Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN


Dosen Pengampu : Dr. Shobahussurur M. Ag.

Ilmu Politik Kelas 2B


Kelompok 4:
1. Faiz Fakhri Badrani (11221120000048)
2. Jihan Syabila (11221120000060)
3. Fanisa Azahra (11221120000096)
4. Moeri Akbar (11221120000100)

Program Studi Ilmu Politik

Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta


2023

Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan banyak rahmat dan hidayah-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah Islam dan Ilmu Pengetahuan ini tepat
pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dosen mata
kuliah Islam dan Ilmu Pengetahuan. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah
wawasan tentang sumber-sumber ilmu dan kebenaran ilmiah yang bertujuan memberi
pemahaman bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Shobah, selaku dosen mata kuliah Islam
dan Ilmu Pengetahuan yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan
dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni. Kami juga mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membagi pengetahuannya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah
ini.

Jakarta, 9 April 2023


BAB 1

Sumber Ilmu dan Kebenaran Ilmiah

A. Definisi Sumber Ilmu

Definisi ilmu dijelaskan dalam Al-Quran bahwa secara kebahasaan, ilmu berasal dari
akar kata ‘ilm yang diartikan sebagai tanda, penunjuk, atau petunjuk agar sesuatu atau seseorang
dikenal. Kata ilmu dengan berbagai bentuk terulang 854 kali dalam Alquran. Kata ini digunakan
dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan. Dalam pandangan Alquran,
ilmu adalah keistimewaan yang menjadikan manusia unggul terhadap makhluk-makhluk lain
guna menjalankan fungsi kekhalifahan (Q.S. al-Baqarah ayat 31-32).1

Kemudian definisi sumber ilmu, yang dimaksud dengan sumber ilmu pengetahuan ialah
hal-hal yang secara hakiki diyakini sebagai sumber darimana ilmu pengetahuan itu kita peroleh.
Mengenai sumber pengetahuan, tradisi filsafat Barat mewarisi dua aliran epistemologi yang
terbesar, yaitu aliran rasionalisme dan empirisme. Aliran rasionalisme memberi tekanan pada
akal (reason) sebagai sumber pengetahuan, sedangkan aliran empirisme mengangap bahwa
sumber pengetahuan yang utama adalah pengalaman inderawi manusia (sense experience).
Kedua macam sumber ilmu pengetahuan itu, yaitu akal dan indera, pada dasarnya bersumber
pada manusia, karena akal dan indera itu dimiliki oleh manusia. 2

Tentang panduan Al-Qur'an untuk mendapatkan pengetahuan atau kebenaran, pada


prinsipnya terdapat tiga metode yaitu melalui indera, akal dan wahyu. Beberapa ayat dalam Al-
Quran mendorong manusia untuk menggunakan akal sehatnya dalam mengejar pengetahuan,
terutama dengan menggunakan frasa seperti qala (mempertimbangkan), qadara
(mengukur/aturan) dan lainnya.3
1
Zainal Abidin, “Konsep Ilmu Dalam Islam: Tinjauan Terhadap Makna, Hakikat, dan Sumber-Sumber Ilmu Dalam
Islam,” Ilmu Ushuluddin Vol. 10 No. 1 107-120 (2011): h. 108.
2
Darwish A. Soelaiman, Filsafat Ilmu Pengetahuan Perspektif Barat dan Islam (Aceh: Bandar Publishing, 2019), h.
44.
3
Ibid., h. 136.
Disamping itu ada pula pengetahuan yang bersumber Tuhan yang disebut pengetahuan
wahyu. Dengan demikian Ilmu pengetahuan dapat digolongkan kepada dua macam.

1) Ilmu yang diperoleh oleh manusia (acquired knowledge), yaitu melalui akal dan
pengalaman inderawi. Ilmu yang bersumber pada akal atau yang diperoleh melalui
akal disebut juga conceptual knowledge, dan ilmu yang bersumber pada indera
manusia disebut perceptual knowledge. Kedua macam ilmu yang diperoleh itu disebut
juga dengan ilmu aqli.

2) Ilmu wahyu (revealed knowledge),atau ilmu naqli yaitu ilmu yang bersumber Allah
SWT, seperti ilmu ketauhidan, keimanan, dan kewahyuan, ilmu fikih, ilmu
ushuluddin, dan sebagainya. Kalau ilmu-ilmu aqli bertujuan untuk membantu manusia
menjalankan peranannya sebagai khalifah, atau untuk menyempurnakan fardhu
kifayah bagi kesejahteraan umat, maka ilmu-ilmu naqli bertujuan menyempurnakan
tugas manusia sebagai hamba Allah, atau untuk menyempurnakan fardhu 'ain.4

B. Definisi Kebenaran Dalam Berbagai Perspektif

Terma kebenaran dalam kaidah-kaidah Bahasa Arab mempunyai beberapa istilah.


Misalnya adalah haqq-batil (kebenaran-kesalahan) sering digunakan dalam konteks ontologi,
sawab-khata’ (ketepatan-kekeliruan) dalam konteks ijtihad dan proses epistimologi, sahih-fasid
(valid-invalid) dalam konteks proses epistimologi dan status hukum, dan sidq-kizb (benar-
bohong) dalam konteks pernyataan lisan. Dari beberapa istilah tersebut, terma haqq lebih
menyeluruh karena ia tidak hanya mengacu kepada pernyataan tetapi juga tindakan, perasaan,
kepercayaan, penilaian, serta kejadiaan dalam eksistensi. Kata al-Haqq dalam bahasa Arab
berarti nyata, pasti, tetap, menetapkan dan memastikan, yang ada secara pasti, yang cocok dan
sesuai dengan yang sebenarnya, dan yang ada tanpa keraguan.5

Istilah kebenaran dalam perspektif Barat telah dirumuskan dalam beberapa terma. Secara
epistemologi kebenaran dalam bahasa Yunani adalah aletheia berarti terlepas dari perhatian,
tidak jelas dan tidak terlihat. Kemudian ia berubah positif menjadi sesuatu yang dipahami,
4
Darwish A. Soelaiman, Filsafat Ilmu Pengetahuan Perspektif Barat dan Islam, h. 44.
5
Dedy Irawan dan Ridani Faulika Permana, “Konsep Kebenaran Dalam Perspektif Islam dan Barat,” Tasfiyah: Jurnal
Pemikiran Islam Vol. 4 No. 1 139-162 (2020): h. 147.
ditemukan, tampak dan terlihat. Dari hal ini, kebenaran dipahami sebagai sebuah daya terang
yang ditemukan akal. Dalam bahasa Latin adalah veritas berarti pilihan atau kepercayaan akal.
Sedangkan dalam Inggris adalah truth yang berarti apa yang dipahami dan dipilih akal.6

6
Ibid., h. 142.
BAB II

Akal, Wahyu, dan Penelitian Ilmiah

A. Akal
1. Definisi Akal

Kata akal (‫ )العقل‬memiliki arti al-hijr (‫ )الحجر‬yaitu menahan, dan al-nuhâ (‫ )النهى‬yang
berarti kebijaksanaan, lawan dari lemah pikiran yaitu al-humq (‫)الحمق‬. Sehingga orang yang
berakal adalah orang yang bisa menahan diri dan mengekang hawa nafsunya.7

Di dalam masyarakat Arab sebelum masa Islam, istilah akal kerap diartikan sebagai diyat,
pengurangan hak, dan pemahaman. Penafsiran lebih lanjut diartikan sebagai daya berpikir,
seperti yang tampak dalam syair-syair mereka. Dalam ungkapan syair Islam, istilah akal
digunakan dengan makna sebagai tempat kembali, yang menjadi landasan seseorang ketika
menetapkan suatu urusan. Istilah ini juga dapat diartikan sebagai pemisah (mumayyizah) yang
memungkinkan seseorang untuk memisahkan atau membedakan sesuatu yang diterima dari luar
dirinya.8

Berbeda dengan akal (rasionalisme) Barat yang bersifat atheis, yang menjadikan alam
fisik hanya berlaku karena hukum kausalitas, sebagai satu pandangan yang menafikan
keberadaan peran Tuhan sebagai Sebab Pertama dan Maha Paripurna di alam ini. Akal
(rasionalisme) Islam justru memadukan antara keduanya; alam mempunyai peran materinya,
fenomenanya, dan faktor-faktornya adalah penyebab terhadap akibat.9

Akal dalam Islam bukanlah suatu wujud abstrak ataupun entitas yang berdiri sendiri
seperti dalam filsafat Yunani. Akal dalam Islam ialah aktivitas penggunaan kecenderungan
alamiah manusia sendiri untuk memahami segala sesuatu yang ada di sekelilingnya secara
sistematis dan mencocoki naluri logika pemberian Allah.10

Akal dalam tradisi pemikiran Islam begitu penting posisinya. Kendati makna dan fungsi
akal dipahami secara berbeda-beda oleh para ulama, teolog, sufi, dan para filosof, namun secara
tekstual berdasarkan penjelasan al-Qur’an, akal memiliki peran fungsional di dalam memahami
7
Asrori, Fungsi Akal Dalam Tasawuf Al-Ghazali (Tangerang: Al-Qolam, 2018), h. 37.
8
Ibid., h. 38.
9
Ibid., h. 43.
10
Ibid., h. 43.
ayat-ayat kebesaran Allah. Berulang kali al-Qur’an mengajak manusia untuk berfikir,
bertadabbur, merenung, dan berkontemplasi. Tujuannya, agar manusia mengetahui keagungan
Allah melalui ciptaan-Nya yang tak terhingga ini.11

2. Ruang Lingkup Akal


a) Akal dan Jiwa

Akal merupakan salah satu fungsi dari jiwa, maka jiwa dan akal adalah satu esensi yang
mestinya tidak lagi dipertentangkan keberadaannya. Akal budi manusia membedakan dirinya
dari makhluk lainnya, termasuk binatang dan tumbuhan. Tumbuhan hanya mampu melakukan
fotosintesis dan berkembang biak, sedangkan hewan hanya memiliki kemampuan untuk mencari
makan, tumbuh, dan bergerak. Namun, individu yang memiliki akal budi dapat menyerap
kemampuan makan, tumbuh, dan bergerak dari tumbuhan dan hewan. Selain itu, manusia dapat
membedakan antara yang indah dan yang tidak, yang baik dan yang buruk, serta memahami
konsep-konsep rasional, termasuk yang sangat abstrak.12

b) Akal dan Naql

Dalam sejarah pemikiran Islam, akal dan naql sering dipertentangkan. Sepertinya tidak
bisa disatukan karena keduanya terlihat memiliki lokasi yang berbeda. Rasionalitas dianggap
sebagai produk manusia, jadi tidak bisa jauh dari kebenaran. Dan naql berasal dari Sang
Pencipta, sehingga memiliki kebenaran yang tak tergoyahkan. Konflik antara akal dan naql
semakin intensif, dan para pencari kebenaran dari semua lapisan masyarakat berselisih tentang
siapa yang berhak memutuskan kebenaran. Terutama antara pendukung akal dan pendukung
naql.13

c) Akal dan Panca-Indera

Akal sebagai mata pada kalbu manusia yang terbebas dari kekurangankekurangan yang
dimiliki penglihatan mata. Ia menjelaskan pula bahwa akal ini kadang-kadang disebut dengan
akal budi, ruh atau jiwa insani. Namun, sebutan-sebutan ini tidaklah esensial dan hendaknya
tidak menghalangi langkah seseorang dan persoalannya di sini berkisar di seputar kemampuan

11
Asrori, Fungsi Akal Dalam Tasawuf Al-Ghazali, h. 67.
12
Ibid., h. 147.
13
Ibid., h. 147.
atau bakat manusia yang membedakannya dari hewan atau orang gila yang biasanya disebut
dengan akal.14

B. Wahyu

Adapun asal kata wahyu berasal dari bahasa Arab al-wahy yang berarti suara, api, dan
kecepatan, serta dapat juga berarti bisikan, isyarat, tulisan, dan kitab. Wahyu menurut istilah
merupakan penolong akal untuk mengetahui kehidupan akhirat dan keadaan kehidupan manusia
kelak. Wahyu juga memberi pikiran kesenangan dan kesengsaraan apa dan bentuk perhitungan
yang akan dihadapinya di sana. Meski semua itu sulit dipahami oleh akal, namun menurut Harun
akal dapat menerima adanya hal- hal tersebut.15

Akal tidak dapat mengetahui perincian dari kebaikan dan kejahatan. Di antara perbuatan-
perbuatan manusia ada yang tidak bisa diketahui oleh akal apakah itu baik atau buruk, dalam hal
ini Tuhanlah yang menentukan baik buruknya suatu perbuatan. Jadi perbuatan yang
diperintahkan oleh Tuhan itu baik, sementara perbuatan yang dilarangnya itu buruk. Hanya
Dialah yang tahu maksud perbuatan demikian baik dan buruk.16

Wahyu juga mengajarkan pemahaman Islam yang rasional dan dinamis sangat diperlukan
sekali oleh bangsa Indonesia yang sedang membangun. Maka dengan pemahaman rasional dan
dinamis itu umat Islam tidak banyak menghadapi kesulitan dalam menjawab tantangan
perubahan sosial yang timbul dalam masyarakat modern, terutama dalam lapangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.17

Hubungan akal dan wahyu sebenarnya tidak usah diperdebatkan lagi, karena, jika kita
dilihat dengan seksama, pendekatan filosofis-rasionalis sebenarnya sangat banyak sekali
membantu kita untuk bisa memahami agama secara kontekstual dan sebagai pandangan dunia
menuju kebenaran, secara arif dan bertanggung jawab.18

C. Penelitian Ilmiah
14
Ibid., h. 155.
15
Ach. Komaidi, Akal dan Wahyu Dalam Perspektif Harun Nasution, Skripsi S-1 Jurusan Aqidah Dan Filsafat Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat Uin Syarif Hidayatullah Jakarta (2005), h. 51.
16
Ibid., h. 52.
17
Ibid., h. 52.
18
Ibid., h. 54.
Penelitian ilmiah adalah tulisan yang membicarakan suatu isu. Pembicaraan didasarkan
pada riset, observasi, dan pengumpulan data yang dikumpulkan melalui penelitian. Penulisan
ilmiah melalui riset ini menggunakan metode ilmiah yang terstruktur untuk mendapatkan
jawaban ilmiah atas permasalahan yang diteliti. Untuk menjelaskan jawaban ilmiah berdasarkan
penelitian, karya ilmiah hanya dapat ditulis setelah muncul isu, yang dibahas melalui penelitian
dan ditarik kesimpulan dari penelitian.19

Penelitian ilmiah sebagai alat komunikasi tertulis menggunakan sistem yang dapat
diterima oleh masyarakat ilmiah melalui sistem penulisan yang disetujui. Dalam penulisan
ilmiah, sifat ilmiah karya harus dapat dijelaskan secara empiris dan obyektif. Teknik penulisan
ilmiah memiliki dua aspek, yaitu gaya penulisan saat membuat pernyataan ilmiah dan teknik
notasi saat mengutip sumber informasi ilmiah yang digunakan dalam penulisan. Bahasa yang
baik dan benar harus digunakan dalam penulisan akademik. Sebuah kalimat yang tidak dapat
mengidentifikasi subjek dan predikat serta hubungan antara subjek dan predikat mungkin
merupakan informasi yang ambigu. Penggunaan kata-kata harus tepat, artinya memilih kata-kata
yang sesuai dengan pesan yang akan disampaikan.20

Pernyataan ilmiah yang harus kita gunakan dalam tulisan harus mencakup beberapa hal, yaitu :

1. Harus dapat kita identifikasikan orang yang membuat pernyataan tersebut.

2. Harus dapat kita identifikasikan media komunikasi ilmiah di mana pernyataan disampaikan
apakah dalam makalah, buku, seminar, lokakarya dan sebagainya.

3. Harus dapat diindentifikasikan lembaga yang menerbitkan publikasi ilmiah tersebut beserta
tempat domisili dan waktu penerbitan itu dilakukan. Sekiranya publikasi ilmiah tersebut tidak
diterbitkan maka harus disebutkan tempat, waktu dan lembaga yang melakukan kegiatan tersebut.

Hal-hal yang harus ada dalam karya ilmiah antara lain:

1. Penelitian ilmiah memuat gagasan ilmiah lewat pikiran dan alur pikiran.

2. Keindahan penelitian ilmiah terletak pada bangun pikir dengan unsur-unsur yang menyangganya.

3. Alur pikir dituangkan dalam sistematika dan notasi.

19
Wasmana, Modul Penulisan Karya Ilmiah (Bandung: Sekolah Tinggi Dan Ilmu Kependidikan Siliwangi, 2011), h. 5.
20
Wasmana, Modul Penulisan Karya Ilmiah, h. 5.
4. Penelitian ilmiah terdiri dari unsur-unsur: kata, angka, tabel, dan gam- bar, yang tersusun
mendukung alur pikir yang teratur.

5. Penelitian ilmiah harus mampu mengekspresikan asas-asas yang terkandung dalam hakikat ilmu
dengan mengindahkan kaidah-kaidah keba- hasaan.

6. Penelitian ilmiah terdiri dari serangkaian narasi (penceritaan), eksposisi (paparan), deskripsi
(lukisan) dan argumentasi (alasan).21

Laporan hasil penelitian ditulis sesuai dengan tujuan laporan tersebut dibuat atau ditujuan untuk
keperluan yang dibutuhkan. Laporan hasil penelitian dapat ditulis dalam dua macam, yaitu sebagai
dokumentasi dan sebagai publikasi. Perbedaan kedua penelitian ilmiah ini terletak pada format penulisan.
Penelitian ilmiah sebagian besar merupakan publikasi hasil penelitian. Dengan demikian format yang
digunakan dalam penelitian ilmiah ini ditentukan oleh isi penelitian yang menggambarkan metode atau
sistematika penelitian. Metode penelitian secara garis besar dapat dibagi dalam empat macam.yaitu yang
disusun berdasarkan hasil penelitian kuantitatif, hasil penelitian kualitatif, hasil kajian pustaka, dan hasil
kerja pengembangan.22

BAB III

21
Ibid., h. 6
22
Ibid., h. 7.
Perkembangan Ilmu Pengetahuan

Ilmu pengetahuan pada dasarnya lahir dan berkembang sebagai hasil usaha manusia,
memahami realitas kehidupan dan alam semesta, serta untuk memecahkan masalah kehidupan
juga mengembangkan dan melestarikan hasil yang dicapai sebelumnya dicapai oleh manusia
lain. Sejarah perkembangan ilmu pengetahuan memiliki ciri-ciri tertentu. Detail dan struktur atau
sketsa skematik dibuat di sini untuk memudahkan pemahaman tentang sejarah perkembangan
ilmu pengetahuan.

Berikut uraian singkat setiap zaman, atau sejarah perkembangan ilmu pengetahuan dari
masa ke masa. Jika ilmu lahir sejak penciptaan manusia pertama, perkembangannya adalah
berawal dari zaman dahulu kala. Perkembangan sejarah ilmu pengetahuan menurut amsal bakhtiar
yang dibagi menjadi empat periode yaitu: periode Yunani kuno, periode islam, masa renaissans dan
modern, periode kontemporer. George J. Morley, di sisi lain, membagi perkembangan ilmu
pengetahuan menjadi tiga tahapan, yaitu animisme, ilmu empiris, dan ilmu teoretis.

Perkembangan sejarah ilmu pengetahuan menurut Amsal Bakhtiar yang dibagi menjadi
empat periode dijelaskan sebagai berikut:

1. Periode Yunani Kuno


Yunani kuno adalah tempat bersejarah di mana sebuah bangsa memilki peradaban. Oleh
karena itu, Yunani kuno sangat identik dengan filsafat yang merupakan induk dari ilmu
pengetahuan. Padahal filsafat dalam pengertian yang sederhana sudah berkembang jauh
sebelum para filosof klasik Yunani menekuni dan mengembangkannya. Filsafat di tangan
mereka menjadi sesuatu yang sangat berharga bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada
generasi-generasi setelahnya. Ia ibarat pembuka pintu-pintu aneka ragam disiplin ilmu
yang pengaruhnya terasa hingga sekarang. Menurut Bertrand Russel, diantara semua
sejarah, tak ada yang begitu mencengangkan atau begitu sulit diterangkan selain lahirnya
peradaban di Yunani secara mendadak. Memang banyak unsur peradaban yang telah ada
ribuan tahun di Mesir dan Mesopotamia. Namun, unsur-unsur tertentu belum utuh sampai
kemudian bangsa Yunanilah yang menyempurnakannya.23

23
Abdul Karim, “Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan,” Fikrah: Jurnal Perkembangan Ilmu Pengetahuan Vol. 2
No. 1 (2014): h. 277.
Seiring dengan berkembangannya waktu, filsafat dijadikan sebagai landasan berfikir oleh
bangsa Yunani untuk menggali ilmu pengetahuan, sehingga berkembang pada generasi-
generasi setelahnya. Itu ibarat pembuka pintu-pintu aneka ragam disiplin ilmu yang
pengaruhnya terasa hingga sekarang. Karena itu, periode perkembangan filsafat Yunani
merupakan entri poin untuk memasuki peradaban baru umat manusia. Zaman ini
berlangsung dari abad 6 SM sampai dengan sekitar abad 6 M. Zaman ini menggunakan
sikap an inquiring attitude (suatu sikap yang senang menyelidiki sesuatu secara kritis),
dan tidak menerima pengalaman yang didasarkan pada sikap receptive attitude (sikap
menerima segitu saja). Sehingga pada zaman ini filsafat tumbuh dengan subur. Yunani
mencapai puncak kejayaannya atau zaman keemasannya.
2. Periode Islam
Tidak terbantahkan bahwa Islam sesungguhnya adalah ajaran yang sangat cinta terhadap ilmu
pengetahuan, hal ini sudah terlihat dari pesan yang terkandung dalam al-Qur’an yang diwahyukan
pertama kali kepada Nabi Muhammad saw, yaitu surat al-‘Alaq dengan diawali kata perintah iqra
yang berarti (bacalah). Gairah intelektualitas di dunia Islam ini berkembang pada saat Eropa dan
Barat mengalami titik kegelapan, sebagaimana dikatakan oleh Josep Schumpeter dalam buku
magnum opus-nya yang menyatakan adanya great gap dalam sejarah pemikiran ekonomi selama
500 tahun, yaitu masa yang dikenal sebagai dark ages.
Masa kegelapan Barat itu sebenarnya merupakan masa kegemilangan umat Islam, suatu hal yang
berusaha disembunyikan oleb Barat karena pemikiran ekonom Muslim pada masa inilah yang
kemudian banyak dicuri oleh para ekonom Barat. Pada saat itulah di Timur terutama di wilayah
kekuasaan Islam terjadi perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat. Di saat Eropa pada zaman
Pertengahan lebih berkutat pada isu-isu keagamaan, maka peradaban dunia Islam melakukan
penerjemahan besar-besaran terhadap karya-karya filosof Yunani, dan berbagai temuan di
lapangan ilmiah lainnya.
Menurut Harun Nasution, keilmuan berkembang pada zaman Islam klasik (650-1250 M).
Keilmuan ini dipengaruhi oleh persepsi tentang bagaimana tingginya kedudukan akal seperti yang
terdapat dalam al-Qur`an dan hadis. Persepsi ini bertemu dengan persepsi yang sama dari Yunani
melalui filsafat dan sains Yunani yang berada di kota-kota pusat peradaban Yunani di Dunia
Islam Zaman Klasik, seperti Alexandria (Mesir), Jundisyapur (Irak), Antakia (Syiria), dan Bactra
(Persia). Sedangkan W. Montgomery Watt menambahkan lebih rinci bahwa ketika Irak, Syiria,
dan Mesir diduduki oleh orang Arab pada abad ke-7, ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani
dikembangkan di berbagai pusat belajar. Terdapat sebuah sekolah terkenal di Alexandria, Mesir,
tetapi kemudian dipindahkan pertama kali ke Syiria, dan kemudian pada sekitar tahun 900 M ke
Baghdad. Sekitar abad ke 6-7 Masehi obor kemajuan ilmu pengetahuan berada di pangkuan
perdaban Islam.
3. Masa renaisans dan modern
Michelet, sejarahwan terkenal, adalah orang pertama yang menggunakan istilah renaisans. Para
sejarahwan biasanya menggunakan istilah ini untuk menunjuk berbagai periode kebangkitan
intelektual, khususnya di Eropa, dan lebih khusus lagi di Italia sepanjang abad ke-15 dan ke-16.
Agak sulit menentukan garis batas yang jelas antara abad pertengahan, zaman renaisans, dan
zaman modern. Sementara orang menganggap bahwa zaman modern hanyalah perluasan dari
zaman renaisans. Renaisans adalah periode perkembangan peradaban yang terletak di ujung atau
sesudah abad kegelapan sampai muncul abad modern. Renaisans merupakan era sejarah yang
penuh dengan kemajuan dan perubahan yang mengandung arti bagi perkembangan ilmu. Ciri
utama renaisans yaitu humanisme, individualisme, sekulerisme, empirisisme, dan rasionalisme.
Sains berkembang karena semangat dan hasil empirisisme, sementara Kristen semakin
ditinggalkan karena semangat humanisme. Pengaruh ilmu pengetahuan Islam atas Eropa yang
sudah berlangsung sejak abad ke-12M itu menimbulkan gerakan kebangkitan kembali
(renaisance) pusaka Yunani di Eropa pada abad ke-14M. Berkembangnya pemikiran Yunani di
Eropa kali ini adalah melalui terjemahan-terjemahan Arab yang dipelajari dan kemudian
diterjemahkan kembali ke dalam bahasa latin. Walaupun Islam akhirnya terusir dari negeri
Spanyol dengan cara yang sangat kejam, tetapi ia telah membidani gerakan-gerakan penting di
Eropa. Gerakan-gerakan itu adalah kebangkitan kembali kebudayaan Yunani klasik (renaisance)
pada abad ke-14M, rasionalisme pada abad ke-17M, dan pencerahan (aufklarung) pada abad ke-
18M.24
4. Periode Kontemporer
Zaman ini bermula dari abad 20M dan masih berlangsung hingga saat ini. Zaman ini ditandai
dengan adanya teknologi-teknologi canggih, dan spesialisasi ilmu-ilmu yang semakin tajam dan
mendalam. Pada zaman ini bidang fisika menempati kedudukan paling tinggi dan banyak
dibicarakan oleh para filsuf. Sebagian besar aplikasi ilmu dan teknologi di abad 21 merupakan
hasil penemuan mutakhir di abad 20. Pada zaman ini, ilmuwan yang menonjol dan banyak
dibicarakan adalah fisikawan. Bidang fisika menjadi titik pusat perkembangan ilmu pada masa
ini. Fisikawan yang paling terkenal pada abad ke-20 adalah Albert Einstein. Alberth Einstein

24
Ibid., h. 282-283.
adalah seorang ilmuwan fisika. Dia mengemukakan teori relativitas dan juga banyak
menyumbang bagi pengembangan mekanika kuantum, mekanika statistik, dan kosmologi. 25

Sedangkan perkembangan ilmu pengetahuan menurut Mouley dibagi menjadi 3 (tiga)


tahapan, yaitu: animisme, ilmu empiris dan ilmu teoritis. Permulaan ilmu dapat ditelusuri sampai
pada permulaan manusia manusia purba telah menemukan beberapa hubungan yang bersifat
empiris yang memungkinkan mereka untuk mengerti keadaan dunia.

1. Pada tahap animisme, manusia menjelaskan gejala yang ditemuinya dalam kehidupan
sebagai perbuatan dewa-dewi, hantu dan berbagai makhluk halus. Tahap animisme, pola
pikir mitosentris masih sangat kental mewarnai pemikiran bangsa Yunani sebelum
berubah menjadi logosentris. Contohnya ketika gempa bumi pada saat itu tidak dianggap
fenomena alam biasa, tetapi Dewa Bumi yang sedang menggoyangkan kepalanya.
2. Setelah filsafat diperkenalkan, fenomena alam tersebut tidak lagi dianggap sebagai
aktivitas dewa, tetapi aktivitas alam yang terjadi secara kualitas. Berdasarkan fenomena
kejadian tersebut diketahui bahwa proses berpikir manusia menuntut untuk menemukan
sebuah metode belajar dari pengalaman dan memunculkan keinginan untuk menyusun
sesuatu hal secara empiris, serta dapat diukur. Sejarah mencatat bahwa bangsa Yunani
yang pertama diakui oleh dunia sebagai perintis terbentuknya ilmu karena telah berhasil
menyusunnya secara sistematis.
3. Implikasi dari hal tersebut, manusia akan mencoba merumuskan semua hal termasuk asal
mitos karena menyadari bahwa hal tersebut dapat dijelaskan asal-usulnya dan kondisi
sebenarnya, sehingga sesuatu hal yang tidak jelas yang hanya berupa tahu atau
pengetahuan dapat dibuktikan kebenarannya dan dapat dipertanggungjawabkan saat itu.
Hal tersebut menjadi awal kemenangan ilmu pengetahuan terhadap mitos-mitos, dan
kepercayaan tradisional yang berlaku di masyarakat.

BAB IV

Perkembangan Al-Quran dan Sains

25
Ibid., h. 285.
a. Al-Quran dan Sains

Al-Qur'an dan Sains bukan merupakan kajian yang baru, bahkan bukan sebagai persoalan,
karena sudah sejak lama terjadi. Isu ini menjadi menarik ketika dilihat dalam kerangka ilmu,
dimana isu Al-Qur'an dan sains dalam suatu kajian, aktivitas ilmiah, metodologi ilmiah, hingga
produk-produk karya ilmiah sejalan dan masuk dalam kajian hubungan sains dan agama.
Pembicaraan tentang ilmu mengantarkan kita pada pembicaraan tentang sumber-sumber ilmu
tentang klasifikasi dan ragam disiplinnya.

Sementara, ahli keislaman berpendapat bahwa ilmu menurut Al-Quran mencakup segala
macam pengetahuan yang berguna bagi manusia dalam kehidupannya, baik masa kini maupun
masa depan, fisika atau metafisika. Berbeda dengan klasifikasi ilmu yang digunakan oleh para
filosof Muslim atau non-Muslim pada masa silam, atau klasifikasi yang belakangan ini dikenal
seperti, ilmu-ilmu sosial.

Ahli sejarah dan ahli filsafat sains mengakui bahwa gejala yang dipilih untuk dikaji oleh
ilmuwan sebenarnya ditentukan oleh pandangan terhadap realitas atau kebenaran yang telah
diterima oleh ilmuwan tersebut. Dalam hal ini, yang menjadi tumpuan perhatian sains adalah
alam materi. Di sinilah terdapat salah satu perbedaan antara ajaran Al-Quran dengan sains. Al-
Quran menyatakan bahwa objek ilmu meliputi batas-batas alam materi (physical world), karena
itu dapat dipahami mengapa Al-Quran menganjurkan untuk mengadakan observasi dan
eksperimen (QS 29:20), juga menganjurkan untuk menggunakan akal dan intuisi (QS 16:78).

Karena, menurut Al-Quran, ada realitas lain yang tidak dapat dijangkau oleh pancaindera,
sehingga tidak dapat dilakukan observasi atau eksperimen, seperti yang ditegaskan oleh firman-
Nya "Maka Aku bersumpah dengan apa-apa yang dapat kamu lihat dan apa-apa yang tidak dapat
kamu lihat". "Apa-apa" tersebut maksudnya ada dan merupakan suatu realitas, tapi tidak seperti
apa yang bisa diamati oleh indera manusia. Ilmuwan tidak boleh sekalipun menolak atau
menyanggahnya, karena ilmuwan hanya dapat mengamati sesuatu yang bersifat empiris. Bahkan
tanpa disadari banyak konsep abstrak yang sering digunakan justru tidak ada dalam dunia materi
seperti berat jenis benda, akar-akar dalam matematika dan ada yang tidak dapat dijangkau
hakikatnya seperti cahaya. Hal ini membuktikan keterbatasan ilmu manusia (QS 17:85),
kebanyakan manusia hanya mengetahui fenomena, mereka tidak mampu menjangkau nomena
(QS 30:7).
Banyak ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang hakikat-hakikat ilmiah yang tidak
dikenal pada masa turunnya, namun terbukti kebenarannya di tengah-tengah perkembangan ilmu,
seperti: Teori tentang expanding universe (kosmos yang mengembang) (QS 51:47). Matahari
adalah planet yang bercahaya sedangkan bulan adalah pantulan dari cahaya matahari (QS 10:5).
Demikian seterusnya, sehingga amat tepatlah kesimpulan bahwa tidak satu ayat pun dalam Al-
Quran yang bertentangan dengan perkembangan ilmu pengetahuan.26

b. Prinsip-Prinsip Dasar Kegiatan Ilmiah Dalam Al-Qur’an Atas Dasar Pandangan


Al-Qur’an Tentang Ilmu Pengetahuan (Sains Dan Teknologi)

Dapat dirumuskan beberapa prinsip dasar yang menopang dan memantapkan kegiatan ilmiah
manusia sebagai berikut.

1. Prinsip Istikhlaf
Prinsip istikhlaf merupakan salah satu prinsip dasar yang digariskan oleh al-Qur’an
dalam mendukung dan memantapkan kegiatan imiah. Konsep istikhlaf ini berkaitan erat
dengan fungsi kekhalifahan manusia. Dalam Islam, konsep kekhalifahan memiliki sifat
yang multi-dimensional.
2. Prinsip Keseimbangan
Prinsip dasar lainnya yang digariskan oleh al-Qur’an adalah keseimbangan antara
kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, spiritual dan material. Prinsip ini dibahas secara
luas dan mendalam di dalam al-Qur’an dengan mengambi berbagai bentuk ungkapan.
Manusia disusun oleh Allah dengan susunan dan ukuran tertentu, lalu diperuntukkan
bumi ini dengan kehendak-Nya untuk memenuhi kebutuhan susunan yang membentuk
manusia itu. Dengan demikian, al-Qur’an menghendaki terwujudnya keseimbangan yang
adil antara dua sisi kejadian manusia (spiritual dan material) sehingga manusia mampu
berbuat, berubah dan bergerak secara seimbang.
3. Prinsip Taskhir
Taskhir juga merupakan prinsip dasar yang membentuk pandangan al-Qur’an tentang
alam semesta (kosmos). Dan, tidak dapat dipungkiri, manifestasi prinsip ini ke dalam
kehidupan riil manusia harus ditopang oleh ilmu pengetahuan. Alam semesta ini (langit,
bumi, dan seisinya) telah dijadikan oleh Allah untuk tunduk kepada manusia. Allah telah

26
M. Quraish Sihab, Membumikan Al-Qur'an.
menentukan dimensi, ukuran, dan sunnah-sunnah-Nya yang sesuai dengan fungsi dan
kemampuan manusia dalam mengelola alam semesta secara positif dan aktif.
4. Prinsip Keterkaitan antara Makhluk dengan Khalik
Prinsip penting lainnya adalah keterkaitan antara sistem penciptaan yang mengagumkan
dengan Sang Pencipta Yang Maha Agung. Ilmu pengetahuan adalah alat yang mutlak
untuk memberikan penjelasan dan mengungkapkan keterkaitan itu.
Berdasarkan empat prinsip di atas, maka jelaslah bahwa ilmu pengetahuan (sains dan
teknologi) merupakan kebutuhan dasar manusia yang Islami selama manusia
melakukannya dalam rangka menemukan rahasia alam dan kehidupan serta
mengarahkannya kepada Pencipta alam dan kehidupan tersebut dengan cara-cara yang
benar dan memuaskan.

c. Implikasi Pandangan Al-Quran Tentang Sains Dalam Proses Pembelajaran

Merujuk kepada pandangan Barbour tentang relasi agama dan sains, secara umum ada empat
pola yang menggambarkan hubungan tersebut. Keempat hubungan itu adalah berupa konflik,
independensi, dialog, dan integrasi. Hubungan yang bersifat konflik menempatkan agama dan
sains dalam dua sisi yang terpisah dan saling bertentangan. Pandangan ini menyebabkan agama
menjadi terkesan menegasi kebenaran-kebenaran yang diungkap dunia sains dan sebagainya.
Persepsi yang menggambarkan hubungan keduanya sebagai interdependensi menganggap adanya
distribusi wilayah kekuasaan agama yang berbeda dari wilayah sains. 27 Keduanya tidak saling
menegasi. Ilmu pengetahuan bertugas memberi jawaban tentang proses kerja sebuah penciptaan
dengan mengandalkan data publik yang obyektif. Sementara agama berkuasa atas nilai-nilai dan
kerangka makna yang lebih besar bagi kehidupan seseorang. 28

BAB V

Kesimpulan

Sumber ilmu dapat berasal dari berbagai macam sumber, seperti pengalaman, observasi,
buku, penelitian, dan percobaan. Namun, kebenaran ilmiah ditentukan oleh pengujian dan
27
Achmad Baiquni, Al-Qur’an, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995).
28
Barbour dan Ian G, Menemukan Tuhan dalam Sains Kontemporer dan Agama (Bandung: Mizan, 2005).
verifikasi melalui metode ilmiah yang benar. Metode ilmiah melibatkan empat langkah utama,
yaitu observasi, hipotesis, percobaan, dan analisis data.

Dalam Islam, sumber ilmu berasal dari Al-Quran dan Hadis, yang dianggap sebagai
wahyu dari Allah SWT. Selain itu, pengetahuan juga dapat diperoleh melalui observasi,
pengalaman, dan penelitian.

Kebenaran ilmiah dapat diuji dan diverifikasi melalui pemikiran kritis dan pengulangan
pengujian. Sebuah teori ilmiah dianggap benar ketika telah melewati serangkaian uji coba dan
percobaan yang terus menerus, serta diterima secara luas oleh masyarakat ilmiah.

Namun, meskipun kebenaran ilmiah dapat diuji dan diverifikasi, itu tidak selalu absolut.
Seiring dengan kemajuan teknologi dan pemahaman yang lebih baik, teori ilmiah dapat direvisi
atau bahkan digantikan oleh teori yang lebih baru dan lebih baik. Oleh karena itu, ilmu dan
kebenaran ilmiah terus berkembang seiring dengan perkembangan manusia dan penemuan baru.

Kebenaran ilmiah dalam Islam dicapai melalui pengujian dan verifikasi, serta melalui
pemikiran kritis dan akal sehat. Namun, kebenaran ilmiah juga harus selalu selaras dengan nilai-
nilai Islam yang mengajarkan kebaikan, kebenaran, dan kemanfaatan bagi umat manusia.

Dalam Islam, kebenaran ilmiah tidak dapat dipisahkan dari ajaran agama. Oleh karena
itu, pengetahuan dan ilmu harus dipergunakan untuk memperbaiki kualitas hidup manusia dan
meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT. Hal ini juga menekankan pentingnya etika dalam
pengembangan ilmu pengetahuan, termasuk tanggung jawab sosial dan lingkungan.

Daftar Pustaka
Buku:
Asrori. Fungsi Akal Dalam Tasawuf Al-Ghazali. Tangerang: Al-Qolam, 2018.
Barbour, Ian G. Menemukan Tuhan dalam Sains Kontemporer dan Agama. Bandung: Mizan,
2005.

Baiquni, Achmad. Al-Qur’an, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Yogyakarta: Dana Bhakti
Wakaf, 1995.

Komaidi, Ach. Akal dan Wahyu Dalam Perspektif Harun Nasution, Skripsi S-1 Jurusan Aqidah
Dan Filsafat Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Uin Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005.
Solaiman, Darwis A. Filsafat Ilmu Pengetahuan Perspektif Barat dan Islam. Aceh: Bandar
Publishing, 2019.
Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur'an. Bandung: Mizan, 1993.
Wasmana. Modul Penulisan Karya Ilmiah. Bandung: Sekolah Tinggi Dan Ilmu Kependidikan
Siliwangi, 2011.

Jurnal:

Abidin, Zainal. “Konsep Ilmu Dalam Islam: Tinjauan Terhadap Makna, Hakikat, dan Sumber-
Sumber Ilmu Dalam Islam.” Ilmu Ushuluddin Vol. 10 No. 1 107-120 (2011).
Irawan, Dedy dan Permana, Ridani Faulika. “Konsep Kebenaran Dalam Perspektif Islam dan
Barat.” Tasfiyah: Jurnal Pemikiran Islam Vol. 4 No. 1 139-162 (2020).
Karim, Abdul. “Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan.” Fikrah: Jurnal Perkembangan Ilmu
Pengetahuan Vol. 2 No. 1 (2014).

Anda mungkin juga menyukai