Anda di halaman 1dari 7

Nama: Maisya Putri Ardana

NIM: 11211120000063

E-mail: Maisya.putri21@mhs.uinjkt.ac.id

KOALISI PARTAI POLITIK

A. Definisi
Koalisi adalah sebuah pengelompokan aktor-aktor politik yang terbentuk baik
atas kesamaan persepsi tentang musuh Bersama (common threat), atau atas dasar
keyakinan bahwa tujuan mereka tidak akan dapat tercapai jika berjalan sendiri-
sendiri. Maka pemerintahan koalisi (coalition government) merupakan kesepkatan
formal antara dua atau lebih partai politik yang mencakup distribusi kursi kementrian
lintas partai di kabinet. Walaupun dewasa ini menjadi tren politik di Indonesia, sistem
pemerintahan koalisi sebenernya menyimpan masalah serius. Sebagaimana partai
pemerintahan koalisi sebenernya menyimpan masalah serius. Sebagaimana partai
pemerintah bukanlah penguasa mayoritas di parlemen, maka terbentuklah
pemerintahan yang lemah dan tidak efektif, terjadi konflik antar anggota koalisi yang
berakhir pada instabilitas pemerintahan, serta kecilnya kemungkinan bagi tercipatanya
debat yang berbobot dalam mempersiapkan suatu kebijakan, terlebih menyangkut isu-
isu yang kontoversial.
Koalisi politik dapat terjadi dalam tiga bentuk, yaitu: (1) koalisi pemilu,
artinya kerja sama di mana partai-partai politik sepakat untuk tidak bersaing satu sama
lain dengan tujuan memaksimalkan keterwakilan gabungan mereka; (2) koalisi
legislative yaitu kesepakatan antara dua atau lebih partai untuk mendukung undang-
undang atau program tertantung; dan (3) koalisi pemerintahan, yaitu koalisi formal
antar dua atau lebih partai yang berujung pada pembagian kursi di cabinet lintas
partai. Bentuk koalisi yang terkenal adalah grand coalition, di mana semua partai
besar bergabung dalam pemerintahan.
Koalisi yang dimaksud dalam buku ini adalah koalisi pemerintahan
(government coalition), sebagaimana tercermin dalam komposisi cabinet. Karena
tidak semua partai besar masuk dalam koalisi, maka tidak bisa disbeut sebagai grand
coalition. Koalisi besar umumnya terjadi pada saat krisis nasional atau krisis
ekonomi. Koalisi pemerintahan saat ini dipandang memgandung cacat karena. Koalisi
terbentuk tidak berdasarkan kesamaan ideologi dan program partai, melainkan lebih
sebagai cara mendapat jatah kursi di kabinet. ( Salvatore Simarmata 2014: 12-13)
B. Sumberdaya Koalisi
Studi paling klasik tentang koalisi menempatkan besaran kekuatan partai (size
of party power) sebagai sumberdaya penentu terbentuknya koalisi partai. Pada
persepektif ini, distribusi asimetrik sumberdaya diantara partai-partai akan melahirkan
hasil yang berbeda. Theodore Caplow dalam “ A Theory of Coalition in The Triad”
(1956) membuat simulasi kemungkinan koalisi dari tiga kekuatan (triad) yang
berbeda. Kemungkinan koalisi dari triad dibangun atas sejumlah asumsi berikut:
1. Angota triad mungkin berbeda kekuatannya. Anggota yang lebih kuat dapat
mengontrol anggota yang lebih lemah, dan akan berusaha melakukannya.
2. Setiap anggota triad mencari control atas anggota yang lain. Control atas dua yang
lain lebih disukai daripada mengontrol satu lainnya. Control atas satu yang lain
dipilih daripada tidak ada yang dikontrol.
3. Kekuatan adalah bertambah. Kekuatan koalisi adalah setara dengan jumlah
kekuatan dari dua anggota.
4. Formasi koalisi berlangsung dalam situasi triadic, dengan demikian ada suatu
kondisi pra-koalisi di setiap triad. Setiap upaya yang dilakukan oleh anggota yang
lebih kuat untuk memaksa anggota yang lebih lemah kedalam penggabungan
koalisi yang tidak menguntungkan akan memprovokasi pembentukan koalisi yang
menguntungkan untuk menentang paksaan.

Dari berbagai koalisi politik. Terdapat beberapa type koalisi politik yang
terbagi menjadi 6 (enam) type. Tipe 1: ketiga anggota kekuatannya sama (A=B=C)
simulasi atas formula ini misalnya masing-masing aktor memiliki kekuatan 1. Tipe
ini merupakan tipe klasik tetapi bukan tipe paling biasa dari triad karena sangat
jarang dalam dunia politik jumlah kekuatan politik dari aktor-aktor yang bermain
setara. Pada tipe ini, probabilitas terjadinya koalisi antar aktor sama-sama terbuka.
Koalisi AB, BC dan CA sama-sama dapat terjadi, dan setiap aktor berusaha untuk
memasukan aktor lain dalam sekutunya dimana ia setara dan kuat.

Tipe 2: salah satu anggota lebih kuat daripada dua lainnya, tetapi tidak jauh
lebih kuat (A>B, B=C, A<(B+C)). Formula ini dapat disimulasikan dengan A=3,
B=2, dan C=2. Pertimbangkan posisi B, jika B membentuk koalisi dengan A, dia
akan kuat daripada C, tetapi dalam koalisi B akan lebih lemah dari A, dan ini tidak
disukai B karena B dibawah control A. di sisi lain, jika B membentuk koalisi dengan
C, maka B dalam koaisi akan berada dalam posisi setara dengan c dan lebih kuat dari
A. Posisi C identic dengan B, sehingga lain hal yang sama. Dengan demikian,
koalisi BC akan terbentuk dan anggota individu terkuat dari triad ternyata berubah
menjadi paling lemah karena ia menjadi musuh Bersama.

Tipe 3: dua anggota triad adalah sama dalam kekuatan, tapi kali ini anggota
ketiga adalah lemah (A<B, B=C). Contoh formulasinya adalah A=1, B=2, C=2. Pada
situasi ini, B dan C mungkin tidak akan suka untuk membangun koalisi Bersama
karena tidak memperbaiki posisi ketika pre koalisi. Masuknya A dalam salah aktor
baik B atau C akan disambut dengan baik oleh aktor itu karena langsung berdampak
pada perubahan dominasi B atas C atau C atas B. jadi ada dua kemungkinan koalisi,
AB dan AC.

Tipe 4: kekuaan salah satu anggota melebihi kekuatan gabungan dua anggota
lainnya, dimana dua anggota lainnya itu memiliki kekuatan yang setara (A>(B+C),
B=C). Rumusan itu dapat diformulasikan dengan A=3, B=1, dan C=1. Pada situasi
ini B dan C tidak memiliki motif untuk memasuki koalisi satu sama lain. Setelah
terbentuk, koalisi masih akan lemah dari A dan mereka akan masih sama di
dalamnya. A, di sisi lain, tidak memiliki motif untuk membentuk koalis dengan B
atau C, karena dia sudah kuat dari masing-masing mereka dan tidak terancam oleh
koalisi mereka. Tidak ada koalisi akan terbentuk, kecuali salah B atau C dapat
menemukan beberapa cara merangsang A untuk bergabung dengan mereka.

Tipe 5: tidak ada anggota triad dengan kekuatan sama atau setara tetapi
gabungan dari dua anggota lainnya dapat melebihi salah satu kekuatan anggota yang
memiliki kekuatan terbesar (A>B>C, A<(B+C)). Formulasinya sederhananya adalah
A=4, B=3, dan C=2. Jenis ini menyerupai tipe 3 bahwa anggota terlemah dari triad
memiliki keuntungan yang pasti, yaitu pasti akan disertakan dalam apapun koalisi
yang akan terbentuk. A berusaha untuk bergabung baik B dan C, dan C berusaha
untuk bergabung baik A dan B, tapi B tidak memiliki insentif untuk memasukkan
koalisi dengan A dan A memiliki yang sangat kuat insentif untuk memasukkan
koalisi dengan C. koalisi yang paling mungkin terbentuk adalah B dengan C karena
dapat saling memaksimalkan surplus politik.
Tipe 6: tidak ada anggota triad dengan kekuatan sama, dan gabungan dari dua
anggota lainnya tidak dapat melebihi kekuatan salah satu anggota yang memiliki
kekuatan terbesar (A>BC, A>(B+C)). Rumusan itu dapat diformulasikan dengan
A=4, B=2, dan C=1. Situasi tipe 6 ini sama dengan tipe 4, mustahil koalisi akan
terbentuk kecuali C dapat meningkatkan posisinya dengan menemukan beberapa
cara merangsang A untuk bergabung dengannya.

Kesimpulan yang paling mengejutkan muncul dari analisis diatas bahwa sifat
situasi triadik sering menguntungkan yang lemah atas yang kuat. Sebaliknya, pada
situasi triadik itu posisi yang kuat dapat menjadi yang terlemah dalam pembangunan
koalisi karena dijadikan musuh Bersama. (Sigit Pamungkas 2011: 78-81)

C. Motif Koalisi
Dalam public telations politik, yang dilakukan PDIP merupakan pendekatan
Grunigian, yakni bagaimana menciptakan pemahaman berssama, tentu antara PDIP
denga kekuatan potensial yang mau bergabung. Menurut Gruning dan Hunt dalam
Managing Public Relations (1984), tindakan pokok pendektatan ini adalah
mengembangkan mutual benefit (keuntungan Bersama), maklum salah satu motif
koalisi parpol itu tiada lain adalah benefit of office yakni keuntungan menikmati
kekuasaan.
Sebelum Rakernas, pesan politik untuk memengaruhi Koalisi Merah Putih
(KMP) pun telah dilancarka oleh Jokowi saat mengumumkan postur pilkada yang
mengubah pilkada langsung, maka alarm penanda bahaya untuk KMP sudah berbunyi
nyaring. Sulit membangun kohesi politik di antara mitra koalisi, terlebih jika mereka
berada di luar kekuasaan. (Gun Heryanto 2018: 311-312)
Hinckley, melalui simulasi tiga aktor dengan distribusi sumber-sumber daya
yang berbeda, menyebutkan 3 (tiga) motif dalam sebuah koalisi. Diasumsikan aktor-
aktor koalisi adalah A, B, dan C, dengan sumberdaya yang dimiliki adalah A lebih
besar daripada B, dan B lebih besar daripada C, tetapi penggabungan B dan C lebih
besar daripada A (A>B>C, A<B+C). Berdasarkan simulasi itu, tujuan dari koalisi
diantara ketiga aktor itu diantaranya adalah:
1. Mencari efisiensi (seek efficiency) biaya untuk keuntungan koalisi dengan
bergabung dalam koalisi kekuatan minimun (minimun training coalition)
2. Menjadi pemegang control (seek control) dalam koalisi dengan bekerja sama atau
bergabung dengan partner terlemah
3. Mengamankan diri (seek security) dari beberapa situasi, yaitu berkoalisi dengan
pemegang sumberdaya terbesar. (Sigit Pamungkas 2011: 83-84).

Secara teoritik, ada dua motif yang mendasarai alasan politik pragmatis dalam
koalisi. Partai secara tipikal memiliki satu dari dua motif dalam berkoalisi, yaitu
berorientasi pada kekuasaan (office-oriented approaches), atau berorientasi pada
kebijakan (policy-oriented approaches). Pendekatan orientasi kekuasaan
mengasumsikan bahwa partai semata-mata menaruh perhatian terhadap kekuasaan,
dan oleh karena itu memprtimbangkan kekuatan kursi partai politik dalam parlemen. (
Muhtar Haboddin 2017: 92).

D. Formasi Koalisi
Koalisi dan/atau oposisi partai politik dalam pemerintahan adalah suatu yang
biasa, bahkan mungkin suatu keniscayaan bilamana suatu pemerintahan hasil
pemilihan umum tidak menghasilkan dukungan mayoritas di parlemen atau DPR.
Seperti yang dipaparkan oleh Lijphart, partai politik akan melakukan koalisi
berdasarkan kesamaan ideologi atau kedekatan ideologi. Dalam praktik, partai-partai
politik melakukan koalisi bukan atas dasar kesamaan ideologi tetapi lebih disebabkan
oleh factor kepentingan kekuasaan atau pragmatism politik, sehingga yang terjadi
adalah koalisi didorong factor office seeking, mencari jabatan dan memaksimalkan
kekuasaan.
Berdasarkan pengamatan Ari Dwipayana, model koalisi yang berkembang
menunjukkan perilaku partai dalam meracik menu koalisi dipengaruhi oleh dua
karakter. Pertama, upaya memburu jabatan (office seeking), yakni perilaku partai
dalam membangun koalisi lebih didasarkan pada kehendak untuk memperbesar
peluang dalam memperoleh posisi di kabinet-pemerintahan yang akan terbentuk.
Kedua, modus pencari suara (vote seeking), yaitu elite partai politik dalam
membentuk koalisi lebih didasarkann pada upaya memenangkan pemilihan. Koalisi
yang terbentuk dengan dasar office seeking dan vote seeking pada dasarkan koalisi
yang rapuh. Koalisi yang dipraktikkan oleh partai politik kita dewasa ini cenderung
bersifat instant karena lebih berdasarka kepentingan politik jangka pendek dan belum
berdasarkan platform dan program politik yang disepakati bersama. (Aisyah Putri
Budiarti et al 2018: 209).
Teori koalisi mengajarkan bahwa tidak semua partai layak untuk dijadikan
anggota rekanan dalam pembentukan kabinet koalisi. Ketercukupan mayoritas kursi
sehingga terbentuk mayoritas pemerintahan tidak menjamin stabilotas dan
kelanggengan koalisi apabila tidak memperhitungkan jarak ideologi dari koalisi yang
dibangun. Menurut Lijphart, ada 6 (enam ) model koalisi, yaitu (1) minimal winning
coalition, merupakan koalisi yan didasarkan pada maksimalisasi kekuasaan dengan
mengabaikan partai yang tidak perlu. (2) minimum size, adalah koalisi yang dibangun
oleh partai besar dengan partai yang lebih kecil untuk sekedar mencapai suara
mayoritas. (3) bargaining proposition coalition, adalah koalisi dengan jumlah partai
yang berkoalisi paling sedikit. (4) minimal range coalition, adalah koalisi berdasarkan
kedekatan pada kecnderungan ideologis. (5) minimal connected coalition, adalah
koalisi yang terjadi antara partai-partai yang memiliki persambungan orientasi
kebijakan. (6) policy-viable coalition, yaitu koalisi yang terjadi diantara partai-partai
yang secara spesifik memang memiliki kepedulian yang sama berkaitan dengan
kebijakan. (Sigit Pamungkas 2011: 86-87).
DAFTAR PUSTAKA

Budiarti, Aisyah Putri. Et al. 2018 Faksi dan Konflik Internal Partai Politik Di Indonesia Era
Reformasi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Haboddin, Muhtar. 2017. Ketika Mahasiswa Bicara Pilkada. Malang: UB Press.
Heryanto, Gun. 2018. Problematika Komunikasi Politik: Bingkai Politik Indonesia
Kontemporer. Yogyakarta: IRCiSoD.
Pamungkas, Sigit. 2011. Partai Politik Teori dan Praktik di Indonesia. Yogyakarta: Institute
for Democracy and Welfarism.
Simarmata, Salvatore. 2014. Media dan Politik. Sikap Pers Terhadap Pemerintahan Koalisi
di
Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor.

Anda mungkin juga menyukai