Anda di halaman 1dari 3

Deanita Nurkhalisa (071911233112)_Ringkasan Week 2

Neorealisme
Ketika bicara mengenai teori Hubungan Internasional, dua hal yang harus melekat pada pembahasan tersebut
adalah: apa yang menjadi dasar suatu negara mengambil tindakan; dan bagaimana suatu negara dapat menjamin
keberlangsungan hidupnya di dalam sistem internasional yang anarkis ini (Dugis, 2020). Anarkis disini
dikatakan sebagai sistem dimana tidak ada kekuatan yang lebih tinggi dibandingkan kekuatan yang dimiliki
oleh negara. Kedua pertanyaan tersebutlah yang mendasari adanya perdebatan besar Hubungan Internasional
pertama yaitu realisme dan liberalisme yang masing-masing menganggap bahwa sifat dasar manusia merupakan
jawaban bagi pertanyaan pertama, dengan penekanan ke sifat yang kejam, haus kekuasaan, dan destruktif bagi
realisme, dan sifat mampu bekerja sama dan selalu ingin mencari yang terbaik bagi liberalisme.
Perdebatan besar berikutnya diikuti oleh para teorikus tradisionalis dan behavioralis serta perdebatan
neo-neo yang didominasi oleh neorealisme dan neoliberalisme. (Dugis, 2020). Beberapa pihak mengatakan
bahwa perdebatan neo-neo ini tidaklah termasuk dalam Debat Besar, tetapi hanya merupakan suatu perdebatan
interparadigma. Terlepas dari itu, perdebatan antara neorealisme dan neoliberalisme tersebut sebenarnya sepakat
dalam beberapa hal seperti bahwa negara adalah pemeran aktif dan utama, serta bahwa sistem internasional
merupakan sistem yang anarkis. Perbedaan yang mencolok di antara mereka adalah bagaimana suatu negara
merespon terhadap sistem internasional tersebut. Disini neorealisme menjawab bahwa untuk menjamin
eksistensinya, suatu negara harus menggunakan segenap kekuatan mereka demi menumpas ancaman lain.
Konteks sejarah dalam beberapa kasus berbicara dengan lebih keras. Dalam perjalanan Debat Besar,
realisme sempat menjadi pembicaraan dominan dan dipandang mampu untuk menjelaskan apa yang terjadi di
dunia pada masa itu (Dugis, 2020). Sebagai contoh, dominasi negara pada pimpinan PBB dan situasi
pascaperang di tahun ‘50-an merupakan area bermain realisme. Meski demikian, di saat yang bersamaan pun
terdapat beberapa hal yang berjalan dengan kontradiktif, seperti: berkembangnya banyak institusi internasional
dan aktor-aktor baru; berkembangnya Eropa yang terintegrasi; dan pluralisme yang mulai menjamur terutama di
negara Amerika Serikat. Kasus-kasus ini sedikit banyak memengaruhi posisi realisme dalam menjelaskan
fenomena internasional yang terjadi. Behavioralisme pun juga ambil andil dalam mengalahkan realisme, dengan
pemahamannya bahwa realisme terlalu banyak mengambil peristiwa yang terlampau insidental yang seharusnya
dilihat apakah ada pola yang bekerja disitu.
Kenneth Waltz merupakan salah satu akademisi pertama yang memperkenalkan neorealisme pada tahun
1979 (Dugis, 2020). Ia berpendapat bahwa ketika sifat dasar manusia menjadi pendorong bagaimana negara
bekerja, seharusnya semua negara sedang berkonflik pada saat ini. Nyatanya tidak demikian, karena memang
terdapat sistem internasional anarkis ini yang mengharuskan tiap-tiap negara untuk merespon sesuai dengan
kapabilitasnya masing-masing. Kapabilitas kekuatan ini dibutuhkan supaya suatu negara dapat bertahan di
dunia tanpa adanya aturan dan kestabilan mutlak ini. Pakar lain yang turut berpendapat ialah Axelrod dan
Deanita Nurkhalisa (071911233112)_Ringkasan Week 2

Keohane (1985, dalam Dugis, 2020) di buku mereka yang berjudul ‘Achiving Cooperation Under Anarchy’
tetapi dengan lebih banyak kecenderungan menuju neoliberalisme.
Kenneth Waltz berargumen bahwa negara-negara di dunia ini sebenarnya memiliki aspek fungsional
yang sama, namun demikian ada beberapa negara dengan kekuatan adidaya yang mampu menentukan kemana
arah dan struktur sistem internasional ini bergerak (Dugis, 2020). Neorealisme meletakkan perhatian khusus
pada negara, struktur pada sistem internasional, dan faktor utama pada sistem dunia yang anarkis ini yaitu
politik kekuatan (power politics). Keamanan dan keberlangsungan eksistensi sudah tentu menjadi motif utama
mengapa negara bertindak sedemikian rupa. Perang dapat menjadi permasalahan terbesar yang dihadapi oleh
negara adidaya dikarenakan pengaruh dan kapabilitas yang masif dapat berimbas ke negara-negara lainnya.
Dengan demikian, para pemimpin negara sebenarnya terjebak dalam sistem internasional ini. Pencanangan
kebijakan dan politik luar negeri turut dibentuk oleh struktur internasional – hal ini disebut sebagai citra sosok
pemimpin negara itu sendiri.
Waltz kembali menjelaskan beberapa poin penting dalam neorealisme, yaitu mengenai hubungan yang
dimiliki negara-negara (struktur internasional) dan dampak kompetisi antarnegara ini sendiri (Dugis, 2020).
Struktur internasional ini menjelaskan tentang anarki internasional, negara sebagai unit, kapabilitas yang tidak
sama antarnegara, dan relasi kekuatan menjadi sangat kuat dalam sistem ini. Sedangkan dampaknya
(international outcomes) dapat berupa keseimbangan kekuatan – dimana terdapat beberapa negara dengan
kekuatan yang sama besar sehingga masing-masing saling bergantung pada lainnya agar tidak melakukan hal-
hal yang bisa berdampak fatal; terjadinya repetisi dalam peristiwa internasional; serta konflik dan perubahan
internasional.
Kekuatan yang dimiliki setiap negara berbeda sehingga hal ini sedikit banyak menghasilkan hierarki
antarnegara di dunia yang memiliki kekuatan lebih dan yang tidak memiliki kapabilitas kekuatan yang
mumpuni, terutama dalam bidang militer dan ekonomi. Terdapat dua pendapat yang berbeda terhadap hal ini
(Dugis, 2020). Waltz mengatakan bahwa kekuatan hanyalah sebuah alat untuk menjaga suatu negara dari
kehilangan eksistensinya secara menyeluruh. Kekuatan tidak boleh digunakan secara terus menerus karena
berpotensi akan menghilangkan eksistensi negara lainnya sehingga menyimpang dari tujuan awal kekuatan
tersebut digunakan. Hal ini disebut juga dengan istilah realisme defensif. Sedangkan pendapat lain, seperti yang
dikemukakan Mearsheimer adalah bahwa sah-sah saja untuk mendominasi kekuatan lain dengan kekuatan
negara sendiri. Hal ini malah akan menguntungkan negara tersebut karena dengan demikian semakin kecil
kemungkinan ada potensi ancaman lain untuk melemahkan negara tersebut. Selain itu makin banyak pula
kesempatan untuk mengatur arah gerak dunia sesuai dengan apa yang diinginkan oleh negara dominan sehingga
akan menciptakan sebuah kestabilan baru. Pendapat yang terakhir ini disebut dengan realisme ofensif.
Deanita Nurkhalisa (071911233112)_Ringkasan Week 2

Referensi:
Dugis, V., 2020. Neorealisme. Disampaikan pada mata kuliah Teori Hubungan Internasional, Departemen
Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga. [tanggal 6
Februari 2020].

Anda mungkin juga menyukai