Anda di halaman 1dari 4

Jalur rempah adalah salah satu anomali terbesar dalam sejarah, terselubung dalam kabut”, demikian

tulisan pengantar untuk buku karya John Keay, The Spice Route: A History (2007). Ditambahkan, rute
rempah itu telah eksis sebelum seorang pun tahu tentang konfigurasinya. Rempah-rempah datang dari
negeri yang tidak pernah terbayangkan dan seolah tidak pernah bisa terjangkau oleh orang-orang di
kawasan lain, khususnya di Eropa. Karena itulah rempah-rempah beserta jalurnya sangat diinginkan
orang Eropa.

Rute rempah telah berumur lebih dari tiga milenium. Orang harus mengelilingi dunia untuk membuat
kronik lengkap tentang rute perdagangan rempah. Dengan bantuan peta-peta kuno, penuturan dan
cerita para pengembara, buku panduan pelayaran lama, catatan muatan kapal, John Keay
merekonstruksi pelayaran orang Mesir kuno yang mempelopori perdagangan maritim rempah-rempah
dengan melintasi Semenanjung Arabia; para pelayar Romawi-Yunani yang menemukan rute perjalanan
ke India dan Kepulauan Nusantara untuk mendapatkan merica dan ginger.

Masa puncak jalur rempah tercapai sejak kemunculan Islam dan kebangkitan Dinasti Umaiyah dan
Abbasiyah. Mereka ini membangkitkan kembali perdagangan melewati jalur rempah pada masa pra-
Islam. Sejak abad 7 dan 8 M, para pelayar dan pedagang Muslim dari Arabia seperti dilaporkan al-
Ramhurmuzi dalam Aja’ib al-Hindi berlayar ke pelabuhan/ibukota Sriwijaya untuk membeli rempah-
rempah. Para pelayar dan pedagang Muslim dari Arabia ini kemudian juga sampai ke ‘Kepulauan
Rempah-rempah’ (Spice Islands), Maluku.

Dengan demikian, bersama para pelayar dan pedagang Muslim lokal yang mendapat patronase dari
sultan atau raja lokal, pedagang Muslim Arabia membangkitkan kembali jalur rempah. Sepanjang jalur
rempah ini, perdagangan berlangsung secara bebas (international free trade). Dengan berlakunya
perdagangan bebas ini, muncullah masa yang disebut sejarawan Anthony Reid sebagai ‘the age of
commerce’—masa kejayaan perdagangan di ‘negeri bawah angin’ (the land below the wind atau
zirbadat dalam bahasa Arab).

Dalam masa pasca-Abbasiyah, pengembara Eropa mulai mencari jalur sutera. Christopher Columbus
yang berlayar ke arah barat guna menemukan rempah-rempah; sebaliknya Vasco de Gama yang
berlayar ke arah timur untuk tujuan yang sama; atau Magellan yang menyeberangi Lautan Fasifik
dengan niat yang lagi-lagi sama.

Menyimak semua ini, bisa dipahami kenapa akhirnya kekuatan-kekuatan Eropa terlibat dalam
pertarungan, kontestasi dan perang untuk menguasai rute perdagangan dan sekaligus bumi penghasil
rempah-rempah—terutama Nusantara. Kedatangan kolonialisme Eropa yang menerapkan monopoli
perdagangan rempah dan komoditas lain tak bisa lain kecuali mengakibatkan retardasi perdagangan dan
ekonomi masyarakat lokal.

Jalur Rempah: Pertukaran Ilmu, Budaya dan Agama

Rempah atau rempah-rempah dalam bahasa Inggris disebut spices yang berasal dari bahasa Latin
species yang berarti ‘barang yang memiliki nilai istimewa’—bukan barang biasa. Karena itu tidak
mengherankan kalau orang-orang berani menempuh perjalanan jauh ke Timur—khususnya Kepulauan
Nusantara—untuk mendapatkan spices yang mengandung banyak nilai ritual dan pengobatan serta
eksotisme. Rempah-rempah hanya bisa tumbuh di kawasan tropis seperti Nusantara; dan lebih khusus
lagi Kepulauan Maluku yang menghasilkan berbagai macam rempah dikenal dalam literatur perjalanan
sebagai ‘Spice Islands’.

Menurut UNESCO, jalur rempah adalah nama yang diberikan pada rute jaringan pelayaran yang
menghubungkan Dunia Timur dengan Dunia Barat. Jalur rempah ini terbentang dari sebelah barat-
selatan Jepang menyambung dengan Kepulauan Nusantara (Indonesia) melewati selatan India menuju
laut Merah untuk melintasi daratan Arabia-Mesir terus memasuki Laut Tengah dan pesisir selatan Eropa.

Mengikuti jalur rempah seperti itu, perjalanan melewati jalur ini menempuh jarak sekitar 15.000 km.
Bisa dibayangkan kesulitan menempuh perjalanan sangat panjang ini di masa silam karena di masa
sekarang saja—era pesawat jet—juga tidak selalu mudah.

Jalur rempah secara berangsur-angsur mulai terbentuk sejak tahun 2000 SM. Berbagai rempah seperti
kayu manis, merica, dan cengkeh mulai menemukan jalannya ke Eropa. Sejak masa sejarah paling awal
tersebut, sudah terdapat orang-orang—khususnya para pelayar—yang mencoba mencari dan melayari
jalur rempah. Pada awalnya, perjalanan dan pelayaran mereka terbatas pada sejumlah kecil pelabuhan,
tetapi dengan perjalanan waktu mereka berhasil melayari laut atau lautan lebih jauh menjangkau
pelabuhan yang lebih jauh pula, sehingga semakin dekat ke bumi tempat di mana rempah-rempah
dihasilkan.

Jelas pula, pelayaran melintasi laut, lautan dan pelabuhan bukan disebabkan semangat pengembaraan
—apalagi hasrat untuk menjajah—tetapi terutama didorong semangat perdagangan. Dalam masa-masa
ini, perdagangan rempah-rempah sangat lukratif alias amat menguntungkan. Karena itulah, jalur rempah
sampai kedatangan kekuatan kolonialisme Eropa tetap terutama merupakan jalur perdagangan timur-
barat.

Perjalanan perpindahan barang-barang—dalam hal ini rempah—di antara timur dan barat dengan
melintasi laut, lautan dan pelabuhan yang melibatkan berbagai bentuk jaringan—disebut sebagai jalur
rempah. Terdapat jaringan di antara para pembeli dan penjual; dan di antara pihak terakhir ini dengan
para penaman dan penghasil rempah.

Jalur rempah bukan hanya berisi perdagangan rempah-rempah, tetapi juga sekaligus menghasilkan
pertukaran ilmu, budaya, sosial, bahasa, keahlian-ketrampilan dan bahkan agama di antara berbagai
orang yang berasal dari bermacam tempat yang jauh. Karena itu, jalur rempah sekaligus juga menjadi
melting potberbagai konsep, gagasan dan praksis; dan jalur rempah menjadi sarana perpindahan semua
itu dari satu tempat ke tempat lain.

Jalur Sutera Maritim?

Beberapa tahun terakhir juga muncul wacana dan kebijakan politik RRC tentang ‘jalur sutra maritim’.
Dalam bacaan saya tentang literatur menyangkut maritime silk road, gagasan, wacana dan bahkan
konsep mengenai ‘jalur sutra maritim’ tak bisa lain merupakan bagian dari upaya pemerintah Tiongkok
untuk kian mengukuhkan hegemoninya di kawasan laut sebelah selatan China (nanhai atau nanyang).
Gagasan tentang ‘jalur sutra maritim’ ini disampaikan pertama kali oleh Xi Jinping di depan DPR RI pada
Oktober 2013. Ia menyatakan bakal menyiapkan dana sebenar 40 milyar dolar untuk membangkitkan
kembali jalur sutra maritim tersebut sejak dasawarsa awal abad 21 ini.

Lebih jauh, gagasan tentang ‘jalur sutra maritim’ merupakan bagian dari rencana lebih besar Tiongkok
tentang ‘The Silk Road Economic Belt and the 21st Century Maritime Silk Road’ untuk menghubungkan
China dengan Asia Tengah dan Eropa melalui jalan darat dan China dengan negara-negara Nanhai,
Lautan India melintasi Laut Tengah sampai ke Eropa. Gagasan tentang ‘jalur sutra maritim’ bersatu
dengan ‘jalur sutra’ dalam konsep ‘One Belt One Road’ (OBOR).

Rencana tentang ‘jalur sutra maritim’ jelas merupakan bagian dari ambisi territorial, ekonomi-
perdagangan dan politik China untuk memainkan hegemoni lebih besar dalam dunia internasional pada
berbagai aspek kehidupan. Selain jalur sutra yang melintasi Asia Tengah terus ke Eropa, China juga
berambisi untuk menguasai jalur perdagangan melalui, laut, lautan dan pelabuhan di kawasan selatan.
Secara historis gagasan jalur sutra maritim tidak didukung kenyataan yang pernah ada. Jalur rempah
tidak pernah secara substantif melibatkan sutra. Rempah-rempah tetap menjadi bagian terbesar
perdagangan sepanjang jalur rempah sejak dari Kepulauan Maluku melintas laut dan selat Kepulau
Nusantara lainnya sampai kemudian melintasi Lautan India dan Laut Merah sampai Laut Tengah dan
pesisir Yunani dan kawasan Eropa Selatan lain. ‘Jalur Sutra Maritim’ ini—jika terealisasi melibatkan
sekitar 60 negara.

Apa dampak dan konsekuensi rencana ‘jalur sutra maritim’ bagi Indonesia? Menurut policy
paperClingindale Institute, lembaga Think Tank Kementerian Luar Negeri Belanda, China sangat aktif
dalam diplomasi bilateral dengan Indonesia melalui strategi maritim kedua negara.

Dalam konteks itu, Indonesia dan Tiongkok bertemu dalam kebutuhan masing-masing.
Keterkebelakangan Indonesia dalam infrastruktur maritim mendorong Presiden Jokowi merumuskan
strategi untuk mempercepat konektivitas maritim baik pada tingkat lokal, regional maupun
internasional. Strategi dan program itu menyangkut pengembangan ‘jalan tol maritim’, pembangunan
24 pelabuhan baru dan lima pelabuhan berair dalam, dan pada saat yang sama melakukan peningkatan
sekuriti maritim dan diplomasi maritim. Jika semua ini dapat direalisasikan, boleh jadi Indonesia dapat
membangkitkan kembali ‘jalur rempah’.

Presiden Jokowi juga ingin menjadikan Indonesia sebagai ‘poros maritim’ (maritime axis) di antara
Lautan India dan Lautan Pasifik. Sayangnya, sebagaimana Jokowi mengakuinya, rencana dan
pengembangan dunia maritim Indonesia ‘hanya’ merupakan pelengkap sepenuhnya (full
complementary) rencana dan program China tentang ‘jalur sutra maritim’. Hasilnya, Menlu China
berjanji, bakal sepenuhnya berpartisipasi aktif dalam pembangunan Indonesia sebagai kuasa maritim
(matime power).

Anda mungkin juga menyukai