Anda di halaman 1dari 8

Nusantara adalah negeri yang diberkahi.

Dipilih Tuhan sebagai tempat pertama di bumi untuk


menumbuhkan rempah. Tome Pires dalam bukunya Summa Oriental que trata do Mar Roxo ate aos
Chins (Ikhtisar Wilayah Timur: dari Laut Merah hingga negeri China) mengisahkan pengalamannya
selama berada di Nusantara pada awal abad ke 16, ia menulis:

“Para Pedagang Melayu berkata bahwa Tuhan telah menciptakan Timor untuk kayu cendana, Banda
untuk pala, dan Maluku untuk cengkih. Barang dagangan ini tidak dapat ditemukan di tempat lain di
dunia kecuali di ketiga tempat ini. Saya telah bertanya kepada banyak orang dengan sangat cermat dan
sabar, mengenai apakah ketiga komoditas tersebut dapat ditemukan di tempat lain, dan semua orang
menjawab tidak.”

Nusantara adalah rumah besar keanekaragaman hayati dunia. Sekitar 11 persen jenis tumbuhan dunia
ada di hutan tropis Nusantara. Jumlahnya lebih dari 30.000 spesies, yang sebagian di antaranya
dipergunakan dan dikenal sebagai rempah. Karena itu tak dapat dinafikan bahwa Nusantara adalah ibu
rempah yang antara lain melahirkan jenis Rempah Raja, seperti cengkih, pala, dan cendana, komoditas
utama rempah-rempah dunia, yang pada masa jayanya pernah bernilai lebih mahal dari emas. Bahkan
Pulau Run di Maluku yang kaya akan rempah pala pernah ditukar dengan Pulau Manhattan, yang saat ini
dikenal sebagai New York.

Pohon Cengkih (Syzygium aromaticum) adalah tanaman asli (endemik) Ternate, Tidore, Moti, Makian,
dan Bacan, sedangkan pohon pala (Myristica fragrans) adalah endemik Pulau Banda. Tak kalah penting,
jenis rempah aromatik dari getah tanaman pohon endemik Sumatera, yaitu kemenyan (Styrax benzoin)
dan kamper/kapur (Cinnamomum camphora dan Dryobalanops aromaticum). Beberapa komoditas
penting lainnya, seperti kayu manis (Cinnamomum burmanii), lada (Piper nigrum) banyak dihasilkan di
Sumatera. Demikian pula cendana (Santalum album) yang banyak tumbuh di kepulauan bagian timur
Nusantara.

Sejarah mencatat, rempah bukan sekadar komoditi, namun membawa nilai (value) dan gaya hidup
(lifestyle) untuk peradaban global. Begitu pentingnya rempah-rempah dalam kehidupan manusia
sehingga ia menjadi penghela perkembangan ekonomi, sosial budaya, dan politik dalam skala lokal dan
global. Para pedagang mempertaruhkan nyawa dan kekayaannya untuk memasarkannya; juru masak
meramunya untuk melezatkan hidangan; para tabib ahli kesehatan meraciknya untuk pengobatan; para
raja mengirim ekspedisi mengarungi samudra untuk mendapatkannya; diplomasi demi diplomasi dirajut;
hubungan antarmanusia menjadi global dan sejarah peradaban manusia dibangun.
pala dan cengkeh, jalur rempah, rempah nusantara, jalur rempah nusantara, jalur rempah masa lalu,
spice routes, spice routes indonesia

Rempah dan Jalur Perdagangan Global

Jauh sebelum bangsa Eropa datang ke Nusantara, ribuan tahun lalu, Jalur Rempah adalah rute nenek
moyang kita menjalin hubungan antarpulau, suku, bangsa, dengan membawa rempah sebagai nilai
untuk membangun persahabatan yang membentuk asimilasi budaya dan diplomasi di setiap
pesinggahan. Jalur inilah yang akhirnya menghubungkan Nusantara dan dunia. Datangnya penutur
bahasa Austronesia ke Nusantara sekitar 4.500 tahun lalu dengan perahu menjadi awal pertukaran
rempah dan komoditas lain antarpulau di Indonesia Timur. Budaya mereka inilah yang menjadi cikal
bakal lahirnya budaya bahari yang melayarkan rempah hingga ke Asia Selatan sampai Afrika Timur.

Jejak kayu gaharu ditemukan di India. Cengkih dan kayu manis dari Indonesia timur sudah ada di Mesir
dan Laut Merah. Nenek moyang kita juga membawa rempah ke Asia Tenggara, hingga ke Campa,
Kamboja, sehingga terjadi persebaran budaya logam dari Dongson (Vietnam) hingga ke Nusa Tenggara
Timur, Maluku, dan Papua.

Sejak awal Masehi, Jalur Rempah telah menghubungkan India dan Tiongkok. Tercatat, sudah ada pelaut
Jawa yang mendarat di Tiongkok pada abad ke-2 Masehi. Kapal-kapal Nusantara digunakan para
biarawan dari Tiongkok untuk pergi belajar agama Buddha di Suvarnadvipa atau Sriwijaya dan di India.
Kerajaan besar Sriwijaya, Mataram Hindu, Singasari, dan Majapahit menjadikan perdagangan rempah
sebagai jalur interaksi utama yang menghubungkan Nusantara dengan Asia Tenggara, Tiongkok, Asia
Selatan, Asia Barat, hingga ke Afrika Timur.

Karena itu tak dapat dipungkiri, bahwa jauh sebelum bangsa Eropa melakukan aktivitas perdagangan di
Asia Tenggara, para pedagang Nusantara telah turut aktif dalam jaringan perdagangan dunia. Rempah
Nusantara dan Asia telah terkenal di Eropa jauh sebelum mereka dikenal di kawasan Nusantara dan
Asia. Posisi strategis yang menghubungkan Samudra Hindia dan Laut Tiongkok Selatan, menghubungkan
Asia Timur dengan Asia Barat hingga Timur Tengah, Afrika dan Eropa menjadikan Nusantara sebagai hub
penghubung jaringan perdagangan dunia. Jack Turner menulis dalam bukunya Spice, The History of a
Temptation (2005):
“Tidak ada rempah-rempah yang menempuh perjalanan lebih jauh ataupun lebih eksotis daripada
cengkih, pala, dan bunga pala Maluku. Setelah panen di hutan pala di Banda atau di bawah bayangan
gunung vulkanik Ternate dan Tidore. Selanjutnya kemungkinan besar, rempah tersebut dimuat dalam
salah satu cadik yang masih melintasi pulau-pulau di Nusantara. Rempah bisa juga dibawa oleh
pedagang China yang diketahui telah mengunjungi Maluku dari sejak abad ke-13. Bergerak ke barat
melewati Sulawesi, Borneo, dan Jawa melalui Selat Malaka, rempah-rempah tersebut lalu dikapalkan
menuju India dan pasar rempah di Malabar. Selanjutnya komoditas itu dikirim dengan kapal Arab
menyeberangi Samudera Hindia menuju Teluk Persia atau Laut Merah. Di salah satu dari sekian banyak
pelabuhan tua, Basra, Jeddah, Muskat atau Aqaba, rempah lalu dialihkan ke dalam karavan besar
menyusuri gurun pasir menuju pasar-pasar jazirah Arab dan Alexandria dan Levant. Baru setelah
mencapai perairan Mediterania, rempah-rempah akhirnya tiba di tangan bangsa Eropa.”

jalur rempah, rempah nusantara, jalur rempah nusantara

Bukti awal adanya peran Nusantara dalam percaturan dagang di Samudra Hindia datang dari seorang
astronom Yunani bernama Claudius Ptolomaeus yang tinggal di Alexandria, Mesir, pada abad ke-1 M. Ia
menulis Guide to Geography, peta kuno di mana di dalamnya tercantum nama sebuah kota bernama
Barus, yang nampaknya merupakan kota pelabuhan kuno yang amat penting di Sumatera dan dunia.
Nama metropolitan kuno ini mengingatkan kita pada sebuah komoditas aromatik rempah yang kala itu
amat berharga dan senantiasa diburu oleh bangsa-bangsa mancanegara (Yunani-Romawi, Mesir, Arab,
Tiongkok, Hindustan), yakni kapur barus (Guillot, 2014). Bukti kuno perdagangan rempah lainnya berasal
dari Terqa, suatu situs di Mesopotamia (sekarang Syria) di mana penggalian arkeologi menemukan
jambangan berisi Cengkih di gudang dapur rumah sederhana tahun 1721 SM (Liggett, 1982).

Terkait dengan ini Anthony Reid, sejarawan terkemuka dalam kajian Asia menyatakan dalam buku
Southeast Asia in the Age of Commerce, 1450-1680: Volume 2, Expansion and Crisis (1993):

“Cengkih dan kadang-kadang pala dan bunga pala disebut di dalam catatan perdagangan di Kairo dan
Alexandria sejak abad ke-10, tapi semuanya itu sangat jarang dan mahal di Eropa hingga akhir abad ke-
14. Orang Tiongkok juga mengenal cengkih dan pala pada masa Dinasti Tang tetapi menggunakannya
dengan hemat sebelum abad ke 15.”
Konon seorang kaisar Han dari Tiongkok (abad ke-3 M) mengharuskan para pejabat tinggi mengulum
cengkih bila menghadap. Meski sejumlah sumber Tiongkok sebelum abad ke-14 mengenal asal cengkih
dari Maluku, hanya ada satu catatan bertanggal 1350 yang betul-betul menulis jung Tiongkok langsung
berlayar dari Tiongkok ke daerah tersebut. Pengumpulan dan pengangkutan rempah Maluku ke belahan
dunia barat Nusantara ditangani sepenuhnya oleh orang Melayu, Jawa, Bugis dan Maluku. Para
pedagang dari Melayu, Arab, Persia, dan Tiongkok membeli rempah dari Nusantara, kemudian dibawa
dengan kapal ke Teluk Persia dan didistribusikan ke seluruh Eropa melalui Konstantinopel (Istanbul) di
wilayah Turki saat ini–dengan harga mencapai 600 kali lipat (Turner 2005).

Tergiur tingginya harga rempah di pasaran dunia, sejak abad 15 Masehi bangsa-bangsa Eropa mulai
tergerak mencari wilayah kepulauan penghasil rempah-rempah, hingga kemudian mencapai wilayah
Nusantara. Dalam usaha mencari rempah-rempah itu, mereka berinteraksi dan berkompetisi dengan
berbagai bangsa di dunia dalam suatu jaringan perdagangan global. Pada abad ini, lahir sistem pelayaran
modern yang dipicu oleh persaingan menemukan rempah yang masyhur di Eropa meski belum diketahui
persis dari mana asalnya. Aroma wangi rempah Nusantara yang dikatakan turut mengubah wajah Eropa
dari sistem monarki feodal menjadi negara modern, semakin menggerakkan persaingan pelayaran
dunia. Wilayah Nusantara mulai terpetakan dengan jelas dalam jaringan perdagangan dunia. Sejumlah
catatan para pelawat dunia yang sempat singgah di Nusantara memberi kesaksian wanginya aroma
Rempah Nusantara di tengah kegiatan perdagangan dunia yang tercipta di wilayah Nusantara.

Jalur Rempah: Jalur Budaya

Perdagangan rempah di Nusantara meninggalkan jejak peradaban berupa peninggalan situs sejarah,
ritus budaya, hingga melahirkan beragam produk budaya yang terinspirasi dari alam Nusantara yang
kaya. Nampak sekali, di masa lalu orang-orang dari berbagai bangsa berbondong-bondong ke Nusantara
tidak semata untuk berdagang, tetapi lebih pada untuk membangun peradaban. Mulai dari Pelabuhan
Barus di Sumatera Utara yang diperkirakan ahli sudah berusia lebih dari 5000 tahun, hingga era
kerajaan-kerajaan di Nusantara dengan bandar, seperti di Lamuri, Padang, Bengkulu, Lampung, Banten,
Jepara, Tuban, Gresik, Banjarmasin, Makassar, Bali, dan Ternate-Tidore di Maluku–semuanya terbentuk
karena perdagangan rempah-rempah.

Poros perdagangan rempah-rempah global Asia, India–Nusantara–Tiongkok, melalui perairan Hindia


hingga Pasifik juga meninggalkan jejak peradaban yang signifikan. Terletak di sepanjang jalur maritim
tersibuk di dunia, Nusantara dari masa ke masa telah menjadi daerah strategis yang amat penting dan
tujuan perdagangan selama ribuan tahun. Tak pelak, sebagai akibat dari lalu lintas laut yang padat ke
Asia Timur, Timur Tengah, Afrika, Eropa dan sebaliknya, banyak peradaban berinteraksi; bertukar
pengetahuan, pengalaman, dan budaya. Ia menjelma sebagai ruang silaturahmi antarmanusia lintas
bangsa sekaligus sarana pertukaran dan pemahaman antarbudaya yang mempertemukan berbagai ide,
konsep, gagasan, dan praksis, melampaui konteks ruang dan waktu–dipertemukan oleh sungai, laut, dan
samudra.

Jalur Rempah menyebabkan berkembangnya beragam pengetahuan dan kebudayaan yang bukan saja
menjadi warisan bagi Indonesia, namun juga merupakan warisan bagi dunia. Karena posisi geopolitik
dan geoekonominya sangat strategis, terletak di antara dua benua dan samudra, Indonesia merupakan
“global meeting point” dan sekaligus “global melting point”. Berkat rempah, Nusantara menjadi tempat
bertemunya manusia dari berbagai belahan dunia dan menjadi wilayah persemaian dan silang budaya
yang mempertemukan berbagai ide, gagasan, konsep, ilmu pengetahuan, agama, bahasa, estetika,
hingga adat kebiasaan. Jalur perdagangan rempah-rempah melalui laut inilah yang menjadi sarana bagi
pertukaran antarbudaya yang berkontribusi penting dalam membentuk peradaban dunia.

Jalur Rempah Sebagai Rujukan Diplomasi Budaya

Sejak tahun 2017, Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan merintis upaya
pengusulan Jalur Rempah sebagai warisan dunia ke UNESCO. Pengajuan Jalur Rempah (Spice Routes)
sebagai warisan budaya dunia ke UNESCO didasari oleh pemahaman bahwa Jalur Rempah adalah jalur
pertukaran antarbudaya dan pertukaran pengetahuan yang melampaui konteks ruang dan waktu. Jalur
Rempah dapat dilihat sebagai Cultural Route atau Jalur Budaya, hal yang sekaligus membuat hal ini
memiliki peluang besar untuk diajukan sebagai warisan budaya ke UNESCO oleh Indonesia bersama
dengan negara-negara lain (joint nomination) yang tersentuh dalam jalur perdagangan ini.

Sejarah Jalur Rempah dari masa ke masa merupakan contoh nyata bahwa diplomasi budaya telah
dipraktikkan di segala lini oleh individu, komunitas masyarakat, hingga tingkatan negara-bangsa. Belajar
dari dinamika Jalur Rempah di masa lalu, kiranya sangat relevan bila Jalur Rempah menjadi rujukan
dalam mencari warna diplomasi Indonesia yang mengedepankan interaksi dan kehangatan dialog di
berbagai bidang dan lapisan masyarakat.
Jalur Rempah dapat menjadi pijakan dalam melihat kembali berbagai kemungkinan kerja sama
antarbangsa untuk mewujudkan persaudaraan dan perdamaian global yang mengutamakan
pemahaman antarbudaya, penghormatan dan pengakuan atas keberagaman tradisi beserta warisannya,
memiliki semangat keadilan, kesetaraan dan saling berkontribusi, serta menjunjung tinggi harkat
martabat kemanusiaan.

Diajukannya Jalur Rempah ke UNESCO menunjukkan itikad Indonesia untuk mengambil peran dalam
menjaga amanah yang diberikan dunia untuk menjaga warisan peradaban manusia. Jalur Rempah bukan
lagi warisan milik Indonesia, melainkan warisan milik dunia yang diamanahkan kelestarian dan
keberlangsungannya pada kita semua.

Jalur Rempah untuk Kesejahteraan Masa Depan

Menjadikan Jalur Rempah sebagai Warisan Dunia dan rujukan kekuatan diplomasi budaya untuk
meneguhkan Indonesia sebagai poros maritim dunia adalah sesuatu yang membanggakan. Namun, tidak
cukup dengan itu. Tujuan lain menghidupkan Jalur Rempah adalah untuk mengingatkan kembali kepada
generasi muda tentang bagaimana Jalur Rempah membentuk bangsa, negara, dan peradaban Indonesia.
Bukan untuk terjebak dalam romantisme sejarah, menghidupkan Jalur Rempah pada saat ini kita maknai
sebagai revitalisasi nilai budaya rempah dan bagaimana memanfaatkannya pada masa kini dan masa
depan. Kita berharap melalui rempah lahir berbagai kreativitas dan inovasi yang pada akhirnya akan
menghadirkan kembali kejayaan masa lalu bangsa Indonesia pada masa sekarang dan mendatang.

Memori Jalur Rempah diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran dan kebanggaan kolektif akan jati diri
bangsa, sekaligus memperkuat kembali rajutan kebhinekaan Indonesia melalui interaksi budaya
antardaerah yang telah dibangun sejak ribuan tahun lalu. Waktu telah membuktikan bahwa perjumpaan
orang-orang di pelabuhan, misalnya, menjadi kesempatan bagi pertukaran informasi, pengetahuan,
tradisi, dan seni, bahkan dalam jangka panjang bisa mengubah karakter individu atau kelompok yang
saling berjumpa. Kita saksikan pada saat ini, bagaimana masyarakat pada titik-titik Jalur Rempah, seperti
Aceh, Kepulauan Riau, Medan, Jakarta, Semarang, dan beberapa kota lainnya terlihat menjadi begitu
kosmopolitan.

Lebih jauh lagi, menghidupkan Jalur Rempah pada masa sekarang juga diharapkan dapat menumbuhkan
kesadaran masyarakat agar terlibat aktif dalam melestarikan, mengembangkan, dan memanfaatkan
warisan budaya Jalur Rempah sebagai modal mensejahterakan kehidupan jasmani dan rohani
masyarakat yang terlibat di dalamnya. Dalam hal ini, segenap lapisan dari berbagai generasi secara
bersama berusaha menempatkan kebudayaan sebagai penghela (driver) dan pemungkin (enabler)
pembangunan berkelanjutan dan upaya mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi masyarakat
Indonesia. Setiap individu, kelompok, dan institusi bisa terlibat aktif dan memilih peran sesuai porsinya
masing-masing dalam menghidupkan Jalur Rempah

Pada saat ini, kita ketahui misalnya Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mulai mengembangkan
paket-paket wisata memanfaatkan aneka cagar budaya jejak Jalur Rempah. Kemudian juga
dikembangkan industri kreatif seperti kriya dan fesyen dengan motif dan bahan pewarna alami dari
rempah. Selain itu, pengembangan dunia gastronomi yang menawarkan makanan dan minuman sehat
berbasis rempah untuk meningkatkan daya tahan tubuh adalah momentum yang jitu di era pandemi
Covid-19 ini. Lalu kita juga ketahui, Kementerian Pertanian berupaya mengembalikan kejayaan rempah
Nusantara melalui peremajaan dan perluasan kebun-kebun rempah, penguatan industri hilir pengolahan
dan pemasarannya. Tak ketinggalan pula, Kementerian Kesehatan yang mulai mengembangkan industri
obat herbal dan kecantikan berbasis rempah asli Nusantara.

Selain itu semua, pada ranah industri seni dan sejarah juga bisa dikembangkan berbagai macam inovasi
dan kreasi baru yang terinspirasi oleh budaya rempah. Produk karya berupa film, musik, tari, karya
arsitektur adalah beberapa jenis produk kontemporer yang karib dengan generasi muda juga dapat
ditautkan dengan warisan budaya Nusantara yang bersifat adiluhung.

Dengan demikian, menghidupkan Jalur Rempah adalah sebuah Gerakan Rekonstruksi dan Revitalisasi
Budaya dalam dimensi yang luas sehingga mampu menggerakkan kesadaran seluruh elemen untuk
merawat warisan kebhinekaan, mewujudkan kesejahteraan rakyat, dan juga memperkuat diplomasi
budaya bangsa Indonesia di antara bangsa-bangsa dunia.

Narasi Jalur Rempah perlu disusun bersama dengan menggunakan sudut pandang keIndonesiaan yang
berorientasi dunia. Kenyataan sejarah bahwa kejayaan Jalur Rempah yang pernah hadir sejak 4.500
tahun lalu adalah bagian dari jalur perdagangan dan jalur budaya umat manusia. Karena itu diperlukan
pendekatan multidisiplin karena Jalur Rempah tidak bisa hanya dimaknai dari sudut pandang sejarah,
arkeologi, bahasa dan budaya saja.

Jalur Rempah pada masa sekarang harus diwujudkan secara kolektif, menyentuh berbagai aspek
kehidupan yang belum tersentuh sebelumnya. Jalur Rempah bisa memberikan perspektif yang unik
sebagai pintu masuk untuk berkontribusi dalam memperkaya upaya menjawab tantangan kontemporer,
seperti ketahanan pangan, perubahan iklim, pengentasan kemiskinan, kesetaraan, dan berbagai
tantangan lainnya.

Anda mungkin juga menyukai