Nama Periode Asuka berasal dari ibu kota pada zaman itu, Asuka, yang berlokasi
di prefektur Nara. Pada tahun 645 Masehi ibu kota pindah ke Naniwa, dan antara
tahun 694 dan 710 Masehi ibu kotanya adalah Fujiwarakyo. Pada akhir periode, di
tahun 710 Masehi, ibu kota berpindah lagi, kali ini ke Heijokyo (atau Nara).
Periode Asuka (Asuka Jidai) Jepang kuno terjadi pada tahun 538 Masehi hingga
710 Masehi dan, sebagai lanjutan dari Periode Kofun (sekitar 250-538 Masehi),
merupakan bagian akhir dari Periode Yamato (sekitar 250-710 Masehi). Periode ini
mengalami peningkatan hubungan Jepang dengan kekuatan regional lain,
pemerintahan oleh tokoh-tokoh terkenal seperti Pangeran Shotoku, pendirian klan
Fujiwara yang berkuasa dan pengadopsian Buddhisme. Periode ini diikuti oleh
Periode Nara (710-794 Masehi).
1.
ZAMAN ASUKA
1. Asal Usul dan Tahun
Penetapan kaisar sejarah yang pertama kali (berlawanan dengan legenda atau
mitos) terjadi pada periode ini, Kaisar Kimmei, yang merupakan generasi ke-29
dalam garis kerajaan dan berkuasa dari tahun 531 atau 539 Masehi sampai 571
Masehi. Penguasa yang paling signifikan pada periode ini adalah Ratu Suiko dan
wakilnya Pangeran Shotoku. Sang pangeran adalah putra kedua dari Kaisar Yomei
(memerintah 585-587 Masehi) dan memerintah atas nama Ratu Suiko dari tahun
594 Masehi hingga kematiannya tahun 622 Masehi. Pangeran Shotoku, juga
dikenal sebagai Umayado no Miko, namanya dikreditkan dalam reformasi
pemerintahan, pemberantasan korupsi, dan menghilangkan sistem pejabat
mendapatkan jabatan melalui warisan serta mengukuhkan hubungan dengan
Tiongkok.
Peristiwa Besar
Zaman Asuka
Hubungan Jepang dan Negara Asing Pada
Periode Asuka
Pada periode Asuka inilah hubungan Jepang dengan Tiongkok dan
semenanjung Korea terjalin dengan baik akibat adanya hubungan budaya
dengan kerajaan Baekje di Korea, dimana banyak guru, seniman, dan
sumberdaya manusia berkualitas yang diekspor oleh Korea ke Jepang.
Para sumberdaya manusia tersebut turut membawa elemen-elemen
budaya tiongkok seperti ajaran dan manuskrip ajaran Konfusianisme.
Pengaruh Tiongkok lainnya juga terlihat dalam penyusunan konstitusi di
tahun 604 Masehi, Tujuh Belas Pasal Konstitusi (Jushichijo-kenpo), yang
mensentralisasi pemerintahan dan menekankan prinsip-prinsip Buddhisme
dan Konfusianisme, terutama pentingnya harmoni (wa).
Peristiwa Besar
Zaman Asuka
Pengadopsian Ajaran Buddha
Buddhisme di jepang diperkenalkan pada kisaran abad ke-6 Masehi (tahun
552 Masehi) Buddhisme sendiri secara diadopsi oleh Kaisar Yomei dan
didukung oleh Pangeran Shotoku yang membangun beberapa kuil,
membentuk sebuah lembaga seniman untuk menciptakan gambaran
Buddhis, dan ia sendiri adalah penganut ajaran Buddha. Secara umum
Buddhisme disambut baik oleh kaum elit Jepang (mengecualikan
penolakan awal dari klan Mononobe dan Nakatomi yang pro-Shinto)
karena membantu menaikkan status budaya Jepang sebagai negara maju
di mata para tetangga yang kuat, Korea dan Tiongkok. Pangeran Shotoku
juga mengirim duta besar resmi kepada kerajaan Sui di Tiongkok sekitar
tahun 607 Masehi dan selama abad ke-7 Masehi.
Peristiwa Besar
Zaman Asuka
Pengadopsian Ajaran Buddha
Shitennoji – Osaka
—KEHIDUPAN SOSIAL
DAN EKONOMI
Pada tahun 645, klan Soga digulingkan dalam kudeta yang diluncurkan
oleh Pangeran Naka no Ōe dan Fujiwara no Kamatari, pendiri klan
Fujiwara. Pemerintah mereka merancang dan mengimplementasikan Reformasi
Taika yang berjangkauan luas. Reformasi dimulai dengan reformasi tanah,
berdasarkan Konfusianisme ide dan filsafat dari Tiongkok. Ini menasionalisasi
semua tanah di Jepang, menjadi didistribusikan secara merata di antara para
penggarap, dan memerintahkan penyusunan daftar rumah tangga sebagai dasar
untuk sistem perpajakan yang baruTanah tidak lagi turun temurun tetapi
dikembalikan ke negara pada saat kematian pemiliknya. Pajak dipungut atas
panen dan sutra, kapas, kain, benang, dan produk lainnya. Pajak corvée (tenaga
kerja) ditetapkan untuk wajib militer dan pembangunan pekerjaan