Rempah
K ita mengenal sebuah istilah jalur rempah atau jalur sutera. Istilah jalur sutera
(Seidenstrassen ) diperkenalkan pada abad ke-19 oleh ahli geografi Jerman Ferdinand
von Richthofen tahun 1877. Jalur sutera adalah sebuah nama julukan atau lebel yang
diberikan terhadap gejala pertukaran di wilayah trans-Euroasia. Jalur tersebut mempertemukan
para pedagang dari barat dan timur untuk melakukan aktivitas perdagangan. Apa yang
sebenarnya menarik perhatian Richtofen sebagai seorang geograf adalah, bagaimana
perdagangan di Asia Tengah dan Cina ini tumbuh sebagai interaksi antara manusia dan
lingkungan.
Jalur atau rute sutera merupakan serangkaian rute yang saling berhubungan melalui
Asia Selatan dan Asia Tengah baik melalui daratan maupun lautan yang menghubungkan antara
Cina di sebelah timur dan Kekaisaran Romawi di sebelah barat. Jalan sutera digambarkan
sebagai jalur perniagaan yang sangat penting tidak hanya bagi perkembangan peradaban besar,
seperti Cina, Mesir kuno, Mesopotamia, Persia, India, dan Romawi, tetapi juga bagi peletakan
dasar bagi dunia modern. Jalan sutera daratan terpecah antara rute utara dan selatan yang
merupakan perluasan dari pusat komersial di Cina Utara. UNESCO mengakui bahwa jalur laut
antara Cina dan Laut Tengah dengan melalui laut juga disebut sebagai Jalur Sutera namun
sebagai Jalur Sutera Maritim (Maritime Silk Road)
Pengertian silk atau spice route yang digunakan dalam perspektif ini mengacu pada
definisi unesco, yaitu nama atau lebel dari jalur niaga yang mewakili dari produk komoditi utama
yang dihasilkan Asia Tenggara dan Selatan Nusantara diperdagangkan dan didistribusikan
melalui jalur maritim dalam rentang waktu dan wilayah perdagangan luas. Kedua istilah ini
seperti dua sisi dari satu mata uang yang sama, secara timbal balik produk itu saling
dipertukarkan dalam perjalanan ulang-alik dalam jalinan perdagangan yang kompleks. tidak
hanya rempah tetapi juga produk lainnya seperti tekstil,biji-bijian, sayuran dan buah, kulit
binatang, alat, pekerjaan kayu, pekerjaan logam, serta masih banyak lainnya. Namun apakah
komoditi dari jalur sutera atau rempah yang paling utama apakah sutera atau rempah-rempah?
sebagai komoditas utama dalam pertukaran. Sesungguhnya rempahlah yang menjadi komoditi
utama, bukan kain sutera. Jenis kain ini sebetulnya lebih berfungsi sebagai ‘alat tukar’ rempah.
Hal ini bisa dilacak dari perkembangan sejarah perdagangan maritim internasional.
Mengapa disebut Jalur Rempah ? Dan
apa hubungannya dengan Indonesia ?
Rempah bagian dari Keragaman Hayati
Jalur rempah merupakan istilah yang dipandang tepat karena
memberikan identitas kenusantaraan Indonesia. Dapat
dikatakan demikian karena pada kenyataan nusantara menempati wilayah dan lingkungan yang
khas yaitu daerah tropis yang kaya keragaman hayatinya baik flora maupun fauna. Kekayaan
hayati itulah yang menjadi sumber komoditi niaga di masa lalu, menarik minat para pedagang
termasuk tumbuhnya tanaham rempah yang asli nusantara (endemik) seperti cengkeh, pala,
kemiri yang tumbuh di Maluku dan Banda, dan menjadi tempat yang cocok untuk budidaya
hayati dari luar seperti lada.
K epulauan Indonesia secara geografis terletak dalam jalur angin musim (muson)
merupakan wilayah yang strategis dan ramai sebagai jalur pelayaran yang
menghubungkan dunia barat dan timur sejak milenium pertama masehi. Sebagai jalur
pelayaran dunia, pulau-pulau di nusantara menjadi tempat persinggahan kapal-kapal dari
berbagai penjuru yang tidak hanya sebagai pelabuhan trasito, namun juga digairahkan oleh
rempah - rempah yang tumbuh subur di kepulauan Indonesia. Ramainya rempah dan pelayaran di
kepulauan Indonesia, setidaknya tercatat dalam berita Tiongkok sejak awal masehi. Bahkan
dalam perkembangannya hubungan perdagangan rempah dengan dinasti-dinasti di Tiongkok
berkembang ke arah hubungan diplomatik, keagamaan, dan pendidikan.
Rempah-rempah Kepulauan Indonesia semakin lama semakin dikenal dunia. Setidaknya
pada abad ke-7 M, pelayaran dan perdagangan dari Asia Timur, Asia Selatan dan Asia Barat
menuju nusantara berburu rempah bernilai tinggi, seperti cengkeh, pala, bunga pala, kayu
cendana, lada, gaharu, kamper (dikenal dengan nama kapur barus), dan produk rempah lainnya.
Cengkeh dihasilkan dari Ternate, Tidore, Halmahera, Seram, dan Ambon. Sedangkan fuli (dari
buah pala) banyak tumbuh di Pulau Run di Kepulauan Banda. Kayu manis, kemenyan, kapur
barus dari Sumatera dan Jawa, kayu cendana banyak dihasilkan di Pulau Timor dan Sumba,
sedangkan lada banyak dihasilkan dari Banten (Pulau Jawa), Pulau Sumatera, dan Kalimantan
Selatan.
Sampai dengan abad ke enam belas dapat dikatakan rempah-rempah belum menjalankan
peran yang menentukan dalam perkembangan sejarah Indonesia. Rempah-rempah memang
diperdagangkan oleh beberapa kerajaan dan kekuatan politik lokal, namun perdagangan itu tidak
mengakibatkan perubahan yang mendasar dalam dinamika masyarakat Indonesia secara
keseluruhan. Perubahan menentukan setelah kedatangan bangsa-bangsa Eropa ke Indonesia yang
semula untuk mencari daerah produksi rempah - rempah, dalam perkembangannya -bangsa
Eropa tidak hanya melakukan kegiatan perdagangan, tetapi juga melakukan kolonisasi dan
bahkan membangun kekuatan politik. Kepentingan awal mereka yang tadinya hanya untuk
mencari daerah penghasil rempah-rempah berkembang menjadi kepentingan ekonomi kolonial
melakukan eksploitasi kekayaan alam Indonesia demi kepentingan negeri induk.
R empah merupakan berbagai jenis tanaman yang dapat digunakan untuk bumbu masakan dan
bahan obat-obatan yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Produk ini dihasilkan oleh
berbagai daerah di kepulauan Indonesia. Banten, Sumatera bagian selatan, dan Aceh
menghasilkan lada atau merica. Pulau Banda menghasilkan pala. Sementara itu cengkeh dihasilkan
terutama oleh Ambon dan Ternate. Kayumanis dan kayu cendana dihasilkan oleh kepulauan Nusa
Tenggara. Beberapa rempah yang akan kita bahas :
Jarin
gan
Ada 3 unsur yang bertautan menghidupi jalur niaga rempah Nusantara:
Perda
ganga
n
P aling tidak sejak abad ke-14 jalur perdagangan rempah-rempah dari Indonesia ke berbagai
belahan Asia dan Eropa dikuasai oleh para pedagang Islam. Jaringan perdagangan Islam
membentang dari Samudra Hindia hingga ke Laut Cina Selatan. Jaringan perdagangan ini
melibatkan berbagai suku dan bangsa, antara lain orang Arab, Persia, Gujarat, Melayu, Jawa dan
Cina. Dengan mengandalkan kota-kota pelabuhan yang dikuasai oleh para penguasa Islam,
jaringan perdagangan ini mempertukarkan berbagai komoditi dari dari satu tempat ke tempat
yang lain dalam jarak yang sangat jauh. Sebagai contoh tekstil dari India diperdagangan di Asia
Tenggara, sementara rempah-rempah dari Indonesia dijual diperdagangkan sampai ke Mesir dan
bahkan Eropa
’
Gambar Champor atau barus, gutta perecha dan gambir sebagai komoditas
Pala dan Cengkeh merupakan komoditas utama rempah rempah yang diperdagangkan :
• Pala (biji pala, bunga pala/foeli) merupakan hasil utama Pulau Banda
• Cengkeh berasal dari Pulau-Pulau Ternate, Tidore, Moti, Makian dan Bacan
• Produk pertanian tersebut berasal dar Kepulauan Maluku, sementara komoditas di bawah
ini berasal dari Sumatra, seperti:
• Lada (Aceh, Lampung, dan Jawa Barat/Banten)
• Camphor, gutta percha (damar?), gambir,
• Abad ke-19: karet, tembakau; tebu/gula, teh di Jawa
• Wilayah Indonesia Timur lainnya menghasilkan kayu eboni/ebbenhout, sapanhout/kayu
cendana berwarna merah tua
Barang dagangan lainnya adalah :
Untuk perniagaan Nusantara – Asia selain rempah di abad ke-15 sampai ke-17 ada barang
dagangan yang menjadi utama terutama sesudah wilayah Asia dikuasai oleh bangsa Eropa
• Beras sebagai komoditi perniagaan antara Kerajaan-kerajaan lokal di Nusantara dan Asia,
tetapi pedagang Eropa kemudian juga memperdagangkan beras di Asia
• Tekstil-kain: sutra (hittou, legia, patten, selvetica, patholen, dan banyak lagi) yang
diproduksi di Tiongkok, bahan pakaian yang diproduksi di India dengan berbagai jenis
(cambaay/kabaai, sits/cita, mouri/mori, dan banyak lagi)
3. alat trasportasi
Dari 3 zona wilayah perniagaan laut alat transportasi yang digunakan juga memiliki tipe
perahu/kapal sendiri :
Wilayah perairan Nusantara umumnya menggunakan berbagai jenis perahu lokal seperti:
paduwakang, cunia, sampan, prauw/perahu, jukung Jawa, gonting/perahu mayang,
arumbai, gorab, dan banyak lagi
Perdagangan VOC di perairan Nusantara menggunakan jenis kapal chialoup, atau fluijt,
dan kapal yang dibangun di Rembang, memakai nama-nama lokal, seperti: ‘t schip
Ternate, ‘t schip Joana, ‘t schip Jambij, dan lain-lain
Perniagaan Nusantara-Asia banyak menggunakan wangkang, yang oleh VOC ditulis
sebagai ‘Chineeshe jonk-en’, dan kapal yang lebih besar
Perniagaan Nusantara-Asia-Eropa menggunakan beberapa kapal besar sebagai armada
(vloot) untuk angkutan barang dan penumpang.
Sejak awal Masehi, Jalur Rempah telah menghubungkan India dan Tiongkok. Tercatat,
sudah ada pelaut Jawa yang mendarat di Tiongkok pada abad ke-2 Masehi. Kapal-kapal
Nusantara digunakan para biarawan dari Tiongkok untuk pergi belajar agama Buddha di
Suvarnadvipa atau Sriwijaya dan di India. Kerajaan besar Sriwijaya, Mataram Hindu,
Singasari, dan Majapahit menjadikan perdagangan rempah sebagai jalur interaksi utama yang
menghubungkan Nusantara dengan Asia Tenggara, Tiongkok, Asia Selatan, Asia Barat, hingga
ke Afrika Timur.
Karena itu tak dapat dipungkiri, bahwa jauh sebelum bangsa Eropa melakukan aktivitas
perdagangan di Asia Tenggara, para pedagang Nusantara telah turut aktif dalam jaringan
perdagangan dunia. Rempah Nusantara dan Asia telah terkenal di Eropa jauh sebelum mereka
dikenal di kawasan Nusantara dan Asia. Posisi strategis yang menghubungkan Samudra Hindia
dan Laut Tiongkok Selatan, menghubungkan Asia Timur dengan Asia Barat hingga Timur
Tengah, Afrika dan Eropa menjadikan Nusantara sebagai penghubung jaringan perdagangan
dunia. Jack Turner menulis dalam bukunya Spice, The History of a Temptation (2005):
“Tidak ada rempah-rempah yang menempuh perjalanan lebih jauh ataupun lebih eksotis
daripada cengkih, pala, dan bunga pala Maluku. Setelah panen di hutan pala di Banda
atau di bawah bayangan gunung vulkanik Ternate dan Tidore. Selanjutnya kemungkinan
besar, rempah tersebut dimuat dalam salah satu cadik yang masih melintasi pulau-pulau
di Nusantara. Rempah bisa juga dibawa oleh pedagang China yang diketahui telah
mengunjungi Maluku dari sejak abad ke-13. Bergerak ke barat melewati Sulawesi,
Borneo, dan Jawa melalui Selat Malaka, rempah-rempah tersebut lalu dikapalkan
menuju India dan pasar rempah di Malabar. Selanjutnya komoditas itu dikirim dengan
kapal Arab menyeberangi Samudera Hindia menuju Teluk Persia atau Laut Merah. Di
salah satu dari sekian banyak pelabuhan tua, Basra, Jeddah, Muskat atau Aqaba,
rempah lalu dialihkan ke dalam karavan besar menyusuri gurun pasir menuju pasar-
pasar jazirah Arab dan Alexandria dan Levant. Baru setelah mencapai perairan
Mediterania, rempah-rempah akhirnya tiba di tangan bangsa Eropa.”
Muncul
nya
P
erdagangan rempah di Nusantara meninggalkan jejak peradaban berupa peninggalan
situs sejarah, ritus budaya, hingga melahirkan beragam produk budaya yang terinspirasi
dari alam Nusantara yang kaya. Nampak sekali, di masa lalu orang-orang dari berbagai
bangsa berbondong-bondong ke Nusantara tidak semata untuk berdagang, tetapi lebih pada untuk
membangun peradaban. Mulai dari Pelabuhan Barus di Sumatera Utara yang diperkirakan ahli
sudah berusia lebih dari 5000 tahun, hingga era kerajaan-kerajaan di Nusantara dengan bandar,
seperti di Lamuri, Padang, Bengkulu, Lampung, Banten, Jepara, Tuban, Gresik, Banjarmasin,
Makassar, Bali, dan Ternate-Tidore di Maluku–semuanya terbentuk karena perdagangan
rempah-rempah.
Kota-kota Pelabuhan itu yang memiliki lokasi strategis dan memiliki kekuatan politik
untuk mengendalikan kegiatan perdagangan di wilayah sekitarnya tumbuh menjadi pusat-pusat
perdagangan maritim regional dan internasional. Kota-kota tersebut juga menjadi motor
penggerak kegiatan ekonomi untuk wilayah-wilayah yang berada di bawah pengaruh mereka.
Kota-kota tersebut muncul pertama kali sebagai pelabuhan-pelabuhan lokal yang kemudian
berkembang menjadi pusat kegiatan perdagangan maritim regional dan internasional.
Kebanyakan dari kota-kota pelabuhan tersebut terletak di jalur perdagangan maritim yang telah
berkembang sebelum kedatangan bangsa barat. Mereka menjadi kekuatan politik yang mengatur
dan menentukan perkembangan jaringan perdagangan di wilayah laut di sekitarnya maupun di
pedalaman.
Kota-kota dagang yang tumbuh menjadi besar dan melayani kegiatan perdagangan maritim
jarak jauh disebut dengan emporium. Emporium hanya dapat bertahan dan berkembang jika
lokasinya berada di daerah yang strategis, yaitu di jalur utama pelayaran maritim, di selat yang
menghubungkan dua atau lebih wilayah perdagangan, atau berada di dekat daerah penghasil
komoditi. Sampai dengan awal abad ke-16 emporium di kawasan Asia Tenggara adalah Malaka.
Kota pelabuhan ini tumbuh dan berkembang setelah mengkonversi diri menjadi bagian dari
jaringan perdagangan Islam. Malaka merupakan pelabuhan tujuan dari komoditi rempah-rempah
yang dihasilkan di berbagai wilayah Indonesia barat dan timur sebelum didistribusikan ke
seluruh dunia. Secara geografis letak Malaka sangat strategis karena tepat berada di tengah jalur
maritim utama yang menghubungkan Samudera Hindia dengan Laut Cina Selatan.
Malaka adalah titik simpul dari jaringan perdagangan yang menghubungkan dunia Melayu
dengan jalur-jalur maritim yang membentang ke barat sampai ke India, Persia, Jazirah Arab,
Afrika Timur dan Laut Tengah, ke utara sampai ke Siam dan Pegu, serta ke timur sampai ke
Cina dan Jepang.Selama abad ke-15 di masa kejayaan Malaka sebagai emporium, rempah-
rempah diperdagangkan dari satu emporium ke emporium lainnya. Jalur perdagangan rempah-
rempah dari Malaka ke Asia Selatan dan Barat adalah: dari Malaka ke Bengal, Cochin, Calicut,
Gujarat, Ormuz, Aden, dan Alexandria sebelum kemudian di bawa ke kota-kota pelabuhan di
Italia selatan melalui Laut Tengah. Dari kota-kota pelabuhan di Italia rempah-rempah kemudian
didistribusikan ke seluruh Eropa. Sementara jalur ke Asia Timur adalah dari Malaka melalui
Ayuthaya di Siam terus ke Kanton di Cina Tenggara. Kepulauan Indonesia sepanjang abad ke-15
semua bermuara ke Malaka. Jalur untuk cengkeh dan pala adalah dari Kepulauan Maluku dan
Banda ke Makassar, Pantai Utara Jawa, dan berakhir di Malaka. Sementara jalur perdagangan
lada ialah dari daerah Banten dan Lampung ke Malaka, serta pantai barat Sumatera dan Aceh ke
Malaka.
Perubahan mendasar terhadap jalur perdagangan rempah di Kepulaun Nusantara terjadi
pada tahun 1511, yaitu ketika Portugis berhasil merebut Malaka dan menjadikan kota pelabuhan
ini sebagai koloninya. Dengan jatuhnya Malaka ke tangan Portugis maka berakhir pulalah jalur
perdagangan rempah-rempah yang berpusat di Malaka. Jatuhnya emporium Malaka ke tangan
kekuatan Eropa yang bersikap bermusuhan dengan para pedagang Islam menyebabkan pihak
yang terakhir mencari kota-kota dagang lain yang bisa dijadikan tempat kegiatan perdagangan.
Faktor tersebut yang menjelaskan mengapa sejak awal abad ke-16 muncul pusat-pusat
perdagangan baru di Kepulauan Indonesia untuk menggantikan Malaka. Sejak saat itu fungsinya
sebagai emporium di Asia Tenggara yang dulu hanya dijalankan oleh Malaka kemudian
dijalankan paling tidak oleh tiga kota pelabuhan utama yang dalam berkembangannya juga
menjadi emporium-emporium, yaitu Aceh di ujung utara Pulau Sumatera, Banten di ujung barat
Pulau Jawa, dan Makassar di ujung selatan Pulau Sulawesi. Kemunculan kota-kota pelabuhan
Baru bersamaan momentumnya dengan periode ekspansi negara-negara Eropa, terutama yang
terletak di Eropa Barat, ke seluruh penjuru dunia. Contoh salah satu peta jalur perdagangan
bangsa Eropa ke nusantara :
PERKEMBANG
AN J ALUR
Semenjak abad ke-2 sebelum masehi secara gradual perdagangan reguler antar-benua
melalui daratan yang menghubungan Cina dan Laut Tengah dengan melalui Asia Tengah mulai
terbentuk. Demikian juga pelayaran dan perniagaan melalui laut juga berkembang yang
menghubungkan Laut Tengah dan Cina serta Jepang. Pelayaran dan perniagaan sudah mulai bisa
dilakukan secara reguler mulai dari Laut Merah dan Teluk Parsi ke India. Dalam perkembangan
selanjutnya juga dari India ke Asia Tenggara dan selanjutnya ke Cina dan Jepang dengan
memanfaatkan angin muson yang bertiup secara reguler. Sutera, emas, tekstil, besi, perak, dan
berbagai barang prestisius menjadi komoditi utama yang diperdagangkan pada jalur sutera
daratan melalui Asia Tengah. Sementara itu jalur perdagangan maritim didominasi oleh komoditi
rempah di samping ada beberapa komoditi lain seperti kain tekstil, sutera, perak, dan sebagainya.
Seperti diketahui bahwa hubungan perniagaan laut antara India dan negeri-negeri di sebelah
barat hingga Mesir dan Eropa sudah berkembang jauh sebelum abad Masehi. Barang dagangan
utama yang diperdagangkan terutama adalah lada, kain, dan emas dari India dan kayu manis dari
Srilangka. Sementara itu jalur maritim dari India ke timur hinggga Nusantara dan Cina pada
waktu itu belum berkembang dengan baik.
Sejak perkembangan kekuatan Islam mulai abad ke-7 masehi, baik jalur sutera melalui
daratan Asia Tengah maupun jalur rempah di sepanjang Samudera Hindia, Selat Malaka,
kepulauan Nusantara dan Laut Cina Selatan mengalami perkembangan yang sangat pesat. Dalam
waktu singkat mata rantai jalur sutera di di kawasan bibir timur Mediterania, Asia Barat, dan
Asia Tengah berada di bawah payung kekuasaan Islam. Wilayah-wilayah pantai dan kota-kota
pelabuhan di kawasan yang kemudian dikuasai oleh kekuatan Islam merupakan bagian penting
dari mata rantai perdagangan kuno antara India, Mesir, Yunani dan Romawi yang
memperdagangkan rempah dari Malabar. Ketika jalur rempah dikembangkan ke timur hingga
Nusantara dan Cina, akhirnya mata rantai perdagangan rempah antara Cina dan Eropa
tersambungkan semenjak awal-awal abad masehi. Apalagi pada periode selanjutnya juga muncul
emporium- emporium Islam di kawasan Nusantara sejak zaman Samudera Pasai, Aceh, Malaka,
Demak, Cirebon, Banten, Makassar, Banjarmasin, Ternate, Tidore, dan sebagainya. Dengan
demikian pada abad ke-13 M mereka telah berkembang menjadi kekuatan dominan dalam
perdagangan maritim di sepanjang Laut Tengah, Laut Merah dan Teluk Parsi, dan Samudera
Hindia dan bahkan juga Selat Malaka, Laut Cina Selatan dan Asia Pasifik.
Seiring dengan penemuan teknologi perkapalan dan persenjataan telah mendorong orang-
orang Eropa untuk mencoba mencari sendiri sumber rempah di dunia Timur yang pada waktu itu
masih sangat misterius. Pada waktu itu rempah masih tetap merupakan komoditas yang sangat
berharga karena faktor kelangkaan dan tingkat kesulitan yang tinggi untuk memperolehnya.
Justru itulah berkembang impian di antara orang-orang Eropa untuk datang sendiri ke
‘Kepulauan Rempah’ yang akhirnya menginspirasi para petualang atau penjelajahan samudera.
Di antara bangsa bangsa Eropa, Portugis dan Spanyol lah yang pada awalnya memiliki semangat
untuk menemukan produsen rempah. Mereka adalah pedagang rempah sejak lama dan
mengalami kerugian setalah Konstantinopel yang merupakan salah satu pintu penting
perdagangan Asia – Eropa direbut oleh Kekhalifahan Turki pada 1453. Perkembangan ini telah
mendorong terjadinya perubahan-perubahan cukup mendasar dalam jalur perdagangan rempah di
dunia.
Anak-anak untuk memperkaya pemahaman mengenai jalur rempah bisa menonton film
dokumenter : ( Pilih salah satu !)
Link diatas merupakan film documenter “ Banda the dark forgotten trail
https://www.youtube.com/watch?v=l6YfDSq_mH8
Lalu ada serial documenter national geographic tentang “ Perbawa Sang Naga Demi
Rempah Raja “
https://www.youtube.com/watch?v=pCYKXmihH7g&t=111s
Masih banyak video-video mengenai jalur rempah, yang bisa di lihat di internet