Anda di halaman 1dari 4

Bab I

Pendahuluan

Rohana Kudus merupakan tokoh wanita dari Sumatra Barat yang menerbitkan surat kabar
perempuan  Soenting Melajoe pada 1912. Ia pun memperjuangkan pendidikan bagi perempuan di
Minangkabau dengan membangun sekolah keterampilan Kerajinan Amai Setia dan Roehana
School. Ia disebut sebagai tokoh yang berhasil menyuarakan perubahan bagi perempuan.

Rohana Kudus merupakan tokoh wanita dari Sumatra Barat yang menerbitkan surat kabar
perempuan  Soenting Melajoe pada 1912. Ia pun memperjuangkan pendidikan bagi perempuan di
Minangkabau dengan membangun sekolah keterampilan Kerajinan Amai Setia dan Roehana
School. Ia disebut sebagai tokoh yang berhasil menyuarakan perubahan bagi perempuan.
Rohana Kudus lahir di Koto Gadang, Kabupaten Agam, Sumatra Barat, pada 20 Desember 1884
dan meninggal pada 17 Agustus 1972 di Jakarta. Ayahnya bernama Mohamad Rasjad Maharadja
Soetan sedangkan ibunya bernama Kiam. Nama Kudus sendiri diambil dari nama suaminya,
Abdul Kudus. Rohana Kudus juga merupakan kakak tiri (saudara seayah) dari Sutan Sjahrir.
Ayahnya menikah dengan ibu Sjahrir setelah ibunya meninggal. Rohana juga merupakan sepupu
Haji Agus Salim, karena kakek Rohana dan Agus Salim saudara kandung . Beliau juga memiliki
keponakanseorang  penyair terkenal yaitu Chairil Anwar.

Sejak kecil Rohana disapa dengan panggilan “One” oleh ayah dan adik-adiknya. Ia tidak
bersekolah, karena umumnya perempuan Minangkabau waktu itu tidak dikirim ke sekolah
formal. Meski demikian ia gemar belajar dengan membaca buku dan Koran. Sejak usia 8 tahun
ia sudah mahir menulis dalam Bahasa Melayu, Arab, dan Arab Melayu dan kegiatannya tersebut
terus berlanjut hingga dewasa. Dari seorang tetangganya yang merupakan seorang istri pejabat
Belanda Rohana diajarkan keterampilan perempuan seperti menjahit, menyulam, merenda,
merajut. Tak hanya itu, Rohana pun dikenalkan dengan berbagai majalah berbahasa Belanda.

Saat berumur 24 tahun Rohana menikah dengan Abdul Kudus, keponakan ayahnya. Dia seorang
aktivis dan notaris yang sering menulis kritik terhadap pemerintah Belanda di koran-koran lokal.
Suaminya adalah orang yang berpikiran maju. Dia sangat mendukung cita-cita Rohana untuk
memajukan kaum perempuan Minangkabau. Waktu itu untuk memajukan kaum perempuan di
Sumatra Barat bukan hal yang mudah.

Pada 1911 Rohana mendirikan sekolah Kerajinan Amai Setia, sekolah keterampilan
untuk perempuan agar bisa baca-tulis, menjahit, menyulam. Disana diajarkan pula pengetahuan
umum dan pengetahuan agama. Rohana melihat bahwa saat itu tidak ada koran khusus untuk
perempuan di Minangkabau. Maka ia mengirim surat berisi permohonan kepada pemimpin
redaksi Oetoesan Melajoe, Datuk Sutan Maharadja. Rohana meminta Sutan agar bersedia
mendanai berdirinya koran untuk perempuan di Minangkabau. Sutan Maharadja yang berpikiran
maju terkesan dengan surat Rohana hingga ia menemui Rohana untuk membicarakan penerbitan
pertama koran tersebut.
Surat kabar tersebut dinamai Soenting Melajoe yang ditujukan bagi perempuan Melayu. Sunting
sendiri artinya perempuan.  Disini Rohana menjadi pemimpin  redaksinya dengan dibantu Ratna
Djuwita yang merupakan anak dari Datuk Sutan Maharadja. Di surat kabar ini Rohana banyak
menyoroti kehidupan perempuan. Ia juga menolak poligami karena akan merugikan perempuan
dan keluarga.

Pada 1916 Rohana  ditimpa banyak cobaan, mulai dari tuduhan korupsi hingga tuduhan
berselingkuh dengan pejabat Belanda. Akibat penggelapan uang ia nyaris dicopot dari jabatannya
sebagai direktris di Sekolah Amai dan beberapa kali harus mengikuti persidangan. Meski
tuduhan ini tidak terbukti, Rohana menolak untuk menempati kembali jabatannya di Sekolah
Amai. Ia memilih pindah ke Bukittinggi dan mendirikan sekolah disana yang dinamai Roehana
School. Kali ini Rohana juga mengajar murid laki-laki.

Hingga usia tua, Rohana sering berpindah tempat tinggal mengikuti anak tunggalnya, Djasma
Juni. Ia pernah merantau ke Lubuk Pakam dan Medan dan memimpin surat kabar Perempuan
Bergerak. Ketika kembali ke Padang ia menjadi redaktur Surat Kabar Radio yang diterbitkan
oleh Tionghoa-Melayu di Padang. Beliau juga menjadi redaktur surat kabar Cahaya Sumatera.

Dua tahun setelah ia meninggal, Rohana mendapat penghargaan dari Pemerintah Daerah Sumatra
Barat sebagai wartawati pertama. Sednagkan pada 1987 Dewan Pertimbangan Persatuan
Wartawan Indonesia memberinya gelar penghargaan perintis pers.

Bab III
Kesimpulan

Roehana adalah seorang perempuan yang mempunyai komitmen yang kuat pada pendidikan
terutama untuk kaum perempuan. Pada zamannya Roehana termasuk salah satu dari segelintir
perempuan yang percaya bahwa diskriminasi terhadap perempuan, termasuk kesempatan untuk
mendapat pendidikan adalah tindakan semena-semena dan harus dilawan. Dengan kecerdasan,
keberanian, pengorbanan serta perjuangannya Roehana melawan ketidakadilan untuk perubahan
nasib kaum perempuan.
Walaupun Roehana tidak bisa mendapat pendidikan secara formal namun ia rajin belajar dengan
ayahnya, seorang pegawai pemerintah Belanda yang selalu membawakan Roehana bahan bacaan
dari kantor. Keinginan dan semangat belajarnya yang tinggi membuat Roehana cepat menguasai
materi yang diajarkan ayahnya.

Anda mungkin juga menyukai