Anda di halaman 1dari 4

Nama : Ade Indra Putra

Nim : 0701133368
Jurusan : Hubungan Internasional
Mata Kuliah : Teori Hubungan Internasional
Dosen Pengampu : Yessi Olivia, S.IP., M.Inter. Relations
Jumlah Kata/ Font : 1.067 Kata/ Arial 12

Summary
Dalam jurnal yang di tulisnya, Asrudin mencoba menguraikan dan menelaah
pemikiran Realisme Politik berdasarkan karya Edward Hallet Carr yang berjudul
The Twenty Years Crisis. Berikut ini adalah penjelasan atas karya Carr yang di
telaah oleh Asrudin dalam Jurnal Verity Volume 2 No. 3, Januari-Juni 2010.
Carr adalah seorang pemikir realis yang membuat perbandingan tentang
cara memecahkan problem-problem politik seperti perang menurut aliran
idealisme-utopian dengan aliran realisme-politik yang nantinya akan mengetahui
maksud dari fakta-fakta yang terjadi dan sekaligus mengkritisi aliran idealisme-
utopian.
Menurut Carr, aliran idealisme-utopian melakukan penelitian dengan cara
menyiasati bagaimana cara menghilangkan perang atau mengubah tatanan yang
terdapat di dalam sebuah fenomena dan mengabaikan fenomena yang terdapat di
dalam fenomena tersebut. Carr menganggap penelitian idealisme-utopian tidak
sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Untuk memperkuat pernyataannya
tersebut, Carr menciptakan sebuah model penelitian aliran realisme-politik yang
lebih berdasarkan realitas dan sekaligus membalikkan cara berfikir aliran
idealisme-utopian dalam melihat sebuah fenomena.
Carr dengan aliran realisme-politiknya menitikberatkan pada penerimaan
fakta dan analisis sebab-akibat yang cenderung menekankan pemikiran
berdasarkan rangkaian peristiwa yang tidak dapat dipengaruhi ataupun diubah.
Melalui realisme Carr bermaksud untuk memperbaiki pemikiran idealisme-utopian
yang dianggap tidak relevan karena terlalu menitikberatkan pada maksud dan
tujuan bukan berdasarkan fakta seperti aliran pemikiran realisme-politik yang lebih
menunjukkan bukti berdasarkan fakta empirik dan berhasil menjawab fakta
hubungan internasional yang sarat dengan peperangan karena power politics
masih menjadi pilihan utama bagi setiap negara.
The Twenty Years Crisis yang ditulisnya bertujuan untuk meluruskan kembali
pemikiran masyarakat tentang politik Internasional khususnya kepada negara
yang merupakan kaum idealisme-utopian dari tahun 1919-1939 yang secara
keseluruhan menolak power. Carr menjelaskan bahwa power adalah faktor utama
dalam hubungan internasional dan kaum idealisme-utopian telah salah dalam
memutuskan untuk mentransformasikan politik dunia secara radikal dan
menciptakan sebuah tatanan internasional yang damai dengan tidak lagi
memikirkan balance of power. Carr menegaskan bahwa power adalah unsur vital
dalam politik dan tidak bisa dipisahkan, terutama dalam hubungan internasional.
Penegasan lanjut yang dikeluarkan Carr adalah ultima ratio dalam hubungan
internasional adalah perang dan menyimpulkan bahwa militer merupakan
kepentingan tertinggi bagi suatu negara.
Penegasan Carr terhadap realisme terlihat jelas ketika ia menyebutkan
bahwa meskipun hampir setiap negara menggunakan retorika moralitas
idealisme-utopian untuk membenarkan tindakan mereka, namun berdasarkan
fakta, motif negara-negara selalu didasari oleh kepentingan diri sendiri dengan
berdasarkan balance of power. Carr juga menunjukkan perbedaan pemikiran
realisme-politik dengan idealisme-utopian. Perbedaan antara keduanya coba
ditunjukkan dengan mengemukakan empat perbedaan. Pertama, kaum idealisme-
utopian percaya akan adanya transformasi masyarakat melalui act of will. Dalam
hal ini, kaum idealisme-utopian dianggap tidak memiliki pengetahuan yang
memadai untuk melakukan transformasi masyarakat menuju kondisi yang ideal
tanpa konflik karena terdapat hambatan yang nyata dan dengan mengabaikan
hambatan tersebut kaum idealisme-utopian akan berjalan ditempat. Sementara itu
kaum realis menganggap realitas sosial adalah sebuah hasil yang telah
ditentukan dan tidak bisa diubah melalui suatu perjanjian.
Kedua, mengenai teori dan praktik. Kaum idealis-utopian menganggap
pertanyaan penting adalah “apa yang harus dilakukan terhadap teori?”. Dalam hal
ini kaum idealisme-utopian dibingungkan dengan hal “apa yang sesungguhnya
terjadi” dan “apa yang seharusnya terjadi”. Disinilah letak perbedaan realis dan
idealis yang kedua karena menurut realis teori berdasarkan realitas. Pada saat
idealis mencoba membuat realitas dengan berdasarkan teori, realis justru
menghasilkan teori berdasarkan realitas. Ketiga, adanya pertentangan “kiri” dan
“kanan” yang merupakan pertentangan antara golongan radikal (kiri) yang
biasanya utopis dengan golongan konservatif (kanan). Perbedaan keempat
adalah perbedaan antara etika dan politik. Idealisme percaya bahwa kekuatan
etika sebagai panduan dalam kebijakan luar negeri dan sebaliknya realis percaya
bahwa etika muncul dari hubungan kekuasaan. Dengan kata lain, politik lebih
memegang kontrol dibandingkan etika.
Selain perbedaan, Carr juga mengkritik idealisme-utopian yang menurutnya
kurang relevan mendeskripsikan situasi dan kondisi politik internasional pada
waktu itu (peristiwa pada 1930-an). Peristiwa ini menjadi batu pijakan Carr
menunjukkan kerapuhan lembaga internasional yang menunjukkan fakta struggle
for power (perebutan kekuasaan) diantara negara bangsa. Penolakan juga di
lontarkan terhadap dasar-dasar pemikiran normatif idealisme-utopian seperti
perhatian terhadap masalah-masalah hukum, moral dan keadilan. Carr
mengatakan bahwa kaum idealisme-utopian terlalu percaya diri dengan
gagasannya, seperti menghilangkan perang dari muka bumi dan
menggantikannya dengan public consent yang diartikulasikan dalam kebijakan
luar negeri. Salah satu contoh kasus yang di angkat Carr dalam tulisan ini adalah
munculnya LBB sebagai sebuah lembaga penyelesaian yang gagal dalam
menciptakan perdamaian. LBB merupakan produk dari idealisme-utopian yang
kemudian menyalahkan kepentingan umum negara bangsa karena menurut
mereka tidak selalu sesuai dengan harapan dan negara sering bertindak ceroboh.
Carr berpendapat bahwa ini tidak lain hanya ekspresi satisfied power dalam
bentuk kepentingan pribadi suatu negara bangsa untuk melawan status quo.
Kaum idealisme-utopian telah menjadi alat kepentingan bagi status quo.
Ditambahkan olehnya bahwa dengan berpijak kepada karakter normatif akan
mengarah kepada imaji “apa yang seharusnya”, bukan apa yang ada.
Keyakinan idealis yang mengatakan bahwa perdamaian internasional dapat
dicapai dengan menerapkan pandangan luas mereka juga disangkal Carr.
Menurutnya, pandangan seperti itu tidaklah berdasar sama sekali dan merupakan
doktrin kepentingan harmonis versi idealime-utopian yang muncul karena
keegoisan dan terselubung maksud elitis demi memuaskan hasrat kekuasaan
yang mereka miliki. Carr lebih mempercayai struggle for power yang telah
diacuhkan oleh idealisme-utopian sebagai bentuk kendali yang bersifat alamiah.
Negara yang melarikan diri dari struggle for power membahayakan diri mereka
sendiri. Struggle for power dituangkan dalam bentuk kepentingan nasional karena
merupakan alat untuk memperoleh kekuasaan dalam sistem internasional dan
benturan kepentingan nasional adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari. Salah
satu cara untuk meminimalisir terjadinya benturan dan perang adalah dengan
balance of power antar negara bangsa dalam sistem internasional.
Secara khusus Carr menganggap bahwa krisis 20 tahun (1919-1939) yang
terjadi di sebagian besar negara-negara Eropa sebagai konsekuensi hubungan
internasional pada masa itu. Power tetap dominan dibandingkan pertimbangan
etika-moral dalam hubungan internasional yang dijadikan sandaran oleh
idealisme-utopian. Etika-moral hanya milik negara kuat seperti LBB yang
merupakan produk AS dan Inggris yang berfungsi hanya pada saat kepentingan
itu hanya untuk mereka. Apabila pertimbangan etika-moral menghambat
kepentingan negara-negara kuat, maka aspek power politic yang akan digunakan.
Awalnya banyak yang tidak sepakat dengan Carr, namun demikian, karyanya
tentang The Twenty Years Crisis yang menawarkan analisis untuk dapat
memahami fenomena hubungan internasional telah menjadi sumber inspirasi para
pemikir idealisme-utopian untuk membuat pandangan serupa. Karya Carr
mendapat pengakuan dari pemikir idealisme-utopian juga didukung oleh
berdirinya PBB sebagai produk baru mereka yang tetap menimbulkan krisis
internasional.
Akhirnya, dari sudut pandang Carr yang berbeda terhadap idealisme-
utopian, Asrudin menilai bahwa kritik yang dikeluarkan Carr sangatlah tepat
karena selama negara menjadi aktor utama dan power politic masih menjadi
instrumen kebijakan luar negeri suatu negara, maka tidak ada tempat untuk
idealisme-utopian yang lebih mengutamakan etika dan moral dalam menciptakan
resolusi perdamaian dalam hubungan internasional.

Anda mungkin juga menyukai