Anda di halaman 1dari 8

HANDOUT MATERI

Jalur Perdagangan Maritim Nusantara: Cerita dari Masa Lalu, Sebuah Upaya
Bagi Masa Kini, admin | 21 Februari 2022

Sekilas Tentang Jalur Sutera


Jalur Sutera mulai terbentuk kira-kira pada 200 tahun sebelum Masehi. Menurut
Philip D. Curtin (1998) dalam Cross-Cultural Trade in World History, pada abad ke-2
SM mulai terbentuk jalur perdagangan darat melewati Asia Tengah. Jalur ini
menghubungkan Cina (Tiongkok) dan Laut Tengah. Terbentuknya jalur darat ini juga
diikuti dengan tumbuhnya jalur pelayaran laut yang menghubungkan Tiongkok, Laut
Tengah, dan Jepang. Rute pelayaran ini terus berkembang mulai dari Laut Merah,
Teluk Persia, dan India. Selain itu juga muncul rute pelayaran mulai dari India, Asia
Tenggara, Tiongkok, dan Jepang mengikuti arah angin muson yang sedang
berhembus.
Andre Gunder Frank (1998) melalui ReOrient: Global Economy in the Asian
Age menuliskan bahwa komoditas utama Jalur Sutera (darat) ialah sutera, emas,
tekstil, besi, dan perak. Berbeda dengan jalur darat, komoditas utama jalur laut bukan
sutera melainkan komoditas rempah. Rempah menjadi komoditas utama perdagangan
jalur maritim antara India, Mesir, dan Eropa yang sudah terjadi beberapa abad
sebelum masehi. Komoditas rempah ini antara lain ialah lada dan kayu manis dari
Srilanka. Sementara itu jalur maritim dari India ke timur hingga Nusantara dan
Tiongkok pada waktu itu belum berkembang dengan baik.
Menurut D.G.A Hall (1988) dalam Sejarah Asia Tenggara, Jalur Rempah Nusantara
mulai berkembang ketika terjadi konflik kerajaan-kerajaan di Asia Tengah menjelang
Tahun Masehi yang mengganggu perniagaan emas India. Hal ini menyebabkan India
membeli mata uang emas dari Kerajaan Romawi. Perniagaan mata uang emas ini
kemudian dilarang oleh Kaisar Vespasianus yang berkuasa pada tahun 69-79 M
karena berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi Kerajaan Romawi. Inilah yang
memaksa India untuk mencari sumber emas baru di negeri-negeri Timur. Karya sastra
India cukup banyak memberikan informasi bahwa ada emas di negeri Timur. Ternyata
emas itu adalah rempah-rempah yang menjadi buruan orang-orang Eropa. Akhirnya,
perniagaan India mengambil arah baru menuju timur.
Hendrik E. Niemeijer (2015) dalam makalah yang berjudul “The World of Juragan
and Nahkoda in the Java Sea Region 1684-1726” menyatakan bahwa rempah
Nusantara memiliki kualitas dan variasi yang lebih lengkap daripada rempah Malabar
India. Selain itu, harga rempah Nusantara hanya sepertiga dari harga rempah Malabar.
Komoditas rempah Nusantara akhirnya mampu menyingkirkan komoditas rempah
dari Srilanka di kawasan perdagangan Laut Mediterania pada abad 1 M. Ketika
datang ke Nusantara, para pedagang India membawa komoditas tekstil untuk ditukar
dengan komoditas rempah. Ekonomi barter menjadi salah satu ciri khas pada masa itu.
Selain itu, beras India juga menjadi alat barter untuk mendapatkan komoditas rempah.
Hubungan dagang yang terjalin antara Nusantara dan India ini semakin membuka
Jalur Rempah Nusantara lebih dikenal oleh bangsa yang lebih luas.
Jalur perniagaan maritim Nusantara dengan Tiongkok terjadi pada abad 5 M
sebagaimana diungkapkan oleh O.W. Wolters (1967). Menurut Wolters, para pelaut
Nusantara sudah mempunyai kemampuan berlayar sampai ke negeri Tirai Bambu. Hal
ini dibuktikan dengan berbagai macam jejak tulisan para pejabat istana Tiongkok
tentang kedatangan delegasi dagang dari berbagai kerajaan di Nusantara. Menurut
Anthony Reid (2002), memasuki abad ke-12 relasi perniagaan yang terjalin antara
Nusantara dan Tiongkok banyak menggunakan kapal-kapal Nusantara sebagai sarana
transportasinya
Andre Gunder Frank (1998) menyatakan bahwa komoditas rempah merupakan
komoditas utama yang diburu oleh para pedagang dari negeri Tiongkok. Komoditas
rempah ini sering ditukar dengan kain sutera dalam transaksi tukar menukar barang
antara kedua belah pihak. Jadi, keberadaan kain sutera di Nusantara bukan merupakan
komoditas pokok yang diburu oleh para pedagang Nusantara. Tujuan utama para
pedagang Nusantara adalah menjual komoditas rempah kepada para pedagang
Tionghoa dan bukan membeli sutera dari mereka. Dengan demikian hingga abad ke-
12 hubungan perniagaan antara Tiongkok dengan Nusantara masih didominasi oleh
komoditas rempah. Hal ini pun membuat Anthony Reid (2002) menyatakan bahwa
jalur pelayaran dan perniagaan di Nusantara lebih cocok disebut sebagai Jalur
Rempah daripada Jalur Sutera.
Pengetahuan Pertanian Tertua
Jalur Rempah Nusantara bukanlah cerita khayalan. Kekayaan rempah Nusantara
adalah hasil dari teknologi pertanian yang paling tua di dunia. Stephen Oppenheimer
(2010) menjelaskan dalam buku yang berjudul Eden In The East bahwa dunia
pertanian yang tertata rapi di Indonesia terbukti mendahului dunia pertanian pada
masa Revolusi Neolitikum di Timur Jauh (Rusia dan negeri sekitarnya). Budidaya
ketela rambat dan talas di Indonesia tercatat pada 15.000 dan 10.000 tahun SM
(Sebelum Masehi). Budidaya beras di Thailand tercatat berusia 6.000 sampai 7.000
tahun SM (Sebelum Masehi). Teknologi pertanian di Asia Tenggara terbukti jauh
lebih tua daripada Tiongkok.
Penemuan artefak zaman perunggu di Ban Chiang (Thailand Selatan) dan Phung
Nguyen (Vietnam Utara) berusia kurang lebih 5.000 dan 6.000 tahun. Umur artefak
ini jauh lebih tua daripada Zaman Perunggu di Timur Dekat yang tertua (kawasan
Mesopotamia seperti Syiria, Palestina, dan Mesir). Artinya, ini terjadi sebelum
Tiongkok mencapai tahap kemajuan seperti ini.
Oppenheimer mengumpulkan kisah 'banjir setinggi gunung' dari Sabang sampai
Merauke. Oppenheimer pun menduga, suku-suku di pedalaman Indonesia khususnya
di Indonesia bagian timur adalah keturunan dari mereka yang selamat pada saat
Zaman Es, tanpa harus bermigrasi ke luar Indonesia. Dalam sebagian dongeng mereka,
sang kakek moyang cukup naik ke puncak gunung yang tinggi. Beberapa hewan
memegang peranan penting dalam bencana alam itu. Misalnya saja penduduk Alor di
NTT, menurut mereka ikan gergaji raksasa menenggelamkan benua dan memotong-
motongnya menjadi beberapa pulau kecil.
Masyarakat di Pulau Seram punya dongeng nenek moyang mereka, yang
diselamatkan dari banjir oleh elang laut yang membawa mereka ke sebuah pulau.
Masyarakat Toraja pun punya dongeng banjir setinggi gunung dan mereka
menyelamatkan diri naik palung tempat makan babi. Suku Dayak Ot Danum di Barito,
Kalimantan Selatan juga punya kisah banjir yang menenggelamkan benua kecuali dua
gunung, dan mereka menyelamatkan diri ke gunung itu. Suku Dayak Iban memiliki
sosok Nabi Nuh versi mereka bernama Trow yang menyelamatkan diri naik lesung
membawa hewan piaraan. Oleh karena itu, Oppenheimer menilai kisah banjir di
Nusantara adalah orisinil dan sudah ada sebelum masuknya Islam dan Kristen ke
kawasan ini. Itu sebabnya dia berpendapat bahwa Indonesia dan kawasan Asia
Tenggara adalah benua yang tenggelam saat banjir besar di akhir Zaman Es.
Atap bangunan rumah adat Toraja menjadi salah satu arsitektur tradisional yang
paling gampang dikenal di tanah air. Materialnya adalah Uru, kayu lokal seperti kayu
jati dari Pulau Jawa. Selalu menghadap arah utara dan atapnya melengkung seperti
perahu. Model atap ini dikenal dengan nama tongkonan. Tongkonan menggambarkan
perahu yang digunakan oleh Puang Barulangi pada saat berlayar menuju Toraja
ribuan tahun silam. Demikian mitologi yang diceritakan oleh C.F Palimbong, Ketua
Aliansi Masyarakat Toraja Utara pada Tempo yang dimuat di Majalah Tempo edisi 13
Desember 2010. Barulangi dalam mitologi ini diyakini sebagai manusia pertama
ciptaan Tuhan di Toraja berasal dari daerah utara yang bernama Pongko, karena itu
rumah adat Toraja selalu menghadap ke utara.
Menurut Oppenheimer, kisah banjir dalam mitologi seperti di Toraja merupakan salah
satu dasar bahwa peradaban dunia berasal dari Indonesia (Asia Tenggara), terutama
dari wilayah Paparan Sunda, yang sekarang sudah tenggelam menjadi Laut Jawa dan
Laut Cina Selatan. Paparan Sunda atau Sundaland merupakan wilayah dataran luas
yang berada di wilayah Indonesia dan sekitarnya saat ini. Sebelum dipisahkan oleh
laut karena Zaman Es berakhir sekitar 6.000 tahun sebelum Masehi. Saat itu,
Sumatera, Jawa, Kalimantan masih menyatu dengan Asia Daratan. Daratan ini juga
menghubungkan Kalimantan dengan wilayah Tiongkok Selatan.
Oppenheimer meyakini bahwa sebelum Paparan Sunda Tenggelam, penduduknya
sudah memiliki kemampuan teknologi pertanian, teknologi perikanan, dan tembikar.
Kemampuan pertanian ini merupakan tertua di dunia. Belum pernah tercatat ada
masyarakat di belahan dunia lain yang memiliki kemampuan seperti ini. Saat Paparan
Sunda terendam oleh banjir besar Zaman Es, penduduknya menyelamatkan diri
berpencar ke seluruh dunia. Pelayaran ke arah Barat membawa nenek moyang bangsa
Indonesia ini sampai Benua Eropa. Pelayaran ke arah timur mengantar mereka
sampai Benua Amerika dengan melewati Selat Bering, yang masa ribuan tahun lalu
masih berupa daratan sehingga masih dapat dilewati dengan berjalan kaki setelah naik
perahu.
Selanjutnya, Oppenheimer menuturkan bahwa peradaban tua Sumeria (5.000 SM)
sangat dipengaruhi oleh peradaban orang-orang yang berbahasa Austronesia. Sumeria
adalah salah satu peradaban kuno di Timur Tengah, terletak di sebelah selatan
Mesopotamia (tenggara Irak). Austronesia adalah rumpun bahasa yang antara lain
mencakup Bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa lain di Asia Tenggara. Teknologi
gerabah di Sumeria sangat mirip dengan teknologi yang sama di Austronesia. Gerabah
yang ditemukan di Ur, salah satu kota tua di Sumeria, memiliki kesamaan dengan
teknologi gerabah peradaban Austronesia seperti dalam pewarnaan cat merah. Ada
pula kesamaan dalam teknologi pembuatan patung dengan cara rajah atau tato. Di
Sepik Tengah, Papua Nugini, suku-suku asli masih mempraktikkan teknologi rajah
ini.
Selain teknologi, nenek moyang bangsa Indonesia juga menyebarkan mitologi atau
dongeng banjir ke seluruh dunia. Kisah banjir bandang Sumeria memiliki kesamaan
dengan banjir zaman Nabi Nuh. Penemuan tablet huruf paku di Sumeria memberikan
informasi banjir Gilgamesh yang diduga merupakan banjir yang bermula dari
tenggelamnya Paparan Sunda di Nusantara pada Zaman Es. Mitologi itu bercerita
tentang Gilgamesh yang bertemu dengan Utnapishtim yang mengaku selamat dari
banjir besar di negeri sebelah timur dengan naik perahu atau kapal besar.
Tulisan Oppenheimer ini menunjukkan bahwa nenek moyang kita memang pelaut
dengan karakter utama mengarung luas samudra, menerjang ombak tiada takut, dan
biasa menempuh badai. Tidak mengherankan jika dikemudian hari orang-orang
Nusantara berlayar ke berbagai penjuru lautan untuk berdagang rempah-rempah.
Cerita Jalur Rempah Beberapa Dekade Sebelumnya
Ada kisah yang ironis. Beberapa dekade ke belakang tafsir Jalur Rempah ini memang
masih terasa asing di negeri sendiri. Hal ini terbukti dengan penerbitan buku dari
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI seperti: Cirebon sebagai Bandar Jalur
Sutera, Kumpulan Makalah Diskusi Ilmiah (1996), Ternate sebagai Bandar Jalur
Sutera, Kumpulan Makalah Diskusi Ilmiah (1997), dan Diskusi Ilmiah Bandar Jalur
Sutera (1998).
Buku-buku di atas merupakan hasil berbagai Seminar Bandar di Jalur Sutera yang
digelar oleh Dirjen Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan hampir
setiap tahun. Diawali dengan Seminar Bandar Surabaya (1988), Seminar Bandar
Tuban (1990), Seminar Bandar Demak (1991), Seminar Bandar Pasai (1992), Seminar
Bandar Banten (1993), Seminar Bandar Sunda Kelapa (1994), Seminar Bandar
Cirebon (1995), Seminar Bandar Ternate (1996), dan terakhir Seminar Bandar Jakarta
(1997).
Penerbitan buku-buku yang memunggungi Jalur Rempah dengan Jalur Sutera di atas
menunjukkan bahwa dunia intelektual pada beberapa dekade lalu masih terjebak
terhadap narasi-narasi dari negeri asing. Kita lupa untuk membaca ulang, meneliti
ulang, menganalisa ulang, dan mengambil kesimpulan ulang wacana Jalur Sutera
yang begitu saja dilabelkan pada Indonesia. Dan, narasi Jalur Rempah yang terjadi di
Nusantara justru terabaikan.
Padahal sejarah dunia mencatat bahwa karena hasrat ingin menguasai Pulau Run
(Pulau Rempah) Belanda rela menukarnya dengan Pulau Manhattan sebagaimana
tercatat dalam Perjanjian Breda pada tanggal 31 Juli 1667 di Kota Breda, Belanda.
Pasal 3 Perjanjian Breda memutuskan Pulau Run di Maluku yang merupakan daerah
jajahan Inggris menjadi milik Belanda. Adapun Pulau Manhattan (Nieuw Amsterdam)
di Amerika yang merupakan jajahan Belanda resmi menjadi milik Inggris.
Pala merupakan salah satu komoditas rempah yang pada masa lalu hanya tumbuh di
Kepulauan Banda, termasuk di Pulau Run. Para pedagang dari Melayu, Tiongkok, dan
India datang ke Kepulauan Banda untuk membeli pala untuk kemudian dijual melalui
kota Bandar utama seperti Malaka dan Calicut. Pala ini selanjutnya dibeli oleh para
pedagang Arab dan dibawa melalui Teluk Persia dan Laut Merah, menuju Jazirah
Arab dan Alexandria. Setelah itu, pala diekspor menuju Benua Eropa. Di Benua Biru,
harga setengah kilogram pala setara dengan tujuh lembu jantan gemuk.
National Geographic mencatat bahwa harga pala dapat mencapai enam puluh ribu kali
lipat dari harga beli di Kepulauan Banda. Pala diburu karena diyakini dapat
meningkatkan vitalitas maupun bahan pengawet. Tanpa buah pala, kaum bangsawan
dan borjuis Eropa hanya seperti menyantap bangkai dan makanan basi. Ketika
Kekaisaran Bizantium runtuh, pala raib dari peredaran di Eropa karena para pedagang
sulit untuk melewati Alexandria. Kesultanan Usmani menutup gerbang selatan Eropa
tersebut. Para pelaut Eropa dan kongsi-kongsi dagang mereka akhirnya mulai mencari
tanah asal pala dan menemukannya di pulau-pulau Kepulauan Banda.
Penjajahan Belanda di Kepulauan Banda tercatat dalam sejarah dunia sebagai
penjajahan terkejam di dunia. Tanpa kenal ampun, tentara-tentara VOC membantai
penduduk asli kepulauan rempah ini sehingga dari lima belas ribu jiwa hanya tersisa
enam ratus orang saja. Sungguh merupakan aksi genosida khas penjajah Eropa demi
menguasai “emas” Nusantara.
Setelah kedatangan Belanda, Kepulauan Banda juga kedatangan penjajah Eropa
lainnya dari Kerajaan Inggris. Inggris akhirnya dapat menguasai Pulau Run pada
tahun 1616. Kehadiran dua kerajaan penjajah dari Eropa ini mau tidak mau akhirnya
memicu terjadinya perang antara kedua pihak. Perang ini berlangsung selama lima
tahun dan Belanda sukses menguasai 10 dari 11 pulau di Banda kecuali Pulau Run
yang diduduki Inggris. Akhirnya, demi “emas” Nusantara, Pulau Run dengan luas 6
kilometer persegi ditukar dengan Pulau Manhattan yang lebih luas 18 kali lipat Pulau
Run. Kerajaan Belanda pun sukses menancapkan benderanya di seluruh Kepulauan
Banda yang mengandung “emas” Nusantara, yaitu pala.
Tukar guling Pulau Run dan Manhattan adalah bukti bahwa perdagangan jalur
maritim dunia lebih didominasi oleh komoditas rempah dan bukan kain sutera. Tidak
ada catatan sejarah dunia yang menceritakan tukar guling pulau kecil dengan pulau
besar hanya karena ingin menguasai kain sutera.
Tiongkok, sebagai pemilik Jalur Sutera, mampu menjaga daya tariknya di abad 21 ini
dengan meluncurkan program One Belt, One Road / OBOR–reinkarnasi dari Jalur
Sutera masa kini yang mengagungkan visi globalisasi negeri tirai bambu. Program ini
dideklarasikan langsung oleh Xi Jinping pada 2013 dengan melibatkan berbagai
negara mulai dari Asia, Eropa, dan Afrika. Jalur Sutera modern ini meliputi jalur darat
dan laut. Jalur darat mulai dari Eropa Timur sampai ke Eropa Barat. Jalur laut melalui
Vietnam, Malaysia, Indonesia, India. Dari Asia Jalur Sutera akan melewati Afrika
Timur yaitu menuju Kenya, Somalia dan melewati Teluk Aden, dan Laut Merah.
Setelah itu, dari Afrika Timur akan berlanjut ke Afrika Utara melalui Terusan Suez
dan menuju ke Italia.
Yantina Debora (2017) mengungkapkan bahwa bagi Tiongkok, Jalur Sutera akan
memperkuat kerjasama keuangan, memperkuat koneksi jalan atau infrastruktur,
dengan membentuk jalur transportasi yang kuat dengan negara lain. Mulai dari
Tiongkok ke Eropa Barat dan dari Asia Tengah ke Asia Selatan. Hal ini akan
membantu negara-negara ekonomi rendah yang berada dalam Jalur Sutera dalam hal
pengembangan infrastruktur. One Belt, One Road bermaksud untuk memperkuat
fasilitas perdagangan, dengan fokus pada penghapusan hambatan dagang (trade
barriers) dan mengambil langkah atau kebijakan guna mengurangi biaya perdagangan
dan investasi. Termasuk memperkuat komunikasi kebijakan terkait kerjasama
ekonomi.
Jalur ini memiliki potensi pasar 3 miliar jiwa. Di Asia Tenggara saja, Jalur Sutera
maritim punya populasi sekitar 600 juta jiwa. Tiongkok memang tak main-main,
Presiden Xi Jinping juga berjanji menyediakan 8 triliun dolar AS untuk pembangunan
infrastruktur di 68 negara. Kini menurut Tiongkok, pihaknya sudah berinvestasi
sebesar 50 miliar dolar AS pada 20 negara di sepanjang rute Jalur Sutera. Dalam
sebuah sambutan di forum Belt and Road Forum (BRF) di Beijing, 14 Mei 2017,
Presiden Xi Jinping secara tegas menyampaikan gagasannya di depan 100 perwakilan
negara terlewati Jalur Sutera. Pidatonya yang berjudul “Work Together to Build the
Silk Road Economic Belt and The 21st Century Maritime Silk Road” semakin
menegaskan janji manis Tiongkok di megaproyek ini. "Kami akan berkontribusi
merealisasikan prakarsa Jalur Sutera, sebuah proyek abad ini, yang akan memberikan
keuntungan banyak orang di seluruh dunia," kata Xi dikutip dari Xinhuanet.
Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Menurut Singgih Tri Sulistiyono
(2020) ketika Tiongkok meresmikan OBOR pada tahun 2013, kalangan sejarawan
Indonesia baru mulai bangun tidur. Kesadaran untuk membangkitkan Jalur Rempah
ditandai dengan berbagai macam Seminar Jalur Rempah. Seminar pertama
adalah Borobudur Writer and Cultural Festival yang mengambil tema Arus Balik:
Memori Rempah dan Bahari Nusantara antara Kolonial dan Poskolonial Tahun 2013.
Dua tahun kemudian Museum Nasional RI menyelenggarakan Pameran dan Seminar
Jalur Rempah Pelayaran dan Perniagaan di Nusantara. Dalam pertemuan ini muncul
ide untuk membaca ulang “Jalur Sutera Maritim” menjadi “Jalur Rempah” karena
rempah adalah komoditas utama. Proses ini terus berjalan dengan usulan kepada
UNESCO agar Jalur Rempah menjadi Jalur Budaya Warisan Dunia sebagaimana Jalur
Sutera.
Cerita dari Dalam Negeri
Sambil menunggu pemerintah mengusulkan jalur budaya ini diakui UNESCO, upaya
membumikan Jalur Rempah bagi masyarakat Indonesia adalah kewajiban setiap orang.
Dalam hal ini, dunia pendidikan dapat menjadi pintu gerbang pengetahuan Jalur
Rempah bagi generasi muda Indonesia dalam membaca peran orang-orang Indonesia
dalam sejarah dunia. Internalisasi Jalur Rempah melalui dunia pendidikan diharapkan
dapat menjadi percakapan sehari-hari dan tidak jauh dari panggang api.
Proses ini tak perlu dimaknai dengan perubahan kurikulum atau mengganti buku
pelajaran. Guru bisa membaca buku-buku tentang jalur rempah untuk selanjutnya
disampaikan kepada peserta didik sesuai dengan mata pelajaran yang diampu.
Pengetahuan akan Jalur Rempah ini juga dapat didistribusikan ke berbagai lokasi oleh
Kemdikbud dalam bentuk bantuan buku untuk perpustakaan sekolah, maupun taman
baca. Di mana semua ini bermuara pada keyakinan untuk mewujudkan gerakan
literasi jalur rempah–suatu jalur budaya di mana Indonesia berperan penting dalam
perubahan dunia.

Empat Puluh Persen Jalur Perdagangan Dunia Melewati


Indonesia

Sebanyak 90% dari jalur perdagangan dunia diangkut melalui laut dan 40% dari
perdagangan tersebut melewati Indonesia. Ini merupakan kesempatan Indonesia untuk
menjadi Negara Poros Maritim Dunia dengan meningkatkan sistem transportasi laut
yang terintegrasi. Demikian disampaikan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi
saat memberikan Keynote Speech pada acara Focus Group Discussion dan Rapat
Kerja Nasional IKA ITS dengan tema “Meningkatkan Daya Saing Industri Maritim
dan Konektivitas Menuju Optimalisasi Rantai Pasok Nasional Menuju Poros Maritim
Dunia” di Hotel Sari Pan Pacific pada Jumat (2/3).

“Sebanyak 40% dari 90% jalur perdagangan dunia melewati Indonesia. Ini
kesempatan bagi Indonesia untuk menjadi Negara Poros Maritim Dunia. Untuk itu
kita perlu meningkatkan sistem transportasi laut yang terintegrasi karena poros
maritim yang terintegrasi sangat diperlukan dalam penyelenggaraan rantai pasok yang
maksimal,”jelas Menhub.

Dalam sambutannya Menhub menjelaskan pada tahun 2017 yang lalu, Indonesia
menduduki peringkat ke-36 dalam persaingan global di dunia. Peringkat tersebut
meningkat dari tahun sebelumnya yang berada di peringkat ke-41.

“Indeks tersebut memperlihatkan bahwa Indonesia memiliki daya saing global yang
semakin meningkat ditandai dengan adanya pembangunan infrastruktur secara
massive. Kementerian Perhubungan memiliki peranan penting yaitu dengan
pembangunan infrastruktur perkeretaapian, pelabuhan dan bandar udara yang tersebar
di seluruh wilayah Indonesia,” ujar Menhub.
Lebih lanjut, Pemerintah telah membangun 124 unit kapal untuk kapal perintis serta
penyelenggaraan program tol laut yang bertujuan untuk menurunkan tingkat disparitas
harga di wilayah Barat dan Timur Indonesia. Hal ini sejalan dengan Nawacita
Presiden Jokowi yang bertujuan untuk menjadikan Indonesia berdaulat secara politik,
mandiri dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan.

“Kita membangun 124 kapal untuk kapal perintis, kapal rede, kapal pelra, kapal
ternak dan kapal kontainer serta tol laut. Di tahun 2018 ini tol laut sudah mencapai 15
trayek yang diharapkan nantinya dapat menjangkau dan mendistribusikan bahan
kebutuhan pokok di seluruh wilayah Indonesia,” tutur Menhub.

Pada tahun 2017, program tol laut telah memberikan hasil melalui penurunan
disparitas harga sampai dengan 23% di wilayah Timur Indonesia. Hal ini tentunya
meningkatkan kesejahteraan yang merata bagi masyarakat Indonesia.

Kemenhub juga telah melakukan peningkatan pelayanan melalui peningkatan proses


bisnis di pelabuhan dan efisiensi biaya pelabuhan melalui peningkatan kerja
pelabuhan dengan menetapkan standarisasi operasi pelabuhan laut dan peningkatan
pengelolaan dan kapasitas pelabuhan yang memberikan kemudahan dan pelayanan
yang maksimal bagi pengguna jasa.

“Peningkatan pelayanan di bidang angkutan laut salah satunya dengan adanya


pelayanan Smart Port System Integration yang didukung dengan implementasi
Inaportnet. Selain itu untuk meningkatkan kinerja di pelabuhan khususnya di
Pelabuhan Tanjung Priok telah memberikan pelayanan selama 24 jam dalam 7 hari
yang diharapkan dapat mengurangi antrian yang terjadi di pelabuhan,” terang Menhub.

Saat ini sistem tersebut juga telah dilengkapi dengan sistem penerbitan Delivery
Order secara online yang akan memangkas biaya penerbitan sebesar 60% dari
sebelumnya

MARAKNYA PENYELUNDUPAN BARANG ILEGAL DI WILAYAH


PERBATASAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP PEREKONOMIAN
INDONESIA
Fenomena sosial daerah tapal batas menjadi isu yang menarik bagi berbagai disiplin
ilmu karena sering menjadi acuan untuk menilai kekuatan nasional,transkultural, dan
transnasional yang membentuk keamanan suatu negara di era globalisasi saat ini
dengan menukik pada kegiatan politik, sosial dan ekonomi. Dinamika kehidupan
ekonomi di daerah perbatasan Indonesia-Singapura dengan transaksi ilegal dan
penyelundupan menunjukkan sebuah realitas sosial yang menjamur dengan praktik
penyimpangan. Para pelaku membentuk jaringan mutual yang saling mendukung
dengan terbentuknya jaringan penyelundupan dengan banyak faktor dari motif untuk
memperoleh keuntungan yang lebih cepat, mudah, dan lebih banyak. Terjadinya
penyimpangan dalam organisasi dipengaruhi oleh faktor tertentu sebagai motif dan
alasan rasional terhadap perilaku tertentu. salah satu permasalahan utama daerah
perbatasan Indonesia-Singapura adalah ketertinggalan dan keterisolasian. Wilayah
perbatasan sebagai garda terdepan sebuah negara perlu mendapat perhatian yang
serius, tetapi menjadi miris ketika kenyataan di NKRI berbanding terbalik yakni
masyarakat lokal perbatasan cenderung masuk dalam kategori tertinggal dari berbagai
aspek pembangunan. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui,
mengeksplorasi dan mendeskripsikan kebijakan yang di keluarkan oleh pemerintah
Indonesia dalam meminimalisirkan adanya penyelundupan barang ilegal di wilayah
perbatasan. Selanjutnya juga ingin mengetahui, memahami dan mendeskripsikan
bagaimana implikasinya terhadap penanggulangan barang ilegal di perbatasan yang di
lakukan oleh institusi Bea Cukai. Sedangkan manfaat atau kegunaan penelitian ini
adalah secara teoritis, penelitian ini diharapkan berguna untuk menambah
pengetahuan pengembangan ilmu hubungan internasional, dan secara praktis
diharapkan berguna dan bermanfaat memberikan masukan sebagai pemecah masalah-
masalah dampak positif dan negatif dari penyelundupan barang ilegal di kawasan
perbatasan Indonesia dan Singapura Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah deskripsi, yang bertujuan untuk menggambarkan suatu fenomena dalam hal ini
perkembangan kebijakan yang di keluarkan oleh pemerintah Indonesia dalam
meminimalisirkan penyelundupan barang ilegal secara sistematis untuk diteliti dan di
cari pemecahan masalahnya. Hasil dari penelitian ini adalah untuk meminimalisirkan
adanya suatu fenomena penyelundupan barang ilegal, pemerintah Indonesia
khususnya instansi Bea Cukai berkerjasama dengan polisi perairan (polair) dan
angkatan laut (AL). Dalam Kasus penyeludupan ilegal, binatang dan uang (smuggling)
dari Indonesia ke Singapura, transaksi BBM illegal, praktek money laundry,
trafficking, illegal fishing adalah sebagian dari praktekpraktek ilegal yang terjadi.
Praktek-praktek “underground economy” semacam ini memang tidak berdiri sendiri
karena disinyalir melibatkan oknum petugas dan adanya ‘transaksi’ antara oknum
petugas dan oknum pengusaha. Praktek semacam ini tentu saja tidak hanya merusak
sistem dan regulasi yang telah berjalan namun juga sangat berpotensi merugikan
negara dari sisi ekonomi

Anda mungkin juga menyukai