Anda di halaman 1dari 4

Four Great Debates in International

Relations
Muhammad Fadhil
4515023007
1. First Debate
Debat Realisme/Idealisme
Debat ini sebagian besar bertumpu kepada perbedaan perspektif yang terjadi setelah WW1.
Realisme yang memandang manusia sebagai makhluk yang terikat oleh pemikiran mereka
masing-masing, tidak ingin dimanfaatkan, serta selalu berusaha untuk menjadi pengendali
dari hubungan yang mereka jalin dengan sesamanya. Realisme menganggap manusia selalu
ingin mengatur kehidupannya sendiri tanpa dicampuri oleh pihak-pihak luar/lain, serta
selalu ingin mendapat keuntungan yang berasal dari pihak-pihak lain dengan kata lain
mereka ingin mendominasi namun tidak ingin didominasi. Menurut tokoh realisme klasik,
kegiatan politik hanya terfokus pada power sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan.
Sedangkan, Idealisme percaya bahwa ketertiban internasional tidak dapat terjadi dengan
sendirinya, melainkan harus didorong/dikonstruksi. Woodrow Wilson berpendapat bahwa
perdamaian hanya dapat diwujudkan dan dipertahankan melalui pembentukan institusi
internasional untuk mengatur anarki internasional, yang berujung pada pembentukan LBB
(League of Nations) setelah fourteen points speech.
Perdebatan besar pertama dalam HI muncul setelah LBB dianggap gagal dalam
mewujudkan perdamaian. Puncak dari kegagalan itu adalah ketika Jerman menyerang
Polandia pada 1939, yang kemudian mengawali WW2. WW2 (Perang Dunia II) yang tidak
bisa dicegah telah mematahkan asumsi pertama kaum idealis, yaitu prinsip selfdetermination yang berarti setiap negara berhak menentukan nasibnya sendiri, dan dengan
demikian berhak atas kemerdekaan. Kaum idealis menganggap terjadinya perang
dikarenakan negara melaksanakan secret agreement atau secret diplomacy tanpa
sepengetahuan rakyatnya. Oleh karena itu, kaum idealis mendorong terciptanya public
participation dalam foreign policy. Menurut kaum realis, manusia (dan negara) adalah
makhluk yang selalu rakus dan selalu ingin menguasai. Hal ini berlaku untuk semua negara.
Asumsi lain adalah negara bersifat rasional atau bertindak berdasarkan cost-benefit. Oleh
karena itu, untuk mencegah perang, perlu diciptakan balance of power yang prinsipnya
adalah menakut-takuti negara agar tidak menyerang negara lain karena kekuatan yang
seimbang. Asumsi kaum realis dapat dirangkum dalam 3 S, yaitu statism, dimana negara
menjadi hal sentral dalam hubungan internasional, self-help, yang berarti negara harus

dapat mempertahankan dan mengurusi dirinya sendiri di dalam system internasional yang
anarkis, dan survival, yaitu negara selalu berjuang untuk mempertahankan keutuhan dan
kebulatan negaranya, terutama dalam hal wilayah. Yang perlu diperhatikan dalam hal ini
adalah eksistensi idealism sebagai school of thought. Menurut Peter Wilson, idealism
sebagai sebuah paradigm adalah sebuah mitos, oleh karenanya perdebatan besar pertama ini
adalah sebuah mitos.

2. Second Debate
Debat antara Behavioralism dan Scientifistm (Tradisionalism)
Debat ini bertumpu kepada perdebatan mengenai metodologi. Perdebatan ini
berlangsung antara paham behavioralisme yang berasumsi bahwa ilmu-ilmu social
dapat menggunakan metodologi yang sama dengan ilmu-ilmu alam, yang membedakan
fakta dengan nilai, dunia social mempunyai keteraturan di mana teori-teori dapat
menemukannya. Tujuan behavioralis adalah untuk menggantikan the wisdom
literature (tradisionalism) dengan konsep-konsep dan alasan yang rigorous, systematic,
scientific (masuk akal). Tradisionalisme merupakan metodologi yang bersifat
normative-historis, legal-formal, filosofis, dan hasil penelitiannya bersifat subjektif.
Pendekatan Tradisionalisme berasumsi bahwa fakta dan kebenaran terdapat di dalam
diri manusia sendiri. Pendekatan klasik dalam hubungan internasional tidak memiliki
metodologi yang eksplisit, tidak merumuskan hipotesis serta mengujinya, dan tidak
menggunakan perangkat penelitian formal.
Pada pertengahan 1960an terdapat suatu serangan balik dari para tradisionalis terutama
Hedley Bull, yang ingin tetap mempertahankan metode-metode klasik dari SHI.

3. Third Debate
Debat antarparadigma (Pluralismee vs. Realisme vs. Globalisme)
Inti perdebatan ini adalah mengenai actor yang paling penting dalam HI, yaitu antara
negara dan transnational actors atau state centric dan non-state centric. Perdebatan
besar ketiga ini berlangsung di antara realisme, pluralism, dan globalisme.
Menurut kaum realis, actor-aktor selain negara tidak memainkan peran yang
signifikan, atau setidaknya berada di bawah negara (subordinate), sedangkan kaum
pluralis menekankan pentingnya actor-aktor transnasional, seperti individu, organisasi
internasional, dan Multinational Corporations. Pertentangan lain yang terdapat di
antara ketiganya yaitu mengenai dinamika dan variabel-variabel dependen. Realisme
menekankan keutamaan peran negara di dalam hubungan internasional dan
mensubordinatkan actor-aktor lainnya. Oleh karena itu, realisme merupakan paradigm
yang bersifat state-centric. Asumsi-asumsi realisme yang lain adalah negara bersifat
manunggal atau unitary dan rasional, serta menekankan power politics. Dalam

dinamikanya, kaum realis menekankan power sebagai tujuan maupun instrumen untuk
mencapai tujuan. Model hubungan internasional menurut kaum realis adalah model
bola biliard atau billiard ball.
Pluralisme menyatakan menentang pemusatan perhatian pada negara yang dilakukan
oleh kaum realis. Sebaliknya, kaum pluralis berpendapat bahwa hubungan internasional
bersifat multi-centric, bukan state-centric maupun global centric. Mereka menekankan
pentingnya peran aktor-aktor transnasional, terutama dalam bidang ekonomi yang
ditandai dengan meningkatnya interdependensi atau saling ketergantungan di antara
negara dan aktor-aktor transnasional, termasuk di dalamnya aktor-aktor di dalam negara
(subnational actors). Pluralisme juga menolak asumsi realis mengenai negara yang
manunggal dan rasional. Tindakan negara terkadang bukan merupakan representasi
dari kepentingan negara secara keseluruhan, melainkan kepentingan pihak-pihak di
dalam negara yang seringkali bertentangan satu sama lain. Oleh karenanya kaum
pluralis menganggap bahwa kepentingan nasional adalah suatu konsep yang
menyesatkan karena tidak pernah ada kebijakan atau perumusan mengenai kepentingan
negara sebagai suatu keseluruhan. Negara pun terkadang melakukan tindakan-tindakan
yang tidak memperhitungkan untung-rugi karena dipengaruhi oleh faktor idiosinkretik
pemimpinnya.
Dalam dinamika hubungan internasional, kaum pluralis menekankan gerakan sosial
yang kompleks. Model hubungan internasional menurut kaum pluralis bersifat
kompleks, yaitu model jaring laba-laba (cobweb). Globalisme atau strukturalisme
disebut juga World System Theory menentang asumsi state-centric maupun multi-centric
dari kaum realis dan pluralis, melainkan berpendapat bahwa aktor utama dalam
hubungan internasional adalah kelas. Berdasarkan pandangan ini, hubungan
internasional adalah mengenai eksploitasi kelas kapitalis (negara-negara kaya yang
menerapkan sistem ekonomi kapitalisme, Dunia Utara atau Dunia Pertama) terhadap
kelas proletar (negara-negara miskin di Dunia Selatan).
Pandangan globalisme mereduksi semua permasalahan menjadi permasalahan ekonomi
dan menganggap bahwa isu-isu lain, seperti keamanan dan politik hanya berada di
permukaan saja. Model hubungan internasional menurut kaum Globalis adalah model
gurita berkepala banyak (octopus model) di mana kepala gurita tersebut mewakili
negara-negara kapitalis kaya yang menjulurkan tentakel-tentakelnya kepada negaranegara miskin dalam proses eksploitasi yang tiada akhir.

4. Fourth Debate
Debat antara Positivisme vs Postpositivisme (Reflektivisme)
Teori-teori menurut Steve Smith dapat dibedakan
apakah explanatory atau constitutive dan apakah foundational atau anti-

foundational. Teori-teori explanatory cenderung menjadi foundational dan teori-teori


constitutive cenderung menjadi anti-foundational.
Sejak akhir 1980an terdapat suatu penolakan pada positivisme, atau istilah yang digunakan
Robert O. Keohane dalam artikelnya International Institutions: Two Approaches
(1988) disebut sebagai rasionalisme, yang menekankan pada teori-teori explanatory dan
foundational;
Pendekatan-pendekatan postpositivis adalah critical theory, postmodernisme,
konstruktivisme, dan teori normatif. Critical theory adalah pengembangan dari
pemikiran Marxis yang bertujuan untuk membuka topeng dominasi global negaranegara kaya yang berasal dari Dunia Utara terhadap negara-negara miskin. Critical
theory memandang kebenaran sebagai sesuatu yang secara bawaan bersifat politik.
Menurut mereka, ilmuwan dan ilmu-ilmu sosial merupakan instrumen kekuasaan.
Kaum positivis percaya bahwa kajian ilmiah harus bersifat netral atau bebas nilai,
namun bukan berarti tidak dapat digunakan untuk mendukung nilai-nilai tertentu,
misalnya teknologi nuklir dapat digunakan untuk mendukung pertahanan nasional.
Postmodernisme mempertentangkan persoalan kenyataan, kebenaran, dan gagasan
bahwa di dunia ini terdapat pengetahuan yang meluas mengenai dunia manusia.
Menurut para postmodernis, naratif, termasuk metanaratif, selalu dibentuk oleh para
teoris, dan oleh karenanya selalu dipengaruhi oleh prasangka dan sudut pandang
mereka. Jalan cerita (narrative) tersebut dapat didekonstruksi, yaitu dengan
memisahkan dan membuka elemen-elemen subjektif dan maksud-maksud yang
tersembunyi di belakangnya.Konstruktivisme bersepakat dengan kaum positivis bahwa
kita dapat mengumpulkan pengetahuan yang sah mengenai dunia ini. Yang membuatnya
bertentangan dengan para positivis adalah bahwa pendekatan ini menekankan
pentingnya peran dari gagasan-gagasan dan pengetahuan bersama mengenai dunia
sosial. Negara-negara saling membentuk satu sama lain dalam hubungan-hubungan
mereka, dan mereka juga membentuk anarki internasional yang mendefinisikan
hubungan-hubungan tersebut: anarki dibuat oleh negara-negara itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai