Disusun oleh:
Sonny Chr. Wibisono
i
BAB I
PENGANTAR
1
Serupa rute niaga rempah juga mengenal rute yang dijuluki
Jalur Sutra. Perbincangan tentang rute ini sudah dimulai sejak tahun
1877. Ferdinand von Richthofen, seorang ahli geografi dan
sejarawan Jerman pertama kali menggunakannya untuk
menggambarkan rute perdagangan. Tujuh oasis di sepanjang jalan,
dari Xi'an ke Samarkand, tempat para pedagang, utusan, peziarah,
dan pelancong bercampur dalam komunitas kosmopolitan, toleran
terhadap agama dari Budha hingga Zoroastrianisme. Tidak ada jalan
tunggal yang terus menerus, tetapi rantai pasar yang berdagang
antara timur dan barat. Cina dan Kekaisaran Romawi memiliki
perdagangan langsung yang sangat sedikit.
Jalur rempah merupakan fenomena masa lalu yang akan
diangkat dan diaktualisasikan kembali. Namun jarak waktu dan
yang begitu jauh dari masa kini menyebabkan kisah jalur rempah ini
kini merupakan sesuatu yang masih imajiner. dan terfragmentasi.
Pada bagian pertama dari buku ini disinggung tentang penggunaan
istilah jalur rempah dan jalur sutera. kedua istilah ahli itu jalur sutra
dan jalur rempah tidak jarang membingungkan para pemerhatinya.
Jalur Rempah (JR) mulanya dipahami secara sempit. JR secara
spesifik dipandang bagian dari sejarah atau kisah perjalanan orang
eropa menemukan kepulauan rempah (spice island) di Maluku pada
abad ke -16an. Mengingatkan pada peristiwa dunia tentang
perjanjian membelah dunia bagian antara Portugis dan Spanyol
tahun dalam 1494 . Perjanjian zaragoza membarui perjanjian ini
tahun 1529 . Peristiwa ini seolah hanya potret dari sejarah yang
dipandang sudut pandang bangsa eropah.
2
Jalur rempah sendiri memiliki sejarah panjang yang dimulai
dari wilayah mediterania ketika berada di bawah imperium Romawi.
Hubungan dagang terjadi karena kebutuhan rempah seperti lada
hitam yang dihasilkan di India, Indonesia, Cina selatan, India, Sri
Lanka, dan khususnya, Kepulauan Rempah-Rempah di Samudra
Pasifik, dan sesuai permintaan di seluruh Asia dan Eropa. Rempah
dapat dikatakan sebagai identitas dari wilayah ini. Oleh karena itu
pada bagian berikutnya fokus mencermati faktor potensi keragaman
sumberdaya di Nusantara yang menjadi pemantik terbentuknya
perniagaan di wilayah maritim indonesia.
Jejak data perniagaan rempah di Indonesia sesungguhnya
sudah ada kendatipun tidak dapat dikatakan melimpah. Penelitian
arkeologi yang sudah dilakukan di integrasikan dan diangkat untuk
menyambung puzzle jalur rempah yang masih kosong Begitu
luasnya cakupan datanya sehingga yang dikemukakan disini
merupakan cuplikan dari data sudah dikumpulkan. Jalur Rempah
memang merupakan fenomena yang amat kompleks, yang
berpengaruh terhadap perubahan yang terjadi pada era yang
disebut sebagai era kemajuan perdagangan global. Jalur Rempah
Nusantara merupakan fragmen terdiri dari sumber sejarah,
arkeologi, dan tradisi yang harus dirajut kembali .
3
BAB II
JALUR MARITIM REMPAH SEBAGAI IDENTITAS
4
dan menciptakan kepulauan Indonesia. Dangkalan Sunda
menyatukan pulau sumatra, jawa, kalimantan, dan Bali dengan Asia
Tenggara daratan. Dangkalan Sahul di tepi timur merupakan
kesatuan daratan dari tanah Papua dan Australia. Kedua dangkalan
ini dipisahkan oleh laut Wallace, terdiri dari Sulawesi, Maluku, dan
Nusa Tenggara (tanpa Bali) sejak awal wilayah Wallace adalah
lautan seperti sekarang. (Kealy, Louys, & O’Connor, 2016).
Wallacea meliputi Pulau Sulawesi, Kepulauan Maluku,
berbagai pulau kecil dan sedang di timur Sulawesi dan pulau-pulau
“Busur Banda”, serta pulau-pulau Sunda Kecil atau Nusa Tenggara,
di selatan Sulawesi dan Kepulauan Maluku. Wallacea adalah zona
transisi antara daerah biogeografis Indo-Malaya Raya and
Australasia. Jutaan tahun berada dalam relatif isolasi menghasilkan
fauna endemik yang luar biasa untuk berkembang di sini (Supriatna,
2021).Dua kata, “pelayaran” dan “perdagangan” erat pertaliannya
disatukan dalam sebuah wujud benda yang dikenal dengan nama
perahu atau kapal. Laut sebagai media utama dalam pengangkutan,
komunikasi dan perdagangan merupakan unsur utama dalam
perkembangan kebudayaan dan peradaban manusia di Asia
Tenggara sejak 3000 Sebelum Masehi. Walau sudah lama, kepesat-
annya baru tampak jelas pada akhir periode Neolitik sekitar 1500
Sebelum Masehi dan periode logam sekitar 1000 Sebelum Masehi.
Itulah awal mobilitas manusia di masa lampau dalam usahanya
mengarungi laut dengan menggunakan alat transportasi perahu.
5
Gambar 2.1. Dangkalan sunda , DAngkalan /sahul dan Laut
Wallace
6
berabad-abad, yaitu Georg Eberhard Rumphius (Botanist, yang
menulis buku Herbarium Amboinense tahun 1741), kita juga
mencatat nama Alfred Russel Wallace (Naturalist, The Malay
Archipelago diterbitkan pada tahun 1890). sekarang dapat
digambarkan sebagai wallace hot spot (gambar )
Gambar 2.2.
7
Keaneragaman lingkungan di nusantara tentu tidak hanya
menjadi ciri wilayah Maluku. Karena juga keragaman jenis
kandungan bumi nya seperti mineral. Seperti yang paling dikenal
adalah kandungan emas yang ada di dataran tinggi , ituah sebebnya
sumatra juga dikenal dengan nama swarna bhumi.
Ternyata tidak hanya kebekuan es menarik perhatian peneliti
tetapi juga sebaliknya mencairnya es telah memantik lahirnya
pandangan tentang bentuk kehidupan baru pasca glasiasi di wilayah
nusantara. tenggelamnya paparan Sunda atau Benua Asia
Tenggara, Stephen Oppenheimer (Univ. Oxford), melalui Eden in the
East, rob besar berlangsung pada zaman es di awal masa Holosen,
menyebabkan penduduk untuk berpindah ke kapal atau beralih ke
daratan. mereka pula yang menyebar akibat naiknya permukaan air.
pembentukan komunitas maritim
Pandangan ini mengingatkan juga pada gagasan Solheim
dalam isu island origin. menemukan wilayah interaksi yang
mengandung persamaan tembikar di wilayah thailand, filipina,
vietnam dan serawak. Ia mengajukan pandangan bahwa penduduk
asli kepulauan adalah mereka sudah tinggal di paparan sunda itu.
Solheim memberi nama penduduk kepulauan ini sebagai orang
Nusantao (orang selatan) . Pusat dari kediaman mereka di pantai
Vietnam, pantai Philipina, Kalimantan utara. Budaya mereka maritim
digambarkan sebagai jaringan kompleks pertukaran budaya dan
perdagangan secara regional di kawasan Asia Pasifik selama
Zaman Neolitik dari 500 SM
8
Geografi Nusantara berada dalam lintasan sabuk katulistiwa,
secara periodik Wilayah dilalui angin muson yang berganti arah
dalam setahun. Angin muson barat, bertiup dari Asia menuju
Australia melewati Indonesia, membawa banyak uap air sehingga di
Indonesia mengalami musim penghujan. angin ini bertiup Bulan
Oktober sampai April setiap tahunnya. sebaliknya angin muson
timur, bertiup dari Australia menuju Asia melewati Indonesia yang
membawa sedikit uap air sehingga di Indonesia mengalami musim
kemarau terjadi pada Bulan April sampai Oktober setiap tahunnya.
Gambar 2.3.
9
maupun antar benua. Muson barat digunakan pelaut berlayar ke luar
dan masuk kepulauan Nusantara. juni - oktober waktunya berlayar
ke Cina, dan sebaliknya bulan maret - ke arah India dan Timur
Tengah Muson barat ini sudah dikenal penduduk di kepulauan
nusantara atau austronesia untuk berlayar ke Madagaskar. Angin
musiman ini mengingatkan pada pedagang Arab yang menyebut
wilayah Asia Tenggara kepulauan sebagai wilayah “bawah angin”.
Julukan ini diduga ada kaitannnya dengan posisi dan situasi
karakteristik angin muson yang selalu bergerak ulang alik dari posisi
lintang yang tinggi ke posisi yang rendah.
10
BAB III
BUKTI AWAL JALUR NIAGA
11
digunakan untuk melihat potongan bukti yang berasal dari fase awal
perniagaan.
Tak diragukan Mediterania merupakan kawasan awal tempat
berkembangnya pasar rempah di bawah imperium Romawi. Pada
saat itu Mediterania menjadi pusat perdagangan yang paling ramai
dunia, ditandai dengan berkembangnya hubungan dagang antara
Romawi dengan wilayah Arab, India, dan Cina. Roma menjadi
magnet bagi seniman, pedagang, dan orang-orang dari semua
lapisan masyarakat.
Pada awal periode kekaisaran, kota ini memiliki hampir satu
juta penduduk. Pada 14 M telah berkembang menjadi lebih dari
empat juta jiwa. Ekspansi Kekaisaran Romawi dapat dikatakan salah
satu pencapaian yang luar biasa. Wilayah ini memiliki populasi enam
puluh juta orang yang tersebar di tanah yang mengelilingi
Mediterania dan membentang dari Inggris utara ke tepi sungai Efrat
di Suriah, dan dari Rhine ke pantai Afrika Utara. Gambaran
penduduk ini mencerminkan konsumsi yang tinggi di wilayah
Mediterania
Jalur darat dari asia Jalur Sutera maupun Jalur Rempah
bertemu di tepian laut mediterania. hubungan perdagangan antara
India dan Romawi (Indo-Romawi) menandai puncak
perkembangannya. Kekaisaran Romawi mendirikan pusat
perdagangan yang kuat di Alexandria, Mesir pada abad pertama SM
dan menguasai semua rempah-rempah yang memasuki dunia
Yunani-Romawi selama bertahun-tahun.
12
Perdagangan sutra, rempah-rempah dan barang-barang lain
semacam itu dari perdagangan timur tentu tidak akan pernah
muncul jika tidak ada permintaan untuk barang-barang seperti itu di
Kekaisaran Romawi. Bersamaan dengan itu aroma dan citarasa
bumbu rempah dari timur ini mulai menggugah selera orang
Romawi. Rempah-rempah menjadi komoditas niaga. Permintaan
rempah-rempah di pasar Roma meningkat. Seringkali perdagangan
ini digambarkan sebagai perdagangan kemewahan, yang muncul
dari selera dan keinginan , terutama pada puncak kekuasaan dan
kekayaan Romawi di bawah kekaisaran. sudah tentu produk
komoditi dari timur seperti sutera dan rempah tentu tidak akan
masuk ke pasar Mediterania bila tidak ada permintaan dari wilayah
ini.https://foodanddining.omeka.net/exhibits/show/spicesoftheancient
romanworld/ main-title/coriander#_ftn1
Plini seorang penulis Natural History yang hidup pada abad
pertama mencatat dalam bukunya (Pliny 12.14), jenis produk
tanaman yang dapat diperdagangkan. Pliny memberikan beberapa
harga yang mungkin berlaku di Roma pada masanya: misalnya, ia
mengutip harga antara 4 dan 15 dinar per pon untuk berbagai jenis
lada, perdagangan timur Roma 40–75 dinar per pon untuk daun
narwastu, dan 300 denarii per pon untuk kayu manis. Rempah-
rempah menjadi barang mahal, lada dan kayu manis memikat minat
banyak orang. Sementara produk Mediterania adalah anggur, yang
dikemas dalam wadah tembikar yang disebut Amphora. koin
imulailah perjalanan panjang dan karavan ke Arab dan India untuk
bahan-bahan berharga yang kadang-kadang bernilai emas.
13
Rute perdagangan maritim yang menghubungkan
Kekaisaran Romawi ke negeri-negeri eksotis di Timur Jauh seperti
India, tampaknya begitu penting. Pada abad pertama ini sebuah
buku muncul berjudul "Periplus Maris Erythraea' (PME), Buku yang
tidak diketahui penulisnya ini dijuluki "Periplus of the Erythrean
Sea". Buku ini adalah panduan perjalanan dagang atau navigasi
melintas Laut Merah dan Samudera Hindia .Terkenal karena
memuat deskripsi tentang pasar atau pelabuhan di sepanjang
koridor laut yang dilalui. Disertai penjelasan nama tempat dan jenis
komoditas setempat yang dihasilkan atau didatangkan dari tempat
lain. sumber ini cukup lengkap menggambarkan jalur perdagangan
awal dari Laut Merah ke Samudra Hindia.
14
cengkeh dan berbagai sereal. Selain itu, tembikar dan batu semi
mulia telah digali. Bahan-bahan ini berasal dari abad ke-2 SM.
hingga abad 9-10A.D., yang menunjukkan pelabuhan kosmopolitan
yang berkembang pesat. (Kingwell-Banham et al., 2018)
Para ahli Asia Tenggara tampaknya sependapat bahwa
salah satu bukti merujuk pada awal perdagangan adalah sebaran
nekara perunggu bergaya Dongson, yang ditemukan dalam wilayah
yang luas. Diperkirakan dibuat di vietnam selatan pada sekitar abad
ke-3--4 SM telah berlangsung hubungan melalui pelayaran antara
Asia tenggara daratan dan kepulauannya Nusantara. Jalur ini
membentang mulai dari Laut Cina Selatan, Jawa, Nusa Tenggara
Timur, Selayar sampai ke Maluku dan Papua. Nekara perunggu ini
dibuat di Vietnam selatan. (Higham, 1996; )(Miksic, 2013)
17
Gambar 3.3 Tembikar Roullete Arikamedu ( India selatan )
18
perjalanan mereka lebih jauh ke timur ke nusantara. Tapi kemudian,
Wolters memberikan alternatif lain dari pendapatnya mengenai
lokasi Ko-ying yang kemudian dianggapnya berada di atau dekat
Karawang, Jawa Barat. dia menganggap bahwa Ko-ying berarti
“Krawang” dan kemungkinan menjadi pusat perdagangan
internasional di Jawa Barat yang dikenal Ptolemy sebagai Argyre
(Wolters, 2008: 104). Dalam sumber Cina masih banyak nama
pusat-pusat yang belum di hubungkan dengan pusat ekonomi di
Nusantara seperti Kantoli atau Gandhari pada antara tahun 502- 549
Masehi.
Lokasi yang kini juga diketahui mengandung data dari fase
perdagangan awal ini adalah situs Pacung dan Sembiran terletak di
pantai utara Bali. Pulau Bali merupakan tempat yang strategis untuk
perjalanan ke Maluku. Di pesisir utara pulau ini penelitian yang
dilakukan oleh I Wayan Ardika (Ardika, Bellwood, Sutaba, & Yuliati,
1997) menemukan ratusan barang asal India, seperti wadah roullete
termasuk wadah yang disebut Arikamedu (tipe 10A), bahkan juga
ditemukan fragmen tembikar bertulis kareakter Kharosthi di
Sembiran. Di Situs Sembiran juga ditemukan zasad manusia,
melalui tes carbon 14 pada giginya di peroleh umur antara 340-20
BC. Di samping itu temuan gigi yang dapat diidentifikasi ras ,bukan
bersal dari Bali tetapi dari Asia Selatan.
19
Gambar 3.4
Captos, dan Berenice. Dan di jazirah Arab seperti di temukan
di Situs Qana (Yaman) dan Khor Rori (Oman). Bukti serupa yang
ditemukan di Asia Tenggara daratan antar lain di Tra Kieu Go Cam
(Vietnam), Bukit Tengku Lembu (Malaysia), dan Situs Beikthano
(Mianmar).. Sementara tembikar Arikamedu yang ditemukan di
Indonesaia antara lain di Situs Air Sugihan pantai timur Sumatera,
Buni (Kobak Kendal ) Krawang, pantai utara Jawa, dan Situs
Sembiran dan Pecung di pantai utara Bali. (Tripati, 2017)
20
BAB IV
BERNIAGA DI NEGERI BAWAH ANGIN
22
yang dikenal memiliki kamper (kapur) yang terbaik kualitasnya.
Produk lain yang komoditas adalah kemenyan (Benzoin). Sampai
sekarang masih merupakan produk hasil hutan yang berasal
pedalaman wilayah Bukit Barisan. (Guillot, Perret, Wahyo, &
Wibisono, 2002)
24
Di sumatera alamnya memiliki sungai yang lebar dan
panjang, dari sini muncul gagasan tentang model perniaggan yang
disebut dendriktik. Salah satu di antaranya adalah model perniagaan
yang digagas oleh Bennet Bronson (Bronson, 1977), yaitu sistem
perniagaan negara pantai yang bertumpu pada hubungan hulu
(pedalaman) dan hilir (pesisir), dimana sungai berfungsi sebagai
jalur transportasi. Skema model ini pusat pasar utamanya tidak
terletak di muara, tetapi di pusat tingkat kedua dan tingkat ketiga
berada di pedalaman, menempati pertemuan dari cabang sungai.
25
di pulau jawa hubungan pesisir dan pedalaman lebih cedeerung
menggunakan jalan darat. Situasinya sangat berbeda pusata
ekonomi atau ibu kota ada di pedalaman, yang membedakan antara
daerah pesisir dan Negara Agung yang berada di pusat
pemerintahan. Keletakan ibu kota di pedalaman cenderung ada
kaitnnya dengan perkembagan produksi yang mengandalkan
budidaya pertanian, yang menempuh pola berbeda dalam
penyaluran komoditas niaganya.
26
Kisahnya berawal dari alih-alih kekuasaan dari kerajaan
Sunda yang Hindu ke Islam, Ibu kota lama Banten Girang ada di
pedalaman mulai abad ke- 10--13. Permukiman di perkuat parit dan
benteng keliling dari tanah. Perebutan kekuasaan ini tampaknya
tidak se mata-mata berlatar politik tetapi dibalik itu juga motif
ekonomi. Dapat dikatakan pengambilan alih adalah bagian dari
upaya dinasti Islam menguasai wilayah sumber lada di pedalaman
yang ditanam di dataran tinggi seperti Gunung Karang, Gunung
Aseupan, dan Gunung Pulosari (Wibisono, 2013).
27
: orang asing di Kota Banten, 1596, dokumentasi dari buku
Pelayaran pertama ke Timur Jauh : orang asing di Kota
Banten, 1596,
Gambar 4.1.1
Pembangunan ini juga merupakan upaya menjadikan kota
sebagai pusat pelayanan memberikan fasilitas pada pedagang asing
yang singgah, dan keamanan. Misalnya pedangan asing dari Inggris,
Denmark, Prancis, Belanda, dan pedagang Koja dari Timur tengah
mendapatkan tempat sendiri di luar tembok kotanya. Seperti
dikatahui Kesultanan sangat berkepentingan terhadap kedatangan
pedagang asing karena dari mereka yang membuat kota ini selalu
dikunjungi dan komoditas dari Banten dapat di pedangkan sebagai
“devisa” kesultanan. Kehadiran pedangan dari berbagai bangsa
inilah yang dipandang merupakan faktor yang menjadikan
masyarakat Banten bercorak kosmopolit. (“De eerste schipvaart der
{Nederlanders} naar {Oost,” n.d.)
28
Pelayanan terhadap wilayah pedalamannya juga dipandang
penting bagi kota, pasokan lada dari pedalaman dapat berjalan
lancar. Agar kota selalu dapat menyediakan lada bagi pedagang
yang singgah dan membeli lada di Banten. Bila mencermati arsip
tentang kampung penghasil lada darai abad 18, dapat dilihat bahwa
tampaknya pada masa sebelumnya ada hirarkhi dalam pengaturan
panen lada dan pengiriman lada ke pelabuhan. Wilayah yang
menjadi pemasok tidak hanya dari pedalaman Banten, tetapi juga
dari Lampung. Bahkan ada upaya kesultanan untuk ekpansi dengan
Palembang. Dapat dikatakan Sultan memberi perhatian pada
mekanisme aliran lada dalam rangkaian ini bahkan tak jarang
bertindak sebagai saudagar (Wibisono, 2013).
29
berlayar dari semenanjung Malaya atau ndonesia barat ke Laut
Jawa dan Flores, singgah di pelabuhan-pelabuhan di Jawa bagian
utara, Kalimantan bagian selatan, Sulawesi dan pulau-pulau di
sebelah timur Madura dan Bali, dan kemudian akan memasuki Laut
Banda untuk dilanjutkan ke Kepulauan Banda atau Ambon. Dari
Ambon mereka kadang-kadang berlayar melalui jalur antara Buru
dan semenanjung Hoamoal, kemudian menyeberangi Laut Seram
dan, setelah mencapai Obi, akan mengikuti rantai pulau di lepas
pantai barat Bacan dan Halmahera sampai mereka mencapai
Ternate atau Tidore, dua tempat perdagangan utama di Maluku
Utara (Ptak, 1992)
30
Sementara itu mengenai Maluku yang menjadi sumber
rempah /sinolog Tibbetts, menyatakan bahwa «hanya ada empat
referensi asli di antara para penulis Muslim awal tentang Kepulauan
Rempah-rempah, yang mungkin dianggap mewakili Maluku».
Referensi-referensi ini, ditemukan dalam karya-karya Ibn
Khurdàdhbih, Biriini dan Marwazi dan dalam Mukhtasar al-'Afa'ib,
berasal dari periode sebelum abad ke-13. Referensi-referensi lain
yang dikutip oleh Tibbetts - dari karya-karya Ibn Màjid dan Sidi elebi
- berasal dari masa-masa kemudian yang membuat kita tidak
memiliki sumber informasi Arab asli tentang Maluku untuk periode c.
1300 hingga pertengahan abad ke-15. (Ptak, 1992)
31
Wang Dayuan juga memberikan satu nama tempat tambahan, Yixi
(atau Yiqi), yang menurut Su Jiqing dapat bisa diartikan sebagai
tempat berlabuh di pulau Tidore. Mungkin tempat ini adalah situs
perdagangan utama di Maluku yang akan dituju oleh orang Cina
(Ptak, 1992)
33
BAB V
PENUTUP : DAMPAK DARI PENGEMBANGAN NIAGA
34
dasarnya sama tetapi dari segi ukuran dan bentuk dirubah secara
lokal. Demikia pula teknik melebur dan sistem cetak diduga di
pahami melalui adanya tukang ahli yang datang ke nusantara atau
sebaliknya untuk mempelajarinya.
Tidak diragukan bahwa sosial sistem juga mendapatkan
pengaruhnya, kehadirn orang asing tidak hanya orang asing tapi
juga orang pTamil, Jawa, seperti di Lobutua, Aceh yang datang
untuk berdagang juga menunjukkan terbentuknya kelas masyarakat
yang sebelumnya homogen, menjadi kosmopolitan dalam pergaulan
multikultur. Hal ini tampaknya juga berpengaruh tehadap
memungkinan adopsi untuk sistem pemerintahan setempat. Seperti
penerapan sistem pemerintahan di bawah Kesultanan, apakah di
adopsi secara menyeuruh atau sebagian. . .
Pengaruh yang paling mencolok yang dapat dilihat
adalah dari segi religi yang dan kepercayaan. Prosesnya sudah
dapat di ketahui misalnya budhisme yang sudah mulai datang
pendeta sejak abad ke-4 seperti Fashien. Pendirian sekolah vihara
sehingga menjadi kepercayaan resmi negara. Pegaruhnya juga
terus berkembang dalam segi literasi seperti karya sastra dan kitab.
Dalam hal ini teknolgi dan seni juga berperan dalam pendirian
percandian dengan penciptaan simbol-simbol keagamaan.
Beberapa contoh ini memperlihatkan bahwa
perdagangan besar pengaruhnya tehadap kehidupan budaya di
Nusantara. Nusantara tak ubahnya sepertii yang tejadi di
mediterasia. Tempat meleburnya unsur budaya yang membaruhi
budaya itu sendiri.
35
DAFTAR PUSTAKA
Ardika, I. W., Bellwood, P., Sutaba, I. M., & Yuliati, K. C. (1997). Sembiran and
the first Indian contacts with Bali: an update. Antiquity, 71(271), 193–
195. https://doi.org/10.1017/S0003598X00084696
Bellwood, P. (2007). Prehistory of the Indo-Malaysian Archipelago. Retrieved
from https://books.google.com/books?id=4obAfGBGKY0C&pgis=1
Bronson, B. (1977). Exchange at the upstream and downstream ends: Notes
towards a Functional Model of the Coastal States in SEA. In K. . Hutterer
(Ed.), Economic Exchange and Social Interactions in SEA, Papers on
Michigan South and Southeast Asia.
De eerste schipvaart der {Nederlanders} naar {Oost}-{Indië} onder {Cornelis} de
{Houtman}, 1595-1597; journalen, documenten en andere bescheiden,
uitg. en toegelicht door {G}.{P}. {Rouffaer} en {J}.{W}. {Ijzerman} :
{Rouffaer}, {Gerret} {Pieter}, 1860-192. (n.d.). Internet Archive.
Retrieved from https://archive.org/details/deeersteschipvaa01rouf
Eswayanti K.Y, L. P., & Pramana Yuda, I. (2020). The Island of Biogeography of
Wallace and Krakatoa Island. In Encyclopedia of the World’s Biomes
(pp. 217–229). Retrieved from
https://www.google.co.id/books?id=oXbLDwAAQBAJ
Guillot, C., Perret, D., & Fanani, A. S. (2008). Barus seribu tahun yang lalu.
Retrieved from http://books.google.co.id/books?id=qRVzKKO5VeQC
Guillot, C., Perret, D., Wahyo, A. P., & Wibisono, N. H. (2002). Lobu Tua:
Sejarah Awal Barus. Retrieved from
http://books.google.co.id/books?id=S9_PnQEACAAJ
Hurgronje, S., Laffan, M., & Winter, T. (2005). Finding Java : Muslim
nomenclature of insular Southeast Asia from Ś rîvijaya to. Asian
Research Institute , Working Paper Series, 50(52), 1–70.
Kawasan Kosmopolitan Lebih Tua dari Barus Ditemukan di Tapanuli Tengah -
Kompas.id. (n.d.). Retrieved September 24, 2021, from
36
https://www.kompas.id/baca/nusantara/2021/02/07/kawasan-kosmopolitan-lebih-
tua-dari-barus-ditemukan-di-tapanuli-tengah/
Kealy, S., Louys, J., & O’Connor, S. (2016). Islands Under the Sea: A Review
of Early Modern Human Dispersal Routes and Migration Hypotheses
Through Wallacea. Journal of Island and Coastal Archaeology, 11(3).
https://doi.org/10.1080/15564894.2015.1119218
Kingwell-Banham, E., Bohingamuwa, W., Perera, N., Adikari, G., Crowther, A.,
Fuller, D. Q., & Boivin, N. (2018). Spice and rice: pepper, cloves and
everyday cereal foods at the ancient port of Mantai, Sri Lanka.
Antiquity, 92(366), 1552–1570.
https://doi.org/10.15184/AQY.2018.168
Manguin, P.-Y. (2014). Sifat Amorf Politi-Politi Pesisir Asia Tenggara
Kepulauan : Pusat-pusat yang terbatas Pinggiran-Pinggiran yang
Meluas. In Kedatuan Sriwijaya (pp. 316–344). Depok: Komunitas
Bambu.
Manguin, P.-Y. (2017). Ships and Shipping in Southeast Asia (Vol. 1).
https://doi.org/10.1093/acrefore/9780190277727.013.30
Miksic, J. N. (1985). Traditional Sumatran Trade. Bulletin de l’Ecole Française
d’Extrême-Orient, 74(1), 423–467.
https://doi.org/10.3406/befeo.1985.1677
Miksic, J. N. (2010). Recent Research in the Southeast Sumatran Region
Riverbeds and Harbors as Sites of Underwater Cultural Heritage
Archaeology of Ports in Southeast Asia. (September 2011), 37–
41.
Miksic, J. N. (2013). Singapore and the Silk Road of the Sea,
1300_1800. Retrieved from
https://books.google.com/books?id=bMt3BgAAQBAJ&pgis=1
Mills, J. V. (1979). Chinese Navigators in Insulinde about A.D. 1500.
Archipel, 18(1), 69–93. https://doi.org/10.3406/arch.1979.1502
Pires, T., Cortesão, A., & Rodrigues, F. (2010). The Suma oriental of
Tomé Pires : an account of the East, from the Red sea to Japan,
37
written in Malacca and India in 1512-1515, and the book of
Francisco Rodrigues, rutter of a voyage in the Red sea, nautical
rules, almanack and maps, written and drawn in the East before
1515. Volume I. 228.
Ptak, R. (1992). The Northern Trade Route to the Spice Islands : South
China Sea - Sulu Zone - North Moluccas ( 14th to early 16th century
). Archipel, 43, 27–56.
Rangkuti, N., & Fauzi, M. R. (2019). Archaeological evidence from Purwo
Agung site (Karang Agung Tengah): A new perspective on Pre-
Srivijayan settlement in the coastal area of South Sumatra.
Archaeological Research in Asia, 17, 193–203.
https://doi.org/10.1016/j.ara.2019.01.004
Reid, A. (1990). Southeast Asia in the Age of Commerce, 1450-1680: The
Lands Below the Winds. Retrieved from
http://books.google.co.id/books?id=lqyJViWXkVsC
Sasaoka, M. (2012). Influence of indigenous sago-based agriculture on
local forest landscapes in Maluku, east Indonesia. Retrieved from
https://www.academia.edu/6070677/Influence_of_indigenous_sago_b
ased_agriculture_on_local_forest_landscapes_in_Maluku_east_Indon
esia
Solheim II, W. G. (2016). The Nusantao Hypothesis : The Origin and Spread of
Austronesian Speakers. Retrieved September 24, 2021, from Asian
Perspective website: http://www.jstor.org/stable/42928107
Supriatna, J. (2021, August 12). Wallacea: laboratorium hidup evolusi. The
Conversation. Retrieved from http://theconversation.com/wallacea-
laboratorium-hidup-evolusi-85733
Tibbetts, G. (1979). A Study of the Arabic Texts containing Material on South-
East Asia. Oriental Translation Fund XLIV.
38
Tripati, S. (2017). Seafaring {Archaeology} of the {East} {Coast} of {India}
and {Southeast} {Asia} during the {Early} {Historical} {Period}. Ancient
Asia, 8. https://doi.org/10.5334/aa.118
Walker, M. J., & Santoso, S. (1977). Romano-Indian Rouletted Pottery in
Indonesia. Asian Perspectives, 20(2), 228–235. Retrieved from
https://www.jstor.org/stable/42927960
Wargadalem, F. R. (2017). Kesultanan Palembang dalam pusaran konflik, 1804-
1825. Retrieved from https://www.gramedia.com/products/kesultanan-
palembang-dalam-pusaran-konflik
Waugh, D. C. (2010). Richthofen’s “Silk Roads”: Toward the Archaeology of a
Concept 1. Retrieved from
http://faculty.washington.edu/dwaugh/publications/waughrichthofen2010.pd
f
Whitmore, J. K. (2016). The Rise of the Coast: Trade, State and Culture in.
Journal of Southeast Asian Studies, 37(1).
https://doi.org/10.1017/S0022463405000457
Wibisono, S. C. (2013). Bina Kawasan di Negeri Bawah Angin : dalam
Perniagaan Abad ke--15-18. Kalpataru, 22, No.2(November), 111–121.
Wolters, O. W. (1967). Early Indonesian commerce: a study of the origins of
Srīvijaya. 404.
Wolters, O. W. (2008). Early Southeast Asia: Selected Essays. Retrieved
from http://books.google.com/books?id=CMKksaGQDG0C&pgis=1
39
PROFIL PENULIS
Pendidikan :
1. Jurusan Arkeologi; Fakultas Sastra Universitas Indonesia (S1-
tamat tahun 1982)
2. Jurusan Arkeologi; Fakultas Pasca Sarjana Arkeologi
Universitas Indonesi (S2-tamat tahun 1991)
3. Jurusan Histoire et Civilizations (Le Mondes de Asie du Sud-
est) ; Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sosiales , Paris
(Diplome Etude Approfondie- tahun 1999)
40
Simposium Internasional
1. International Seminar of The Maritim Silk Route and The
Islamic Culture., Guang Shu , Republik Cina 1990.
2. Heritage and non-govermental Institution; USA, 1991
3. Symposium IAHA, Tokyo, 1994
4. Symphosium ASEAN : Method and Corservation Archaeology,
Borobudur,
5. Symphosium of Harbour City in Southest Asia, Singapore, 2004
6. Symphosium of The Dispersal of Austronesians and
Ethnogeneses of the People in Indonesian Archipelago, LIPI-
Surakarta, 2005
7. Symphosium of City of Sakai, Jepang 2008, 2009
8. International Symphosium on exchange of material culture over
the sea, 2007 , Taipeh
9. International Symphosium on historic archaeology, dialoog
between above and ground in historic archaeology, Taipeh
2010
10. International Symphosium on Sriwijaya, Palembang 2014.
11. Archaeological Discovery and Maritime Silk Road .
Internasional Seminar ; Shanghai 2019
41