Anda di halaman 1dari 5

Tita Yorinda

Rezim Internasional

071411233027

Rezim-Rezim Internasional: Pendekatan Berbasis Kekuatan


Rezim internasional memiliki beberapa pendekatan dalam memandang sebuah
fenomena. Pendekatan yang terdapat dalam rezim internasional ialah pendekatan
berbasis kepentingan (interest-based approach), pendekatan berbasis kekuatan
(power-based approach), dan pendekatan berbasis kognitif (cognitive-based
approach) (Hasenclever et al., 1997). Penulis akan membahas salah satu pendekatan
yang banyak ditemui dalam memahami rezim-rezim internasional, yakni pendekatan
berbasis kekuatan. Pendekatan ini acapkali disebut sebagai pendekatan realis dan
sebagai pendekatan neoralis.
Pendekatan berbasis kekuatan adalah pendekatan yang menekankan kekuatan
sebagai variabel kunci dalam menjelaskan hubungan antarnegara (Hasenclever et al.,
2000). Variabel utama yang digunakan oleh pendekatan ini adalah kekuatan atau
power sehingga pengertian rezim-rezim internasional menurut pendekatan ini
merupakan seperangkat prinsip, norma, peraturan, dan prosedur pembuatan keputusan
baik secara eksplisit maupun implisit yang di dalamnya terdapat konvergensi
ekspektasi aktor-aktornya (Krasner, 1977 dalam Keohane, 1982). Terdapat pula tokoh
mendefinisikan rezim-rezim internasional sebagai sebuah wadah dan tindakan yang
menjembatani kekuatan aktor-aktor di dalam negara-negara (Krasner, 1982). Krasner
(1982) juga menyebutkan bahwa rezimrezim internasional digunakan oleh aktoraktor dengan kapabilitas nasional terbatas sebagai sumber kekuatan. Berdasarkan
pernyataan Krasner, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa rezimrezim
internasional menurut pendekatan berbasis kekuatan layaknya sumber atau fasilitator
kekuatan.
Pendekatan berbasis kekuatan memiliki beberapa asumsi dasar, seperti negara
memfokuskan pada absolute gains dan relative gains, sistem internasional terdiri dari
negara-negara berdaulat yang egois yang dibedakan oleh kapabilitas kekuatannya,
negara hanya tertarik pada usaha-usaha untuk meningkatkan kekuatannya, the world
is zero-sum, dan sistem internasional menuru pendekatan ini adalah anarki. Pertama,
asumsi dari pendekatan ini adalah bahwa negara tidak hanya memikirkan absolute
gains saja, tetapi juga relative gainsnya (Hasenclever et al., 1997). Relative gains
menurut Barkin (2006) adalah perolehan yang bernilai relatif atau tergantung
(subyektif) pada masing-masing individu atau aktor yang memandang. Barkin

Tita Yorinda

Rezim Internasional

071411233027

mengilustrasikan dengan negara A dan negara B yang meningkatkan kekuatan


militernya sebesar 3%. Kedua negara tersebut menurut pendekatan berbasis
kepentingan memperoleh absolute gains (Barkin, 2006). Akan tetapi, menurut
pendekatan berbasis kekuatan, gains keduanya bernilai relatif, negara A menilai
kekuatan 3% sedangkan negara B lebih besar kekuatannya, dan juga sebaliknya.
Ilustrasi lain ialah negara A meningkatkan kekuatan militernya sebesar 4% dan negara
B meningkatkan sebesar 2%, menurut pendekatan berbasis kepentingan, keduaduanya telah memperoleh absolute gains, tetapi menurut pendekatan berbasis
kepentingan, ada yang menang dan ada yang kalah (Barkin, 2006). Relative gains
merupakan hal yang diperhatikan juga selain absolute gains karena tidak selamanya
negara akan memperoleh absolute gains, dan terdapat peluang negara akan
memperoleh relative gains. Meskipun yang terdapat dalam suatu negara merupakan
relative gains, tetapi kemungkinan dalam mendapatkan pemasukan atau perolehan
bagi negara sekecil apapun dibandingkan menjadi tidak memperoleh sama sekali atau
nihil.
Asumsi kedua merupakan sistem internasional yang terdiri atas negara-negara
berdaulat yang egois yang dibedakan melalui kapabilitas kekuatannya (Krasner,
1982). Pendekatan berbasis kekuatan berasumsi jika di dalam rezimrezim
internasional terdapat negara-negara egois yang memiliki perbedaan kapabilitas. Hal
ini menjadi pendorong lahirnya negara hegemon dan subordinat di dalam rezim.
Asumsi ketiga adalah negara hanya tertarik pada usaha-usaha untuk meningkatkan
kekuatannya (Krasner, 1982). Negara hanya mementingkan kekuatannya karena
kekuatan menurut pendekatan berbasis kekuatan ini merupakan suatu hal yang vital
yang membantu negara untuk mencapai kepentingan nasionalnya. Oleh sebab itu
kemudian negara memandang rezim sebagai sarana atau sumber kekuatan. Asumsi
keempat adalah the world is zero-sum (Krasner, 1982). Pendekatan berbasis kekuatan
berasumsi jika dunia ini dipandang secara zero-sum atau ada yang kalah dan ada yang
menang sehingga di dalam rezim terdapat negara yang berhasil mendominasi dan
yang didominasi. Selain itu, relative gains mengindikasikan terdapatnya pemenang
dengan yang kalah. Asumsi kelima adalah sistem internasional menuru pendekatan ini
adalah anarki, kondisi anarki adalah kondisi yang menggambarkan ketiadaan
kekuatan tertinggi di atas negara. Anarki menimbulkan ketakutan akan munculnya
kecurangan dan melahirkan suatu sikap yang mengharuskan negara untuk melakukan

Tita Yorinda

Rezim Internasional

071411233027

self-help untuk tetap bertahan (Hasenclever et al., 2000). Oleh sebab itu kemudian
menurut pendekatan ini, negara-negara menjadikan rezim sebagai sebuah jalan bagi
negara untuk melakukan self-help tersebut. Akan tetapi, kaum realis dan pendekatan
berbasis kekuatan menekankan bahwa rezim-rezim internasional begitu sulit untuk
diciptakan dan dipelihara, berbeda dengan pendapat yang dikemukakan oleh kaum
neoliberal dan pendekatan berbasis kepentingan (Hasenclever et al., 2000).
Seperti pendekatan lainnya, pendekatan berbasis kekuatan ini juga memiliki
kelemahan dalam menjelaskan atau memahami perilaku negara dalam sebuah rezim
internasional. Menurut Krasner (1982), pendekatan berbasis kekuatan, khususnya
teori stabilitas hegemoni tidak mampu menjelaskan perubahan dalam struktur
kekuatan dan perubahan dalam rezim-rezim internasional. Teori stabilitas hegemoni
dikritik karena tidak mampu menjelaskan asumsinya. Di tahun 1970, Amerika Serikat
(AS) mengalami penurunan, namun rezim-rezim internasional masih berjalan dan
bertolakbelakang dengan asumsi yang disebutkan oleh teori stabilitas hegemoni
bahwa penurunan atau kejatuhan negara hegemon akan ikut menghentikan rezimrezim internasional. Keohane menyatakan bahwa kerjasama dan rezim masih dapat
tercipta meski negara hegemon tengah mengalami kejatuhan (post-hegemonic
cooperation), seperti di tahun 1960 1970 ketika AS dalam keadaan terjatuh, situasi
tidak menyulitkan pembentukan dan efek dari rezim-rezim internasional baru. Sebagai
contoh, International Energy Agency yang dibuat di tahun 1973 setelah terjadi krisis
minyak. Kelemahan lain ialah eksistensi negara hegemon atau maju tidak selamanya
menjamin kelangsungan sebuah rezim, seperti GATT yang berakhir dan
bertransformasi menjadi WTO meskipun terdapat negara-negara hegemon atau kuat di
dalamnya. Selain itu, kelemahan pendekatan ini adalah setiap negara tidak hanya
selalu membawa kekuatan sebagai unsur utama ketika memasuki sebuah rezim, tetapi
terdapat kepentingan-kepentingan yang juga dibawa. Dengan artian, kepentingan dan
kekuatan selalu berdampingan satu sama lain. Kekuatan juga seringkali menimbulkan
dualitas di mana kekuatan dapat menjadi senjata meraih kepentingan nasional tetapi
juga sekaligus kekuatan dapat menjadi kepentingan nasional suatu negara.
Sebagai sebuah pendekatan, pendekatan berbasis kekuatan berfungsi sebagai
alat dalam memahami sebuah fenomena di dalam rezim-rezim internasional.
Pendekatan berbasis kekuatan dinilai sebagian kalangan sebagai pendekatan yang

Tita Yorinda

Rezim Internasional

071411233027

mampu menggambarkan perilaku aktor dan fenomena dalam rezim-rezim


internasional berdasarkan realitas yang ada. Negara tidak hanya mengejar kepentingan
nasionalnya, akan tetapi, untuk mencapai kepentingan nasional tersebut diperlukan
kekuatan sehingga terdapat banyak perilaku negara yang menggambarkan bahwa
negara menjadikan rezim sebagai arena untuk menyebarkan pengaruh dan menambah
kekuatannya. Selain itu, pendekatan berbasis kekuatan relevan dengan fenomena
internasional karena pada saat ini negara-negara bergabung dengan rezim dengan
tujuan memperoleh keuntungan. Keuntungan ini menjadi tabungan bagi negaranegara yang akan menjadi kekuatan nasionalnya di masa mendatang.
Dapat disimpulkan bahwa rezim-rezim internasional menurut pendekatan
berbasis kekuatan didefinisikan sebagai seperangkat prinsip, norma, peraturan, dan
prosedur pengambilan keputusan baik secara eksplisit maupun implisit yang di
dalamnya terdapat konvergensi ekspektasi aktor-aktor. Terdapat beberapa asumsi yang
menjadi landasan bagi pendekatan ini, yaitu negara juga memperhatikan relative
gains selain absolute gains, sistem internasional yang anarki, sistem internasional
terdiri dari negara-negara berdaulat yang egois yang dibedakan berdasar kapabilitas
kekuatannya, the world is zero-sum game, dan negara hanya peduli pada upaya-upaya
memaksimalkan kekuatannya. Kelemahan dari pendekatan ini adalah bahwa ternyata
menurut para kritikus, Teori Stabilitas Hegemoni tidak mampu menjelaskan adanya
post-hegemon cooperation serta kepentingan dan kekuatan adalah dua unsur yang
saling beiringan, karena negara tidak hanya berbicara soal kekuatan, melainkan ada
kepentingan-kepentingan nasional juga di dalamnya. Kelemahan lain adalah bahwa
ternyata di dalam rezim yang ada negara hegemonnya pun masih bisa bubar, contoh
GATT. Selain itu, hingga saat ini masih ada banyak rezim internasional yang dapat
dianalisis dengan pendekatan ini. Penulis beropini jika pendekatan berbasis kekuatan
ini mampu menjelaskan suatu fenomena dalam rezim-rezim internasional berdasar
realitasnya. Berbeda dengan pendekatan berbasis kepentingan yang bersifat lebih
utopia dengan menjadikan rezim sebagai fasilitator untuk mencapai kepentingan
nasionalnya dan mengabaikan dimensi kekuatan yang pasti dibawa oleh setiap negara.
Referensi :
Barkin, J. Samuel, 2006. International Organization: Theories and Institutions. New
York : Palgrave Macmillan.

Tita Yorinda

Rezim Internasional

071411233027

Hasenclever, A., Mayer, P. & Rittberger, V., 1997. Theories of International Regimes.
Cambridge : Cambridge University Press.
Keohane, Robert, 1982. The Demand of International Regime. New Jersey:
Cambridge University Press. Ch. 6.
Krasner, Stephen D., 1982. Regimes and the Limits of Realism: Regimes as
Autonomous Variables. International Organization, 36 (2), pp. 497-510.

Anda mungkin juga menyukai