Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

(KAIDAH USHULIYAH LUGAWIYYAH I ; LAFAZ DARI SEGI KEJELASAN


MAKNANYA DAN DARI SEGI PENGGUNAANNYA KAIDAH USHULIYAH
LUGAWIYYAH II ; LAFAZ DARI SEGI KANDUNGAN MAKNA DAN DARI
SEGI SIGAT TAKLIF )

Oleh :
Kelompok 9
 =>Siti Kharima Farhana (90300121033 )
 =>Muzhahir Nasir (90300121068 )
 =>Nur Miati (90300121104)

PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya
sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa
kami mengucapkan terimakasih terhadap bantuan dari pihak yang telah
berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun
materinya.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih
jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan
sehari-hari.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan
dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan
pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Daftar Isi
SAMPUL DEPAN......................................................................................i
KATA PENGANTAR...............................................................................ii
DAFTAR ISI……………………………………………………………….iii
Kaidah Ushuliyah Lugawiyyah I………………………………………….1
A. Lafadz Dari Segi kejelasan Makna………………………………...1
B. Lafadz Dari Segi Penggunaannya………………………………….4
Kaidah Ushuliyah Lugawiyyah II………………………………………...8
1..Lafadz dari segi kandungan makna…………………………………...8
2.Lafadz dari segi sigat taklif………………………………..…………...12
Daftar pustaka…………………………………………………………….20
Kaidah Ushuliyah Lugawiyyah I

A. Lafadz Dari Segi kejelasan Makna


Pembahasan tentang lafadz dari segi jelas atau tidaknya makna terbagi menjadi dua,yaitu
dari kalangan ulama hanafiyah dan ulama syafi’iyah.
1.Lafadz yang jelas maknanya
Para ulama berpendapat dalam menilai tingkatan di lafazh dari segi
kejelasannya.Pertama yaitu ulama hanafiyah yang membagi lafazh dari segi kejelasan
terhadap makna dalam empat bagian yaitu dari yang jelasnya bersifat sederhana (zhahir),
cukup jelas (nash), sangat jelas (mufassar), dan sangat-sangat jelas (muhkam) dan yang
kedua jumhur ulama dari kalangan mutakallimin, dipelopori oleh Imam al-Syafi’I yang
membagi lafazh dari segi kejelasannya menjadi dua macam yaitu zhahir dan nash.1
Pembagian lafazh ini sebenarnya dilihat dari segi mungkin atau tidaknya ditakwilkan
atau dinasakh, sebagaimana berikut ini :
         Menurut Ulama Hanafiyah
1.      Zhahir
Menurut Al Bazdawi lafazh zhahir adalah suatu nama bagi seluruh perkataan yang
jelas maksudnya bagi pendengar melalui bentuk lafazh itu sendiri.
Abu Zahra berpendapat bahwa lafazh zhahir menurut ulama hanafiah adalah al-kalam
alladzi yadullu ‘ala ma’nan bayyinin wadhihin wa lakin lam yasqi al-kalam li ajli hadzal
ma’na (pembicaraan yang menunjukkan makna yang jelas lagi terang, tetapi pembicaraan
tidak digiring kepada makna terang ini). Petunjuk lafazh terhadap makna ini tidak
dimaksudkan pada makna yang pertama, tetapi petunjuk mengarah kepada makna lain.
Misalnya, dapat dikemukakan contoh berikut ini :
‫واحل هللا البيع و حرم الربوا‬

1
Artinya : “Dan Allah telah mengahalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al
Baqara (2) : 275)
Ayat tersebut petunjuknya jelas, yaitu mengenai halalnya jual beli dan haramnya riba.
Petunjuk tersebut diambil dari lafazh itu sendiri tanpa memerlukan qarinah lain. Masing-
masing dari lafazh al-bai’ dan al riba merupakan lafazh ‘amm yang mempunyai
kemungkinan di takhsish.Kedudukan lafazh zhahir adalah wajib diamalkan sesuai dengan
petunjuk lafazh itu sendiri, sepanjang tidak ada dalil yang mentakhsisnya, mentakwilnya
atau menasakhnya.2[2]
2.      Nash
Ulama Hanafiyah membedakan antara zhahir dengan nash, dengan memberikan
definisi nash sebagai berikut :Lafazh yang dengan sighatnya sendiri menunjukkan makna
yang dimaksud secara langsung menurut apa yang diungkapkan dan ada kemungkinan di
ta’wilkan.
Sebagai cotoh adalah ayat 275 surat al-Baqarah (2) diatas, petunjuk lafazh nash dari ayat
tersebut adalah tidak adanya persamaan hukum antara jual beli dan riba.Nash itu dalam
penunjukannya terhadap hukum adalah lebih kuat dibandingkan dengan zhahir, karena
penunjukan nash lebih terang dar segi maknanya. Nash itu yang dituju menurut ungkapan
“asal” sedangkan zhahir bukanlah tujuan langsung dari pihak yang mengungkapkannya.
Oleh sebab itu, apabila terjadi pertentangan antara lafazh zhahir dengan lafazh nash,
maka lafazh nash lebih didahulukan pemakainnya dan wajib membawa lafazh zhahir
pada lafazh nash.3[3]
3.      Mufassar
Lafazh mufassar adalah lafazh yang menunjukkan suatu hukum dengan petunjuk
yang tegas dan jelas.Sehingga petunjuk itu tidak mungkin ditakwil atau
ditakhsis.Kejelasan petunjuk lafazh mufassar lebih tinggi daripada petunjuk lafazh zhahir
dan lafazh nash. Karena pada petunjuk lafazhzhahir dan lafah nash masih terdapat
kemungkinan ditakwil atau ditakhsis, sedangkan pada lafazh mufassar kemungkinan
tersebut sama sekali tidak ada.

3
Mufassar itu ada dua macam yaitu :
a.       Menurut asalnya, lafazh itu memang sudah jelas dan terinci sehingga tidak perlu
penjelasan lebih lanjut. Contoh :

‫والذين يرمون المخصنات ثم لم يا توا با ر بعة شهداء فا جلدوهم‬


‫ثما نين جلده‬
“Orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan baik (berzina) kemudian mereka
tidak dapat mendatangkan empat orang saksi maka deralah mereka delapan puluh kali”.
b.      Asalnya lafazh itu belum jelas (ijmal) dan memberikan kemungkinan pemahaman
artinya. Kemudian datang dalil lain yang menjelaskan artinya sehingga ia menjadi
jelas. Contoh :

‫المستحاضة تتوضا لكل صالة‬


Perempuan yang mustahadhah harus berwudhu pada setiap menunaikan sholat.Kemudian
datang hadits lain yang berbunyi :

‫المستحاضة تتوضالوقت كل صالة‬


Perempuan yang mustahadhah harus berwudhu pada setiap kali masuk waktu sholat.
4.      Muhkam
Lafazh muhkan adalah lafazh yang menunjukkan makna dengan petunjuk tegas dan
jelas serta qath'i dan tidak mempunyai kemungkinan ditakwil, ditakhsis dan dinasakh
sekalipun pada masa Nabi Muhammad, lebih-lebih pada masa setelah beliau.
Muhkam itu ada dua macam, yaitu :
a.       Muhkam Lizatihi atau muhkam dengan sendirinya, bila tak ada kemungkinan untuk
pembatalan atau nasakh itu disebabkan oleh nash (teks) itu sendiri.
b.      Muhkam Lighairihi atau muhkam karena faktor luar bila tidak dapatnya lafadz itu di
nasakh bukan karena nash atau teksnya itu sendiri tetapi karena tidak ada nash yang
menasakhnya.

         Menurut Ulama Mutakallimin


Ulama mutakallimin (syafi'iyah) tidak memiliki pernyataan yang tegas dalam
membagi lafazh ditinjau dari segi ketidakjelasannya.Namun dapat disimpulkan bahwa
mereka membagi lafazh itu kedalam dua bagian yaitu mujmal dan mutasyabih.Namun,
secara umum dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan mujmal adalah suatu lafazh
yang menunjukkan makna yang dimaksud tetapi petunjuknya tidak jelas.

B.Lafadz Dari Segi Penggunaannya


Lafadz dari segi penggunaannya digolongkan kepada hakikat dan majaz.sedangkan
dari segi kejelasan untuk menyampaikan suatu maksud,lafadz itu dikelompokkan menjadi
sharih dan kinayah.

1.Hakikat

Hakikat ialah lafadz yang di gunakan pada asal peletakannya, Seperti : Singa (‫ )أسد‬untuk
suatu hewan yang buas. Maka keluar dari perkataan kami : (‫“ )المستعمل‬yang digunakan” :
yang tidak digunakan, maka tidak dinamakan hakikat dan majaz. Dan keluar dari
perkataan kami : (‫ “ )فيما وضع له‬pada asal peletakannya” : Majaz.Dan hakikat terbagi
menjadi tiga macam : Lughowiyyah, Syar’iyyah dan ‘Urfiyyah.Hakikat lughowiyyah
adalah :

‫اللفظ المستعمل فيما وضع له في اللغة‬

“Lafadz yang digunakan pada asal peletakannya secara bahasa.”


Maka keluar dari perkataan kami : (‫“ )في اللغة‬secara bahasa” : hakikat syar’iyyah dan
hakikat ‘urfiyyah.

Contohnya : sholat, maka sesungguhnya hakikatnya secara bahasa adalah doa, maka
dibawa pada makna tersebut menurut perkataan ahli bahasa.

Hakikat syar’iyyah adalah :

‫اللفظ المستعمل فيما وضع له في الشرع‬

“Lafadz yang digunakan pada asal    peletakannya   secara syar’i.”


Maka keluar dari perkataan kami : (‫“ )في الشرع‬secara syar’i” : hakikat lughowiyyah dan
hakikat ‘urfiyyah.
Contohnya : sholat, maka sesungguhnya hakikatnya secara syar’i adalah perkataan dan
perbuatan yang sudah diketahui yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam,
maka dibawa pada makna tersebut menurut perkataan ahli syar’i.

Hakikat ‘urfiyyah adalah :

‫اللفظ المستعمل فيما وضع له في العرف‬

“Lafadz yang digunakan pada asal peletakannya secara ‘urf (adat/kebiasaan).”


Maka keluar dari perkataan kami : (‫“ )في العرف‬secara ‘urf” : hakikat lughowiyyah dan
hakikat syar’iyyah.

Contohnya : Ad-Dabbah (‫)الدابة‬, maka sesungguhnya hakikatnya secara ‘urf adalah hewan
yang mempunyai empat kaki, maka dibawa pada makna tersebut menurut perkataan ahli
‘urf.

Dan manfaat dari mengetahui pembagian hakikat menjadi tiga macam adalah : Agar kita
membawa setiap lafadz pada makna hakikat dalam tempat yang semestinya sesuai dengan
penggunaannya. Maka dalam penggunaan ahli bahasa lafadz dibawa kepada hakikat
lughowiyyah dan dalam penggunaan syar’i dibawa kepada hakikat syar’iyyah dan dalam
penggunaan ahli ‘urf dibawa kepada hakikat ‘urfiyyah.

2.Majas

‫اللفظ المستعمل في غير ما وضع له‬

“Lafadz yang digunakan bukan pada asal peletakannya.”Seperti : singa untuk laki-laki
yang pemberani.

Maka keluar dari perkataan kami : (‫“ )المستعمل‬yang digunakan” : yang tidak digunakan,
maka tidak dinamakan hakikat dan majaz. Dan keluar dari perkataan kami : (‫في غير ما وضع‬
‫“ )له‬bukan pada asal peletakannya” : Hakikat.Dan tidak boleh membawa lafadz pada
makna majaznya kecuali dengan dalil yang shohih yang menghalangi lafadz tersebut dari
maksud yang hakiki, dan ini yang dinamakan dalam ilmu bayan sebagai qorinah
(penguat).

Dan disyaratkan benarnya penggunaan lafadz pada majaznya : Adanya kesatuan antara
makna secara hakiki dengan makna secara majazi agar benarnya pengungkapannya, dan
ini yang dinamakan dalam ilmu bayan sebagai ‘Alaqoh (hubungan/ penyesuaian), dan
‘Alaqoh bisa berupa penyerupaan atau yang selainnya.

Maka jika majaz tersebut dengan penyerupaan, dinamakan majaz Isti’arah (‫)استعارة‬,
seperti majaz pada lafadz singa untuk seorang laki-laki yang pemberani.

Dan jika bukan dengan penyerupaan, dinamakan majaz Mursal (‫ )مجاز مرسل‬jika majaznya
dalam kata, dan dinamakan majaz ‘Aqli (‫ )مجاز عقلي‬jika majaznya dalam penyandarannya.
Contohnya dari majaz mursal : kamu mengatakan : (‫“ )رعينا المطر‬Kami memelihara
hujan”, maka kata (‫“ )المطر‬hujan” merupakan majaz dari rumput (‫)العشب‬. Maka majaz ini
adalah pada kata.

Dan contohnya dari majaz ‘Aqli : Kamu mengatakan : (‫“ )أنبت المطر العشب‬Hujan itu
menumbuhkan rumput”, maka kata-kata tersebut seluruhnya menunjukkan hakikat
maknanya, tetapi penyandaran menumbuhkan pada hujan adalah majaz, karena yang
menumbuhkan secara hakikat adalah Allah ta’ala, maka majaz ini adalah dalam
penyandarannya.

Dan diantara majaz mursal adalah : Majaz dalam hal penambahan dan majaz dalam hal
penghapusan.

Mereka memberi permisalan majaz dalam hal penambahan dengan firman Allah ta’ala :

‫ليس كمثله شئ‬

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya” (QS. Asy-Syuro : 11)

Maka mereka mengatakan : Sesungguhnya (‫“ )الكاف‬huruf kaaf” adalah tambahan untuk
penguatan peniadaan permisalan dari Allah ta’ala.

Contoh dari majaz dengan penghapusan adalah firman Allah ta’ala :

‫وسئل القرية‬

“Bertanyalah kepada desa” (QS. Yusuf : 82)

Maksudnya : (‫“ )واسأل أهل القرية‬bertanyalah pada penduduk desa”, maka penghapusan kata
(‫“ )أهل‬penduduk” adalah suatu majaz, dan bagi majaz ada macam yang sangat banyak
yang disebutkan dalam ilmu bayan.

Dan hanya saja disebutkan sedikit tentang hakikat dan majaz dalam ushul fiqh karena
penunjukan lafadz bisa jadi berupa hakikat dan bisa jadi berupa majaz, maka dibutuhkan
untuk mengetahui keduanya dan hukumnya. Wallahu A’lam           

 3. Sharih

Sharih adalah lafadz yang tidak memerlukan penjelasan. menurut abdul azhim bin
badawi al-khalafi, bahwa yang dimaksud dengan sharih adalah suatu kalimat yang
langsung dapat dipahami tatkala diucapkan dan tidak mengandung makna lain.

Jadi bahwa lafal sharih adalah talak yang diucapkan dengan tegas yang perkataan tersebut
bermaksud dan bertujuan menjatuhkan talak seperti kata talak atau cerai. Adapun Contoh
lafaz yang Sharih diantaranya:
a.           Aku ceraikan kau dengan talak satu.

b.           Aku telah melepaskan (menjatuhkan) talak untuk engkau.

c.           Hari ini aku ceraikan kau

Jika suami melafazkan talak dengan mengunakan kalimah yang “Sharih” seumpama di
atas ini, maka talak dikira jatuh walaupun tanpa niat. Hal ini, senada dengan pendapat
imam Syafi’i dan Abu Hanifah, beliau berkata bahwa talak sharih tidak membutuhkan
niat. 

4.  Kinayah

Kinayah adalah lafadz yang memerlukan penjelasan. menurut Jumhur Ulama  kinayah
adalah suatu ucapan talak yang diucapkan dengan kata-kata yang tidak jelas atau melalui
sindiran. Kata-kata tersebut dapat dikatakan lain, seperti ucapan suami “pulanglah kamu”.
Sementara Kinayah pula membawa maksud kalimah yang secara tidak langsung yang
mempunyai dua atau lebih pengertiannya. Umpamanya jika suami melafazkan kepada
isterinya perkataan, sebagai contah kinayah sebagai berikut:

a.         Kau boleh pulang ke rumah orang tua mu.

b.         Pergilah engkau dari sini, ke mana engkau suka.

c.         Kita berdua sudah tidak ada hubungan lagi. 

Mengenai talak kinayah ini, para ulama tidak terjadi perbedaan pendapat mengenai akibat
hukumnya, diantaranya pendapat-pendapat yang diungkapkan para ulama seperti halnya
Mazhab Hanbali mereka berpendapat bahwa talak dengan ucapan kinayah sekiranya
suami melafazkan kepada isterinya dengan niat menceraikannya maka jatuh talak. Selain
itu Jumhur Ulama berpendapat bahwa ucapan talak kinayah akan jatuh talaknya apabila
dengan adanya niat.

Talak dengan cara kinayah tidak jatuh kecuali dengan niat seperti yang diterangkan di
atas, kecuali apabila seorang suami dengan tegas mentalak tetapi ia berkata: saya tidak
berniat dan tidak bermaksud mentalak, maka talaknya tetap jatuh. Apabila seorang
menjatuhkan talak secara kinayah tanpa maksud mentalak maka tidak jatuh talaknya,
karena kinayah memiliki arti ganda (makna talak dan selain talak), dan yang dapat
membedakanya hanya niat dan tujuan.

Ibnu Taimiyah r.a berpendapat bahwa talak tidak berlaku kecuali dia menghendakinya.
Beliau berargumen bahwa amal perbuatan dalam Islam tidak dinilai kecuali dengan
adanya niat. Misalkan seseorang mengerjakan aktivitas shalat dari takbir sampai salam
tetapi tidak meniatkan untuk shalat, maka shalatnya tidak sah. Contoh yang lain,
seseorang melakukan sahur dan makan ketika maghrib, tetapi dia tidak niat untuk syiam
(puasa), maka amal dia ini tidak dianggap sebagai amalan syiam. Orang duduk di masjid
tanpa niat i’tikaf maka dia tidak bisa disebut melakukan ibadah i’tikaf.

Kaidah Ushuliyah Lugawiyyah II


1..Lafadz dari segi kandungan makna
A.           Lafadh ‘Am

a.              Pengertian ‘Am

Lafadz ‘amm ialah suatu lafadz yang menunjukan satu makna yang
mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu. Para  ulama
Usul Fiqih memberikan definisi ‘amm antara lain sebagai berikut :
1.      Menurut ulama Hanafiyah adalah setiap lafadz yang mencakup banyak, baik secara
lafadz maupun makna
2.      Menurut ulama Syafi’iyyah, diantaranya Al-Ghazali adalah satu lafadz yang  dari
satu segi menunjukan dua makna atau lebih.
b.        Macam-macam lafadh ‘Am
1.      Lafadh Kullun, jami’un, kaaffah, ma’asyar (artinya seluruhnya) Masing-masing
lafal tersebut meliputi segala yang menjadi mudhaf ilaihi dari lafadh-lafadh itu.
Contohnya :
         Kullun
“Tiap-tiap (seluruh) yang berjiwa akan merasakan mati.”(Q.S.Ali Imran : 185)
         Jami’un
“Dialah Allah yang menjadikan bagimu apa-apa yang ada dibumi,
semuanya.” (QS Al Baqarah : 29)
         Kaaffah
“Dan kami tidak mengutusmu melainkan kepada seluruh manusia.” (QS. Saba’ :
28)

2.      Isim istifham ialah man (siapa), ma (apa), aina (dimana), ayyun (siapakah),


dan mata (kapan).
Contohnya : “Kapan datangnya pertongan Allah? Ingatlah, sesungguhnya
pertolongan Allah itu sangat dekat.” (QS. Al-Baqarah [2] : 215)
3.      Isim isyarat, seperti man (barang siapa), ma (apa saja), dan ayyun (yang mana saja)
Contohnya :  Barang siapa mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan
karena kejahatan itu.” (QS. An-Nisa’ [4] : 123)
4.      Isim Mufrad yang makrifat dengan alif lam (al) atau idhafah:
Contohnya: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengaharamkan riba.” (QS.
Al-Baqarah [2] : 275)
c.         Dilalah lafadh ‘Am
Para ulama sepakat bahwa lafadz ‘amm yang disertai qarinah (indikasi) yang
menunjukan penolakan adanya takhsis adalah qath’i dilalah. Begitu juga lafadz
‘amm yang  disertai qarinah yang menunjukan bahwa yang dimaksudkannya itu
kusus, mempunyai dilalah yang khusus pula.
Menurut Hanafiyah dilalah ‘amm itu qath’i, yang dimaksud qat’i menurut
Hanafiyah ialah tidak mencakup suatu kandungan, yang menimbulkan suatu dalil.”
Namun, bukan berarti tidak ada kemungkinan takhsis sama sekali. Oleh
karena itu, untuk menetapkan ke-qath’i-an lafadz ‘amm, pada mulanya tidak boleh
di takhsis sebab apabila pada awalnya sudah dimasuki takhsis,maka dilalahnya
dzanni.
Mereka beralasan,”sesungguhnya suatu lafadz apabila dipasangkan (di-
wadha’-kan) pada suatu makna, maka makna itu berketetapan yang pasti, sampai
ada dalil yang mengubahnya.
Menurut jumhur ulama (malikiyah,Syafi’iyyah,dan Hanbaliyah) dilalah
‘amm adalah dzanni.Mereka beralasan kalau dilalah ‘amm itu termasuk bagian
dilalah dahir, yang mempunyai kemungkinan di taksis. Dan kemungkinan ini pada
lafadz ‘amm banyak sekali. Selama  kemungkinan tetap ada, maka tidak dapat
dibenarkan menyatakan bahwa dilalah-nya qath’i. Sehubungan dengan hal in, ibnu
Abbas berkata : Dalam Al-qur’an semua lafadz umum itu ada taksisnya, kecuali
firman Alloh Swt : ”Dan Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu”.
Oleh karena itu mereka mengeluarkan satu kaidah yang berbunyi:
‫مامن عام اال وقد خصص‬
“Tidaklah ada (lafadz) yang umu kecuali sudah di taksis”.
Ulama Hanafiyah membantah alasan jumhur tersebut, menurutnya
kemungkinan itu tidak dapat dibenarkan, sebab timbulnya dari ucapan pembicara
(mutakallimin), bukan dari dalil.

B.            Khas
a.    Pengertian khas
Khas adalah suatu lafazh yang dipasangkan pada satu arti yang sudah
diketahui (ma’lum) dan manunggal.
Menurut Prof. Dr. Abdul Wahab Khallaf, ia mendefinisikan lafal Khash,
sebagai berikut : “Lafadz Khash ialah lafadz yang dibuat untuk menunjukkan satu
satuan tertentu; berupa orang, seperti Muhammad atau satu jenis, seperti laki-laki,
atau beberapa satuan yang bermacam-macam dan terbatas, seperti tigabelas,
seratus, kaum, golongan, jama’ah, kelompok,dan lafal lain yang menujukkan
jumlah satuan atau tidak menunjukkan cakupan kepada seluruh satuannya”.  
Dapat disimpulkan bahwa khas ialah perkataan atau susunan yang
menunjukkan arti sesuatu yang tertentu, tidak meliputi arti umum atau
menunjukkan satu jenis, seperti perempuan. Jadi khas itu kebalikan dari ‘am.
b.    Ketentuan Lafadh khas
           Secara umum lafadz Khash hukumnya ialah jika ada dalam nash syara’, yang
menunjukkan secara qaht’i terhadap maknanya maka hukumnya dari lafadz tersebut
ialah Qath’i (pasti), bukan dugaan.
           Jika dari lafadz khash terdapat dalil yang menghendaki (pemahaman lain) terhadap
arti lain, maka dialihkan terhadap arti yang dikehendaki oleh dalil itu.
           Jika dalam suatu kasus hukumnya khash dan ditemukan ‘am dalam kasus lain,
maka lafadz khash membatasi pemberlakuan ‘am.
           Bila ditemukan perbenturan antara dalil khash dengan dalil ‘am, maka dalil yang
khash mentakhshishkan yang ‘am, atau memberi penjelasan terhadap yang ‘am.
C.      Takhsis
a.         Pengertian takhsis
Pengertian takhsihsh menurut Drs. Moh. Rifa’i ialah, sebagai berikut:
“Takhsish artinya menentukan, yakni mengeluarkan sebagian yang masuk  dibawah
lingkungan umum ketika tidak ada yang mentakhsihsh. Mukhashshish ialah a)
orang yang mempergunakan takhshish; b) dalil yang dipakai takhsish. Makhsush
ialah ‘am yang kena takhsish.
Menurut abdul wahhab khallaf: “Takhshish ialah penjelesan bahwa yang
dimaksud oleh pembuat hukum tentang lafadz ‘am itu pada mulanya adalah
sebagian afradnya.

b.        Dalil Takhsis

Dalil takhsis disebut Mukhasis atau sesuatu yang mentakhsiskan.


mukhashish itu terbagi menjadi dua macam : berbentuk nash (teks) dan  bukan
dalam bentuk nash. Dalam hubungannya dengan lafadz ‘am, mukhashshish itu ada
yang terpisah dengan lafadz ‘am  dan ada yang menyatu dengan lafadz ‘am. 
c.         Macam-macam mukhashshis
           Mukhashshis muttasil yaitu yang tidak berdiri sendiri, maknanya berkaitan dengan
lafal sebelumnya.
Misalnya: “Dan janganlah kamu membunuh sesuatu jiwa manusia yang telah Allah
haramkan (membunuhnya), kecuali dengan jalan yang dibenarkan.” (QS. Al-An’am
[6] :151)
Susunan Janganlah kamu membunuh sesuatu jiwa manusia yang telah Allah
haramkan membunuhnya itu menunjukkan umum, artinya tidak boleh membunuh
seorang pun, kecuali dengan jalan yang benar, yaitu qishash atau di dalam
pertempuran.
           Mukhashshish munfasil yaitu berdiri sendiri, terpisah dari dalil yang memberikan
pengertian umum.
Misalnya: “Dan makan serta minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan.” (QS.
Al’a’raf [7] : 31)

2.Lafadz dari segi sigat taklif


Digolongkan menjadi dua yaitu Amar dan Nahi
 Amr/amar
1. Pengertian Amar
Menurut bahasa arab, Amar artinya perintah, menurut istilah Amar adalah suatu
lafadz yang didalamnya menunjukkan tuntutan untuk megerjakan suatu perkerjaan dari
atasan kepada bawahan. Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa Amar itu tidak
hanya ditunjukkan pada lafadz-lafadz yang memakai sighat (bentuk kata) Amar saja,
tetapi ditunjukkan pula oleh semua bentuk kata yang didalamnya mengandung arti
perintah. Jadi Amar merupakan suatu permintaan untuk mengerjakan sesuatu yang
sifatnya mewajibkan/mengharuskan.[1]
Hakikat pengertian amar (perintah) ialah Lafal yang dikehendaki supaya orang
mengerjakan perintah apa yang dimaksudkan. Menurut Ali Hasbullah menyatakan bahwa
amar berarti suatu tuntutan perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada
pihak yang lebih rendah kedudukannya. Dalam hal ini, tidak diharuskan bahwa orang
yang menyuruh lebih tinggi  derajatnya dari orang yang disuruh, walaupun perintah
tersebut tidak akan ditaati oleh yang disuruh itu, karena derajatnya lebih tinggi daripada
yang menyuruh. Sebagian ulama mensyaratkan bahwa orang yang menyuruh harus lebih
tinggi derajatnya daripada orang yang disuruh, yakni dalam hal ini Allah kepada
hambanya.
2. Sighat (bentuk kata) Amar
 Amar merupakan lafal yang mengandung pengertian  perintah. Sighat Amar
berbentuk sebagai berikut:
a.       Berbentuk Fi’il Amar / perintah langsung.
Misalnya, firman Allah:

َّ ‫اَقِ ْي ُموا‬
َ‫الصالَة‬

        Artinya: “Dirikanlah Shalat”. (QS. Al baqarah: 43)


Contoh lain:
Apabila lafadz yang khusus dalam nash syar’i datang dalam shighat amar atau
perintah, maka lafadz itu menunjukkan kewajiban. Artinya menuntut perbuatan yang
diperintah itu secara penetapan dan kepastian.  Allah swt berfirman:

‫ص َن‬ ُ ‫وال ُْمطَلَّ َق‬                                                             


ْ َّ‫ات َيَت َرب‬ َ
Artinya: “wahai wanita yang ditalak menahan diri (menunggu) …..”.
Firman tersebut menunjukkan kewajiban wanita yang ditalaq untuk menahan diri atau
beriddah selama tiga kali quru’ (suci). Sebab menurut pendapat yang rajih (unggul)
bahwasannya shighat amar dan shighat lain yang bermakna sama dengannya ditetapkan
untuk mewajibkan. Sedangkan suatu lafadz ketika di mutlakkan, maka ia menunjukkan
terhadap maknanya yang hakiki yang telah ditetapkan untuknya. Ia tidak boleh
dipalingkan dari maknanya yang hakiki, kecuali dengan adanya suatu qarinah
(hubungan/keterkaitan kata sebelum dan sesudahnya).
Selanjutnya jika ditemukan suatu qarinah (keterkaitan / hubungan) yang dapat
memalingkan shighat perintah dari makna kewajiban kepada makna lainnya, maka ia
dipahami sesuai dengan apa yang ditunjuki oleh qarinah itu, seperti ibahah (pembolehan).
[3]
b.      Berbentuk Fi’il  mudhari’  yang didahului oleh lam Amar.
Misalnya, firman Allah:

‫ت ال َْعتِْي ِق‬
ِ ‫ولْيطََّّو ُفوا بِالْب ْي‬
َ ْ ََ
Artinya: “dan hendaklah thawaf sekeliling rumah tua itu (Baitullah)”. (QS.Al Haj:
29)

ٌ‫َولْتَ ُك ْن ِّم ْن ُكم اَُّمة‬


Artinya: “dan hendaklah ada segolongan umat”. (QS. Ali Imran: 104)

c. Isim Fi’il Amr, seperti:


  

‫س ُك ْم‬
َ ‫َعلَْي ُك ْم اَْن ُف‬
Artinya: “Jagalah dirimu”. (QS. Al Maidah: 105)
.

3. Dilalah dan Tuntutan Amar


a.       Menunjukkan wajib, seperti dijelaskan oleh Dr. Zakariya Al Bardisy bahwa
jumhur ulama sepakat menyatakan bahwa amar menunjukkan tidak wajib suatu tuntutan
yang secara mutlaq selama tidak ada qarinah (hubungan sesuatu) dari ketentuan amar
tersebut. Berdasarkan kaidah juga ada yang mengatakan bahwa arti pokok dalam ‘amar
ialah menunjukkan wajib (wajibnya perbuatan yang diperintahkannya).   
Contoh:

‫س‬ ِ ِ ‫اَّل‬ ‫أِل‬


َ ‫س َج ُد ْوا ا ابْل ْي‬
َ َ‫اُ ْس ُج ُد ْوا ََد َم ف‬
Artinya: “Sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali iblis”. (QS.
Al Baqarah : 34)
Bentuk perintah amar dalam ayat tersebut, yaitu perkataan sujudlah (usjuduu) dengan
tidak disertai qarinah menunjukkan kemestian / keharusan. Kalau tidak demikian Allah
tidak mencela iblis karena kedurhakaannya itu.
Perlu diketahui bahwa suatu perintah atau suruhan yang tidak ada qarinahnya, dengan
suatu hal yang lain berarti menunjukkan arti kemestian (wajib).
b.      Menunjukkan anjuran (nadb) berdasarkan sebuah kaidah yang berarti amar /
suruhan ialah menunjukkan sebuah anjuran (nadb).
Suruhan itu memang adakalanya untuk suruhan (wajib), seperti salat lima waktu,
adakalanya untuk anjuran (nadb), seperti salat dluha. Di antara kemestian dan anjuran
yang paling diyakini adalah anjuran (sunnah).
Kesimpulannya, amar tetap mengandung arti wajib, kecuali apabila amar tadi sudah
tidak mutlaq lagi, atau terdapat qarinah yang dapat mengubah ketentuan tersebut,
sehingga amar itu berubah pula, yakni tidak menunjukkan wajib, tetapi menjadi bentuk
yang menunjukkan hukum sunnah atau mubah dan sebagainya sesuai dengan qarinah
yang memengaruhinya.[7]

4.  Syarat yang harus ada pada kata Amar (perintah) adalah :
a. Harus berupa ucapan perintah (Amar) seperti kata uf’ul (kerjakanlah).
b. Harus berbentuk kata permintaan.
c. Tidak ada tanda-tanda (Qarinah) yang menunjukkan permintaan itu bertatus tidak
mewajibkan atau mengharuskan.
d. Datangnya permintaan itu harus dari atasan, sebab jika dari bawahan namanya
do’a.[8]
Suatu kata perintah (fiil amar) dapat dipandang dari dua sisi yakni:
a)      Cara menyatakan perintah dari bentuk kata. Hal ini menunjukkan tuntunan
perbuatan dalam waktu yang tertentu atau waktu mendatang.
b)      Maksud yang dikandung dalam perintah itu atau perbuatan yang diminta
(ma’addatul amri).
Hal ini menunujukkan macamnya  perbuatan yang diminta, seperti berdiri, duduk.
Apabila disatukan kedua sisi tersebut dalam amar, maka maksudnya tidak lebih dari pada
hanya menuntut perbuatan yang disebutnya, dan tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan
berulang-ulanya perbuatan itu. Memenuhi tuntunan suruhan tersebut cukup dengan
dikerjakan sekali saja, karena menurut qaidah “tidak ada kewajiban lebih dari pada
tanggungan yang sebenarnya (sesuai kemampuan seorang hamba)”.

 Nahi
1. Pengertian Nahi
Nahi menurut bahasa artinya mencegah, melarang (al-man’u), sedangkan Menurut
istilah adalah lafadz yang meminta untuk meninggalkan sesuatu perbuatan kepada orang
lain dengan menggunakan ucapan yang sifatnya mengharuskan, atau  lafadz yang
menyuruh kita untuk meninggalkan suatu pekerjaan yang diperintahkan oleh orang yang
lebih tinggi dari kita. Akal juga disebut nuhyah (nahyu), karena dia dapat mencegah
orang yang berakal itu untuk tidak berbuat salah.
Menurut Abdul Hamid Hakim menyebutkan bahwa nahi adalah perintah untuk
meninggalkan sesuatu dari atasan kepada bawahan. Jadi Nahi adalah suatu larangan yang
harus ditaati yang datangnya dari atasan kepada bawahan, yakni dari Allah SWT kepada
hamba-Nya.[10]
Adapun maksud nahi yang sebenarnya adalah menunjukkan haram, seperti dalam
firman Allah:

ً‫اع َفة‬
َ‫ض‬ َ ‫ض َعافًا ُم‬ ِّ ‫َواَل تَأْ ُكلُوا‬
ْ َ‫الربَا أ‬
Artinya: “dan janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda”. (QS. Ali
Imran: 130)
Karena La ta’kulu berbentuk nahi, sedangkan ketentuan nahi adalah haram, maka
makan harta riba hukumnya haram, karena tidak diridlai Allah swt. Inilah hukum asli
dari nahi.
Kecuali apabila ada qarinah yang memengaruhinya, maka nahi tersebut tidak lagi
menunjukkan hukum haram, tetapi menunjukkan hukum makruh, mubah, dan
sebagainya. Sesuai dengan qarinah yang memengaruhinya itu. Ada ulama yang
berpendapat bahwa nahi yang masih asli itu menunjukkan hukum makruh. Namun,
pendapat yang lebih kuat, bahwa nahi adalah haram.[11]
2. Sighat (bentuk kata) Nahi

Kalimat larangan yang tidak memiliki qarinah menunjukkan hakikat larangan yang
mutlak. Seperti firman Allah:

ِ
‫الصالَ َة َوأَْنتُ ْم ُس َك َارى‬
َّ ‫ب‬ُ ‫يَاأ َُّي َها الَّذيْ َن َامنُوا اَل َت ْق َر‬

Artinya: “hai orang-orang yang beriman, jangan kamu kerjakan shalat dalam
keadaan mabuk”. (QS.An Nisa : 43)
Ungkapan yang menunjukkan kepada nahi (larangan) itu ada beberapa bentuk
diantaranya:

a)      Fi’il Mudhari’ yang disertai dengan la nahi, seperti:

ِ ‫اَل ُت ْف ِس ُد ْوا فِى ااْل َ ْر‬


‫ض‬
Artinya: “janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. (QS. Al Baqarah: 11).
b)      Lafadz-lafadz yang member pengertian haram atau perintah meninggalkan
sesuatu perbuatan, seperti:

‫الربَوا‬
ِّ ‫َواَ َح َّل اللّهَ َو َح َّر َم‬
Artinya: “dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (QS. Al
Baqarah: 275).

Kaidah-kaidah Nahi:

                        Kaidah pertama, pada dasarnya larangan itu menunjukkan haram,


seperti:

‫الزنَى‬
ِّ ‫َواَل َت ْق َر بُوا‬
                        Artinya: “dan janganlah kalian mendekati zina”. (QS. Al Isra: 32).
Sighat Nahi mengandung beberapa pengertian, antara lain sebagai berikut:

a.      Untuk do’a

‫اخ ْذنَا اِ ْن نَ ِس ْينَااَ ْواَ ْخطَأْنَا‬


ِ ‫ر َّبنا اَل ُت َؤ‬
ََ
“hai Tuhan kami, janganlah engkau hukum kami, bila kami lupa atau salah”.
b.      Untuk pelajaran

‫س ْؤ ُك ْم‬ ِ ‫اَل تَسئلُواعن اَ ْشي‬


ُ َ‫اء ا ْن ُت ْب َدلَ ُك ْم ت‬
َ َ ْ َ ْ َْ
“janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya
menyusahkan kamu”.
c.       Putus asa
‫اَل تَ ْعتَ ِذ ُروا ا ْليَ ْو َم‬
“janganlah kamu cari-cari alasan hari ini”
d.      Untuk menyenangkan (menghibur)

‫اَل تَ ْح َز ْن إِ َّن اللّهَ َم َعنَا‬


“jangan bersedih kamu, bahwa sesungguhnya Allah bersama kita”
Kaidah kedua: larangan terhadap sesuatu berarti perintah akan kebalikannya, seperti:

‫اَل تُ ْش ِر ْك بِاللّه‬
Artinya: “janganlah kamu mempersekutukan Allah”.
Kaidah ketiga: pada dasarnya larangan yang mutlak menghendaki pengulangan
larangan dalam setiap waktu. Seperti:

‫الصلَواةَ َواَْنتُ ْم ُس َك َارى‬


َّ ‫اَل َت ْق َربُوا‬
Artinya: “janganlah shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk”. (QS. An Nisa’:43).

Nahi terbagi kedalam 4 bagian yakni:


1.      Nahi yang menunjukkan perbuatan itu sendiri sebagaimana contoh di atas yang
menyebabkan perbuatan yang dilarang itu hukumnya fasid (rusak) haram.
2.      Nahi yang menunjukkan juz’I dari perbuatan (bagian dari perbuatan). Misalnya,
larangan jual beli anak binatang yang masih dalam kandungan ibunya.
3.      Nahi yang menunjukkan sifat perbuatan yang tidak dapat dipisahkan, misalnya
larangan berpuasa pada hari raya karena hikmah di hari raya ialah agar semua umat Islam
dapat menikmati kegembiraan makan minum di hari tersebut.
4.      Nahi yang menunjukkan hal-hal di luar perbuatan yang tidak mesti berhubungan
dengan perbuatan tersebut. Misalnya, larangan dalam jual beli sewaktu shalat jum’at yang
akibatnya akan meninggalkan shalat jum’at.[12]
3.      Dilalah dan Tuntutan Nahi
Dalam melarang suatu perbuatan, menurut pendapat Muhammad Khudhari Beik,
Allah juga memakai beragam gaya bahasa diantaranya:
a. Larangan secara tegas dengan memakai kata naha atau yang searti dengannya yang
secara bahasa berarti melarang. Misalnya surat An-Nahl ayat 90 yang artinya:

‫ش ِاء َوال ُْم ْن َك ِر َوالَْب ْغ ِي‬


َ ‫َو َي ْن َهى َع ِن الْ َف ْح‬
 “Dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan”.
b.      Larangan dengan menjelaskan bahwa suatu perbuatan diharamkan, misalnya ayat
33 surat Al-A’raf:
ِ ِ
َ ‫ش َما ظَ َه َرم ْن َه َاو َمابَطَ َن َواإْلِ ثْ َم َوالَْب ْغ َي بِغَْي ِرال‬
‫ْح ِّق‬ َ ‫قُ ْل إِنَّ َم‬
َ ‫اح َّر َم َربِّ َي الْ َف َواح‬
 Artinya: “Katakanlah : "Tuhanku Hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik
yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia
tanpa alasan yang benar”.
c.       Larangan dengan menegaskan bahwa perbuatan itu tidak halal dilakukan, contoh
surat An-Nisa’ ayat 19:
ِ ِ َّ
‫اء َك ْر َها‬
َ‫س‬ َ ِّ‫يَا اَُّي َهاالذيْ َن َامنُوا اَل يَح ُّل لَ ُك ْم اَ ْن تَ ِرثُوا ان‬
Artinya :“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita
dengan jalan paksa”.
4.      Syarat-syarat Nahi
1.      Bentuk nahi hanya satu saja, yaitu fiil mudhari’ yang disertai la nahi.
Arti nahi yang pokok.
a.       Menunjukkan haram
Artinya: “ larangan itu menunjukkan haram (haramnya perbuatan yang dilarang)”.
Alasannya, apabila ada kata-kata larangan yang tidak disertai qarinah, akal kita dapat
mengerti keharusan yang diminta larangan itu,  yang segera dapat dimengerti
menunjukkan pengertian yang sebenarnya. Demikian pula pemahaman lama salaf.
Qarinah ialah kata-kata yang menyerupai larangan, yang menyebabkan larangan itu
tidak menyebabkan haram.
b.      Menunjukan makruh
Artinya:  “Bermula larangan menunjukkan makruh”. (makruhnya perbuatan yang
dilarang).
Alasannya, larangan itu hanya menunjukkan buruknya (tidak baiknya) perbuatan
yang dilarang. Keburukan ini tidak berarti haram atau larangan menunjukkan rusaknya
perbuatan yang dilarang.[14]
c.       Melarang sesuatu mengakibatkan perbuatan yang dilarang hukumnya menjadi
rusak dan tidak sah.

Artinya, larangan melakukan suatu perbuatan itu akan mengakibatkan perbuatan yang
dilarang tadi apabila dilakukan hukumnya menjadi tidak sah. Contoh zina. Sebagian
ulama termasuk imam Ghazali dan ar Razi berpendapat bahwa “nahi itu tidak
menyebabkan tidak sahnya suatu perbuatan yang dilakukan, kecuali hanya dalam soal
ibadah saja, tidak dalam muamalah”. Sebagian ulama Syafi’iyyah, hanafiah, dan
muktazilah berpendapat bahwa “nahi itu tidak menyebabkan tidak sahnya perbuatan
yang dilarang, tidak pada lughah / bahasanya, tidak pada syara’, dan tidak pula dalam
soal-soal ibadah dan muamalah”.

Daftar Pustaka

http://syariah99.blogspot.com/2013/11/lafadz-dari-segi-kejelasan-dan.html?m=1
https://duniacemoro.wordpress.com/2012/09/20/ushul-fiqh-ii-lafadz-serta-pemakaiannya-
hakikat-majas-sharih-dan-kinayah/
http://syahrul86alganjurie.blogspot.com/2014/04/lafaz-dari-segi-kandungan-
pengertiannya.html?m=1
http://ainunnajib1994.blogspot.com/2016/02/makalah-amar-dan-nahi.html?m=1
http://repositori.uin-alauddin.ac.id/498/1/Misbahuddin%202.pdf

Anda mungkin juga menyukai