhasid ‘alaih

2. Al-far adalah sesuatu yang tidak ada ketegasan hukumnya dalam


Al Qur’an,sunnah, dan ijma’

3. Illah,termasuk inti dari praktik qiyas. Hal tersebut dikarenakan,


hanya dengan illah hukum-hukum yang terdapat dalam Al
Qur’an dan sunnah rosulullah berkembang.

Menurut pendapat Jabiri, metode qiyas sebagai cara dalam mendapatkan


pengetahuan epistemologi bayani digunakan dalam tiga aspek, yaitu:

1. Qiyas dalam kaitannya dengan status dan derajat hukum yang ada
pada ashl atau furu’(al qiyas bi I’tibar madiy istihqaq kullin min al
ashl wa al-far’I li al hukum). Pada bagian ini mencakup tiga hal:
● Qiyas jali, dimana kedudukan far’I mempunyai persoalan
yang kuat dibandingkan dengan ashl.
● Qiyas fi ma’na al-nash, dimana kedudukan ashl dan far’I
memiliki derajat hukum yang sama.
● Qiyas al-khafi, dimana kedudukan illat ashl tidak dapat
diketahui secara jelas hukumnya dan hanya menurut
perkiraan mujtahid saja.contohnya seperti hukum memukul
orang tua (far’i), masalah tersebut tidak ada dalilnya dalam
nash,sedangkan terdapat larangan berkata “ah” (ashl).
Walaupun perbuatan memukul lebih berat hukumnya
dibanding berkata “ah”.

2. Keterkaitan illat yang ada pada ashl maupun far’i, atau segala
sesuatu yang berhubungan dengan hal tersebut (qiyas bi I’tibar bina
al- hukm ala dzikr al illah au bi i’tibar dzikr ma yadull ‘alaiha).
Pada bagian ini meliputi dua hal, yakni:
● Qiyas al-illat, yaitu menetapkan illat yang ada ashl kepada
far’i.

● Qiyas al-dilalah, yaitu menetapkan petunjuk (dilalah) yang


ada pada ashl kepada far’i, bukan illatnya

3. Qiyas yang memiliki keterkaitan dengan potensi atau


kecenderungan untuk menyatukan antara ashl dan far’i (qiyas bi
I’tibar quwwah “al-jami” bain al-ashl wa al-far’i fayumkin
tashnifuh) yang oleh imam al Ghazali dibagi dalam empat tingkat:

● Adanya perubahan hukum baru

● Keserupaan (syibh)

● Keserasian

● Menjauhkan(thard)

2.3 Irfani

A. Pengertian Al-Irfan

Mengerti makna irfani berasal dari kata irfan yang dalam bahasa arab
merupakan bentuk dasar (masdar) dari kata arafa yang semakna dengan
ma'rifat. Dimana objek pengalaman atau pengetahuan yang di peroleh
langsung oleh objek pengetahuan. Pengetahuan irfani tidak di dasarkan
atas teks seperti bayani tetapi pada tasauf, tersikapnya rahasia-raahasia
dari tuhan, singkatnya pengertian irfani adalah model metodologi berfikir
yang didasarkan atas pendekatan dan pengalaman langsung(direct
exprience) atas realitas spritual keagamaan. Metode irfani adalah model
metodologi yang didasarkan atas pendekatan dan pengalaman langsung
atas realitas spritual keagamaan, berbeda dengan sasaran bayani yang
bersifat eksotens, sasaran bidik irfani adalah bagian esoteris(batin) teks,
karena itu rasio berperan sebagai alat untuk menjelaskan berbagai
pengalaman spritual tersebut.
Menurut sejarahnya, epistimologi ini telah ada baik di persia ataupun
yunani jauh sebelumnya datangnya teks-teks keagamaan baik yahudi,
kristen maupun islam. Sementara dalam tradisi (sufisme) islam, ia baru
berkembang sekuitar abad ke 3H/9M dan abad 4H/10M, seiring dengan
berkembangnya doktrin ma’rifah yang di yakini sebagai pengetahuan
batin, terutama tentang tuhan. Istilah tersebut digunakan untuk
membedakan antara pengetahuan yanag di peroleh oleh indra (sense al-
hisst) dan akal atau keduanya dengan pengetahuan yang di peroleh
melalui kasyf (ketersingkapan) Ilham, iyan atau isyaraq, Di kalangan
mereka irfan di mengerti sebagai ketersingkapan lewat pengalaman
inditiuitif akibat persatuan antara yang mengetahui dan yang di ketahui,
(ittihd al-arif wa al-ma’rufiyang telah di anggap sebagai pengetahuan
tinggi. Sedangkan para ahli- al-irfan mempermudahnya menjadi
pembicaraannya mengenai al-naql dan al- tauzif, dan upaya menyikap
wacana qur’ani dan memperluas ibarahnya untuk memperbanyak makna,
jadi pendekatan irfani adalah suatu pendekatan yang di pergunakan daim
kajian pemikiran islam oleh para mutasawwifun dan arfun untuk
mengeluarakan makna batin lafz dan ibarah, dia juga merupakan
istimbad al- ma’rifah, al-qalbiyah dari al-qur’an,dimana pendekatan
pemahaman yang bertumpu pada instrumen pengalaman
batin.qalb,wijban,basirah dan intuisi.

Irfan dari kata dasar bahasa Arab raafa yang berarti pengetahuan.
Tetapi irfani berbeda dengan ilmu. Irfan berkaitan dengan pengetahuan
yang diperoleh secara langsung lewat pengalaman (experimence),
sedang ilmu menunjukkan pada pengetahuan yang diperoleh lewat
transformasi (naql) atau rasionalitas (aql). Karena itu, secara
terminologis, irfan bias diartikan sebagai pengungkapan atas
pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakekat oleh Tuhan
kepada hamba-Nya (kasy!) setelah adanya ruhani (riyadiah) yang
dilakukan atas dasar cinta (love). Sasaran bidik irfani adalah aspek
esoteric syareat.
B. Sumber yang di gunakan dalam epistimologi irfani

Menurut sejarahnya, epistimologi ini telah ada baik di persia ataupun


yunani jauh sebelumnya datangnya teks-teks keagamaan baik yahudi,
kristen maupun islam. Sementara dalam tradisi (sufisme) islam, ia baru
berkembang sekuitar abad ke 3H/9M dan abad 4H/10M, seiring dengan
berkembangnya doktrin ma'rifah yang di yakini sebagai pengetahuan batin,
terutama tentang tuhan. Istilah tersebut digunakan untuk membedakan
antara pengetahuan yanag di peroleh oleh indra (sense al-hisst) dan akal atau
keduanya dengan pengetahuan yang di peroleh melalui kasyf
(ketersingkapan) Ilham, iyan atau isyaraq, Di kalangan mereka irfan di
mengerti sebagai ketersingkapan lewat pengalaman inditiuitif akibat
persatuan antara yang mengetahui dan yang di ketahui, (ittihd al-arif wa al-
ma'rufiyang telah di anggap sebagai pengetahuan tinggi. sedangkan para
ahli- al-irfan mempermudahnya menjadi pembicaraannya mengenai al-naql
dan al- tauzif, dan upaya menyikap wacana qur'ani dan memperluas
ibarahnya untuk memperbanyak makna, jadi pendekatan irfani adalah suatu
pendekatan yang di pergunakan daim kajian pemikiran islam oleh para
mutasawwifun dan arfun untuk mengeluarakan makna batin lafz dan ibarah,
dia juga merupakan istimbad al- ma'rifah, al-qalbiyah dari al-
qur'an,dimanPara ahli berbeda pendapat tentang asal sumber irfani. Pertama
menganggap bahwa irfan islam berasal dari sumber Persia dan Majusi,
seperti yang disampaikan Dozy dan Thoulk. Alasannya, sejumlah besar
orang-orang majusi di Iran utara tetap memeluk agama mereka setelah
penaklukan islam dan banyak tokoh sufi yang berasal dari daerah Khurasan.
Dan pendiri aliran aliran sufi berasal dari kelompok orang Majusi, seperti
Ma'ruf Al-Kharki (w. 815 M) dan Bayazid Busthami (w.877 M).

Irfan berasal dari sumber-sumber Kristen, seperti dikatakan Von


Kramer, Ignaz, Goldziher, Nicholson, Asin Palacios dan O'lery.
Alasanya,(1) Adanya interaksi antara orang-orang arab dan kaum nasrani
pada masa jahiliyah maupun zaman islam. (2) Adanya segi-segi kesamaan
antara kehidupan para Sufis, dalam soal ajaran, tata cara melatih
jiwa(riyadiah) dan mengasing diri(khalwat).

Irfan ditimba dari India, seperti pendapat horten dan hortman.


Alasannya, (1) kemunculan dan penyebaran irfan (tasawuf)pertama kali
adalah khurasan. (2) kebanyakan dari para sufi angkatan pertama bukan dari
kalangan arab, seperti ibrahim ibn adham (w.782 M), al-balkh (w.810 M)
dan yahya ibn muadz (w.871 M). (3) sebelum masa islam, Turkistan adalah
pusat agama dan kebudayaan timur serta barat. Mereka memberi warna
mistissismelama ketika memeluk islam. (4) konsep dan metode tasawuf
seperti keluasan hati dan pemakaian tasbih adalah praktek-praktek dari
India.

Irfan berasal dari sumber-sumber yunani,khususnya neo-platonisme


dan hermes, seperti disampaikan O’leary dan Nicholson. Alasannya,
“theology aristoteles” merupakan paduan antara system porphyry dan
proclus telah dikenal baik dalam filsafat islam. Namun menurut Dzun Al-
Nun al-Misri (796-861 M) irfan diadopsi dan ajaran hermes, sedang
pengambilan dari teks-teks Al-Qur'an sebagai contoh, istilah magamat yang
secara Lafdz dan maknawi diambil dari Al-Qur’an (QS. Al-Fushilat 164).

Dengan demikian, irfan sesungguhnya berasal dari sumber islam


sendiri, tetapi dalam perkembangannya kemudian di pengaruhi oleh factor
luar, yaitu yuinani, Kristen, hindu atau yang lain. Beberapa tokoh orientalis
seperti Nicholson,Louis Mssignon Spencer Trimingham juga menyatakan
hal yang sama tentang sumber-sumber asal irfan atau sufisme islam.

Perkembangan irfani secara umum bisa dibagi dalam lima fase, yaitu:

1. Fase pembibitan, terjadi pada abad pertama hijriyah. Pada masa ini
disebut irfan baru dalam bentuk laku zuhud (askestisme). Karakter
askestisme periode ini adalah (1) berdasarkan ajaran al-quran dan
sunnah, yakni menjauhi hal-hal duniawi demi meraih pahala dan
menjaga diri dari neraka. (2) bersifat praktis, tanpa ada perhatian
untuk menyusun teori atas praktek-praktek yang dilakukan. (3)
motifasi zuhudnya adalah rasa takut, yang muncul dan landasan
amal keagamaan secara sungguh-sungguh.
2. Fase kelahiran, terjadi pada abad kedua hijnyah. Pada masa ini,
beberapa tokoh sufisme mulai berbicara terbuka tentang irfan,
Karya-karya tentang irfan juga mulai ditulis, diawali ri’ayat huquq
Allah karya hasan basri (642-728 M) yang dianggap sebagai tulisan
pertama tentang irfani. Laku askestisme juga berubah. Jika awalnya
dilakukan atas dasar takut dan mengharap pahala, dalam periode ini,
ditangan Robiah Adawiyah (w.801 M), Zuhud dilakukan atas dasar
cinta kepada tuhan, bebas dari rasa takut atau harapan mendapat
pahala. Menurut Nicholson, zuhud ini adalah model prilaku irfan
yang paling dini atau irfan periode awal.
3. Fase pertumbuhan, terjadi abad 3-4 hijriyah. Sejak awal abad ke-3
H, para tokoh sufisme mulai menaruh perhatian terhadap hal-hal
yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku, sehingga sufisme
menjadi ilmu moral keagamaan (akhlaq). Pembahasan masalah ini
lebih lanjut mendorong mereka untuk membahas soal pengetahuan
intutif berikut sarana dan metodenya, tentang dzat Tuhan dan
hubungan-Nya dengan manusia atau hubungan manusia dengan-
Nya. Dengan demikian dengan fase ini, irfan telah mengkaji soal
moral, tingkah laku dan peningkatannya. Pengenalan intuitif
langsung pada tuhan, kefanaan dalam realitas mutlak. Pencapaian
kebahagiaan, kecenderungan umum fase ini masih pada psiko-
moral, belum pada tingkat metafisis. Ide-ide metafisis yang belum
terungkap secara jelas. Karena itu, Nicholson menyatakan dari segi
teoritis dan praktis, kaum sufis fase ini telah merancang suatu
system yang sempurna tentang irfan. Akan tetapi, karena bukan
filosof, mereka sedikit menaruh perhatian terhadap problem-
problem metafisika.
4. Fase puncak, terjadi pada abad ke-5 H. Pada masa periode ini irfan
mencapai masa gemilang. Banyak pribadi besar yang lahir dan
menulis tentang irfan, antara lain sai abu khair (w.1048 M) yang
menulis ruba’lyat, ibn utsman al- hujwiri (w.1077 M) menulis kasyf
al-mahjub, dan Abdullah al-anshori (w.1088 M) menulis manazil al
sa’irin, salah satu terpenting dalam irfan. Puncaknya al ghazali (w.
1111 M) menulis ihya’ ulum al-Din yang menyelaraskan tasawuf
dan fiqh (irfan dan bayani). Menurut Nicholson dan TJ. De Boer,
ditangan al-ghazali, irfan menjadi jalan yang jelas karakternya untuk
mencapai pengenalan serta kefanaandalam tauhid dan kebahagiaan.
5. Fase Spesikasi, terjadi abad ke-6 dan 7 H. Berkat pengaruh pribadi
Al-Gazali yang besar. Irfani menjadi semakin dukenal dan
berkembangan dalam masyarakat islam, Dengan demikian, pada
fase ini, secara epistemologis, irfani telah terpecah (terspesifikasi)
dalam dua aliran yaitu Irfan Sunni dan Irfan Teoritis.
6. Fase kemunduran, terjadi sejak abad ke-8 H. Sejak abad itu, irfan
tidak mengalami perkembangan berarti, bahkan justru mengalami
kemunduran. Pada tokohnya lebih cenderung pada pemberian
komentar dan ikhtiar atas karya-karya terdahulu, dan lelih menekan
bentuk ritus dan formalisme, yang mendoring mereka menyimpang
dari substansi ajarannya sendiri.

Tahap pertama, persiapan. Untuk bisa menerima limpahan


pengetahuan (kasyf). Seseorang yang biasan disebut salik
(penempuh jalan spiritual) harus menyelesaikan jenjang-jenjang
kehidupan spiritual. Para tokoh berbeda pendapat tentang jumlah
yang harus dilalui. Namun, setidaknya ada tujuh tahapan yang
dijalani, yang semua ini berangkat dari tingkatan paliang dasar
menuju pada tingkatan puncak.(1) Taubat meninggalkan segala
perbuatan yang kurang baik disertai penyesalan yang mendalam
untuk kemudian menggantinya dengan perbuatan-perbuatan baru
yang terpuji. Perilaku taubat ini sendiri terdiri atas beberapa
tingkatan pertama, taubat dari perbuatan dosa dan makanan haram,
kemudian taubat dari ghaflah (lalai mengingat Tuhan), dan
puncaknya taubat dari klaim bahwa dirinya telah melakukan taubat.
(2) Wara’ menjauhkan diri dari segala sesuatu yang tidak jelas
statusnya(subhat). Dalam tasawuf, wara ini terdiri atas dua
tingkatan, yaitu lahir dan batin. Wara lahir berarti tidak melakukan
sesuatu kecuali untuk beribadah kepada Tuhan, sedang wara’ batin
adalah tidak memasukkan sesuatu apapun dalam hati kecuali Tuhan
(3) Zuhud, tidak tamak dan tidak mengutamakan kehidupan dunia.
Namun demikian, zuhud bukan berarti meninggalkan harta sama
sekali. Menurut Al-Syibli seseorang tidak dianggap zuhud jika hal
itu terjadi lantaran ia memang tidak mempunyai harta. Zuhud adalah
bahwa hati tidak tersibukkan oleh sesuatu apapun kecuali Tuhan
(meskipun disana ada banyak kekayaan), (4) Faqir, mengosongkan
seluruh pikiran dan harapan dari kehidupan masa kini dan masa akan
datang, dan tidak menghentikan sesuatu apapun kecuali Tuhan
SWT. Sehingga ia tidak terikat dengan apapun dan hati tidak
menginginkan sesuatu apapun. Tingkat faqir merupakan realisasi
dari upaya pensucian hati secara keseluruhan dari segala yang selain
Tuhan (tathhir al-qalbi bi al-kulliyah 'anma siwa Allah). (5) Sbar,
yakni menerima segala bencana dengan laku sopan dan rela.Ini
tahapan lebih lanjut setelah seseorang mencapai tingkat faqir. (6)
Tawakkal, percaya atas segala apa yang ditentukan Tuhan. Tahap
awal dari tawakkal adalah menyerahkan diri pada Tuhan laksana
mayat dihadapan orang yang memandikan. (7) Ridla, hilangnya rasa
ketidak senagan dalam hati sehingga yang tersisa hanya genbira dan
sukagita. Ini adalah puncak dan tawakkal.

Tahap ketiga, pengungkapan. Ini merupakan tahap terakhir dari


proses pencapaian pengetahuan irfani, dimana pengetahuan mistik
dinterpresentasikan dan diungkapkan kepada orang lain lewat
ucapan atau tulisan.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Bayani memiliki 2 pengertian, yang pertama yaitu sebagai aturan-aturan


dalam wacana (qawanin tafsir al khithabi) dan yang ke dua yaitu syarat_syarat
dalam memproduksi wacana (syurut intaj al khitabi). Pada dasarnya makna-makna
terminologis ini baru diketahui belakangan, yaitu pada masa kodifikasi (tadwin).
Hal tersebut ditandai dengan lahirnya Al Asybah wa al Nazhair fi al Qur’an al
Karim karya Muqotil ibn Sulaiman dan Ma’ani al Qur’an karya ibn ziyad al farra’.
Dalam kajian ilmu ushul fiqih, qiyas adalah keputusan hukum suatu masalah
berdasarkan masalah lain yang telah ada kepastian hukumnya, karena adanya
kesamaan illat. Sedangkan epistemologi Al-Irfani ialah pengetahuan, disni
pengetahuan diperoleh melalui penyinaran hakekat oleh Tuhan kepada hamba-Nya
(kasyf). Dalam irfani di gunakan konsep dzahir dan batin. Batin adalah hakikat dari
sumber pengetahuan. sedangkan dzahir adalah teks(al-Qur'an dan al-Hadits)
sebagai pelindung dan penyinar.

3.2 Saran

Mahasiswa diharapkan mampu mengetahui lebih dalam mengenai bayani


yang berarti aturan maupun Irfani yang berarti pengetahuan. Dan sebaiknya penulis
dapat mempersiapkan materi ini dengan matang agar tercipta makalah yang benar
dan lengkap.
DAFTAR PUSTAKA

Muhammad ‘Abid al-Jabiri, -Bunyah al-’Aql al-’Arabi, , Beirut, Markaz Dirasat al-
Wihdah al-’Arabiyyah, 2009.

Soleh,A.Khudari, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2012.

Azami, M.Mustafa, Metodologi Kritik Hadits, terj. Yamin, Bandung, Pustaka


hidayah, 1996.

Al-Jabiri, 1991. Bunyah al-Aql al-Arabi. Beirut, al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi.h


38.

Muhammad Abed Al-Jabiri, Kritik Pemikiran Islam:8-9. ogyakarta: Fajar Pustaka,


2003.

Wacana Baru Filsafat Islam, YTim Bumi Aksara, (Jakarta, Bumi Aksara, 1998),

Amin Abdullah, Islamic Studies DiPerguruan Tinggi Pendekatan


IntegratifInterkonektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar: 2006),

Nicholson, Mistik dalam Islam, terj. Tim Bumi Aksara, (Jakarta, Bumi Aksara,
1998),

Anda mungkin juga menyukai