Oleh :
Kelompok 9
=>Siti Kharima Farhana (90300121033 )
=>Muzhahir Nasir (90300121068 )
=>Nur Miati (90300121104)
1
Artinya : “Dan Allah telah mengahalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al
Baqara (2) : 275)
Ayat tersebut petunjuknya jelas, yaitu mengenai halalnya jual beli dan haramnya riba.
Petunjuk tersebut diambil dari lafazh itu sendiri tanpa memerlukan qarinah lain. Masing-
masing dari lafazh al-bai’ dan al riba merupakan lafazh ‘amm yang mempunyai
kemungkinan di takhsish.Kedudukan lafazh zhahir adalah wajib diamalkan sesuai dengan
petunjuk lafazh itu sendiri, sepanjang tidak ada dalil yang mentakhsisnya, mentakwilnya
atau menasakhnya.2[2]
2. Nash
Ulama Hanafiyah membedakan antara zhahir dengan nash, dengan memberikan
definisi nash sebagai berikut :Lafazh yang dengan sighatnya sendiri menunjukkan makna
yang dimaksud secara langsung menurut apa yang diungkapkan dan ada kemungkinan di
ta’wilkan.
Sebagai cotoh adalah ayat 275 surat al-Baqarah (2) diatas, petunjuk lafazh nash dari ayat
tersebut adalah tidak adanya persamaan hukum antara jual beli dan riba.Nash itu dalam
penunjukannya terhadap hukum adalah lebih kuat dibandingkan dengan zhahir, karena
penunjukan nash lebih terang dar segi maknanya. Nash itu yang dituju menurut ungkapan
“asal” sedangkan zhahir bukanlah tujuan langsung dari pihak yang mengungkapkannya.
Oleh sebab itu, apabila terjadi pertentangan antara lafazh zhahir dengan lafazh nash,
maka lafazh nash lebih didahulukan pemakainnya dan wajib membawa lafazh zhahir
pada lafazh nash.3[3]
3. Mufassar
Lafazh mufassar adalah lafazh yang menunjukkan suatu hukum dengan petunjuk
yang tegas dan jelas.Sehingga petunjuk itu tidak mungkin ditakwil atau
ditakhsis.Kejelasan petunjuk lafazh mufassar lebih tinggi daripada petunjuk lafazh zhahir
dan lafazh nash. Karena pada petunjuk lafazhzhahir dan lafah nash masih terdapat
kemungkinan ditakwil atau ditakhsis, sedangkan pada lafazh mufassar kemungkinan
tersebut sama sekali tidak ada.
3
Mufassar itu ada dua macam yaitu :
a. Menurut asalnya, lafazh itu memang sudah jelas dan terinci sehingga tidak perlu
penjelasan lebih lanjut. Contoh :
1.Hakikat
Hakikat ialah lafadz yang di gunakan pada asal peletakannya, Seperti : Singa ( )أسدuntuk
suatu hewan yang buas. Maka keluar dari perkataan kami : (“ )المستعملyang digunakan” :
yang tidak digunakan, maka tidak dinamakan hakikat dan majaz. Dan keluar dari
perkataan kami : ( “ )فيما وضع لهpada asal peletakannya” : Majaz.Dan hakikat terbagi
menjadi tiga macam : Lughowiyyah, Syar’iyyah dan ‘Urfiyyah.Hakikat lughowiyyah
adalah :
Contohnya : sholat, maka sesungguhnya hakikatnya secara bahasa adalah doa, maka
dibawa pada makna tersebut menurut perkataan ahli bahasa.
Contohnya : Ad-Dabbah ()الدابة, maka sesungguhnya hakikatnya secara ‘urf adalah hewan
yang mempunyai empat kaki, maka dibawa pada makna tersebut menurut perkataan ahli
‘urf.
Dan manfaat dari mengetahui pembagian hakikat menjadi tiga macam adalah : Agar kita
membawa setiap lafadz pada makna hakikat dalam tempat yang semestinya sesuai dengan
penggunaannya. Maka dalam penggunaan ahli bahasa lafadz dibawa kepada hakikat
lughowiyyah dan dalam penggunaan syar’i dibawa kepada hakikat syar’iyyah dan dalam
penggunaan ahli ‘urf dibawa kepada hakikat ‘urfiyyah.
2.Majas
“Lafadz yang digunakan bukan pada asal peletakannya.”Seperti : singa untuk laki-laki
yang pemberani.
Maka keluar dari perkataan kami : (“ )المستعملyang digunakan” : yang tidak digunakan,
maka tidak dinamakan hakikat dan majaz. Dan keluar dari perkataan kami : (في غير ما وضع
“ )لهbukan pada asal peletakannya” : Hakikat.Dan tidak boleh membawa lafadz pada
makna majaznya kecuali dengan dalil yang shohih yang menghalangi lafadz tersebut dari
maksud yang hakiki, dan ini yang dinamakan dalam ilmu bayan sebagai qorinah
(penguat).
Dan disyaratkan benarnya penggunaan lafadz pada majaznya : Adanya kesatuan antara
makna secara hakiki dengan makna secara majazi agar benarnya pengungkapannya, dan
ini yang dinamakan dalam ilmu bayan sebagai ‘Alaqoh (hubungan/ penyesuaian), dan
‘Alaqoh bisa berupa penyerupaan atau yang selainnya.
Maka jika majaz tersebut dengan penyerupaan, dinamakan majaz Isti’arah ()استعارة,
seperti majaz pada lafadz singa untuk seorang laki-laki yang pemberani.
Dan jika bukan dengan penyerupaan, dinamakan majaz Mursal ( )مجاز مرسلjika majaznya
dalam kata, dan dinamakan majaz ‘Aqli ( )مجاز عقليjika majaznya dalam penyandarannya.
Contohnya dari majaz mursal : kamu mengatakan : (“ )رعينا المطرKami memelihara
hujan”, maka kata (“ )المطرhujan” merupakan majaz dari rumput ()العشب. Maka majaz ini
adalah pada kata.
Dan contohnya dari majaz ‘Aqli : Kamu mengatakan : (“ )أنبت المطر العشبHujan itu
menumbuhkan rumput”, maka kata-kata tersebut seluruhnya menunjukkan hakikat
maknanya, tetapi penyandaran menumbuhkan pada hujan adalah majaz, karena yang
menumbuhkan secara hakikat adalah Allah ta’ala, maka majaz ini adalah dalam
penyandarannya.
Dan diantara majaz mursal adalah : Majaz dalam hal penambahan dan majaz dalam hal
penghapusan.
Mereka memberi permisalan majaz dalam hal penambahan dengan firman Allah ta’ala :
Maka mereka mengatakan : Sesungguhnya (“ )الكافhuruf kaaf” adalah tambahan untuk
penguatan peniadaan permisalan dari Allah ta’ala.
وسئل القرية
Maksudnya : (“ )واسأل أهل القريةbertanyalah pada penduduk desa”, maka penghapusan kata
(“ )أهلpenduduk” adalah suatu majaz, dan bagi majaz ada macam yang sangat banyak
yang disebutkan dalam ilmu bayan.
Dan hanya saja disebutkan sedikit tentang hakikat dan majaz dalam ushul fiqh karena
penunjukan lafadz bisa jadi berupa hakikat dan bisa jadi berupa majaz, maka dibutuhkan
untuk mengetahui keduanya dan hukumnya. Wallahu A’lam
3. Sharih
Sharih adalah lafadz yang tidak memerlukan penjelasan. menurut abdul azhim bin
badawi al-khalafi, bahwa yang dimaksud dengan sharih adalah suatu kalimat yang
langsung dapat dipahami tatkala diucapkan dan tidak mengandung makna lain.
Jadi bahwa lafal sharih adalah talak yang diucapkan dengan tegas yang perkataan tersebut
bermaksud dan bertujuan menjatuhkan talak seperti kata talak atau cerai. Adapun Contoh
lafaz yang Sharih diantaranya:
a. Aku ceraikan kau dengan talak satu.
Jika suami melafazkan talak dengan mengunakan kalimah yang “Sharih” seumpama di
atas ini, maka talak dikira jatuh walaupun tanpa niat. Hal ini, senada dengan pendapat
imam Syafi’i dan Abu Hanifah, beliau berkata bahwa talak sharih tidak membutuhkan
niat.
4. Kinayah
Kinayah adalah lafadz yang memerlukan penjelasan. menurut Jumhur Ulama kinayah
adalah suatu ucapan talak yang diucapkan dengan kata-kata yang tidak jelas atau melalui
sindiran. Kata-kata tersebut dapat dikatakan lain, seperti ucapan suami “pulanglah kamu”.
Sementara Kinayah pula membawa maksud kalimah yang secara tidak langsung yang
mempunyai dua atau lebih pengertiannya. Umpamanya jika suami melafazkan kepada
isterinya perkataan, sebagai contah kinayah sebagai berikut:
Mengenai talak kinayah ini, para ulama tidak terjadi perbedaan pendapat mengenai akibat
hukumnya, diantaranya pendapat-pendapat yang diungkapkan para ulama seperti halnya
Mazhab Hanbali mereka berpendapat bahwa talak dengan ucapan kinayah sekiranya
suami melafazkan kepada isterinya dengan niat menceraikannya maka jatuh talak. Selain
itu Jumhur Ulama berpendapat bahwa ucapan talak kinayah akan jatuh talaknya apabila
dengan adanya niat.
Talak dengan cara kinayah tidak jatuh kecuali dengan niat seperti yang diterangkan di
atas, kecuali apabila seorang suami dengan tegas mentalak tetapi ia berkata: saya tidak
berniat dan tidak bermaksud mentalak, maka talaknya tetap jatuh. Apabila seorang
menjatuhkan talak secara kinayah tanpa maksud mentalak maka tidak jatuh talaknya,
karena kinayah memiliki arti ganda (makna talak dan selain talak), dan yang dapat
membedakanya hanya niat dan tujuan.
Ibnu Taimiyah r.a berpendapat bahwa talak tidak berlaku kecuali dia menghendakinya.
Beliau berargumen bahwa amal perbuatan dalam Islam tidak dinilai kecuali dengan
adanya niat. Misalkan seseorang mengerjakan aktivitas shalat dari takbir sampai salam
tetapi tidak meniatkan untuk shalat, maka shalatnya tidak sah. Contoh yang lain,
seseorang melakukan sahur dan makan ketika maghrib, tetapi dia tidak niat untuk syiam
(puasa), maka amal dia ini tidak dianggap sebagai amalan syiam. Orang duduk di masjid
tanpa niat i’tikaf maka dia tidak bisa disebut melakukan ibadah i’tikaf.
Lafadz ‘amm ialah suatu lafadz yang menunjukan satu makna yang
mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu. Para ulama
Usul Fiqih memberikan definisi ‘amm antara lain sebagai berikut :
1. Menurut ulama Hanafiyah adalah setiap lafadz yang mencakup banyak, baik secara
lafadz maupun makna
2. Menurut ulama Syafi’iyyah, diantaranya Al-Ghazali adalah satu lafadz yang dari
satu segi menunjukan dua makna atau lebih.
b. Macam-macam lafadh ‘Am
1. Lafadh Kullun, jami’un, kaaffah, ma’asyar (artinya seluruhnya) Masing-masing
lafal tersebut meliputi segala yang menjadi mudhaf ilaihi dari lafadh-lafadh itu.
Contohnya :
Kullun
“Tiap-tiap (seluruh) yang berjiwa akan merasakan mati.”(Q.S.Ali Imran : 185)
Jami’un
“Dialah Allah yang menjadikan bagimu apa-apa yang ada dibumi,
semuanya.” (QS Al Baqarah : 29)
Kaaffah
“Dan kami tidak mengutusmu melainkan kepada seluruh manusia.” (QS. Saba’ :
28)
B. Khas
a. Pengertian khas
Khas adalah suatu lafazh yang dipasangkan pada satu arti yang sudah
diketahui (ma’lum) dan manunggal.
Menurut Prof. Dr. Abdul Wahab Khallaf, ia mendefinisikan lafal Khash,
sebagai berikut : “Lafadz Khash ialah lafadz yang dibuat untuk menunjukkan satu
satuan tertentu; berupa orang, seperti Muhammad atau satu jenis, seperti laki-laki,
atau beberapa satuan yang bermacam-macam dan terbatas, seperti tigabelas,
seratus, kaum, golongan, jama’ah, kelompok,dan lafal lain yang menujukkan
jumlah satuan atau tidak menunjukkan cakupan kepada seluruh satuannya”.
Dapat disimpulkan bahwa khas ialah perkataan atau susunan yang
menunjukkan arti sesuatu yang tertentu, tidak meliputi arti umum atau
menunjukkan satu jenis, seperti perempuan. Jadi khas itu kebalikan dari ‘am.
b. Ketentuan Lafadh khas
Secara umum lafadz Khash hukumnya ialah jika ada dalam nash syara’, yang
menunjukkan secara qaht’i terhadap maknanya maka hukumnya dari lafadz tersebut
ialah Qath’i (pasti), bukan dugaan.
Jika dari lafadz khash terdapat dalil yang menghendaki (pemahaman lain) terhadap
arti lain, maka dialihkan terhadap arti yang dikehendaki oleh dalil itu.
Jika dalam suatu kasus hukumnya khash dan ditemukan ‘am dalam kasus lain,
maka lafadz khash membatasi pemberlakuan ‘am.
Bila ditemukan perbenturan antara dalil khash dengan dalil ‘am, maka dalil yang
khash mentakhshishkan yang ‘am, atau memberi penjelasan terhadap yang ‘am.
C. Takhsis
a. Pengertian takhsis
Pengertian takhsihsh menurut Drs. Moh. Rifa’i ialah, sebagai berikut:
“Takhsish artinya menentukan, yakni mengeluarkan sebagian yang masuk dibawah
lingkungan umum ketika tidak ada yang mentakhsihsh. Mukhashshish ialah a)
orang yang mempergunakan takhshish; b) dalil yang dipakai takhsish. Makhsush
ialah ‘am yang kena takhsish.
Menurut abdul wahhab khallaf: “Takhshish ialah penjelesan bahwa yang
dimaksud oleh pembuat hukum tentang lafadz ‘am itu pada mulanya adalah
sebagian afradnya.
َّ اَقِ ْي ُموا
َالصالَة
ت ال َْعتِْي ِق
ِ ولْيطََّّو ُفوا بِالْب ْي
َ ْ ََ
Artinya: “dan hendaklah thawaf sekeliling rumah tua itu (Baitullah)”. (QS.Al Haj:
29)
س ُك ْم
َ َعلَْي ُك ْم اَْن ُف
Artinya: “Jagalah dirimu”. (QS. Al Maidah: 105)
.
4. Syarat yang harus ada pada kata Amar (perintah) adalah :
a. Harus berupa ucapan perintah (Amar) seperti kata uf’ul (kerjakanlah).
b. Harus berbentuk kata permintaan.
c. Tidak ada tanda-tanda (Qarinah) yang menunjukkan permintaan itu bertatus tidak
mewajibkan atau mengharuskan.
d. Datangnya permintaan itu harus dari atasan, sebab jika dari bawahan namanya
do’a.[8]
Suatu kata perintah (fiil amar) dapat dipandang dari dua sisi yakni:
a) Cara menyatakan perintah dari bentuk kata. Hal ini menunjukkan tuntunan
perbuatan dalam waktu yang tertentu atau waktu mendatang.
b) Maksud yang dikandung dalam perintah itu atau perbuatan yang diminta
(ma’addatul amri).
Hal ini menunujukkan macamnya perbuatan yang diminta, seperti berdiri, duduk.
Apabila disatukan kedua sisi tersebut dalam amar, maka maksudnya tidak lebih dari pada
hanya menuntut perbuatan yang disebutnya, dan tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan
berulang-ulanya perbuatan itu. Memenuhi tuntunan suruhan tersebut cukup dengan
dikerjakan sekali saja, karena menurut qaidah “tidak ada kewajiban lebih dari pada
tanggungan yang sebenarnya (sesuai kemampuan seorang hamba)”.
Nahi
1. Pengertian Nahi
Nahi menurut bahasa artinya mencegah, melarang (al-man’u), sedangkan Menurut
istilah adalah lafadz yang meminta untuk meninggalkan sesuatu perbuatan kepada orang
lain dengan menggunakan ucapan yang sifatnya mengharuskan, atau lafadz yang
menyuruh kita untuk meninggalkan suatu pekerjaan yang diperintahkan oleh orang yang
lebih tinggi dari kita. Akal juga disebut nuhyah (nahyu), karena dia dapat mencegah
orang yang berakal itu untuk tidak berbuat salah.
Menurut Abdul Hamid Hakim menyebutkan bahwa nahi adalah perintah untuk
meninggalkan sesuatu dari atasan kepada bawahan. Jadi Nahi adalah suatu larangan yang
harus ditaati yang datangnya dari atasan kepada bawahan, yakni dari Allah SWT kepada
hamba-Nya.[10]
Adapun maksud nahi yang sebenarnya adalah menunjukkan haram, seperti dalam
firman Allah:
ًاع َفة
َض َ ض َعافًا ُم ِّ َواَل تَأْ ُكلُوا
ْ َالربَا أ
Artinya: “dan janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda”. (QS. Ali
Imran: 130)
Karena La ta’kulu berbentuk nahi, sedangkan ketentuan nahi adalah haram, maka
makan harta riba hukumnya haram, karena tidak diridlai Allah swt. Inilah hukum asli
dari nahi.
Kecuali apabila ada qarinah yang memengaruhinya, maka nahi tersebut tidak lagi
menunjukkan hukum haram, tetapi menunjukkan hukum makruh, mubah, dan
sebagainya. Sesuai dengan qarinah yang memengaruhinya itu. Ada ulama yang
berpendapat bahwa nahi yang masih asli itu menunjukkan hukum makruh. Namun,
pendapat yang lebih kuat, bahwa nahi adalah haram.[11]
2. Sighat (bentuk kata) Nahi
Kalimat larangan yang tidak memiliki qarinah menunjukkan hakikat larangan yang
mutlak. Seperti firman Allah:
ِ
الصالَ َة َوأَْنتُ ْم ُس َك َارى
َّ بُ يَاأ َُّي َها الَّذيْ َن َامنُوا اَل َت ْق َر
Artinya: “hai orang-orang yang beriman, jangan kamu kerjakan shalat dalam
keadaan mabuk”. (QS.An Nisa : 43)
Ungkapan yang menunjukkan kepada nahi (larangan) itu ada beberapa bentuk
diantaranya:
الربَوا
ِّ َواَ َح َّل اللّهَ َو َح َّر َم
Artinya: “dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (QS. Al
Baqarah: 275).
Kaidah-kaidah Nahi:
الزنَى
ِّ َواَل َت ْق َر بُوا
Artinya: “dan janganlah kalian mendekati zina”. (QS. Al Isra: 32).
Sighat Nahi mengandung beberapa pengertian, antara lain sebagai berikut:
اَل تُ ْش ِر ْك بِاللّه
Artinya: “janganlah kamu mempersekutukan Allah”.
Kaidah ketiga: pada dasarnya larangan yang mutlak menghendaki pengulangan
larangan dalam setiap waktu. Seperti:
Artinya, larangan melakukan suatu perbuatan itu akan mengakibatkan perbuatan yang
dilarang tadi apabila dilakukan hukumnya menjadi tidak sah. Contoh zina. Sebagian
ulama termasuk imam Ghazali dan ar Razi berpendapat bahwa “nahi itu tidak
menyebabkan tidak sahnya suatu perbuatan yang dilakukan, kecuali hanya dalam soal
ibadah saja, tidak dalam muamalah”. Sebagian ulama Syafi’iyyah, hanafiah, dan
muktazilah berpendapat bahwa “nahi itu tidak menyebabkan tidak sahnya perbuatan
yang dilarang, tidak pada lughah / bahasanya, tidak pada syara’, dan tidak pula dalam
soal-soal ibadah dan muamalah”.
Daftar Pustaka
http://syariah99.blogspot.com/2013/11/lafadz-dari-segi-kejelasan-dan.html?m=1
https://duniacemoro.wordpress.com/2012/09/20/ushul-fiqh-ii-lafadz-serta-pemakaiannya-
hakikat-majas-sharih-dan-kinayah/
http://syahrul86alganjurie.blogspot.com/2014/04/lafaz-dari-segi-kandungan-
pengertiannya.html?m=1
http://ainunnajib1994.blogspot.com/2016/02/makalah-amar-dan-nahi.html?m=1
http://repositori.uin-alauddin.ac.id/498/1/Misbahuddin%202.pdf