Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masa pra-aksara adalah masa dimana manusia belum mengenal tulisan. Maka
masa pra-aksara sering dikaitkan sebagai masa prasejarah. Kehidupan manusia pada
masa pra-aksara disebut sebagai kehidupa manusia purba. Manusia muncul
dipermukaan bumi kira-kira 3 juta tahun yang lalu bersama dengan terjadinya berkali-
kali pengesan atau glasiasi dalam zaman yang disebut kala plestosen.
Nenek moyang bangsa Indonesia sejak 4.500 tahun lalu meninggalkan warisan
tak ternilai, yaitu Jalur Rempah. Nusantara sendiri menjadi titik nol dari semua tata
niaga rempah dunia, mulai dari pala, cengkih, dan cendana di bagian timur Nusantara
hingga lada, merica, kemenyan, dan kapur barus di belahan barat Nusantara.
Selain itu, karena rempah-rempah Nusantara, dunia mengalami kemajuan
teknologi pelayaran dan maritim dunia, yang melahirkan era penjelajahan samudra.
Lebih daripada itu, di setiap simpul Jalur Rempah terjadi perjumpaan lintas suku
bangsa yang menghasilkan pertukaran budaya, agama, politik, ekonomi, dan kesenian.
Dengan demikian, Jalur Rempah ikut mengubah peradaban dunia.
B. Rumusan Masalah
1. Dimanakah penyebaran jalur rempah pada masa praaksara?
2. Apa saja bukti adanya jalur rempah?
C. Tujuan
1. Mengetahui wilayah penyebaran jalur rempah.
2. Mengetahui bukti adanya jalur rempah.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Tentang Jalur Rempah


Jalur Rempah (Spice Route) adalah jaringan niaga rempah- rempah yang
menghubungkan antara belahan barat dan timur dunia, yang dimulai dari wilayah
timur Nusantara, melintasi ujung barat Sumatra, India, Sri Lanka, Mesir, Afrika timur,
Afrika selatan, Madagaskar, kemudian daratan Timur Tengah (Asia Barat),
Mediterania, hingga Eropa. Perjalanan melewati jalur ini menempuh jarak lebih dari
15.000 kilometer.
Sebagaimana namanya, rempah utama yang diperdagangkan meliputi lada,
merica, kayu manis, pala, dan cengkih.
Jalur Rempah merupakan jaringan niaga tertua dalam peradaban manusia,
warisan nenek moyang kita sejak 4.500 tahun yang lalu Jalur ini dibangun jauh
sebelum Dinasti Han (Tiongkok) merintis Jalur Sutra (abad ke-3 SM) melalui daratan
di Asia Tengah hingga Eropa.
Pada masa praaksara, wilayah yang dilintasi Jalur Rempah membentang sampai
Sri Lanka, India, Afrika, dan Madagaskar. Nenek moyang kita juga membawa rempah
ke Asia Tenggara, termasuk ke Campa (Vietnam dan Kamboja sekarang). Hal ini
terbukti dari penemuan benda-benda logam dari Dong Son (Vietnam) di wilayah Nusa
Tenggara Timur, Maluku, dan Papua.
Nenek moyang bangsa Indonesia itu adalah ras Australomelanesoid yang
datang ke Nusantara ± tahun 2500 SM (4.500 tahun yang lalu). Diperkirakan, mereka
datang dari Asia bagian tenggara setelah sebelumnya bermigrasi dari Laut Tengah dan
menetap di India (Restu Gunawan, dkk: 2013) Sumber lain menyebutkan, mereka
adalah gelombang pertama bangsa Melayu Austronesia (bangsa Proto-Melayu) yang
datang ke Nusantara dari Yunnan (Tiongkok) melalui dua jalur (barat dan timur) pada
1500 SM. Meskipun demikian, dari bukti arkeologis yang ada, mereka diperkirakan
sudah mendiami Nusantara sejak tahun 2500 SM. Migrasi ke tempat yang jauh
melintasi lautan tidak terlepas dari revolusi baru dalam sejarah peradaban, yaitu
penemuan perahu layar dan kemampuan memahami arah angin dan ilmu perbintangan
(astronomi).
Rempah Nusantara lebih diminati karena lebih lengkap, bermutu, dan harganya
lebih terjangkau dibandingkan rempah-rempah India dan Sri Lanka. Itulah sebabnya,
menurut sejarawan A.G Frank(1998), Jalur Sutra tidak lain adalah Jalur Rempah.
B. Jalur Rempah Pada Masa Praaksara
1. Bukti Arkeologis
berlayar nenek moyang Indonesia sejak 4.500-5.000 tahun yang lalu
ditunjukkan melalui gambar perahu layar dan manusia dengan senjata terselip
di pinggang di situs Liang Kacamata (Kalimantan Selatan). Mereka adalah
kelompok manusia berbahasa Austronesia, yang masuk ke pedalaman
Kalimantan melalui jalur sungai menggunakan perahu rakit dan dayung.
Dalam perkembangan selanjutnya, dayung sebagai penggerak perahu mulai
digabungkan dengan penggunaan layar sehingga perahu bergerak lebih cepat.
Ada pula lukisan perahu serta lukisan penari dan gendang logam di batu
di situs Here Sorot Entapa di Kisar, Maluku. Di situs tersebut juga ditemukan
gendang Dong Son dari Vietnam utara dan Tiongkok barat daya era ±2.500
tahun yang lalu. Penemuan ini menunjukkan, pada ±2.500-3.500 tahun yang
lalu (Zaman Logam), nenek moyang bangsa Indonesia telah berlayar hingga
ke Vietnam, membarter pala dan cengkih dengan gendang dan kebutuhan
pokok.
Di galeri Mesir, terdapat lukisan yang menggambarkan ekspedisi kapal
besar yang diprakarsai Ratu Hatshepsut (berkuasa 1503-1482 SM). Di bawah
lukisannya, tertera huruf Hieroglif yang menjelaskan kapal itu membawa
pulang berbagai jenis tanaman dan bahan wewangian untuk pemujaan. Di
Terqa, sebuah situs kuno di Mesopotamia (sekarang Suriah), ditemukan
jambangan berisi cengkih di gudang dapur rumah sederhana tahun 1721 SM
(Liggett, 1982). Selain itu, di dalam lubang hidung Ramses II (1224 SM)
ditemukan lada hitam sebagai bahan pengawetan mumi. Rempah-rempah
tersebut diyakini dibawa oleh para pelaut-pelaut Nusantara.
2. Bukti Tulis
Sejak abad ke-5 SM, perdagangan di antara bangsa Romaw Persia,
India, dan Tiongkok mulai berkembang, tetapi tidak reguler Perdagangan
dilakukan melalui jalur daratan di Asia Tengah Denpasar Penggunaan jalur
laut yang menghubungkan Laut Tengah, Laut Merah, Teluk Persia, Tiongkok,
India, dan Jepang baru dimulai sejak abad ke-2 SM. Rempah Nusantara belum
dikenal.
Sumber tertulis India dari abad ke-3 SM berulang kali menyebut
“Jawa” sebagai asal rempah-rempah. Kitab Petunjuk Pelaut ke Lautan
Erythrea (nama kuno Yunani untuk Samudra Hindia) menyebut kapal rempah-
rempah dari arah timur.
Meskipun demikian, sampai permulaan abad Masehi, India berfokus
pada perdagangan emas. Dalam perkembangannya, terjadi kekacauan besar di
Asia Tengah, pemasok utama emas India. India sempat mengimpor emas dari
Romawi, tetapi hal itu tidak berlangsung lama karena segera dilarang oleh
Kaisar Vespasianus (69-79 M). India kemudian mencari sumber emas dan
mitra niaga yang baru.
Berdasarkan informasi dalam kitab-kitab sastra India, sumber emas
yang baru tersebut ada di Nusantara. Itulah cikal-bakal pelayaran ke
Nusantara. Dalam perjalanan waktu, India menyadari emas yang dimaksud
dalam kitab-kitabnya itu adalah rempah. Selain lada dan kayu manis,
ditemukan juga cengkih, pala, kayu cendana, kapur barus, kemenyan, dan
berbagai hasil hutan. Kitab Ramayana (tahun 200 M) juga menyebutkan
sumber kayu gaharu dan cendana berada di daerah timur Nusantara.
Sejak abad-abad pertama Masehi, kontak dagang Nusantara dengan
India berkembang. India menawarkan tekstil untuk dibarter dengan rempah.
Rempah-rempah Nusantara pun membanjiri pasar Romawi. Romawi ketika itu
tengah menikmati Pax Romana, yang meningkatkan permintaan atas rempah
(Catatan: Pax Romana adalah periode panjang yang relatif damai dan minim
ekspansi militer selama 206 tahun (27 SM-180 M).
Rempah dikirim ke wilayah-wilayah Kekaisaran Romawi, baik oleh
pelaut-pelaut India maupun secara langsung oleh pelaut-pelaut Nusantara
Penulis berkebangsaan Romawi bernama Gaius Plinius Secundus alias Pliny
the Elder (23/24- 79 M) dalam catatan perjalanannya menyebutkan tentang
para pelaut pemberani dari timur yang datang membawa kayu manis dengan
menggunakan perahu sederhana (Tanudirjo, 2010) Perahu ini sedemikian
sederhana sehingga Plinius mengatakan mereka bukan digerakkan oleh layar,
melainkan oleh semangat dan keberanian. Plinius sendiri menyebutkan daerah
itu "Etiopia", tetapi dia meyakini tanaman tersebut merupakan endemik Asia
Tenggara.
Membanjirnya rempah Nusantara di wilayah-wilayah Kekaisaran
Romawi diperjelas melalui peta "Guide to Geography" (abad ke-1 M) yang
dibuat astronom Alexandria (Mesir), Claudius Ptolomaeus. Dalam peta
tersebut, Ptolomaeus menulis nama sebuah kota bernama Barus Tempat ini
merupakan kota pelabuhan kuno sumber kapur barus, komoditas yang diburu
pelaut Yunani-Romawi, Mesir, Arab, Tiongkok, dan Hindustan pada masa itu
(Guillot, 2014).
Kontak dagang dengan India semakin intens saat memasuki abad V M.
Informasi dalam kitab Raghuvamsa yang ditulis Kalidasa sekitar tahun 400 M
menyebutkan sumber rempah berupa lavanga (cengkih) di wilayah Dvipantara
(Nusantara). Kemungkinan besar, sekitar masa tersebut, kapal-kapal pelaut
India sudah sering lalu-lalang ke dan dari Nusantara untuk mendapatkan
rempah-rempah.
Bagaimana dengan Tiongkok? Hingga abad I M, Tiongkok masih
berfokus pada perdagangan melalui darat dengan Timur Tengah (Asia Barat).
Perdagangan jalur darat dengan Asia Tenggara memang sudah dibuka melalui
Funan, tapi itu dilakukan sejauh terkait dengan Asia Barat
Kontak dagang dengan Nusantara baru dimulai sejak abad II M. Berita
Tiongkok menyebutkan utusan Raja Bian dari Kerajaan Jawa (Yediao)
berkunjung ke Tiongkok (131 M). Berita dari Dinasti Han (abad III M)
menyebutkan tentang kewajiban bagi para pejabat tinggi yang hendak
menghadap kaisar untuk mengulum cengkih untuk menghilangkan bau mulut
Sumber lain menyebutkan cengkih (chi shelting hsiang) dari mo wu (Maluku)
yang digambarkan berbentuk seperti paku.
Adanya kontak dengan Tiongkok juga dibuktikan dengan catatan
perjalanan ke Jawa (Yeh-po-tilShe-po) melalui laut dari dua pendeta Buddha,
yaitu Fa Hsien (413 M) dan Gunavarman (antara 424-453 M). Dalam berita
Tiongkok lainnya, disebutkan tentang kunjungan dari utusan dari Ho-lo-tan,
sebuah negeri di She-po (Jawa) pada 430 M. Sejak saat itu, Tiongkok
mendapat pasokan rempah Nusantara secara berkala, meski dalam jumlah
terbatas.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Jalur Rempah (Spice Route) adalah jaringan niaga rempah- rempah yang menghubungkan
antara belahan barat dan timur dunia, yang dimulai dari wilayah timur Nusantara, melintasi
ujung barat Sumatra, India, Sri Lanka, Mesir, Afrika timur, Afrika selatan, Madagaskar,
kemudian daratan Timur Tengah (Asia Barat), Mediterania, hingga Eropa. Pada masa
praaksara, wilayah yang dilintasi Jalur Rempah membentang sampai Sri Lanka, India, Afrika,
dan Madagaskar.

Ada banyak bukti arkeologis dan bukti tulis Jalur Rempah Bukti arkeologis antara lain
lukisan perahu/kapal di situs-situs Nusantara dan temuan lada hitam di hidung mumi Firaun
Ramses II. Sumber tulis, antara lain Berita Tiongkok, kitab-kitab India, catatan Pliny the
Elder, dan peta yang dibuat Claudius Ptolomnaeus.

Anda mungkin juga menyukai