Anda di halaman 1dari 8

NAMA : RISKA MUKARROMAH

MATKUL : SEJARAH SOSIAL


NIM : 17040284044/ 2017 C

HABIS GELAP TERBITLAH TERANG


Oleh ARMIJN PANE

Kartini lahir di Jepara pada tanggal 21 April 1879 sebagai seorang bangsawan Jawa dengan gelar
Raden Ayu (R.A). Merupakan anak dari seorang Bupati Jepara R.M. Adipati Ario Sosroningrat, salah
satu bupati di Jawa yang terkenal akan kepandaian dan kecerdasaan, serta kepeduliannya terhadap
pendidikan. Buku ini menceritakan tentang perjuangan R.A Kartini untuk dapat bersekolah,dimasa
sekolahnya R.A Kartini merasa bebas, namun ketika berumur 12 tahun, Kartini dipingit dan tidak
diizinkan keluar. Ketika Kartini berumur 16 tahun pada tahun 1895, Kartini diizinkan melihat dunia luar
lagi.
Buku ini berisi kegiatan surat menyurat Kartini dengan beberapa teman asingnya tentang isi
hatinya, cita-cita, dan harapannya untuk memajukan kaum wanita Indonesia agar tidak terbelenggu oleh
adat. Kartini mempunyai impian agar kaum wanita bias mendapatkan jabatan lain selain jabatan sebagai
seorang istri. Pertama, Ny. Estelle H. Zeehandelaar, yang menikah dengan Tn. Harsthalt, sebelumnya
belum pernah bertemu langsung dengan Kartini dan hanya berkenalan melalui surat saja. Kedua, Ny.
M.C.E. Ovienk-Soer yaitu istri seorang asisten residen Jepara, saking dekatnya hubungan mereka, sampai
Kartini menyebutnya Ibu. Ketiga, Tn. Prof. Dr. G.K. Anton dan nyonya di di Jerman. Pernah
mengunjungi pulau Jawa dan sempat berkunjung ke Jepara. Keempat, Dr. N. Adriani, ahli bahasa yang
dikirim oleh Bijbel-genootschap ke daerah Poso, Sulawesi Tengah. Kelima, Tn. H.H. van Kol, seorang
anggota 2 de Kamer tahun 1897 – 1909 dan pernah berkunjung ke Jawa pada tahun 1902 bersama
isterinya Nellie van Kol. Keenam, Mr. J.H. Abendanon, pernah menjadi Direktur Departement Onderwijs,
Eredienst en Nijverheid. Isterinya R.M. Abendanon juga begitu dekat dengan Kartini, sehingga
menyebutnya Ibu. Mereka pernah berkunjung ke kediaman keluarga Kartini pada tahun 1900. Dan , Tn.
E.C. Abendanon yang Kartini sebut sebagai abang, putera dari Mr. Abendanon. Selain nama-nama di atas
ada pula beberapa orang lain yang pernah berkirim surat dengan Kartini, tetapi yang disebutkan di atas
yaitu yang paling sering berkirim surat dengan Kartini. Surat-surat tersebut pertama kali diumumkan oleh
Mr. Abendanon pada tahun 1911. Di dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang sendiri, surat-surat
Kartini dikelompokkan dalam 25 bagian. Pengelompokkan tersebut berdasarkan isi surat, waktu surat,
dan terutama suasana hati Kartini saat surat tersebut ditulis. Surat-surat yang dibukukan hanyalah
sebagian dari surat-surat Kartini.
Bagian surat yang pertama yaitu Berkenalan, setidaknya ada tiga surat yang masuk dalam bagian
ini. Pada intinya ketiga surat tersebut merupakan luapan kekecewaan, penyesalan dan bahkan kesedihan
Kartini terhadap apa yang ada dan terjadi di sekitarnya, terutama kondisi sosiokultural masyarakat yang
menurutnya sangat memprihatinkan. Dari ketiga surat tersebut ada kalimat yang menarik dari salah satu
surat Kartini, surat itu ditujukan untuk Nn. Zeehandelaar atau yang ia sebut dengan Stella pada tanggal 6
November 1899.
“… hukum Islam mengizinkan laki-laki menaruh empat orang perempuan. Meskipun seribu kali
orang mengatakan, beristeri empat itu bukan dosa menurut hukum Islam, tetapi aku, tetap selama-
lamanya aku mengatakan itu dosa”. Ini menunjukkan bahwa Kartini sangat membenci prilaku poligami
yang dilakukan oleh laki-laki. Menarik karena sebagai seorang keluarga bangsawan ia tahu persis betapa
laki-laki berdarah biru saat itu hampir semuanya mempraktikkan prilaku poligami. Dimaklumi memang
karena saat itu tidak ada undang-undang perkawinan seperti saat ini, yang mengatur masalah perkawinan
khususnya bagi pegawai negeri. Sehingga sebagai seorang perempuan ia harus mengadu hal tersebut ke
orang asing ketimbang keluarganya sendiri.
Kelompok surat kedua diberi nama Pada Kakiku Ternganga Jurang, di Atas Diriku Melengkung
Langit Terang Cuaca, yang terdiri dari dua surat. Dalam suratnya tanggal 12 Januari 1900 yang ditujukan
untuk Nn. Zeehandelaar, terdapat kutipan kalimat “ Aku sayang akan orang Belanda, sayang, amat
sayang, dan banyaklah terima kasihku, karena banyaklah kepunyaannya yang boleh kami rasai sedapnya,
dan banyaklah yang kami rasai sedapnya, oleh karena pertolongannya.”
Pernyataan Kartini ini tentu saja bersifat subyektif dan dapat dimaklumi. Karena sebagai seorang
bangsawan tentu saja pelayanan dan yang didapatkannya dari pemerintah kolonial jauh lebih baik.
Apalagi tahun-tahun tersebut merupakan awal dari program Politik Etis yang memberikan sedikit
kemajuan bagi pribumi terutama kaum bangsawan. Tetapi Kartini mungkin lupa dalam menulis surat
tersebut, bahwa yang namanya penjajahan tentu saja lebih banyak buruk daripada baiknya. Ia mungkin
lupa bahwa apa yang ia sebut sebagai sebagai kepunyaan Belanda tersebut telah mengorbankan jutaan
jiwa rakyat Indonesia. Dan penulis rasa Kartini terlalu berlebih-lebihan dalam hal ini.
Kelompok surat ketiga yaitu Jika Mendapat Izin Dari Bapak, dan terdiri dari satu surat saja. Surat
tersebut ditulis pada awal tahun 1900 yang ditujukan untuk Ny. Ovienk-Soer. Surat tersebut pada intinya
mengungkapkan isi hati Kartini yang ingin sekali pergi ke Eropa untuk menuntut ilmu. Dalam surat ini
jelas memperlihatkan betapa hasrat Kartini untuk maju terutama di bidang pendidikan sangatlah besar.
Bagian keempat selanjutnya diberi nama Mendapat Karib Timbul Harapan, yang terdiri dari dua surat.
“Tolonglah kami, melawan loba laki-laki yang ganas, yang semata-mata me-mikirkan dirinya sendiri itu,
sifat loba iblis yang sepanjang masa mengazab menindas perem-puan….”, itulah salah satu isi surat yang
ditujukan Kartini untuk Ny. Abendanon pada bulan Agustus 1990.
Jika diperhatikan bahwa Kartini sangat membenci laki-laki terutama karena segala sifat buruknya yang
Kartini sebut dengan sifat “loba”. Melihat sikap Kartini yang boleh dibilang antipati terhadap laki-laki ini,
penulis bertanya-tanya apakah memang saat itu sebegitu bejatnya kah laki-laki? Sampai-sampai Kartini
begitu murkanya. Atau kemurkaan Kartini justru muncul karena melihat kondisi dalam internal
keluarganya sendiri, mengingat saudara-saudara Kartini yang laki-laki juga ada yang berpoligami. Tetapi
lepas dari itu, sikap Kartini jelas menunjukkan sikap perlawanan yang berdampak positif bagi posisi
perempuan di masa-masa selanjutnya.
Kelompok surat kelima yaitu Hampir Dapat, Lulus Juga. Yang kelima ini juga hanya terdiri dari satu
surat, yang ditujukan juga untuk Ny. Ovienk-Soer dan ditulis pada Agustus 1900. Dalam beberapa
suratnya yang ditujukan untuk Soer, Kartini selalu menyebut Soer dengan sebutan Ibu. “Ibuku, adalah
lagi yang lebih celaka daripada seorang yang lalai lengah, tiada minatnya sedikit juapun!” Itulah salah
satu kalimat yang ditulis Kartini dalam suratnya tersebut. Penyebutan Ibu pada Soer memang
menjelaskan bahwa Kartini sebagai seorang anak tidak begitu dekat dengan ibu kandungnya. Dalam
beberapa surat bahkan ia sampaikan hal demikian pada Ibu Soer-nya, bahwa ia sayang dan lebih tenang,
dekat, dan damai bersama bapaknya. Hal ini masih menjadi pertanyaan bagi penulis, mengapa Kartini
lebih dekat dengan bapaknya? Bukankah ia “membenci” laki-laki? Atau mungkin ia kecewa dengan
ibunya yang nasibnya sama dengan wanita-wanita lain isteri para bupati, entahlah.
Selanjutnya untuk bagian surat keenam yaitu Harapan Baru Berbahagia Pula, dan hanya terdiri dari satu
surat yang ditujukan untuk Ny. Zeehandelaar atau yang biasa dipanggilnya dengan Stella, tertanggal 23
Agustus 1900. Inti surat tersebut menggambarkan sedikit kebahagiaan hati Kartini, karena adanya
kunjungan Direktur Pengajaran, Ibadat dan Kerajinan, bersama dengan isteri. Tujuan kedatangan mereka
yaitu untuk mendengarkan langsung dari R.M. Adipati Ario Sosroningrat (ayah Kartini), selaku Bupati
Jepara yang mengusulkan agar di Jepara didirikan sekolah gadis Bumiputra. Dan ternyata usulan tersebut
mendapat tanggapan positif dari direktur, bahkan istri sang direktur sempat berbincang-bincang banyak
denga Kartini mengenai masalah perempuan.
Terlepas dari itu, ada kalimat menarik dalam surat Kartini tersebut yang menunjukkan bahwa Kartini
merupakan seorang bangsawan yang berani membongkar perilaku buruk para bangsawan, terutama
bangsawan laki-laki dalam memerlakukan perempuan. Seperti yang ia katakan, “Di daerah Gubernemen
perempuan itu sudah merasa celaka dengan seorang, dua, tiga, empat selir suaminya; di sana di daerah
Surakarta dan Yogyakarta yang demikian itu baru perkara kecil. Di sana hampir tiada seorang juga laki-
laki, yang perempuannya hanya satu, dalam kalangan bangsawan, terutama dalam lingkungan Susuhanan,
laki-laki itu sampai lebih dari 26 orang perempuannya.”
Kelompok surat ketujuh bernama Alangkah Bahagianya Hatiku, Bapak Mufakat, dan terdiri dari lima
surat. Di antara tujuh surat itu, penulis melihat bahwa surat yang ditujukan untuk Ny. Abendanon tanggal
1 November 1900 merupakan surat yang menunjukkan betapa senangnya hati Kartini. Memang lima surat
itu menunjukkan kegembiraan Kartini, tetapi su-rat yang keempat itulah yang paling menunjukkan
kegembiraannya. Kegembiraan karena yang dicita-citakannya semakin dekat dan akan
diraihnya.“Peluklah aku tekankan pada hati nyonya, tinjaulah ke dalam mataku yang bersinar-sinar ini,
tinjaulah melihat rasa bahagia hatiku! Kekasihku, aku boleh belajar jadi guru!” Itu-lah salah satu kalimat
yang ditulis Kartini dalam suratnya untuk Ny. Abendanon.
Yang kedelapan yaitu Selamat Berlayarlah Engkau, Cita-Cita. Kelompok surat yang kedelapan ini
berjumlah tiga surat. Penulis melihat Kartini memanglah seorang yang hebat, ia merupakan bangsawan
perempuan yang pikirannya jauh melampaui zamannya, terlepas dari beberapa kelemahan yang
dimilikinya. Sebagai orang yang bercita-cita sebagai guru, ternyata ia memiliki gambaran tentang
pendidikan yang bagus. Hal tersebut tercermin dalam suratnya yang ditujukan untuk Ny. Abendanon
tertanggal 21 Januari 1901,salah satu isinya berbunyi “Rasa-rasanya kewajiban seorang pendidik
belumlah selesai jika ia hanya baru mencerdaskan pikiran saja, belumlah boleh dikatakan selesai; dia
harus juga bekerja mendidik budi meski-pun tidak ada hukum yang nyata mewajibkan berbuat demikian,
perasaan hatinya yang me-wajibkan berbuat demikian”.
Kelompok surat yang kesembilan yaitu Kami Merasa Bersyukur Juga, Ya Tuhan, terdiri dari dua surat.
Menarik, ternyata walaupun Kartini dalam berbagai suratnya sering mengagung-agungkan Eropa, tetapi
di dalam dirinya tetap merupakan perempuan bangsawan Jawa, yang mencintai tanah airnya. “Boleh jadi
seluruh tubuh kami sudah dihinggapi pikiran perasaan Eropa, tetapi darah, darah Jawa itu, yang hidup dan
mengalir dengan panasnya di sekujur badan kami, sekali-kali tiadalah dapat dihilangkan.” Itulah salah
satu isi surat tanggal 1 Agustus 1901 yang ditujukan untuk Ny. Abendanon. Yang jika dipikir-pikir bahwa
sekitar tiga dasawarsa sebelum Sri Sultan Hamengkubuwono IX menyatakan hal yang hampir sama saat
dilantik sebagai Raja Yogyakarta, ternyata Kartini telah lebih dulu menunjukkan jiwa “nasionalisme”
setidaknya sebagai orang Jawa.
Bagian kesepuluh yaitu Mengenangkan Jalan Hidup Setahun, yang terdiri dari satu surat untuk Ny.
Abendanon dan ditulis tanggal 8 – 9 Agustus 1901. Tetapi sesungguhnya tuli-san Kartini tersebut bukan
surat, melainkan karangan kenangan terhadap pertemuan Kartini dengan Mr. Abendanon dan isteri saat
berkunjung ke Jepara satu tahun sebelumnya (1900). Dan penulis rasa tidak perlu untuk di-review.
Kelompok surat kesebelas bernama Mencari Pelipur dan Ketetapan Hati, yang terdiri dari empat surat.
Memang pantas kiranya jika Kartini digelari sebagai pahlawan Emansipasi Wanita, sebagai pelopor dan
perintis jalan perubahan bagi kaum perempuan. Hal demikian pula diakui oleh Kartini dalam suratnya
bulan Agustus 1901 yang ditujukan untuk Ny. van Kol. “Tujuan usaha kami ada dua maksudnya, ialah
turut berusaha memajukan bangsa kami dan merintis jalan bagi saudara-saudara kami perempuan, menuju
arah ke keadaan yang agak berdasarkan kemanusiaan”. Demikan salah satu kalimat dalam suratnya
tersebut.
Selanjutnya yang kedua belas yaitu Cita-Cita Mengawang-Awang, di Mana Izin Bapak? Yang ini hanya
terdiri dari satu surat saja yaitu untuk Ny. Abendanon yang ditulis pa-da tanggal 30 September 1901.
Dalam suratnya tersebut ada kalimat “Akan melakukan cita-cita kami itu kami hanya menantikan izin
Bapak saja lagi. Maafkanlah seorang Bapak, Stella, yang bimbang melepaskan anak-anaknya kepada
nasib yang tiada tentu”. Menarik untuk sedikit dilihat mengenai sikap bapaknya Kartini.
Penulis nilai setidaknya ada dua hal yang menyebabkan R.M. Sosroningrat merasa berat untuk
melepaskan Kartini dan adik-adik perempuannya. Pertama, sebagai seorang bangsawan ia pasti memiliki
sedikit rasa malu jika anak perempuannya berkehendak dan berkeinginan beda dengan putri-putri
bangsawan lainnya, walaupun ia mendukung keinginan Kartini untuk maju. Kedua, mungkin sang bapak
ini merasa kasihan terhadap putrinya, Kartini, jika melihat dalam berjuang untuk mencapai citanya,
Kartini dan adik-adiknya sendirian tanpa dibantu oleh putrid bangsawan lainnya. Sehingga ia cukup berat
untuk membiarkan Karti-ni melakukan apa yang dicitakannya.
Kelompok ketiga belas yaitu Tenang Berani Terus Berjuang, yang terdiri dari dua surat. Dalam suratnya
untuk Ny. Abendanon tanggal 31 Desember 1901, Kartini sekali lagi me-negaskan dirinya bahwa ia
hanya hendak membuka atau merintis jalan. Seperti yang ia tulis dalam suratnya, “Kami yakin, banyak
yang akan menurut, asal ada seorang yang berani me-mulai. Sungguh usaha itu tiadalah akan sia-sia”.
Selanjutnya yang keempat belas yaitu Bertambah Berani, Lawan Jadi Kawan. Untuk judul yang ini hanya
terdiri dari satu surat saja, yang ditujukan untuk Ny. Abendanon tanggal 3 Januari 1902. Memang patut
disayangkan apa yang dicita-citakan Kartini untuk mendidik kaum pribumi tidak pernah mendapat
persetujuan atau dukungan dari saudara-saudara pria-nya secara penuh. Padahal, andaikata para Raden-
Raden Mas itu mendukung jalan adiknya, maka akan sangat mudah bagi Kartini dalam mencapai
tujuannya. Sehingga tidak heran Kartini sangat berharap dapat bertemu dan ingin menjalin kerja sama
dengan laki-laki pribumi lain yang terpelajar, yang mengerti akan cita-citanya atau seti-daknya
memberikan masukan, nasehat, atau dorongan baginya, seperti misalnya Abdul Rivai. Hal itu dia tulis
dalam suratnya untuk Ny. Abendanon tersebut, “Besar cita-cita saya, dapat kiranya berhubungan dengan
semua laki-laki terpelajar dan ingin kemajuan, yang ada di Hin-dia ini”.
Kelompok surat yang kelima belas yaitu Berasa Masygul; Hati Tiga – Serangkai Ser-kah Satu. Kelompok
ini terdiri dari lima surat, salah satunya untuk Ny. Abendanon yang ditulis tanggal 28 Februari 1902.
Dalam suratnya tersebut ada kalimat seperti ini, “Teruslah ber-mimpi, teruslah bermimpi, bermimpilah
selama engkau dapat bermimpi! Bila tiada mimpi, apakah jadinya hidup! Kehidupan yang sebenarnya
kejam”. Kalimat-kalimat tersebut sampai sekarang ini masih terus digunakan oleh beberapa motivator
dalam memotivasi orang-orang untuk mencapai kesuksesan yang diimpikan, dan memang ada beberapa
yang merasa berhasil dengan bermimpi. Tetapi penulis perlu garis bawahi bahwa mimpi tanpa usaha dan
doa, akan menjadi mimpi pepesan belaka.
Selanjutnya kelompok surat ketujuh belas yaitu Mendapat Izin Bapak, Cahaya Tuhan Tumbuh Dalam
Ruh Kami, dan terdiri tiga surat. Inti ketiga surat tersebut yaitu kebahagiaan hati Kartini, sebab telah
mendapat izin dari ibu bapaknya untuk sekolah ke Negeri Belanda. Kartini sendiri tidak menyangka jika
bapaknya akan semudah itu mengizinkannya, bahkan ibunya juga demikian. Hal tersebut terungkap
dalam salah satu suratnya yang ditulis untuk Ny. Ovienk-Soer, pada tanggal 12 Juli 1902. “Ibu dan Bapak
telah mengizinkan sepenuh-penuhnya. Sangka kami hari akan badai dan ribut, kilat akan sabung-
menyabung dan guntur akan gemuruh”. Kelompok yang kedelapan belas yaitu Berseru Diri Kepada
Tuhan, Menyelam ke Dalam Lautan Jiwa Bangsa, yang terdiri dari enam surat. Dalam kelompok ini
Kartini masih mengungkapkan kebahagiaannya.
Kelompok kesembilan belas yaitu Betapa Aman Sentosanya Diri Kami, Kami Dilin-dungi Tuhan, Hati
Sanubari Telah Berubah. Di dalam suratnya untuk Tn. E.C. Abendanon tanggal 15 Agustus 1902, yang
merupakan satu dari dua belas surat dalam kelompok itu. Ada kalimat Kartini yang penulis rasa dijadikan
dasar oleh Abendanon dan Pane dalam memberikan judul buku ini.
“Habis malam datanglah siang. Habis topan datanglah reda. Habis perang datanglah menang. Habis duka
datanglah suka”, tulis Kartini. Dalam kelompok surat ini juga, Kartini menceriterakan bahwa sekolah
perempuan yang ia buka di sekitar pendapa bapaknya, telah banyak anak-anak yang masuk untuk belajar.
Bahkan ada beberapa orang tua dan bupati yang datang langsung ke tempatnya untuk menyerahkan anak-
anak mereka ke Kartini langsung.
Sementara kelompok kedua puluh yaitu Bukan ke Negeri Belanda, ke Betawi Sajalah, yang terdiri dari
delapan surat. Serta kelompok surat ke-21 berjudul Menanti-Nanti Jawaban Rekes, yang terdiri dari tiga
surat. Penulis menggabungkan kedua kelompok surat ini karena Kartini setelah mendapat nasehat dan
merenung sedalam-dalamnya, mengurungkan niatnya untuk belajar ke Belanda dan biarlah ke Betawi
saja. Tetapi ia tetap berharap mendapat rekes (beasiswa) dari pemerintah Hindia-Belanda walaupun
sekolahnya jadi Betawi. Selanjutnya kelompok ke-22 yaitu Menjalankan Cita-Cita, yang terdiri dari
empat surat. Saat-saat itu Kartini mulai sakit-sakitan, tetapi sedikit terobati karena sekolahnya sema-kin
banyak pula peminatnya. Di saat ini juga sebenarnya rekes untuk belajar ke Betawi telah keluar, namun
akhirnya ditolak karena beberapa waktu ke depan, Kartini akan melangsungkan perkawinan.
Untuk kelompok surat ke-23 dan ke-24 berjudul Masuk Pelabuhan dan Sebagai Istri, dan berjumlah 12
surat. Ia menceriterakan suka dukanya sebagai seorang isteri Bupati Rembang R. Adipati Djaja
Adiningrat. Walaupun ia selalu benci terhadap laki-laki, tapi ia tetap merasakan menjadi istri, untungnya
suami Kartini melek pendidikan sehingga apa yang diperjuangkan dan dilakukan Kartini selalu ia dukung
sekuat mungkin, sehingga hal itu menjadi pelipur bagi Kartini sendiri.
Kelompok surat yang terakhir yaitu Jika Masa Berkembang Tiba, Jauhkan Masa Kan Laju? Yang terdiri
dari tiga surat dan kesemuanya ditujukan untuk Ny. Abendanon, suratnya yang terakhir ditulis di
Rembang tanggal 7 September 1904. Surat itu berisi tentang ucapan terima kasih Kartini kepada beliau
atas nasehat dan dukungannya selama ini, sekaligus memberitahu bahwa tidak lama lagi, ia akan
melahirkan. Akhirnya tanggal 13 September 1904 anak laki-lakinya lahir, dan empat hari kemudian R.
Ajeng Kartini berpulang ke rahmatullah.
Tetapi seperti yang ia katakan sendiri dalam beberapa suratnya, bahwa ia hendak merintis dan membuka
jalan. Jalan baru yang dapat dilewati oleh perempuan pribumi, jalan untuk mencapai kehidupan yang
lebih baik, yaitu mendirikan sekolah putri. Selain daripada itu, ia hendak menjadi penunjuk jalan,
penunjuk jalan bahwa pe-rempuan sudah saatnya sejajar dengan laki-laki, dan waktu itu sudah mendekat
bahkan telah tiba. Sementara itu, Kartini melakukan perjuangan tersebut dengan kekuatan, tenaga, daya,
dan upaya sendiri, terutama secara batin ia sendirian. Bantuan rekes dan dukungan dari adik-adiknya itu
hanyalah penguat semata. Tetapi jika diperhatikan dalam surat-suratnya, Kartini sendirian dalam
memerjuangkan citanya demi kehidupan, harkat, dan martabat perempuan pribumi, barulah pada akhir-
akhir hayatnya ada sosok suami yang membantunya, tapi itupun sedikit sekali. Sehingga bagi penulis
tidaklah mengherankan dan sangat pantas jika R.A. Kartini mendapat gelar pahlawan nasional
“Emansipasi Wanita”.
Kartini menuliskan surat pertamanya pada usia 20, mencari perempuan ‘modern’ yang bisa diajaknya
berbagi gundah, berbagi mimpi dan mendukung mimpinya. Dalam konteks hidup Kartini saat itu,
perempuan modern yang dia lihat adalah perempuan Belanda, Stella Zeehandelaar, lima tahun lebih tua
dari Kartini, seorang feminis. Kartini berbagi gundah tentang keinginannya untuk bebas, mewujudkan
cita-cita menjadi guru, menjadi pendidik buat anak perempuan. Mendidik perempuan adalah mendidik
bangsa. Bahkan Kartini sudah paham itu sejak usianya 20tahun di 1899. Kartini mengerti, perempuan
adalah pendidik pertama dan utama bagi seorang anak. Bagaimana berharap Jawa bisa maju kalau kunci
dalam kehidupan di rumah tak berpendidikan?
Kartini mengkritik bangsawan Jawa yang selalu ingin dipuji, disanjung oleh rakyatnya. Karena itulah
Kartini mengusulkan, Pendidikan harus menyasar pada kaum bangsawan, mendidik tak hanya ilmu
pengetahuan tapi juga budi pekerti, bahwa semakin tinggi status seseorang, dia menanggung lebih besar
tanggungjawab terhadap bangsanya. Rakyat perlu contoh, dan bangsawan yang berilmu dan berbudi
pekerti adalah contoh yang baik. Karena itu pula ketika Kartini akhirnya mendirikan sekolah perempuan
pertamanya di rumah orang tuanya di Jepara, yang disasar adalah anak-anak bangsawan. Memanfaatkan
kedudukan sang ayah sebagai Bupati Jepara, Kartini punya ‘kekuatan’ untuk menarik perhatian keluarga
bangsawan untuk menitipkan anak-anak mereka padanya. Di satu sisi, Kartini memang beruntung karena
lahir di keluarga bangsawan dan menikahpun dengan bangsawan, bupati Rembang. Dia memanfaatkan
keistimewaan itu untuk mewujudkan cita-citanya, mendidik anak perempuan. Di sisi lain, justru karena
Kartini lahir dari keluarga bangsawan, tantangan yang dia hadapi tak muda. Bergulat dengan adat yang
mengukung perempuan, bergulat dengan ayah tercinta agar segala yang dia lakukan tak membuat ‘malu’
ayah dan keluarganya. Karena itu pula, Kartini harus merelakan mimpinya kandas untuk menjadi dokter
dengan beasiswa dari Belanda, lalu memilih mengambil ijazah guru di Betawi. Belum lagi dia mulai
sekolah, Kartini sudah harus menikah. Kartini telah memilih, dengan menikahi Bupati Rembang, tanpa
ijazah guru pun, dia tetap bisa mendirikan sekolah perempuan dan mengajar.
Kartini mengkritik pemerintah Kolonial Belanda dan bangsa Eropa yang selalu memandang rendah orang
Jawa sebagai orang tidak beradab. Apa itu peradaban? Peradaban bukan terletak pada tingginya ilmu,
kebiasaan minum-minum, merendahkan orang lain. Peradaban kata Kartini ada pada hati nurani dan
kebaikan.
Kartini mempertanyakan kedudukan agama dalam kehidupan manusia. Tidak cukupkah kita berbuat baik
terhadap sesama tanpa embel-embel sholeh? Buat Kartini, agama tertinggi adalah kebaikan hati apapun
bungkusnya, dia bisa menjadi Kristen, Budha, atau Muslim. Kartini menolak membaca al – Quran kalau
tidak ada terjemahan dalam bahasa Jawa atau Belanda yang dia mengerti. Menurut Kartini, apa guna
membaca sesuatu yang kita tidak paham karena kita bahkan tak mengerti apa yang kita baca.
Semua yang dituliskan dalam surat-suratnya sungguh berkesan bagi saya. Tentang bagaimana Pendidikan
seharusnya disampaikan, bukan dengan khutbah, tapi dengan bahasa sederhana dan popular yang mudah
ditangkap oleh orang awam. Bermain adalah proses belajar yang baik untuk anak-anak. Berpendidikan
Eropa tidak menjadikan kita rendah terhadap mereka, justru sebaiknya, menjadi punya harga diri dan
martabat dan bermanfaat untuk kemajuan bangsa.
Mencermati perjalanan hidup Kartini seperti itu, patut dipertanyakan dari mana Kartini punya
pikiran feminis pada awal-awal suratnya? Padahal, sejatinya Kartini adalah wanita Jawa yang ternyata
lebih menghayati kehidupan budayanya. Kesenangannya justru lahir dalam harmoni mengikuti ritme
budaya tempat sekian lama ia hidup dan sudah mendarah daging sejak lahir. Ia tidak pernah senang
menjadi wanita pemberontak seperti yang diajarkan para feminis.
Menjelang abad ke-20 saat Kartini bersekolah adalah saat ide-ide politik etis yang dipengaruhi kelompok
liberal di Belanda tengah menjadi arus wacana utama di Hindia Belanda. Selain karena arus wacana
politik etis, karena bersekolah di sekolah Belanda sudah tentu Kartini akan menyerap berbagai paham
yang tengah berkembang di Barat. Salah satu yang tidak bisa dihindari adalah liberalisme. Pandangannya
tentang kedudukan laki-laki dan perempuan pun hampir bisa dipastikan banyak terpengaruh pandangan-
pandangan liberal yang diajarkan guru-guru belandanya di sekolah. Dari sekolah Belanda ini pula Kartini
bertemu dengan buku-buku dan surat kabar yang berhaluan liberal. Pengaruh feminis yang paling
meyakinkan dalam surat-suratnya adalah teman-teman korespondensinya sendiri. Paham feminis yang
muncul dalam surat-surat Kartini hampir bisa dipastikan berasal dari dua sumber di atas: sekolah Belanda
dan teman-teman Belandanya. Feminisme bagi Kartini hanya sebatas wacana yang bergolak dalam
pikirannya. Selebihnya ia sampaikan itu dalam surat-suratnya. Awal pemikiran kartini merupakan suatu
bentuk feminism Liberal, dimana feminism liberal menganggap bahwa suborinasi perempuan terjadi
karena adanya Setting hukum dan budaya yang patriarki sehingga harus adanya rekontruksi hukum dan
budaya. Feminism liberal juga mengingkan keseteraan antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga
baik secara perlakuan maupun sopan-santun. Terlihat dari isi surat kartini yang tertuang dibawah ini
menandakan bahwa awalnya kartini merupakan feminism liberal. Seorang gadis harus perlahan-lahan
jalannya, langkahnya pendek- pendek, gerakannya lambat seperti siput, bila berjalan agak cepat, dicaci
orang, disebut "kuda liar". [Surat Kartini kepada Stella, 18 Agustus 1899]. Pemikiran Kartini mengalami
transformasi dari feminism liberal menjadi ekofeminisme karena didasari oleh penafsiran ulang tentang
budaya jawa oleh kartini.
Adapun kritik terhadap pemikiran Kartini yang dikemukan oleh penulis adalah sebagai berikut :

 Adanya ketidak konsistenan pemikrian Kartini tentang sebuah ideologi dan juga tatanan hukum
dan budaya jawa.
 Kartini hanya melakukan gerakan dipulau jawa, dan hanya mengambil sudut pandang dari
kebudayaan jawa saja
 Kartini berasal dari keluarga yang kaya dan juga sebuah keberuntungan mendapatkan suami yang
memberikan kebebasan kepadanya, hal yang perlu digarisbawahi adalah bagaimana dengan
perempuan yang tidak memliki kebebasan dari suami dan keluarga dan juga berasal dari kalangan
miskin.
 Kartini melakukan transformasi pemikiran yang hanya karena dia tetap mendapat keuntungan
ketika tetap berada dalam kungkungan patriarki
Kelebihan dari buku Habis Gelap Terbitlah Terang adalah sampul yang menarik dan bahasanya mudah
dipahami dengan ejaan dan diksi yang jelas. Buku ini sangat mengispirasi banyak orang khusunya di
kalangan wanita untuk bias menjadi manusia yang lebih berjiwa kepemimpinan.
Sedangkan kekurangan buku tersebut adalah beberapa kalimat dalam cerita tersebut terlalu bertele-tele
atau cerita yang di ulang-ulang. Kelemahan lain yang terdapat pada buku ini terletak pada gambar yang
disajikan kurang menarik karena gambar tidak berwarna,sehingga pembaca kurang tertarik untuk
mengamati gambar yang disajikan di dalam buku ini. Namun,kekurangan dari buku ini dapat tertutupi
dengan banyak kelebihan yang dimiliki buku ini,sehingga kekurangan buku ini tidak nampak jelas.

Anda mungkin juga menyukai