Anda di halaman 1dari 18

Pelayaran dan Perdagangan Abad I-XIII

Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah


Sejarah Maritim

Dosen Pengampu :
Sainal A, M.Pd.

Disusun oleh :
Ri’adhotul Badi’ah (2199016298)
Karmila (1804101403)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENGETAHUAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan atas kehadiran Tuhan Yang Maha Kuasa. Karena
berkat rahmat dan karunianya kami dapat menyelesaikan makalah “Pelayaran dan
Perdagangan Abad I-XIII” ini dengan baik. Makalah disusun agar pembaca dapat
mengetahui dan memahami tentang Pelayaran dan Perdagangan Abad I-XIII. Makalah
ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri
penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan
terutama pertolongan dari Tuhan akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Tidak ada manusia yang sempurna,kami menyadari masih terdapat banyak kesalahan
yang tampa sengaja dibuat. Baik kata maupun tata bahasa dalam makalah ini. Untuk
itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan
makalah kami. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR ISI

Kata pengantar…………………………………………………………………………
Daftar isi………………………………………………………………………………..
Bab I Pendahuluan
A. Latar belakang………………………………………………………………………
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………………..
C. Tujuan……………………………………………………………………………….
Bab II Pembahsan
A. Jaringan perdagangan laut………….………………………………………………
B. Ciri perdagangan………………………..………………………………………….
C. Perahu Jong dan Jung……………………………………………….………………
D. Kerajaan-kerajaan Pesisir…………………………………………………………..
Bab III Penutup
A. Kesimpulan…………………………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Selain jalur darat, ada juga rute perdagangan di atas laut. Kembali ke 1.400 tahun
yang lalu, Jalur Sutra maritim datang. Tidak dianggap sebagai bagian dari Jalur Sutra
pada waktu itu, jalur perdagangan atas laut mulai dari mulut Sungai Merah, melewati
Selat Malaka ke India, bagian tenggara benua Asia dan kemudian berlayar ke Teluk
Persia dan akhirnya mencapai Roma. Rute perdagangan lain di atas laut adalah dari
pantai timur Afrika yang didominasi oleh Yunani dan Roma. Dalam maritim
perdagangan internasional, ada juga beberapa kota penting seperti orang darat yang
bekerja sebagai pusat transportasi dan pelabuhan seperti Istanbul, Guangzhou, dan
lain lain Namun, perdagangan di sepanjang Jalan Sutra di luar negeri juga sama
dengan lintas darat, masih tidak langsung.Sejak abad pertama masehi, di samping
jalur perdagangan darat, mulai muncul jalur perdagangan yang melalui laut. Pelayaran
pertama di Jalur Sutra dimulai pada awal abad ke-15, yang disponsori oleh Pangeran
Henry "The Navigator" dari Portugal, untuk mencari gading, emas dan budak. Rute
yang sering dilalui oleh para pedagang yang berdagang melalui jalur laut secara garis
besar menghubungkan Tiongkok dengan India melalui daerah Nusantara bahkan
sampai Eropa. Jalan yang melalui laut ialah dari Tiongkok dan Indonesia melalui
Selat Malaka ke India; dari sini ada yang lalu ke Teluk Persia melalui Suriah ke Laut
Tengah, ada yang ke Laut Merah, melalui Mesir dan sampai juga di Laut Tengah
(Burger, 1962: 14). Semakin berkembangnya pedagangan jalur laut juga tidak lepas
dari mulai perlahan berkurangnya minat para pedagang untuk melalui jalur darat.
Jalur tersebut disinyalir sudah tidak aman lagi karena sering terjadi gangguan berupa
tindak kejahatan, sehingga perlahan mulai ditinggalkan.

B. Rumusan Masalah
a. Bagaimana jaringan perdagangan laut pada abad ke I-XIII?
b. Bagaimana ciri perdagangan pada abad ke I-XIII?
c. Apa itu perahu Jong dan Jung?
d. Bagaimana kerajaan-kerajaan pesisir pada abad ke I-XIII?
C. Tujuan
a. Untuk mengetahui jaringan perdagangan laut pada abad ke I-XIII
b. Untuk mengetahui ciri perdagangan pada abad ke I-XIII
c. Untuk mengetahui perahu Jong dan Jung
d. Untuk mengetahui kerajaan-kerajaan pesisir pada abad ke I-XIII
BAB II
PEMBAHASAN
A. JARINGAN PERDAGANGAN LAUT
Sejak abad pertama masehi, di samping jalur perdagangan darat, mulai muncul jalur
perdagangan yang melalui laut. Rute yang sering dilalui oleh para pedagang yang
berdagang melalui jalur laut secara garis besar menghubungkan Tiongkok dengan
India melalui daerah Nusantara bahkan sampai Eropa. Jalan yang melalui laut ialah
dari Tiongkok dan Indonesia melalui Selat Malaka ke India; dari sini ada yang lalu ke
Teluk Persia melalui Suriah ke Laut Tengah, ada yang ke Laut Merah, melalui Mesir
dan sampai juga di Laut Tengah. Berkembangnya jalur perdagangan lewat laut
tersebut disebabkan karena beberapa factor.
Menurut Burger, pertama, permintaan barang mewah (emas) dari Timur sangat besar.
Sumber sejarah berupa sehelai Papirus menggambarkan kiriman barang-barang
mewah dari Muchiris (dekat Cochin modern) ke Alexandria untuk pedagang kaya
Romawi. Kirimannya terdiri dari ribuan pon baroma harum, lebih dari 4.700 pon
gading, dan hampir 800 pon kain dengan nilai total sekitar 131 talen, yang pada saat
itu cukup untuk membeli 2.400 hektar lahan pertanian terbaik di Mesir. Jika barang-
barang tersebut dikirim menggunakan kapal berbobot 500 pon, maka diperlukan 150
kapal dalam satu kali jalan.
Kedua, permintaan emas oleh India pada waktu itu pindah ke Timur, karena Siberia
jalur dagangnya rusak akibat perpindahan bangsa besar-besaran.
Ketiga, ada kapal laut besar (jung-jung) yang bisa mengangkut 600-700 orang
sekaligus. Pengetahuan yang baik mengenai ruang samudera dan angin musim yang
bertiup teratur sepanjang tahun (muson) merupakan pendukung utama pengoperasian
jung dalam pelayaran.
Keempat, tiupan angin musim yang berpola telah ditemukan oleh para pelaut. Dengan
pengetahuan navigasi itu mereka dapat mengatur masa dan daeran tujuan pelayaran
dan perdagangan. Perubahan mendasar ini dipandang sebagai revolusi sistem navigasi
maritim Asia pada masa pramoder. Jarak pelayaran dari India menuju China sangat
jauh, karena itu pelayaran dilakukan dalam dua tahap. Pertama, kapal-kapal terlebih
dahulu menyeberangi Teluk Benggala India, Kemudian menuju dan menyeberangi
Tanah Genting Kra lewat jalur darat. Kedua, pelayaran dilanjutkan dengan jalur laut
menuju China lewat Laut China Selatan. Pelayaran tersebut memanfaatkan angin
muson. Pada bulan April-Juli berhembus muson barat dari Samudera Hindia. Muson
ini dimanfatkan untuk berlayar ke timur. Sebaliknya, pelayaran ke barat menggunakan
muson timur yang berhembus pada bulan Januari.
Kelima, tersebarnya agama Buddha yang tidak mengenal sistem kasta dan
prasangkaprasangka kebangsaan yang tadinya menghalang-halangi perniagaan dengan
bangsa lain. Barang-barang yang diperdagangkan di Laut Tengah terdiri dari makanan
dan minuman, kain dan pakaian, barang-barang ruman tangga, peralatan, bahan-bahan
mentah, barang-barang mahal, rempah dan pewangi, obat-obatan dan pewarna, budak,
dan barang-barang mewah.

B. CIRI PERDAGANGAN
Menurut Van Leur (1967) dan Burger (1962), pelaku utama dalam perdagangan
zaman kuno di Asia terbagi menjadi dua. Petama, ialah kaum finansir (pemilik modal)
umumnya raja atau bangsawan, yang memasukan modalnya dalam suatu usaha dan
yang kedua ialah pedagang keliling ( travelling pedlars ). Jumlah kaum finansir
(pemilik modal) sangat sedikit. Sebaliknya, pedagang Keliling (travelling pedlars)
sangat banyak. Pedagang keliling, dari satu tempat ke tempat lain, sering berganti.
Nilai Jual komoditi sangat mahal. Selain karena jenisnya yang merupakan barang-
barang mewah dan mahal seperti logam mulia, perhiasan, alat-alat senjata, dan sutera,
juga metode niaganya yang berpindah tempat dan pelaku, membuatnilai jualnya
mahal.
Salah satu jenis komoditi dari India dan China adalah kayu manis. Tiga jenis kayu
manis yang dikenal saat itu adalah daun kayu manis (malabathrum), kulit kayu manis
(cassia), dan kuncup bunga kayu manis (cinnamon). Komoditi ini diekspor ke Laut
Tengah lewat jalur laut, menggunakan kapal-kapal Romawi (Dick-Read 2005:48).
Khusus dari Nusantara, komoditi niaga yang terkenal adalah rempah-rempah, kayu
wangi, kapur barus, dan kemenyan, yang diekspor ke India dan kekaisaran Romawi.
C. PERAHU JONG DAN JUNG
Catatan paling tua tentang kapal raksasa Asia Tenggara ada dalam catatan Ptolemy,
ditulis pada sekitar tahun 100 Masehi. Catatan itu adalah Periplus Marae
Erythraensis (catatan laut bagian terluar). Nama kapal raksasa itu adalah
"kolandiophonta' yang bisa jadi merupakan adaptasi dari terjemahan Tiongkok "kun
lun po"., yang berarti kapal dari Sumatera atau Jawa.
Sejarahnya bermula di era 1500-an ketika orang Jawa dikenal menguasai kawasan
Asia Tenggara dengan menguasai jalur rempah antara Maluku, Jawa, dan Malaka.
Lambat laun, pelabuhan Malaka juga menjadi pusat perdagangan pada masa itu.

Terpusatnya perdagangan di pelabuhan Nusantara itu menjadi dorongan bagi orang di


Jawa untuk terus mengembangkan kapal-kapal besar demi ekspansi kawasan
dagangnya.

Pada abad ke-8, perkapalan Nusantara pun mencapai puncak kejayaannya ketika
orang Jawa berhasil membuat kapal terbesar dalam sejarah dunia. Orang Jawa
menyebutnya “jung”, yang dalam bahasa Jawa kuno berarti perahu.

Manguin, setelah mempelajari berbagai catatan para ahli membuat beberapa


kesimpulan tentang karakteristik "jung" orang-orang Asia Tenggara atau Nusantara.

1. Kapal yang sangat besar sekitar 50 meter panjangnya dengan kapasitas angkut 500
hingga 1.000 orang dengan kapasitas beban antara 250 hingga 1.000 ton.
2. Tidak menggunakan besi atau paku sebagai teknologi pembuatannya. Orang
Nusantara menggunakan pasak untuk merekatkan bagian kapal satu sama lain.
3. Dinding kapal terdiri dari lapisan-lapisan papan yang terbuat dari kayu jati.
4. Tidak adanya satu jenis kemudi. Ada semacam cadik dengan dua bilah yang
ditaruh di belakang dek kapal.
5. Kapal raksasa itu menggunakan bermacam layar, mulai dari dua layar hingga
empat layar besar, lengkap dengan sebuah busur besar sebagai kemudi angin.

Hadirnya kapal raksasa ini turut tercatat dalam laporan sejarah abad 16 yang ditulis
oleh Gaspar Correia. Dalam catatan itu, ia menceritakan tentang kapal raksasa dari
Jawa yang tidak mempan ditembak meriam terbesar. Dari empat lapis papan kapal,
hanya dua saja yang bisa ditembus. Kapal-kapal tersebut digunakan secara besar-
besaran oleh Kerajaan Majapahit sebagai kapal angkut militer. Jumlah terbesar jung
perang Majapahit mencapai 400 kapal yang dikelompokkan menjadi 5 armada. Kapal-
kapal itu mampu menampung hingga 800 prajurit dengan panjang mencapai 50 depa
atau setara 100 meter. Untuk ukuran kecil, kapal ini memiliki panjang 33 meter
dengan kapasitas 121 prajurit.
Dari waktu ke waktu, jung Majapahit mengalami alih fungsi. Melihat kapasitasnya
yang cukup besar, kapal ini akhirnya juga dijadikan sebagai kapal dagang. Niccolo da
Conti pada abad ke-15 menggambarkan kargo Jawa tersebut memiliki ukuran yang
lebih besar dari kapal terbesar bangsa Portugis pada masa itu, yakni kapal Flor de La
Mar. Berdasarkan catatan Duarte Barosa, Jung Jawa digunakan untuk melakukan
perdagangan dari Asia Tenggara hingga Timur Tengah. Barang dagangan yang
dibawa adalah beras, daging sapi, kambing, babi, bawang, senjata tajam, emas, sutra,
kamper, hingga kayu gaharu.

D. KERAJAAN-KERAJAAN PESISIR
1. KERAJAAN FUNAN
Menurut berita China, Funan berjarak 120 mil dari pantai. Funan mempunyai
pelabuhan Oc-Eo berada di delta sungai Mekong di pantai teluk siam. Berperan
ebagai pusat perdagangan internasional pertama di abad I. Sumber-sumber pertama
yang membuktikan keberadaan kerajaan Funan adalah catatan China.Berita China
tentang kerajaan Funan dari tulisan K‟ang T‟ai Bersama Chu-ying seorang utusan
China yang dikirim ke Funan pada abad ke III sebagai utusan dari China.Dari
tulisan tersebut disebutkan pendiri kerajaan Funan oleh Kaundinya dalam China
bernama Hun-t‟ien.
Zaman Kejayaan Kerajaan Funan
Funan mempunyai angkatan laut yang kuat sekali, sehingga dengan angkatan lautnya
ia membajak diperairan Asia Tenggara. Setiap orang yang berlayar tinggal memilih
menyerah, mati, atau menjadi budak belian. Menyerah berarti berlabuh di funan,
membayar bea cukai dan memenuhi segala permintaan pera pembesar. Lambat laun
Funan memperluas daerahnya. Untuk itu selurah pantai daratan Asia Tanggara
didirikan pangkalan dan benteng yang kuat. Funan menjadi sebuah iperium yang
sangat kuat sejak didirikannya pangkalan laut dan benteng, dan sejak pertengahan
Abad IV-V Funan menjadi sebuah Kerajaan yang menguasai perairan Asia Tenggara.
Sementara itu, perairan Indonesia yang dikuasai Funan dijadikan jalan lalu lintas
rempah-rempah, binatang-binatang, kayu wangi (cendana), dan gading. Karena itu
Funan dapat membinasahkan setiap kerajaan maritim yang akan berdiri didaerah
peraiarannya. Akibatnya hanya daerah yang jauh dari jangkauan kerajaan Funan yang
mampu bertahan sebagai kerajaan merdeka, seperti kerajaan Kutai dan Tarumanegara.
Adapun raja-raja yang pernah berkuasa di Funan antara lain, Kaundinya, Fan Shih
Man, Fan Sun, Kaundinya Jayavarman, dan Rudravarman. Kaundinya adalah pendiri
Funan, dinastinya berkuasa selama satu setengah abad. Fan Shih Man adalah raja
penakluk, memiliki banyak vassal, sehingga ia memerintah sebagai raja.
Kekuasaannya sangat besar, ia membentuk angkatan laut yang menguasai perairan
Asia Tenggara. Pada masa pemerintahan raja Fan Sun, datang di istana Funan duta-
duta dari China dan Marunda. Hubungan antara China dan Funan tetap erat sepanjang
pemerintahannya hingga tahun 237 M. Pada tahun 268 dan 287 Funan mengirim
utusan ke China. Raja Funan yang terbesar adalah Kaundinya Jayavarman. Ia
meninggal pada tahun 514 M. Tahun permulaan pemerintahannya tidak diketahui.
Yang diangkat sebagai agama resmi adalah agama Siwa, tetapi disampingnya agama
Budha tetap hidup dengan damai. Jayavarman sendiri tidak meninggalkan prasasti,
tetapi permaisuri serta putranya yang bernama Gunavarman masinh-masing
meninggalkan prasasti berbahasa Sanskerta. Kedua-duanya menunjukkan sifat
Siwaistis, terdapat bekas telapak kaki pada prasasti tersebut. Raja Funan yang terakhir
Rudravarman. Sesungguhnya ia tidak berhak menduduki tahta kerajaan, karena ia
dilahirkan dari seorang selir. Ia berhasil menduduki tahkta kerajaan setelah
membunuh calon raja yang sah (mungkin Gunavarman). Antara tahun 517 dan 539 ia
mengirimkan sejumlah utusan ke China. Ia meninggal sekitar tahun 550 M. Bersama
dengan meninggalnya Rudravarman, di daerah Mekong Tengah timbul pergolakan
yang dipimpin oleh dua orang bersaudara yaitu Bhavavarman dan Citrasena, yang
akhirnya berhasil menggulingkan kerajaan Funan.

Kebudayaan Kerajaan Funan

Kerajaan Funan dikatakan telah sangat dipengaruhi oleh budaya India, dan telah
mempekerjakan orang India untuk keperluan administrasi negara. Bahasa Sansekerta
adalah bahasa di istana, dan orang-orang Funan menganjurkan agama Hindu dan,
setelah abad kelima, agama Buddha. Catatan menunjukkan bahwa pajak dibayarkan
dalam perak, emas, mutiara, dan kayu wangi. Bukti arkeologis sebagian besar sesuai
dengan catatan Cina. Orang Cina menggambarkan orang Funan sebagai orang yang
tinggal di rumah panggung, menanam padi, dan mengirim upeti berupa emas, perak,
gading, dan binatang eksotis. Orang-orang Funan dilaporkan memiliki koleksi buku
dan arsip yang luas di seluruh negara mereka, menunjukkan tingkat prestasi ilmiah
yang tinggi. Dua biksu Buddha dari Funan, bernama Mandrasena dan Sanghapala,
mengambil residensi di Cina pada abad ke-5 hingga ke-6, dan menerjemahkan
beberapa sūtra Buddha dari Sanskerta (atau prakrit) ke dalam bahasa Cina. Di antara
teks-teks ini adalah Mahayana Saptaśatikā Prajñāpāramitā Sūtra, juga disebut
Mahāprajñāpāramitā Mañjuśrīparivarta Sūtra. Teks ini diterjemahkan secara terpisah
oleh kedua biksu. Bodhisattva Mañjuśrī adalah tokoh terkemuka dalam teks ini.

Ekonomi Kerajaan Funan

Funan memiliki perekonomian yang cukup besar di Asia Tenggara. Ia menjadi


makmur melalui perdagangan maritim dan pertanian. Kerajaan itu rupanya mencetak
mata uang peraknya sendiri, dengan membawa gambar argus jambul atau burung
hamsa. Funan menjadi terkenal pada saat ketika rute perdagangan dari India ke Cina
terdiri dari kaki maritim dari India ke Isthmus of Kra, bagian sempit semenanjung
Melayu, portage melintasi tanah genting, dan kemudian sebuah perjalanan pelukan
pantai oleh kapal di sepanjang Teluk Siam, melewati Delta Mekong, dan di sepanjang
pantai Vietnam ke Cina. Raja-raja funani dari abad ke-2 menaklukkan pemerintahan
di tanah genting itu sendiri, dan dengan demikian mungkin telah mengendalikan
seluruh rute perdagangan dari Malaysia ke Vietnam tengah. Kerajaan Funan di Óc Eo,
yang terletak di dekat Selat Malaka, menyediakan pelabuhan untuk rute perdagangan
internasional ini. Bukti arkeologis yang ditemukan di tempat yang mungkin menjadi
pusat komersial Funan di Óc Eo mencakup artefak Romawi serta Persia, India, dan
Yunani. Sarjana klasik Jerman Albrecht Dihle percaya bahwa pelabuhan utama
Funan, adalah Kattigara yang disebut oleh ahli geografi Aleksandria abad ke-2
Ptolemy sebagai emporium tempat para pedagang dari kekaisaran Cina dan Romawi
bertemu untuk berdagang. Dihle juga percaya bahwa lokasi Óc Eo paling sesuai
dengan rincian yang diberikan oleh Ptolemy dari perjalanan yang dilakukan oleh
pedagang Graeco-Romawi bernama Alexander ke Kattigara, yang terletak di ujung
paling timur dari jalur perdagangan maritim dari Kekaisaran Romawi timur. Georges
Coedès mengatakan: “Fu-nan menduduki posisi kunci sehubungan dengan rute
perdagangan maritim, dan tak pelak lagi merupakan pelabuhan panggilan bagi para
navigator yang melewati Selat Malaka dan bagi mereka
– mungkin lebih banyak – yang melakukan transit lebih dari salah satu tanah genting
Semenanjung Melayu. Fu-nan bahkan mungkin merupakan ujung perjalanan dari
Mediterania Timur, jika Kattigara yang disebutkan oleh Ptolemy terletak di pantai
barat
Indocina di Teluk Siam “. Selain perdagangan, Funan juga mendapat manfaat dari
sistem pertanian canggih yang mencakup penggunaan sistem penyimpanan air dan
irigasi yang rumit. Populasi Funanese terkonsentrasi terutama di sepanjang sungai
Delta Mekong; daerah itu merupakan wilayah alami untuk pengembangan ekonomi
yang didasarkan pada perikanan dan budidaya padi.

Peninggalan Kerajaan Funan

Jika dihitung dari prasasti yang direkam oleh Majumdar (1953), zaman kerajaan
Funan-Chenla terdapat peninggalan kira-kira 200 buah prasasti (batu bersurat) yang
80 dari dalam bahasa Non-Khmer purba, dikatakan terdapat hubungan dengan bahasa
Melayu Purba paling tua sekitar 531 Syaka/Saka/Shaka (=609M). Prasasti zaman
Funan sebenarnya (sebelum abad ke-6M) diceritakan oleh Muhammad Alinor
(pengkaji gigih kemasyhuran Funan di UKM) hanya sebanyak 11 buah juga dalam
bahasa Sanskrit dan Non-Khmer. Di antara prasasti Funan-Chenla itu ada simbol sifat
yang paling tua (awal abad ke-7M), sekaligus kita boleh menyimpulkan sistem angka
perpuluhan yang tertua di dunia dalam wujud prasasti zaman kemasyhuran Funan-
Chenla ini kalaupun bukan zaman kerajaan Funan sebenar-benarnya. Walau
bagaimanapun,yang jelas bahasa pada prasasti Funan ialah Sanskrit dan Non-Khmer
saja,dikemukakan oleh Sharan (1974) Funan mempunyai bahasanya sendiri (rumpun
Melayu) yang menggunakan aksaranya sendiri (dipercaya diperkenalkan dari Saka
atau Syaka, seorang Brahmin India di Funan) yang berasaskan aksara Sanskrit
tersebut.

Runtuhnya Kerajaan Funan

Kerajaan Funan mengalami kemunduran pada akhir abad IV. Secara umum runtuhnya
kerajaan Funan disebabnya beralihnya rute perdagangan Internasional dari jalur sutra
ke jalur laut. Jalur sutra yang dahulunya melewati Asia tengah dengan pelabuhan-
pelabuhan Funan menjadi tempat transit bagi perdagangan, kini mulai ditinggalkan.
Dinasti Chin yang menguasai Cina telah kehilangan jalan perdagangannya melalui
Asia Tengah. Kekacauan di Asia Tengah telah menyebabkan Jalan Sutera yang biasa
digunakan untuk membawa masuk barang-barang mewah dari barat tidak dapat
digunakan lagi. Satu-satunya jalan yang terbuka saat itu adalah melalui jalan laut.
Oleh karena itu Pemerintah Chin mulai berkonsentrasi terhadap perdagangan laut.
Dengan konstruksi kapal-kapal layar yang lebih baik, pihak China
kemudian berhasil menemukan jalan laut yang baru melintasi Laut China Selatan
terus ke Borneo (Kalimantan), Laut Jawa dan Selat Sunda.Jalan ini tidak lagi
menyusuri pantai Vietnam dan Teluk Siam serta melintasi jalan darat di Segenting
Kra yang rumit itu. Penemuan jalan baru ini telah mempertembungkan terus pedagang
Cina bukan hanya dengan pedagang lokal Asia Tenggara tetapi juga pedagang-
pedagang India yang memang telah lama berdagang dengan pelabuhan-pelabuhan
Asia Tenggara di daerah itu seperti di Ho-lo-tan di Jawa dan Ko-ying di Selat Sunda.
Dengan adanya hubungan baru ini, pedagang-pedagang Asia Tenggara telah
mengambil kesempatan mengadakan perdagangan langsung dengan Cina. Sebelum ini
semua perdagangan dengan Cina dilakukan melalui pedagang dan pelabuhan-
pelabuhan Funan. Dengan adanya perdagangan terus ini telah melumpuhkan sama
sekali layanan transportasi darat menyeberangi Segenting Kra.

Kemiskinan kerajaan Funan untuk menjaga pelaut-pelaut Melayu telah menyebabkan


mereka mencari pekerjaan yang lebih menguntungkan yaitu melanun.Sejarah Ban
T’ang (618 – 906 Masehi) merupakan catatan resmi Cina yang terakhir menyebutkan
tentang Funan. Ia menyatakan sebuah negeri bernama Chen-la (Kamboja) secara
mendadak telah menawan Funan. Pemerintah Funan pada waktu itu terpaksa
melarikan diri ke selatan ke sebuah tempat bernama Na fou-na. Perwakilan terakhir
Funan yang sampai ke Istana Cina adalah di sekitar paruh pertama abad ke-7 Masehi,
yaitu pada zaman kerajaan T’ang. Setelah itu tidak ada lagi berita tentang Funan.

2. KERAJAAN KOYING
Menurut data Cina Koying memuliki pelabuhan dan telah aktif mengadakan
perdagangan, terutama dengan berbagai daerah di bagian barat Sumatera. Catatan
Cina tentang hal itu didapatkan dari sumber India dan Funan (Vietnam) karena
pengiriman perutusan ke dan perdagangan langsung dengan Cina belum dilakukan.
Dilaporkan selanjutnya bahwa Koying berpenduduk sangat banyak dan menghasilkan
mutiara, emas, perak, batu giok, batu kristal dan pinang. Namun dapat ditambahkan
selain Koying telah melakukan perdagangan dalam abad ke 3 M juga di Pasemah
wilayah Sumatera Selatan dan Ranau wilayah Lampung telah ditemukan petunjuk
adanya aktivitas perdagangan yang dilakukan oleh Tonkin atau Tongkin, Ton-king
dan Vietnam atau Fu-nan dalam abad itu juga. Interaksi dagang yang terjadi secara
langsung dan ada pula melalui perantaraan pihak ketiga. Hubungan dagang secara
langsung terjadi dalam perdagangan dengan negeri-negeri diluar di sekitar Teluk Wen
dan Selat Malaka maka besar kemungkinan negeri Koying berada di sekitar Alam
Kerinci. Adanya kontak atau hubungan antar negeri dapat dilihat dari bukti-bukti
peninggalan sejarah kuno di Kerinci berupa barang-barang keramik yang berasal dari
zaman Dinasti Han di Cina (202 SM s.d 221 M), Benda-benda keramik yang telah
ditemukan kelihatannya bukan barang kebutuhan sehari-hari, melainkan barang-
barang yang sering digunakan untuk upacara sakral bagi keperluan wadah
persembahan. Penemuan benda-benda yang berasal dari negeri Cina menunjukkan
adanya jalur perdagangan atau kontak dagang baik secara langsung maupun tidak
langsung antara penduduk negeri Koying dengan penduduk dari daratan negeri Cina.
Hubungan kerajaan Cina dengan kerajaan Alam Malayu pada awal kurun Masehi
tersebut mempunyai kepentingan perdangan, membeli mutiara, batu-batu permata,
barang-barang antik, emas dan bermacam kain sutra. Atas dasar bukti-bukti
peninggalan sejarah yang ditemukan menunjukkan pula bahwa negeri Koying yang
pusat intinya di Alam Kerinci telah aktif melakukan kontak dagang dengan negeri luar.
Barang-barang tersebut kemudian mereka tukar dengan barang yang dibutuhkan oleh
pedagang dari luar yang dibawa para pedagang negeri luar yang berlabuh di Teluk
Wen, seperti benda-benda keramik, manik-manik, sutera dan benda-benda perhiasan
lainnya. Pedagang dari negeri luar yang singga di pelabuhan Teluk Wen adalah para
pedagang dari India Funan dan dari Kerajaan Javadwipa. Melalui perantara para
pedagang ini barang-barang yang dihasilkan penduduk negeri Koying berterbaran ke
manca negara termasuk ke negeri Cina. Demikian pula sebaliknya barang-barang
yang mereka bawa dari negeri luar seperti dari negeri Cina terutama barang-barang
keramik masuk pula ke negeri Koying. Disebutkan juga bahwa penduduk negeri in
berjumlah banyak dan menghasilkan mutiara, perak, batu giok,batu kristal dan pinang.
Keberadaan Koying yang pernah dikenal di manca negea sampai abad ke 5 M sudah
tidak kedengaran lagi. Diperkirakan setelah Koying melepaskan kekuasaanya ata
kerajaan Kuntala, kejayaan pemerintahan Koying secara perlahan-lahan menghilang.
Koying yang selama ini tersohor sebagai salah satu negara nusantara pemasok
komoditi perdagangan manca negara sudah tidak disebut-sebut lagi. Dari berbagai
literature dapat dipelajari, bahwa keberadaan suatu pemerintahan atau kerajaan yang
telah ratusan tahun lamanya, suatu ketika akan mengalami masa kemunduran dan
kemudianbahkan lenyap sama sekali. Penyebabnya bisa karena factor dari dalam
seperti: perubutan kuasaaan, hilangnya pengaruh terhadap wialyah kerajaan yang
sudah sangat luas, terjadinya pemberontakan rakyat karena ingin memisahkan diri,
atau sebalinyak disebabkan faktor dari luar seperti: ditaklukan kerajaan lain dan
lenyap karena terjadinya bencana alam yang dahsyat.
Keterbatasan sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan penduduk dengan wilayah
yang semakin tersebar, menjadikan penguasa Koying lemah dalam pengawasan.
Kerapuhan dalam menjalankan roda pemerintahan, akhirnya menyebabkan pengaruh
dan kekuasaan Koying secara perlahan-lahan pada negeri-negeri baru tersebut
menjadi hilang

3. KERAJAAN KANTOLI
Sebelumnya telah diceritakan bahwa akhirnya Negeri Koying melepaskan daerah
pantai timur dan mendorong terbentuknya pemerintahan baru. Pemerintahan baru
ini disebut dengan kerajaan Kantoli (Kuntala) dan diperkirakan abad ke 5 M. Antara
Negara Koying dengan kerajaan Kuntala terjalin persahabatan yang baik. Menurut
Liangsu, pada abad 5 M, Kantoli dianggap sebagai kerajaan dagang yang terpenting di
luar lingkaran pengaruh Funan. Nama Kantoli telah dikenal oleh pemerintahan Kaisar
Hsiau-wu (459-464). Menurut catatannya raja dari Kantoli bernama Sa-pa-la-na-lin-
da menyuruh utusannya bernama Taruda untuk pergi ke negeri Cina sebagai
utusannya. Menurut G. Farrand, Kan-to-li di dalam berita Cina mungkin sama dengan
Kandari yang terdapat dalam berita Ibnu Majid yang berasal dari tahun 1462. Karena
San-fo-tsi dahulu juga disebut Kan-to-li, sedangkan San-fo-tsi diidentifikasikan
dengan Sriwijaya, maka Farrand menafsirkan Kan-to-li terletak di Sumatera dengan
pusatnya di Palembang. Menurut pendapat Mulyana (1981), toponim Kan-to-li sama
dengan Kuntala atau Tungkal. Jadi kerajaan Kan-to-li berada di pedalaman sungai
Tungkal, Jambi. Informasi lain menyatakan, pada tahun 502 M, negara Kantoli
dipimpin oleh seorang Raja bernama Gautama Subhadra (yang digantikan oleh
anaknya Pyravarman Vinyavarman), yang mengirim duta ke Cina pada tahun 519 M.
Nasib negera ini selanjutnya juga tidak diketahui, mungkin dikuasai oleh Jambi. Yang
jelas, dalam abad ke 7 muncul 2 kerajaan di pantai timur Sumatera yakni: Moloyu
(Malayu, Jambi) dan Sriwijaya (Palembang). Pada umumnya negeri Kan-to-li
dianggap berkedudukan di pantai tenggara Sumatera yang kemungkinannya
mencakup pula Palembang dan Jambi. Menurut kronik Cina, pada abad ke 5 dan ke
6 M, jauh sebelum nama Siwijaya (Shih-li-fo-shih) dan Melayu
(Mo-lo-yu) tercantum dalam kronik-krinik Cina, di daerah Asia Tenggara terdapa
sebuah negeri atau kerajaan yang disebut dalam kronik Cina dengan nama Kan-to-li.
Keterangan tentang negeri ni terdapat dalam sejarah Dinasti Liang (502-556 M), yang
antara lain berbunyi: “Negeri Kan-to-li terletak pada sebuah pulau di laut selatan.
Negeri ini menghasilkan pakaian dengan motif bunga, kapas dan pinang”.
Dari kronik-kronik Cina diketahui pula bahwa negeri Kan-to-li mengirimkan utusan
ke negeri Cina pada tahun 441, 445, 502, 518, 520, 560, dan 563 M. Oliver W.
Wolters mengatakan bahwa pada abad ke 5 dan ke 6 masehi, ada dua kerajaan di Asia
Tenggara yang melakukan perdagangan dengan Cina, yaitu Kerjaan Kan-to-li dan
Kerajaan Ho-lo- tan. Semenjak akhir abad ke 6 M, nama Kan-to-li tidak pernah
disebut-sebut lagi, dan baru pada abad ke 14 M, nama ini disebut lagi dalam kronik
Ming-shih (sejarah Dinasti Ming), tak kala kronik tersebut membicarakan negeri San-
fo-tsi. Kronik Ming-shih mengatakan bahwa “San-fo-tsi dahulu kala disebut Kan-to-
li. Keterangan ini dapat ditafsirkan bahwa lokasi Kan-to-li pada abad ke 6 M sama
denggan lokasi San-fo-tsi pada abad ke 14 M.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Berkembangnya jalur perdagangan lewat laut tersebut disebabkan karena beberapa
faktor. Menurut Burger, pertama, permintaan barang mewah (emas) dari Timur sangat
besar. Kedua, permintaan emas oleh India pada waktu itu pindah ke Timur, karena
Siberia jalur dagangnya rusak akibat perpindahan bangsa besar-besaran. Ketiga, ada
kapal laut besar (jung-jung) yang bisa mengangkut 600-700 orang sekaligus. Keempat,
tiupan angin musim yang berpola telah ditemukan oleh para pelaut. Kelima,
tersebarnya agama Buddha yang tidak mengenal sistem kasta dan prasangkaprasangka
kebangsaan yang tadinya menghalang-halangi perniagaan dengan bangsa lain.
Menurut Van Leur (1967) dan Burger (1962), pelaku utama dalam perdagangan
zaman kuno di Asia terbagi menjadi dua. Petama, ialah kaum finansir (pemilik modal)
umumnya raja atau bangsawan, yang memasukan modalnya dalam suatu usaha dan
yang kedua ialah pedagang keliling ( travelling pedlars ). Tercatat dalam sejarah
bahwa munculnya kerajaan-kerajaan pesisir diantaranya kerajaan funan, kerajaan
koying dan kerajaan kantoli.
DAFTAR PUSTAKA

file:///D:/Sejarah/Modul%20Sejarah%20Maritim%20Sainal%20A..pdf
http://repository.umy.ac.id
https://nationalgeographic.grid.id
https://indonesia.go.id
https://sejarahkita.com

Anda mungkin juga menyukai