Anda di halaman 1dari 12

Titik-Titik Jalur Rempah

alur Rempah mencakup berbagai lintasan jalur budaya dari timur Asia hingga barat Eropa
terhubung dengan Benua Amerika, Afrika dan Australia. Suatu lintasan peradaban bermacam
bentuk, garis lurus, lingkaran, silang, bahkan berbentuk jejaring.

Di Indonesia, wujud jalur perniagaan rempah mencakup banyak hal. Tidak hanya berdiri di satu
titik penghasil rempah, namun juga mencakup berbagai titik yang bisa dijumpai di Indonesia dan
membentuk suatu lintasan peradaban yang berkelanjutan.

Program Jalur Rempah mJalur Rempah mencakup berbagai lintasan jalur budaya yang
melahirkan peradaban global & menghidupkan kembali peran masyarakat Nusantara berabad-
abad lampau.

Program ini bertekad keras menghidupkan kembali narasi sejarah dengan memperlihatkan peran
masyarakat Nusantara dalam pembentukan Jalur Rempah; mendokumentasikan peran mereka
yang berada di berbagai wilayah perdagangan rempah; dan merekonstruksi serangkaian benang
merah dalam satu bangunan sejarah.

Jejak dan Jalur Rempah


Jalur Rempah merupakan suatu peradaban yang sangat tua, kompleks, luas, dan
memengaruhi peradaban global. Jejaknya memperlihatkan interaksi budaya pada masa
lampau.

Dari keterbukaan masyarakat Nusantara dan hubungan budaya yang terjalin, lahir beragam
warisan budaya multikultural dan multietnis ke berbagai medium. Hubungan budaya
antarmanusia ini meninggalkan warisan dan serangkaian jejak yang masih hidup hingga hari
ini: kisah asal usul, nyanyian, musik, tarian, teknologi tradisional, arsitektur bangunan, fesyen,
kuliner, ramuan, aksara, bahasa, hingga kepercayaan. Sebuah peninggalan nilai budaya yang
menjadi memori kolektif bangsa sebagai bukti dan jejak dari Jalur Rempah.
Jalur Rempah: Memuliakan Masa
Lalu untuk Kesejahteraan Masa
Depan
admin | 19 Maret 2021
Nusantara: Ibu Rempah

Nusantara adalah negeri yang diberkahi. Dipilih Tuhan sebagai tempat pertama di bumi untuk
menumbuhkan rempah. Tome Pires dalam bukunya Summa Oriental que trata do Mar Roxo ate
aos Chins (Ikhtisar Wilayah Timur: dari Laut Merah hingga negeri China) mengisahkan
pengalamannya selama berada di Nusantara pada awal abad ke 16, ia menulis:

“Para Pedagang Melayu berkata bahwa Tuhan telah menciptakan Timor untuk kayu cendana,
Banda untuk pala, dan Maluku untuk cengkih. Barang dagangan ini tidak dapat ditemukan di
tempat lain di dunia kecuali di ketiga tempat ini. Saya telah bertanya kepada banyak orang
dengan sangat cermat dan sabar, mengenai apakah ketiga komoditas tersebut dapat ditemukan
di tempat lain, dan semua orang menjawab tidak.”

Nusantara adalah rumah besar keanekaragaman hayati dunia. Sekitar 11 persen jenis tumbuhan
dunia ada di hutan tropis Nusantara. Jumlahnya lebih dari 30.000 spesies, yang sebagian di
antaranya dipergunakan dan dikenal sebagai rempah. Karena itu tak dapat
dinafikan bahwa Nusantara adalah ibu rempah yang antara lain melahirkan jenis Rempah
Raja, seperti cengkih, pala, dan cendana, komoditas utama rempah-rempah dunia, yang pada
masa jayanya pernah bernilai lebih mahal dari emas. Bahkan Pulau Run di Maluku yang kaya
akan rempah pala pernah ditukar dengan Pulau Manhattan, yang saat ini dikenal sebagai New
York.

Pohon Cengkih (Syzygium aromaticum) adalah tanaman asli (endemik) Ternate, Tidore, Moti,


Makian, dan Bacan, sedangkan pohon pala (Myristica fragrans) adalah endemik Pulau Banda.
Tak kalah penting, jenis rempah aromatik dari getah tanaman pohon endemik Sumatera,
yaitu kemenyan (Styrax benzoin) dan kamper/kapur (Cinnamomum camphora dan Dryobalanops
aromaticum). Beberapa komoditas penting lainnya, seperti kayu manis (Cinnamomum
burmanii), lada (Piper nigrum) banyak dihasilkan di Sumatera. Demikian pula
cendana (Santalum album) yang banyak tumbuh di kepulauan bagian timur Nusantara.

Sejarah mencatat, rempah bukan sekadar komoditi, namun membawa nilai (value) dan gaya
hidup (lifestyle) untuk peradaban global. Begitu pentingnya rempah-rempah dalam kehidupan
manusia sehingga ia menjadi penghela perkembangan ekonomi, sosial budaya, dan politik dalam
skala lokal dan global. Para pedagang mempertaruhkan nyawa dan kekayaannya untuk
memasarkannya; juru masak meramunya untuk melezatkan hidangan; para tabib ahli kesehatan
meraciknya untuk pengobatan; para raja mengirim ekspedisi mengarungi samudra untuk
mendapatkannya; diplomasi demi diplomasi dirajut; hubungan antarmanusia menjadi global dan
sejarah peradaban manusia dibangun.
Pala dan Cengkih Tanaman Endemik Nusantara (sumber: http://www.collin-key.com/story-of-
banda-nutmeg/)

Rempah dan Jalur Perdagangan Global

Jauh sebelum bangsa Eropa datang ke Nusantara, ribuan tahun lalu, Jalur Rempah adalah rute
nenek moyang kita menjalin hubungan antarpulau, suku, bangsa, dengan membawa rempah
sebagai nilai untuk membangun persahabatan yang membentuk asimilasi budaya, dan diplomasi
di setiap pesinggahan. Jalur inilah yang akhirnya menghubungkan Nusantara dan dunia.
Datangnya penutur bahasa Austronesia ke Nusantara sekitar 4.500 tahun lalu dengan perahu
menjadi awal pertukaran rempah dan komoditas lain antarpulau di Indonesia Timur. Budaya
mereka inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya budaya bahari yang melayarkan rempah hingga
ke Asia Selatan sampai Afrika Timur. 

Jejak kayu gaharu ditemukan di India. Cengkih dan kayu manis dari Indonesia timur sudah ada
di Mesir dan Laut Merah. Nenek moyang kita juga membawa rempah ke Asia Tenggara, hingga
ke Campa, Kamboja, sehingga terjadi persebaran budaya logam dari Dongson (Vietnam) hingga
ke Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua.

Sejak awal Masehi, Jalur Rempah telah menghubungkan India dan Tiongkok. Tercatat, sudah
ada pelaut Jawa yang mendarat di Tiongkok pada abad ke-2 Masehi. Kapal-kapal Nusantara
digunakan para biarawan dari Tiongkok untuk pergi belajar agama Buddha di Suvarnadvipa atau
Sriwijaya dan di India. Kerajaan besar Sriwijaya, Mataram Hindu, Singasari, dan Majapahit
menjadikan perdagangan rempah sebagai jalur interaksi utama yang menghubungkan Nusantara
dengan Asia Tenggara, Tiongkok, Asia Selatan, Asia Barat, hingga ke Afrika Timur. 

Karena itu tak dapat dipungkiri, bahwa jauh sebelum bangsa Eropa melakukan aktivitas
perdagangan di Asia Tenggara, para pedagang Nusantara telah turut aktif dalam jaringan
perdagangan dunia. Rempah Nusantara dan Asia telah terkenal di Eropa jauh sebelum mereka
dikenal di kawasan Nusantara dan Asia. Posisi strategis yang menghubungkan Samudra Hindia
dan Laut Tiongkok Selatan, menghubungkan Asia Timur dengan Asia Barat hingga Timur
Tengah, Afrika dan Eropa menjadikan Nusantara sebagai hub penghubung jaringan perdagangan
dunia. Jack Turner menulis dalam bukunya Spice, The History of a Temptation (2005):

“Tidak ada rempah-rempah yang menempuh perjalanan lebih jauh ataupun lebih eksotis
daripada cengkih, pala, dan bunga pala Maluku. Setelah panen di hutan pala di Banda atau di
bawah bayangan gunung vulkanik Ternate dan Tidore. Selanjutnya kemungkinan besar, rempah
tersebut dimuat dalam salah satu cadik yang masih melintasi pulau-pulau di Nusantara. Rempah
bisa juga dibawa oleh pedagang China yang diketahui telah mengunjungi Maluku dari sejak
abad ke-13. Bergerak ke barat melewati Sulawesi, Borneo, dan Jawa melalui Selat Malaka,
rempah-rempah tersebut lalu dikapalkan menuju India dan pasar rempah di Malabar.
Selanjutnya komoditas itu dikirim dengan kapal Arab menyeberangi Samudera Hindia menuju
Teluk Persia atau Laut Merah. Di salah satu dari sekian banyak pelabuhan tua, Basra, Jeddah,
Muskat atau Aqaba, rempah lalu dialihkan ke dalam karavan besar menyusuri gurun pasir
menuju pasar-pasar jazirah Arab dan Alexandria dan Levant. Baru setelah mencapai perairan
Mediterania, rempah-rempah akhirnya tiba di tangan bangsa Eropa.”
“Sejarah Rempah” karya Anton Rinawang, Juara Apresiasi Kategori Umum Kompetisi
Visualisasi Rempah/Jalur Rempah Ditjen Kebudayaan Kemendikbud 2020
Bukti awal adanya peran Nusantara dalam percaturan dagang di Samudra Hindia datang dari
seorang astronom Yunani bernama Claudius Ptolomaeus yang tinggal di Alexandria, Mesir, pada
abad ke-1 M. Ia menulis Guide to Geography, peta kuno di mana di dalamnya tercantum
nama sebuah kota bernama Barus, yang nampaknya merupakan kota pelabuhan kuno yang amat
penting di Sumatera dan dunia. Nama metropolitan kuno ini mengingatkan kita pada sebuah
komoditas aromatik rempah yang kala itu amat berharga dan senantiasa diburu oleh bangsa-
bangsa mancanegara (Yunani-Romawi, Mesir, Arab, Tiongkok, Hindustan), yakni kapur barus
(Guillot, 2014). Bukti kuno perdagangan rempah lainnya berasal dari Terqa, suatu situs di
Mesopotamia (sekarang Syria) di mana penggalian arkeologi menemukan jambangan berisi
Cengkih di gudang dapur rumah sederhana tahun 1721 SM (Liggett, 1982).

Terkait dengan ini Anthony Reid, sejarawan terkemuka dalam kajian Asia menyatakan dalam
buku Southeast Asia in the Age of Commerce, 1450-1680: Volume 2, Expansion and
Crisis (1993):

“Cengkih dan kadang-kadang pala dan bunga pala disebut di dalam catatan perdagangan di
Kairo dan Alexandria sejak abad ke-10, tapi semuanya itu sangat jarang dan mahal di Eropa
hingga akhir abad ke-14. Orang Tiongkok juga mengenal cengkih dan pala pada masa Dinasti
Tang tetapi menggunakannya dengan hemat sebelum abad ke 15.”

Konon seorang kaisar Han dari Tiongkok (abad ke-3 M) mengharuskan para pejabat tinggi
mengulum cengkih bila menghadap. Meski sejumlah sumber Tiongkok sebelum abad ke-14
mengenal asal cengkih dari Maluku, hanya ada satu catatan bertanggal 1350 yang betul-betul
menulis jung Tiongkok langsung berlayar dari Tiongkok ke daerah tersebut. Pengumpulan dan
pengangkutan rempah Maluku ke belahan dunia barat Nusantara ditangani sepenuhnya oleh
orang Melayu, Jawa, Bugis dan Maluku. Para pedagang dari Melayu, Arab, Persia, dan Tiongkok
membeli rempah dari Nusantara, kemudian dibawa dengan kapal ke Teluk Persia dan
didistribusikan ke seluruh Eropa melalui Konstantinopel (Istanbul) di wilayah Turki saat ini–
dengan harga mencapai 600 kali lipat (Turner 2005).

Tergiur tingginya harga rempah di pasaran dunia, sejak abad 15 Masehi bangsa-bangsa Eropa
mulai tergerak mencari wilayah kepulauan penghasil rempah-rempah, hingga kemudian
mencapai wilayah Nusantara. Dalam usaha mencari rempah-rempah itu, mereka berinteraksi dan
berkompetisi dengan berbagai bangsa di dunia dalam suatu jaringan perdagangan global. Pada
abad ini, lahir sistem pelayaran modern yang dipicu oleh persaingan menemukan rempah yang
masyhur di Eropa meski belum diketahui persis dari mana asalnya. Aroma wangi rempah
Nusantara yang dikatakan turut mengubah wajah Eropa dari sistem monarki feodal menjadi
negara modern, semakin menggerakkan persaingan pelayaran dunia. Wilayah Nusantara mulai
terpetakan dengan jelas dalam jaringan perdagangan dunia. Sejumlah catatan para pelawat dunia
yang sempat singgah di Nusantara memberi kesaksian wanginya aroma Rempah Nusantara di
tengah kegiatan perdagangan dunia yang tercipta di wilayah Nusantara.

Jalur Rempah: Jalur Budaya


Sebuah gambar yang menunjukan mengenai figur seorang pedagang Melayu (D), Asia Selatan
(Keling) (E), dan seorang perempuan yang berasal dari Gujarat (F) yang berada di Banten
pada sekitar tahun 1596  (Rouffaer dan Ijzerman, 1915 (Deerste Boek):120-121).

Perdagangan rempah di Nusantara meninggalkan jejak peradaban berupa peninggalan situs


sejarah, ritus budaya, hingga melahirkan beragam produk budaya yang terinspirasi dari alam
Nusantara yang kaya. Nampak sekali, di masa lalu orang-orang dari berbagai bangsa
berbondong-bondong ke Nusantara tidak semata untuk berdagang, tetapi lebih pada untuk
membangun peradaban. Mulai dari Pelabuhan Barus di Sumatera Utara yang diperkirakan ahli
sudah berusia lebih dari 5000 tahun, hingga era kerajaan-kerajaan di Nusantara dengan bandar,
seperti di Lamuri, Padang, Bengkulu, Lampung, Banten, Jepara, Tuban, Gresik, Banjarmasin,
Makassar, Bali, dan Ternate-Tidore di Maluku–semuanya terbentuk karena perdagangan
rempah-rempah.

Poros perdagangan rempah-rempah global Asia, India–Nusantara–Tiongkok, melalui perairan


Hindia hingga Pasifik juga meninggalkan jejak peradaban yang signifikan. Terletak di sepanjang
jalur maritim tersibuk di dunia, Nusantara dari masa ke masa telah menjadi daerah strategis yang
amat penting dan tujuan perdagangan selama ribuan tahun. Tak pelak, sebagai akibat dari lalu
lintas laut yang padat ke Asia Timur, Timur Tengah, Afrika, Eropa dan sebaliknya, banyak
peradaban berinteraksi; bertukar pengetahuan, pengalaman, dan budaya. Ia menjelma sebagai
ruang silaturahmi antarmanusia lintas bangsa sekaligus sarana pertukaran dan pemahaman
antarbudaya yang mempertemukan berbagai ide, konsep, gagasan, dan praksis, melampaui
konteks ruang dan waktu–dipertemukan oleh sungai, laut, dan samudra.
Jalur Rempah menyebabkan berkembangnya beragam pengetahuan dan kebudayaan yang bukan
saja menjadi warisan bagi Indonesia, namun juga merupakan warisan bagi dunia. Karena posisi
geopolitik dan geoekonominya sangat strategis, terletak di antara dua benua dan samudra,
Indonesia merupakan “global meeting point” dan sekaligus “global melting point”. Berkat
rempah, Nusantara menjadi tempat bertemunya manusia dari berbagai belahan dunia dan
menjadi wilayah persemaian dan silang budaya yang mempertemukan berbagai ide, gagasan,
konsep, ilmu pengetahuan, agama, bahasa, estetika, hingga adat kebiasaan. Jalur perdagangan
rempah-rempah melalui laut inilah yang menjadi sarana bagi pertukaran antarbudaya yang
berkontribusi penting dalam membentuk peradaban dunia.

Jalur Rempah Sebagai Rujukan Diplomasi Budaya

Surat Sultan Banten kepada Raja James I dan


terjemahannya dalam Bahasa Inggris oleh William Foster pada 1933.

Sejak tahun 2017, Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan merintis upaya
pengusulan Jalur Rempah sebagai warisan dunia ke UNESCO. Pengajuan Jalur Rempah (Spice
Routes) sebagai warisan budaya dunia ke UNESCO didasari oleh pemahaman bahwa Jalur
Rempah adalah jalur pertukaran antarbudaya dan pertukaran pengetahuan yang melampaui
konteks ruang dan waktu. Jalur Rempah dapat dilihat sebagai Cultural Route atau Jalur Budaya,
hal yang sekaligus membuat hal ini memiliki peluang besar untuk diajukan sebagai warisan
budaya ke UNESCO oleh Indonesia bersama dengan negara-negara lain (joint nomination) yang
tersentuh dalam jalur perdagangan ini.
Sejarah Jalur Rempah dari masa ke masa merupakan contoh nyata bahwa diplomasi budaya telah
dipraktikkan di segala lini oleh individu, komunitas masyarakat, hingga tingkatan negara-bangsa.
Belajar dari dinamika Jalur Rempah di masa lalu, kiranya sangat relevan bila Jalur Rempah
menjadi rujukan dalam mencari warna diplomasi Indonesia yang mengedepankan interaksi dan
kehangatan dialog di berbagai bidang dan lapisan masyarakat. 

Jalur Rempah dapat menjadi pijakan dalam melihat kembali berbagai kemungkinan kerja sama
antarbangsa untuk mewujudkan persaudaraan dan perdamaian global yang mengutamakan
pemahaman antarbudaya, penghormatan dan pengakuan atas keberagaman tradisi beserta
warisannya, memiliki semangat keadilan, kesetaraan dan saling berkontribusi, serta menjunjung
tinggi harkat martabat kemanusiaan. 

Diajukannya Jalur Rempah ke UNESCO menunjukkan itikad Indonesia untuk mengambil peran
dalam menjaga amanah yang diberikan dunia untuk menjaga warisan peradaban manusia. Jalur
Rempah bukan lagi warisan milik Indonesia, melainkan warisan milik dunia yang diamanahkan
kelestarian dan keberlangsungannya pada kita semua.

Jalur Rempah untuk Kesejahteraan Masa Depan

Menjadikan Jalur Rempah sebagai Warisan Dunia dan rujukan kekuatan diplomasi budaya untuk
meneguhkan Indonesia sebagai poros maritim dunia adalah sesuatu yang membanggakan.
Namun, tidak cukup dengan itu. Tujuan lain menghidupkan Jalur Rempah adalah untuk
mengingatkan kembali kepada generasi muda tentang bagaimana Jalur Rempah membentuk
bangsa, negara, dan peradaban Indonesia. Bukan untuk terjebak dalam romantisme sejarah,
menghidupkan Jalur Rempah pada saat ini kita maknai sebagai revitalisasi nilai budaya rempah
dan bagaimana memanfaatkannya pada masa kini dan masa depan. Kita berharap melalui rempah
lahir berbagai kreativitas dan inovasi yang pada akhirnya akan menghadirkan kembali kejayaan
masa lalu bangsa Indonesia pada masa sekarang dan mendatang.

Memori Jalur Rempah diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran dan kebanggaan kolektif akan
jati diri bangsa, sekaligus memperkuat kembali rajutan kebhinekaan Indonesia melalui interaksi
budaya antardaerah yang telah dibangun sejak ribuan tahun lalu. Waktu telah membuktikan
bahwa perjumpaan orang-orang di pelabuhan, misalnya, menjadi kesempatan bagi pertukaran
informasi, pengetahuan, tradisi, dan seni, bahkan dalam jangka panjang bisa mengubah karakter
individu atau kelompok yang saling berjumpa. Kita saksikan pada saat ini, bagaimana
masyarakat pada titik-titik Jalur Rempah, seperti Aceh, Kepulauan Riau, Medan, Jakarta,
Semarang, dan beberapa kota lainnya terlihat menjadi begitu kosmopolitan.

Lebih jauh lagi, menghidupkan Jalur Rempah pada masa sekarang juga diharapkan dapat
menumbuhkan kesadaran masyarakat agar terlibat aktif dalam melestarikan, mengembangkan,
dan memanfaatkan warisan budaya Jalur Rempah sebagai modal mensejahterakan kehidupan
jasmani dan rohani masyarakat yang terlibat di dalamnya. Dalam hal ini, segenap lapisan dari
berbagai generasi secara bersama berusaha menempatkan kebudayaan sebagai penghela (driver)
dan pemungkin (enabler) pembangunan berkelanjutan dan upaya mewujudkan kesejahteraan dan
kebahagiaan bagi masyarakat Indonesia. Setiap individu, kelompok, dan institusi bisa terlibat
aktif dan memilih peran sesuai porsinya masing-masing dalam menghidupkan Jalur Rempah.
“Rempah Nusantara” karya Nur Ridwan, Juara 1 Kategori SMA Kompetisi Visualisasi
Rempah/Jalur Rempah Ditjen Kebudayaan Kemendikbud 2020.

Pada saat ini, kita ketahui misalnya Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mulai
mengembangkan paket-paket wisata memanfaatkan aneka cagar budaya jejak Jalur Rempah.
Kemudian juga dikembangkan industri kreatif seperti kriya dan fesyen dengan motif dan bahan
pewarna alami dari rempah. Selain itu, pengembangan dunia gastronomi yang menawarkan
makanan dan minuman sehat berbasis rempah untuk meningkatkan daya tahan tubuh adalah
momentum yang jitu di era pandemi Covid-19 ini. Lalu kita juga ketahui, Kementerian Pertanian
berupaya mengembalikan kejayaan rempah Nusantara melalui peremajaan dan perluasan kebun-
kebun rempah, penguatan industri hilir pengolahan dan pemasarannya. Tak ketinggalan pula,
Kementerian Kesehatan yang mulai mengembangkan industri obat herbal dan kecantikan
berbasis rempah asli Nusantara.

Selain itu semua, pada ranah industri seni dan sejarah juga bisa dikembangkan berbagai macam
inovasi dan kreasi baru yang terinspirasi oleh budaya rempah. Produk karya berupa film, musik,
tari, karya arsitektur adalah beberapa jenis produk kontemporer yang karib dengan generasi
muda juga dapat ditautkan dengan warisan budaya Nusantara yang bersifat adiluhung.   

Dengan demikian, menghidupkan Jalur Rempah adalah sebuah Gerakan Rekonstruksi dan
Revitalisasi Budaya dalam dimensi yang luas sehingga mampu menggerakkan kesadaran seluruh
elemen untuk merawat warisan kebhinekaan, mewujudkan kesejahteraan rakyat, dan juga
memperkuat diplomasi budaya bangsa Indonesia di antara bangsa-bangsa dunia. 

Narasi Jalur Rempah perlu disusun bersama dengan menggunakan sudut pandang keIndonesiaan
yang berorientasi dunia. Kenyataan sejarah bahwa kejayaan Jalur Rempah yang pernah hadir
sejak 4.500 tahun lalu adalah bagian dari jalur perdagangan dan jalur budaya umat manusia.
Karena itu diperlukan pendekatan multidisiplin karena Jalur Rempah tidak bisa hanya dimaknai
dari sudut pandang sejarah, arkeologi, bahasa dan budaya saja.

Jalur Rempah pada masa sekarang harus diwujudkan secara kolektif, menyentuh berbagai aspek
kehidupan yang belum tersentuh sebelumnya. Jalur Rempah bisa memberikan perspektif yang
unik sebagai pintu masuk untuk berkontribusi dalam memperkaya upaya menjawab tantangan
kontemporer, seperti ketahanan pangan, perubahan iklim, pengentasan kemiskinan, kesetaraan,
dan berbagai tantangan lainnya.

Jalur Rempah bukan semata warisan, Jalur Rempah adalah masa depan kita

Anda mungkin juga menyukai