Anda di halaman 1dari 362

A.M.

Djuliati Suroyo
Agust Supriyono
Endang Susilowati
Sutedjo K. Widodo
Singgih Tri Sulistyono
Indriyanto
Siti Maziyah
Alamsyah

SEJARAH MARITIM INDONESIA I:


Menelusuri Jiwa Bahari Bangsa Indonesia Hingga Abad ke-17

Buku ini terbit atas kerjasama


Pusat Kajian Sejarah dan Budaya Maritim Asia Tenggara,
Lembaga Penelitian Undip
dengan
Departemen Kelantan dan Perikanan RI
dan
PenerbitJeda

Semarang, Januari 2007


iv

SEJARAH MARITIM INDONESIA I Menelusuri Jiwa Bahari Bangsa Indonesia Hingga Abad ke-17

Tim Penulis : A.M. Djuliati Suroyo Agust Supriyono Endang Susilowati Sutedjo K. Widodo Singgih Tri Sulistyono Indriyanto
Siti Maziyah
Alamsyah
Editor : Endang Susilowati Desain Sampul : Thomas Nugroho
Tata Letak : Daniel Hakilci

Hak Cipta dilindungi Undang-undang Cetakan I, Januari 2007

Penerbit Jeda
J1. Pustaka II/B33 Semarang
Email: jeda_smg@yahoo.com

x+364111m. ; 150 x 210


ISBN : 978-979-15754-0-9
V

KATA PENGANTAR

p enerbitan buku sejarah maritim sebagai basil penelitian dengan mengangkat judul Sejarah Maritim Indonesia I: Menelusuri
Jiwa Bahari Bangsa Indonesia hingga Abad ke-17, merupakan salah satu upaya untuk menggali kejayaan bahari bangsa
Indonesia sejak jaman prasejarah hingga abad ke-17. Kejayaan bahari bangsa Indonesia yang membangun kegiatan kelautan
yang intensif diharapkan dapat membangkitkan kembali semangat kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia yang kini sedang
terancam disintegrasi. Dengan mewarisi jiwa bahari yang dimiliki oleh nenek moyang kita, bukan mustahil bangsa Indonesia
akan menjadi bangsa maritim yang besar dan berpengaruh di kawasan Asia Tenggara dan bahkan di dunia.
Urgensi penerbitan basil penelitian ini juga didorong oleh kelangkaan buku sejarah Indonesia yang menggunakan sudut
pandang kelautan. Padahal dalam kenyataannya negara Republik Indonesia secara geografis dan geopolitis adalah negara
yang lazim disebut negara kepulauan, atau lebih tepat negara laut yang dikelilingi banyak pulau. Buku ini diharapkan dapat
mengisi kekosongan tersebut.
Penelitian ini dapat terlaksana berkat kerjasama antara Pusat Studi Sejarah dan Budaya Maritim Asia Tenggara, Lembaga
Penelitian Universitas Diponegoro dan Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non Hayati, Badan Riset Kelautan dan Perikanan
Departemen Kelautan dan Perikanan. Untuk kerjasama yang baik ini kami mengucapkan banyak terimakasih. Ucapan terimakasih
juga kami sampaikan kepada Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Diponegoro yang secara langsung maupun tidak telah
membantu terlaksananya penelitan ini. Kepada teman-teman sejawat yang telah memberi masukan, kritik, saran, dan dukungan
sumber, kami sampaikan terimakasih yang sedalam-dalamnya.
Kami menyadari bahwa basil penelitian ini masih jauh dari sempurna. Ibarat kata pepatah "tiada gading yang tak retak",
dalam penelitian inipun tentu masih terdapat berbagai kekurangan. Meskipun demikian, kekurangan-kekurang yang ada
diharapkan justru akan dapat.
vi

mengilhami munculnya penelitian-penelitian baru. Kami sangat terbuka untuk menerima saran dan masukan yang tentunya
akan banyak berguna bagi penyempurnaan tulisan ini. Terimakasih.

Semarang, 20 Desember 2006


Tim Penulis
VII

DAFTAR ISI

KATAPENGANTAR...................................................................
DAFTARISI...............................................................................vii
DAFTAR GAMBAR...................................................................
DAFTARPETA............................................................................xi
BAB I PENDABULUAN...............................................................1
A. Latar Belakang dan Permasalahan.......................................1
B. Indonesia sebagai Negara Bahari.........................................8
C. Penulisan Sejarah Maritim Indonesia:
Catatan Bibliografis Singkat.............................................. 13
BAB II GEOGRAFIDANEKOIAGIMARITIM
SERTAAWALICEGIATAN MARTTIM DI INDONESIA...........23
A. Kondisi Geografi dan Ekologi Maritim di Indonesia...........23
B. Awal Kegiatan Kemaritiman di Indonesia..........................25
BAB III PASANGSURUT KERAJAAN-ICERAJAANMARITIM DI
INDONESIA...................................................................43
A. Kawasan Laut Inti Selat Malaka...........................................43
1...............Sriwijaya : Kerajaan Maritim Pertama di Indonesia 44
2......................................................Kerajaan Melayu di Sumatra 59
3.............................................................Kerajaan Samudra Pasai64
4..........................................................................Kerajaan Malaka
68
5.............................................................................. Kerajaan Aceh
76
B. Kawasan Laut Inti Laut Jawa..............................................82
1.........................Kerajaan Majapahit (Alchir Abad XIII — XIV) 82
2. Kerajaan Demak : Kerajaan Maritim Islam Pertama di Jawa 105
3........................................................................Kerajaan Banten
112
4........................................................................Kerajaan Cirebon
120
5.........................................................Kerajaan Gowa-Makassar 126
C. Kawasan Laut Inti Laut Maluku....................................... 136
VIII

1. Kerajaan Ternate dan Tidore, dan Beberapa kerajaan


lain di Kepulauan Maluku............................................. 136
2...............Intervensi Portugis, Konflik, dan Kejayaan Ternate 139
3..............Kehancuran Kerajaan Maritim Ternate dan Tidore 141
BAB W KOTA-KOTAMARITEVI DI PANTAI UTARAJAWA.............167
A. Hubungan Pantai Utara Jawa dengan Majapahit................. 167
1............................................................................................Jepara 172
2.............................................................................................Tuban 181
3.............................................................................................Gresik 188
4........................................................................................Surabaya 191
5......................................................................................Semarang 195
7. Pelabuhan Sunda Kelapa..............................................200
B. Kota dan Masyarakat Pelabuhan......................................206
BAB V EKSPANSIEKONOMIMARITIM
DAN JARINGANANTAR-DAERAH......................................225
A. Ekspansi Ekonomi Maritim................................................225
1...........................................Image Sebagai Masyarakat Agraris 225
2.......................................................................Masyarakat Bahari 226
3...........................................Sriwijaya dan Perdagangan Global 228
4. Perkembangan Kerajaan-kerajaan di Jawa dan
Perebutan Hegemoni Perdagangan di Selat Malaka.....238
5........Hubungan Antardaerah dan Fondasi menuju Integrasi 244
BAB VI KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA DAN PERKEMBANGAN BUDAYA MARITIM SEBAGAI FONDASI INTEGRITAS
BANGSA.........................................................................269
A. Perdagangan Maritim sebagai Penggerak Perubahan
dalam Dialog Lintas Budaya Nusantara-India-Cina..........269
a...........Dialog Budaya Hindu, Budha, dan Budaya Nusantara 277
b..........................Dialog Budaya Islam dan Budaya Nusantara 283
B. Perkembangan Budaya Maritim.......................................285
1..........................................Teknologi Perkapalan dan Navigasi 285
2..............................................................................Angkatan Laut 298
3. T r a d i s i H u k u m d i B i d a n g K e m a r i ti m a n 301
4......................................Tradisi Kemaritiman dan Seni Budaya 305
ix

5. Lingua Franca dan Sastra Maritim................................307


BAB VII PENUTUP...................................................................321
Daftar Pustaka........................................................................329
Index .....................................................................................353
X

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Lukisan perahu pada dinding gua di SJIawesi Tenggara

Gambar 2.2. Rarahu bercadik tunggal

Gambar 2.3. Anco (jala untuk menangkap ikan)

Gambar 2.4. Mang rumah dan jala ikan (serer, Jawa)

Gambar 2.5. Alat penangkap ikan dari bambu (bubu/wuwu, Jawa)

Gambar 2.6. Bentuk perahu yang pada relief candi Borobudur

Gambar 3.1. Patung Adityawarman

Gambar 3.2. R-asasti Adityawarman

Gambar 3.3. Batu nisan makam!tan Malik as Saleh di Samudera

Gambar 3.3. Bandar Malaka sebagai pusat perdagangan agama Islam pada abad XV

Gambar 3.5. Teluk Aceh dengna kota dan benteng-bentengnya

Gambar 3.6. Patung Amoghapasa

Gambar 3.7. Patung Cheng Ho

Gambar 3.8. Masjid Demak

Gambar 3.9. Felabuhan .Liana tahun 1770, salah situ pelabuhan di

Kadipaten Rarnbang

Gambar 3.10. Pasar di Banten pada akhir abad ke-16

Gambar 3.11. Felabuhan Drebon tahun 1775

Gambar 3.12. Rarahu Fhinisi

Gambar 3.13. Folabuhan dan kota Makassar pada abad ke-17

Gambar 3.14. Benteng Sombaopu di Makassar sakitar tahun 1638

Gambar 3.15. Rilau dan Benteng Ternate

Gambar 3.16. Kora-kora &Ran Ternate abad ke-17

Gambar 3.17. Tdore pada awal abad XVII

Gambar 4.1. Ralabuhan Jepara pada abad XVII

Gambar 4.2. ding Jawa abad ke-16

Gambar 4.3. Galeon Fbrtugis abad ke-16

Gambar 4.4. Senenan (turnamen mingguan) di Tuban tahun 1599

Gambar 4.5. Kapal-kapal Belanda sedang berlabuh di Gresik, 1788

Gambar 4.6. Ralabuhan a.marang


xi

DAFTAR PETA

Rata 1. Kawasan-kawasan laut di Nusantara

Rata 2.1. Zona Tau Indonesia

Rata 2.2. Rarsabaran bahasa-bahasa Austronesia di Ma Tenggara

Rata 3.1. VVilayah kekuasaan kerejean Siwijaya

Rata 3.2. Wilayah pantai dan laut yang dikuasai Siwijaya

Rata 3.3. Daerah kekuasaan kerajaan Majapahit pada masa raja Hayam Wuruk

Rata 3.4. Ibukota kraton Banter pada tahun 1620

Rata 4.1. Jawa pada masa Hindu idwa

Feta 4.2. Jalur penyebaran agama Islam di Indonesia dan kerajaan-kerajaan Islam pertama di Jawa

Rata 4.3. Benteng VOC di Surabaya (denah tahun 1708)

Rata 4.4. Kerajaan Majapahit dan jalur penyebaran Islam di Indonesia

Feta 4.4. Kerajaan-kerajaan maritim terkemuka dan pos-pos perdagangan Belanda pada abad abad XVII

Rata 5.1. Arus perdagangan di Nusantara pada masa awal Siwijaya

Feta 5.2. Kawasan Rarairan yang dikontrol oleh Siwijaya

Rata 5.3. Keku____ Majapahit di lautan pada abad XVI

Rata 5.4. J3Jur perdagangan utama dan komoditi ekspor Nusanta-a sakitar tahun 1500

Rata 6.1. Rarsebaran nenek moyang bang Indonesia

Rata 6.2. Flisat-pusat perdagangan pada awal abad Masehi


Sejarah Maritim Indonesia I 1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang dan Permasalahan


Beberapa dekade terakhir ini Indonesia sedang mengalami berbagai konflik yang mengancam persatuan bangsa, termasuk
berbagai gerakan separatis yang hingga saat ini masih merupakan persoalan bangsa yang belum terselesaikan. Ketidakpuasan
masyarakat lokal kepada pemerintah pusat sangat mewarnai persoalan ini. Masyarakat lokal menuduh bahwa pemerintah pusat
terlalu sentralistik dan terlalu melakukan intervensi dalam urusan-urusan lokal serta melakukan penyedotan kekayaan (drain)
dari daerah ke pusat.1 Timbulnya berbagai konflik itu tidak dapat begitu saja dituduhkan sebagai kesalahan masyarakat lokal.
Pemerintah pusat juga harus mawas diri, terutama terhadap kebijakan yang dilakukan selama ini. Dapat juga terjadi bahwa
gerakan-gerakan separatis itu justru dirangsang oleh perlakuan pusat terhadap daerah. Meskipun demikian hal yang sebaliknya
juga dapat terjadi bahwa ada kelompok-kelompok tertentu di tingkat lokal yang memang memiliki rencana untuk memisahkan
diri dari negara Indonesia.
Hal yang menarik adalah bahwa persoalan itu merebak ketika Indonesia baru saja lepas dari pemerintahan Orde Baru
dan memasuki
2 Pendahuluan

era dernokratisasi, keterbukaan dan reformasi sejak akhir tahun 1990-an. Dalam hubungan ini tampak bahwa demokratisasi
tidak selalu dimanfaatkan dalam koridor persatuan bangsa tetapi sebaliknya justru digunakan untuk mengartikulasikan
kepentingan-kepentingan politik tertentu secara bebas tanpa memperhatikan kepentingan persatuan bangsa. Dengan melihat
gejala ini, tampaknya 'keamanan dan ketertiban' yang menjadi salah satu jargon pemerintah ORBA merupakan kondisi
integrasi semu karena mendapat tekanan kuat. Namun demikian memang merupakan sesuatu yang umum terjadi bahwa di
manapun, pemerintah pusat selalu melakukan represi terhadap semua bentuk gerakan separatisme, bahkan di negeri yang
mengaku pelopor demokrasi sekalipun pemerintah selalu menindas kaum separatis. 2 Idealnya adalah bahwa hubungan antara
pemerintah pusat dan daerah harus didasarkan pada kesepakatan-kesepakatan tertentu dalam koridor persatuan nasional.
Dalam hubungan ini law enforcement harus ditegakkan untuk menjaga kesepakatan itu.3
Untuk memecahkan persoalan-persoalan yang bersumber dari hubungan pusat-daerah tersebut perlu dicari perspektif
baru yang lebih demokratis namun masih dalam koridor persatuan bangsa. Perspektif baru itu tentu saja hams mampu
menjembatani kepentingan hubungan antar wilayah, kesatuan sosial dan politik yang lebih adil. Dalam hubungan itulah akar-akar
sosial, politik, ekonomi dan budaya yang menjadi landasan hubungan antar wilayah baik dalam bentuk persahabatan, diplomasi,
maupun dalam bentuk konflik dan penyelesaiannya perlu dikaji. Berkaitan dengan hal itu, kajian historis terhadap persoalan ini
sangat penting untuk dilakukan, khususnya di bidang sejarah maritim. 4 Dalam hal ini sejarah maritim memegang peranan penting
karena dapat memberikan lapangan kajian yang luas mengenai komunikasi lintas budaya (cross-cultural communication) antara
satu komunitas dengan komunitas yang lain yang menjadi dasar bagi proses integrasi di kalangan masyarakat Indonesia. Hal ini
dimungkinkan karena laut memiliki peran penting sebagai media komunikasi bagi proses pembentukan bangsa Indonesia. Hal ini
sesuai dengan pendapat Fernand Braudel yang mengatakan bahwa laut mengandung dinamika yang
Sejarah Maritim Indonesia I 3

menciptakan kesatuan, hubungan antarmanusia dan antarbangsa lewat transportasi, perda-gangan, dan pertemuan
budaya.5
Tampak jelas bahwa pandangan Braudel tersebut sejalan dengan pandangan yang dianut oleh negara Indonesia sebagai
negara bahari. Dalam hal ini lautan bukan sebagai pemisah tetapi justru mempersatukan pulau-pu-lau. Hal ini dapat dilihat dari
kenyataan bahwa negara Indonesia merupakan satu kesatu-an politik yang mengikat beribu-ribu pulau dan beratus-ra-tus suku
bangsa. Hal itu menunjukkan signifikansi hubungan antarpulau, antarsukubangsa, dan antarbangsa dalam proses integrasi bangsa
Indonesia. Laut dengan se-gala bentuk transportasinya merupakan sarana hubungan utama. Dengan menggunakan media laut,
berbagai kelompok sosial dari berba-gai daerah di kepulauan Indonesia mengadakan hubungan dengan pihak luar. Dari hubungan
ini tercipta kegiatan-kegiatan pertu-karan, perdagangan, dan perjumpaan budaya, yang kemudian menghasilkan peradaban yang
semakin maju dan budaya setempat yang semakin diperkaya. Perwujudan dari kemajuan budaya antara lain dapat dilihat dari
tumbuhnya kota-kota pantai dengan pelabuhannya yang menjadi pusat dinamika perdagan-gan, pelayaran, dan teknologi
perkapalan serta pusat kekua-tan politik.
Hasil penelitian Braudel mengilhami banyak peneliti untuk memperkuat asumsi bahwa laut merupakan sarana
pemersatu bagi kawasan dan masyarakat di sekitarnya lewat saluran pelayaran dan perdagangan serta hubungan kultural dan
politik. Chauduri misalnya, melakukan penelitian historis mengenai pelayaran dan perdagangan di daerah Lautan Hindia. 6
Sementara itu Anthony Reid melakukan penelitian mengenai hubungan antara bangsa-bangsa di Asia Tenggara yang
menggunakan laut sebagai prasarana komunikasi mereka. Dalam hal ini peranan bangsa Indonesia sangat menonjol sebagai
salah satu aktor utama dalam aktivitas itu. 7 Juga Peter Klein telah melakukan kajian pendek tentang kawasan laut Cina. 8
Bahkan menurut Houben, sesungguhnya core sea laut-laut di Asia Tenggara adalah Laut Jawa yang terletak di tengah-tengah
wilayah Indonesia.9 Demikian juga Sulistiyono telah mencoba membuktikan bahwa jaringan Laut Jawa menjadi katalis penting
dalam proses integrasi nasional di Indonesia. 10
4 Pendahuluan

Namun demikian apa yang digambarkan di atas seringkali masih bertentangan dengan suasana pikir sebagian
masyarakat Indonesia saat ini yang lebih mengidentifikasikan negaranya sebagai negara agraris, yaitu negara yang sebagian
besar kehidupan rakyatnya menggantungkan diri pada bidang pertanian. Mereka mengolah tanah pertanian, hidup di desa-
desa, memiliki kegotong-royongan yang kuat dan sebagainya. Memang betul bahwa pernyataan itu didukung oleh data
statistik yang membuktikan bahwa mayoritas penduduk Indonesia hidup di pedesaan dengan matapencaharian sebagai
petani. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pada saat ini gambaran masyarakat Indonesia sebagai masyarakat maritim,
bangsa pelaut, bukan merupakan gambaran yang umum. Dengan demikian hal ini merupakan bentuk pengingkaran kondisi
obyektif bangsa Indonesia baik secara geografis maupun historis.
Secara geografis wilayah Nusantara merupakan kawasan kepulauan yang menempatkan laut sebagai jembatan
penghubung, bukan sebagai pemisah. Dengan demikian penguasaan terhadap taut merupakan suatu keharusan bagi
penduduk yang menghuni pulau-pulau ini. Kondisi semacam ini membentuk mereka sebagai manusia yang akrab dengan
kehidupan laut. Di samping itu letak kepulauan Nusantara juga sangat strategis dalam konteks perdagangan laut
internasional antara dunia Barat dan dunia Timur. Dunia Barat dalam hal ini mencakup kawasan dagang yag berada di
sebelah barat Selat Malaka seperti India, Persia, Mesir, dan negara-negara Eropa, sedangkan dunia Timur mencakup
kawasan di sebelah timur Selat Malaka seperti Cina, Jepang, Filipina, dan sebagainya. Dalam hal ini kepulauan Indonesia
memiliki letak strategis karena berada di tengah-tengah kawasan ini dan sekaligus selama berabad-abad mengontrol Selat
Malaka yang merupakan kunci perdagangan laut antara Barat dan Timur, misalnya pada masa Sriwijaya dan Majapahit.
Dengan demikian penelitian dan penulisan sejarah maritim akan dapat mengubah pandangan yang kurang sesuai
dengan kondisi obyektif itu. Di samping itu kajian sejarah maritim memberikan gambaran betapa pentingnya laut dengan
segala unsurnya, karena laut telah memungkinkan terjadinya komunikasi sosial di antara komunitas yang
Sejarah Maritim Indonesia 5

berbeda-beda yang menjadi dasar bagi terciptanya integrasi social dan nasional. Satu hal yang harus ditekankan adalah bahwa
dasar-dasar integrasi bangsa Indonesia tidak serta-merta terjadi sejak masa kolonial Belanda, tetapi sudah memperoleh
landasannya sejak masa pra-kolonial.
Dengan kajian sejarah maritim Indonesia pra-kolonial, ada kemungkinan untuk dapat ditemukan nilai-nilai yang mampu
menyemangati kembali integrasi bangsa yang sedang terkoyak. Hal ini terasa sangat penting ketika diingat bahwa proses
formasi bangsa Indonesia saat ini, yang diklaim sebagai `warisan positif yang paling penting dari kolonialisme' sedang
mengalami tantangan deformasi yang cukup berat. 11 Asumsi perlu diajukan bahwa barangkali ada yang salah dalam formasi
negara kolonial yang pada akhimya menjadi Negara Republik Indonesia saat ini. Tanpa mengingkari bahwa negara kolonial
menjadi pendahulu langsung dari negara RI, periode pra-kolonial telah menunjukkan adanya proses-proses interrelasi di antara
wilayah-wilayah dan kebudayaan yang ada, yang dalam kerangka lebih luas dapat dipandang sebagai bagian dari proses
integrasi bangsa.
Seperti diketahui bahwa sebuah negara kolonial yang menjadi pendahulu langsung dari negara RI adalah suatu negara yang
dipaksakan (enforced state). Negara kolonial dibentuk untuk melindungi dan melanggengkan kolonialisme dan imperialisme.
Kepentingan penduduk setempat diabaikan kecuali ada sangkut-pautnya dengan kepentingan kolonial. Oleh karena itu dapat
dipahami bahwa di dalam negara kolonial, kepentingan pusat yang mewakili kepentingan negara penjajah sangat
dominan. Dalam konteks ini tradisi desentralisasi dan otonomi mulai diruntuhkan oleh kolonialisme lewat formasi negara
birolcrasi.12 Di
daerah-daerah yang secara langsung dikuasai oleh pemerintah kolonial,
birokrasi kolonial ditempatkan untuk `mendampinge dan menjadi konsultan ' bagi birokrasi tradisional. Jadi, meskipun
tampaknya desentralisasi masih dilestarikan namun birokrasi kolonial melakukan
pengawasan yang ketat dan menentukan kebijakan yang diambil oleh
birokrasi tradisional. Sesungguhnya yang ada adalah kepentingan kolonial yang dipaksakan kepada masyarakat Indonesia.
Ketika negara
kolonial ambruk, maka kepentingan pusat menjadi pewaris dari kepentingan kolonial dalam melanggengkan hegemoni pusat
atas daerah.
6 Pendahuluan

Semetara itu kepentingan daerah cukup diwakili oleh elit lokal


yang `berdagang sapi' dengan elit pusat.
Kini persoalan timbul ketika elit politik (baik pusat maupun daerah)
tidak lagi didominasi oleh orang-orang yang pernah berurusan langsung dengan proses dekolonisasi dan proses `dagang sapi'
antara pusat dan daerah. Mereka tidak pernah terlibat dengan perjuangan frontal melawan kekuatan kolonialisme dan tidak
ikut ambil bagian aktif dalam negosiasi antara pusat dan daerah pada masa awal pembentukan negara Republik Indonesia.
Dengan penelitian sejarah maritim dapat diambil pelajaran untuk memperkaya wacana dalam pengembangan model
komunikasi lintas budaya pada masa pra-kolonial. Dalam hubungan itu, analisis mengenai pola-pola komunikasi lintas
budaya pada masa pra-kolonial perlu dilalcukan justru karena pada periode itu kekuatan politik pribumi saling berinteraksi
dan secara bergelombang telah menemukan bentuk-bentuk keseimbangamiya.
Meskipun secara silih berganti kekuatan-kekuatan politik juga saling berkonflik dan berakomodasi, namun ada saat-saat
tertentu gelombang pengaruh kebudayaan dan agama mempersatukan mereka. Kebudayaan dan agama menjadi semacam
identitas dan komunitas yang mungkin secara etnik berbeda. Hal ini dapat dilihat dari proses penyebaran agama Hindu, Budha,
Islam yang telah berkembang menjadi identitas bersama yang relatifmampu mengatasi koridor kesukuan. Dalam konteks itu,
kajian mengenai perkembangan kerajaan-kerajaan maritim di Indonesia dan model-model komunikasi lintas budaya yang
mereka kembangkan sangat relevan dengan kondisi Indonesia saat ini yang juga sedang mensyaratkan adanya komunikasi litas
budaya yang intensif. Di samping itu kota-kota yang menjadi pusat-pusat kerajaan-kerajaan maritim juga merupakan pusat-pusat
perdagangan dunia. Sebagai pusat perdagangan dunia, sudah barang tentu kota-kota ini bersifat kosmopolitan. Sifat
kosmopolitan dari kota-kota ini memungkinkan terkondisinya suasana koeksistensi damai di antara komunitas-komunitas dan
sikap toleransi yang relatif tinggi. Seperti diketahui bahwa sejak perdagangan antarpulau dan perdagangan internasional
berkembang di Nusantara, kota-kota pantai menjadi titik-titik simpul dalam perdagangan
Sejarah Maritim Indonesia I 7

itu dan menjadi tempat rendezvous serta tempat tinggal para pedagang, baik pedagang lokal maupun pedagang dari negeri
seberang.
Dalam konteks itulah mencari akar-akar integrasi nasional dari kajian historis periode pra-kolonial akan memberikan
kemungkinan yang luas bagi penemuan model yang ideal bagi komunikasi lintas budaya yang merupakan unsur penting
dalam mewujudkan integrasi bangsa. Untuk paradigma dalam penulisan sejarah Indonesia, mainstream yang menguasai alur
sejarah adalah 'proses untuk menjadi Indonesia' (process to be Indonesia) atau dengan kata lain adalah proses-proses
kemasyarakatan yang mangantarkan kepada terwujudnya integrasi nasional Indonesia. Sudah barang tentu di dalam proses
itu muncul kejadian-kejadian yang sangat bervariasi berupa kompetisi, konflik, dan akomodasi.
Dengan dasar latar belakang sebagaimana digambarkan di atas, penelitian ini mengkaji beberapa permasalahan. Pertama,
sejauhmana perkembangan aktivitas kemaritiman bangsa Indonesia mengalami pasang surut selama periode pra-kolonial hingga
akhir abad XVII? Seperti diketahui bahwa selama periode ini dunia kebaharian Indonesia mengalami kejayaan dan ekspansi
hingga munculnya dominasi bangsa Barat di perairan Nusantara. Analisis terhadap permasalahan ini terutama menyangkut soal
perkembangan dan kemajuan yang dicapai oleh suatu komunitas tertentu baik sebagai kesatuan geografis maupun kesatuan
politis. Aspek perkembangan dan kemajuan itu dapat diacukan dengan muncul, berkembang, dan runtuhnya kesatuan-kesatuan
politik yang menyebar di wilayah kepulauan Indonesia, baik dalam kurun yang bersamaan maupun dalam waktu bergantian.
Dalam konteks ini memang betul bahwa jika dibicarakan mengenai puncak-puncak kejayaan maka akan termasuk pula di
dalamnya adalah masa-masa kehancuran seperti tentang timbul dan tengelamnya kerajaan Mataran Hindu, Kediri, Singhasari,
Majapahit, Sriwijaya, Malaka, Aceh, Palembang, Banjarmasin, Ternate, Tidore, Goa, dan lain-lain.
Kedua, sejauhmana dasar-dasar komunikasi dan integrasi di antara kelompok-kelompok sosial yang mendiami Nusantara
telah tercapai pada derajad tertentu, pada periode sebelum dominasi kolonial ? Analisis terhadap permasalahan integrasi dalam
kajian sejarah maritim Indonesia
8 Pendahuluan

berarti penekanan pada proses pembentukan jaringan (network) yang merefleksikan interrelasi di antara unsur-unsur sosial
dalam masyarakat atau interkomunikasi lintas budaya masyarakat Indonesia. Seringkali terjadi bahwa jaringan itu terbentuk
pada awalnya untuk kepentingan ekonomi yang selanjutnya berdampak pada bidang-bidang lainnya. 15

Seperti diketahui, kawasan perairan Indonesia merupakan suatu sistem network yang terdiri dari beberapa sub-
network dari aktivitas perdagangan, politik, kebudayaan dan sebagainya. Sudah barang tentu aktivitas ini menggunakan
jalur pelayaran sebagai sarananya. Dalam hubungan itu penting untuk mengkaji rute perdagangan dan hubungan di antara
pusat-pusat perdagangan (pasar), arah perdagangan, komoditi yang diperdagangkan, dan sebagainya, yang semua itu dapat
menggambarkan sebuah jaringan yang merupakan faktor mendasar dari proses integrasi.' 6 Dengan demikian jaringan ini
melibatkan pusat-pusat perdagangan berupa market place, yang biasanya merupakan kota-kota pelabuhan atau titik-titik
simpul dari suatu jaringan perdagangan maritim.' 7
Suatu jaringan perdagangan memiliki cakupan bervariasi, dapat mencakup hanya tingkat lokal dan ada juga yang
memiliki cakupan tingkat internasional. Jaringan ini biasanya berhubungan dengan mobilitas barang, modal, dan tenaga kerja
di antara daerah dan pelabuhan. Seringkali juga terjadi bahwa jaringan lokal merupakan bagian dari jaringan perdagangan
internasional karena perdagangan internasional ini merupakan faktor penting yang menghubungkan berbagai kesatuan
geografis yang berbeda.'8

B. Indonesia sebagai Negara Bahari


Indonesia dikenal sebagai negara kepu-lauan atau archipelagic state. Kata archipelago sering diterjemahkan sebagai
"kepulauan" yaitu kumpulan pulau-pulau yang dipisahkan oleh laut. Dalam hal ini sesungguhnya ada perbedaan yang
fundamen-tal antara kepulauan dan archipelago. Kepulauan adalah kumpulan pulau-pulau, sedangkan istilah archipelago
berasal dari bahasa Latin "archipelagus" yang berasal dari kata archi yang berarti utama dan pelagus yang berarti
Sejarah Maritim Indonesia I 9

laut, sehingga memiliki arti "laut utama". Istilah ini mengacu pada Laut Tengah pada masa Romawi. Oleh sebab itu
sesunggguhnya makna asli dari kata archipelago bukan merupakan "kumpulan pulau", tetapi laut di mana terdapat
sekumpulan pulau. Menurut Lapian, konsep archipelagic state yang dikembangkan Indonesia yang mengacu
kepada makna negara kepulauan hams diganti dengan konsep negara bahari atau buana bahari, yaitu negara laut yang memiliki
banyak pulau.'9
Indonesia memiliki wilayah yang sangat bias yaitu sekitar 587.000 km2. Jarak dari barat ke timur lebih panjang dari
pada jarak antara London dan Siberia sebagaimana yang pernah digambarkan oleh Multatuli. 2° Indonesia merupakan
kawasan kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dan sekitar 17.508 pulau besar dan kecil. Termasuk dalam kawasan
kepulauan ini adalah pulau-pulau besar seperti Sumatra, Java, sekitar tiga perempat Borneo, Sulawesi, kepulauan Maluku
dan pulau-pulau kecil di sekitarnya, dan separoh bagian barat dari pulau Papua, serta dihuni oleh ratusan suku bangsa. 2'
Pulau-pulau ini terbentang dari timur ke barat sejauh 6.400 km dan sekitar 2.500 km jarak antara utara dan selatan. Garis
terluar yang mengelilingi wilayah Indonesia adalah sepanjang kurang lebih 81,000 km dan sekitar 80 persen dari kawasan ini
adalah laut.22 Jadi di dalam daerah yang demikian lugs ini terkandung keanekaragaman baik secara geografis, ras maupun
kultural yang seringkali menjadi kendala bagi proses integrasi nasional. Dengan konstruksi kewilayahan yang semacam itu
laut merupakan unsur dominan dalam sejarah Indonesia.
Sebagai negara bahari, Indonesia tidak hanya memiliki satu "laut utama" atau heartsea tetapi paling tidak ada tiga laut
utama yang membentuk Indonesia sebagai sea system yaitu Laut Jawa, Laut Flores, dan Laut Banda. 23Bahkan Hall mengatakan
bahwa ada lima zone komersial di Asia Tenggara pada abad XIV dan awal abad XV. Pertama adalah zone Teluk Benggala yang
mencakup India Selatan, Srilanka, Birma, dan pantai utara Sumatra. Zone komersial yang kedua adalah Kawasan Selat Malaka.
Zone ketiga adalah kawasan Laut Cina Selatan yang mencakup pantai timur Semenanjung Malay-sia, Thailand, dan Vietnam
Selatan. Zone keempat adalah kawasan Sulu yang mencakup daerah Pantai Barat Luzon, Mindoro, Cebu, Mindanao, dan pantai
10 Pendahuluan

utara Kalimantan. Zone yang terakhir adalah kawasan Laut Jawa yang melibatkan kawasan Kalimantan Selatan, Jawa,
Sulawesi, Sumatera, dan Nusatenggara.24
Di antara zone-zone yang disebutkan di atas, kawasan Laut Jawa merupakan kawasan jantung perdagangan laut
kepulauan Indonesia. Kawasan Laut Jawa telah terintegrasi oleh jaringan pelayaran dan perdagangan sebelum datangnya
bangsa Barat. Bahkan menurut Houben, Laut Jawa bukan hanya sebagai laut utama bagi Indonesia, tetapi juga merupakan laut
inti bagi Asia Tenggara.25 Peranan kawasan Laut Jawa dan jaringan Laut Jawa masih dapat dilihat sampai saat ini.
26
Jadi dapat dikatakan bahwa Laut Jawa merupakan Mediterranean Sea bagi Indonesia, bahkan bagi Asia Tenggara. Sebagai
"Laut Tengah" kepulauan Indonesia dan bahkan Asia Tenggara, sudah barang tentu Laut Jawa menjadi jembatan yang
menghubungkan berbagai komunitas yang berada di sekitarnya baik dalam kegiatan budaya, politik, maupun ekonomi.
Dengan dekimian Laut Jawa tentu memiliki fungsi kohesif yang mengintegrasikan berbagai elemen kehidupan masyarakat
yang melingkunginya.27 Kondisi geografis dan ekologis yang lebih bercorak kebaharian itulah yang menempa bangsa
Indonesia sebagai bangsa bahari di dalam perjalanan sejarahnya. Di camping itu, faktor politik juga turut mewarnai
perjalanan sejarah bangsa Indonesia, sehingga muncul berbagai kekuasaan politik dalam bentuk kerajaan-kerajaan maritim
Indonesia. Oleh karena itu tulisan ini menampilkan tiga kawasan laut, yaitu Kawasan Selat Malaka, Kawasan Laut Jawa, dan
Kawasan Laut maluku.
Menyadari betapa pentingnya aspek maritim untuk memperkuat integrasi nasional, pemerintah berusaha untuk
mewujudkan kesatuan wilayah secara utuh. Pada tahun 1957, pemerintah mengeluarkan Dekiarasi Djuanda dengan menawarkan
konsep `Negara Kepulauan' (Archipelagic State) dengan batas laut territorial sejauh 12 mil. Meskipun tuntutan ini ditolak oleh PBB
(Perserikatan Bangsa-bangsa), pemerintah Indonesia terus berjuang di berbagai forum internasional. Pada tahun 1982,
International Conference on Sea Law yang diselenggarakan di Caracas meratifikasi konsep Indonesia mengenai Zone Ekonomi
Eksklusif (ZEE). Berdasarkan Deklarasi ZEE inilah wilayah teritorial Indonesia
Sejarah Maritim Indonesia 1 11

menjadi utuh, baik mencakup wilayah darat maupun laut. Dengan deklarasi ini wilayah teritorial Indonesia membentang dari
barat ke timur
sejauh 6.400 km dan dan utara ke selatan 2.500 km. Garis pantai terluar yang melingkari wilayah teritorial Indonesia memiliki
panjang sekitar 81,000 km dan kawasan ini terdiri dari 80% laut. Dengan prestasi untuk mencapai kesatuan wilayah ini
diharapkan bahwa integrasi nasional sebagai negara maritim akan dapat segera dicapai.
Negara maritim merupakan negara yang mengontrol dan memanfaatkan laut sebagai syarat mutlak untuk mencapai
kesejahteraan dan kejayaannya. Negara maritim biasanya memiliki visi maritim, yaitu pandangan hidup yang digunakan untuk
mengontrol dan memanfaatkan laut sebagai syarat mutlak untuk mencapai kemakmuran dan kejayaannya negara. Menurut
Mahan, ada enam syarat sebuah negara menjadi negara maritim yaitu: lokasi geografis, karakteristik dari tanah dan pantai, luas
wilayah, jumlah penduduk, karakter penduduk, dan pemerintahan. 8Dari keenam unsur itu barangkali karakter penduduk dan
pemerintahan yang masih perlu ditingkatkan sifat kemaritimannya melalui sosialisasi sejarah dan nilai-nilai budaya bahari kepada
segenap lapisan masyarakat dan sikap pemerintah yang mampu memanfaatkan laut dan unsur-unsur kekuatan maritim sebagai
sumber kemakmuran dan kejayaan. Unsur-unsur kekuatan maritim antara lain terdiri dan transportasi, pemanfaatan sumber
hayati dan nabati laut, pertambangan dasar laut, pemanfaatan energi laut, wisata, unsur pengamanan laut, dan sebagainya.
Apa yang selanjutnya menjadi pertanyaan adalah apakah potensi kebaharian yang dimiliki oleh Indonesia dapat
memberikan andil yang signifikan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa pada saat ini? Seperti diketahui bahwa sejak
akhir 1997 angin segar otonomi daerah dihembuskan bersamaan dengan gelombang reformasi. Pemerintah daerah diberi
kekuasaan yang lebih besar untuk mengatur wilayahnya sendiri dalam koridor negara Republik Indonesia (RI). Sesungguhnya
pada masa pra-kolonial, kerajaan-kerajaan besar sudah menerapkan sistem desantralisasi ini. Sejauh penguasa lokal masih
mengakui penguasa pusat maka tidak ada ekspansi militer dan pusat ke tingkat lokal. Dengan demikian tradisi desentralisasi
telah memiliki akar yang cukup kuat dalam tradisi politik masyarakat Indonesia sebelum penetrasi
12 Pendahuluan

Barat. Hal ini berarti bahwa para penguasa lokal memiliki otonomi yang besar dalam konstelasi perpolitikan yang lebih
luas. Daerah diberi
otonomi yang luas yang dihasilkan melalui proses hubungan-hubungan politik tertentu. Artinya daerah diberi kewenangan
untuk mengelola kesejahteraannya, namun masih berada dalam lingkungan suatu konstelasi politik yang lebih luas. 29
Sudah barang tentu hubungan antara pusat dan daerah pada masa itu banyak diwarnai oleh hubungan antara
kekuasaan raja pusat dengan kerajaan bawahan (vassal). Raja bawahan harus mengabdi kepada kerajaan pusat dengan cara
memberikan upeti dan bentuk persembahan lain sebagai tanda kesetiaan. Dapat juga kesetiaan ini diukur dengan kehadiran
secara periodik pada acara audiensi yang ditentukan oleh kerajaan pusat. Ketidakhadiran raja bawahan pada acara tersebut
akan menimbulkan rasa curiga dari penguasa pusat terhadap kemungkinan terjadinya gerakan separatisme. Dalam hubungan
itu, apa yang sering terjadi adalah pemaksaan oleh kekuasaan pusat kepada penguasa lokal. Peperangan terjadi jika penguasa
daerah mencoba untuk melakukan pemisahan diri dari penguasa pusat.
Apa yang dapat diambil sebagai pelajaran dari model otonomi dan hubungan pusat-daerah pada masa pra-kolonial
adalah bahwa apapun konteksnya otonomi sesungguhnya pernah menjadi tradisi politik masyarakat Indonesia. Apa yang
mungkin dapat diperbaharui adalah perlu adanya kesepakatan-kesepakatan dan dialog baru di dalam hubungan antardaerah dan
antara pusat dengan daerah dengan tetap di dalam koridor persatuan dan konstelasi politik yang luas. Dengan demikian, dalam
menyikapi persoalan disintegrasi nasional yang bersumber dari persoalan hubungan pusat-daerah yang sekarang sedang
dihadapi oleh bangsa Indonesia perlu dicarikan paradigma barn untuk menafsirkan hubungan pusat-daerah itu untuk tetap dapat
menjaga dan memupuk persatuan bangsa. Dalam hubungan itu, kajian sejarah maritim pada periode pra-kolonial membuka
peluang yang luas untuk memberikan sumbangan dalam merumuskan paradigma barn tersebut. Kajian semacam ini akan
memberikan kemungkinan besar untuk menekankan peranan yang besar dari masyarakat Indonesia sendiri dalam
Sejarah Maritim Indonesia I 13

proses integrasi bangsa dan menghindarkan penulisan sejarah Indonesia yang Eropa sentris sebagaimana yang pernah diingatkan
oleh Van Leur.31
Wacana pentingnya membangun Negara maritim juga pernah muncul di tengah-tengah krisis moneter yang terjadi
pada akhir tahun 1997, yang segera diikuti oleh krisis-krisis di bidang yang lainnya seperti krisis politik, krisis sosial budaya
dan sebagainya. Rupanya bencana nasional ini menyadarkan kembali sebagian pembuat kebijakan (policy makers) bahwa
eksploitasi sumber alam darat dengan ditopang oleh sistem yang berbau feodalistik yang terjadi sebelumnya menyebabkan
timbulnya beban ekonomi yang sangat berat. Di tengah-tengah kegalauan itu, muncul keinginan untuk membangun
Indonesia baru sebagai negara bahari yang mendayagunakan laut dengan berbagai macam potensinya sebagai dasar
kehidupan bangsa Indonesia. Pendayagunaan laut dan potensinya akan menjadi tindakan eksploitatif belaka tanpa landasan
pemahaman budaya bahari. Negara bahari tidak akan terbentuk tanpa landasan budaya bahari. Dalam hubungan inilah
sejarah bahari atau sejarah maritim menjadi bagian yang utama dalam menumbuhkan budaya bahari untuk selanjutnya
menjadi landasan bagi terbangunnya negara bahari.

C. Penulisan Sejarah Maritim Indonesia: Catatan Bibliografis Singkat

Berkaitan dengan kondisi geografis dan ekologis Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau yang dihubungkan oleh laut
dan selat, sejak jaman prasejarah kehidupan kemaritiman merupakan aspek yang sangat vital dalam perjalanan sejarah bangsa
Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa.32 Dalam pidato pengukuhan guru besar di Universitas Indonesia, A.B. Lapian
mengatakan bahwa sejarah Indonesia merupakan sejarah bahari.33 Namun demikian perhatian para sejarawan terhadap aspek
maritim seperti perdagangan, pelayaran, perkapalan, perikanan, perompakan, dan sebagainya masih sangat kurang
proposional jika dibandingkan dengan aspek-aspek lainnya seperti pertanian, industri, perhubungan, politik, dan sebagainya.
Hal ini barangkali berkaitan dengan pengalaman bersama sebagai bangsa yang semenjak kemerdekaan lebih banyak diwarnai
oleh persoalan-persoalan
14 Pendahuluan

kedaratan daripada persoalan-persoalan kebaharian. Dengan demikian


naluri kebaharian' bangsa Indonesia menjadi semakin tumpul sehingga kurang mampu melihat, apalagi bertindak, untuk
memanfaatkan dunia bahari' sebagai potensi yang dapat menghantarkannya menjadi bangsa yang besar. Tampaknya
sindrom ini juga dihadapi oleh sebagian sejarawan Indonesia. Memang perlu disadari bahwa sejarawan akan menulis sejarah
terutama dengan tema-tema yang biasanya menjadi persoalan aktual masyarakatnya. Dengan demikian masih terbatasnya
karya sejarah maritim juga mencerminkan bahwa `dunia kebaharian' belum merupakan persoalan aktual bagi bangsa
Indonesia sehingga mudah dilupakan begitu saja. Tema-tema sejarah kebaharian dalam buku babon Sejarah Nasional
Indonesia yang diterbitkan sejak tahun 1975 masih sangat terbatas.
Rintisan ke arah penulisan sejarah maritim Indonesia justru berawal dari para sejarawan asing. Karya klasik mengenai
sejarah maritim di Indonesia ditulis oleh J.C. van Leur pada tahun 1934. Van Leur mengkaji sejarah perdagangan Asia dari masa
awal hingga keterlibatan VOC di kawasan Asia Tenggara. Ia berpendapat bahwa perdagangan di masa awal lebih banyak bersifat
perdagangan barang-barang lux. Volume perdagangan ketika itu kecil tetapi memiliki nilai jual yang tinggi seperti emas, perak,
mutiara, porselin, kain, dan sebagainya. Di samping itu juga diperdagangkan komoditi hasil bumi seperti pala, cengkeh, lada, kayu
cendana, dan sebagainya. Sudah barang tentu muatan dengan
volume yang kecil namun berharga ini berhubungan dengan tingkat kemajuan teknologi perkapalan yang belum begitu
sempurna sehingga ukuran kapal masih relatif kecil dan navigasi yang masih non-mekanik. Aktivitas perdagangan inilah yang
mampu menjelaskan proses perkembangan masyarakat Indonesia secara keseluruhan baik di bidang politik, kebudayaan
maupun ekonomi.
Pada tahun 1962, Melink Roelofsz telah menerbitkan karyanya
mengenai perdagangan Asia prakolonial dan sejauhmana perdagangan yang dilakukan oleh orang-orang Eropa di Asia
mempunyai pengaruh terhadap kemajuan perdagangan di Asia. Ia menyebutkan bahwa pada waktu bangsa-bangsa Eropa
datang ke Asia, perdagangan sudah bersifat besar-besaran. Dengan menggunakan dokumen-dokumen baik dari
Sejarah Maritim Indonesia I 15

VOC maupun dari Portugis ia membuktikan adanya perdagangan beras dan lada yang menggunakan kapal-kapal besar. Dengan
dokumen-dokumen yang lebih lengkap tersebut, Meilink Roelofzs melengkapi karya van Leur mengenai sejarah maritim
Indonesia, bahkan ia mengoreksi pendapat van Leur yang mengatakan bahwa perubahan besar dalam struktur perdagangan di
Asia Tenggara baru terjadi dengan datangnya bangsa Belanda di Indonesia. Menurut sumber Portugis yang digunakan Meilink
Roelofzs, perubahan itu sudah terjadi ketika Portugis menduduki Malaka pada tahun 1511.35
Sejarawan Indonesia yang mencoba untuk mengkaji aspek maritim dari sejarah Indonesia adalah F.A. Sutjipto. Ia
melakukan penelitian aspek maritim yang dipadukan dengan aspek lokal dengan batasan geografis tertentu. 36 Namun demikian
ia bukan hanya mengkaji satu kota raja tetapi mencakup seluruh kota pantai yang ada di sekitar selat Madura yaitu Gresik,
Surabaya, Pasuruan, Probolinggo, Besuki, Bondowoso, Panarukan, Banyuwangi, Sumenep, Pamekasan, dan Bangkalan yang
menurutnya mempunyai jalinan hubungan sangat erat dalam perkembangan sejarahnya. Untuk mengungkap jalinan
hubungan ini ia menggunakan pendekatan yang menekankan pada pengkajian faktor-faktor yang memiliki fungsi integratif
berupa mainstreams (aliran-aliran besar), baik yang menyangkut segi perdagangan, agama, kebudayaan maupun politik. Ia
menambahkan bahwa fokus kajiannya terutama diarahkan pada peranan kota-kota pantai karena dari kota lah kegiatan
daerah diarahkan, diatur dan diawasi. Kajian ini sangat memperkaya khasanah penulisan sejarah maritim. Di samping mengkaji
secara keseluruhan karya ini juga membahas kota-kota pantai yang disebutkan di atas satu-persatu. Dengan demikian kajian ini
memberikan informasi yang sangat berharga untuk memahami karakteristik kota pantai pada waktu itu.
Sebuah karya sosiologis mengenai masyarakat di sebuah kota pelabuhan (Makassar) telah ditulis oleh Heather
Sutherland.37 Ia menggambarkan bahwa meskipun posisinya agak jauh dan daratan Asia dan penduduknya relatif kecil namun
hal itu tidak membuat Makassar menjadi terbelakang. Sebelum dikuasai oleh VOC, ekonomi Makassar mampu mengikuti
irama perdagangan dunia, pemerintahnya selalu
16 Pendahuluan

berusaha keras untuk mendamaikan pengaruh-pengaruh asing yang barn dengan realitas lokal, meskipun kehidupan
sosialnya selalu mencerminkan ketegangan dan kekuatan dari berbagai etnik yang ada. Walaupun letak Makassar jauh dari
daratan Asia, namun is dapat berjaya melalui perdagangan yang telah memberi penghidupan pada penduduknya, baik secara
langsung maupun tidak langsung oleh arus barang yang lewat pelabuhan, atau sebagai buruh pada saudagar-saudagar
maupun sebagai pelaut yang bekerj a pada pemilik kapal.
Setelah berhasil menundukkan Makassar, VOC berusaha untuk menghancurkan kemudian membentuk kembali serta
menjadikan Makassar sebagai instrumen efektif guna mengejar tujuan-tujuan regionalnya, yaitu menguasai jalur di perairan
Asia Tenggara. Namun demikian Belanda tidak mampu membuat perubahan-perubahan secara total atas jaringan
perdagangan regional di kawasan ini. Hal ini berkaitan dengan kenyataan adanya jurang yang tetap lebar antara "Company
Town" yang telah diciptakan oleh Belanda dengan realitas sosial yang ada di Makasar itu sendiri. Hal itu terutama
disebabkan oleh adanya struktur penduduk Makassar yang sangat kompleks dengan berbagai jaringan hubungan sosial
antaretnik dan kelompok sosial lainnya yang rumit.
Sejak awal tahun 1990-an telah muncul berbagai karya sejarah maritim dari hasil penelitian baik yang berupa disertasi S3
maupun tesis S2. Sebagian besar karya-karya ini mengkaji kota pelabuhan baik pelabuhan dagang 38 maupun pelabuhan
perikanan.39 Di luar tema itu, muncul karya mengenai sejarah sektor perikanan khususnya di kawasan pantai utara Jawa yang
ditulis oleh Masyhuri. ° Selain itu juga muncul hasil penelitian yang mencoba untuk mengkaji peranan sektor kemaritiman dan
proses integrasi nasional Indonesia, khususnya peranan jaringan pelayaran dan perdagangan di kawasan Laut Jawa dalam
proses integrasi ekonomi di Indonesia. Adalah aneh sekali bahwa sebagai negara maritim, penulisan sejarah maritim Indonesia
belum berkembang secara proporsional. Tulisan ini merupakan upaya kecil untuk memenuhi kebutuhan masyarakat guna
memahami masa lampau dan menapak masa depan bangsa Indonesia sebagai bangsa bahari.
Sejarah Maritim Indonesia I 17

Peta 1. Kawasan-kawasan Laut di Nusantara

Catatan :

Gagasan mengenai penyedotan kekayaan (drain) mula-mula digunakan untuk menunjuk pada fenomena eksploitasi dan penyedotan kekayaan dan
daerah koloni keNegeri Induk. Kemudian konsep ini juga dikembangkan untuk menunjuk gejala internal drain yaitu penyedotan kekayaan dari Luar
Jawa ke Jawa. Namun demikian gagasan ini masih dalam perdebatan. Pierre van der Eng berargumentasi bahwa sebagian besar modal yang mengalir
ke luar Indonesia adalah merupakan gaji untuk tenaga buruh asing dan keuntungan-keuntungan dan modal asing yang ditanam di Indonesia. Lihat P.
van der Eng, The 'Colonial Drain from Indonesia, 1823-1990 (Canberra: Research School of Pacific Studies Australian National University, 1993). Lihat
juga A. Booth, 'Export and Growth in the Colonial Economy, 18301940', dalam A. Maddison & G Prince (eds), Economic Growth in Indonesia 1820-
1940 (Dordrecht/Providence: Foris, 1989), hlm. 67-96. A. Booth 'Foreign Trade and Domestic Development in the Colonial Economy', dalam A. Booth,
W.J. O'Malley & A. Weidemann (eds), Indonesian Economic History in the Dutch Colonial Era (New Haven: Yale University Press, 1990), hlm. 210-243.

A\1:15Nakhon SithartirraralY'____________________...4. Si]

Kawasan Selat

______ PATTANI

isoqgkiia Malaka
..... .. ...Z E- 1 kt4A40 ________- , . 2 -
'

ELANGQ NEGFAI

Kawasan Laut Maluku


18 Pendahuluan

2
Penindasan terhadap gerakan separatis semacam ini juga dilakukan oleh pemerintah Kerajaan Inggris yang memerangi gerakan separatis Irlandia
Utara.
3
Pada saat bangsa Indonesia melakukan dekolonisasi, kesepakatan-kesepakatan untuk membentuk Republik Indonesia (RI) hanya dilakukan oleh
tokoh-tokoh yang dipandang atau menganggap dirinya sebagai wakil dari daerah atau suku bangsa tertentu di Indonesia. Oleh karena situasi dan
kondisi revolusi, maka mereka tidak sempat lagi untuk meneguhkan secara formal kepemimpinan mereka atas suku atau daerah dari mana mereka
berasal, misalnya: Sam Ratulangi dipandang sebagai wakil dari Manado, Sukarno dari Jawa, Moh. Hatta dari Minang dan Melayu, Daud Beureuh dari
Aceh dan sebagainya.
4
Sejarah maritim merupakan salah satu bidang sejarah yang secara khusus mengkaji segala sesuatu yang berhubungan dengan perkembangan
aktivitas manusia di bidang kelautan. Aktivitas manusia di bidang kemaritiman cukup luas, yang dapat mencakup ekologi bahari, budaya, ekonomi,
sosial, teknologi, politik, hukum, dan sebagainya. Lihat Singgih Tri Sulistiyono, 'Pengembangan Mata Kuliah Sejarah Maritim di Jurusan Sejarah'.
Makalah disampaikan pada Lokakarya dan Pelatihan Metode Penelitian dan Pengembangan Kurikulum Sejarah, Jurusan Sejarah Universitas
Airlangga Surabaya, 13-17 Juli 2005, hlm. 9.

Fernand Braudel, The Mediterranean and Mediterranean World in the Age of Philip II, (Terjemahan S. Reynold), Vol. I (New York: Harper Colophon
Book, 1976), hlm. 276.
6
Lihat K.N. Chauduri, Trade and Civilization in Indian Ocean: An Economic History from the Rise of Islam to 1750 (Cambridge: Cambridge University
Press, 1989).

Lihat A. Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680. Vol. I: The Lands below the winds (New Haven: 1988); Vol. II: Expansion and Crisis
(New Haven: 1993).
8
P.W. Klein, 'The China Seas and the World Economy between the Sixteenth and Nineteenth Centuries: The Changing Structures of Trade' dalam
Davids, Fritschy & van der Valk (eds), Kapitaal, Ondernemerschap, en Beleid: Studies over Economie and Politiek in Nederland, Europa en Azie van
1500 tot Heden. Afscheidsbundel voor Prof Dr. P.W. Klein (Amsterdam: NEHA, 1996), hlm. 385-408.
9
V.J.H. Houben, H.M.J. Maier dan W. van der Molen„ Looking in Odd Mirrors: The Java Sea (Leiden: Vakgroep Talen en Culturen van Zuidoost-Asia en
Oceanid Leiden Universiteit, 1992),; hlm. viii.
Sejarah Maritim Indonesia 19

10
Lihat Sulistiyono, The Java Sea Network: Patterns in the Development of Interregional Shipping and Trade in the Process of National Economic Integration in
Indonesia, 1870s-1970s. Disertasi pada Universitas Leiden, 2003. Lihat pula, V.J.H. Houben, H.M.J. Maier dan W. van der Molen, Looking in Odd Mirrors:
The Java Sea (Leiden: Vakgroep Talen en Culturen van Zuidoost-Asie en Oceanid Leiden Universiteit, 1992), hlm. viii.

11 Menurut Ricklefs, sesungguhnya orang Belanda tidak menciptakan Indonesia, mereka hanya menentukan luasnya wilayah Indonesia, lihat M.C.
Ricklefs, A history of modern Indonesia since ca. 1300 (London: Macmillan, 1981), hlm. 138. Sementara itu David Henley mengatakan bahwa dengan
menetapkan batas-batas wilayah Indonesia berarti pemerintah kolonial Belanda telah menetapkan siapa yang menjadi bangsa Indonesia dan siapa
yang bukan. Lihat D. Henley, Nationalism and regionalism in a colonial context: Minahasa in the Dutch East Indies (Leiden: KITLV Press, 1996), him. 5.
12
Lihat misalnya Heather A Sutherland, The Making of Bureaucratic Elite (Singapore: Heinemann Educational Books, 1979).
3
I Di dalam buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid III yang membahas masa-masa menjelang datangnya bangsa-bangsa Barat, komunikasi lintas budaya
antarkelompok masyarakat Indonesia mendapatkan porsi yang sangat kecil. Di bawah sub-judul 'Hubungan antara Kerajaan di Indonesia, buku ini
hanya membahasnya sebanyak 8 halaman dari 385 halaman secara keseluruhan. Lihat M.D. Poesponegoro & N. Notosusanto, Sejarah Nasional
Indonesia III (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hlm. 329-337.
14
Lihat Max Weber, The City [diterjemahkan oleh Don Martindale & Gertrud Neuwirth] (New York, London: The Free Press & Collier-Macmilland), hlm.
65-67. Studi mengenai kota-kota pantai di sekitar selat Madura lihat F.A.S. Tjiptoatmodjo, Kota-kota Pantai di Sekitar Selat Madura (Abad XVII sampai
Medio Abad XIX). Disertasi pada Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada. 1983.
15
Evers mengatakan bahwa jaringan adalah: 'social processes of exchange in the sense that social interaction takes place between persons with the
primary purpose of exchange goods over more or less greater geographical distance (proses-proses sosial dari kegiatan tukar-menukar di mana
interaksi sosial di antara berbagai pihak bertujuan utama untuk pertukaran barang dengan cakupan dan jangkauan jarak geografis yang luas). Lihat
Evers, `Traditional', hlm. 92.
16
Hal ini berbeda dengan pendapat Menkhoff yang lebih menekankan pada jaringan perdagangan secara sosiologis dan psikhologis. Lihat R. Menkoff,
20 Pendahuluan

Trade rutes, trust and trading networks: Chinese small enterprises in Singapore (Bieleveld: University of Bieleveld, 1993).

'7 Kombinasi dari jaringan beberapa pasar ini disebut sebagai sistem pasar (market system), lihat Weber, The City, 65-68. Lihat juga Evers, 'Traditional',
hlm. 92.

'8Mengenai teori trade linkage, lihat misalnya A. Italianer, Theory and practice of international trade linkage models (dissertasi tidak diterbitkan pada
University of Groningen, 1986), hlm. 1. Di dalam ilmu ekonomi, suatu model linkage sering diacukan kepada model ekonometrik, namun demikian
dalam ilmu sejaGrah hal ini biasanya hanya digunakan sebagai alat analitik untuk melacak jaringan hubungan di antara market places yang dikaji.

A.B. Lapian, "Laut, Pasar, dan Komunikasi Antar-Budaya". Makalah disampaikan pada Kongres Sejarah Nasional 1996 di Jakarta, hlm. 1. Lihat juga
A.B. lapian, "Dunia Maritim sebagai Unit Kajian Sejarah". Makalah disampaikan pada Lokakarya dan Pelatihan Metode Penelitian dan
Pengembangan Kurikulum Sejarah di Surabaya, 13-17 Juli 2005, hlm. 4. Tentang konsep archipelagic states untuk negara-negara di Asia Tenggara
lihat P. Tangsubkul, The Southeast Asian Archipelagic State: Concepts, Evolution, and Current Practice (Research Report No. 15, February 1984; East-
West Environment and Policy), hlm. 2-3.
20
C. Drake, National Integration in Indonesia: Patterns and Policies (Honolulu: University of Hawaii Press, 1989), hlm. 16.
7
' W.F. Wetheim, Indonesian Society in Transition: A Study of Social Change (The hague: W. van Hoeve , 1969), hlm. 16-37. Lihat juga A.S. Walcott,
Java and her Neighbors: A traveler's Note in Java, Celebes, the Moluccas and Sumatra (New York and London: Knickerbocker Press, 1914), hlm. 1.
Lihat juga Koninklijke Paketvaart Maatschappij, KPM: Official Yearbook 1837-1938 (Batavia: De Unie, 1938), hlm. 37. Lihat juga S. Ali, 'Interisland
Shipping', Bulletin of Indonesian Economic Studies 3 (1966), hlm. 27.
22
T.H. Purwaka, Indonesian interisland shipping: An assessment of the relationship ofgovernment policies and quality ofshipping services (Ph.D.
dissertation, University of Hawaii, 1989), hlm. 3-5.
23
Lihat A.B. Lapian, "Sejarah Nusantara Sejarah Bahari". Pidato disampaikan pada Pengukuhan Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Indonesia
Jakarta,1991.
24
K.R. Hall, Maritime Trade and State Development in Early Southeast Asia (Honolulu, Hawaii: University of Hawaii Press, 1985), hlm. 20-25.
Sejarah Mariam Indonesia I 21

25
V.J.H. Houben, H.M.J. Maier dan W. van der Molen, Looking in Odd Mirrors, hlm. viii. Kajian Asia Tenggara sebagi suatu entitas dapat dilihat pada A.
Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680. Vol. I: The Lands below the winds (New Haven: 1988); Vol. II: Expansion and Crisis (New
Haven: 1993).
26
Hans-Dieter Evers, "Traditional trading networks of Southeast Asia", dalam Archipel 35,1988, hlm. 92. Karya yang sama dapat juga dilihat pada
Hans-Dieter Evers, "Traditional trading networks of Southeast Asia" [Working Paper No. 67] (Bieleveld: University of Bielevel, 1985), him. 5 6.
27
Lihat Sulistiyono, The Java Sea Network
23
Lihat Alfred Thayer Mahan, The Influence of Sea Power upon History 1660-1783. (London: Methuen, 1965).
29
Lihat A.M. Djuliati Suroyo, `Dinamika Otonomi Daerah dalam Dimensi Sejarah Indonesia'. Makalah dipresentasikan pada Seminar Internasional
Reformasi, Otonomi Daerah, dan Integrasi Nasional: Refleksi dari Pengalaman Jepang, Semarang, 6 September 2005.

3° Khusus untuk kasus pentingnya audiensi (seba) sebagai sarana kontrol kesetiaan penguasa daerah kepada pemerintah pusat di kerajaan Mataram
lihat Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa Lampau: Studi tentang Masa Mataram II, Abad XVI sampai XIX (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1985), hlm. 114-115.
31
J.C. van Leur, Indonesian Trade and Society: Essay in Asian Social and Economic History (Dordrecht/Providence: Foris, 1983). 111m. 8-15. Lihat juga
N. Tarling, Piracy and Politics in the Malay World: A Study of British Imperialism in the Nineteenth-Century South-East Asia (Melbourne-Canberra-
Sydney: Cheshire, 1963), hlm. 1.
32
Gerrit J. Knaap, Changing Economy in Indonesia, Vol. 9, Transport 18191941 (Amstedam: Royal Tropical Institute, 1989), hlm. 16. Lihat juga Arthur S.
Walcott, Java and Her Neighbours: A Traveller's Note in Java, Celebes, the Moluccas and Sumatra (New Yoth and London: The Knickerbocker Press,
1914), hlm. 1. Lihat juga Tomy H. Purwaka, Pelayaran Antarpulau Indonesia: Suatu Kajian tentang Hubungan antara Kebijaksanaan Pemerintah
dengan Kualitas Pelayaran (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), hlm. 4; NV Koninklijke Paketvaart Maatschappij, KPM: Official Year Book 1837 -1938
(Batavia: De Unie Batavia Centrum), hlm. 37; Christine Drake, National integration in Indonesia: Patterns and policies (Honolulu: University of
Hawaii Press, 1989), hlm. 6.
22 Pendahuluan

33
Lapian, `Sejarah Nusantara'.

Lihat J.C. van Leur, Indonesian Trade and Society: Essay in Asian Social and Economic History (Dordrecht: Foris publication, 1983),
35
Lihat Meilink Roelofzs, Asian Trade and European Influence in the Indonesian Archipelago between 1500 and about 1680 (The Hague: Martinus
Nijhoff, 1962).
36
Lihat F.A. Sutjipto Tjiptoatmodjo, Kota-kota Pantai di Sekitar Selat Madura.
37
Lihat Heather Sutherland, "Eastern Emporium and Company Town: Trade and Society in Eighteenth Century Makassar", dalam: Peter J.M. Nas (ed.),
The Indonesian City: Studies in Urban Development and Planning (Dordrecht: Foris Publication, 1986), hlm. 79-128.
38
Karya yang mengkaji kota pelabuhan dagang antara lain: E. L. Poelinggomang, Pro teksi dan Perdagangan Bebas: Kajian tentang Perdagangan Makassar
pada Abad ke-19. Disertasi pada Vrije Universiteit Amsterdam, 1991. Disertasi ini kemudian diterbitkan dengan judul Makassar AbadX/X(Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2002); Susanto Zuhdi, Perkembangan Pelabuhan dan Kota Cilacap, Jawa Tengah 1830-1940. Tesis S2 pada Fakultas
Sastra Universitas Indonesia, 1991. Selanjutnya diterbitkan dengan judul Cilacap 1830-1942: Bangkit dan Runtuhnya Suatu Pelabuhan (Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2002); dan sebagainya.
39
Lihat Sutejo Kuwat Widodo, Ikan Layang Terbang Menjulang (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2005).

" Masyhuri, Pasang Surut Usaha Perikanan Laut: Tinjauan Sosial-Ekonomi Kenelayanan di Jawa dan Madura, 1850-1940. Disertasi pada Vrije
Universiteit Amsterdam, 1995.
41
Sulistiyono, The Java sea Network.
Sejarah Maritim Indonesia I 23

BAB II
GEOGRAFI DAN EKOLOGI MARITIM
SERTAAWAL KEGIATAN MARITIM
DI INDONESIA

A. Kondisi Geografi dan Ekologi Maritim di Indonesia


Kepulauan Indonesia yang terletak antara benua Asia dan Australia sering diumpamakan sebagai sebuah jembatan di
antara kedua benua tersebut. Perumpamaan itu dibenarkan oleh hasil penelitian tentang masa lampaunya. Hasil penelitian
prasejarah menunjukkan bahwa pada masa lampau berbagai suku bangsa telah memasuki kepulauan ini dari daratan Asia
Tenggara. Mereka menyeberangi lautan yang memisahkan kepulauan Indonesia di daratan Asia. Ada yang datang dan daratan
Indocina dan menyebar di Indonesia bagian Barat dan ada pula yang melalui kepulauan Filipina menyebar di Indonesia bagian
Timur. Sebagian dari bangsa-bangsa itu kemudian menyebar di pulau-pulau Pasifik dan Australia. Sebagian lagi dari Indonesia
bagian Barat menyeberangi Samudera India hingga mencapai kepulauan Madagaskar.'
Kepulauan Indonesia terletak antara 6° garis Lintang Utara dan 11° garis Lintang Selatan serta 95° dan 145° garis Bujur,
Timur, merupakan gugus kepulauan terbesar di dunia. Dalam wilayah yang teramat luas, membentang dari benua Asia sampai
Australia dan dari Samudera Pasifik sampai Samudera Hindia, terdapat banyak lingkungan alam dan kelompok
24 Geografi dan Ekologi Maritim serta Awal Kegiatan Maritim di Indonesia

manusia. Daratan Indonesia kurang lebih 1.904.000 kilometer persegi, dibagi menjadi empat satuan geografis. Satuan pertama,
meliputi Kepulauan Sunda Besar, yaitu Sumatra, Jawa, Bali, Kalimantan, dan Sulawesi, termasuk pulau-pulau kecil di sekitarnya.
Pulau-pulau ini, kecuali Sulawesi, terletak pada Dataran Sunda, lempeng benua Asia di bawah laut. Satuan kedua, meliputi
Kepulauan Sunda Kecil, yaitu pulau-pulau di sebelah tenggara, dari Lombok sampai Timor. Pulau-pulaunya meliputi Sumbawa,
Sumba, Komodo, Flores, Alor, Sawu, dan Lembata. Satuan ketiga, meliputi Kepulauan Maluku, yang terdiri atas Halmahera,
Ternate, Tidore, Seram, Ambon, serta pulau-pulau kecil lainnya. Wilayah ini sering disebut dengan "Kepulauan Rempah-Rempah".
Irian Jaya, bagian barat New Guinea, merupakan daerah keempat yang bersama dengan Kepulauan Aru dan benua Australia
terletak pada Dataran Sahu1.2 Pembagian satuan geografis itu dapat dilihat pada peta berikut ini:

Peta 2.1. Zona Tam Indonesia

Sumber: John Miksic (ed.), Indonesian Heritage 1: Sejarah Awal

Seluruh pulau di Indonesia termasuk dalam zona iklim khatulistiwa dengan suhu yang hampir tidak berubah. Akan tetapi,
karena letaknya di antara kawasan angin musim Asia dan daratan Australia yang dua
Sejarah Maritirn Indonesia I 25

pertiganya merupakan gurun pasir, maka Indonesia dipengaruhi oleh angin musim dan angin pasat. Secara geologic pun
Indonesia sangat kompleks. Bentukan vulkanik dan nonvulkamic salingmenjahn, sementara itu ciri-ciri topografis
menunjukkan perbedaan yang mencolok mengenai sifat tanah dan curah hujan yang berkisar antara 712 dan 4.156 mm per
tahun. Hujan lebat seringkali menyebabkan sungai-sungai meluap dan menggenangi dataran rendah di sekitarnya. Keadaan
pulau-pulau di Indonsia sangat bervariasi satu dengan lainnya, bahkan seringkali juga di dalam satu pulau terdapat variasi.
Keadaan iklim yang dipengaruhi oleh angin muslin menyebabkan adanya musim kemarau dan penghujan. Panjang-
pendeknya musim itu berbeda menurut letak daerahnya di kepulauan Indonesia. Selain itu, panjang pendek musim-musim
itu tidak selalu sama setiap tahunnya. Adanya dua musim sebagai gejala tetap pada iklim ternyata berpengaruh terhadap
berbagai aspek dalam kehidupan penduduk kepulauan Indonesia. Misalnya pada pola pertanian, pola pelayaran, dan aspek-
aspek lain yang dipengaruhi iklim. Angin musim sanzat berpengaruh pada pola pelayaran. Dengan demikian angin juga
mempengaruhi berbagai kegiatan yang dilaksanakan dengan perahu. Misalnya penangkapan ikan, lebih penting lagi dalam
perdagangan, termasuk pelayaran perdagangan dan dan ke Indonesia_
Selain menjadi jembatan antara daratan Asia dan Australia, kepulauan Indonesia juga terletak dalam jalur
perdagangan antara dua pusat perdagangan jaman kuna, yaitu India dan Cina. Letaknya dalam jalur perdagangan
internasional ini besar pengaruhnya pada perkembangan sejarah kuna Indonesia

B. Awal Kegiatan Kemaritiman di Indonesia


I. Migrasi Bangsa Austronesia ke Indonesia
Perahu merupakan sarana transportasi tertua yang behun banyak diketahui sejarahnya. Kemunculan perahu sudah
berlangsung sejak jaman prasejarah. Bukti keberadaan perahu dapat dilihat pada lukisan-lukisan dinding gua yang ditemukan di
daerah Sulawesi Selarao, Sulawesi Tenggara, Kepulauan Kei dan di Irian Jaya; sedangkan bentuk-bentuk
26 Geografi dan Ekologi Maritim serta Awal Kegiatan Maritim di Indonesia

perahu yang berupa pahatan ditemukan para arkeolog di daerah Batak. 3 Perahu merupakan sarana untuk memudahkan
bergerak dalam mencari kebutuhan makanan terutama di daerah perairan seperti di rawa, sungai, dan Taut, maupun sebagai
sarana untuk perdagangan antar pulau. Lukisan-lukisan perahu di berbagai dinding gua menunjukkan bahwa fungsi perahu
tidak hanya untuk mencari makan saja, akan tetapi juga digunakan untuk berperang di daerah perairan. Berikut ini
merupakan salah satu gambar perahu yang dilukiskan pada dinding gua di Sulawesi Selatan.

Gambar 2.1. Lukisan perahu pada dinding gua di Sulawesi Tenggara (Sumber: Haris Sukendar, Perahu Tradisional
Nusantara, hlm.34).

Menurut para ahli, pada jaman dahulu telah terjadi perpindahan bangsa-bangsa sambil membawa budayanya. Bukti-
bukti adanya peristiwa itu dapat disaksikan melalui hasil-hasil budaya yang sama dari satu tempat ke tempat lain. Contohnya
ditemukannya beliung (Neolithic-axes) di Asia, Indonesia, maupun Pasifik. Keberadaan beliung tersebut dengan bentuk yang
sama di tiga wilayah tidak mungkin terjadi tanpa adanya migrasi.4 Migrasi bangsa dan budaya Austronesia, yang dianggap oleh
para ahli sebagai nenek moyang bangsa Indonesia, telah
Sejarah Maritim Indonesia 1 27

dibahas oleh Von Heine Geldern. Ia mengatakan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari daratan Yunan di Asia
yang mengadakan migrasi dalam dua gelombang, yaitu pada masa neolitik dan pada masa perunggu besi. 5 Perpindahan
tersebut telah berlangsung sangat lama. 6 Mengenai migrasi nenek moyang bangsa Indonesia, diuraikan secara lebih lengkap
pada bab VI dari tulisan ini.
Dasar petnikiran para ahli dalam menyimpulkan adanya persebaran bangsa-bangsa itu tidak terlepas dari data-data
arkeologi maupun berbagai bahasa-bahasa yang ada. Terjadinya persebaran bangsa dan budaya itu tidak lepas dari kemajuan
yang telah dicapai oleh bangsa itu sendiri, terutama kemajuan dalam bidang teknologi pembuatan perahu yang mampu
mengarungi samudra dan mengatasi gelombang besar, dengan didasari konsep-konsep keseimbangan. Perahu itu sering
disebut dengan perahu bercadik dengan ukuran kecil sampai besar. Berikut ini contoh bentuk gambar perahu bercadik tunggal
yang diduga sama dengan jenis perahu yang digunakan oleh para penjelajah Austronesia pada zaman prasejarah.

Gambar 2.2. Perahu bercadik tunggal


(Sumber: John Miksic, Indonesian Heritage 1, hlm.34)
SEJARAH MARITIM INDONESIA I:
Menelusuri Jiwa Bahari Bangsa Indonesia Hingga Abad ke-17
28 Geografi dan Ekologi Maritim serta Awal Kegiatan Maritim di Indonesia

Catatan linguistik dan arkeologi mengisyaratkan bahwa para pemakai bahasa- Austronesia yang menyebar di Indonesia
sekitar 4.0002.500 tahun yang lalu juga merupakan petani-petani pertama di sebagian besar wilayah kepulauan ini. Mereka
berasimilasi dengan masyarakat setempat yang masih berburu dan meramu, menyerap dan memperkaya kebudayaan serta
bahasa mereka. Tahap-tahap awal bahasa Austronesia dapat direkonstruksi dengan mencari ciri-ciri yang sama pada bahasa-
bahasa dewasa ini, kemudian dihubungkan dalam beberapa sub-kelompok. Bahasa-bahasa dalam satu sub-kelompok memiliki
asal yang sama dan dapat disusun dalam tingkatan berdasarkan urutan pemisahan dari sisa bahasa-bahasa dalam rumpun itu.
Akar bahasa Austronesia kemungkinan besar berawal dari pantai Cina Selatan. Akan tetapi, sejarah bahasa
Austronesia sebagai suatu rumpun bahasa tersendiri dimulai dari Taiwan setelah para petani pendatang tiba di sana antara
5.000 dan 6.000 tahun yang lalu. Robert Blust, pakar bahasa, menyusun silsilah sub-sub kelompok Austronesia tingkat
tertinggi mulai dari Bahasa Proto-Austronesia yang berasal dari Taiwan, kemudian mencakup Filipina, Kalimantan, dan
Sulawesi. Bahasa ini kemudian bercabang dua, yang satu menyebar ke barat, meliputi Jawa, Sumatra, dan Semenanjung
Melayu; yang lain menyebar ke timur melalui Halmahera ke wilayah Oceania. Bahasa-bahasa dalam semua wilayah ini sejauh
Madagaskar dan Pulau Paskah digolongkan sebagai bahasa Melayu Polynesia.
Kosa kata Proto-Austronesia menunjukkan mata pencaharian yang sangat cocok dengan keadaan tropis pinggiran dengan
adanya beras, jelai (jewawut), tebu, anjing, babi, dan perahu (kano). Sebagai akibat gerakan kolonisasi melalui Filipina masuk ke
Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku, sub kelompok bahasa Melayu-Polynesia akhirnya terbagi menjadi kelompok bahasa Timur-
Tengah dan Barat. Kosakata bahasa Proto-Melayu-Polynesia yang berasal dari Filipina melengkapi kosakata yang belum ada
pada bahasa Proto-Austronesia, seperti kata taro, sukun, pisang, ubi jalar, sagu, dan kelapa. Persebaran bahasa-bahasa
Austronesia di Asia Tenggara dapat dilihat pada peta berikut ini:
Sejarah Maritim Indonesia I 29

Peta 2.2. Persebaran bahasa-bahasa Austronesia di Asia Tenggara

Sumber: John Miksic, Indonesian Heritage 1, 34

Sementara itu di dalam masyarakat Proto-Austronesia ditemukan beberapa benda yang dapat menunjukkan aktivitas
maritim mereka, terutama dalam mencari makan di daerah perairan, seperti adanya tiang rumah, jala ikan (seser, Jw),
penangkap ikan dari bambu (bubufwuwu, Jw), dayung sampan, tas anyaman (kepis, Jw), serta jala ikan (anco, Jw), seperti pada
gambar-gambar berikut:

PERSEBARAN BAHASA-BAHASA AUSTHONEST '01 ASIA TENGGARA

Mil Formosa

§ Campa
Malayu-Polyneska Barat Tai Sub-cabang MolaYo

· Melayu-Polynesia Tertoah
=LUZON SAAIUDERA

PASIFI


.VISAYAS

Nicobar

Laiit Se/atop.;

4/IINDANAO

La ti t Ba nd a V e
4
AL 1 Low Flores' Aim, ArofordXISSEIS..IMS.

.544, Lauf Timor s

MUSA TENGGARA '

SAAIUDERA 11 INDIA

0 2000 km
30
Geografi dan Ekologi Maritim serta Awal Kegiatan Maritim di Indonesia

Gambar 2.3. Anco (jala untuk menangkap ikan) (Sumber: John Miksic, Indonesian Heritage 1,111m. 35)

Gambar 2.4. Tiang rumah dan jala ikan (seser, Jawa) (Sumber: John Miksic, Indonesian Heritage 1, hlm.35)
Sejarah Maritim Indonesia I 31

Gambar 2.5. Alat penangkap ikan dan bambu (bubu/wuwu, Jawa),


dayung sampan, dan tas anyaman (kepis, Jawa)
(Sumber: John Miksic, Indonesian Heritage 1, hlm.35)

Berdasarkan data-data arkeologi, terutama penelitian prasejarah, dapat diketahui adanya peninggalan benda-benda
prasejarah yang mengandung ciri-ciri yang menunjukkan adanya hubungan antara kepulauan Indonesia dengan berbagai daerah
di daratan Asia Tenggara, khususnya dengan adanya temuan nekara perunggu yang telah diteliti oleh banyak ahli. Hasil penelitian
F. Heger' hingga saat ini masih digunakan sebagai dasar klasifikasi berbagai jenis nekara perunggu di Asia Tenggara.Heger
membagi bentuk nekara di dunia ini dalam empat klasifikasi yang diberi nomor H-I sampai H-IV. Di Indonesia pada umumnya
ditemukan jenis tipe H-I yang, dianggap sebagai tipe dasar, dan hanya ditemukan 2 buah yang digolongkan dalam tipe H-IV. Tipe
HI ini ditemukan di Sumatra, Selayar, Sangeang di Sumbawa, Roti, Luang, Leti, Gorong, Kei dan Irian.' Dari sebaran temuan itu
dapat diketahui
32 Geografi dan Ekologi Maritim serta Awal Kegiatan Maritim di Indonesia

adanya hubungan antardaerah yang dilakukan akibat dari kegiatan maritim, karena letak masing-masing tempat saling
berjauhan dan dipisahkan oleh lautan lepas. 9
Masih terdapat banyak data arkeologi lain pada masa prasejarah yang menunjukkan adanya hubungan maritim
antardaerah, baik dalam wilayah Indonesia maupun dengan daerah-daerah di luar wilayah Indonesia yang menunjukkan
kesamaan hubungan budaya, seperti misalnya adanya temuan jenis nekara perunggu yang berukuran besar yang sering
disebut dengan nekara Dong Son. Jenis nekara ini diduga diimpor setelah tahun 200 SM dari pusat-pusat kebudayaan Dong
Son di Vietnam Utara. Nekara itu ditemukan di sepanjang rangkaian pulau Sunda, dari Sumatra melalui Jawa ke Nusa
Tenggara dan mencapai Kepulauan Kei di dekat Irian Jaya."' Persebaran yang terbatas pada kepulauan Sunda ini menarik,
karena memberi kesan ada hubungan dengan di mulainya perdagangan dengan India.

2. Kyoken Moddinger
Kyoken Moddinger adalah istilah untuk menyebut sampah dapur berupa sisa-sisa kulit kerang yang sudah membukit
karena terbentuk dalam waktu yang sangat lama. Terbentuknya bukit-bukit kerang itu menunjukkan bahwa di lokasi itu
pernah menjadi tempat tinggal sekelompok masyarakat . Hal ini dikuatkan dengan adanya benda-benda temuan yang sangat
erat hubungannya dengan kehidupan sehari-hari masyarakat prasejarah, misalnya alu dan lesung, serta hematit" dalam
jumlah besar. Terbentuknya bukit-bukit kerang ini tidak hanya dalam satu periode saja, akan tetapi, kadang-kadang bukit itu
ditinggalkan kemudian digunakan lagi sebagai tempat pemukiman. Hal ini diketahui berdasarkan beberapa ekskavasi yang
menunjukkan adanya beberapa lapis bukit kerang yang diselingi dengan adanya lapisan-lapisan tanah yang relatif tebal.
Bukit-bukit kerang itu ditemukan di situs-situs prasejarah, baik di Sumatra maupun di Sulawesi, bahkan juga di Jawa. Hal
itu merupakan salah satu data arkeologi yang menunjukkan bahwa kehidupan maritim di Indonesia sudah berlangsung sejak
jaman prasejarah. Masyarakat prasejarah yang tinggal di daerah perairan seperti di tepi sungai, tepi
Sejarah Maritim Indonesia I 33

rawa, atau di tepi pantai, sangat akrab dengan lingkungan di sekitarnya, sehingga ketika mereka memerlukan makanan maupun
alat-alat keperluan sehari-hari mereka menggunakan bahan-bahan yang ada di dekat mereka, yaitu kerang. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Witkamp pada tahun 1907 di daerah muara Sungai Tamiang dekat Seruwai, diketahui bahwa
ternyata bukit kerang itu adalah hasil kegiatan manusia jaman dahulu. Di dalam bukit itu terdapat kulit-kulit kerang, tulang-
tulang binatang dan batu pipisan. Daerah temuan bukit kerang ini membujur di daerah pantai Sumatra sepanjang + 130 km.
Stein Callenfels ketika mengadakan ekskavasi di bukit kerang di dekat Medan pada tahun 1925 dan 1926, menemukan
beberapa jenis kerang yang telah dijadikan alat tiup, tempat minum, atau sebagai gayung, bahkan sebagai perhiasan dan alat
serut. Berdasarkan temuan sisa-sisa kulit kerang yang diperoleh, dapat diketahui bahwa terdapat jugs jenis-jenis kerang yang
dijadikan makanan dengan jalan dipanaskan terlebih dahulu kemudian bare diambil isinya (jenis meretrix), dan ada pula yang
hams dipecah terlebih dahulu barn dikeluarkan isinya (jenis melongena pugilira, ellobium auris, dan potamides telescopium).
Selain itu ditemukan juga beberapa alat sejaman seperti kapak genggam Sumatra yang berbentuk lonjong.' 2 Dalam corak
kehidupan masyarakat prasejarah budaya kyoken moddinger, kapak genggam Sumatra ini berfungsi untuk mencungkil tanah
dalam meramu bahan makanan, memecah kulit-kulit kerang, memotong-motong daging, dan menguliti binatang hasil buruan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa masyarakat pendukung budaya kyoken moddinger merupakan masyarakat yang
masih berada dalam taraf berburu, mengumpulkan makanan, dan mencari makanan di daerah perairan.

3. Pelayaran dan Awal Perdagangan di Indonesia


Bukti awal adanya lalu lintas maritim Indonesia di Samudra Hindia datang dari seorang astronom Yunani bernama Claudius
Ptolomeus yang tinggal di Alexandria, Mesir, pada abad ke-1 M. Ia menulis Guide to Geography, naskah tertua yang berisi tabel-
tabel garis lintang dan garis bujur tempat-tempat di dunia. Peta-peta yang dilampirkan pada naskah itu mungkin dibuat kemudian,
sekitar tahun 1300 M, sehingga tidak
34 Geografi dan Ekologi Maritim serta Awal Kegiatan Maritim di Indonesia

diketahui apakah astronom Yunani itu tahu segala sesuatu yang terdapat dalam naskah atas namanya itu. Kemungkinan is
mengetahui sedikit tentang Indonesia bagian barat. Dituliskannya di sebelah selatan semenanjung Aurea Chersonnesus
terdapat nama-nama seperti Barosae, Sinda, Sabadiba, dan Iabadium. Nama-nama tempat yang disebut itu tampaknya
adalah Barus, sebuah pelabuhan penting di Sumatra barat laut; Sunda di Jawa Barat; Suvarnadvipa, nama Sansekerta untuk
Sumatra; dan Jawa.13
Sebenarnya dunia Asia Tenggara sudah sejak lama merupakan daerah kegiatan maritim antara para penduduk Asia
Tenggara, penduduk Polynesia dan Madagaskar.14 Pada abad pertama dan kedua lalu lintas maritim semakin memuncak karena
bermacam-macam fakor, seperti adanya penemuan-penemuan baru yang berhubungan dengan pelayaran dan penyempurnaan
kapal, serta sifat kosmopolitis negara-negara raksasa yang terbentang dari Asia Timur sampai ke Eropa. Selain itu ada sebab
khusus, yaitu adanya peningkatan permintaan emas di pasaran India karena terhentinya pasokan emas dari Asia Tengah. Hal itu
dikarenakan muncul kekacauan dan kerusuhan di kawasan Asia Tengah yang disebabkan bergeraknya bangsa-bangsa di padang
gurun, serta adanya embargo emas terhadap ekspor yang dilakukan oleh Kaisar Roma.
Dengan demikian tidak mengherankan jilca sejak jaman prasejarah penduduk Indonesia merupakan pelayar-pelayar yang
sanggup melayari lautan lepas. Lautan di sekitar dan di antara pulau-pulau Indonesia tidak pernah menjadi penghalang, tetapi
justru menjadi faktor pemersatu. Hubungan dengan daerah pedalaman lebih sulit dari pada hubungan antarpulau. Pada awal
sejarah kuna Indonesia, kita melihat tumbuhnya pelabuhan-pelabuhan sekaligus pusat-pusat perdagangan di beberapa tempat
seperti di pantai timur Sumatra, pantai utara Jawa, pantai selatan Kalimantan, dan pantai barat Sulawesi; sedangkan letak
pelabuhan-pelabuhan di Indonesia bagian timur terpencar di banyak pulau.
Sumber India Kuna menggambarkan Jawa dan Sumatra sebagai
tempat tujuan pangeran-pangeran muda dari India untuk mengadu nasib. Perhatian India atas Indonesia itu meningkat pada
abad ke-2 M setelah India mengalami kekurangan persediaan emas karena tambang-tambang di India sudah terkuras habis,
sementara jalur darat yang membawa emas
Sejarah Maritim Indonesia I 35

dari Asia Tengah mengalami gangguan. Bangsa Yunani-Romawi membayar rempah-rempah serta pembelian mereka di India
dengan menggunakan emas dan perak. Manik-manik India dari batu dan kaca telah sampai di kepulauan Indonesia pada
abad-abad akhir sebelum Masehi. Dari informasi singkat ini, dapat diketahui bahwa model perdagangan pada masa awal itu
sebagai pengganti mata uang adalah barang-barang yang dianggap berharga, seperti emas, perak, dan manik-manik dari
batu dan kaca.
Bukti linguistik menunjukkan bahwa bangsa Indonesia telah sampai ke Madagaskar pada awal milenium pertama Masehi.
Dalam bahasa tersebut terdapat beberapa kata yang berasal dari bahasa Sansekerta, yang mengesankan bahwa nenek moyang
mereka berpindah ke pulau itu sebelum bahasanya menyerap banyak pengaruh dari India. Pliny, sejarawan dari Romawi,
menggambarkan orang-orang yang membawa kayu manis ke Afrika Timur melewati Samudra Hindia. Mereka membawa pulang
kaca, perunggu, pakaian, bros, gelang, dan kalung."
Selama ini diperkirakan India berperan aktif merangsang perdagangan awal di Indonesia, namun ternyata anggapan itu
salah. Paparan Yunani mengenai kapal dagang utama bukan berasal dari India, serta terdapat bukti bahwa para pendatang dari
Indonesia telah menjadi penduduk pertama Madagaskar. Selanjutnya sumber berita Cina juga menguatkan kesimpulan bahwa
kapal-kapal Asia Tenggara membentuk tulang punggung sistem angkutan Samudra Hindia. Barang-barang dagangan Indonesia
pada waktu itu adalah cengkih, yang dapat mencapai istana dinasti Han di Cina Utara 2.000 tahun lalu, ke Roma pada tahun 70
M, dan ke Mesopotamia pada + tahun 1700 SM.'
Perdagangan antara Indonesia dengan Cina mulai berlangsung antara tahun 250 M dan 400 M. Misi-misi dagang Cina
sering dikirim ke luar negri untuk mencari barang-barang langka dan berharga untuk istana. Informasi itu dapat diperoleh
melalui berita Cina, yang sebenarnya merupakan catatan perjalanan para pelancong Cina di daerah pelancongannya yang
memuat berita-berita menarik menurut perhatian mereka. Berdasarkan perolehan data, di antara negara-negara asing yang
36 Geografi dan Ekologi Maritim serta Awal Kegiatan Maritim di Indonesia

paling banyak menuliskan berita tentang keadaan bangsa Indonesia pada zaman kuna adalah negara Cina. Berita Cina itu
dapat menggambarkan hubungan antara Cina dengan negara lain termasuk Indonesia. Selama masa pemerintahan Dinasti
T'ang (618 M — 906 M), terdapat sebuah jawatan yang bertugas mengadakan tanya-jawab dengan utusan pembawa upeti
dan luar negri. Hal itu dimaksudkan untuk mencari keterangan mengenai keadaan geografi negeri yang bersangkutan, adat-
istiadat, serta cara berpakaian penduduknya, jarak negara asal upeti itu, serta nama penguasanya. Rupanya, semenjak
Dinasti Han (206 SM — 220 M) selalu terdapat tempat penginapan bagi para tamu asing di ibukota, serta terdapat kantor
khusus penerjemahan bahasa-bahasa asing.' 7
Sebuah laporan Cina tahun 414 M merupakan bukti pertarna bahwa kapal-kapal berlayar langsung dan Indonesia ke
Cina. Groeneveldt menyebutkan bahwa barang dagangan utama Cina adalah mutiara dan kulit penyu untuk pakaian kaisar dan
dupa serta minyak wangi yang langka untuk upacara keagamaan, karena aliran agama Buddha Mahayana semakin popular.' 8
Sementar Jawa pada waktu itu memproduksi emas, perak, cula badak, gading, kayu gaharu, cendana, adas, lada, pinang, serta
belerang.
Barang dagangan favorit dan Indonesia yang disukai Cina adalah rempah-rempah, pakaian, dupa, dan bulu burung
kakatua. Sayangnya kebanyakan barang dagangan itu mudah hancur, sehingga sebagian besar situs penting Indonesia selama
menjalin hubungan dagang, baik dengan India maupun Cina, tidak diketahui dengan pasti. Dan keterangan tersebut di atas
dapat disimpulkan bahwa perdagangan laut dan hubungan antar pulau sudah ada selama ratusan tahun sebelum terjadinya
perubahan budaya di Indonesia. Jalur perdagangan membuka alur pergerakan dagangan, manusia, dan gagasan-gagasan,
tetapi sebenarnya perdagangan saja tidak cukup untuk menjelaskan perkembangan yang mengarah pada periode klasik di
Indonesia.

4. Perdagangan pada Masa Kerajaan Kuna


Kerajaan Kuna di Indonesia berlangsung pada sekitar abad ke-5 M hingga abad ke-15 M. Pada rentang waktu itu,
Indonesia, khususnya
Sejarah Maritim Indonesia I 37

Jawa dan Sumatra serta sebagian kecil daerah di Kalimantan Timur, dalam pengaruh budaya India. Rupa-rupanya proses
akulturasi budaya di antara kedua wilayah itu sudah mulai semakin rapat akibat dari persentuhan antara dua budaya yang
telah relatif lama melalui perdagangan yang telah berlangsung sejak awal Masehi. Semakin lama perdagangan di kerajaan-
kerajaan kuna itu semakin berkembang, dan tidak hanya berlaku di daerah pesisir saja, akan tetapi, kemudian semakin
masuk ke daerah pedalaman dengan menggunakan sungai-sungai besar sebagai lalu-lintasnya.
Sejak abad ke-5 dan ke-6 M, penduduk Sumatra yang mendiami ujung barat Indonesia telah melibatkan dini dalam
perdagangan antara Cina dan India. Diketahui pula bahwa secara teratur mulai abad ke-7 M, pedagang Arab yang
kebanyakan datang dari India berlayar ke Asia Tenggara. Perdagangan secara meluas ternyata tidak saja dilakukan di
Indonesia, akan tetapi juga mencapai Cina Selatan. Lada, rempah-rempah, dan kayu gaharu merupakan barang dagangan
utama yang dicari bangsa acing.
Di Kerajaan Sriwijaya, sejak abad ke-7 M hingga abad ke-11 M merupakan masa keemasan perdagangan dengan corak
maritim. Kejayaan itu berulang lagi mulai awal abad ke-13 M hingga awal abad ke-14. Pada masa keemasan perdagangan itu,
Sriwijaya berhasil menguasai jalur perdagangan dan pelayaran internasional, sehingga merupakan salah satu pusat perdagangan
terpenting antara Asia Tenggara dan Cina.19 Untuk kepentingan perdagangannya itu Sriwijaya tidak keberatan untuk mengakui
Cina sebagai negara yang berhak menerima upeti. Ini adalah sebagian dari usaha diplomatik Sriwijaya untuk menjamin agar Cina
tidak membuka perdagangan langsung dengan negara lain di Asia Tenggara, sehingga akan merugikan perdagangan Sriwijaya.
Demikian strategisnya kedudukan Sriwijaya dalam perdagangan dengan Cina hingga melalui utusannya Sriwijaya dapat
mengusulkan perubahan-perubahan terhadap perlakuan para pejabat perdagangan Cina di Kanton terhadap barang-barang
Sriwijaya yang dirasa merugikan."
Selain itu, di dalam mengamankan perdagangannya itu Sriwijaya memasukkan kepala-kepala kelompok bajak laut dalam
ikatan dengan kerajaan. Mereka mendapat bagian yang ditentukan oleh raja dari basil
38 Geografi dan Ekologi Maritim serta Awal Kegiatan Maritim di Indonesia

perdagangan. Dengan demikian mereka menjadi bagian dari organisasi perdagangan kerajaan, sehingga dengan sendirinya
mereka justru akan berusaha agar kepentingan mereka jangan dirugikan oleh kelompok-kelompok bajak laut lain yang tidak
menyertai pengaturan itu. Cara ini menjadikan bajak laut sebagai pengaman bagi jalur-jalur pelayaran. Model pengaturan yang
demikian ini hanya akan berjalan jika raja mempunyai kewibawaan yang cukup tinggi. Salah satu kewibawaan nil adalah hasil
diplomasinya dengan Cina. Oleh karena Sriwijaya merupakan salah satu negara yang mengirim upeti ke negara Cina, maka Cina
berkewajiban untuk memberi perlindungan jika diperlukan. Hubungan dengan Cina tersebut tentu disebar-luaskan dan menjadi
salah satu factor yang mencegah keinginan untuk merugikan Sriwijaya dari negara-negara lain, khususnya negara-negara di Asia
Tenggara.
Sementara itu, di Jawa mulai abad ke-8 M perdagangan menjadi semakin maju. Berdasarkan berita-berita prasasti, dapat
diketahui bahwa mulai abad itu ditemui pejabat khusus yang mengelola keberadaan sebuah pasar. Menurut istilah Jawa Kuna,
jabatan itu disebut dengan mapkan. Selanjutnya pada abad ke-10 M perdagangan di Kerajaan Mataram Hindu semakin mapan
dengan mulai dipungutnya pajak perdagangan yang menggunakan klasifikasi-klasifikasi tertentu.2' Pada awal abad ke-10 itu,
perhatian terhadap wilayah Jawa bagian timur semakin dicurahkan, terutama karena raja pedalaman itu mulai radar terhadap
pentingnya perdagangan antar pulau. Menurut Casparis, 22 sikap itu terutama disebabkan oleh timbulnya perdagangan dengan
Timur Tengah dan Eropa melalui Timur Tengah. Hasil bumi yang dicari pedagang-pedagang Arab dan Parsi termasuk rempah-
rempah dari Maluku dan berbagai jenis kayu, antara lain cendana dan gaharu, dari Nusa Tenggara Timur. Dalam perdagangan itu,
letak pelabuhan-pelabuhan di Jawa dikatakan sangat strategic karena berada di tengah-tengah antara pulau—pulau penghasil
rempah-rempah dan kayu harum, serta Sriwijaya sebagai pusat perdagangan internasional. Menurut hipotesis Casparis, para
pedagang Jawa Timur itu membawa beras dan hasil bumi lain dan Jawa ke Maluku dan Nusa Tenggara untuk ditukarkan dengan
rempah-rempah dan kayu harum. Hasil pertukaran perdagangan itu kemudian diangkut ke Sriwijaya untuk dijual kepada
pedagang-pedagang asing. Selanjutnya para
Sejarah Maritim Indonesia I 39

pedagang Jawa itu kembali ke Jawa Timur dari Sriwijaya dengan membawa muatan yang diminati daerah mereka, seperti emas,
porselin dan sutra dari Cina, kain dari India, dupa dari Arab, dan lain-lain. Perdagangan itu menjadikan Jawa Timur semakin kaya
dan memberi kedudukan penting pada daerah itu.
Pada masa pemerintahan Airlangga, perdagangan di Jawa menjadi semakin pesat dengan semakin banyaknya jumlah
pedagang dari bangsa-bangsa asing, seperti dari Kling, Aryya, Pandikira, Drawida, Singhala (Sri Langka), Campa (Vietnam), Kmir
(Kamboja) dan lain-lain. Menurut berita prasasti, para pedagang asing itu ada yang menetap di Jawa. Mereka biasa disebut
sebagai wargga kilalan, dan dikenai pajak orang asing. Di dalam salah satu prasasti, yaitu Prasasti Kamalagyan, Airlangga
menjelaskan tentang diperbaikinya tanggul Sungai Brantas yang sering jebol dan mengakibatkan banjir di daerah Kamalagyan
dan sekitarnya. Ternyata di dalam prasasti itu dijumpai pula keterangan penting tentang perniagaan dan perkapalan.
Selanjutnya disebutkan pengaturan sungai itu dijalankan jugs demi kepentingan kaum pedagang agar mereka dapat berlayar
terus sampai di pelabuhan Hujunggaluh. Para pedagang itu membawa barang-barang dagangan dari pulau-pulau lain dan
memperdagangkannya di Hujunggaluh. Sebelum kembali ke tempatnya masing-masing, para pedagang itu memuat hasil bumi
setempat dalam kapal mereka untuk dibawa kembali ke tempat asalnya. Dengan demikian, Hujunggaluh pada awal abad ke-11
M merupakan pelabuhan untuk pusat perniagaan antarpulau di Jawa. Pada saat ini letaknya kira-kira ada di daerah Mojokerto. 23
Airlangga masih mempunyai pelabuhan yang lain yang sering disebut dalam prasasti sebagai pelabuhan di Kambangputih.
Pelabuhan ini merupakan pelabuhan antarnegara yang sekarang letaknya kira-kira di Tuban.
Sementara itu data-data arkeologis, baik yang berasal dari prasasti maupun yang tertera dalam relief-relief candi,
menunjukkan adanya
berbagai bentuk alat transportasi yang digunakan sebagai sarana perdagangan itu, seperti berbagai bentuk pedati dan
perahu. Adanya jenis alat transportasi seperti itu menunjukkan bahwa perdagangan itu terjadi di daratan dan di daerah yang
hanya bisa dilalui dengan menggunakan perahu. Relief—relief di Candi Borobudur menunjukkan
40Geografi dan Ekologi Maritim serta Awal Kegiatan Maritim di Indonesia

bahwa perahu yang digunakan untuk berdagang itu bukan semata-mata perahu kecil, akan tetapi merupakan perahu layar yang
mampu mengarungi samudra yang luas serta tahan terhadap gelombang besar.

Gambar 2.6. Bentuk perahu yang dipahat pada relief candi Borobudur
(Sumber: Thomas Suarez, Early Mapping of Southeast Asia,
[Singapura: Periplus Editions (HK) Ltd.,1999], hlm. 67)

Catatan :
' H.R. van Heekeren, "The Stone Age of Indonesia" dalam Verhandelingen KITLV XXI, 's Gravenhage, him. 1957.
2
John Miksic (editor), Indonesian Heritage 1: Sejarah Awal, (Jakarta: Buku Antar Bangsa untuk Grolier International, 2002), hlm. 14-
15.
Sejarah Mariam Indonesia I 41

Di daerah Batak, bentuk peti kubur batu menyerupai bentuk perahu. Hal itu menandakan bahwa peti kubur itu sebagai symbol untuk mengantarkan
arwah si mati menuju tempat leluhur. Harts Sukendar (editor), Perahu Tradisional Nusantara: linjauan Melalui Bentuk dan Fungsi, (Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2002), hlm. 1.
4
Migrasi-migrasi pada zaman prasejarah telah dibahas oleh W.J. Perry dan Mac Millan Brown. Mereka menyebutkan bahwa tradisi megalitik tersebar
ke arah timur karena pendukung budaya megalitik itu mencari emas dan mutiara yang banyak dihasilkan di belahan Indonesia Timur. Lihat Haris
Sukendar (editor), Perahu Tradisional Nusantara, hlm. 2.

Von Heine Geldem, "Prehistoric Research in the Netherlads Indie" dalam Science and Scientist in Nederlands Indie, 1945.
6
Yang mendorong bangsa Austronesia untuk melakukan migrasi adalah adanya bencana-bencana yang menyerang bangsa tersebut, baik berupa bencana
alam maupun adanya serangan-serangan dart suku bar-bar dart Asia Tengah. Bencana besar, khususnya banjir, sering terjadi akibat luapan sungai Yang-
tse-Kiang, Hoangho, dan Mekong, menjadi salah satu tekanan yang mendorong bangsa Austronesia harus berpindah untuk mencari daerah lain. Sungai
besar di Cina itu disebut Sungai Kuning karena sering banjir dengan membawa Lumpur yang menyebabkan aimya berwarna kuning.

' F.Heger, Alte Metalltrommeln aus Sudost Asien (Leipzig, 902).


8
Marwati Djoened Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid I, edisi ke-4, Cetakan ke-8 (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), hlm. 249.
9
Sementara itu tipe H-II dan H-III banyak ditemukan di daratan Asia Tenggara, khususnya tipe H-III banyak ditemukan di Birma, Laos, Kamboja, dan
Muang Thai.

i° John Miksic, Indonesian Heritage 1, hlm. 38." Hematit adalah zat warna merah, biasanya digunakan sebagai pelengkap upacara keagamaan.
12
Poesponegoro, Sejarah Nasional I, hlm. 152-153.
13
John Miksic, Indonesian Heritage 1, hlm. 50.
14
W. J van der Meulen, Indonesia di Ambang Sejarah, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hlm. 14-15.

'5 John Miksic, Indonesian Heritage 1, hlm. 51.


16
W. J. van der Meulen, Indonesia di Ambang Sejarah, hlm. 14-15.
42 Geografi dan Ekologi Maritim serta Awal Kegiatan Maritim di Indonesia

17
Tjan Tjoe Som, "Sumber-Sumber Cina dan Historiografi", dalam Soedjatmoko (ed.), Historiografi Indonesia: Sebuah Pengantar. Alih bahasa: Mien
Joebhaar, Cetakan I, (Jakarta: PT Gramedia, 1995), hlm. 167-169.
18
W.P. Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources, (Jakarta: C.V. Bhratara, 1960), hlm. 16.
19
Poesponegoro, Sejarah Nasional I, him. 77.
20
O.W. Wolters, Early Indonesian Commerce: A Study on the Origins of Srivijaya (New York: Cornell University Press, 1967), him. 152.
21
Siti Maziyah, "Pembatasan Usaha Perdagangan di Daerah Sima pada Abad X Masehi: Tinjauan Berdasarkan Kedudukan Daerah Sima". Skripsi pada
Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1992.
22
J.G. de
Casparis, "Airlangga". Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Mata Kuliah Sejarah Indonesia Lama dan Bahasa Sansekerta pada Perguruan Tinggi
Pendidikan Guru Universitas Airlangga, Malang, 1958, hlm. 7.
23
J.G. de Casparis, "Airlangga", hlm. 20.
Sejarah Maritim Indonesia I 43

BAB III
PASANG SURUT JAAN-JAAN 111 TIM DI INDONESIA

A. Kawasan Laut Inti Selat Malaka


Munculnya kerajaan-kerajaan maritim di Indonesia dalam kurun waktu yang panjang terjadi secara silih berganti, ditandai
dengan berdirinya suatu pusat kekuasaan, kemudian berkembang mencapai puncak kekuasaannya dengan kemampuan
mengontrol wilayah perniagaan yang sedemikian luas, mengalami masa surut, dan selanjutnya digantikan oleh kerajaan maritim
lainnya. Dalam mengembangkan wilayah kekuasaannya, kerajaan-kerajaan tersebut pada umumnya mempunyai struktur politik
yang bersifat integratif, mengikat pulau dan daerah lain di sekitarnya ke dalam suatu pusat kekuasaan yang lebih besar. Untuk
dapat mengendalikan atau mengontrol pulau-pulau yang menjadi wilayah kekuasaannya, kerajaan-kerajaan maritim harus
memiliki armada laut yang tangguh, baik berupa armada perang maupun armada dagang, yang sekaligus menjadi salah satu ciri
kerajaan maritim.
Kekuasaan untuk mengontrol kerajaan-kerajaan kecil oleh pusat kekuasaan/kerajaan yang lebih besar dapat
berlangsung selama hubungan pusat-daerah saling memberikan keuntungan. Keuntungan yang diperoleh pusat kekuasaan
antara lain adalah pengakuan simbolik
44 Pasang Surut Kerajaan-Kerajaan Maritim di Indonesia

berupa kesetiaan, kemudian secara ekonomis kekuasaan pusat juga memperoleh upeti berupa barang-barang mewah
ataupun hasil-hasil yang dapat diperdagangkan. Sebaliknya kerajaan kecil memperoleh perlindungan dan prestise atas
hubungan tersebut. Dinamika pudarnya wibawa dari pusat kekuasaan mendorong kerajaan kecil melepaskan hubungan yang
telah berlangsung tersebut, dan kemudian menerima hubungan dari kerajaan lain yang mampu memberikan perlindungan
dan prestise baru.
Kecenderungan memperluas kekuasaan atas wilayah yang lebih luas berangkat dari keberhasilan dalam memanfaatkan
aktivitas hubungan dagang. Kegiatan perdagangan di camping membuka kesempatan untuk memasarkan hasil-hasil dari
daerahnya sendiri untuk dipertukarkan dengan barang kebutuhan yang dibawa oleh pedagang dari kawasan lain, juga memberi
pemasukan dari ongkos, sewa, upeti kepada kerajaan. Dengan menguasai kegiatan perdagangan di pelabuhan, kerajaan dapat
memperoleh keuntungan dalam bentuk kekayaan. Untuk memperbesar hasil tersebut dalam rangka mencapai kejayaan,
kerajaan-kerajaan maritim melakukan ekspansi atas wilayah yang lebih luas. Pasang surut kerajaan maritim di Indonesia tersebut
secara garis besar akan tampak dari pertumbuhan kerajaan Sriwijaya, Melayu, Majapahit, Demak, Gowa-Makassar, dan Ternate-
Tidore.

I. Sriwijaya : Kerajaan Maritim Pertama di Indonesia


Kerajaan Sriwijaya adalah suatu kerajaan pantai, negara perniagaan dan negara yang berkuasa di laut. Sebagai kerajaan
pantai, ibukota Sriwijaya memang terletak di tepi air, penduduknya terpencar di luar kota, atau tinggal di atas rakit-rakit yang
beratapkan alang-alang. Jika sang raja keluar, is naik perahu dengan dilindungi payung sutera dan diiringi oleh orang-orang
yang membawa tombak emas. Tentaranya sangat tangkas dalam peperangan, baik di darat maupun di laut, keberaniannya
tidak ada bandingnya. Bahkan dikatakan oleh Macintyre bahwa warga negara Sriwijaya merupakan komunitas yang
termiliterisir (militarized community)) Adapun awal keberadaan Sriwijaya dapat dilacak dari berita Tionghoa yang
menyebutkan bahwa di Sumatra pada abad ke-7 sudah ada kerajaan-kerajaan antara lain To-Lang-po-hwa
Sejarah Maritim Indonesia I 45

(Tulangbawang di Sumatra Selatan), Mo-lo-yeu (Melayu di Jambi), Ki-li-p'i-che atau Che-lifo-che (Criwijaya). 2
Dan artefak yang sangat langka dalam bentuk beberapa prasasti, Kenneth R. Hall membuat teori yang menarik mengenai
struktur kerajaan maritim Sriwijaya. Pertama, raja Sriwijaya adalah seorang kepala suku Melayu atau datu yang mampu
mengadakan aliansi dengan kepala-kepala suku lain di pedalaman dan menjadi yang terbesar di antara mereka. Dari aliansi ini
raja Sriwijaya memperoleh pasokan produk hasil hutan, hewan langka, dan emas yang sangat termashur — dari sini pulau
Sumatra mendapat nama Suwarnabhumi. Sebagai imbalan para datu memperoleh komoditi dari negeri luar seperti India, Cina,
dan negara-negara Asia Tenggara lain yang mendatangi pelabuhan-pelabuhan Sriwijaya. Dari para datu dapat diminta dukungan
tenaga prajurit atau bala bantuan perang. Ketika agama Buddha masuk ke Sriwijaya sejak abad ke VI, ajaran Buddha yang dianut
raja menjadi dasar budaya kenegaraan. Raja adalah penguasa yang penuh belas kasih dan memberikan kemakmuran kepada
rakyatnya. Raja memberikan hadiah-hadiah kepada datu sebagai lambang-lambang kebesaran yang sangat menaikkan status
dan kebanggaan para datu. Dikatakan bahwa raja membagi-bagikan kekayaan kepada rakyatnya. Agama Buddha menempatkan
raja sebagai penguasa yang sakral, sehingga para datu menjadi semakin patuh kepada raja yang harus adil dan pemurah .
Kedua, kemampuan raja Sriwijaya untuk "menjinakkan" suku-suku Taut dan pelaut-pelaut Melayu yang mengembara dan
menguasai pantai timur pulau Sumatra dan Selat Malaka. Semula mereka adalah pengembara dan perompak. Oleh penguasa
Sriwijaya mereka dijadikan armada dagang dengan bendera kerajaan Sriwijaya yang penuh keagungan. Mereka memperoleh
imbalan pembagian keuntungan dagang atau hasil rampasan perang.3 Inilah modal awal kerajaan Sriwijaya. Dengan kekuatan ini
Sriwijaya mampu menggiring kapal-kapal niaga ke pelabuhan-pelabuhan Sriwijaya.
Kejayaan Sriwijaya terutama disebabkan oleh kemampuannya untuk mengendalikan dan menguasai Selat Malaka, yang
paling sedikit selama tujuh abad mempunyai arti penting dalam sejarah dan yang merupakan jalur perdagangan internasional dari
Asia Timur ke Asia Barat dan Eropah.4 Dengan kata lain bahwa selama masa kejayaannya Sriwijaya
46 Pasang Surut Kerajaan-Kerajaan Maritim di Indonesia

merupakan pusat perdagangan penting yang pertama di kawasan Selat Malaka, bahkan merupakan kerajaan maritim
terbesar di Asia Tenggara. Menurut berita Cina diperoleh informasi bahwa Sriwijaya adalah salah satu pusat perdagangan
terpenting antara Asia Tenggara dengan Cina. 5 Bahkan dengan penuh kebanggaan, seorang Maharaja Sriwijaya menulis surat
kepada Kaisar Cina dari dinasti Sung pada tahun 1017 bahwa dirinya adalah "raja dari tanah-tanah kepulauan di lautan", king
of the ocean lands.6 Setelah mengalami kemunduran dan bahkan menghilang dari panggung sejarah Indonesia, peranan
Sriwijaya sebagai kerajaan maritim digantikan oleh keajaan-kerajaan maritim atau kota-kota pelabuhan lainnya.
Letak geografis Sriwijaya dengan wilayah kekuasaannya yang strategis, khususnya selat Malaka merupakan suatu
modal yang baik untuk turut serta dalam perdagangan internasional yang mulai berkembang antara India dengan daratan
Asia Tenggara. Berita Cina menyebutkan bahwa adat di Kan-to-li sama dengan adat di Kamboja dan Campa. Ini berarti bahwa
bagi orang-orang Cina keadaan di ketiga tempat tadi sama. Besar kemungkinan bahwa dunia perdagangan di Sumatera sejak
semula telah terlibat langsung dengan perdagangan di India. Letak Selat Malaka mengundang perdagangan di daratan Asia
Tenggara untuk meluas ke Selatan. Pada saat negeri Cina terbuka untuk hasil-hasil Asia Tenggara, suatu hal yang baru terjadi
setelah perdagangan dengan India berkembang, penduduk Sumatera khususnya di pantai Timur, bukan awam lagi dalam
perdagangan internasional.7 Seorang sejarawan bernama Coedes memperkirakan bahwa ada
hubungan antara perkembangan kerajaan Sriwijaya dengan ekspansi agama Islam dalam periode permulaan. Sebagai akibat dari
penaklukan-penaklukan oleh bangsa Arab di Timur-Tengah seperti negeri Palestina, Suriah, Mesir dan Mesopotamia, malca jalan laut
melalui Asia Selatan menjadi jalan perdagangan biasa yang menggantikan jalan darat.'Kerajaan-kerajaan ini menjadi pendorong
kemajuan lalu-lintas laut di Asia Tenggara yang besar. Kondisi kemajuan lalu lintas laut ini membuat kerajaan Sriwijaya memperoleh
keuntungan cukup besar. Berdasarkan prasasti Kota Kapur Sriwijaya adalah sebuah nama kerajaan di Sumatera Selatan dengan pusat
di Palembang, dekat sungai Musi.9 Prasasti yang ditemukan pada umumnya berasal dari abad ke-7 atau ke-8, yaitu masa awal
tumbuhnya Sriwijaya
Sejarah Maritim Indonesia I 47

sebagai suatu kekuatan. Dan prasasti itu timbul kesan bahwa masa itu adalah masa penaklukan di mana tentara Sriwijaya
bergerak di seluruh negeri dalam suatu usaha ekspansi.l°

Peta 3.1. Wilayah kekuasaan kerajaan Sriwijaya

(Diolah dari H.J. de Graaf, Geschiedenis van Indonesie. s


Gravenhage:N.V.Uitgeverij W. Van Hoeve, 1949)
Di samping sebagai pusat perdagangan dan pelayaran, dapat diketahui pula bahwa Sriwijaya juga merupakan pusat
pengembangan dan kegiatan ilmiah agama Budha. Menurut berita seorang pendeta Budha dari Tiongkok bernama I-tsing, yang
dalam tahun 671 berangkat dari Kanton ke India, ia singgah terlebih dahulu di Sriwijaya selama enam bulan untuk belajar tata
bahasa Sansekerta. Kemudian ia singgah di Malaka selama dua bulan, baru kemudian melanjutkan perjalanan ke India untuk
tinggal selama sepuluh tahun. Pada tahun 685 ia kembali ke

Pase samoedra

Perlak

rt350 Kemp

e,

Was

% Pager oejoen MENAAKABA

8nyka

tg=

.
SJ1211,41t)A

d'elembonv

1365

__1 kjk van Sjriwidjaja


Bey o e
b3/178S179,

____Padjadiara
48 Pasang Surut Kerajaan-Kerajaan Maritim di Indonesia

Sriwijaya dan tinggal selama empat tahun untuk menerjemahkan berbagai kitab suci Budha dari bahasa Sansekerta ke
dalam bahasa Cina. Ini membuktikan betapa pentingnya Sriwijaya sebagai pusat untuk mempelajari Budha Mahayana."
Diinformasikan juga bahwa seorang guru terkenal yang bernama Sakyakirti, pendeta yang hendak ke India dianjurkan untuk
Iebih dahulu belajar ke Sriwijaya sekitar satu dua tahun. 12
Temuan arkeologis di daerah bekas kerajaan Sriwijaya, antara lain bangunan-bangunan stupa (di Muara Takus) yang
sangat mungkin berasal dari abad ke VII, menunjukkan bahwa masyarakat kerajaan Sriwijaya memeluk agama Budha.
Palembang menurut pandangan I-tsing merupakan tempat yang penting dalam sejarah terutama sebagai pusat ziarah
pemeluk-pemeluk agama Budha. Di Telaga Batu banyak didapatkan batu-batu yang bertulisan Siddhayatra atau perjalanan
suci yang berhasil, dan dari bukit Seguntang di sebelah barat Palembang didapatkan sebuah arca Budha dari batu yang
besar sekali dan yang berasal dari sekitar abad ke-6. 13Dengan demikian dapat disimpulkan wawasan bahari, bahkan yang
berskala internasional telah dimiliki oleh sebagian penduduk Indonesia pada waktu itu, khususnya yang diwakili oleh
masyarakat kerajaan Sriwijaya.

a. Hubungan Perdagangan, Ekspansi, dan Konflik


Politik ekspansi untuk mengembangkan wilayah dan menaklukkan kerajaan lain di Sumatra dilakukan kerajaan Sriwijaya
secara intensif pada abad ke-7, yaitu pada tahun 690 M. Hal ini diperkuat dengan adanya prasasti dari kerajaan Sriwijaya, yang
semuanya ditulis dengan huruf Pallawa dalam bahasa Melayu kuna. Prasasti Kedukan Bukit (dekat Palembang) yang berangka
tahun 680 M misalnya, menceritakan tentang kemenangan penaklukkan beberapa daerah dan kemakmuran Sriwijaya." Prasasti
berbahasa Melayu Kuna tersebut tertulis sebagai berikut:

Swasti sri sakawarsatita 605 ekadasi su klapaksa wulan waisalcha dapunta hyam nayik di samwau manalap
siddhayatra di saptami suklapaksa wulan jyesta dapunta hyam marlapas dari minana timwan mamawa yam wala
dualaksa dana ko- duaratus cara di samwau danan _Plan sariwu tluratus sapulu dua wanakna
datam di mata jap sukha citta di pancami suklapaksa wula(n)
Sejarah Maritim Indonesia I 49

laghu mudita datam marwuat wanua..............sriwijaya siddhayatra

subhiksa.......

(Kemakmuran! Keberuntungan! Pada tahun Saka 605, hari kesebelas paruh terang bulan Waisalcha, Sri Baginda (Dapunta Hyang)
naik kapal untuk mencari kesaktian. Hari ketujuh paruh terang Jyestha, raja membebaskan diri dari ( ) Ia memimpin balatentara yang
terdiri dari dua puluh ribu (orang); pengikut
(............) sejumlah duaratus orang menggunakan perahu, pengikut
yang berjalan kaki sejumlah seribu tiga ratus dua belas orang tiba di hadapan (raja?), bersama-sama dengan sukacitanya. Han kelima
parch terang bulan (..........), ringan, gembira, datang dan membuat

negeri(.....) Sriwijaya, sakti, kaya (......)15

Menurut Boechori prasasti ini digunakan untuk memperingati usaha penaklukan daerah sekitar Palembang oleh Dapunta Hyang dan
pendirian ibu kota baru yang kedua di tempat ini. Dari beberapa prasasti lainnya yang ditemukan juga menunjukkan bahwa Sriwijaya telah
meluaskan wilayah kekuasaannya mulai dari daerah Melayu di sekitar Jambi sekarang sampai di pulau Bangka dan daerah Lampung Selatan
dalam tahun 686, serta usaha menaklukkan pulau Jawa yang menjadi saingannya dalam bidang pelayaran dan perdagangan. Penaklukkan
pulau Bangka diduga erat berhubungan dengan penguasaan perdagangan dan pelayaran internasional di Selat Malaka. Dengan dikuasainya
negara-negara di sekitar pulau Bangka, maka Sriwijaya sepenuhnya dapat menguasai lalu lintas perdagangan dan pelayaran dari negara-
negara Barat ke Cina. Sebaliknya, perahu-perahu asing terpaksa harus berlayar melalui Selat Malaka dan Selat Bangka yang dikuasai oleh
Sriwijaya. Keuntungan Sriwijaya dari perahu asing berlimpah-limpah. Kecuali keuntungan dari penarikan bea-cukai, Sriwijaya masih
memperoleh keuntungan lain dari perdagangan. Dari berita yang ditulis I-tsing dapat diketahui bahwa kapal-kapal asing itu datang di Kedah
dan Melayu pada waktu-waktu tertentu. Mereka tinggal di kedua tempat itu selama beberapa lamanya sambil menunggu datangnya angin
baik (buritan), sebelum melanjutkan perjalanan ke tempat tujuannya masing-masing. Selama tinggal di pelabuhan, kapal-kapal dagang itu
berkesempatan membongkar dan memuat barang-barang
50 Pasang Surut Kerajaan-Kerajaan Maritim di Indonesia

dagangan. Sementara itu dari daerah Sriwijaya sendiri dihasilkan penyu, gading, emas, perak, kemenyan, kapur barus,
damar, lada, dan lain-lain. Barang dagangan tersebut dibeli oleh pedagang asing atau ditukar dengan porselin, kain katun,
dan kain sutera.16
Kapal-kapal yang melalui Selat Malaka singgah dulu di pelabuhan untuk mengambil air minum dan barang perbekalan
lainnya. Beberapa pelabuhan di pantai selat ini penting artinya sebagai pelabuhan perbekalan, oleh karena itu Sriwijaya
berusaha memonopoli dan menguasai daerah pesisir di kedua belah pantai Selat Malaka." Usaha yang dilakukan Sriwijaya
adalah menaklukkan beberapa daerah seperti Jambi, daerah Lampung, Semenanjung Malaka, tanah genting Kra. Pulau Sailan
juga diduduki oleh Sriwijaya setelah berperang dengan raja Cola (India) dalam abad ke-11. Sebelumnya yaitu pada tahun 767
Sriwijaya berhasil menundukkan Tonkin (Indocina, di Hindia Belakang).18
Sebagai kerajaan maritim, Sriwijaya menggunakan politik laut yaitu dengan mewajibkan kapal-kapal untuk singgah di
pelabuhannya. Politik Sriwijaya ini dikenal dengan menggunakan model "paksaan menimbun barang". Di samping itu raja
Sriwijaya juga mempunyai kapal-kapal sendiri. Dengan demikian maka harta benda raja serta kaum bangsawan berasal dari:
perdagangan sendiri, bea-bea yang dipungut dari perdagangan melalui kerajaan, rampasan hasil peperangan, dan
pembajakan but."
Pada abad ke-13 posisi Sriwijaya sebagai kerajaan maritim masih cukup kuat. Hal ini dibuktikan dengan adanya buku
"Chu-fan-chi" yang ditulis tahun 1225 oleh Chau-ju-lcua. Buku itu menceritakan bahwa di Asia Tenggara ada dua kerajaan yang
terkemuka dan kaya, pertama ialah Jawa dan yang kedua ialah Sriwijaya. Tentang Sriwijaya dikatakan oleh Chou-ju-kua, bahwa
Kien-pi (Kampe di Sumatra Utara) dengan kekuatan senjata telah melepaskan diri dari Criwijaya, dan telah pula mengangkat
rajanya sendiri, termasuk sebagian dari Jazirah Malaka. Meskipun demikian Sriwijaya masih merupakan kerajaan yang
menguasai bagian Barat kepulauan Indonesia dan tidak kurang dari lima belas negeri menjadi vasal San-fo-tsi (Sriwijaya).
Wilayahnya meliputi Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Trengganau), Ling-ya-si-ka (Lengkasuka), Kilan-tan (Kelantan), Fo-lo-an
(?), Ji-lu-t'ing (Jelutong), Ts'ien-mai (?),
Sejarah Maritim Indonesia I 51

Pa-ta' (Batak), Tan-ma-ling (Tamralingga, Ligor), Kia-lo-hi (Grahi di Utara Semenanjung Malaka), Pa-lin-fong (Palembang), Sin- t'o
(Sunda), La-wu-li (Lamuri, Aceh), Si-lan (Sailan ?), termasuk negara Sunda di Jawa Barat. Pada permulaan abad ke-13 Sriwijaya
masih merupakan kekuatan besar. Chau-ju-kua tidak memasukkan Melayu dan Jambi ke dalam daftarnya. Dan daftar ini jelas
bahwa Sriwijaya dalam permulaan abad ke-13 masih tetap menguasai sebagian besar Sumatra, Jazirah Malaka dan bagian barat
pulau Jawa (Sunda).2° Chau-ju-kua mengatakan bahwa Sunda pemerintahannya tidak teratur dan banyak penduduk yang
menjadi bajak laut, sehingga menyebabkan tidak ada kapal dagang yang berani berlabuh di sana. Semua perdagangan antara
Tiongkok dan India hams melalui San-fo-tsi, negeri penguasa selat Malaka yang tidak ada saingannya. Sebagai akibat
penguasaan selat Malaka yang menghubungkan tidak saja India dan Tiongkok, tetapi juga negeri-negeri Barat, maka San-fo-tsi
memiliki potensi ekonomi yang cukup besar. Chau-ju-kua juga menyebut Sho-po dan Su-ki-tan yang oleh Hirth dan Rockhill
diidentifikasikan dengan Jawa dan Jawa Tengah. Di antara negeri-negeri yang tunduk pada Su-ki-tan ialah Huang-ma-chu dan
Niu-lun yang ditempatkannya di Maluku. Di samping itu mereka menafsirkan Si-lung sebagai Seram, Ji-li-hu sebagai Jailolo dan
Tan-yu sebagai Ternate. Alasan mereka menempatkan nama-nama itu di Maluku, ialah berita yang menyebutkan bahwa
makanan penduduknya ialah "sha-hu" yang berupa tepung, yang diambil dari bagian dalam dari pohon tua. Ucapan Cina sha-hu
tidak salah untuk diidentifikasikan dengan sagu yang memang digemari oleh orang-orang Indonesia bagian timur. Berita Cina
dari buku Tao-i-chi-lio ditulis oleh Wang-ta-yuan.2'
Pada abad ke-13 ini juga tidak menutup kemungkinan bahwa Sriwijaya masih mengawasi kedua Selat Malaka dan Sunda.
Belum sampai putus pengawasannya, kekuasaan Sriwijaya telah musnah. Catatan Chou-ju-kua tentang ibu kota Sriwijaya
merupakan semacam tipe kota air penuh anak sungai, penduduk bertempat tinggal di kapal atau rumah-rumah yang dibangun di
atas rakit seperti Mrohaung, kota tua Arakan, Bangkok sekarang dan banyak kota-kota tua yang lain yang sama dengan zaman
Funan. Tetapi catatan Cina menyebutkan bahwa Palembang tidak lama menjalankan pengawasan ketat atas daerah-daerah yang
ada di
52 Pasang Surut Kerajaan-Kerajaan Maritim di Indonesia

bawah kekuasaannya seperti pernah dilakukan dulu. Kampar di pantai timur Sumatra telah mengangkat rajanya sendiri dan
bahkan Jambi
telah mengirim utusannya sendiri ke Cina. Chou-ju-kua tidak memasukan Jambi ke dalam daftar daerah-daerah yang ada di
bawah kekuasaan San-fot-si. Cukup aneh, Palembang sendiri termasuk dalam daftar itu. Karena itu timbul pertanyaan apakah
pada waktu itu pusat kekuasaan Sriwijaya bukan lagi di Palembang melainkan di Jambi.22
Pelayaran yang teratur antara Sriwijaya dengan pulau-pulau di Nusantara dilakukan antara Malaka dan Anam. Di
samping itu Sriwijaya juga menyelenggarakan pelayaran-pelayaran ke India. Pada masa itu,
pelayaran dalam wilayah Nusantara saja, yaitu dari Maluku ke Malaka, sudah merupakan suatu prestasi yang besar, karena
jaraknya cukup panjang yaitu seperdelapan dari lingkaran bumi. 23
Demikian kuatnya Sriwijaya sehingga mempunyai kekuasaan yang cukup luas mulai dari Selat Malaka hingga Selat
Sunda. Sriwijaya berusaha mempertahankan hegemoni perdagangan atas Indonesia, dengan mengawasi dan menguasai
kedua Selat itu, yang hams dilalui oleh semua perjalanan laut antara India dan Cina. Perkembangan navigasi Arab, dan
perdagangan antara India dan Cina, bersama-sama memberikan arti penting baru bagi selat itu. Di sini, Sriwijaya menjadi
pelabuhan yang wajar bila disinggahi oleh kapal-kapal dari Cina pada musim timur laut. Rupanya pada waktu inilah,
berkembang perdagangan laut sekaligus dalam mempertahankan hubungan teraturnya dengan India dan Cina. I-tsing
mengatakan bahwa berlayar dari Cina ke Sriwijaya dengan kapal saudagar Persia, maka pelayaran lanjutannya ke India dengan
kapal Raja Sriwijaya. Untuk itu rupanya beralasan hipotesa yang mengatakan bahwa prasasti-prasasti tahun 683 dan 686
menunjukan pada babakan penting tertentu dalam usaha Raja Jayanasa (atau Jayanaga ), menaklukkan Melayu dan mungkin
juga Taruma, dan menciptakan keadaan politik yang membuat Palembang sampai abad XIII menjadi pusat kekuatan kerajaan
maritim di pulau-pulau itu.24
Banyak utusan yang dikirim dan Sriwijaya dan Jawa ke Tiongkok, misalnya dalam abad ke-7 dari Sriwijaya dan dalam abad
ke-8 dari Jawa. Utusan-utusan ini membawa barang-barang yang berharga ke Tiongkok sebagai tanda kebaktian atau upeti.
Kaisar Tiongkok juga sebaliknya
Sejarah Maritim Indonesia I 53

memberi barang-barang yang cukup mewah. Selain itu utusan-utusan dari Indonesia diberi kesempatan berniaga. Kemudian
utusan-utusan tadi diikuti oleh saudagar-saudagar swasta. Penulis sejarah bangsa Tionghoa mengerti, bahwa penyampaian
upeti itu berlangsung karena ada keuntungan. Pada tahun 1443 (?) Gubernur Canton melaporkan, bahwa utusan Indonesia
memakan biaya negara terlalu banyak, sehingga Kaisar Tiongkok memberi toleransi kepada Sriwijaya untuk menyampaikan
upeti cukup satu kali dalam setahun.25
Kelangsungan kerajaan Sriwijaya lebih tergantung dari pola perdagangan yang berkembang, sedangkan pola-pola
tertentu tidak sepenuhnya dapat dikuasinya. Terbukti ketika orang Cina mulai ikut berdagang di kawasan Selatan, peranan
Sriwijaya berkurang sebagai pangkalan utama perdagangan antara Asia Tenggara dengan Cina. Peranan ini semakin berkurang
hingga Cina membawa sendiri keperluan mereka ke negerinya. Tempat-tempat penghasil barang dagangan yang semula
mengumpulkan barang dagangan mereka ke pelabuhan di daerah kekuasaan Sriwijaya, tidak perlu lagi berbuat demikian
karena para pedagang Cina menyinggahi pelabuhan-pelabuhan mereka. Pada Abad XII daerah-daerah takiukan Sriwijaya di
sepanjang pesisir selat Malaka mulai bertindak sebagai negeri yang langsung memberikan upeti kepada negeri Cina.
Kemunduran Sriwijaya juga disebabkan oleh timbulnya bentrokan dengan kerajaan Mataram Jawa Timur pada abad XL Dengan
demikian menjadi jelas bahwa posisi Sriwijaya tidaklah sama kedudukannya di Asia Tenggara dengan satu dua abad
sebelumnya. Kerajaan-kerajaan lain di Indonesia mulai berusaha memperoleh hegemoni yang berada di tangan Sriwijaya.
Meskipun demikian pada abad XIII Sriwijaya masih dapat
berkembang sebagai pusat perdagangan dan pelayaran yang besar dan kuat, serta menguasai bagian besar Sumatera,
Semenanjung tanah Melayu, dan sebagian Jawa Barat. Bahkan kerajaan ini menguasai laut dan mengawasi lalu lintas
pelayaran asing di Selat Malaka. Jika ada kapal melalui Selat Malaka tanpa singgah, lalu diserang dan semua penumpangnya
dibunuh.
Kerja sama dengan Cola pada awalnya berjalan dengan baik. Sebagai contoh Raja Balaputra dari Sriwijaya membangun di
Negapatnam
54 Pasang Surut Kerajaan-Kerajaan Maritim di Indonesia

di pantai Coromandel, sebuah candi Budha yang diberi nama Vihara Chulamaniwarmadewa. Raja Chola menghadiahkan
hasil pajak tahunan sebuah desa besar untuk memeliharanya. Seperti pemberian Nalanda sebelumnya yang di Negapatam
dibangun untuk melengkapi sebuah tempat bagi saudagar Sriwijaya yang berdiam dan memuja menurut kepercayaan
agama mereka sendiri. Ini membuktikan pentingnya hubungan dagang antara Palembang dan Pantai Coromandel, yang
membawa perkembangan perdagangan barang kelontong India di Asia Tenggara. 2° Dalam hal ini kerajaan Cola tentu juga
memiliki minat untuk menguasai perdagangan yang berlangsung di antara wilayah India dan Sriwijaya. 27
Dalam memberikan hadiah yang berupa uang, raja-raja Negapatam menyatakan bahwa Raja Sriwijaya itu termasuk keluarga
Syailendra. Sayangnya tidak ada sebuah catatan pun yang tersisa pada masa pemerintahannya, meskipun kerajaan tersebut berada
dalam puncak kekuasaan dan prestise. Justru informasi yang berkaitan dengan nama raja-raja diketahui dari sumber Cina. Jadi
orang Cina mencatat utusan yang diterima tahun 1008 dari putera Chulamaniwarmadewa, Maravijayottunggawarman, tetapi tidak
menyebut tahun kematian ayahnya. Dari sumber luar lain juga datang informasi yang menarik bahwa Sriwijaya masih tetap
menjadi pusat agama Budha yang dikenal Atisa. Riwayat hidup Atisa di Tibet menyebut Sumatra menjadi pusat terbesar agama
Budha dan Dharmakirti merupakan sarjana terbesar masa itu.28
Dari sudut pandang ekonomi, di mana sumber-sumber ekonomi kerajaan Sriwijaya terutama berasal dari perdagangan
dan pelayaran, menjadi semakin jelas bahwa kerajaan itu memang merupakan kerajaan maritim yang besar. Sedang dari sisi
politik, ekspansi Sriwijaya yang berhasil menguasai kerajaan-kerajaan atau kota-kota pelabuhan di sekitamya juga semakin
menunjukkan adanya kecenderungan itu. Pada sisi yang lain, walaupun masih terbatas pada wilayah Indonesai, khususnya
Sumatra dan Selat Sunda, kekuasaan Sriwijaya yang berlangsung cukup lama bisa dianggap sebagai proses integrasi secara
ekonomi dan politik. Dengan demikian tidak bisa dipungkiri bahwa kelangsungan hubungan politik dan perdagangan di antara
daerah-daerah bekas wilayah kekuasaan Sriwijaya di kemudian hari merupakan
Sejarah Maritim Indonesia 55

warisan kekuasaan politik dan ekonomi Sriwijaya sebagai kerajaan maritim.

Peta 3.2. Wilayah pantai dan Taut yang dikuasai Sriwijaya

Sumber: Poesponegoro, Sejarah Nasional II, hlm. 529.

b. Sriwijaya dan Jawa


Usaha Sriwijaya untuk menaklukkan bumi Jawa dapat pula ditafsirkan sebagai usaha memasukkan Selat Sunda ke dalam
kekuasaan Sriwijaya.' Namun demikian dari sisi yang lain dapat ditafsirkan sebagai

Rule pelayaran utarna ................. Rut* pelayaran lain

Pantai Can latlt yang dikuasai __________


armada Sriwijaya

3.0 SOO
56 Pasang Surut Kerajaan-Kerajaan Maritim di Indonesia

ekspansi ekonomi dan politik yang membawa dampak baik negatif maupun positif. Dampak negatifnya terutama adalah yang
diderita oleh pihak yang kalah dalam konflik bersenjata dan akhirnya menjadi daerah yang dijajah atau diintegrasikan ke dalam
negara pihak pemenang, sedangkan dampak positifnya adalah terjadinya interaksi ekonomi, khususnya melalui jalur
perdagangan dan pelayaran yang lebih intensif.
Dalam hubungannya dengan Jawa, Sriwijaya telah berusaha untuk menundukkan Thumi Jawa'. Diperkirakan Bhumi Jawa
yang akan ditundukkannya adalah Tarumanegara. Meskipun demikian dari sejarah Jawa Barat sendiri tidak ada keterangan dan
abad ke-7 mengenai peristiwa tersebut." Bahkan menurut berita Tionghoa, To-lo-mo (Taruma Negara) dalam tahun 669 masih
mengirimkan utusannya ke Tiongkok. Dengan demikian bisa ditafsirkan akan adanya indikasi persaingan antara kedua negara
tersebut, yang disebabkan oleh keinginan masing-masing untuk menguasai Taut sekitar pulau Bangka yang menjadi simpang tiga
jalan pelayaran antara Indonesia-Tiongkok-India. Alasan ini pulalah yang lebih dulu membuat Sriwijaya terdorong untuk merebut
Palembang dan Jambi, dua pelabuhan Taut penting yang terletak di sisi barat jalan pelayaran."
Walaupun tidak ada sumber atau prasasti dan Jawa Barat mengenai usaha ekspansi Sriwijaya atas Jawa (Tarumanegara),
akan tetapi dalam prasarti Kota Kapur yang berangka tahun 686 Masehi antara lain disebutkan mengenai usaha Sriwijaya untuk
menaklukkan Bhumi Jawa yang tidak tunduk kepada Sriwijaya." Tentang penaldukan pulau Bangka dan sebagian Jawa tertulis
dalam prasasti Kota Kapur (di pulau Bangka) bertahun Saka 608 sebagai berikut:
sakawarsatia 608 dim pratipada suklapaksa wulan waisakha
tatkaland yam mammam sumpah ini nipahat di weland yam wala sriwijaya kaliwat manapik yam bhumi jawa tidha
bhakti ka sriwijaya.
(Tahun Saka 608, hari pertama paruh terang bulan Waisakha, pada saat itulah kutukan ini diucapkan; pemahatannya
berlangsung ketika bala tentara Sriwijaya baru berangkat untuk menyerang Tanah Jawa yang tidak takluk kepada
Sriwijaya."
Sejarah Maritim Indonesia I 57

Menurut G. Coedes, prasasti ini dibuat pada saat tentara Sriwijaya baru saja berangkat untuk berperang melawan
Jawa yaitu kerajaan Taruma. Pendapat itu didukung oleh Satyawati Sulaeman, yang memperkirakan bahwa prasasti itu
merupakan bukti usaha Sriwijaya untuk pertama kalinya menundukkan Jawa yang sudah berlangsung sejak abad V."
Persaingan antara Sriwijaya dan Jawa juga terjadi pada masa Marawijayotunggawarman. Dia tidak mau mengakui kekuasaan
Dharmawangsa, melainkan mengikuti jejak Balaputradewa, yaitu melalui persekutuan atau mencari persahabatan dengan
Kerajaan Colamandala (India). Akan tetapi Buchari berpendapat lain, yaitu bahwa prasasti kota Kapur dikeluarkan setelah
tentara Sriwijaya kembali dari usahanya menaklukkan daerah Lampung Selatan.
Konflik Sriwijaya dan Jawa pada abad ke-10 pernah membawa Sriwijaya dalam keadaan bahaya besar hingga tahun 1006.
Pada waktu itu duta Sriwijaya yang menghadap ke Istana Kaisar tahun 988 dan kembali tahun 990, ketika tiba di Canton
mendengar bahwa negerinya sedang diserang oleh orang-orang Jawa. Oleh karena itu setelah menunggu satu tahun di Canton,
ia barn bemaksud berlayar pulang. Akan tetapi ketika barn tiba di Champa ia mendengar kabar buruk mengenai situasi
negerinya, sehingga ia memutuskan untuk kembali lagi ke Cina. Kepada Kaisar Cina ia meminta agar dikeluarkan suatu
pernyataan atau dekrit yang menempatkan negerinya di bawah pengawasan kaisar Cina. Akan tetapi sebelum dikeluarkannya
pernyataan dan tindakan dari kaisar Cina, pada tahun 992 pasukan angkatan laut Jawa sudah muncul kembali menyerang
Sriwijaya. Konflik
besenjata itu dikobarkan oleh raja Jawa Timur yang bernama Dharmawangsa pada abad ke-11, yang mempunyai tujuan
untuk menghancurkan Sriwijaya dan membuat Jawa berkuasa di pulau itu. Sedikit sekali diketahui tentang peperangan laut
tersebut, meskipun dapat diketahui bahwa untuk beberapa tahun serangan orang Jawa itu membuat Palembang dalam
keadaan bahaya. Namun demikian keberuntungan masih berpihak kepada Sriwijaya yang masih mampu bertahan
menghadapi serangan pasukan dari Jawa, dan lebih dari itu berhasil mengusir armada Jawa tersebut. Bahkan akhirnya
dengan memperkuat armada perangnya, Sriwijaya melakukan serangan balasan
58 Pasang Surut Kerajaan-Kerajaan Maritim di Indonesia

besar-besaran. Hasilnya memang merupakan petaka bagi Jawa Timur, karena di samping istananya dihancurkan, raja
Darmawangsa juga terbunuh dalam serangan itu." Kerajaan maritim Jawa Timur sementara lenyap, dan wilayahnya diambil
oleh sejumlah pemimpin perang, yang masing-masing menjadi unggul di daerahnya sendiri-sendiri. 36
Keberhasilan Sriwijaya dalam peperangan yang panjang dengan Dharmawangsa diperkirakan disebabkan oleh beberapa
hal. Pertama adalah karena bantuan dari raja-raja bawahan Sriwijaya di semenjung Melayu, sehingga is mampu membangun
armada perang yang besar. Kedua adalah karena hubungan baik dan bersahabat dengan Cina di satu pihak dan dengan Chola
di India di pihak lain. Jika tidak ada bantuan kepada Sriwijya, maka serangan Jawa tentu akan membawa akibat yang berbeda.
Dalam mengirimkan upeti ke Cina tahun 1003 misalnya, Raja Sriwijaya mengumumkan bahwa beliau telah mendirikan candi
Budha untuk mendoakan kehidupan Kaisar. Menurut berita dalam bahasa Tionghoa pada tahun 1200 Masehi dapat
diperkirakan bahwa kerajaan Kedirilah pada waktu itu yang telah mengalahkan kerajaan Sriwijaya.37
Pada tahun 1275 mulailah terjadi arus balik dalam persaingan antara kerajaan Jawa dan Sumatra (Sriwijaya) yang
ditandai dengan apa yang disebut dengan istilah ekspedisi "Pamalayu". Ekspedisi itu adalah suatu pelayaran armada perang
dari Jawa Timur ke Sumatra dengan membawa panji-panji merah dan putih." Angkatan perang ini bertolak dari Tuban, yang
diperkirakan sebagai pelabuhan besar di Jawa Timur dan masih mengalami kejayaannya pada jaman Islam. Sebagai hasil
dari ekspedisi ini adalah bahwa pada tahun 1286 sebuah negara Melayu yang terbesar di Sumatera pada waktu itu
(Sriwijaya) ditaklukkan oleh armada perang dari kerajaan Jawa. Bahkan lebih celaka lagi pada tahun 1300 Sriwijaya juga
kehilangan Tanah Genting Kra karena direbut oleh raja Siam. 39
Pada kurang lebih tahun 1325 peranan Sriwijaya sebagai suatu pusat internasional sudah berakhir. Bahkan pada
tahun 1365 kerajaan ini telah benar-benar menjadi daerah taklukan Jawa. Pada tahun 1377 Sriwijaya mencoba
memberontak, akan tetapi berhasil ditumpas oleh armada kerajaan Jawa sehingga tidak berdaya lagi dan akhirnya runtuh.
Akan tetapi sesudah tahun 1377 timbullah kekacauan sehingga pasukan-pasukan Jawa tak dapat bertahan di sana. Daerah
itu
Sejarah Maritim Indonesia I 59

ditinggalkan tak terurus, sehingga orang-orang Tionghoa yang berada di sana merebut kekuasaan pemerintahan. Seorang
panglima bangsa Tionghoa, yang bertahun-tahun lamanya hidup mengembara di laut, lalu menempati negeri tadi dengan
beberapa ribu orang Tionghoa pengikutnya sebagai kepala negeri. Sriwijaya menjadi negara Tionghoa kecil yang sebenarnya
hanya merupakan suatu sarang perompak.4° Demikianlah keadaannya pada kurang lebih tahun 1400, dan ini pulalah akhir
riwayat kerajaan Sriwijaya yang mengharukan sesudah berdiri tujuh abad lamanya. Sementara itu di Jawa Timur, pada kurang
lebih tahun 1300, muncul kerajaan Majapahit yang melebarkan sayap kekuasaannya dengan cepat dan mencapai puncak
kemegahannya pada tahun 1365.41
Pasang surut persaingan beberapa abad antara Sriwijaya dengan Jawa bisa dinterpretasikan sebagai dinamika
perkembangan politik militer yang berusaha saling menghancurkan dan menguasai. Namun demikian hal itu juga dianggap
sebagai pendorong bagi kedua belah pihak untuk selalu membangun kekuatan armada laut, yang bisa dikatakan merupakan
tradisi kerajaan-kerajaan maritim Indonesia pada jaman pra-kolonial. Di samping itu terdapat indikasi akan adanya interaksi
kultural yang mungkin berlangsung pada masa-masa jeda atau gencaan senjata. Dari peninggalan budaya Sriwijaya misalnya,
ternyata diketahui akan adanya hubungan yang erat antara Sriwijaya dengan dinasti Syailendra di Jawa. Diperkirakan kesenian
jaman wangsa Syailendra sejak Balaputradewa telah dibawa dan dikembangkan di Sriwijaya. Selain itu, di Gunung Tua (Padang
Sidempuan) ditemukan arca perunggu yang langgamnya sesuai benar dengan langgam Jawa Tengah. Pada lapiknya ada tulisan
yang menyatakan bahwa arca itu dibuat oleh Mpu Surya pada tahun 1024. 42 Tentang Sunda diceritakan lebih lanjut, bahwa
bandarnya baik sekali, ladanya dari jenis yang paling baik, rakyatnya bertani dan rumahnya bertonggak. Sayang bahwa di sana
banyak perampok, sehinga perdagangan tidak lancar.

2. Kerajaan Melayu di Sumatra


Dari kitab sejarah dinasti T'ang dapat ditemukan untuk pertama kalinya pemberitaan tentang datangnya utusan dari
daerah Mo-lo-yeu di Cina pada tahun 644 dan 645. Nama Mo-lo-yeu ini mungkin dapat dihubungkan dengan kerajaan
Melayu yang terletak di Pantai Timur
60 Pasang Surut Kerajaan-Kerajaan Maritim di Indonesia

Sumatra dengan pusatnya di sekitar Jambi. Sekitar tahun 672 Masehi I-tsing, seorang pendeta Budha dari Cina, dalam
perjalanannya dari Kanton menuju India, singgah di She-li-fo-she (Sriwijaya) selama enam bulan untuk belajar tata bahasa
Sansekerta. Dari She-li-fo-she I-tsing berlayar ke Melayu dengan menggunakan kapal raja. Ia tinggal di Melayu selama dua
bulan. Selanjutnya ia berlayar ke Kedah selama lima belas hari. Pada bulan ke-12 ia meninggalkan Kedah menuju ke Nalanda
dalam pelayaran selama dua bulan. Ketika kembali dari Nalanda pada tahun 685, I-tsing singgah lagi di Kedah. Kemudian pada
musim dingin ia berlayar ke Mo-lo-yue yang kemudian telah menjadi Fo-she-to dan tinggal di sini selama pertengahan musim
panas, lalu ia berlayar selama satu bulan menuju Kanton. Dari keterangan tadi dapat disimpulkan bahwa sekitar tahun 685
kerajaan Sriwijaya telah mengembangkan kekuasaannya, dan salah satu negara yang ditaklukkannya adalah Melayu." Hal itu
dapat diketahui dari prasasti Kedukan Bukit yang menurut J.L Moens dimaksudkan untuk memperingati kemenangan Sriwijaya
terhadap Melayu. Karena ibu kota Melayu terletak di Palembang, maka kemenangan Sriwijaya atas Melayu dapat juga
dikatakan sebagai penguasaan daerah Palembang oleh Sriwijaya.44
Dari studi tentang pelayaran menyusuri pantai Champa dan Annam diketahui adanya beberapa toponim pada pantai-
pantai itu yang berasal dari bahasa Melayu. Pendapat ini memperkuat dugaan bahwa
pelayaran ke negeri Tiongkok dilakukan oleh kapal-kapal dari pelaut-pelaut Melayu. I-tsing dalam salah satu bukunya yang
selesai ditulis pada tahun 690 menyatakan bahwa pada waktu itu Melayu telah menjadi salah satu daerah kerajaan Sriwijaya."
Pada waktu itu Melayu yang
berkedudukan di Jambi juga menguasai semenanjung Malaka, bahkan secara langsung mengirimkan sendiri utusan-utusan ke
Tiongkok. Akan tetapi Melayu kemudian memindahkan pusat kekuasaannya ke daerah pedalaman, yaitu ke Minangkabau,
sehingga pengawasan terhadap Selat Malaka berkurang.46
Setelah ditaklukkan Sriwijaya pada tahun 685, nama Melayu menjadi hilang, dan barn muncul pada paroh terakhir
abad ke-13. Di dalam kitab Pararaton dan Nagarakertagama disebutkan bahwa pada tahun 1275 Raja Kertanagera
mengirimkan tentaranya ke Melayu.
Sejarah Maritim Indonesia I 61

Pengiriman pasukan ini dikenal dengan sebutan Pamalayu." Letak Melayu yang sangat strategis di pantai timur Sumatera
dekat Selat Malaka, memegang peranan penting dalam dunia pelayaran dan perdagangan melalui Selat Malaka yaitu antara
India dan Cina dengan daerah-daerah di Indonesia bagian Timur. Sementara itu pengaruh kerajaan Mongol semakin besar.
Pada tahun 1280, 1281, 1286 dan yang terakhir tahun 1289 Kubhilai Khan mengirimkan utusan ke Singhasari minta agar raja
Kertanagara mau mengakui kekuasaannya, namun tidak berhasil."
Kitab Ncigarakertd gama menginformasikan bahwa expedisi tahun 1292 itu bukan saja menuju Melayu tetapi juga ke
pantai barat Kalimantan dan Semenanjung Melayu. Disebutkan bahwa Kertanagara telah mendapat Bakulapura yaitu
Tanjungpuri di Kalimantan dan Pahang, nama yang dipakai untuk seluruh bagian selatan Malaya pada jaman Prapanca. 49
Ekspedisi Pamalayu mempunyai hubungan erat dalam kaitannya dengan ekspansi kerajaan Mongol yang sedang giat dilancarkan
oleh Kubhilai Khan untuk menguasai daerah Asia Tenggara dan juga dalam rangka politik perluasan kekuasaan kerajaan
Singhasari. Ekspedisi ini berhasil menjalin hubungan persahabatan antara Singhasari dan Melayu. Untuk mempererat hubungan
ini pada tahun 1208 Caka atau 1286 Masehi raja Sri Kertanagara, mengirimkan sebuah arca Budha Amoghapasalokeswara
beserta empat belas pengiringnya ke Melayu (Svarnabhumi) sebagai hadiah." Penempatan arca ini di Dharmasraya dipimpin
oleh 4 orang pejabat tinggi dan Jawa. Pemberian hadiah ini membuat seluruh rakyat Melayu sangat bergirang hati terutama
rajanya yang bernama Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa. Keterangan mengenai hadiah dan raja Kertanagara ini tertulis
pada lapik (alas) arca Amoghapasa itu sendiri. Arca ini diketemukan kembali di daerah sungai Langsat dekat Sijunjung, di daerah
hulu sungai Batanghari.
Menurut Krom, tahun 1275 Kertanagara mengirim expedisi besar yang dikenal sebagai Pamalayu, untuk memulai
menaklukan pulau itu, dan expedisi itu belum kembali sampai tahun 1293 yaitu tahun kematiannya. Tahun 1286 penaklukan itu
berhasil baik sehingga is mengirim tiruan patung ayahnya Visnhuvardhana di Candi Jago untuk ditempatkan dengan hikmat di
Dharmasraya di kerajaan Melayu untuk
62 Pasang Surut Kerajaan-Kerajaan Maritim di Indonesia

menjamin hubungan antara kerajaan itu sebagai kerajaan bawahannya, dan dinastinya melalui pemujaan nenek-moyang. 5'
Dalam menggambarkan kerajaan di Sumatra itu Marco Polo, seorang pedagang dari Venesia yang pernah singgah di
Pasai, memberikan kesan bahwa tempat itu adalah reruntuhan sebuah kerajaan yaitu Melayu. Kerajaan itu merupakan satu-
satunya kerajaan di Sumatra yang amat penting dalam abad XIV yang masih merupakan tempat pengungsian kebudayaan
Hindu, walaupun tidak lagi sebagai kerajaan internasional yang besar. Hal itu dapat diketahui sehubungan dengan berakhirnya
secara tiba-tiba kerajaan Singhasari pada tahun 1292. Hal itu terjadi sebagai akibat konflik internal, yaitu dengan kerajaan Kadiri
yang mencuri kesempatan menyerbu ke ibukota Singhasari ketika kerajaan ini mengirim ekspedisi militer ke Melayu (Pamalayu).
Ditambah pula dengan konflik eksternal dengan Cina, karena sikap Kertanagara (Singhasari) yang menolak tunduk kepada kaisar
Cina, sehingga kaisar Kubilai Khan mengirim pasukan untuk menghancurkan Singhasari." Pada waktu itu baik Melayu maupun
Palembang tidak dalam keadaan mampu membantu Singhasari untuk melawan serangan tentara Cina."
Setelah peristiwa ini, tidak diperoleh keterangan lain mengenai keadaan di Sumatera. Baru kemudian pada masa
pemerintahan Tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwardhani (1328-1350) diperoleh sedikit keterangan tentang daerah
Melayu. Rupa-rupanya kerajaan Melayu ini muncul kembali sebagai pusat kekuasaan di Sumatera, sedangkan Sriwijaya
setelah adanya ekspedisi Pamalayu dari raja Kertanagara, tidak terdengar lagi beritanya. Adityawarman yang
kemudian memerintah sebagian besar Sumatra. Dengan kebijakan perkawinan ganda ibunya, ia dianggap sebagai anak tertua
dari ayahnya yang orang Sumatra dan sebagai anak bungsu dari Kertarajasa. Ia dibesarkan di Keraton Majapahit dan pernah
menjabat sebagai wreddhamantri dengan gelar Arrya Dewaraja pu Aditya. Pada waktu terjadi peperangan untuk menundukkan
Bali ia bertugas sebagai komandan tentara Jawa. Penyerangan terhadap Bali dipimpin oleh Gajah Mada bersama dengan
Adityawarman, putera Majapahit keturunan Melayu. Tahun 1343 Adityawarman mengabadikan sebuah patung Manjusri di
Candi Jago, yaitu Bodhisattwa sebagai simbol perlawanan
Sejarah Maritim Indonesia I 63

melawan kebodohan. Untuk mengekalkan kekuasan Majapahit, maka perlu ada pemerintahan yang lebih langsung. Atas dasar
ini maka Gadjah Mada memutuskan untuk menempatkan Adityawarman di Melayu. Segera setelah Adityawarman tiba di
Sumatra, ia menyusun kembali pemerintahan Mauliwarmadewa yang kita kenal dari tahun 1286. Ia memperluas kekuasaannya
sampai daerah Pagarruyung (Minangkabau), dan mengangkat dirinya sebagai maharajadhiraja (1347), meskipun terhadap
Rajapatni ia masih tetap mengaku dirinya sang mentri yang masih terkemuka dan masih sedarah dengan raja putri itu. Hanya
saja ia tidak berusaha menghidupkan lagi kekuasaan di laut yang dulu pernah dipegang oleh Sriwijaya, tetapi memusatkan
dirinya terutama pada perluasan kekuasaannya di bagian-bagian daratan Sumatra.'

Gambar 3.1. Patung Adityawarman sebagai Bhairawa berdiri di atas mayat (Sumber: John Miksic, Indonesian Heritage I,
hlm. 104)
64 Pasang Surut Kerajaan-Kerajaan Maritim di Indonesia

Gambar 3.2. Prasasti Adityawarman

3. Kerajaan Samudra Pasai

Penulis Arab terkenal Ibnu Batutta yang antara tahun 1345-1346 menjadi utusan Sultan Delhi Muhammad Tughlak untuk
menghadap kaisar Tiongkok, pernah singgah di kerajaan Samudra di Sumatra, baik pada waktu perjalanan berangkat maupun
pulang. Keberadaannya di Tiongkok dapat diketahui berkat adanya kebiasaan orang-orang Cina mencatat secara teliti segala
kejadian yang mereka lihat (kronik).55 Dari sumber Cina juga dapat diketahui bahwa sejak kira-kira abad ke-8pedagang-pedagang
Arab sudah mulai mengenal Nusantara, sekurang-kurangnya Nusantara bagian barat seperti Lamuri, Samudra, Barus, Kedah, dan
Sriwijaya. Di antara para pedagang Arab itu tentunya ada yang menetap di kota-kota tersebut, mengingat di Kanton yang
Ietaknya lebih jauh dan asing mereka bisa menetap dan membangun masyarakatnya. Tidak mustahil mereka pun ada yang
menetap di kota-kota pelabuhan di Nusantara. Di antara tempat-tempat tersebut, yang pertama muncul dan memimpin adalah
Sriwijaya. Setelah Sriwijaya surut sebagai kerajaan maritim yang memegang hegemoni di Selat Malaka hingga abad XI, dan
digantikan oleh kerajaan Melayu yang kemudian semakin bergeser ke pedalaman Sumatra, tumbuhlah beberapa kota
Sejarah Maritim Indonesia I 65

pelabuhan di sisi barat Selat Malaka (di pantai timur Sumatra). Kota-kota pelabuhan itu menjelma menjadi kerajaan-
kerajaan pantai, yaitu kerajaan Samudera, Pasai, Perlak, dan Lamuri pada sekurang-kurang abad XIII. Dalam
perkembangannya, kerajaan yang menonjol adalah kerajaan Samudera yang tampaknya bergabung dengan kerajaan Pasai
(Pase), sehingga sering disebut kerajaan Samudera Pasai. 56
Kerajaan-kerajaan pelabuhan tersebut semuanya mengambil keuntungan dari perdagangan di Selat Malaka. Saudagar-
saudagar dari India yang beragama Islam menyebarkan agama Islam di wilayah ini, dan Sumatra Utara menjadi daerah Islam yang
pertama di Indonesia. Dalam perkembangannya keluarga raja-raja Nusantara satu demi satu masuk agama Islam. Proses
penyebaran agama Islam itu dipercepat melalui hubungan kekeluargaan dengan saudagar-saudagar Islam tersebut. Bukti
pertama yang menunjukkan hal itu adalah adanya nisan Sultan Al Malik as Saleh yang meninggal dalam bulan Ramadhan tahun
1297 Masehi.

Gambar 3.3. Batu nisan makam Sultan Malik as Saleh di Samudera


(Sumber: Poesponegoro, Sejarah Nasional III, hlm. 187)
66 Pasang Surut Kerajaan-Kerajaan Maritim di Indonesia

Pada batu nisan makam Malik as Saleh terpahat kaligrafi yang sangat indah dalam bahasa Arab. Adapun
terjemahan dari kalimat yang tertera pada batu nisan tersebut adalah sebagai berikut: "Kubur ini kepunyaan almarhum
hamba yang dihormati, yang diampuni, yang taqwa, yang menjadi penasehat, yang terkenal, yang berketurunan, yang
mulia, yang kuat beribadah, penakluk, yang bergelar Sultan Malik al-Salih". Sementar itu pada sisi sebelah kanan dari batu
nisan tersebut terdapat tulisan: "yang berpindah (mangkat) pada bulan Ramadhan tahun 696 daripada berpindahnya
nabi".57
Batu nisan dengan tulisan Arab tersebut memberi petunjuk bahwa segera sesudah kunjungan Marco Polo Samudra
telah diislamkan, dan raja yang memerintah bergelar sultan. Dengan naik tahtanya Sultan Malik as Saleh maka Samudra
menjadi kerajaan Islam yang pertama di Indonesia. Pada tahun 1297 Sultan pertama itu diganti oleh puteranya, Sultan
Muhammad, yang memerintah sampai tahun 1326. Sultan ini lebih dikenal dengan nama Malik al-Thahir. Dari catatan-
catatan yang ditinggalkan oleh Ibnu Batutta itu dapat diketahui, bahwa pada masa itu Samudra merupakan pelabuhan yang
sangat penting, tempat kapal-kapal dagang bertemu untuk membongkar dan memuat barang-barang dagangannya. Istana
raja Samudra dibangun dengan desain India. Di antara para pembesarnya terdapat orang-orang Persia, dan patihnya
bergelar. Amir.
Sejak akhir abad XIII Samudera Pasai telah tumbuh menjadi kerajaan maritim yang utama di Selat Malaka menggantikan
Sriwijaya. Dalam rangka mengontrol Selat Malaka, Samudera Pasai mengembangkan jaringan pelayaran India — Selat Malaka —
Cina. Pada tahun 1282 kerajaan ini mengirim utusan ke India (Quillon), kemudian juga ke Cina. Seorang musafir Maghribi, Ibnu
Batutah, menjumpai kapal Sultan Pasai di negeri Cina pada tahun 1346. 58 Sebagai balasan, Kaisar Ming mengirimkan panglima
armada Cina yaitu Cheng Ho untuk mengunjungi Samudera Pasai. Hal itu dilakukan antara tahun 1403 sampai 1414 atau 1415.
Kekuatan Samudera Pasai di Selat Malaka semakin menonjol dengan menguasai kerajaan Kedah di seberang timur
atau di Semenanjung Malaka pada masa pemerintahan Ratu Nur Ilah. 59 Para pedagang ramai mengunjungi pelabuhan
Pasai yang merupakan bandar
Sejarah Maritim Indonesia I 67

transito. Mereka datang dari Benggala, Gujarat, Keling, Pegu, Siam, Cina, dan tentu saja dari Jawa dan Kedah.° Samudera Pasai
merupakan kerajaan pertama di Nusantara yang mengeluarkan mata uang kerajaan yang terbuat dari timah dan emas, yaitu
dirham, sebagai alat pertukaran dalam perdagangan. Mata uang tersebut dikeluarkan sejak pemerintahan Sultan Malik al-
Zahir yang memerintah antara tahun 1297 sampai 1326.6'
Meski kedudukan Samudera Pasai sebagai pengontrol Selat Malaka cukup kuat, namun pada abad XIV masih ada
kemaharajaan Majapahit di Jawa yang hams diakui keunggulannya oleh Samudera Pasai. Kitab Nagarakertagama
menyebutkan bahwa Samudra adalah salah satu vasal Majapahit. Bahkan dalam Hikayat Raja-raja Pasai, yang menuliskan
tentang riwayat kerajaan dan silsilah raja-raja Samudera Pasai, disebutkan bahwa Majapahit pernah mengirim armada
untuk menyerbu Samudera pada masa pemerintahan raja Ahmad. Hal itu terjadi karena seorang puteri raja Majapahit
jatuh cinta kepada putera Sultan Ahmad dari Pasai. Sang puteri berangkat ke Pasai namun ternyata putera Sultan Ahmad
telah dibunuh oleh ayahnya sendiri karena cemburu. Kejadian ini menyebabkan sang puteri bunuh diri. Akibatnya raja
Majapahit sangat murka dan bertekad membalas dendam dengan menghancurkan ibukota Samudera Pasai. Mengenai hal
itu, dalam Kronika Pasai Pasai disebutkan sebagai berikut:
..... maka dititahkan Baginda pengawal yang besar-besar
bernama Senapati Anglogo dan beberapa ratus para menteri dan
para penggawa maka pada hari yang baik berlayarlah segala
angkutan itu ke negeri Pasai " Dalam peperangan tersebut
pasukan Pasai kalah dan tentara Majapahit berlayar pulang dengan banyak pampasan perang dan tawanan. 62

Mungkin cerita tersebut lebih berbau legenda daripada kenyataan sebenarnya. Namun setidaknya menunjukkan bahwa
Majapahit mempunyai pengaruh politik yang besar dan pernah melakukan ekspedisi penghukuman ke Samudera Pasai.
Pengaruh Majapahit tampak pula dari tulisan pada dua nisan Ratu Nur Ilah. Nisan yag satu bertuliskan huruf dan Arab,
sedangkan nisan yang satu lagi bertuliskan huruf dan bahasa Jawa Kuna!"
68 Pasang Surut Kerajaan-Kerajaan Maritim di Indonesia

Dalam bidang ekonomi, kewibawaan Majapahit atas Samudera Pasai masih tampak kuat pada abad XV. Tome Pires
yang menulis sejarah berdirinya kerajaan Malaka memperoleh informasi bahwa kerajaan Malaka yang baru berdiri pada awal
abad XV mengiriman duta ke Majapahit untuk memohon ijin agar Pasai yang telah menjalin hubungan dagang dengan
Majapahit dan menjadi vasal majapahit, boleh berdagang ke bandar Malaka. Ternyata politik Majapahit sangat memberikan
otonomi kepada Pasai dan menyerahkan kebijakan sepenuhnya kepada Pasai untuk menjalin hubungan dagang dengan
Malaka.'
Dalam bidang perdagangan, banyak pedagang Majapahit datang ke Samudra. Sebaliknya banyak juga saudagar-
saudagar Islam dari India dan Samudra melakukann aktivitas dagang di pelabuhan Tuban dan Gresik, yang merupakan
daerah vasal Majapahit. Antara Majapahit dengan Samudra (dan nantinya juga dengan pusat-pusat Islam lainnya) telah
terjadi hubungan darah sedemikian rupa. Sebagai contoh, seorang raja dari Pasai bernama Zain al-Abidin, 65 pada tahun
1511 terpaksa melarikan diri dengan meninggalkan tahtanya dan mencari perlindungan ke Majapahit. Ternyata raja
tersebut masih mempunyai hubungan darah (saudara) dengan raja Majapahit. Kejayaan Samudera Pasai mulai surut
bersamaan dengan mulai berkembangnya kota pelabuhan baru yaitu Malaka.

4. Kerajaan Malaka
Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaka merupakan sebuah kota pelabuhan besar yang letaknya
menghadap ke laut. Posisi seperti ini juga dimiliki oleh kerajaan-kerajaan Maritim yang lain seperti Banten, Batavia, Gresik,
Makasar, Ternate, dan lain-lain. Wilayah pusat kerajaan dikelilingi benteng dan dilintasi oleh atau berdekatan dengan
sungai yang menyediakan air untuk keperluan sehari-hari penduduknya. Selain itu juga terdapat aliran sungai masuk ke
pusat kota yang dapat dilayari perahu kecil. Jembatan yang melintasinya merupakan jalur menuju ke kompleks pusat
kerajaan yang sering menjadi sumber kemacetan. Di pinggiran kota Malaka terdapat kedai-kedai kecil yang kemudian
berkembang menjadi pasar, lengkap dengan jaringan jalannya.66
.c,ejarah Maritim Indonesia I 69

Gambar 3.4. Bandar Malaka sebagai pusat perdagangan dan


penyebaran agama Islam pada abad XV (Mohamad Jamin, Lukisan
Sedjarah. Djakarta: Djambatan, 1956)

Pada awalnya kerajaan Malaka diperintah oleh seorang raja yang memeluk agama Hindu-Bhuda yaitu Parameswara. Tampaknya
pada masa akhir pemerintahannya (1390-1413/14 M) is menganut agama Islam dan memakai nama Iskandar Syah. Sesungguhnya
Parameswara adalah seorang Pangeran Majapahit dan Blambangan yang bernama Paramisora (Parameswara). la melarikan diri dari
Blambangan karena adanya gempuran yang dilakukan oleh Majapahit. Parameswara berhasil meloloskan diri sewaktu terjadi serangan
Majapahit pada tahun 1377 dan akhirnya tiba di Malaka sekitar tahun 1400. Di tempat ini dia menemukan sebuah pelabuhan yang baik
yang dapat dirapati kapal pada musim apapun dan terletak di bagian Selat Malaka yang paling sempit. Bersama-sama dengan para
pengikutnya dalam waktu singkat Parameswara berhasil membangun dusun nelayan ini menjadi kota pelabuhan. Bahkan oleh karena
letaknya yang strategis di Selat Malaka, kota pelabuhan itu menjadi saingan berat bagi Samudra Pasai.67
70 Pasang Surut Kerajaan-Kerajaan Maritim di Indonesia

Tentang pendiri kerajaan Malaka ini terdapat beberapa versi yang


dianggap lebih akurat. Versi utama adalah catatan sejarah dinasti Ming sebagai berikut:
In the 10th month of the year 1403 the emperor sent the eunuch
Yin Ch'ing as envoy to this (Malacca) country, to bring present of silk woven with golden flowers, curtains adorned with
gold, and other things. There was no king in the country, and it was not called a kingdom, but it belonged to Siam, to
which it paid an annual tribute of fourty taels of gold. When Yin Ch'ing arrived there, he spoke of the power and rank of
China and of his intention to take the chief with him. The chief, called Pai-li-su-ra, was very glad and send envoys to go
to the court along with the imperial envoy, and presented as a tribute products of the coun-
68
try...

Di sini jelas bahwa pendiri Malaka adalah Paramisora yang oleh sumber Cina disebut Pai-li-su-ra. Namun mengenai
asal-usulnya terdapat dua sumber yang menyatakan bahwa Paramisora tidak berasal dari Jawa.
Tome Pires yang pernah tinggal di Malaka pada tahun 1512-1515 mencatat sebagai berikut:

When Sam Agy Palimbilo (Sang Aji Palembang) died, he left a son, a great knight and a very warlike man, whom
they called
Paramjcura (Paramisora),He was married to a niece of Batara
Tamarril (Batara Tumapel?) who was called Paramij cure (Permaisuri?), and when he realised how nobly he was
married and how great was his power in the neighbouring islands which were under his brother-in-law's jurisdiction,
he rose against the vassalage and obedience, and called himself the Great Exempt. When Batara Tamarril, King of
Java, received the news that Sam Agy Palimbao had changed his name and called himself Mjcura which means
"Exempt", he decided to descend on him with his
power, and take the land of Palembang from him and kill and
destroy him ...... After both sides had enganged in battle,
Paramjcura fled and took refuge He sailed to Singapore where he was received by the Sam Agy
Symgapura

Dalam versi ini Paramisora adalah raja Palembang, salah satu vasal Majapahit yang memerdekakan diri. Akibatnya is
digempur oleh raja
Sejarah Maritim Indonesia 71

Tumapel (Majapahit) dan lari ke Singapura. Selanjutnya Paramisora tinggal di Bietam (Pulau Bintan), kemudian berlayar
ke Mura di tepi barat Semenanjung Malaka. Selanjutnya Tome Pires menggambarkan sebagai berikut:
As soon as Paramjcura was dead and his son Xaquem Darxa (Iskandar Syah) become king with six thousand
inhabitants in Malacca, he sent his brother-in-law to Siam with an embassy
70

Anak Paramisora, yaitu Iskandar Syah, memindahkan ibukota kerajaannya ke Malaka. Kisah ini hampir sama dengan
versi Sedjarah Melaju yang merupakan buku sejarah resmi untuk mengenang kerajaan Malaka, yang ditulis ulang pada
tahun 1612. Dalam Sedjarah Melaju dituliskan bahwa asal usul raja Malaka adalah dari Palembang, ketika dari bukit
Siguntang turun seorang anak cucu raja Iskandar Dzulkarnain, yang kemudian menjadi raja bergelar Sang Suparba,
berputera San Nila Utama, berlayar ke Bintan, dan akhirnya bertempat tinggal di Tumasik yang diubah namanya menjadi
Singapura. Keturunan Sang Nila Utama, yaitu Iskandar Syah, menjadi raja pertama Malaka:

Maka raja Iskandar Sjah pun diamlah di Melaka. Adapun raja Iskandar tatkala di Singapura tiga puluh dua tahun,
maka Singapura alah oleh Djawa; maka kararlah baginda di Melaka
tiga tahun....71

Kota pelabuhan Malaka yang baru dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai negara dan kebangsaan. Akibatnya
Malaka menjadi ramai, bahkan banyak diantara pedagang yang kemudian menetap di Malaka. Sebagaimana dilaporkan oleh
Tome Pires bahwa banyak pedagang kaya di Pasai yang pindah ke Malaka, terutama pedagang Persi, Bengali, dan Arab.
Mereka adalah pedagang-pedagang kaya yang menguasai segala macam bahan perdagangan secara besar-besaran.
Sehubungan dengan letaknya yang strategic, Malaka mempunyai kesempatan berkembang menjadi pusat
perniagaan baru. Ramainya perdagangan menjadikan Malaka sejahtera. Sebelum itu, Malaka
72 Pasang Surut Kerajaan-Kerajaan Maritim di Indonesia

sebagaimana telah disebutkan di muka hanyalah sebuah desa nelayan kecil yang tak berarti. Mulai awal abad XV tempat
tersebut berubah menjadi tempat perdagangan, dan dalam waktu yang relatif singkat telah berkembang menjadi pelabuhan
yang terpenting di Selat Malaka. Faktor lain yang ikut mendorong pesatnya perkembangan Malaka adalah berdatangannya
para pedagang atau saudagar dari Sumatra sebagai respon terhadap masuk dan berkembangnya agama Islam di sana yang
makin lama makin berpengaruh. Pada awal abad XV penguasa Malaka juga memeluk agama Islam, bahkan Malaka kemudian
menjadi pusat propaganda agama Islam di Indonesia. Ma Huan yang berkunjung di Malaka pada tahun 1413 memberikan
laporan bahwa raja dan rakyat Malaka memeluk agama Islam yang taat. Raja mengenakan surban putih dari kain lokal,
memakai jubah berkembang yang dibuat dan katun hijau halus, kakinya berterumpah kulit. Tentang rakyatnya, yang laki-laki
menggunakan kain kepala, yang perempuan rambutnya digulung. Kerajaan ini dengan pesat sekali melebarkan sayap
pengaruhnya melalui perjanjian kerjasama ke seluruh Semenanjung, dan Sumatra Tengah. Dampaknya sungguh cukup
signifikan bagi Malaka karena pada kurang lebih tahun 1450 Malaka telah menjadi pengganti Sriwijaya yang besar.72
Berita—berita Arab kebanyakan hanya memberikan keterangan bahwa sejak abad VIII para saudagar Arab sudah
mengenal Nusantara, khususnya Nusantara bagian barat. Berita-berita tersebut tidak menginformasikan tentang
pelayaran para pedagang Arab ke bagian lain kepulauan Nusantara. Hal ini memperkuat teori bahwa pelayaran dan
perdagangan antar pulau pada waktu itu terutama dilakukan oleh orang-orang pribumi. Teori ini dipertegas oleh
keterangan Tome Pires yang menulis bahwa pada awal abad XVI pelayaran dari Malaka ke bagian timur kepulauan
Nusantara, meskipun dikuasai oleh beberapa pengusaha tertentu, tetapi menggunakan kapal-kapal yang dijalankan oleh
orang-orang pribumi yang lebih mahir dalam hal navigasi di perairan Nusantara. 73
Melalui persekutuan dengan orang laut yaitu perompak-perompak pengembara Proto-Melayu di Selat Malaka,
Parameswara berhasil membuat Malaka menjadi suatu pelabuhan internasional yang besar. Semua kapal yang berlayar di
Selat Malaka diawasi. Parameswara
Sejarah Maritim Indonesia I 73

membina perahu-perahu kerajaan yang sanggup memaksa setiap kapal yang berlayar di Selat Malaka untuk singgah di
pelabuhannya, memberikan fasilitas yang cukup baik, dan dapat dipercaya dalam hal pergudangan dan perdagangan.
Pengawasan lalu lintas pelayaran di Selat Malaka secara ketat sangat bermanfaat untuk pelabuhan baru Malaka, karena lalu
lintas pelayaran merupakan urat nadi kehidupan Malaka sebagai pelabuhan. Selain timah yang merupakan komotidi ekspor,
Malaka tidak mempunyai basil bumi yang diekspor. Hasil bumi satu-satunya adalah sagu yang merupakan makanan pokok
rakyat. Tanahnya merupakan tanah tandus, tidak cocok untuk pertanian. Sebelum pembangunan pelabuhan, sebagian besar
rakyat Malaka bekerja sebagai nelayan. Semenjak desa nelayan itu dirubah menjadi pelabuhan, berubahlah wajah kehidupan
rakyat Malaka. Keuntungan yang diperoleh semakin besar sejalan dengan semakin ramainya kegiatan perdagangan. Pada
waktu Ma Huan berkunjung ke Malaka pada tahun 1413, kota ini telah dapat membangun gudang-gudang untuk menimbun
barang dagangan. Bangunan istana dibangun di sebelah kanan Sungai Malaka. Di atas Sungai Malaka juga telah dibangun
sebuah jembatan yang menghubungkan bagian utara dan bagian selatan kota. Malaka merupakan salah satu contoh kota
pelabuhan transito yang tidak memiliki produk penting. Negeri ini harus mengimpor bahan pangan untuk menghidupi
rakyatnya, namun dengan kondisi demikian justru membuat Malaka dengan cepat menjadi pelabuhan yang berhasil. Hal ini
terjadi karena kerajaan Malaka dapat menguasai Selat Malaka, yaitu salah satu trayek yang sangat menentukan dalam sistem
perdagangan internasional yang membentang dan Cina hingga Maluku di timur sampai Afrika Timur hingga Laut Tengah di
barat.74 Usaha pertama Parameswara adalah mendapatkan pengakuan dan perlindungan dari Tiongkok, guna melindungi diri
dan Siam dan Majapahit. Pada tahun 1405 ia diakui sebagai raja Malaka oleh Kaisar Tiongkok, dan enam tahun kemudian ia
sekeluarga berkunjung ke Tiongkok. Menurut pernyataan dalam Sejarah Dinasti Ming, sebelum meninggal (tahun 1414)
Parameswara masuk agama Islam, dan berganti nama menjadi Iskandar Syah. 75 Sementara itu menurut Summa Oriental
bahwa Parameswara memeluk agama Islam pada usia tujuh puluh dua tahun; delapan tahun kemudian ia mangkat.
74 Pasang Surut Kerajaan-Kerajaan Maritim di Indonesia

Parameswara masuk Islam tidak terlepas dari perkawinannya dengan wanita Muslim, putri Sultan Zainal Abidin dari
Pasai. Perkawinan dengan putri Sultan, sudah barang tentu terkait dengan pertimbangan politik. Dengan perkawinan
tersebut, is mengharapkan bantuan dari Pasai dalam menghadapi tuntutan Kedah atas Malaka, Perak, Manjong, Selangor
dan Bernam, yang banyak menghasilkan timah. Timah merupakan bahan utama yang diekspor oleh Malaka. Oleh sebab itu
hubungan persahabatan dengan Pasai yang diperkokoh dengan perkawinannya dengan putri Pasai dapat juga digunakan
oleh Parameswara untuk menunjukkan betapa kuat kedudukan Malaka dalam menghadapi Majapahit.
Dari uraian di atas dapat juga dikemukakan bahwa Islam di Malaka berasal dari Pasai. Masuknya Islam ke Malaka
terutama berkat perkawinanan Parameswara dengan putri Pasai. Sudah barang tentu kedatangan alim-ulama dari Pasai
dan kedatangan pedagang-pedagang Muslim dari pelbagai negara, terutama dari Arab, Bengal dan Persi juga mempunyai
andil. Oleh karena kepala negaranya memeluk agama Islam, maka rakyat mengikuti jejaknya. Dengan demikian
persebaram Islam di Malaka itu terutama dibarengi dengan kekuasaan. Kekuasaan telah mempercepat persebaran agama
di wilayah yang dikuasai oleh raja yang memeluk agama yang bersangkutan.
Perkembangan Islam di Malaka juga diperkuat oleh berita dari Ibn Batuta yang melakukan kunjungan ke Pasai pada
tahun 1346. Ia menyatakan bahwa raja dan rakyat Pasai memeluk agama Islam dari aliran Shafii. Oleh karena Islam di
Malaka berasal dari Pasai, kiranya tidak salah duga jika dikatakan bahwa Islam di Malaka semula juga dari aliran Shafii.
Jadi dengan jalan yang mudah perniagaan berpindah dari Sriwijaya ke Jambi, Sumatra Utara dan Malaka. Perpindahan
serta perkembangan pesat dari pusat-pusat perniagaan baru semacam ini sering terjadi kemudian. Hal ini berhubungan erat
dengan sifat-sifat perdagangan laut Indonesia. Perdagangan ini pertama-tama sifatnya transito, dengan pelabuhan-
pelabuhannya yang berfungsi sebagai tempat-tempat pemindahan barang ke kapal lain. Oleh karena itu bagi perniagaan Indo-
Sejarah Maritim Indonesia I 75

nesia pada waktu itu tidak ada perbedaannya apakah pemindahan barang-barang dagangan tadi terjadi di Palembang
ataukah di Malaka."
Malaka juga didatangi oleh saudagar dari berbagai wilayah sekitar lainnya, seperti Tuban, Gresik, Surabaya, Jepara, dan
Palembang yang kemudian berkampung di kota Malaka. Di sana mereka mempunyai kepala kampung sendiri. Orang-orang
Jawa talcjarang memangku jabatan penting di sana dan mempengaruhi jalannya pemerintahan. Kota Malaka yang
membentang sepanjang pantai dipisahkan menjadi dua bagian oleh sebuah sungai. Di dua ujung kota itu terdapat pusat
pemukiman yang dihuni oleh orang Jawa. Pada sisi sebelah timur berkumpul pedagang-pedagang dari Jepara, Tuban, Sunda
dan Palembang yang dikepalai oleh orang Jawa yang disebut dengan nama Utimuti Raja, yaitu seorang laki-laki yang sudah
tua yang mempunyai kekuasaan besar, dan hanya raja Malaka yang melebihi kekuasaan dan kekayaannya. Sementara itu
seorang pimpinan yang lebih rendah kedudukannya berada di sisi barat kota, yaitu kota yang terutama dikunjungi oleh para
pedagang dari Gresik dan sekitarnya. Kepala ini terkenal dengan sebutan Tuan Kolaskar. Keduanya mempunyai kekuasaan
mutlak di wilayahnya masing-masing, dan bersama dengan pengikutnya mereka adalah pemeluk agama Islam. Banyak juga
bangsa asing yang berdiam di Malaka, seperti misalnya orang-orang Tionghoa, India, Arab dan Parsi. Golongan terpenting di
Malaka adalah bangsa-bangsa Gujarat (dari India). Mereka mempunyai kekuasaan politik yang besar. Inilah lukisan kota
Malaka yang dijumpai oleh bangsa Portugis ketika mereka pertama kali sampai di sana pada tahun 1509.
Ancaman utama bagi Malaka sejak awal adalah Siam, tetapi Malaka sudah meminta dan mendapat perlindungan dari
Cina sejak tahun 1405. Setelah itu, Malaka berulang kali mengirim duta-dutanya ke Cina. Begitu pula kunjungan-kunjungan
armada Cina ke Malaka terus berlanjut hingga tahun 1434. Perlindungan Cina yang nyata ini telah membantu Malaka untuk
dapat mandiri. Pada pertengahan abad XV Malaka bergerak menaklukan daerah-daerah di kedua tepi Selat yang menghasilkan
bahan pangan, timah, emas dan lada sehingga meningkatkan kemakmuran dan posisi strategisnya. Pada tahun 1470-an dan
1480-an kerajaan ini
76 Pasang Surut Kerajaan-Kerajaan Maritim di Indonesia

menguasai pusat-pusat penduduk yang penting di seluruh Semenanjung Malaka bagian selatan dan pantai timur Sumatra
bagian tengah."
Kejayaan Malaka sebagai kerajaan maritim terkemuka di selat Malaka dan emporium terbesar di Nusantara selama
abad XV terpaksa tamat riwayatnya ketika kota pelabuhan Malaka digempur dan diduduki oleh pedagang penjajah Feringgi
(Portugis) pimpinan Alfonso d'Albuquerque pada tahun 1511. Sultan mahmud Syah mengundurkan diri ke Pahang, kemudian
ke Johor, dan melanjutkan pemerintahan dinasti raja-raja Malaka di Johor. Malaka dijadikan basis kekuasaan Portugis di Asia
Tenggara. Sejak masa itu selama abad XVI hegemoni di Selat Malaka diperebutkan antara kekuatan-kekuatan maritim Aceh,
Johor, dan Portugis.
Meskipun dikerubut oleh kerajaan-kerajaan Islam di pantai timur Sumatra, pantai timur Selat Malaka, kekuatan maritim
Laut Jawa yaitu Demak, Aceh, dan Johor, Portugis mampu bertahan di Malaka. Hal itu berkat kekuatan armada galeon
Portugis, kapal-kapal berukuran besar, meriam-meriamberjarak tembak jauh, dan standing navy yang dimilikinya. Faktor lain
adalah adanya konflik dan persaingan antar sesama kerajaan Islam, seperti misalnya antara Aceh dan Johor. Baru pada
pertengahan abad XVII, tepatnya tahun 1641, pendatang baru, yaitu para pedagang Belanda yang tergabung dalam
Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) yang ternyata adalah bangsa penjajah, berhasil mengusir Portugis dari Malaka
dengan bantuan Johor. Sejak saat itu Malaka dikuasai oleh VOC, dan hegemoni Selat Malaka diperebutkan antara kekuatan
maritim Belanda dan Inggris.78

5. Kerajaan Ace!:
Pada awal abad XVI Aceh telah muncul sebagai kerajaan maritim di ujung barat laut Nusantara, sebagai penjaga pintu
masuk ke Selat Malaka yang merupakan jalan laut internasional dari India ke Cina dan sebaliknya. Kerajaan Aceh
menggantikan kerajaan Malaka dengan pelabuhan niaga internasionalnya yang terbesar di Asia, yang diserbu dan diduduki
Portugis pada tahun 1511. Dalam perebutan hegemoni maritim di Selat Malaka, Aceh tumbuh pada abad XVI sebagai
kekuatan
Sejarah Maritim Indonesia I 77

baru menggantikan emporium Malaka, kerajaan maritim besar di Selat Malaka yang diduduki Portugis. Portugis menjadi
pesaing utama Aceh di bidang perdagangan.
Di camping itu, sebagai sosok pedagang kape (kafir = Kristen) bersenjata yang juga memusuhi bangsa Moor
(bangsa-bangsa yang beragama Islam) telah membuat gerah para pedagang muslim yang tinggal di Malaka. Mereka
berusaha mencari pelabuhan niaga yang lebih nyaman. Aceh merupakan pilihan pertama karena letaknya paling dekat,
yaitu di sisi barat Selat Malaka. Aceh cepat menjadi Bandar niaga yang besar dan ramai berkat eksodus para pedagang
dari Malaka. Terlebih lagi Aceh memiliki lada sebagai andalan ekspor.
Konsolidasi dalam negeri Aceh dimulai oleh sultan pertama, yaitu Sultan Ali Mugayat Syah (1514-1528) yang
berhasil melepaskan din dari kerajaan Pidie dan bahkan bisa menaklukkan Samudera Pasai, yang merupakan kerajaan
Islam pertama (1524)." Dengan bertumpu pada perdagangan laut, Aceh melakukan ekspansi untuk menguasai daerah-
daerah produksi lada.
Malaka yang telah diduduki Portugis menjadi sasaran utama Aceh untuk dihancurkan dalam rangka perebutan hegemoni
di Selat Malaka, baik untuk tujuan ekonomi (perdagangan), politik, maupun agama. Sebagai Feringgi kafir Portugis adalah musuh
bersama kerajaan-kerajaan Islam. Hanya dua tahun setelah Portugis menduduki Malaka, armada kerajaan Demak menggempur
Malaka dengan 100 buah perahu yang membawa 10.000 orang prajurit (1513). Namun armada Demak mengalami kekalahan,
karena Portugis memiliki kapal-kapal yang lebih besar dan persenjataan lebih canggih berupa senapan dan meriam besar. Pada
tahun 1551 armada dari Jepara bersama-sama armada Melayu dan Johor menyerbu Malaka namun juga gagal. Untuk ketiga
kalinya armada Demak-Jepara menyerbu Malaka, namun tetap gagal. Bahkan Aceh sendiri mencoba menyerang Malaka pada
tahun 1547 tetapi tidak juga berhasil.'
Semangat Aceh untuk merebut Malaka-Portugis tidak pernah patah. Sultan Aceh mengadakan hubungan diplomatik
dengan kekaisaran Homan-Turki, karena jung Aceh sudah biasa berlayar dan berniaga hingga ke Laut Merah dan Jazirah Arab.
Dengan Turki Aceh mengadakan kerjasama perdagangan dan militer. Aceh akan memberikan
78 Pasang Surut Kerajaan-Kerajaan Maritim di Indonesia

lada dan cengkih kepada Turki, sebaliknya Turki akan memberi bantuan berupa tenaga instruktur militer, penembak-
penembak meriam, dan para pembuat senjata api. Mereka didatangkan pada tahun 1566 dan 1567 sebanyak 500 orang.
Dengan bantuan ini Aceh kembali menyerang Malaka pada tahun 1568 namun kembali gaga1. 83
Pada awal abad XVII Aceh diperintah oleh rajanya yang terbesar, yaitu Sultan Iskandar Muda Darma Wangsa Perkasa
Alam Syah (16071636). Menurut silsilah raja-raja Aceh, Sultan Iskandar Muda adalah sultan Aceh yang ke-6. Setelah wafat dia
diberi gelar Marhum Meukuta Alam." Pada masa pemerintahannya Aceh berada pada puncak kejayaan, hingga mencapai
integrasi wilayah paling luas yang pernah dicapai Aceh. Dapat dikatakan kedua sisi Selat Malaka, kecuali pelabuhan Malaka,
dikuasainya. Berturut-turut dia menaklukkan kerajaan-kerajaan Deli (1612), Johor (1613), Pahang (1618), Kedah (1619), Perak
(1620), dan Nias (1624)." Wilayah kekuasaan Aceh meliputi pantai utara dan timur Sumatra hingga batas kepulauan Riau,
pantai barat Sumatra meliputi Singkel, Tanah Batak, Pasaman, Tiku, Pariaman, dan Padang. Di pantai barat Sumatra ini Sultan
Iskandar Muda menempatkan para laksamana dan menarik pajak. Di Semenanjung Malaka Aceh menaklukkan kerajaan
Johor, Kedah, Pahang, dan Patani.
Menurut Augustin de Beaulieu, kapten kapal dagang Perancis yang mengunjungi Aceh pada tahun 1622, di tiga
pelabuhan yaitu Aceh, Daya, dan Pedir berlabuh sekitar 100 galias (galeon) besar yang siap berlayar. Setiap galias dilengkapi
tiga meriam dengan 40 pon peluru, tidak termasuk lela-lela (meriam kecil) yang mereka pasang di pinggang atau di bahu.
Setiap galias memuat 600 hingga 800 orang. Bahkan Peter
Mundy pada tahun 1637 menyatakan bahwa raja Aceh memiliki galias dan fregat sebanyak 200 buah. Pemeliharaan
kapal-kapal dengan awaknya diserahkan kepada para orang kaya (saudagar, bangsawan). Pemeliharaan galias yang
terbesar diserahkan kepada Laksamana.84 Armada terbesar dipersiapkan oleh Sultan Iskandar Muda untuk menyerang
Portugis di Malaka pada tahun 1629. Kapal yang terbesar diberi nama Cakra Donya. Panjang kapal tersebut adalah 200
jengkal (sekitar 100 meter) dengan tiga tiang layar, membawa 100 meriam.
Sejarah Maritim Indonesia I 79

Penyerbuan tersebut ditulis dalam bentuk syair yang indah, Hikayat Malam Dagang, yaitu kisah penyerangan Iskandar
Muda guna menghukum Si Ujud (raja Johor) yang bersekutu dengan Portugis untuk menyerang Aceh. Dalam syair itu
dikatakan antara lain:
Berlabuh di kuala Cakra Donya
Jangkar turun kapal berhenti
Meukuta Alam mendarat segera
Diikuti hulubalang para panglima ....85

Namun penyerbuan ke Johor sebenarnya terjadi pada tahun 1613, dan Johor dapat dihancurkan. Penyerbuan ke
Malaka Portugis (1629) dilakukan dengan membawa 400 buah kapal. Namun mendadak dihadang oleh armada Portugis
yang datang dari Goa dan armada Aceh dapat dikalahkan, bahkan panglima armada Sri Maharaja dan Laksamana ditawan.
Sejak saat itu Aceh tak pernah menyerbu Malaka.
Kecuali pasukan angkatan laut, Aceh juga memiliki armada angkatan darat yang terdiri dari pasukan artileri meriam
dengan sekitar 2.000 buah meriam. Seperti halnya raja-raja Nusantara yang lain, Aceh juga tidak memiliki standing army.
Setiap penduduk laki-laki yang kuat berkewajiban untuk menjadi tentara ketika raja memerlukannya (semacam wajib militer).
Hal itu sangat meringankan biaya kerajaan utuk keperluan angkatan perangnya. Aceh juga memiliki pasukan gajah yang
berjumlah 900 ekor untuk angkutan perang. Di camping itu juga banyak digunakan kuda sebagai perlengkapan tentara
kavaleri.86
80 Pasang Surut Kerajaan-Kerajaan Maritim di Indonesia

Gambar 3.5. Teluk Aceh dengan kota dan benteng-bentengnya


(Sumber: Henri Chambert Loir (ed.), Panggung Sejarah, hlm. 233)

Sebagai pintu masuk utama dari dan ke pulau-pulau Nusantara, pelabuhan Aceh dikunjungi oleh para pedagang dari
Gujarat, Coromandel, Calicut, dan Pegu yang membawa kain tenun. Dari Benggala didatangkan lembu, tekstil, dan candu; dari
Jawa didatangkan beras, dan dari Maluku didatangkan rempah-rempah. Sementara itu Aceh dan wilayah yang dikuasainya di
Sumatra Barat menghasilkan lada, dan hasil hutan seperti champora, serta emas dari pedalaman Sumatra Barat."
Hubungan diplomatik dikembangkan oleh Aceh dengan negara-negara tetangga seperti Kamboja, Campa, Lamer,
Pashuta, Cina, Turki, dan Jawa. Demikian pula hubungan-hubungan perdagangan dengan pedagang Inggris, Perancis, dan
Belanda. Dari hubungan diplomatik tersebut berkembang hubungan sosial kebudayaan, antara lain tumbuh suburnya ajaran
tassawuf di Aceh yang dipelopori oleh Hamzah Fansuri. Ajaran tassawuf yang panteistik antara lain dapat dijumpai dalam
"Syair
Sejarah Maritim Indonesia I 81

Perahu" yang sangat kental dengan dunia maritim (perahu, pelayaran, perdagangan, dan navigasi) yang sempat berkembang
hingga ke pulau Jawa. Ajaran sufi tersebut diteruskan oleh murid-murid Hamzah Fansuri seperti Samsuddin as-Samatrani dari
Pasai dan Abdurrauf dari Singkel.88
Di samping berkembangnya hubungan kebudayaan degan negeri-negeri Nusantara seperti Jawa, pada masa itu juga
dikembangkan Sastra Melayu. Salah satu contoh adalah karya Bukhari al-Jauhari yang semula berbahasa Arab, Tajussalatin
(1603), kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu menjadi Mahkota Segala Raja yang berisi tentang adat tata
kerajaan Islam di Nusantara. Buku tersebut tersebar di berbagai kerajaan di Nusantara. Di Mataram buku itu diterjemahkan
ke dalam bahasa Jawa dengan judul Serat Tajussalatin."
Setelah pemerintahan Sultan Iskandar Muda yang melaksanakan politik ekspansi dan kontrol perdagangan, raja-raja
penggantinya lebih memilih politik yang damai dan memajukan ekonomi, pendidikan, serta kebudayaan. Setelah Sultan
Iskandar Thani, menantu Sultan Iskandar Muda, yang memerintah antara tahun 1633-1641 wafat, digantikan oleh
permaisurinya yang merupakan puteri Iskandar Muda yaitu Sultanah. Taj al-Alam Safiatuddin Syah (1641-1675). Pada masa
ini Syech Abdurraruf menciptakan berbagai karya, antara lain Mir 'ad al-Tullab yang artinya "cermin bagi mereka yang
menuntut ilmu Fiqh pada memudahkan mengenal segala hukum Syara' Allah", yang ditulis dalam bahasa Melayu. Karya ini
dan karya-karya lain mengenai ajaran Islam menyebar secara luas ke kerajaan Riau, Palembang, dan Bukittinggi.9°
Setelah wafatnya Sultanah Taj al-Alam, Aceh masih diperintah oleh tiga orang sultanah (sultan wanita) berturut-turut,
yaitu Sultanah Nurul al-Alam Nakiat-addin Syah (1675-1677), Sultanah Inayat Syah Zakiat-addin Syah (1678-1688), dan
Sultanah Kamalat Syah (16881699). Periode ini ditandai dengan melemahnya kekuasaan sultan di pusat. Secara de facto para
sultanah tersebut hanya merupakan simbol penguasa, karena yang mengatur pemerintahan sesungguhnya adalah para
orang kaya, yaitu para elit politik di pusat. Sementera itu di daerah-daerah para uleebalang (penguasa daerah) menguasai
daerah masing-masing yang sangat otonom. Perkembangan ini sangat memperlemah kekuasaan pusat terhadap daerah-
daerah/vasa/ yang dahulu ditaklukkan
82 Pasang Surut Kerajaan-Kerajaan Maritim di Indonesia

Aceh. Satu demi satu karajaan-kerajaan vasal Aceh melepaskan diri, seperti Johor, Pahang, Kedah, dan Perlak. Kekuasaan
Aceh menjelang akhir abad XVII hanya tinggal di Sumatra Utara dan pedalamannya. Sumatra Barat dikuasai oleh para
panglima Aceh yang menguasai perdagangan laut. Mereka adalah para warlords (raja-raja perang) yang tidak mau tunduk
pada kekuasaan pusat Aceh. Aceh akhirnya hams berhadapan dengan VOC yang menguasai perdagangan lada di Sumatra
Barat dengan cara bersekutu dengan penguasa-penguasa daerah dan negeri-negeri vasal yang dulu ditaklukkan oleh
Aceh.9'

B. Kawasan Laut Inti Laut Jawa


1. Kerajaan Majapahit (Akhir Abed XIII —
Kerajaan Majapahit muncul sebagai kerajaan terbesar di kawasan Laut Jawa terutama sepanjang abad XIV. Laut Jawa
adalah salah satu laut inti (core sea) di perairan Nusantara. Laut ini menjadi salah satu zone komersial paling dinamis di Asia
Tenggara selama tiga abad (abad XIV-XVII)" sehingga Anthony Reid menyebutnya sebagai The Age of Commerce." Kegiatan
pelayaran dan perdagangan di kawasan ini menghubungkan pusat produksi rempah-rempah di kawasan laut Maluku,
tepatnya di bagian timur kepulauan Nusantara, dengan Jawa yang terletak di kawasan Laut Jawa sebagai pusat produksi
beras, dan Selat Malaka. Dari selat Malaka komoditi tersebut dibawa ke barat (India, Teluk Persia, Aden, Mesir, Eropa) dan
ke timur (Thailand, Vietnam, Cina).
Komoditi tersebut dipertukarkan dengan produk Cina seperti sutera dan porselen, sedangkan ke barat dipertukarkan
dengan produk India sepertt patola (tekstil halus) dan wewangian. Dengan demikian jaringan pelayaran dan perdagangan Asia
Tenggara telah bersifat global. Aktivitas ini mendorong tumbuhnya kerajaan-kerajaan di pantai atau di pedalaman yang
memiliki pelabuhan di sepanjang jalur perdagangan, yang mengalami pasang surut silih berganti mengikuti gelombang waktu.
Majapahit adalah pewaris kerajaan Singhasari, sebuah kerajaan di Jawa Timur pada abad XIII, yang menjadi peletak
dasar negara Maritim,
Sejarah Maritim Indonesia I 83

yang kelak dituntaskan oleh kemaharajaan Majapahit. Singhasari mengambil peluang dalam keramaian perdagangan di
jalan Asia Tenggara ini. Kekayaan yang diperoleh dari perdagangan menjadikan Singhasari sebuah negara besar yang
mampu melakukan ekspansi ke beberapa daerah di kepulauan Nusantara, antara lain pulau Sumatera, Semenanjung
Malaka, Kalimantan Barat, dan pulau Bali. 94
Sebagai kerajaan baru yang muncul pada akhir abad XIII, Majapahit melanjutkan penguasaan wilayah-wilayah hasil
ekspansi Singhasari. Kerajaan ini memantapkan diri menjadi kerajaan terbesar di Nusantara selama abad XIV, dengan
mengadakan konsolidasi internal di wilayah intinya (Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Madura) melalui penumpasan berbagai
pemberontakan. Langkah eksternal adalah memantapkan pengakuan kekuasaan Majapahit di daerah-daerah melalui
peningkatan aktivitas pelayaran dan perdagangan, mengontrol zone perdagangan jaringan Laut Jawa dan Selat Malaka, serta
menempatkan pejabat Majapahit di daerah "seberang lautan". Kecuali itu juga diadakan ikatan perkawinan antara kerabat
kerajaan Majapahit dengan para penguasa di berbagai daerah guna membangun aliansi politik.
Majapahit mulai mengalami kemerosotan ketika di satu sisi kerajaan-kerajaan pantai yang memiliki pelabuhan-
pelabuhan internasional menjadi semakin kaya dan jaya. Mereka juga memiliki ideologi tandingan yaitu Islam sebagai
identitas baru, dan melepaskan diri dari kekuasaan pusat Majapahit. Di sisi lain terjadi konflik-konflik internal perebutan
takhta antar keluarga kerajaan. Juga pemberontakan para kepala daerah yang antara lain disebabkan oleh semakin
beratnya tuntutan pajak dari pemerintah pusat setelah kehilangan banyak pendapatan yang semula diperoleh dari
perdagangan laut di kota-kota pelabuhan yang memisahkan diri. 95

a. Singhasari, cikal bakal bnperiurn Majapahit


Bahwa Majapahit adalah pewaris kerajaan Singhasari dibuktikan oleh sumber sejarah antara lain kakawin Nagarakertil gama
dan kitab Pararaton."Padapupuh 40— 49 dari Ncigarakertiigama tertulis silsilah raja-raja Singhasari dan Majapahit sebagai
berikut : 97
84 Pasang Surut Kerajaan-Kerajaan Maritim di Indonesia

1. Ranggah Rajasa, memerintah tahun 1144-1149 Saka (1222-1227 M), pendiri dinasti Singhasari
2. Antisanatha (dalam Pararaton : Anusapati), memerintah tahun 1149 —1170 Saka (1227-1248 M)
3. Jaya Wisnuwardhana, putera Anusanatha, memerintah bersama Narasinghamurti.

4. Kertanagara,puteraWisnuwardhana,memerintahsejak1176 —1214Saka(1254-1292M)
5. Diyah Wijaya, (menantu Kertanagara) menjadi raja di Majapahit tahun 1216-1231 Saka, bergelar Kertarajasa
Jayawardhana (12941309 M)
6. Jayanegara memerintah tahun 1231 — 1250 Saka (1309 — 1328 M)
7. Rajapatni (Thu Hayam Wuruk), memerintah tahun 1251-1272 Saka (1329-1350 M).
Dari silsilah tersebut jelas bahwa pendiri kerajaan Majapahit yaitu Diyah Wijaya yang bergelar Kertarajasa
Jayawardhana adalah menantu Kertanagara, raja terakhir Singhasari. Bahkan Wijaya adalah cucu Narasinghamurti, yang
berarti kemenakan Kertanagara."

I). Ekologi, Geografi, dan Ekonorni


Kerajaan Singhasari terletak di pedalaman Jawa Timur Gunung Kawi (kini masih ada desa Singosari di sebelah utara kota
Malang), di hulu sungai Brantas. Singhasari dibangun oleh Dinasti Rajasa atau Girindrawamsa. Menurut kitab Pararaton dinasti
Singhasari diawali oleh seseorang bernama Ken Angrok, yang berhasil menggulingkan Tunggul Ametung, akuwu Tumapel, dari
wilayah kerajaan Kadiri. Dengan membunuh Tunggul Ametung, Ken Angrok menjadikan dirinya penguasa Tumapel. Setelah
mengadakan konsolidasi kekuasaan di wilayahnya, ia meluaskan kekuasaan politiknya dengan mengalahkan kerajaan Kadiri yang
berpusat di tepi sungai Brantas pada tahun 1144 Saka (1222 M). Waktu itu raja Kadiri adalah Kertajaya. Dengan kemenangan itu
ia membangun kerajaan baru Singhasari yang meliputi daerah Tumapel, Kadiri, Kahuripan, dan seluruh daerah aliran sungai
Brantas dari hulu hingga ke hilir yaitu pelabuhan Taut Ujung Galuh (dekat
Sejarah Maritim Indonesia I 85

Surabaya). Ken Angrok pendiri dinasti Singhasari bergelar Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabhumi."
Suatu hal yang menarik adalah bahwa pusat kerajaan Singhasari terletak di hulu sungai Brantas, sebuah sungai besar yang
melewati daerah pedalaman di celah-celah gunung dan lembah-lembah subur dan bermuara di laut Jawa. Sungai pada masa itu
adalah prasarana lalu lintas utama untuk transportasi perdagangan, transportasi manusia, bahkan angkutan militer untuk
kepentingan perang. Dengan demikian tidak mengherankan apabila kerajaan Singhasari yang berpusat di pedalaman itu mampu
membangun pelayaran dan perdagangan, baik melalui sungai, maupun pelayaran laut. Kerajaan ini memiliki pelabuhan sungai di
muara sungai Brantas, yaitu Ujung Galuh, yang merupakan pelabuhan internasional tempat pertemuan dan transaksi produk-
produk lokal dengan produk-produk dari luar pulau maupun komoditi dari luar Nusantara seperti Cina dan India. Kecuali
memiliki pelabuhan sungai, Singhasari juga memiliki pelabuhan samudera yaitu Tuban.10°
Kerajaan Singhasari di bawah dinasti Rajasa atau Girindra tumbuh dan berkembang selama 70 tahun. Dan kelima raja
yang memerintah, hanya dua yang memerintah cukup lama yaitu Anusapati, raja kedua (selama 21 tahun), dan cucunya, yaitu
Kertanagara, raja kelima dan terakhir (38 tahun). Kedua raja ini mampu memantapkan pemerintahan dalam negeri menghadapi
pemberontakan di daerah."
Di bawah Kertanagara, basis ekonomi pertanian yang menghasilkan beras, ternak dan hasil hutan diperdagangkan melalui
jalur sungai Brantas, dipasarkan ke pulau-pulau di Nusantara dan negeri-negeri lain melalui pelabuhan laut Ujung Galuh.
Kegiatan perdagangan dan pelayaran yang telah dilakukan sejak jaman kerajaan Kadiri diatur oleh pejabat khusus yaitu Senapati
Sarwajala.'°' Kiranya armada dagang yang terdiri dari para pelaut Jawa ini sekaligus berfungsi sebagai armada perang ketika raja
akan melakukan muhibah ke kerajaan lain di luar pulau Jawa, atau melakukan penyerbuan ke pulau lain, melaksanakan
ekspedisi, dan penghukuman kepada penguasa di daerah pulau yang membangkang terhadap kekuasaan Singhasari.
86 Pasang Surut Kerajaan-Kerajaan Maritim di Indonesia

2). Ekspansi : Politik dan Agama


Dengan menggunakan armada dagang dan perang "Kertanagara melakukan penaklukan terhadap Bali, pulau yang telah
menjalin hubungan dengan raja-raja Jawa sejak masa Airlangga pada abad XI. Selain ke pulau Bali, Kertanagara juga melakukan
ekspansi ke pulau Sumatera dan penaklukan ke kerajaan Melayu di Sumatera pada tahun 1275 yang lazim disebut Pamalayu.
Penaklukan diikuti oleh hubungan persahabatan damai pada tahun 1286 dengan cara menghadiahkan area Amoghapasa kepada
raja Melayu yaitu Raja Mauliwarmadewa. Arca besar yang ditemukan di Padangroas itu memuat prasasti Kertanagara.103

Gambar 3.6. Patung Amoghapasa


(Sumber: John Miksic, Indonesian Heritage 1, hlm.102-103)

Ekspansi dilanjutkan ke Semenanjung Malaka (Pahan), Irian Jaya (Gurun), Kalimantan Barat (Bakulapara), Sunda dan
Madura.R'Di bawah Kertanagara kerajaan Singhasari telah meletakkan dasar negara maritim. Melalui basisnya di Laut Jawa,
Singhasari menggalakkan jaringan perdagangan dan pelayaran ke Selat Malaka, dan ke timur hingga ke Maluku, dan Papua.
Jaringan pelayaran dan perdagangan ini menggunakan armada perahu layar bercadik yang lincah, dengan awak
Sejarah Mariam Indonesia I 87

kapal pelaut-pelaut Jawa/Sunda dan Melayu. Mereka memperdagangkan produk-produk daerah yang sating dipertukarkan,
seperti beras dari Jawa, lada dari Sumatera, rempah-rempah dari Maluku. Produk-produk Nusantara ini juga dipertukarkan
dengan produk-produk negeri Asia yang lain seperti tekstil India dan Sutera Cina.'°5
Mengenai penanaman kekuasaan Kertanagara di beberapa pulau (dwipantara) terdapat interpretasi menarik terkait
dengan faktor politik dan agama. Dengan meletakkan Singhasari dalam konteks dunia Asia Tenggara dan Asia pada abad XIII
dapat diketahui bahwa Tiongkok waktu itu diperintah oleh dinasti Yuan, bangsa Mongol yang sangat agresif di bawah pimpinan
Jenghis Khan, sang penakluk dunia dari padang Steppe Asia Tengah. Setelah Mongol berhasil menguasai daratan Cina, cucu Sang
Penakluk, yaitu Khubilai Khan, berkeinginan menguasai negeri-negeri selatan di seberang lautan (Nan Yang), atau paling tidak
menuntut pengakuan sebagai atasan mereka dengan cara mengirimkan para duta dari negeri-negeri tersebut menghadap Kaisar
Tiongkok.
Untuk memperoleh pengakuan kekuasaan itu utusan Kaisar Tiongkok dikirim ke berbagai negeri Nan Yang. Negeri-
negeri seperti Vietnam, Champa (Kamboja), Annam dan Birma mengirim duta-duta mereka untuk menunjukkan ketundukan
mereka kepada Kaisar Tiongkok, sedangkan Singhasari belum mengirimkan dutanya.'° 6
Kertanagara sebagai raja Singhasari (dalam catatan Cina : Tumapel) pada masa itu melihat gerakan Khubilai Khan menuntut
pengakuan kekuasaan Tiongkok atas mereka sebagai ancaman kemandirian kekuasaan Singhasari. Ia berusaha membendung
pengaruh kekuasaan Tiongkok di Nusantara. Tindakannya yang pertama adalah menaklukkan kerajaan Malayu di Sumatera (1275)
yang menjadi pusat perdagangan di Selat Malaka waktu itu. Dengan cara ini is memotong jalur perdagangan ke Palembang, daerah
yang sejak lama dikuasai para pedagang dan bajak laut Tionghoa. Melayu kemudian dijadikan vassal dan sekutu Singhasari, dengan
cara menghadirkan arca Amoghapasa kepada raja Melayu yang dihantarkan oleh para pejabat sekelas perdana menteri seperti
Rakryan Mahamantri Dyah Adwayabrahma, pada tahun 1286.107 Langkah berikutnya adalah penanaman kekuasaan di Bali, Gurun,
di sebelah barat Papua, dan Bakulapura (Kalimantan Barat). Bahkan dengan negeri
88 Pasang Surut Kerajaan-Kerajaan Maritim di Indonesia

Champa diadakan koalisi politik, persekutuan melalui perkawinan, di mana seorang puteri Singhasari (Jawa) menjadi istri raja
Champa.'"
Interpretasi lain dilakukan oleh Berg melalui pendekatan agama dan budaya. Di satu pihak Kubhilai Khan adalah penganut
agama Buddha Tantrayana, aliran kalachakra, yaitu sebuah aliran yang dalam usaha mencapai kesempurnaannya dilakukan
melalui ritual yang mendatangkan kekuatan-kekuatan magis (sakti) dalam wujud perempuan pendamping (yogini). Ekspansi ke
selatan adalah untuk memperluas kekuatan sakti
di negeri-negeri tersebut, yang berarti juga memperbesar kekuatan dan kekuasaan kaisar.
Di pihak lain Kertanagara kebetulan juga penganut agama yang sama dengan Khubilai Khan, yaitu Buddha Tantrayana
Kalachakra, yang di Jawa telah berpadu dengan pemujaan Siwa — Bhirawa. Oleh sebab itu Kertanagara mengadakan
pembendungan, melawan ekspansi spiritual Khubilai Khan dengan gerakan spiritual juga, yaitu dengan membangun hubungan
persekutuan spiritual dengan para penguasa di Dwipantara, serta negeri-negeri di Asia Tenggara. Kertanegara berlaku sebagai
Jina, manusia yang telah mencapai kesempurnaan, yang menyebarkan para yogini, isteri-isteri simbolik perwujudan kekuatan
gaib di negeri-negeri sekutunya. Dengan kata lain is memperluas mandala-nya (wilayah pengaruh), tidak hanya sebatas pula
Jawa atau Jawadwipamandala saja.109
Kedua interpretasi tersebut sebenarnya saling mendukung, karena intinya adalah bagaimana menjelaskan ekspansi
Kertanagara, baik demi kepentingan dirinya sebagai Maharaja Singhasari yang ingin berjaya, maupun untuk membendung
pengaruh luar (Tiongkok) yang mengancam kemandirian kerajaannya, baik motivasi politik atau motivasi agama, keduanya
membuahkan tindakan yang sama, yaitu memperluas pengaruh atau keleluasaan Singhasari ke daerah/pulau-pulau lain.
Dengan demikian dapat digambarkan bahwa kekuasaan atau pengaruh Singhasari di wilayah dwipantara tidak selalu
dalam wujud kekuasaan secara fisik, militer atau politik. Hal yang lebih menonjol adalah hadirnya kewibawaan dan keagungan
Sang Raja Singhasari yang bersifat spiritual sakral yang ditunjukkan di daerah-daerah. Tentu saja
Sejarah Maritim Indonesia I 89

hal itu ditopang oleh kekuatan politik dan kekayaan ekonomi dari aktivitas pelayaran dan perdagangannya.
Kerajaan Singhasari justru runtuh oleh konflik di dalam negeri, yaitu pemberontakan Jayakatwang, raja Kediri, yang
melakukan serbuan mendadak ke istana Kertanagara pada tahun 1294, ketika kekuatan tentara utama Singhasari masih berada di
Melayu. Raja Kertanagara beserta para pejabat terbunuh semuanya. Pada tahun itu juga tentara Mongol (Tartar) yang dikirim
Kaisar Cina tiba di Tumapel untuk menghukum Kertanagara, yang menolak tunduk dan menghina Kaisar dengan melukai utusan
khususnya — akan tetapi Kertanagara telah terbunuh oleh Jayakatwang. Wijaya, menantu Kertanagara berhasil menyelamatkan
diri, dan dialah yang akan membuat sejarah baru dan membangun kerajaan barn, melanjutkan kejayaan Singhasari di
Nusantara.lw

b. Kerajaan Majapahit : Penerus Singhasari


1). Lokasi Geografis, Ekologis dan Awal Pembentukan Majapahit
Pusat Kerajaan Majapahit terletak di bagian hilir Kali Brantas, Jawa Timur. Banyak kerajaan besar di Jawa Timur berpusat
di sekitar sungai ini, seperti Kediri, Janggala, Singhasari dan Majapahit. Hal itu sebagai bukti bahwa sungai ini sangat strategis
bagi prasarana transportasi utama, dan akses menuju ke laut, tempat aktivitas pelayanan, perdagangan dan komunikasi antar
pulau dan antar negara. Lokasi ibukota Majapahit tepat di sebelah selatan Kali Brantas yang bercabang menjadi dua yaitu Kali
Mas di sebelah utara, dan Kali Porong di sebelah selatan. Di bagian hulu Kali Mas terletak pelabuhan sungai Canggu, dan di
muaranya terletak pelabuhan laut Ujung Galuh, yang kelak tumbuh menjadi kota pelabuhan Surabaya. Sebagian peninggalan
ibukota Majapahit masih bisa dijumpai di Trowulan, sebelah selatan Mojokerto.
Lokasi pusat kerajaan Majapahit meliputi lembah sungai dan dataran delta yang merupakan timbunan lumpur sungai
berupa abu vulkanik dari gunung berapi yang banyak terdapat di sekitarnya. Kondisi itu telah menyebabkan kesuburan tanah
yang tinggi di wilayah
90 Pasang Surut Kerajaan-Kerajaan Maritim di Indonesia

Majapahit. Dengan potensi sumberdaya alam yang menguntungkan, lokasi strategis, akses ke laut yang mudah,
memungkinkan Majapahit tumbuh dan berkembang menjadi kerajaan maritim namun berbasis pertanian.
Dalam uraian terdahulu disebutkan bahwa Wijaya, pendiri Majapahit adalah menantu Kertanagara, raja terakhir
Singhasari." Dengan demikian dapat diartikan bahwa Majapahit adalah penerus kerajaan Singhasari yang ibukotanya porak
poranda dihancurkan Jayakatwang raja Kediri, salah satu vassalnya.
Kisah berdirinya Majapahit selain ditulis dalam sumber sejarah tradisional," 2 juga dimuat dalam prasasti, antara lain
prasasti Kudadu (1294), dan prasasti Sukamerta (1296). Prasasti Kudadu mengisahkan bagaimana Wijaya, kemenakan dan
calon menantu Kertanegara berperang melawan Jayakatwang. Dalam kekalahannya Wijaya terus berlari dan bersembunyi
menghindari pengejaran musuh. Akhirnya is disembunyikan oleh rama desa Kudadu hingga selamat.
Prasasti Kudadu dikeluarkan Wijaya setelah menjadi raja Majapahit, untuk menyampaikan anugerah desa Kudadu
sebagai daerah swatantra (desa otonom)'''Prasasti Sukamerta (1296) menggambarkan bagaimana Wijaya mencoba
meloloskan diri dari kejaran musuh (Jayakatwang) ditemani patih Singhasari Panji Patipati Pu Kapat hingga mencapai Madura
dan bersekutu dengan Arya Wiraraja, menteri pada masa Singhasari. Dengan pura-pura takluk kepada Jayakatwang, Wijaya
minta hutan Terik dijadikan kota tempat tinggalnya. Kota baru itu dinamakan Majapahit. Wijaya melakukan konsolidasi
kekuatan. Bersama-sama dengan pasukan Tartar utusan Khubilai-Khan yang akan menghukum "raja Jawa", Wijaya
mengalahkan Jayakatwang. Setelah Jayakatwang kalah Wijaya dengan tipu muslihat menyerang tentara Tartar, sehingga sisa
tentara Tartar di bawah Meng-chi, Shih-pi dan Ike-Mese akhirnya berlayar kembali ke Cina.
Berita ini dimuat antara lain dalam catatan Kan-Hsing, komandan pasukan yang dikirim ke Jawa untuk menghukum raja
Jawa (Kertanagara) yang mencederai Meng-chi, utusan Kaisar, sebagai berikut:
Pada awal 1293 mereka sampai di Jawa. Ike Mese memimpin armada laut, Kan-Hsing menjadi Komandan infantri.
Sampai di
Sejarah Maritim Indonesia I 91

sungai kecil Pa-tsich (Pacekan) mereka kembali bergabung. Ketika menantu mendiang raja Jawa. Tuhan Pijaya
menyatakan menyerah, mereka bersama menggempur negeri Kalang dan menangkap rajanya Haji Katang
(Jayakatwang). Ketika ia (Kan-Hsing) kembali ke kota Taha (Daha) Shih-pi dan Ike Mese sudah mengizinkan Pijaya
pulang ke negerinya dengan dikawal tentara kaisar, ternyata Pijaya menyerang tentara Kaisar. 14

Setelah Wijaya berhasil menyingkirkan raja Kediri ia mengangkat dirinya menjadi raja pertama Majapahit, dengan gelar
abhiseka Sri Kertarajasa Jayawarddhana.' Sebagai keturunan raja-raja Singhasari Wijaya melanjutkan penguasaan daerah-
daerah dan pulau-pulau di luar Jawa (Dwipantara) yang dahulu telah berada di bawah pengaruh atau kekuasaan Singhasari,
sehingga wilayah dan pulau bekas kekuasaan Singhasari kini menjadi wilayah kekuasaan Majapahit.

2). Ekspansi, Wilayah Administrasi, dan Hubungan Jawadwipa —Nusantara —Desantara.

Wijaya atau Prabu Kertarajasa (1293-1309) digantikan oleh puteranya, Jayanegara (1309-1388). Ia lebih banyak
berhadapan dengan masalah dalam negeri, yaitu pemberontakan-pemberontakan dari pengikut-pengikut ayahnya yang setia,
sejak ayahnya masih memerintah." 6 Pada pemerintahan Jayanegara muncul seorang tokoh "Bismarck" dari Majapahit,
pengawal raja (bhayangkari) yang setia, yang kemudian diangkat sebagai Mahapatih Amangkubumi, yaitu Gajah Mada. Ia
melanjutkan ekspansi pengaruh Majapahit ke seluruh Nusantara, memelihara dan memperluas penanaman pengaruh di
pulau-pulau luar Jawa, yang dipelopori Singhasari, kerajaan pendahulunya.
Ekspansi kerajaan Majapahit dimulai pada masa pemerintahan raja ketiga, yaitu adik Jayanegara, yang bergelar
Tribhuwanatunggadewi Jayawisnu Wardhani (1328-1350). Pengakuan kekuasaan kemaharajaan Majapahit meliputi wilayah
Nusantara dan pulau Sumatera hingga pulau di sebelah barat Papua, seperti tertulis dalamMigarakertilgarna, dalam pupuh
XIII, XIV dan XV. Mengenai hal itu, pupuh XIII dari kitab
92 Pasang Surut Kerajaan-Kerajaan Maritim di Indonesia

Nagarakertagama menggambarkan berbagai daerah untuk kelompok pulau Sumatera sebagai berikut: 117
1. Lwir ning nusa pranusa pramuka sakahawal, ksnoni ri malayu, nang Jambi mwang palembang karitan i tba
len/darmmacraya tumut, kandeis kahwas manangkabwa ri siyak i rkan, kampar mwak i pane, kompe, haru, athawe
mandahiling i tumihang, parllak. Mwang i barat.
2. Hi lwas lawan samudra mwan i lamuri batan lampung mwang i barus, yeka dinyang watik/bumi malayu satanah
kapwamateh anut.....
Terjemahan:
1. Secara terinci macam-macam pulau yang utama adalah semua yang termasuk Melayu, bernama Jambi ada Palembang,
Karitang, Toba, dan Parmanasraya juga disebut, daerah Kandis, Kahwas, Minangkabau, Siak Rokan, Kampar, Pane,
Tamihang, negara Perlak dan Padang/Barat, Rokan, Kampar, Pane, Kampe, Haru, Mandailing, Tamiang, Perlak dan Padang
(Barat)
2. Lwas (Padang Lawas) dengan Samudera serta Lamuri, Batan, Lampung dan juga Barus, itulah terutama negara-negara
Melayu
yang telah tunduk.

Cukup mengagumkan bahwa Prapanca yang menulis Ncigarakerttigama mengelompokkan nama-nama tempat sesuai
dengan pulau yang tepat. Nama-nama tempat di bawah Majapahit di Kalimantan (Tanjung Nagara) adalah : Kapuas, Katingan,
Sampit, Kutalingga, dan Kuta-Waringin, Sambas dan Lawai, Kandangdangan (Kandangan), Landa (Landak), Samedang, Tirem, Sedu,
Buruneng (Berunai), Kalka (Kalakah), Solot (Sulu) dan Pasir, Barito Sawaku (p. Sebuku), Tabalung, Tanjung Kutei, Malana (Malanau),
Tanjung Puri (Tanjung Pura). Hampir di setiap pulau besar/penting disebut beberapa nama tempat yang dapat diidentifikasi sampai
sekarang, seperti Makhasar (di Sulawesi), Wanda (p. Banda), Ambwan (p. Ambon), Maloko (p. Maluku), Wwanin (p. Onin), Timur (p.
Timor), Dompo Bhima (p. Sumbawa), Lombok Mirah (p. Lombok), Bedahulu (p. Bali), Uda Makatraya (ketiga pulau-pulau Talaud).
Sejarah Maritim Indonesia 93

Bahkan negeri-negeri Asia Tenggara, yang bersahabat dengan baginda raja. Hal itu dapat dilihat dari kutipan berikut ini :
Nahan/lwir ning decantara, kacaya de sri narapati, tuhun/tang syankayodya pura kimutang darmana nagari, marutma
mwang ring rajapura nuniweh singhanagari, ni campa kambojanyal i
yawana mitreka satata...

Terjemahan :
Itulah bagian dari negeri-negeri lain, yang dilindungi oleh Baginda Raja, sudah tentu : Siam, Ayuthia, bersama Ligor,
Martaban dan Rajpuri (selatan Siam) dan Singhapuri, di cabang sungai Menam), Champa, Kamboja. Yang beda adalah
Annam, sebagai
sahabat......118

Uraian dalam Ncigarakertagama menunjukkan besar dan Iuasnya "kekuasaan" kemaharajaan Majapahit yang
membentang dari Aceh di sebelah barat (Lamuri) hingga Papua di ujung timur (Gurun). Secara harafiah deskripsi kebesaran
ini tampak kurang masuk akal apabila dikaitkan dengan kondisi pusat kekuasaan Majapahit (di Jawa Timur) yang sering
terjadi pemberontakan, sistem komunikasi antar pulau, teknologi pelayaran serta kekuatan angkatan laut Majapahit.
Mampukah penguasa Majapahit mengendalikan kekuasaan dan menegakkan kekuasaan di wilayah seluas Nusantara ?
Untuk itu diperlukan interpretasi kritis terhadap fakta sejarah dalam Nagarakerteigama dengan mempertimbangkan
berbagai faktor, yaitu (1) fakta pembanding atau pendukung dari sumber sejarah yang lain; (2) wujud kekuasaan politik
Majapahit dan landasan ekonomis sebagai pendukung ; (3) konsep kekuasaan dengan latar belakang sosial budaya
Majapahit waktu itu (abad XIV-XV).
Deskripsi tentang Majapahit ditemulcan juga pada sumber sejarah yang lain, yaitu Katuturaniva Ken Angrok atau Serat
Pararaton (1613). Kitab ini juga mengganbarkan penaklukan Majapahit, sebagai berikut :
Cf Sira Gadjah Mada patihAmanglcubhumi tan ayun amuktia
palapa, sira Gadjah Mada lamun luwus kalah Nusantara isun amukti palapa......"" 9
94 Pasang Surut Kerajaan-Kerajaan Maritim di Indonesia

Terjemahan
.......Gajah Mada Patih Amangkubhumi tak akan melakukan upacara ritual. Jika telah mengalahkan Nusantara
barulah saya melaksanakan upacara ritual". Upacara ritual yang dimaksud adalah Sraddha untuk melepas arwah raja
Kertanegara.

Seorang Italia, Ordorico de Pordenone, yang mengunjungi Jawa pada tahun 1321, yaitu dalam masa pemerintahan
Jayanegara, mengatakan bahwa penduduk Jawa padat, raja memiliki 7 orang raja takluk. Istananya penuh hiasan emas dan
permata, menghasilkan rempah-rempah. Khan Agung dan Cathay (Cina) sering bermusuhan namun selalu bisa dikalahkan.12°
Keterangan ini menunjukkan keperkasaan raja Majapahit, meski permusuhan dengan Khan Agung adalah peristiwa pada masa
Wijaya menghadap pasukan Tartar.
Sumber lain yang juga berkaitan dengan eksistensi kerajaan Majapahit adalah Kronika Pasai. Karya sejarah ini
menguraikan tentang kerajaan Samudera Pasai di pantai timur propinsi Aceh, yang timbul pada abad XIII. Hikayat ini
menceritakan bahwa Kesultanan Pasai yang telah memeluk Islam diserang oleh raja Majapahit (sekitar pertengahan abad XIV)
hanya karena puteri Majapahit tak kesampaian cintanya kepada Pangeran dari Pasai, akibat dibunuhnya pangeran ini oleh Sul-
tan Ahmad, ayahnya. Diceritakan dalam Kronika tersebut sebagai berikut:
Sang Nata (Majapahit) memberi perintah kepada patih menyuruh menghimpunkan segala menteri dan segala
pegawai yang kuasa-kuasa dan segala rakyat dan segala balatentaranya. Setelah itu maka disuruh musta'idkan segala
kelengkapan dan alat senjata peperangan akan mendatangi negeri Pasai itum.

Peperangan itu berakhir dengan kemenangan Majapahit. Mungkin ceritera ini tidak seluruhnya benar, karena dikatakan
dengan kalimat
"...Demikianlah ceriteranya diceritakan oleh orang yang mempunyai
cerita ini namun inti cerita adalah bahwa Majapahit pernah menyerang kerajaan Samudra Pasai. Sampai kini di sebuah
tempat di pantai timur Aceh ada yang bernama Majapahit, juga ada anak Sungai Pasai yang disebut Kreung Jawa (Sungai Jawa).
Menurut ceritera rakyat di sekitar tempat tersebut dimakamkan tentara Jawa yang gugur dalam
Sejarah Maritim Indonesia I 95

peperangan dengan Pasai. Dalam Nagarakertagama Samudera adalah salah satu tempat yang ditaklukkan Majapahit.'"

Kebesaran Majapahit pada abad XIV-XV justru diakui dalam karya-karya sejarah tradisional dari daerah-daerah atau negeri lain yang
pernah menjadi vasal atau mengakui kekuasaan Majapahit. Kitab Sedjarah Melaju yang diperkirakan ditulis setelah tahun 1511 (setelah jatuhnya
Malaka ke tangan Portugis) menyebutkan bahwa tentara Majapahit menyerang Singapura (dahulu bernama Tumasik). Singapura mengalami
kekalahan, sehingga rajanya, Iskandar Syah, melarikan diri ke Muara. Akhirnya ia sampai di muara sungai di tepi pantai. Di sana ia kemudian
mendirikan kerajaan Malaka. Dikisahkan bahwa:

Bagindapun segera menyuruh berlengkap tiga ratus buah djung, lain daripada itu kelulus, pelang, djongkong tiada terbilang lagi; ada dua
keti ra'jat Djawa jang pergi itu, maka sekaliannjapun berlajarlah. Telah datang ke singapura maka berperanglah dengan orang Singapura.
....Sjandan patahlah perang orang Singapura ....Telah Singapura sudahlah, maka Djawapun kembalilah ke

Madjapahit......123

Sangat menarik bahwa karya-karya tradisional di berbagai daerah Nusantara sangat bangga menunjukkan bahwa raja mereka
adalah keturunan Majapahit. Dalam episode kelima Sedjarah Melaju disebutkan:

.......maka tersebutlah perkataan betara Madjapahit, maka baginda beranak dengan anak raja bukit Siguntang itu dua orang lai-laki, dan
jang tua Radin Inu Merta Wangsa namanja, maka diradjakan

baginda di Majapahit terlalu sekali besar keradjaan baginda pada zaman itu, seluruh tanah Djawa seluruhnja didalam hukum tanah
Djawa itu semuanja di dalam hukum baginda, dan segala radja-radja Nusantarapun setengah sudah ta' luk kepada baginda. Setelah
betara Madjapahit mendengar Singapura negeri besar, radjanya tiada menjembah baginda, dan radja Singapura itu saudara sepupu
baginda, maka radja Madjapahitpun menjuruh

utusan ke Sengapura......124

Demikian pula dengan raja Tanjung Pura (Kalimantan Selatan). Dikisahkan bahwa putera raja ini hilang ditelan ombak, kemudian
96 Pasang Surut Kerajaan-Kerajaan Maritim di Indonesia

ditemukan oleh seorang penyadap di Majapahit. Akhirnya si anak diambil suami oleh putri raja Majapahit We Kesuma. Anak
perempuan hasil perkawinan mereka yaitu Galuh Tjandera Kirana dikawinkan dengan raja Malaka Sultan Mansur Sjah. Bahkan raja
Majapahit memberikan negeri Inderagiri kepada raja Malaka, menantunya.'"
Di dalam Hikayat Banjar dan Kotaringin yang menceritakan asal mula kerajaan Banjarmasin juga dinyatakan bahwa
raja Banjar adalah keturunan raja Majapahit. Puteri Jungjung Buih (Tunjung Buih) raja dari negeri Dipa (kelak keturunanya
mendirikan kerajaan Banjarmasin), dikawinkan dengan Raden Surianata, putera dari raja Majapahit. Disebutkan dalam
hikayat tersebut :
Hata maka Lambungmangkurat tidur tengah hari itu bermimpi, datang seperti ayahnya itu berkata, "hey
Lambungmangkurat aku memberi tahu kepadamu lamun angku (engkau) hendak mencarikan suami puteri itu ada anak raja
di Majapahit itu dapatnya bertapa di puncak gunung Majapahit itu.126

Hikayat ini juga melukiskan bahwa Majapahit menguasai banyak daerah di berbagai pulau di Nusantara. Cerita-cerita dalam
berbagai Hikayat mengenai asal usul raja-raja mungkin hanya sebuah mitos. Namun justru di dalam mitos ini dibuktikan kebesaran
Majapahit yang diakui di berbagai daerah Nusantara, sehingga mereka bangga mengidentikkan dirinya sebagai keturunan raja
perkasa.
Kesaksian mengenai kebesaran Majapahit juga ditulis oleh Tome Pires, Pegawai (Apoteker) dari Kantor Dagang
Portugis di Malaka, yang mengunjungi berbagai kota pelabuhan di Nusantara pada tahun 1512 1513. Meskipun is datang satu
abad setelah surutnya kejayaan Majapahit, namun orang-orang yang diwawancarainya waktu itu masih mengingat
bagaimana besarnya kekuasaan Majapahit seabad yang lalu. Dalam bukunya yang diberi judul Summa Oriental/27 Tome Pires
menggambarkan sebagai berikut:
.... They say that the island of Java used to rule as far as the Moluccos on the eastern side and a great part of the west;
and that it had almost all the island of Sumatra under its dominion, and all the islands known to the Javanese, and that
it had all this far a long time past, until about to diminish until it come to its
Sejarah Mariam Indonesia I 97

prsent state .... It is because of this power and great worth that Java had, and because it navigated too many places
and very far away, for they affirm that it navigated to Aden, and its chief trade was in Banua Quelim, Bengal and Pase,
that it had the whole (of trade) at that time.... t28

Bahkan raja Malaka Xaquein Darxa (Iskandar Syah) mengirimkan dutanya ke Majapahit, memohon agar para pedagang Jawa
mau berdagang ke bandar Malaka sebagai bandar barn (Malaka muncul pada awal abad XV), di samping berdagang ke Pasai. Raja
Majapahit menjawab bahwa jung-jung Jawa telah lama berlayar dan berdagang ke Pasai dan hubungan persahabatan telah lama
terjalin. Perdagangan Jawa mendapat keistimewaan yakni dibebaskan dan cukai impor ekspor. Ternyata masa pemerintahan Raja
Majapahit pada waktu itu, yaitu Batara Tumaril (Bhre Tumapel 1447 — 1451, sesuai dengan awal perkembangan Malaka).
Mengenai hal itu Pires menyatakan: " .. and as the King of Pase is his vassal, let him send there if such was his wish ...." 129
Sebagai sebuah imperium, Majapahit juga menjalin hubungan diplomatik dengan negeri-negeri asing di luar Nusantara.
Hubungan Majapahit dengan kekaisaran Cina tampaknya cukup baik, hanya terkadang terjadi distorsi karena
ketidaksengajaan.'" Hubungan ini menjadi penting berkaitan dengan para pedagang Cina yang bermukim di kota-kota
pelabuhan Majapahit, setidaknya sejak akhir abad XIV. Catatan dinasti Ming (Ming Shih) menyatakan bahwa Laksamana Cheng
Ho, utusan dari Kaisar Yung Lo, mengunjungi Nusantara dan negeri-negeri lain untuk menuntut pengakuan kemaharajaan Cina.
Pengakuan tersebut dibuktikan dengan pengiriman duta besar dari negeri-negeri yang dikunjungi Cheng Ho ke negeri Cina.
Dengan armada jung Cina yang sangat besar Cheng Ho mengunjungi Nusantara antara tahun 1405 dan 1415. Ia mengunjungi
Majapahit sebanyak 3 kali, yaitu pada tahun 1405, 1408, dan 1415. Majapahit barn mengirim duta ke Cina pada masa
pemerintahan raja Hayam Wuruk (akhir abad XIV). Menurut Ma Huan, juru bicara Cheng Ho yang sering mengikuti misi
muhibah Cheng Ho, pada tahun 1415 pelabuhan-pelabuhan Majapahit adalah Tuban, Gresik, Surabaya, dan Canggu yang
merupakan pelabuhan sungai di dekat ibukota Majapahit. Pelabuhan-pelabuhan tersebut sangat ramai
98 Pasang Surut Kerajaan-Kerajaan Maritim di Indonesia

dikunjungi oleh para pedagang, baik pedagang dari "barat" (Timut Tengah), maupun para pedagang Cina yang sebagian beragama
Islam."' Kiranya menjadi Iebih jelas bahwa kekuasaan Majapahit diakui di berbagai daerah Nusantara dan luar Nusantara, juga
karena dukungan ekonomi dan budaya.

Gambar 3.7. Patting Cheng Ho


Sumber: Kong Yuanzhi, Muslim Tionghoa Cheng Ho,
Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2000, him. 197)
Sejarah Maritim Indonesia l 99

Peta 3.3. Daerah Kekuasaan Kerajaan Majapahit pada Masa Raja


Hayam Wuruk

Sumber: Poesponegoro, Sejarah Nasional II, hlm. 532.

3). Wujud Kekuatan Politik dan Landasan Ekonomis sebagai Pendukung Kekuatan politik
Dari berbagai fakta historis dapat disimpulkan bahwa wibawa kekuasaan politik Majapahit (abad XIV hingga
pertengahan abad XV) atas sebagian besar daerah Nusantara adalah sebuah realitas. Berbagai ahli arkeologis seperti Coedes,
Sukmono, Krom, Casparis, ahli filologi seperti Purbatjaraka, Slamet Muijana, dan ahli sejarah seperti de Graaf, Vlekke, Hall,
Ricklefs dan Sartono mendukung kesimpulan tersebut.' 32 Para ahli sejarah yang meragukan luasnya wilayah kekuasaan
Majapahit antara lain adalah Pigeaud, meskipun mengakui kejayaan Majapahit secara ekonomis dan kultural. Sementara Berg
menolaknya, karena karya sejarah tradisional adalah cerita mitos, magis sastra untuk kepentingan sebuah dinasti.'"
Untuk menggambarkan wujud kekuasaan Majapahit waktu itu Soemarsaid Moertono mencoba melakukannya dengan
bentuk yang konsentris. Kekuasaan politik dalam daerah ini/pusat kerajaan, yaitu di ibukota dan mungkin separuh bagian dari
Jawa Timur, di daerah-daerah yang didatangi prabu Hayam Wuruk dalam perjalanan inspeksinya, yang
100 Pasang Surut Kerajaan-Kerajaan Maritim di Indonesia

dilukiskan sangat rinci dalam Nagarakertagama, pupuh 50-54. Konsentris I, daerah pusat pemerintahan yaitu ibukota
Majapahit beserta
daerah pemerintahan langsung, mungkin separuh Jawa Timur. Sebelah
Timur, yaitu wilayah yang dikunjungi Prabu Hayam Wuruk yang dilukiskan sangat rinci dalam Nagarakertcigama, pupuh 50-54.
Birokrasi
Majapahit sangat rinci mengatur pemerintahan dari segala aspek hingga ke tingkat desa. 134 Konsentris II, yaitu daerah otonom
atau propinsi, umumnya di pulau Jawa (Timur dan Tengah) yang diperintah oleh saudara-saudara raja secara otonom, namun
tetap merupakan bagian dari pemerintah pusat, seperti Lasem, Daha, Tumapel, Pajang, Wengker, yang disebut Jawa Dwipa.
Kekuasaan pemerintah di daerah tidak sekuat kekuasaan pemerintah di pusat.
Konsentris III adalah daerah-daerah Luar Jawa, yaitu Nusantara yang menjadi vasal negeri-negeri yang menjadi sekutu,
namun mengalcui supremasi Majapahit. Hubungan ini dapat terjadi karena penaklukan (Bali, Malayu, Dompo, Pasai,
Palembang), atau karena hubungan-hubungan dagang yang intensif. Negeri-negeri ini mempunyai pemerintahan yang bebas,
cukup memberikan upeti kepada pejabat Majapahit yang sekali setahun datang ke daerah (dharmmadhyaksa, kacaiwan) atau
para utusan yang datang ke ibukota membawa upeti.'35
Konsentris IV adalah negara-negara sahabat di luar Nusantara yang disebut desantara, yaitu Champa, Ayudhyapura
(Ayuthaya), Kamboja, Dharmanagari (Ligor), Syangka (Siam), Yawana (Annam), Singhanagari (Singhapuri di tepi cabang
sungai Menam), Marutama (Martaban).136 Negara-negara ini adalah negara sahabat yang setara, tidak ada kekuasaan politik
Majapahit. Yang ada adalah koalisi untuk menggalang hubungan sosial, budaya, perdagangan atau menghadapi musuh
bersama, misalnya koalisi dengan Champa untuk membendung pengaruh Cina pada masa Kubilai Khan. Dikisahkan ketika
tentara Khubilai Khan akan menyerang Jawa, raja Champa Jayasinghawarman III menolak Cina mendarat di pelabuhannya.'"
Dalam struktur kekuasaan politik yang bertingkat-tingkat, kendali kekuasaan yang semakin jauh dan pusat menjadi
semakin lemah. Dengan kata lain semakin jauh dan pusat, semakin kuat otonomi di daerah. Kiranya mudah dipahami bahwa
imperium Majapahit dapat ditegakkan.
Sejarah Markim Indonesia I 101

Masalahnya adalah sejauhmana kerajaan pusat Majapahit mampu menegakkan kewibawaannya. Hal ini dicapai Majapahit
melalui kekuatan ekonomis dan kemegahan budaya.

Kemampuan Ekonomis
Menurut Hall pada dasarnya Majapahit mengembanghkan ekonominya dengan memadukan kekuatan pertanian di darat
dan peluang perdagangan laut dari jalur perdagangan ketika Laut Jawa menjadi pusat lalu-lintas perdagangan Asia Tenggara pada
abad XIV-XVI. Perdagangan rempah-rempah (cengkih dan pala) yang diproduksi di kepulauan Maluku telah terjadi sejak masa
Singhasari dikuasai pedagang Jawa. Para pedagang dan pelaut Jawa membawa rempah-rempah ke Samudera Pasai dan di sini
telah menunggu saudagar-saudagar dari India, Parsi, Arab, Cina yang memasarkannya di Asia Barat hingga ke Laut Tengah, dan
ke timur hingga ke Cina.'"
Perdagangan laut ini semakin mantap karena Majapahit memiliki andalan ekspor yaitu beras yang dapat
diperdagangkan di pulau-pulau sebelah timur, khususnya kepulauan Maluku, dan ke barat yaitu ke kota-kota pelabuhan
seperti Palembang, Melayu, dan Pasai. Pada masa Majapahit, pemerintah memberikan perhatian yang semakin besar di
bidang ekonomi, antara lain mengusahakan jalan darat yang dihubungkan dengan penambangan untuk penyeberangan
sungai, memberi penghargaan yang tinggi kepada para penambang dengan membebaskannya dari pembayaran pajak
kepada pengusaha lokal, dan membayar pajak langsung antara lain pajak tekstil kepada negara pada waktu perayaan caitra
yang disebutpajakpamuja.139 Dengan perhatian
kepada sarana/prasarana jalan, sungai, dan penyeberangan, penarikan pajak langsung oleh negara, pemberian perhatian
kepada kelompok
pedagang, pengusaha transport dan pengrajin telah meningkatkan ekonomi seluruh kerajaan. Demikian pula petani
terdorong untuk meningkatkan produksi untuk dipasarkan yang dilakukan oleh kelompok pedagang (banyaga).
102 Pasang Surut Kerajaan-Kerajaan Maritim di Indonesia

4). Kekuatan Laut


Hal yang tidak kurang menarik adalah bagaimana wujud kekuatan
di laut yang dimiliki oleh Majapahit ketika penguasa kerajaan akan meninjau atau mengunjungi pulau-pulau lain di Nusantara
baik untuk tujuan damai, memungut pajak, memberikan anugerah, melakukan kunjungan persahabatan, atau mengirim
ekspedisi penghukuman.
Dalam sejarah Majapahit diketahui secara pasti adanya empat ekspedisi laut untuk menundukkan kekuasaan di
daerah. Pertama, di bawah pemerintahan Tribhuwana Tunggadewi (raja ke tiga) dilakukan ekspedisi militer ke Bali pada
tahun 1343 yang dipimpin oleh Patih Gajah Mada dan Wrddha Mantri Aditywarman, seorang putra Majapahit keturunan
Melayu yang kemudian dijadikan raja di Melayu. 14° Kedua adalah penaklukan Dompo (Sumbawa) sebelum tahun 1365,
selanjutnya penyerbuan ke Palembang pada tahun 1377. Dua penaklukan yang terakhir dilakukan pada masa pemerintahan
Hayam Wuruk. Dalam historiografi tradisional, Majapahit juga diberitakan menyerang kerajaan Pasai (kira-kira pertengahan
abad XIV) dan Singapura (Tumasik) kira-kira pada perempat terakhir abad XIV. Dalam pemberitaan tersebut tidak pernah
dilukiskan armada Majapahit, baik kapal-kapal, angkatan laut atau tentara Majapahit yang menyerbu daerah-daerah
tersebut. Hanya pasukan itu dipimpin oleh pejabat Jaladimantri.'4' Dalam penaklukan Dompo ekspedisi dipimpin oleh
panglima Mpu Nala, seorang Tumenggung Mancanegara.' 42
Baik Pigeaud maupun Hall berpendapat bahwa `angkatan laut' Majapahit sebenarnya adalah para pelaut dan pedagang,
yang bertindak sebagai abdi kerajaan Majapahit. DalamMigarakerteigama dengan jelas dikatakan bahwa mereka yang diutus ke
daerah (untuk mengambil pajak) tidak diperkenankan untuk bertindak atas kemauan sendiri. Ini diartikan bahwa perdagangan di
Majapahit adalah dalam kendali kerajaan atau sejenis perdagangan negara. Para pedagang ini sambil berdagang
memperkenalkan raja dan kerajaan Majapahit yang agung kepada penduduk di pulau-pulau lain. Mereka pula yang menjadi
armada penggempur bila diperlukan, tentunya disertai pasukan khusus dari kerajaan. 143 Pada masa itu antara pelaut, pedagang,
dan bajak laut adalah
Sejarah Maritim Indonesia 103

sangat tipis perbedaannya. Para bajak laut yang mahir berperang dapat berkolusi dengan penguasa di darat untuk bersama-
sama mendapatkan keuntungan. Mereka biasa disebut corsario. Mereka pada umumnya memiliki perahu-perahu layar serta
persenjataan sendiri, sehingga raja tidak perlu menyediakan perahu-perahu dan persenjataan yang dipergunakan para
pedagang. Corsario adalah simbol dan wibawa kerajaan yang membuat mereka bangga sebagai tentara kerajaan besar.
Sudah tentu mereka juga mendapatkan bagian keuntungan dari perdagangan yang mereka lakukan.

5). Budaya Majapahit Penopang Kekuasaan


Kebesaran Majapahit kiranya juga ditopang oleh budaya yang berkembang di pusat kerajaan Majapahit, yaitu
berkembangnya agama Jawa-Hindu dan Budha yang semakin menunjukkan pengaruh Jawa yang kuat. Berkembangnya kultus
dewa-raja, di mana raja diagungkan sebagai dewa membuahkan ritual-ritual kebesaran yang bersifat kenegaraan. Upacara-
upacara tersebut yang serba mewah dan agung, di satu sisi membawa kekaguman luar biasa kepada masyarakat di daerah-
daerah yang masih berbudaya lokal yang sederhana. Di sisi lain kepercayaan akan kesakralan raja meniscayakan perintah-
perintahnya dipatuhi dengan penuh tanggungjawab, bahkan mungkin rasa ketakutan akan tuah yang dapat membinasakan
mereka yang melanggar. Kedua sisi wajah budaya besar yang ditunjukkan Majapahit, kekayaan kraton, segala adat tata-cara,
bahasa, beserta jajaran birokrasi Majapahit yang sudah bertingkat-tingkat kiranya membawa kesan yang sangat mendalam.
Kesan yang membuat raja Majapahit dan kerajaannya terasa begitu agung, sementara mereka sendiri begitu kecil. Hal ini
mendorong mereka untuk bersedia mengakui Majapahit sebagai junjungan mereka (overlord).144

6). Masa Kelabu Majapahit


Kemunduran Majapahit disebabkan karena adanya perang saudara. Kondisi ini diketahui oleh Tiongkok yang segera
berusaha memikat daerah-daerah luar Jawa untuk mengakui kedaulatannya. Kalimantan Barat, yang dalam tahun 1368 telah
diganggu oleh para bajak laut dari Sulu yang diperalat kaisar Tiongkok, sejak tahun 1405
104 Pasang Surut Kerajaan-Kerajaan Maritim di Indonesia

telah tunduk sama sekali kepada Tiongkok tanpa sesuatu tindakan apapun dari Majapahit. Dalam tahun itu juga, Palembang
dan Melayu juga mengarahkan pandangannya ke Tiongkok tanpa menghiraukan Majapahit. Munculnya Malaka sebagai
pelabuhan dan kota dagang penting, dengan penduduknya yang beragama Islam, di samping Samudra, dapat dikatakan
hilangnya jazirah Malaka bagi Majapahit. Demikian pula daerah lainnya satu persatu melepaskan diri dari ikatan dengan
Majapahit. Berbagai daerah masih mengakui Majapahit sebagai atasannya, tetapi dalam prakteknya tidak banyak lagi
hubungan daerah dengan pusat. Masa seratus tahun terakhir dari kerajaan Majapahit tidak banyak yang diketahui. Sejak
pemerintahan Wikramawardhana, bintang Majapahit sudah mulai redup dan makin lama makin pudar. Perang saudara antar
keluarga raja, hilangnya kekuasaan pusat di luar daerah sekitar ibukota Majapahit, dan penyebaran agama Islam yang sejak
sekitar tahun 1400 berpusat di Malaka, serta munculnya kerajaan-kerajaan Islam yang menentang kadaulatan Majapahit,
adalah peristiwa-peristiwa yang menandai masa runtuhnya kerajaan yang sebelumnya pernah berhasil mempersatukan
seluruh Nusantara.'45
Sepeninggal Hayam Wuruk Majapahit selalu dilanda perang saudara, diawali dengan perebutan kekuasaan antara
menantu Hayam Wuruk, yaitu Wikramawardhana sebagai raja Majapahit dengan Bhre Wirabhumi, putra Hayam Wuruk dari
selir. Meskipun Majapahit dilanda perang saudara, hubungan diplomatik dengan Cina pada tahun 1403 hingga tahun 1499
tetap berjalan dengan baik. Namun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi perang saudara itu tidak memungkinkan
Majapahit berkembang, bahkan ada kecenderungan mengalami kemunduran karena banyak daerah vasal yang mulai
melepaskan diri, terutama di daerah pesisir. 146 Menurut de Graaf, jatuhnya kerajaan Majapahit ialah pada tahun 1478 Masehi
(atau 1400 Saka). Angka tahun itu sama dengan angka tahun yang tercantum dalam Babad Jawa. Meskipun demikian, de Graaf
berpendapat bahwa jatuhnya kerajaan Majapahit tidak disebabkan oleh munculnya keraajaan-kerajaan Islam di daerah pesisir,
melainkan oleh kerajaan Hindu lain, yaitu Daha-Kediri yang berhasil melepaskan diri dari Majapahit. Kerajaan Kediri ini pada
tahun 1526 ditaldukan oleh Sultan Demak, yang berarti berakhirnya zaman kerajaan Hindu yang besar di pulau Jawa. Meskipun
demikian di
Sejarah Maritim Indonesia I 105

ujung timur Jawa masih terdapat kerajaan Hindu kecil, yaitu Belambangan, hingga abad ke-17. Jadi, sebelum kedatangan
bangsa Portugis di Indonesia, kerajaan Majapahit sudah runtuh. 147

2. Kerajaan Demak : Kerajaan Maritim Islam Pertama di Jawa


Sesudah raja Hayam Wuruk mangkat pada tahun 1389, kerajaan Majapahit secara berangsur-angsur mengalamai
kemerosotan. Merupakan suatu kebetulan bahwa peristiwa itu bersamaan dengan kedatangan atau penyebaran Islam di
Jawa. Sebelumnya agama baru itu telah berkembang di Sumatra Utara pada tahun 1300an dan di Malaka pada tahun 1400an,
dan selanjutnya secara lambat laun menyebar hampir ke seluruh kepulauan Indonesia. Hanya pulau Irian yang pada waktu itu
boleh dikatakan belum tersentuh oleh agama Islam.'44 Kemunduran kekuasaan kerajaan ini dalam perjalanan sejarahnya
disertai dengan terlepasnya wilayah kekuasaannya di berbagai daerah, yang secara berturut-turut melepaskan diri dari
kekuasaan pusat (Majapahit).
Berdasarkan cerita babad,149 raja Majapahit yaitu Brawijaya adalah ayah dari Raja Demak yang bernama Raden Patah.
Konon ibu Raden Patah adalah seorang putri Cina, akan tetapi sewaktu masih dalam keadaan hamil dihadiahkan kepada
seorang gubernur atau adipati di Palembang. Di situlah Raden Patah dilahirkan. Sementara menurut Tome Pires dalam bukunya
Summa Oriental, kakek raja Demak pertama yaitu Raden Patah adalah seorang budak belian dari Gresik yang telah mengabdi di
Demak saat masih menjadi vasal Majapahit. Dalam perjalanan karirnya dia diangkat menjadi capitan (semacam panglima
perang), dan pada tahun 1470 dipercaya memimpin ekspedisi melawan Cirebon. Dalam ekspedisi itu Cirebon berhasil
ditundukkan.'5°
Dalam versi yang lain disebutkan bahwa sekitar tahun 1500
seorang bupati Majapahit bernama Raden Patah, yang berkedudukan di Demak dan memeluk agama Islam, dengan
sengaja melepaskan diri sebagai bawahan atau vasal dari Majapahit yang sudah sangat lemah. Dengan bantuan daerah-
daerah lainnya di Jawa Timur yang sebagian besar penduduknya sudah memeluk agama Islam seperti Jepara, Tuban dan
Gresik, is mendirikan kerajaan Islam dengan Demak sebagai ibukotanya.
106 Pasang Surut Kerajaan-Kerajaan Maritim di Indonesia

S ehubungan dengan tindakan Raden Patah itu, Brawijaya mengutus Adipati Terung untuk memperingatkan Raden
Patah akan kewajibannya taat kepada Majapahit. Namun demikian Adipati Terung ternyata tidak menjalankan tugasnya
dengan baik, dan sebaliknya justru bersekutu dengan orang-orang Islam yang berkumpul di Bintara atau Demak. Dari situ
mereka bersama-sama menyerang Majapahit. Tanpa pertempuran yang berarti Raden Patah dapat menggantikan kedudukan
ayahnya di singgasana kerajaan.' 51 Menurut kisah babad tersebut, setelah Raden Patah berhasil menaklukkan Majapahit, is
kemudian memindahkan semua alat upacara kerajaan dan pusaka-pusaka Majapahit ke Demak. Tujuan pemindahan ini
adalah sebagai lambang tetap berlangsungnya kejayaan Jawa, akan tetapi hanya berpindah tempat dari Majapahit ke
Demak.'52
Kerajaan Demak yang dianggap sebagai pengganti Majapahit, semakin memperluas wilayah kekuasaannya, khususnya
ke daerah-daerah pantai (kota-kota pelabuhan) utara pulau Jawa, bahkan sampai ke Sumatra. Putera Raden Patah bernama
Pati Unus yang pada waktu itu menjabat adipati di Jepara, sangat giat membantu usaha ayahnya, yaitu memperluas dan
memperkuat kedudukan kerajaan Demak sebagai kerajaan Islam. Pada tahun 1515 wilayah Demak sudah meliputi daerah
pesisir utara pulau Jawa, yaitu dari Demak hingga Cirebon, bahkan sampai di Palembang. Sementara itu untuk daerah-daerah
di sebelah timur Demak akhirnya juga ditaklukan dengan peperangan-peperangan yang terjadi antara tahun 1525-1546.
Sebagai ibukota kerajaan, Demak sangat strategis dan menguntungkan baik untuk perdagangan maupun pertanian. Pada
zaman itu diperkirakan letak wilayah Demak berada di tepi selat di antara pegunungan Muria dan Jawa yang dapat dilayari.
Dengan demikian kapal-kapal dagang dari Semarang dapat mengambil jalan pintas untuk berlayar ke Rembang.I53
Sejarah Maritim Indonesia I 107

Gambar 3.8. Masjid Demak


Sumber: H.J. de Graaf, Geschiedenis van Indonesie,
`s Gravenhage: Hoeve, 1949)

Menurut cerita babad, balk dari Jawa Timur maupun Jawa Tengah, ketika Raden Patah wafat pada tahun 1518, Pati Unus menggantikannya
menjadi Sultan. Ia juga terkenal dengan sebutan Pangeran Sabrang Lor. Nama itu diambil dari asal usulnya atau daerah tempat tinggalnya yaitu di
seberang Utara. Ada juga yang menghubungkan nama itu dengan percobaannya menyeberangi laut Jawa ke Malaka untuk mengusir Portugis yang
telah menguasai Malaka pada tahun 1511. Sementera menurut Tome Pires penguasa kedua di Demak adalah Pate Rodim Sr. Sebagai penguasa negeri
maritim atau kota pelabuhan, is mempunyai armada laut yang cukup kuat , yaitu terdiri dan 40 kapal jung, bahkan ada yang menyebutkan 100 kapal
jung. Sumber yang lain menyebutkan bahwa Pate Rodim Sr. tidak lain adalah Pangeran Sabrang Lor atau juga Pati Unus. Dengan armadanya itu is
berhasil menaklukkan beberapa kota pelabuhan di Sepanjang pantai utara pulau Jawa dan Sumatra. Di samping itu, pada masa pemerintahan Pati
Unus atau
108 Pasang Surut Kerajaan-Kerajaan Maritim di Indonesia

Pangeran Sabrang Lor, tepatnya tahun 1512 dan 1513 Demak menyerang Malaka. Sayang sekali bahwa cita-citanya untuk
menghancurkan Portugis di Malaka tidak menjadi kenyataan. Bahkan ia banyak kehilangan armada lautnya. Kekalahan itu
terutama disebabkan oleh armada Portugis yang dari segi tehnik persenjataannya ternyata memang lebih unggul.
Berdasarkan sumber babad juga disebutkan bahwa penguasa ketiga Kasultanan Demak adalah Trenggono atau
Trenggono yang memerintah sampai tahun 1546. Ia tidak kalah giatnya dari Pati Unus dan ayahnya dalam memperkokoh
singgasana Demak dan menegakkan tiang-tiang agama Islam. Adanya orang-orang Portugis di Malaka dianggap sebagai
ancaman dan bahaya bagi eksistensi kasultanan Demak. Oleh karena belum sanggup langsung menggempur mereka, ia
berusaha membendung ekspansi bangsa Portugis yang sementara itu telah berhasil menguasai pula daerah Pasai di Sumatra
Utara. Mendez Pinto menggambarkan Trenggono pada tahun 1540-an sebagai seorang "kaisar" di Jawa dan pulau-pulau di
sekitarnya. Namun demikian Demak masih harus melawan kerajaan-kerajaan "kafir" (kerajaan non Islam) di Jawa Timur.
Seorang Portugis lain yang berkunjung ke Jawa pada saat yang sama menyatakan bahwa tujuan ekspansi Trenggono adalah
mengislamkan semua penduduk di sekitarnya, sehingga ia sendirilah yang akan menjadi 'Sultan Turki' kedua, yang jauh lebih
besar dan berkuasa dibanding Malaka (Portugis ).154
Sultan Trenggono juga meresmikan Masjid Raya di Demak yang sangat terkenal, yang dibangun oleh para Wali (tokoh ulama
penyebar agama Islam di Jawa). Tome Pires menyebut nama sultan ini sebagai Pate Rodim Jr atau Patih Rodim Muda. Dalam masa
pemerintahannya wilayah kerajaan telah diperluas ke barat dan timur, dan masj id Demak telah dibangun sebagai lambang
kekuasaan Islam. Kekuatan Demak terpenting adalah kota pelabuhan Jepara, yang merupakan kekuatan taut terbesar di !alit Jawa.
Pada masa pemerintahan Sultan Trenggono, dia berusaha memimpin suatu koalisi Islam yang diperkirakan telah digunakan untuk
menghancurkan kerajaan Hindu-Budha terakhir yang berpusat di Kediri. Namun demikian ia tidak merebut kekuasaan kerajaan
Jawa yang telah mapan itu. Hanya saja sekembalinya ke pusat
Sejarah Maritim Indonesia I 109

kekuasaannya di Demak, Sultan Trenggono terus menerus menyerang sejumlah musuh yang masih memeluk agama Hindu. Gelar
Sultan yang menurut tradisi disandangnya sejak tahun 1524 dengan hak (otorisasi) yang di bawa Sunan Gunung Jati dari Mekkah
merupakan indikasi bahwa Demak adalah sebuah kerajaan dengan tradisi baru, yaitu dalam bentuk kesultanan. Gambaran itu
menunjukkan bahwa Demak benar-benar merupakan kekuatan yang terpenting di Jawa pada abad ke-16. Walaupun mengalami
kekalahan di Malaka, Demak berhasil memperluas wilayahnya di pantai utara Jawa. Berdasarkan Babad Sangkala dan berita
Portugis, Demak berhasil merebut kota kerajaan Kuno Majapahit pada tahun 1525 sampai 1527, Tuban pada tahun 1527, dan
Surabaya pada tahun 1531. Sesudah jatuhnya kerajaan Majapahit pada 1527, para vasal Majapahit yang terletak di ujung Timur
Jawa merupakan daerah yang paling lama bertahan melawan kekuasaan Islam di Demak. Dua di antara kerajaan-kerajaan itu
adalah Panarukan dan Blambangan. Keduanya merupakan bandar yang cukup penting. Baru pada tahun 1546 Blambangan
berhasil direbut, sedangkan Pasuruan belum berhasil dikalahkan karena raja Majapahit meninggal dunia.'" Namun demikian tidak
lama sesudah itu akhirnya pasuruhan juga jatuh ke tangan Demak.
Selama abad ke-16 terjadi pula suatu transformasi luar biasa di bidang budaya di kota-kota pelabuhan di Jawa, yang ketika itu
merupakan pusat-pusat kekayaan dan ide-ide yang menarik minat orang-orang Jawa yang berbakat. Masjid-masjid dan makam-
makam suci dibangun dengan paduan batu bata dan seni ragam hias Majapahit dan pilar-pilar raksasa dari kayu meniru pendopo
Jawa untuk keperluan ritual Islam. Kreativitas seni panggung Jawa boleti jadi diubah atau diciptakan dengan mengganti bentuk
manusia menjadi bentuk wayang yang disesuaikan agar tidak `mengganggu' orang-orang Islam yang saleh, yang tidak mengenal
seni panggung. Dengan demikian norma-norma Islam memang bukan satu-satunya yang terdapat di kota-kota pesisir Jawa pada
abad ke-16.'s6
Menurut Manuel Pinto, raja Jawa di Demak berusaha mengislamkan seluruh pulau Jawa. Di samping itu Raja Demak ini
mengira akan dapat dengan mudah menjatuhkan Malaka dan daerah-daerah lain dengan menutup jalur-jalur pengiriman bergs dari
Jawa. Berdasarkan berita seorang Portugis, De Couto, untuk melaksanakan salah satu
110 Pasang Surut Kerajaan-Kerajaan Maritim di Indonesia

ekspedisinya melawan Malaka yang dijajah Portugis, pada tahun 1564 Raja Aceh Ala'ad-din Shah mengirim utusan untuk
meminta bantuan dari raja Demak. Akan tetapi permintaan itu ditolak oleh raja Demak dengan alasan ia tidak rela jika Raja
Aceh itu menang atas orang Portugis. Lebih dari itu ia juga khawatir apabila Aceh menjadi sangat berkuasa dan pada
gilirannya akan berusaha memasukkan Jawa ke dalam daerah pengaruhnya. Oleh karena itu disamping ditolak, para utusan
dari Aceh itupun bahkan dibunuh di Demak.'57
Politik ekpansi yang dilakukan oleh Demak ternyata juga mendapat dukungan atau bantuan dari seorang Ulama
terkemuka yang berasal dari Pasai bernama Fatahillah. Menurut Husen Djajadiningrat, nama lain dari Fatahillah adalah
Nurullah yang kemudian oleh Portugis dikenal dengan nama Faletehan dan Tagaril. Orang juga mengenalnya dengan nama
Sunan Gunung Jati. Ketika pada tahun 1521 Pasai diserbu oleh Portugis, Fatahillah yang dikepung oleh orang-orang Portugis
berhasil melarikan diri dan pergi ke Mekkah. Sekembalinya dari Mekah ia tidak kembali ke Pasai tetapi langsung menuju
Demak. Kedatangannya di Demak yang dengan senang hati diterima oleh Trenggono, adalah setelah melarikan diri dari
kepungan orang-orang Portugis. Lebih dari itu ia akhirnya dikawinkan dengan adik sang raja sendiri. Hubungan perkawinan itu
memang menguntungkan, karena Fatahillah adalah or-ang yang dapat melaksanakan maksud-maksud Trenggono. Atas
bantuannyalah kesultanan Demak berhasil menghalangi kemajuan ekspansi orang Portugis dengan merebut kunci-kunci
perdagangan kerajaan Pajajaran di Jawa Barat yang belum masuk Islam, yaitu Banten pada tahun 1524 dan Sunda Kelapa pada
tahun 1526)58 Atas peran Nurullah ini maka Banten dapat didirikan pada tahun 1524)"
Kesultanan Demak mulai mengalami kemerosotan setelah meninggalnya Sultan Trenggono pada tahun 1546.
Kematian Sultan itu
terjadi secara mendadak dalam suatu ekspedisi militer dalam usahanya menaklukkan Pasuruan di ujung Jawa Timur.
Sesudah itu terjadilah kekacauan dan persaingan di antara para talon pengganti raja. Sebagai puncaknya adalah meletusnya
konflik perebutan kekuasaan atau perang suksesi di antara adik dan putera Sultan Trenggono. Adik Trenggono terbunuh
ditepi sungai (oleh karena itu dikenal dengan nama Pangeran
Sejarah Maritim Indonesia 111

Sekar Seda ing Lepen), sementara itu putera Sultan Trenggono, Pangeran Prowoto, beserta keluarganya kemudian dibinasakan
oleh putera Pangeran Sekar Seda Ing Lepen yang bernama Arya Penangsang.160
Akibat dan situasi tersebut di atas, pelabuhan laut kota Demak menjadi kurang berarti pada akhir abad ke-16. Namun
demikian sebagai produsen beras dan hasil pertanian lain peranan Demak digantikan oleh Jepara, khususnya di bawah pemerintahan
Ratu Kalinyamat. Demikian juga di bawah pemerintahan Mataram, kota pelabuhan Demak masih cukup lama mempunyai kedudukan
penting dalam perekonomian kerajaan Mataram. Surutnya kesultanan Demak itu kemudian digantikan oleh munculnya kasultanan
Pajang sekitar tahun 1568 yang meliputi sebagian dan wilayah Kesultanan Mataram Islam, sementara kesultanan Mataram baru
muncul di Jawa Tengah pada akhir abad ke-16. Dalam perkembangannya akhirnya Mataram juga berhasil mengembangkan
wilayahnya yang meliputi hampir seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur.161
Seperti telah disebutkan di muka bahwa sebagai akibat Perang Pacina, Demak diserahkan kepada Kompeni pada tahun
1746. Pada masa Kompeni itu pelabuhan Demak dengan lojinya dipergunakan Kompeni untuk melayani pelayaran dan
perdagangan antara pulau. Komoditi ekspor utama dari Demak adalah beras. Bahkan pada masa itu Demak dikenal sebagai
"de rijstcultuur der maatschappij" atau sebagai gudang beras.
112 Pasang Surut Kerajaan-Kerajaan Maritim di Indonesia

Gambar 3.9. Pelabuhan Juana tahun 1770, salah satu pelabuhan di


Kadipaten Rembang
(Sumber: Q Knaap, Shallow Waters, Rising Tide, 1996, hlm. 2)

3. Kerajaan Banten
Sebelum munculnya zaman Islam, Banten sudah menjadi kota yang relatif penting bagi perdagangan dan pelayaran. Pada waktu
itu kota pelabuhan Banten berada di bawah kekuasaan raja Hindu Sunda yaitu Pajajaran. Daerah ini dibawah kekuasaan seorang Adipati
yang ditempatkan di Bandar itu, dengan kotanya yang terletak ditepi sungai.' 62 Pada awalnya pusat kota Banten tidak terletak di daerah
pesisir, akan tetapi di suatu tempat yang disebut dengan nama Banten Girang, walaupun Banten pesisisir pada saat itu sudah merupakan
pelabuhan dagang. Banten yang kemudian bergeser ke daerah pesisir adalah kota
Sejarah Maritim Indonesia I 113

pelabuhan Banten setelah berkembangnya agama dan pemerintahan Islam.


Dalam laporan perjalanan Tome Pires (1513) disebutkan bahwa Banten merupakan salah satu bandar kerajaan Sunda
Pajajaran, yang dikepalai oleh syahbandar. Bahkan hubungan dagang Banten menjangkau sampai wilayah Sumatra dan
kepulauan Maladewa. Komoditi lada, beras, dan bahan makanan lainnya merupakan daya tarik bagi para pedagang/pelaut
asing untuk datang ke Banten)63 Sumber lain menyebutkan bahwa sebelum masuknya Islam, daerah pesisir Banten sudah
merupakan bandar internasional)64Dengan kata lain Banten pada waktu itu sudah termasuk dalam jaringan "jalur sutra" (Silk
Road).165 Hal itu tentu saja didukung oleh letak geografis Banten yang strategis bagi lalulintas pelayaran dan perdagangan, baik
antardaerah atau antarkerajaan di Nusantara maupun antarbangsa.
Pada tahun 1524 atau 1525 Nurullah dari Pasai yang kelak menjadi Sunan Gunung Jati, berlayar dari Demak ke Banten
untuk meletakkan dasar bagi pengembangan agama Islam dan bagi perdagangan orang Islam. Menurut cerita Jawa-Banten,
sesampai di Banten ia berhasil menyingkirkan bupati Hindu Sunda dan mengambil alih pemerintahan atas kota pelabuhan.
Untuk menunjang keberhasilan tersebut ia mendapat bantuan militer dari Kesultanan Demak di bawah Sultan Trenggono.
Langkah berikutnya adalah mengislamkan Jawa Barat dengan merebut pelabuhan Sunda Kelapa pada tahun 1527) 66 Namun
demikian sebagai alasan lain yang tidak kalah pentingnya adalah karena Portugis sudah datang berdagang di Sunda Kelapa
pada tahun 1525. Bahkan Portugis sudah membangun pangkalan atau semacam benteng untuk armadanya. Dalam serangan
itu akhirnya Portugis dapat diusir dan Sunda Kelapa diduduki oleh pasukan gabungan Banten, Demak dan Cirebon. Kota
pelabuhan ini berganti nama menjadi Jayakarta. Penguasa Islam baru atas Banten dan Sunda kelapa rupanya tidak berusaha
menyerang kota Kerajaan Pakuwan (Pajajaran), yang terpotong hubungannya dengan daerah pantai oleh daerah-daerah
pedalaman dan pegunungan. Selanjutnya Nurullah memperluas kekuasaannya ke kota-kota pelabuhan Jawa Barat lain yang
semula masuk wilayah kerajaan Pajajaran.
114 Pasang Surut Kerajaan-Kerajaan Mariam di Indonesia

Setelah menjadi kerajaan Islam dan ibukotanya pindah ke daerah pesisir (Banten Lama sekarang) pada tahun 1526,
bandar Banten semakin berkembang dengan pesat. Banten menjadi salah satu bandar terpenting di Nusantara dan sekitam. ya,
serta dikunjungi dan ditinggali oleh bangsa-bangsa dari berbagai negeri di Asia maupun Eropa. Keberhasilan Banten terutama
didorong oleh kedudukan Banten yang sudah mandiri dan lepas dari kekuasaan kerajaan Hindu Sunda/Pajajaran. Banten
bahkan dapat menguasai daerah-daerah lain seperti Lampung dan Sunda Kelapa. Dengan demikian penguasa Banten secara
bebas dapat dan mampu mengembangkan ibukota kerajaan itu menjadi kota bandar yang besar.'"
Catatan paling lengkap mengenai kerajaan Banten adalah tentang pasar besar Banten yang berada di luar tembok kota
sebelah timur, yang berlokasi dekat pantai. Sekitar tahun 1600, pasar ini tampaknya merupakan gabungan dari fungsi
perdagangan besar dengan perdagangan eceran, asing dengan domestik, laki-laki dengan perempuan, dan bahan makanan
sehari-hari dengan barang dagangan dari tempat yang jauh. Setiap pagi dapat ditemui para saudagar dari berbagai bangsa,
seperti Portugis, Arab, Turki, Cina, Keling, Pegu, Melayu, Benggala, Gujarat, Malabar, Abesinia, dan dari setiap daerah di Hindia
untuk melakukan aktivitas dagang.'" Perempuan setempat menjual lada, juga bahan makanan kepada pembeli asing, sementara
setiap kelompok saudagar asing mempunyai tempat untuk menjual barang-barang mereka. Ini sekaligus merupakan pasar harian
untuk bahan makanan seperti beras, sayuran, buah-buahan, gula, ikan dan daging, dan tempat untuk menjual hewan ternak,
tekstil, lada, cengkih, pala, senjata, perkakas dan barang-barang logam. Pasar itu diatur oleh Syahbandar yang
menyelenggarakan pengadilan secara teratur untuk menyelesaikan persengketaan perdagangan.' 69 Pada abad ke-16 lada
memang merupakan komoditi ekspor terpenting di kota-kota pelabuhan Jawa Barat. Komoditi itu mula-mula terbatas
diperdagangkan di Sunda Kelapa, tetapi kemudian meluas sampai ke Banten. Orang Portugis juga senantiasa singgah di.
Banten untuk kepentingan perdagangan rempah-rempah khususnya lack. Demikian juga orang Cina, tidak mau ketinggalan ikut
ambil bagian dalam perdagangan lada tersebut."° Penghasil rempah-rempah yang paling utama di Nusantara adalah kepulauan
Maluku, khususnya untuk cengkih
Sejarah Maritim Indonesia 115

dan bunga pala, sedangkan Sumatra Selatan dan Jawa Barat adalah penghasil merica (lada)."'
Seperti telah dijelaskan di bagian depan, pendiri Banten sebagai kerajaan maritim Islam adalah Syarif Nurullah, atau
Sunan Gunung Jati, atau Fatahillah. Dialah penyebar agama Islam di Jawa Barat, terutama di Banten dan Cirebon.
Pengaruhnya bahkan dirasakan sampai di luar Jawa, yaitu Makasar, Hitu (Ambon), dan Ternate. Pemerintahan daerah Banten
dipegang sendiri oleh Fatahillah, sedangkan daerah Cirebon ia serahkan kepada puteranya, Pangeran Pasarean. Ketika pada
tahun 1552 Pangeran Pasarean wafat, Fatahillah sendiri pergi ke Cirebon untuk mengendalikan pemerintahan dengan gelar
Sultan Maulana Syarif Hidayatullah. Sementara kekuasaan pemerintahan di Banten ia serahkan kepada puteranya yang lain,
yaitu Hasanuddin. Dalam riwayat Banten, Hasanuddin dianggap sebagai raja pertama di Banten dan sebagai pendiri
keturunan sultan-sultan Banten. Ia menikah dengan putri Sultan Trenggono pada tahun 1552.
Sementara itu Hasanuddin di Banten semakin berkuasa, dan tidak lagi menghiraukan Demak yang sejak sekitar tahun
1550 mulai melemah. Bahkan pada tahun 1568 ia memutuskan sama sekali hubungannya dengan Demak, dan mejadi raja
pertama di Banten. Di samping hams memperkokoh kedudukannya, is juga memperluas wilayah kekuasaannya sampai daerah
Lampung. Dengan demikian ia menguasai daerah penghasil lada dan sekaligus perdagangan di sana. Hasanuddin wafat pada
tahun 1570, dan digantikan oleh puteranya yaitu Panembahan Yusuf. Panembahan Yusufjuga giat memperluas wilayah
kekuasannya, antara lain dengan menghancurkan kerajaan Pajajaran yang masih belum Islam. Pada tahun 1580 ia wafat dengan
meninggalkan kerajaan Banten yang sudah kuat dan wilayah kekuasaannya yang luas.
Penguasa Banten selanjutnya adalah Maulana Mohammad yang
meneruskan usaha ayahnya untuk memperluas wilayah kekuasaan disertai dengan penyiaran agama Islam. Hal yang cukup
menarik dari masa pemerintahannya adalah digunakannya bahasa Melayu (selatan) sebagai bahasa pergaulan (lingua
franca) di wilayah kekuasaannya di Banten sendiri sampai ke Lampung dan sekitarnya (Sumatra Selatan). Daerah taklukkan
raja-raja Banten ini ternyata merupakan daerah
116 Pasang Surut Kerajaan-Kerajaan Maritim di Indonesia

penghasil lada yang besar. Perdagangan lada inilah yang telah membuat Banten menjadi kota pelabuhan penting, yang
disinggahi oleh para pedagang Cina , India, dan Eropa.'"
Pada tahun 1596 Maulana Mohammad yang masih muda itu melancarkan serangan kepada Palembang dalam rangka
memperluas wilayah kekuasaannya. Pada waktu itu Palembang di perintah oleh Ki Gede ing Suro, seorang penyiar Islam
keturunan Surabaya yang meletakan dasar-dasar untuk kasultanan Palembang, dan sangat setia kepada Mataram. Dalam masa
pemerintahannya (1572-1627) Palembang menjadi sangat maju, sehingga oleh Banten dianggap sebagai saingan penting,
khususnya dalam perdagangan lada. Dalam serangan itu Palembang hampir saja dapat dikalahkan, jika Sultan Banten tidak
terkena peluru dan menemui ajalnya. Oleh karena itulah akhirnya serangan terpaksa dihentikan dan tentara Banten kembali ke
Jawa.'"
Meskipun gagal menguasai Palembang, pada sekitar tahun 1600-an Banten mengalami jaman kejayaan. Banyak sekali
pedagang asing dari luar Banten yang hendak membeli atau menjual lada, datang beramai-ramai ke Banten. Dengan demikian
Banten adalah pusat perdagangan, baik untuk lada dari Banten dan Lampung maupun untuk cengkeh serta pala dari Maluku.
Namun demikian ada faktor lain yang menjadi pendorong berkembangnya perdagangan Banten dan kota-kota pelabuhan lain
seperti Aceh dan Makasar yang menggantikan Malaka, yaitu direbutnya Malaka oleh Portugis pada tahun 1511. Sejak saat itu,
dengan alasan keagamaan, para saudagar dari India dan Timur Tengah lebih suka menghindari Malaka dan mencari kota-kota
pelabuhan yang berpenduduk muslim. Pada masa ini perdagangan rempah-rempah dari Nusantara, khususnya lada dari Banten,
mulai meningkat tajam hingga mencapai puncaknya pada tahun 1660-an. Dua jalur pelayaran dari Banten ke ujung utara
Sumatra dan Malaka adalah melalui atau menyusur pantai barat Sumatra dan menyusur pantai timur Sumatra, lewat
Palembang dan beberapa pulau kecil yang menjadi persinggahan. Di samping itu masih terdapat jalur pelayaran dan
perdagangan ke wilayah Nusantara lainnya yaitu ke Demak, Banjarmasin, dan Timor.'" Selanjutnya rute perjalanan itu menuju
teluk Bombay yaitu Gujarat, dan para kafilah melanjutkannya sampai Sungai Nil di Kairo (Mesir). Dengan
Sejarah Maritim Indonesia I 117

menyusur sungai Nil komoditi dari Nusantara itu selanjutnya diangkut menyeberangi laut Tengah ke Venesia, Genoa, dan
pelabuhan-pelabuhan Eropa lainnya, seperti pelabuhan Yugoslavia, Rogusa atau Dubrovnik di laut Adriatik.'"
Ada yang mengatakan bahwa Banten merupakan emporium terbesar di Nusantara, atau bahkan mungkin lebih besar
daripada Malaka.'" Banten merupakan tempat pertemuan dari jalur-jalur perniagaan dari Nusantara, bahkan dari luar
Nusantara seperti Cina, India dan Timur Tengah. Hal itu bisa dimengerti karena masa kejayaan Banten bersamaan dengan
kedatangan bangsa-bangsa Barat ke Asia yang juga ikut aktif terlibat dalam dunia perdagangan. Di samping itu Banten
berhasil mencegah Portugis untuk menguasai perdagangannya seperti yang terjadi di Malaka. Hal itu terjadi ketika
Fatahilah, pendiri Banten, berhasil menggagalkan usaha Portugis untuk menguasai dan menancapkan kekuasannya di Sunda
Kelapa.
Ketika Belanda datang ke Banten untuk pertama kalinya, tempat itu sudah berkembang menjadi bandar perdagangan
yang penting. Disebutkan bahwa di kota pelabuhan itu terdapat tiga pasar tempat diperdagangkannya berbagai komoditi.
Salah satu dari pasar itu dilukiskan terletak di sebuah alun-alun sebelah timur kota. Berbagai bangsa yang melakukan aktivitas
perdagangan di pasar itu antara lain Portugis, Arab, Turki, Cina, Qilin, Pegu, Melayu, Bengal, Gujarat, Malabar, Abesinia, dan
lain-lain. Kedua pasar yang lain adalah Pabean yang menjual segala macam kebutuhan, dan pasar Pacinan.m Berbagai barang
dagangan yang diperjualbelikan di pasar itu antara lain lada, pala, semangka, nanas, berbagai senjata (tombak, keris, pisau
dan lain-lain), cendana putih dan kuning, gula, madu, kacang-kacangan dan sebagainya. Di samping itu juga terdapat pasar
burung yang memperjualbelikan itik, ayam,burung dan lain sebagainya. Orang Cina pada umumnya berdagang permata, kain
(termasuk sutra), porselin, bejana perunggu dan lain sebagainya, sementara pedagang Arab pada umumnya berjualan batu-
batuan untuk perhiasan, baik yang berkualitas rendah maupun batu setengah mu lia. '"
Dan peta kota pelabuhan Banten tahun 1620 dapat diketahui bahwa di sebelah kanan kota Banten terdapat wilayah
pemukiman
118 Pasang Surut Kerajaan-Kerajaan Maritim di Indonesia

pedagang yang terdiri dari orang-orang asing, terutama etnis Cina. Di sebelah kirinya terdapat pasar yang lebih besar, tempat
para pedagang asing melakukan transaksi jual beli (perdagangan internasional). Sementara itu bersebelahan dengan pasar
tersebut terdapat perkampungan para pengrajin atau artisan. Pada bagian paling dalam, yaitu kota kraton Banten, dikelilingi
oleh benteng lengkap dengan gardu-gardu jaga. Dalam lingkungan kota kraton terdapat istana (kraton) dan paseban serta
pasar di sebelah utaranya. Sementara di sebelah paseban terdapat masjid, sedangkan di sebelah kiri kraton terdapat
bangunan-bangunan kerajaan untuk menyimpan senjata, mesiu dan sebagainya. Selanjutnya dengan jarak yang saling
berjauhan adalah kediaman para bangsawan yang dikelilingi perumahan penduduk pengikut mereka.

Peta 3.4. Ibukota Kraton Banten Pada Tahun 1620an

Sumber: Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce


1450-1680, II.
7. wedon Ail, a taKipal B. Piet24441^. hie Penni

9,- Ponca:ran Sataberog Lear,

ve k...4% nephew and ...nonce IP. *al Nos

Shn Sean-' fortnedy._ one d the pee rood Chine.*


rerr null of inner oily

aar gate

bulwark, defending a

grate a p nal gJdentely.seilled urban are.

A Royal Palace

B Greed Masque

C The small a city Markel

D The sheds Tot the king's pin sip.; war prehus

E The king's elephant hake

F Magazine foe the king's carmen Cl d guns, body mainlined)

G The po seba (a al un-alun) end trees where he normally holds counsel' g Royal paha on (balai)

H HMS< of king's welch.. J The Engish Facia y

Anstokratie eorrhounds,
1, Crud ne the young Hey
The Temengpung
1. Kier Kanda harming.

4. .4 weal 114111411,4n, Clint ut Oleren host


5. Salo (t gas 9anle,*oe the larays fanny 5. Parka Sad, a leaner resident ne Pah, k
Sejarah Mariam Indonesia I 119

Ketika Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) berhasil merebut Sunda Kelapa pada tahun 1627 dan memberi
nama baru yaitu Batavia, memang terjadi perlawanan atau peperangan cukup sengit. Namun demikian bisa diperkirakan
bahwa kehadiran VOC dengan bentengnya di Batavia pada mulanya bisa diterima Banten sebagai suatu keuntungan
strategis pula. Petunjuk mengenai hal itu dapat diketahui dalam buku Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten karya Husein
Djayadiningrat yang menjelaskan bahwa di antara para bangsawan Banten, Pangeran Pepatih dan Pangeran Manggala
berpendapat bahwa VOC berada di Batavia bukan semata-mata karena alasan politik, tetapi terutama karena
kepentingan ekonomi, khususnya monopoli perdagangan.'"
Puncak kejayaan Banten adalah pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682). Terhadap Batavia atau
Jakarta yang telah dikuasai VOC senantiasa terjadi konflik-konflik atau permusuhan, karena Tirtayasa mengangap bahwa
politik ekonomi VOC — untuk selanjutnya disebut dengan istilah Kompeni —yang ekspansif dan kolonialis sangat
membahayakan eksistensi kesultanan Banten. Sebaliknya Kompeni juga menganggap bahwa Banten adalah musuh terbesar
Kompeni. Namun demikian, untuk wilayah luar Jawa atau Nusantara, Tirtayasa mengembangkan politik diplomatik dan
perdagangan/pelayaran dengan bangsa-bangsa asing seperti Parsi, India, Arab, Cina, Jepang dan Pilipina. Bahkan is juga
berhubungan dengan bangsa Eropa seperti Ingris dan Perancis.'" Sayangnya kejayaan Banten itu akhirnya berakhir sebagai
akibat konflik intern keluarga kraton dan intervensi Belanda di dalamnya.
Hal itu berawal dari putra Sultan Ageng Tirtayasa yaitu Sultan Haji, yang berambisi untuk menggantikan kedudukan
ayahnya. Melalui persekutuan dengan Kompeni, Sultan Haji akhirnya memenangkan konflik itu, setelah pasukan Kompeni
menangkap Tirtayasa pada tahun
1682. Bahkan kraton di Tirtayasa akhirnya dibumihanguskan oleh Kompeni.
Sebagai imbalan jasa terhadap Kompeni yang telah membantu Sultan Haji, diadakan perjanjian antara Kompeni dengan
Sultan Haji yang berisi konsesi-konsesi yang menguntungkan VOC. Brdasarkan perjanjian itu Sultan Haji harus membayar ganti
rugi biaya perang kepada 120 Pasang Surut Kerajaan-Kerajaan Maritim di Indonesia

Kompeni sebesar 12.000 Ringgit. Di samping itu Sultan Haji terikat dengan ketentuan untuk tidak mengadakan
persekutuan dengan bangsa lain selain Kompeni. Dengan mengacu pada perjanjian itu akhirnya VOC mendirikan benteng
di Banten pada bekas benteng kesultanan yang telah dihancurkan."'
Demikianlah, walaupun keberadaan VOC di Batavia secara tidak langsung menyelamatkan Banten dan juga Cirebon
dari ancaman baik dari Mataram (Jawa Tengah) maupun dari Palembang, namun demikian Banten sebagai emporium
telah dihancurkan sendiri oleh VOC, yang sebelumnya memang telah didahului dengan blokade-blokade ekonomi
perdagangan dan konflik-konflik dengan Belanda.'" Bahkan pada masa pemerintahan Gubernur Jendral Daendels, keraton
Banten sama sekali dihancurkan, dan Kesultanan Banten dihapuskan.

Gambar 3.10. Pasar di Banten pada akhir Abad 16


(Sumber: Reid, Dari Ekspansi hingga Krisis, II, 124)

4. Kerajaan Cirebon
Muncul dan berkembangnya kota pelabuhan Cirebon tidak bisa
dilepaskan dari hubungannya dengan kota-kota pelabuhan di pesisir

.1‘•-T
p4-7

›.-mr•rotTzrsa? rex=
Sejarah Mariam Indonesia I 121

utara Jawa seperti Demak, Banten, Tuban dan Gresik. Hal itu juga berkaitan erat dengan persebaran agama Islam dan
peranan Cirebon itu di Jawa Barat.
Sebelum berkembangnya agama Islam di Jawa Barat, kota pelabuhan Cirebon berada di bawah kekuasaan raja Hindu
Sunda yaitu Pajajaran yang terletak di sebelah barat daya kota Cirebon yang sekarang. Dalam prasasti yang bernama
Huludayeuh dari daerah Cireban, sebelah utara Gunung Ciremai, diperoleh informasi bahwa Cirebon pada awal abad 16
memang termasuk dalam wilayah kerajaan Hindu Sunda di Pajajaran.'" Pada waktu Pajajaran diperintah oleh raja Sri Baduga
Maharaja (1474-1513), kerajaan itu mengalami kejayaannya. Pada masa itulah Cirebon bersama dengan pelabuhan-
pelabuhan di pesisir utara Jawa Barat yaitu Banten, Pontang, Tangerang, (Sunda) Kelapa, dan Indramayu juga mengalami
masa perkembangannya.
Berita tertua tentang Cirebon juga dapat diketahui dari buku Summa Oriental.'" Berdasarkan buku tersebut dapat
diketahui bahwa pendiri pedukuhan Islam pertama di Cirebon adalah Cu-Cu, ayah Pate Rodin Sr. Ada yang menganggap
bahwa keluarga Cina inilah yang kemudian menurunkan raja-raja Demak.'" Pada waktu itu Demak masih diperintah oleh
seorang penguasa kafir, vasal dari Majapahit. Penguasa Demak memanfaatkan jasa pedagang Cina untuk meningkatkan
perkembangan ekonomi kota pelabuhannya. Beberapa waktu kemudian is mengutus Cu-Cu ke Cirebon untuk
mengembangkan hubungan dagang yang makin luas antara Demak dan Jawa Barat. Setelah itu Cu-Cu kembali ke Demak
dan keluarganya memerintah di kota pelabuhan tersebut. Tome Pires menganggap penguasaan Demak atas Cirebon
adalah oleh karena Cirebon memiliki pangkaian laut yang bagus, sehingga dapat dimanfaatkan untuk dijadikan sebagai
salah satu pusat perdagangan Demak.186
Perdagangan laut antara para pedagang Cirebon dan Malaka
tampaknya sudah terjalin dengan balk sejak akhir abad ke- 14. Buktinya, kepala kampung Jawa di Malaka yang bernama
Upeh konon berasal dari Cirebon. Kepala kampung ini di Cirebon termasuk orang kaya yang terpandang, dan juga termasuk
anggota keluarga kerajaan. Ketika pelabuhan Cirebon masih berlokasi di Muara Jati, yang berarti jauh
122 Pasang Surut Kerajaan-Kerajaan Maritim di Indonesia

sebelum masa Islam, telah berdatangan kapal-kapal asing dari negeri Arab, Parsi India, Samodra Pasai dan juga Malaka.
Dengan demikian walaupun tidak sebesar bandar Banten dan Sunda Kelapa, bandar Cirebon waktu itu sudah tersentuh
oleh jaringan perdagangan dan pelayaran antar bangsa (internasional). Komoditi ekspor terpenting dari bandar Cirebon
antara lain beras, lada dan berbagai bahan makanan. Setelah merosotnya bandar Muara Jati, sebagai penggantinya
adalah Caruban atau Caruban Larang yang penduduknya sudah mulai memeluk agama Islam.
Dari pemberitaan Tome Pires diketahui bahwa beberapa puluh tahun sebelum kadatanganya pada tahun 1513, 187 baik
di Demak maupun Cirebon telah terbentuk kelompok-kelompok pedagang Islam yang saling berhubungan. Seperti telah
dijelaskan di muka (uraian mengenai Demak), ketika pertama kali datang ke Demak setelah melarikan diri diri dari kepungan
orang-orang Portugis, Fatahillah dengan senang hati diterima oleh Sultan Trenggono. Bahkan ia akhirnya dikawinkan dengan
adik sang raja sendiri. Selanjutnya dengan seizin Sultan Trenggono, Fatahillah atau Nurullah atau Syarif Hidayatullah
meninggalkan Demak menuju Cirebon dan kemudian ke Banten guna menyebarkan agama Islam di wilayah raja Pajajaran
yang masih beragama Hindu.'" Pada masa itu kota pelabuhan Cirebon yang banyak dihuni oleh masyarakat Cina Islam juga
termasuk wilayah kerajaan Demak. Menurut babad Jawa, setelah berhasil menguasai Banten, Sunan Gunung Jati menyuruh
seorang putranya yang bernama Pangeran Pasarean tinggal di Cirebon sebagai wakilnya, sementara ia sendiri tinggal di
Banten. Pangeran Pasarean menikah dengan seorang putri Demak, anak perempuan Sultan Trenggono. Ia meninggal dalam
usia muda, diperkirakan pada tahun 1552. Kematiannya merupakan alasan bagi ayahnya untuk pindah dari Banten ke
Cirebon selama-lamanya. Namun demikian selama Sultan Trenggono masih hidup, Faletehan di Cirebon selalu bersikap
sebagai vasal terhadap Raja Demak. Konon Faletehan kadang-kadang tinggal di Banten dan kadang-kadang juga di Cirebon.189
Bersama dengan para raja dari kota-kota pelabuhan di pantai utara Jawa yang merupakan vasal Demak, Sultan Demak
menetapkan Sunan
Sejarah Maritim Indonesia I 123

Gunung Jati atau Faletehan atau Syarif Hidayatullah penguasa atau raja Cirebon menjadi Panata Gama Rasul di tanah
Pasundan. Artinya bahwa dia adalah pemimpin penyiaran agama Islam di wilayah itu. Di samping itu is juga ditetapkan
sebagai Sunan Cirebon atau Sunan Gunung Jati, yang merupakan salah satu dari Wali Sembilan (Wali Songo), penyebar
agama Islam di Jawa.'9° Kesembilan tokoh Wali Sembilan itu adalah sebagai berikut:
1. Maulana Raden Rahmad (Sunan Ampel) berkedudukan di Suarabaya.
2. Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), berkedudukan di Tuban
3. Maulana Raden Paku (Sunan Giri) berkedudukan di Gresik
4. Maulana Syarifuddin (Sunan Drajat) berkedudukan di Sedayu.
5. Maulana Ja'far Shodiq (Sunan Kudus) berkedudukan di Ku-du s .
6. Maulana Raden Syahid (Sunan Kalijaga) berkedudukan di Kadilangu.
7. Maulana Raden Prawata (Sunan Muria) berkedudukan di Ku-dus.
8. Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) berkedudukan di Gresik.
9. Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung) berkedudukan di Cirebon.
Setelah kekuasaan Demak mulai menurun karena meninggalnya
Sultan Trenggono, Syarif Nurullah atau Sunan Gunung Jati mulai mengkonsentrasikan diri untuk mengembangkan Cirebon.
Sunan Gunung Jati inilah yang akhirnya berhasil mengubah Cirebon menjadi ibu kota kerajaan dan kota pelabuhan yang
merdeka. Apalagi di sekitar
pelabuhan utama Cirebon yaitu Muara Jati, terdapat banyak pedagang asing yang bertempat tinggal di sana, dan juga
terdapat pasar tempat memperdagangkan rempah-rempah, beras, hewan potong dan kain.v" Agar pelabuhan Cirebon dapat
berfungsi secara maksimal, Sunan Gunung Jati melakukan perbaikan pada berbagai bangunan atau fasilitas yang menunjang
aktivitas perdagangan dan pelayaran. Di samping itu juga dibangun semacam perbengkelan, baik untuk membuat maupun
124 Pasang Surut Kerajaan-Kerajaan Maritim di Indonesia

memperbaiki perahu-perahu ukuran besar yang mengalami kerusakan. Dalarn hal ini is bekerja sama atau memanfaatkan orang-
orang Cina muslim yang tinggal di Cirebon dan yang terkenal ahli dalam membuat jung (perahu) Cina. Dengan demikian pelabuhan
itu bisa dimanfaatkan secara maksimal baik oleh para pedagang pribumi atau pedagang asing yang
sudah banyak bertempat tinggal di sekitar pelabuhan Muara Jati seperti orang Cina dan Arab.
Di samping memperbaiki pelabuhan lama, Sunan Gunung Jati juga membuka pelabuhan baru yang diberi nama
pelabuhan Talang, yang berlokasi di pelabuhan Cirebon sekarang. Pelabuhan baru ini berkembang dengan cepat, dalam arti
sangat ramai dikunjungi oleh para pelaut dan pedagang dari luar Cirebon, khususnya dari Cina. Sebagai salah satu alasan
utamanya adalah karena letak pelabuhan itu dekat dengan kraton Cirebon. 192 Demikianlah pada masa itu Cirebon mulai
mengalami masa kejayaannya. Namun demikian berkembangnya pelabuhan Cirebon itu tidak hanya semata-mata karena
kedatangan para pedagang dan pelaut asing, tetapi juga karena peran daerah-daerah pedalaman sebagai penghasil
berbagai produk pertanian yang dibutuhkan oleh daerah-daerah di luar Cirebon atau bahkan luar Jawa. Daerah-daerah
pedalaman itu antara lain Kuningan, Galuh, Palimanan, Ciamis, Majalengka dan lain sebagainya.
Sebelum meninggal pada tahun 1568, kekuasaan Sunan Gunung Jati telah digantikan oleh putranya, Pangeran
Pasarean, yang berkuasa di Cirebon, dan Maulana Hasanudin yang berkuasa di Banten. Dua tahun setelah meninggalnya
Sunan Gunung Jati, Kesultanan Cirebon diperintah oleh Pangeran Suwarga sampai tahun 1649.
Masa kejayaan Cirebon mulai mengalami kemunduran pada awal abad 17, bersamaan dengan terjadinya konflik politik
militer antara Banten dan Mataram serta Belanda (VOC). Dalam hal ini Kesultanan Cirebon mengalami kebimbangan, apakah
akan berpihak pada Mataram dan Banten atau sebaliknya berpihak kepada VOC.193 Cirebon mempunyai hubungan politik
melalui perkawinan dengan Mataram, yaitu antara kakak perempuan raja Cirebon yang bernama Ratu Sakluh dengan raja
Mataram Sultan Agung, dan antara salah seorang putri Amangkurat I dengan Panembahan Girilaya dari Cirebon. Kebimbangan
itu berakibat
Sejarah Maritim Indonesia I 125

dicurigainya Cirebon oleh VOC. Cirebon dianggap telah membantu Mataram dalam ekspedisi Militer Sultan Agung ke Batavia
untuk menghancurkan Kompeni pada tahun 1628/29, padahal Cirebon lebih banyak menjalin hubungan perdagangan dengan
VOC di Batavia. Sebagai contoh pada tahun 1632 dan 1633 banyak kapal-kapal dari Cirebon yang datang ke Batavia membawa
komoditi beras, gula, minyak dan sebagainya untuk memenuhi kebutuhan Belanda di Batavia. Hal itu nampaknya terus
berlangsung cukup lama dari tahun ke tahun, karena pada tahun 1675 sebanyak 25 kapal dari Cirebon datang ke Batavia dengan
membawa muatan arak, asinan, gula hitam, beras, kapas, telur asin, gula putih, tembakau dan sebagainya.' 94 Dengan sistem
monopoli VOC yang dipaksakan melalui perjanjian-perjanjian dengan raja-raja Cirebon, mengakibatkan semakin surutnya
aktivitas pelayaran dan perdagangan ekspor di pelabuhan Cirebon, khususnya yang dilakukan baik oleh bangsawan maupun
pedagang dan pelaut Cirebon. Salah satu perjanjian yang terpenting adalah yang dibuat pada tahun 1681. Berdasarkan
perjanjian itu Kesultanan Cirebon terikat dengan ketentuan untuk selalu memelihara kepercayaan, menghormati dan menjaga
persahabatan yang telah dijalin dengan Kompeni.195 Dengan perjanjian itu VOC juga mendapat hak monopoli atas impor
pakaian, kapas, opium, dan monopoli ekspor untuk lada, kayu, gula, beras dan lain sebagainya.' 96 Dengan demikian perjanjian-
perjanjian itu secara politik dan ekonomi telah menyebabkan perdagangan Cirebon sangat tergantung dan bahkan berada di
bawah kontrol VOC. Untuk memperkuat posisinya, VOC membangun benteng yang diberi nama De Beschermingh. Benteng ini
sekaligus berfungsi sebagai tempat tinggal pimpinan Kompeni di Cirebon bersama dengan para perwira dan prajuritnya.
126 Pasang Surut Kerajaan-Kerajaan Maritim di Indonesia

Gambar 3.11. Pelabuhan Cirebon Tahun 1775

(Sumber: S. Zuhdi, Simpul-Simpul Sejarah Maritim, 2003, hlm. 43) 5. Kerajaan Gowa-Makassar

Jatuhnya Malaka pada tahun 1511 ke tangan Portugis telah menyebabkan terjadinya perubahan peta politik di
Nusantara pada abad XVI. Ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya perubahan tersebut. Pertama, menancapnya satu
kekuasaan Barat, yaitu Portugis sebagai bangsa Eropa pertama yang menguasai teritorial di Asia Tenggara. Portugis menjadi
salah satu kekuatan maritim baru dalam kancah perdagangan dan pelayaran di Asia dengan semboyannya yang khas, yaitu
Gold (berdagang demi kekayaan), Glory (berdagang demi kejayaan kerajaan), dan God (berdagang demi memuliakan Tuhan).
Untuk itu Portugis berdagang dengan membawa uang (emas dan Perak), senjata, dan kitab Injil, ajaran keselamatan agama
Kristen.' 97 Semboyan tersebut menambah persaingan perdagangan dan konflik politik yang semakin
Sejarah Maritim Indonesia I 127

tajam di perairan Nusantara antara Portugis dan pedagang-pedagang Asia, serta para pesaing Barat yang lain.
Kedua, pendudukan Malaka oleh Portugis berakibat runtuhnya kerajaan maritim Malaka. Namun dengan eksodusnya
para pedagang Asia dari Malaka menyebabkan tumbuhnya pelabuhan-pelabuhan niaga internasional baru yang menjadi
tempat persinggahan para pedagang, yaitu pelabuhan Aceh di utara, pelabuhan Banten di ujung Barat, dan pelabuhan
Makassar di sebelah timur. Pelabuhan-pelabuhan intemasional yang barn ini menjadi penopang utama kekuatan ekonomi
negara-negara maritim Aceh, Banten, dan Makassar selama tujuh dekade dalam abad XVII.
Kerajaan Gowa dari suku Makassar yang memiliki pelabuhan Makassar, muncul sebagai kerajaan maritim utama di
wilayah Nusantara bagian timur selama abad XVI hingga pertengahan abad XVII. Kerajaan-kerajaan maritim lainnya adalah
Bone, Wajo, Luwu dan Soppeng. Dalam konstelasi politik di kawasan tersebut, persetujuan Tellumpocco telah mempersatukan
tiga kerajaan, yaitu Bone, Wajo dan Soppeng. Gowa-Tallo juga sering disebut sebagai kerajaan Makassar. Tallo merupakan
kerajaan yang berbatasan dengan Gowa, akan tetapi selalu bersatu dengan Gowa sehingga merupakan kerajaan kembar. Istana
raja Gowa terletak di Sombaopu yang merupakan pusat kerajaan Makassar, sementara rajanya sering disebut raja Makassar
atau sultan Makassar.'" Sebuah karya sastra tradisional Sulawesi Selatan yang sangat terkenal, I La Galigo menceritakan bahwa
asal-usul masyarakat Sulawesi Selatan bermula dari dunia mitologis. Atas persetujuan para dewa, de Patotu mengutus
puteranya Batara Guru ke bumi di mana is berjumpa dengan We Niyilimo, seorang puteri dari dunia bawah yang muncul dari
Taut. Mereka kawin dan keturunannya berkuasa di Luwu.'99 Luwu akhirnya dikalahkan oleh kerajaan Gowa. Kelompok lain, yaitu
suku Bugis-Makassar menuturkan bahwa mitos asal mula kerajaannya bermula dari seorang dewi yang turun ke bumi, yaitu To
Manurung, yang bersedia ditahtakan oleh rakyat sebagai penguasa, didampingi oleh suatu dewan penasehat yang terdiri atas
para pemimpin rakyat. To Manurung menikah dengan Karaeng Bayo dan memerintah Gowa. Di bawah pemerintahan Tumappa
Risi Kallona Gowa beraliansi dengan kerajaan Tallo.'
128 Pasang Surut Kerajaan-Kerajaan Maritim di Indonesia

Gowa semula terdiri atas sembilan unit politik atau Salapang, yaitu Tombolo, Lakiung, Parang-parang, Data, Agangjene,
Saumata, Bissei, Sero, dan Kalli. Gowa kemudian sanggup berekspansi, menaklukkan kerajaan-kerajaan di sekitarnya. Kerajaan
ini mencuat di atas kerajaan-kerajaan lain di pantai Sulawesi Selatan karena faktor intern dan ekstern. Sebagai faktor intern
adalah timbulnya persaingan antara kerajaan-kerajaan Gowa-Tallo, Mandar, Luwu, serta Bone, Wajo, dan Soppeng
(Tellumpocco) untuk memperebutkan hegemoni di kawasan tersebut. Sementara itu faktor ekstern yang turut mempengaruhi
berkembangnya Gowa adalah berpindahnya para pedagang Asia dari Malaka ke pelabuhan-pelabuhan lain setelah tahun 1511.
Kedua faktor tersebut juga menjadi faktor pendukung bagi berkembangpesatnya Makassar sebagai bandar niaga dan
pangkalan pertahanan kerajaan.201
Kemunduran pelabuhan-pelabuhan di Jawa juga turut serta mendorong pertumbuhan pesat pelabuhan Makassar
pada bagian ke dua abad ke-17. Sebagai contoh, kemunduran pelabuhan-pelabuhan di Jawa Timur karena dikalahkan
Mataram pada dekade-dekade awal abad XVII menyebabkan perpindahan pusat perdagangan dari Jawa Timur ke Makassar.
Makassar menjadi tujuan untuk wilayah timur Nusantara, karena Makassar merupakan pelabuhan transito yang sangat
strategis, khususnya untuk mengangkut rempah-rempah dari Maluku dan transit komoditi beras dari Jawa ke Maluku dan
Nusa Tenggara. Peluang emas untuk menjadi pelaku aktif dalam perdagangan tidak disia-siakan oleh kerajaan Gowa yang
memiliki pelabuhan Makassar. Oleh karena itu Gowa tumbuh menjadi kerajaan maritim yang kaya.
Faktor ekstern yang lain adalah masuknya agama Islam di Sulawesi Selatan. Menurut tradisi Bugis dan Makassar,
mubalig pertama yang membawa ajaran Islam adalah Dato' ri Bandang dan Dato' Sulaeman. Dato' ri Bandang dikatakan
berasal dari Minangkabau, tetapi menurut tradisi Jawa Dato' ri Bandang adalah murid Sunan Giri."'Satu hal yang pasti adalah
bahwa pada awal mulanya agama Islam diperkenalkan di Sulawesi Selatan oleh para saudagar muslim, kemudian diperdalam
oleh para pendakwah dari Sumatra maupun Jawa.
Masyarakat Gowa dan Tallo lebih dahulu memeluk agama Islam, bare kemudian disusul rajanya yaitu Sultan Alaudin
pada tahun 1605,
Sejarah Maritim Indonesia I 129

selanjutnya disusul dengan pengislaman kerajaan Tallo. 2" Agama baru itu menambah semangat raja Gowa untuk
menaklukkan dan sekaligus mengislamkan kerajaan-kerajaan lain melalui penaklukan militer. Ekspansi Gowa sejak
pertengahan abad XVI hingga pertengahan abad XVII berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan di sekitarnya satu per satu.
Oleh karenanya di kawasan itu tinggal dua kerajaan yang menjadi pemimpin utama, yaitu Gowa dengan sekutunya Tallo dan
Luwu di satu pihak, serta Bone dengan sekutunya Wajo dan Soppeng di pihak lain. Pada tahun 1611 Bone beserta sekutu-
sekutunya dapat ditaklukkan oleh Gowa.204 Namun penaklukan itu menjadi perseteruan yang berkepanjangan antar dua
suku besar tersebut. Pada suatu saat Bone akan membela siri (harga diri) yang terluka dengan cara menaklukkan Gowa.
Ditinjau dari letaknya, kerajaan Gowa-Tallo dengan pelabuhan Makassarnya sangat strategis untuk kepentingan
perdagangan rempah-rempah di kepulauan Nusantara. Pelabuhan ini merupakan bagian dari jaringan pelayaran antara Maluku
dan Malaka. Kerajaan Gowa-Makassar juga memelihara hubungan yang sangat erat dengan wilayah-wilayah di sekitarnya
seperti Maluku, Nusa Tenggara, Jawa, dan Kalimantan. Hubungan perdagangan yang cukup intensif juga telah berkembang
antara Makassar dan Maluku, di mana beras dari Sulawesi Selatan dan tekstil (lokal dan impor) dipertukarkan dengan rempah-
rempah (cengkih, pala, dan fuli/bunga pala).205
Berkembangnya pelabuhan Makassar sangat sesuai dengan jiwa pelaut dan perantau dari orang-orang Bugis dan
Makassar. Sebagaimana diketahui, pedagang-pedagang dari Makassar dan Bugis merupakan pedagang sekaligus pelaut yang
mampu mengarungi seluruh lautan di Nusantara, mencapai kota-kota dagang penting seperti Batavia, Semarang, Surabaya,
Sumbawa, Timor, Bengkulu, Aceh, Perak, Malaka, Johor, Pelembang, Banjarmasin dan Manila. 206 Memperkuat pernyataan
tersebut, G.J. Resink dalam sebuah tulisannya yang berjudul "Perpustakaan Utama Josef Korzeniowsky Perihal Indonesia"
menyatakan bahwa Karzeniowsky (Conrad) dapat menjumpai orang Bugis di semua pelabuhan yang disinggahinya dari
Singapura sampai
130 Pasang Surut Kerajaan-Kerajaan Maritim di Indonesia

Bulungan, karena sesungguhnya orang Bugis dapat ditemukan di mana-mana di seluruh Nusantara dan Malaya."'

Gambar 3.12. Perahu Phinisi

Sebagai negara besar Gowa menjalin hubungan dagang dan hubungan diplomatik dengan negara-negara lain secara luas, mulai dari
Semenanjung Malaka (kerajaan Johor dan Patani), Kalimantan (kerajaan Banjar), Jawa Timur (kerajaan Blambangan), dan Maluku (kerajaan Ter-
nate).208 Kecuali itu Gowa juga menjalin hubungan dagang dengan kerajaan Aceh, Banten, dan Matalim. Ekspansi Gowa tidak hanya terbatas di
wilayah Sulawesi Selatan saja, tetapi melintasi samudera hingga ke pulau Buton, pulau Sula dan Banggai, menjelajah beberapa pulau di Nusa
Tenggara Timur, yaitu pulau Flores (Ende) dan pulau Sumbawa (Bima). Gowa biasa mengirim ekspedisi hingga 400 perahu untuk mendapatkan
pengakuan kekuasaan, selain membantu kesultanan Sulu dan Mindanao melawan Spanyo1.209
Sejarah Maritim Indonesia I 131

Pelabuhan Makassar menjadi semakin ramai dikunjungi oleh para pedagang. Apalagi ketika VOC melaksanakan sistem
monopoli rempah-rempah dari Maluku,n° banyak orang Maluku menyelundupkan rempah-rempah ke Makassar dan menjualnya
secara bebas. Sejak itu pelabuhan Makassar berubah menjadi pasar internasional yang dikunjungi oleh para pedagang dari hampir
semua bangsa. Selain bangsa-bangsa di Nusantara dan Asia seperti Gujarat, Srilangka, Cina, Jepang, dan Makao; di pelabuhan
Makassar juga bisa dijumpai para pedagang Barat seperti Belanda, Inggris, Porugis, dan Denmark. Komoditi yang dipasarkan meliputi
rempah-rempah (cengkih, pala, lada), porselein, sutera, emas, tembaga, permata (intan, berlian), kayu cendana, gading, Jilin, dan
budak.2"

Gambar 3.13. Pelabuhan dan kota Makassar pada abad ke-17


(Sumber: Heuken, "Be My Witness", 2002, him. 111)

Kebebasan perdagangan yang diterapkan oleh raja Gowa-Makassar adalah berdasarkan prinsip mare liberum atau laut
bebas.
132 Pasang Surut Kerajaan-Kerajaan Mariam di Indonesia

Artinya bahwa setiap orang bebas berlayar, karena Tuhan memberikan laut untuk semua orang. Itu berarti Gowa menentang
monopoli Belanda. Jelas hal itu sangat merugikan VOC dan membuatnya marah. Oleh karena itu pada tahun 1616 VOC
mengirim utusan kepada Sultan Ala'uddin di Makassar yang melarang orang Makassar berlayar ke kepulauan Maluku. Sultan
Makssar menolak tegas dengan jawaban sebagai berikut:
Tuhan telah menjadikan tanah dan laut; tanah dibagi di antara umat manusia dan laut dianugerahkan untuk kepentingan
berasama. Tidak pernah terdengar bahwa seseorang dilarang berlayar di laut. Bila anda melakukan hal itu, berarti anda
merampas
roti dan mulut rakyatku...212
Penolakan itu berakibat konflik berkepanjangan antara VOC dan Gowa-Makassar. Berbagai insiden terjadi, antara lain
pendudukan benteng Pa'Nakkukang oleh VOC, penyitaan muatan kapal Belanda oleh Karaeng Tallo (1662), dan peristiwa
"tawan karang" dari kapal VOC de Leeuwin (1664), mendorong VOC pada bulan November 1666 menyatakan perang kepada
Gowa-Makssar yang pada waktu itu diperintah oleh Sultan Hasanudin. 213
Perang Gowa-Makassar melawan VOC merupakan perang darat dan laut yang berlangsung selama tiga tahun (1666-
1669). Masing-masing pihak membangun kekuatan militer dengan manpower yang bertumpu kepada aliansi-aliansi dengan
berbagai kerajaan di wilayah tersebut. Gowa-Makssar merekrut pasukan dari para vasalnya, antara lain Tallo, Luwu, Soppeng,
Wajo, ditambah bantuan dari seberang lautan seperti Buton dan Sumbawa. Sementara itu di pihak VOC, Belanda telah lama
menjalin aliansi dengan Arung Palaka, raja Bone yang ditaklukkan oleh Gowa. Arung Palaka yang melarikan diri ke Batavia
membentuk kontingen Bugis dari pasukan VOC. Untuk menarik lebih banyak pengikut dari sukun Bugis, Arung Palaka sengaja
mendahului mendarat di Sulawesi Selatan dan mengadakan pertemuan dengan para bangsawan. Ternyata banyak di antara
mereka berpihak kepada Arung Palaka.214
Persiapan perang di pihak Gowa adalah beberapa benteng yang telah lama dibangun sejak awal konflik dengan VOC, yaitu
benteng Ujung Pandang di kota Makassar, benteng Sombaopu yang memiliki tembok setebal 3,5 meter, benteng Galesong, dan
banyak benteng yang lain.
Sejarah Maritim Indonesia I 133

Seluruh pasukan Gowa yang disiapkan berjumlah sekitar 30 ribu orang yang ditempatkan di benteng-benteng, dan
pulau Buton. Persenjataan di benteng Sombaopu tidak kurang dari 44 pucuk meriam besar dan kecil, 200 senapan dan
ribuan peluru. Logistik beras telah disediakan di Banthaeng sebanyak 6.000 ton. 2'5 Di pihak VOC, Bone, Soppeng (yang
telah menjalin aliansi dengan Bone sejak tahun 1667), dan Toangke berhasil merekrut sekitar 18.000 pasukan pribumi
di Sulawesi Selatan untuk melawan Gowa-Makassar. VOC mengirimkan 21 buah kapal dari Batavia yang mengangkut
1870 orang tentara dan pelaut.'''

Gambar 3.14. Benteng Sombaopu di Makassar sekitar th. 1638


(Sumber: Reid, Dari Ekspansi hingga Krisis, II, hlm. 109)

Serangan ke kerajaan Gowa dimulai dengan pendaratan di pulau Buton oleh Arung Palaka pada bulan Desember
1666, di mana banyak pasukan Gowa dari kontingen Bugis menyeberang ke Arung Palaka, sedangkan 5.000 pasukan
Makassar dilucuti. Kemenangan ini membuat pasukan Arung Palaka terus mendesak ke Banthaeng dan membakar habis
persediaan beras pasukan Gowa yang membuat pertahanan mereka
134 Pasang Surut Kerajaan-Kerajaan Maritim di Indonesia

semakin lemah. Kapal-kapal VOC menghancurkan benteng-benteng Gowa dengan membombardirnya dari laut. Dengan
menyerang Makassar dari arah laut dan darat akhirnya VOC dapat mengalahkan Makassar, dan Sultan Hasanudin mengajak
berdamai. Dalam perjanjian perdamaian di Bongaya pada tanggal 13 November 1667, Sultan Hasanuddin terpaksa menerima
tuntutan Cornelis Speelman sebanyak 26 butir yang dituangkan dalam perjanjian tersebut. Tidak sedikit butir-butir dalam
perjanjian Bongaya yang sangat merugikan Makassar. Butir-butir yang sangat merugikan tersebut adalah: 217
1. Makassar harus melepaskan suzereinitas atas kerajaan-kerajaan
lain.
2.Benteng-benteng hams dikosongkan.
3.Wilayah yang diduduki VOC hams diserahkan kepada VOC.
4.Kekuasaan atas Bima (Sumbawa) dialihkan kepada VOC.
5.Pembatasan pelayaran orang Makassar dan larangan berdagang orang Eropa di Makassar.
6.Pembebasan bea-cukai bagi barang-barang VOC.
7.Monopoli penjualan tekstil dan porselein Cina oleh VOC.
8.Yurisdiksi daerah pertahanan Ujung Pandang di tangan VOC.
9.Pembayaran kerugian akibat perang, jaminan berhutang kepada VOC, dan pengembalian kapal-kapal VOC yang
disandera beserta awak kapal dan senjatanya.

Dari isi perjanjian tersebut tampak jelas bahwa strategi VOC untuk mematahkan kerajaan Gowa-Makassar adalah
dengan menghancurkan kekuatan pelayaran dan perdagangan laut, agar dapat memegang hegemoni di lautan karena di
sinilah kunci untuk mengasai Nusantara. Hal itu antara lain dapat dilihat pada butir 8 dan perjanjian Bongaya sebagai
berikut:
..... De regeringe of onderdanen van Maccassar, en sullen naar desen haare vaerten nergens anders mogen maacken,
als op Baly, Javaense kust, Jaccatra, Bantam, Jamby, Palembang, Johor, Borneo, en gehouden wesen daartoe van de
commandant van wegen de Compagnie hier residerende, te vorderen pascedullen, oppene dat wie sonder deselve in
zee off elders comen te vinden, voor vijanden aangesien, en weggenomen sullen worden, sonder
Sejarah Maritim Indonesia I 135

dat voortaan op Biema, Soloor, Timor, etc. enige vaartuygen senden, off oock beoosten den hoeck van Lassem, zijnde
de Oostkant van de straadt Zaleyer, comen mogen, oock niet aan d'andere zijde benoorden of beoosten Borneo, naer
Mingdanau, of de eylanden daar omtrent, op verbeurte van lijff en goet der gener die daar elders comt gevonden to
werden.218

Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa baik pemerintah maupun penduduk Makassar dilarang untuk berlayar ke
Bali, sepanjang pantai Jawa, Jakarta, Banten, Jambi, Palembang, Johor, dan Kalimantan tanpa memiliki pas (ijin berlayar)
yang dikeluarkan oleh VOC. Apabila larangan itu dilanggar maka mereka akan dianggap musuh dan diusir dari tempat yang
mereka datangi. Kecuali itu orang-orang Makassar juga tidak diijinkan berlayar ke pantai utara dan pantai selatan
Kalimantan, Mindanao, dan pulau-pulau di sekitarnya. Tempat-tempat yang masih boleh didatangi secara terbatas oleh para
pelaut/pedagang Makassar hanya Bima, Solor, Timor, sebelah timur Lasem, dan bagian timur Selat Selayar. Dengan adanya
larangan berlayar dan berdagang di pelabuhan-pelabuhan tersebut di atas, praktis Makassar kehilangan jaringan pelayaran
dan perdagangan penting mereka yang selama ini menjadi pusat aktivitas dan tumpuan armada dagang kerajaan Makassar.
Pembatasan-pembatasan seperti tertuang dalam perjanjian Bongaya berupa sistem pas, kontrol yang ketat terhadap
pelabuhan-pelabuhan, dan kebijakan-kebijakan maritim lainnya, juga menyebabkan lepasnya pengaruh Makassar terhadap
beberapa kerajaan tetangga seperti Wajo (1670) dan Mandar (1677). 2'9
Perlawanan terhadap VOC terus berlanjut, terutama dari kerajaan Gowa dan para sekutunya. Pertempuran demi
pertempuran terus terjadi hingga mereka benar-benar dapat dipatahkan oleh VOC dan Bone dengan berbekal sir/ yang
mendasari permusuhan mereka dengan Gowa. Baru pada tahun 1669 Gowa benar-benar dapat ditundukkan dan pada tahun
1671 semua perlawanan dipatahkan. Arung Palaka dari Bone kemudian menjadi pemegang soverenitas di Sulawesi Selatan.'
Orang-orang Makassar yang tidak dapat menerima kekalahan terhadap VOC kemudian memilih berlayar
meninggalkan negerinya. Mereka mengembara sebagai bajak laut, atau mengunjungi kerajaan-
136 Pasang Surut Kerajaan-Kerajaan Mariam di Indonesia

kerajaan lain dan membantu perlawanan terhadap Belanda. Di antara orang-oarang tersebut adalah Karaeng Galesong
beserta anak buahnya yang menduduki Gresik dan Surabaya, serta bergabung dengan Trunojoyo yang memberontak
terhadap Sunan Amangkurat di Mataram. 221 Orang-orang Makassar dan bahkan juga orang-orang Bugis menjelajah lautan
menuju ke Pasir (Kalimantan Timur), Sumbawa, Banten, Johor, Riau, dan pulau-pulau lain. Mereka menjadi perompak atau
beraliansi dengan penguasa-penguasa setempat sebagai pejabat atau tentara bayaran.

C. Kawasan Laut Intl Laut Maluku


1. Kerajaan Ternate dan Tidore, dan Beberapa kerajaan lain di
Kepulauan Maluku

Kepulauan Maluku telah ikut mempengaruhi sejarah dunia berkat rempah-rempah (cengkih, pala) yang
dihasilkannya. Rempah-rempah ini menjadi komoditi berharga yang diburu orang di seluruh dunia, dan yang membawa
penjajahan Eropa di Nusantara dan Asia!
Kesaksian Tome Pires, pegawai Portugis yang mengunjungi Maluku (1512 -1513) menyaksikan betapa pulau-pulau ini
menghasilkan cengkih. Pulau-pulau penghasil cengkih tersebut adalah: Ternate, Tidore, Motir (vasal ternate), Makian (vasal
Tidore), dan Bacan. Pulau yang utama adalah Ternate yang rajanya bernama Bern Acorala. Ia bergelar Sultan (satu-satunya
yang bergelar demikian), dan menjadi raja yang paling berkuasa di antara kelima raja di pulau-pulat tesebut. Rakyat Ter-nate
adalah para ksatria (ahli perang). Ternate memiliki 100 perahu kora-kora dan mempunyai pelabuhan laut yang bagus serta
ramai dikunjungi oleh para pedagang.222
Gambaran di atas menunjukkan bahwa di bagian timur Nusantara telah berdiri kerajaan-kerajaan maritim yang kuat pada
awal abad XVI. Kerajaan yang pertama adalah Ternate, yang berdiri kira-kira pada abad ke XIII dan merupakan salah satu
kerajaan maritim terpenting di kawasan Indonesia bagian timur. Ibukota kerajaan ada di Sampulu, dengan sumber ekonomi
berupa perdagangan rempah-rempah. Komoditi ini menjadi faktor penting dalam perkembangan ekonomi kerajaan Ternate, dan
Sejarah Maritim Indonesia I 137

kerajaan lainnya di kepulauan Maluku. Perkembangan lebih lanjut mulai pada permulaan abad ke- 14 adalah semakin ramainya
pedagang-pedagang yang datang dari Jawa dan Melayu, khususnya ke Ternate dan Tidore. Perdagangan rempah-rempah
tersebut menjadi lebih ramai lagi dengan kedatangan para pedagang Arab. Intensitas perdagangan rempah-rempah di kawasan
tersebut juga menimbulkan persaingan yang ketat di antara pedagang dari berbagai daerah khususnya antara Ter-nate (yang
paling menikmati keuntungan dari perdagangan itu), Tidore, Bacan dan Obi. Bahkan para pedagang terkemuka di masing-
masing daerah itu telah menetapkan dirinya menjadi raja dan memimpin langsung dalam menghadapi pesaing mereka.
Demilcianlah perselihan antara Ter-nate dengan kerajaan di sekitarnya dan di antara kerajaan-kerajaan itu sendiri tidak dapat
dihindari. Padahal antara raja Ternate dan raja-raja di pulau-pulau lainnya terjalin hubungan kekerabatan. Misalnya raja Ter-
nate Bern Acorala adalah menantu raja Almancoor (Al-Mansur) dari Tidore. Demikian pula raja Ucen (Husen) dari Makian
adalah saudara raja Almancoor.223 Beruntunglah perselisihan itu akhirnya dapat diselesaikan melalui suatu pertemuan yang
dilaksanakan di Pulau Motir. Hasilnya berupa suatu persetujuan yang dikenal sebagai persetujuan Motir. Keputusan dalam
persetujuan tersebut adalah bahwa Raja Jailolo sebagai raja tertua disepakati menjadi raja utama, sedangkan raja Ter-nate
sehubungan dengan perananya yang penting dalam perdagangan dijadikan sebagai raja kedua, Tidore sebagai yang ketiga dan
Bacan yang keempat. Dalam perkembangan kernudian, pada akhir abad ke-15, Sultan Ternate menempatkan din sebagai raja
utama di Maluku.224
138 Pasang Surut Kerajaan-Kerajaan Maritim di Indonesia

Gambar 3.15. Pulau dan Benteng Ternate (Sumber: Heuken, "Be My Witness", 2002, hlm.86)

Sebagai pusat perdagangan, Ternate juga diramaikan dengan bermukimnya orang-orang Melayu, Jawa, dan Arab yang
beragama Islam. Agama Islam masuk ke wilayah ini melalui perantara para pedagang, termasuk ke dalam lingkungan istana.
Menurut Pires raja Ternate masuk Islam 50 tahun sebelum kedatangannya (1512-1513), jadi sekitar tahun 1460. Namun pada
tahun 1513 penduduk muslim baru mencapai sekitar 10 %. Selebihnya menganut kepercayaan animistik. 225 Ketika Raja Zainal
Abidin memerintah Ternate, mungkin dialah raja pertama yang memeluk agama Islam. Raja Zainal memperdalam agama
Islam di Gresik. Kegiatan semacam itu juga dilakukan oleh kepala daerah Hitu yang beragama Islam dari Ambon bernama Pate
Putih. Raja Zainal Abidin dan Pate Putih bertemu ketika berguru pada sebuah pesantren di Gresik. Dalam kesempatan
tersebut dilakukan persetujuan, yang kemudian dipergunakan oleh raja-raja Ternate untuk mengklaim kekuasaan atas
sebagian pulau Ambon.226 Dalam persaingan kekuasaan antara raja-raja di Maluku, pada awal abad XVI Ternate keluar sebagai
pemegang
Sejarah Maritim Indonesia I 139

hegemoni di Kawasan Laut Maluku, bahkan hingga ke Laut Banda dan Laut Flores.'
Di bidang ekonomi, meskipun Ternate hanya mengasilkan cengkih sebanyak 150 bahar228 per tahun, is mampu
menguasai perdagangan cengkih di pulau-pulau lain seperti pulau Motir yang memproduksi 1.200 bahar cengkih per tahun
(separuh pulau dikuasai Ternate dan separuh lainnya dikuasai Tidore), pulau Bacan yang menghasilkan 500 bahar cengkih
per tahun, dan Jailolo yang banyak memproduksi cengkih hutan. 229 Dengan armada ratusan perahu, tenaga pelaut,
pedagang, dan pendayung yang berjumlah ribuan orang, Ternate mampu memobilisasi perdagangan dan menegakkan
kekuasaan di berbagai pulau di Kawasan Laut Maluku dan Laut Seram.
Pesaing utama Ternate adalah Tidore, yang juga berusaha menegakkan kekuasaan di beberapa pulau seperti
Makian dan separuh pulau Motir. Persaingan inilah yang menyebabkan masuknya saudagar-saudagar Eropa (Portugis
dan Spanyol) untuk membentuk persekutuan dengan para pesaing di satu pihak. Di lain pihak, para saudagar Eropa yang
saling bersaing untuk berebut keuntungan ini juga memanfaatkan situasi dengan cara berkoalisi dengan salah satu pihak
yang bersaing (Ternate dan Tidore).
Pada mulanya raja Ternate menyambut Portugis yang datang ke Maluku sebagai mitra dagang. Sultan Ternate Abu
Lais bahkan mengizinkan Portugis membuka kantor dagang dan membangun benteng di Ternate pada tahun 1512. Portugis
juga mendapatkan monopoli perdagangan rempah-rempah, dengan harapan Ternate akan memperoleh persenjataan dan
mendapatkan sekutu kuat untuk menghadapi para pesaingnya. Namun keserakahan dan kekejaman orang-orang Portugis,
pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan, serta perbuatan lain yang menyinggung kehormatan bangsa Ternate akhirnya
mengubah persekutuan dengan Portugis menjadi permusuhan tak terdamaikan.2"

2. Intervensi Portugis, Konflik, dan Kejayaan Ternate


Persekutuan antara Ternate dan Portugis atas dasar saling menguntungkan justru digunakan Portugis untuk
mencampuri dan mengatur urusan internal pemerintahan Ternate. Sepeninggal Sultan Abu
140 Pasang Surut Kerajaan-Kerajaan Maritim di Indonesia

Lais (1522) Portugis menurunkan Sultan penggantinya dan mengangkat Tabarija sebagai sultan, namun kemudian
menawannya ke Goa, dan mengangkat Hairun, adik tirinya, sebagai Sultan Ternate (1535 — 1570). Sultan ini, meskipun
tetap setia sebagai vasal dan sekutu raja Portugal, namun is sangat membatasi perkembangan agama Kristen Katolik yang
dibawa dan disiarkan oleh Portugis. Hairun menjadi sekutu Portugis dalam perrnusuhannya dengan Tidore, saingan
utamanya, yang bersekutu dengan Spanyol.
Konflik dengan Portugis pecah ketika Sultan Hairun dibunuh atas perintah Kapitan Portugis de Mesquita (1570).
Putera Hairun yaitu Sultan Baabullah mengakhiri persekutuan dengan Portugis dengan menyerang dan menduduki
benteng Portugis di Ternate serta mengusir orang-orang Portugis yang menyerah pada tahun 1575. 23'
Dengan kemenangan ini Ternate menunjukkan diri sebagai kerajaan maritim terbesar di kawasan timur Nusantara,
setidaknya sejak pertengahan abad XVI hingga pertengahan abad XVII. Armada kora-kora Ternate menjelajahi lautan mulai
dan Laut Maluku di sebelah utara, ke selatan hingga Laut Banda dan ke barat hingga Laut Flores. Raja Ternate menanamkan
kekuasaan di berbagai pulau dan tempat antara lain Kaidipan, Manado, Gorontalo, Lunboto, Halmahera, di utara, Burn,
Seram, Ambon di selatan, ke timur hingga pulau-pulau di sekitar Papua Barat, ke barat hingga Bima dan Makasar. Ia yang
dijuluki Francis Drake, kapten kapal Inggris yang mengunjungi Sultan Baabullah (1579) sebagai "Lord of a Hundred Islands",
raja seratus pulau. Ia mampu merekrut pasukan tempur berjumlah 130.000 orang, belum termasuk budak-budak sebagai
pendayung kora-kora. Ia mendatangkan ahli persenjataan dari Turki dan pengawas perdagangan orang Turki dan Italia. 232
Sultan Baabullah mampu mempersatukan kerajaan-kerajaan Islam di berbagai pulau untuk menghadapi kekuatan Portugis
dan Spanyol, yang sejak tahun 1580 telah menjadi satu kerajaan. Pelabuhan Ternate ramai dikunjungi para saudagar dari
Jawa, Sumatera, dan Cina. Kekayaan kerajaan Ternate selain diperoleh dari perdagangan laut, eksport cengkeh, juga dari upeti
yang diterima dan kerajaan-kerajaan di pulau-pulau bawahannya.2" Tidak mengherankan apabila Ternate mampu membiayai
dan mengorganisasikan armada tempur untuk melindungi perdagangan
Sejarah Maritim Indonesia 141

dan menegakkan kekuasaan di wilayahnya yang cukup tersebar luas. Pesaing utamanya yaitu Tidore bersekutu dengan
Bacan menggandeng Portugis untuk menggempur benteng Temate pada tahun 1583, namun dapat dihancurkan oleh
pasukan Temate yang dibantu oleh penembak Turki dan pelaut-pelaut jung dari Jawa yang sedang berlabuh.Th4

Gambar 3.16. Kora-kora Sultan Temate abad ke-17 (Sumber: Heuken, "BeMy Witness", 2002, him. 35)

3. Kehancuran Kerajaan Maritim Ternate dan Tidore


Kerajaan Temate menghadapi pesaing baru dari Barat, yaitu VOC Belanda yang jauh lebih perkasa, memiliki organisasi
dagang dan kesiapan perang yang lebih baik yang muncul pada awal abad XVII. Ketika benteng Portugis di Amboina direbut
Steven van der Hagen, Kapten VOC, pada tahun 1605, dan benteng Portugis juga direbut VOC, orang-orang Ter-nate mulai
melihat Belanda sebagai kekuatan laut barn yang dapat dijadikan sekutu untuk melawan Spanyol. Namun sekali lagi Temate dan
rakyat Maluku menghadapi sekutu yang lebih serakah dan kasar daripada Portugis. Tidak hanya menuntut monopoli
perdagangan cengkeh, VOC
142 Pasang Surut Kerajaan-Kerajaan Maritim di Indonesia

juga melakukan hongie tochten, pelayaran untuk membabat habis pohon-pohon cengkeh di pulau-pulau penghasil
cengkeh di luar pulau Ambon, untuk membatasi produksi, menjaga harga cengkeh tetap tinggi di Eropa, dan mencegah
penyelundupan penjualan cengkeh kepada bangsa lain. VOC juga tidak segan-segan menghancurkan siapa saja yang
melawan pelayaran hongi ini. Tindakan VOC yang sangat merugikan rakyat Maluku membangkitkan perlawanan mereka
terhadap VOC. Ternate dan Tidore akhirnya berdamai pada tahun 1639, untuk menghadapi musuh bersama yaitu VOC.
Namun kekuatan mereka semakin surut, sumber daya manusia terkuras menghadapi peperangan, baik antar sesama
bangsa Nusantara (Ternate dengan sekutunya melawan Tidore dengan sekutu-sekutunya), maupun melawan musuh
orang Barat, yaitu Portugis, Spanyol dan Belanda. Sumber daya ekonomi juga semakin merosot dengan hongie tochten
yang menguras komoditi eksport Maluku yang hanya dinikmati VOC dan ribuan tenaga kerja pendayung kora-kora yang
dipaksa bekerja oleh VOC untuk kepentingan dagang dan perangnya. Tiga perempat penduduk Maluku mati claim
peperangan pertengahan abad XVII.
Pada tahun 1650 terjadi pemberontakan rakyat Ambon hingga ke Ternate melawan VOC, Sultan Ternate yang
diturunkan oleh rakyat karena bersahabat dengan VOC melarikan diri ke Batavia. Pemberontakan dapat ditumpas pada tahun
1655 setelah didatangkan bala bantuan dari Batavia. Sejak waktu itu para sultan Ternate dan Tidore tidak lagi mempunyai
kekuasaan di Ambon. Sebagai kompensasi para sultan tersebut mendapat penggantian berupa uang 12.000 ringgit per
tahun.235
Proses kemunduran kekuasaan Ternate telah dimulai sejak VOC berkuasa menerapkan monopoli di Ambon. Tentang
hal itu pada tanggal 5 Juni 1618 Sultan Ternate menulis kepada Kemilaha (walikota) Sabadin di Ambon, yang meminta
dengan sangat agar cengkeh hanya dijual kepada orang Belanda, dan pedagang Islam tidak berhak (membelinya). 236 Proses
ini terus berlanjut hingga tahun 1655 ketika Ternate dan Tidore tidak lagi menguasai pulau-pulau lain. Dengan demikian
kekuatan armada mereka tidak lagi berfungsi.
Sejarah Maritim Indonesia I 143

Gambar 3.17. Tidore pada awal abad XVII (Sumber. Heuken, “Be My Witness", 2002, hIm.. 92

Catatan :

' D. Macintyre, Sea Power in the Pacific: A Historyfrom the Sixteen Century to the Present Day (London: Barker, 1972), tarn_ 11.
2
Slamet Muljana, Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumi (Jakarta: Yayasan Idayu, 1981), 30-131. Lihat jugs O.W. Wolters, 'Studying
Srivijaya', JMBRAS 2 (1979), hhn_ 1- 40.

Kenneth R. Hall, Maritime Trade and State Development in Early Southeast Asia (Honolulu: University of Hawaii Press, 1985), hlm. 84-94.
144 Pasang Surut Kerajaan-Kerajaan Maritim di Indonesia

K.N. Chauduri, Trade and Civilization in the Indian Ocean from the Rise of Islam t01750 (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), hlm. 172.
Lihat juga H. Ray, 'The South East Asian Connection in Sino-Indian Trade', dalam: R. Schott & J. Guy, South East Asia & China: Art, Interaction &
Commerce (London: University of London, 1995), hlm. 41-54.

s D. H. Burger, Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia I (Jakarta: Pradnjaparamita, 1962), him. 26, 77.

6
O.W. Wolters, The Fall of Sriwijaya in Malay History (London, Lund Humphries: Asia Major Library, 1970), him. 1.

K.R. Hall, 'Economic History of Early Southeast Asia', dalam N. Tarling (ed.), The Cambridge History of Southeast Asia, Vol. I, From early Times to
c. 1800 (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), hlm. 196-202. Lihat juga Marwati Djoened Poesponegoro dkk., Sejarah Nasional Indo-
nesia II (Jakarta: Balai Pustaka,1984), hlm. 76.
8
Chauduri, Trade and Civilization, hlm.172.
9
Pierre-Yves Manguin, 'Palembang and Sriwijaya: An Early Malay Harbour-City Rediscovered', JMBRAS 1 (66) (1993), hlm. 23-46. Lihat juga G.
Coedes & L. Ch. Damais, Sriwijaya: History, Religion and Language of Early Malay Polity (Kuala Lumpur: MBRAS Monograph No. 20). Lihat juga
A. Diller, `Sriwijaya and the First Zeros', JMBRAS 1(68) (1995), him. 53-66.

'° Hall, 'Economic History', hlm. 196-202.

" D.G.E. Hall, Sejarah Asia Tenggara (Surabaya: Usaha Nasional, 1988), 41. Hall, 'Economic History', 196-202. Lihat juga Marwati Djoened
Poesponegoro dklc., Sejarah Nasional Indonesia, II (Jakarta: Balai Pustaka,1984), hlm. 76.

12
B.B. Utomo, `Sriwijaya di Palembang sebagai PusatAgama Buddha', dalam: M. Faizal Iskandar, Sriwijaya dalam Perspektif Archeologi dan Sejarah
(Palembang: PEMDA Sumatra Selatan, 1993), B7-1 - B7-10. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia II (Yogyakarta: ICanisius,
1992), hlm. 37.
Sejarah Mariam Indonesia I 145

13
Boechari, 'Hari Jadi Kota Palembang Berdasarkan Prasasti Kedukan Bukit', dalam: M.F. Iskandar, Sriwijaya dalam Perspektif, Ai-1 - A1-13. Lihat juga
Soekmono, Pengantar Sejarah II, hlm. 37, 60.

" Boechari, 'Hari Jadi Kota', Ai-1 - A1-13. Lihat juga Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan 17, hlm. 37.

u G. Coedes dan L. Ch. Damais, Kedatuan Sriwijaya (terjemahan). Penelitian tentang Sriwijaya. Pembacaan dan terjemahan naskah dilakukan oleh N.J.
Krom dan diterbitkan oleh van Rankel (Jkarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dengan Ecole Franecaise d'Extre-Orient/Departemen pendidikan
dan kebudayaan, 1989), hlm. 53.

'6 Poesponegoro, Sejarah Nasional II, hlm. 60-61.

' Lihat A.G. Frank, Reorient: Global Economy in the Asian Age (Berkeley-Los Angeles-London: Universitry of California Press, 1998), hlm. 92 101.

IS O.W. Wolters, Early Indonesian Commerce: A Study of the Origins of criw!jaya (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1967), 152. Lihat juga R. Cribb,
Historical Atlas of Indonesia (Honolulu: University of Hawaii Press, 2000), hlm. 74-78.

"Burger, Sejarah Ekonomis Sosiologis, I, hlm. 26.

29
W.P. Groeneveld, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources (Jakarta: Bhratara, 1960), hlm. 65-66. Lihat juga
Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan II, hlm. 60; Hall, Sejarah Asia Tenggara, hlm. 55-56.

21
S. Sjafei, `Catatan Mengenai Jalan Pelayaran Perdagangan ke Indonesia Sebelum Abad ke-16' dalam Indonesian Journal of Cultural Studies (1982), hlm.
56.

Hall, Sejarah Asia Tenggara, hlm. 60.

23
W.F. Wertheim, Indonesian Society in Transition: A Study of Social Change (The Hague: van Hoeve, 1969), hlm. 89-90. Penyebutan nusantara berdasar
pada konteks waktu. Istilah nusantara digunakan oleh Vlekke dalam Nusantara: A History of Indonesia (The Hague: W. van House, 1966)
146 Pasang Surut Kerajaan-Kerajaan Maritim di Indonesia

24
Hall, Sejarah Asia Tenggara, hlm. 42, 60.

Tentang utusan-utusan
23
Sriwijaya ke kekaisaran Cina lihat Muijana, Kuntala, Sriwijaya, him. 12-131.

26
Sartono Kartodirdjo, dkk., Sejarah Nasional Indonesia II (Jakarta: Balai Pustaka, 1977), hlm. 55.

Soeroto, Sriwijaya Menguasai Lautan (Bandung, Jakarta: Sanggabuwana, 1976), hlm. 34-35.

'N.K.S. Irfan, Kerajaan Sriwijaya (Jakarta: Giri Pusaka, 1983), 89-93. Lihat juga Hall, Sejarah Asia Tenggara, hlm. 56.
29
Sjafei, `Catatan Mengenai', hlm. 52.

" Mengenai ekspansi Sriwijaya dalam kaitannya dengan penyebaran agama Budha Mahayana lihat H.G.Q. Wales, 'The Extent of Srivijaya

's Influence Abroad', JMBRAS 1 (51) (1978), hlm. 5-12.


31
Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan II, hlm.37.

32
Ulasan tentang prasasti kota kapur lihat misalnya C.O. Blagden, 'The Kota Kapur (Western Bangka) Inscription', JMBRAS

64 (1913) , hlm. 68-71.


33
Coedes, Kedatuan Sriwijaya, hlm. 64-65.

34
Irfan, Kerajaan Sriwijaya, hlm. 54-57. Lihat juga Poesponegoro, Sejarah Nasional hlm. 55-56.

" Hall, Sejarah Asia Tenggara, him. 55-66.

Y: Achadiyati
36
(ed.), Sejarah Peradaban Manusia Zaman Sriwijaya (Jakarta: Gita Karya), hlm. 17-18.

" Burger, Sejarah Ekonomis Sosiologis, I, hlm. 29.


38
Irfan, Kerajaan Sriwijaya, him. 94-103.
39
Burger, Sejarah Ekonomis Sosiologis, I, hlm. 30.
Sejarah Maritim Indonesia I 147
49
R.W. McRobert, 'Notes on Events in Palembang 1389-1511: The Overlasting Colony', JMBRAS 1(59) (1986), him 73.
41
Poesponegoro, Sejarah Nasional H, him.71.
42
Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan II, him. 55.
43
Irfan, Kerajaan Sriwijaya, him. 21-37. Lihat pula, Kuntala, Srisvijaya, hlm. 30-32.

" Poesponegoro, Sejarah Nasional him. 81.


45
Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan II, him. 37.
46
Burger, Sejarah Ekonomis Sosiologis, I, him 31.
47
C.O. Blagden, 'Notes on Malay History', JMBRAS 53 (1909), him_ 139-162.
48
Wales, 'The Extent of Srivijaya's', him. 5-11.
49
Wales, 'The Extent of Srivijaya's', him. 5-11. Lihat juga Hall, Sejarah Asia Tenggara, hlm. 75.

so Poesponegoro, Sejarah Nasional him. 83.


" Hall, Sejarah Asia Tenggara, hlm. 62-71.

sz J. Padmapuspita, Pararaton (Jogjakarta: Taman Siswa, 1966), him. 70-71, 77-79. Lihat juga Poesponegoro, Sejarah Nasional II, him. 108_

n Poesponegoro, Sejarah Nasional II, him. 108. Hall, Sejarah Asia Tenggara, him. 74-80.
54

" B.E. Colless, `Majapahit Revisited: External Evidence on the Geography and Ethnology of East Java in the Majapahit Period', JMBRAS 2 (1975) 124-161.
Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia iii(Jakarta: Yayasan Trikarya, 1966), him 40.
56
T. Ibrahim Alfian, ahli sejarah Aceh, menyebut nama "Samudera Pacni" sebagai bandar dari kerajaan Samudera Darussaiam, dan sebagai nama
kerajaan Samudera Pasai; sedangkan Uka Tjandrasasmita menyebut nama "Samudera Pasai" hanya sebagai nama kerajaan. Sementara itu kita
148 Pasang Surut Kerajaan-Kerajaan Maritim di Indonesia

Nagarakertagama hanya menyebut "Samudera" sebagai salah satu negeri bawahan Majapahit. Tome Pires yang menulis pada awal abad XVI hanya
menyebut kerajaan Pasai (Pase) di Sumatra. Sumber tradisional Sedjarah Melaju (1612) dan Kronika Pasai (ditulis ulang tahun 1742) menyebut kerajaan
Samudera yang didirikan oleh Merah Silu (Sultan Malilcu's-Salih) untuk puteranya Maliku'z-Zahir. Lihat T. Ibrahim Alfian, Wajah Aceh dalam Lintasan
Sejarah (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1999), hlm. 2-4. Lihat juga Poesponegoro, Sejarah Indonesia Nasional III (Jakarta: Balai
Pustaka, 1984), hlm. 3-4; Th. Pigeaud, Java in the 14th Century, I (The Hague: Martinus Nijhoff, 1960), hlm. 11; Armando Cortesao, The Summa Oriental
of Tome Pires (London: Hakluyt Society, 1944), hlm. 142-145; Abdullah (editor), Sedjarah Melaju. Diedit ulang oleh T.D. Situmorang dan A. Teeuw
(Utrecht: Djambatan, 1958), hlm. 5864; dan T. Ibrahim Alfian, Kronika Pasai. Sebuah Tinjauan Sejarah (Yogyakarta: Ceninnets, 2004), him. 65-85.

57
T. Ibrahim Alfian, Kontribusi Samudra Pasai terhadap Studi Islam Awal di Asia Tenggara (Yogyakarta: Ceninnets, 2005), hlm. 3.
88
Alfian, Wajah Aceh, hlm. 2-3.

89
Ekspedisi ke kerajaan Kedah yang kaya akan lads dan timah diketahui dan tulisan pada batu nisan Ratu Nur Ilah yang bertahun 1380 M. Lihat Alfian,
Wajah Aceh, hlm. 34-35.

Setiap tahun Pasai mengekspor lads sekitar 8.000 sampai 10.000 bahar. Pasai menjadi kota bandar yang berpenduduk sekitar 20.000 orang.
61
Alfian, Wajah Aceh, hlm. 2.
62
Alfian, Kronika Pasai, hlm. 136-141.
63
Alfian, Wajah Aceh, hlm. 34-36.
64
Cortesao, The Summa Oriental, hlm. 239-240.
65
Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan III, hlm. 41.

66
A. W. Adam, Pengantar' dalam: A. Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, Dari Ekspansi hingga ICrisis: Jaringan Perdagangan Global Asia
Tenggara. Jilid. II, (Jakarta: Yayasan Obor, 1999), hlm. 112 .
Sejarah Maritim Indonesia I 149

67
Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan III, hlm. 42.

" "History of the Ming Dinasty (1368-1643) Book 325" dalam W.P. Groeneveld, Historical Notes, him. 129.
69
Cortesao, The Summa Oriental, hlm. 231.
7
° Cortesao, The Summa Oriental, him. 238.
7
' Abdullah (editor), Sedjarah Melaju, hlm. 22-47, 56-57, 79-80.
72
R.J. Wilkinson, 'The Malacca Sultanate', JMBRAS 61 (1912), hlm. 6771.

73
Mengenai sejarah kawasan di sekitar Selat Malaka pada masa pra-kolonial lihat R. Braddeli, 'An Introduction to the Study of Ancient Times in the
Malay Peninsula and the Straits of Malacca', JMBRAS 3 (14) (1936), him_ 1-71. Lihat jugs P. Wheatley, 'Related Comments on Sir Roland Braddell's
Studies ofAncient Times in the Malay Peninsula', JMBRAS 1 (28) (1955), him. 78-98.
74
Ricklefs, Sejarah Indonesia, hlm. 6.
75
Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan III, him. 42.
76
Burger, Sejarah Ekonomis Sosiologis, I, hlm. 32.
77
Ricklefs, Sejarah Indonesia, hlm. 28.
78
Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900. Dari Emporium ke Imperium. Jilid I (Jakarta: Gramedia, 1987), hlm. 61-63. Lihat juga de
Graaf, Geschiedenis van Indonesie, hlm 74-77; R.O. Winstedt, "A History of Malaya" dalam JMBRAS, March 1935, hlm. 60-86.
79
Poesponegoro, Sejarah Nasional HI, him. 31-32.
80
H.J. de Graaf dan Th.GTh. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa (Jakarta: Grafiti Press, 1989), 129-130.
81
Poesponegoro, dkk., Sejarah Nasional III, him. 53-55.
82
A. Hasjmy, Iskandar Muda Meukuta Alam (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), him. 9. Lihat juga Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru
150 Pasang Surut Kerajaan-Kerajaan Maritim di Indonesia

1500-1900. Dari Emporium ke Imperium. Jilid I (Jakarta: Gramedia, 1987), hlm. 80.
83
Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru, hlm. 83.
84
Denys Lombard, Kerajaan Aceh di Jaman Sultan Iskandar Muda (16071636) (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), him. 113-116.

85
Kapal Cakra Donya ini benar-benar dilihat oleh orang Portugis bernama Faria I Sousa. Lihat Lombard, Kerajaan Aceh, him. 15-16. Tentang serbuan Iskandar
Muda ke Johor sebagaimana termuat dalam syairHikayatMalam Dagang lihat Hasjmy, Iskandar Muda, hlm. 68-69.

Lombard, Kerajaan Aceh, hlm. 116-120.
87
Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru, hlm. 84.
88
Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru, hlm. 82, 84.
89
Uraian singkat mengenai sumber-cumber tradisional tentang sejarah Malaka dapat dilihat pada T. Iskandar, 'Three Malay Historical Writing in the
First Half of the 17th Century', JMBRAS 2 (40) (1967), him. 38- 53. Lihat juga P.L.A. Sweeney, 'The Connection between the Hikayat Raja-raja Pasai
and the Sejarah Melayu', JMBRAS 2 (40) (1967), hlm. 94-105. W.E. Maxwell, 'Raja Haji', JMBRAS 22 (1890), hlm. 173-224.


T.I. Alfian, Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1999), hlm. 57-59.

91
Poesponegoro, dkk., Sejarah Nasional III, hlm. 88-90. Lihat juga Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru, hlm. 86-87.

97
Beberapa zone komerial pada abad XIV di Asia Tenggara adalah : 1. Zone Teluk Benggala; 2. Zone Selat Malaka; 3. Zone Teluk Siam; 4. Zone Sulu; 5.
Zone Laut Jawa, lihat Kenneth. R. Hall Maritime Trade and State Development in Early Southeast Asia (Honolulu : University of Hawaii Press, 1985),
hlm. 222-225.

93
Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce, 1950-1680. Volume I: The Lands Below the Winds (New Haven/London : Yale University Press,
1988).
Sejarah Mariam Indonesia I 151
Mengenai kerajaan Singhasari
94
dan Majapahit terdapat banyak sumbersejarah yang membuktikannya, baik naskah-naskah sejarah dan sastra kuna, berbagai

prasasti, maupun catatan-catatan bangsa asing. Naskah kuna yang ditulis sejaman yang utama adalah kekawin Ntigarakertii game, tulisan Mpu
Prapanca, ditulis tahun 1365 pada masa puncak kejayaan Majapahit Meskipun merupakan pujasastra yang mengagungkan sang raja secara
berlebihan, namun fakta sejarahnya secara umum akurat, sesuai dengan prasasti-prasasti dan temuan arkeologis yang lain. Naskah ini diketemukan di
puri Cakranegara, berupa turunan dari naskah aslinya (satu-satunya turunan yang ditemukan). Diketemukan di kota Singaraja, Bali, tahun 1894 oleh
Dr. J. Brandes. Naskah ini disimpan di perpustakaan Universitas Leiden dengan nomor code x orientalis 5023. Bentuknya adalah Kakawin Jawa Kuna
dalam huruf Bali dan ditulis di daun lontar. Naskah ini diterbitkan oleh Porandes tetap dalam huruf Bali, pada tahun 1902 dalam seri Verhandelingen
vol. 54. Selama 11 tahun (1903-1914) diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh H. Kern dengan anotasi. Edisi lengkap dalam bahasa Belanda
diterbitkan dalam Verspreide Geschnfien. Vol. VII dan VIII dengan nama : Het Oud Javaansche Lofdicht Negarakertagama van. Prapanca, 1365 AD,
tahun 1917/1918. Banyak ahli telah memberikan penilaian yang tinggi sebagai hasil karya sastra, seperti GP. Rouffaer (1919)... Dinilai mengandung
banyak fakta sejarah yang akurat karena banyak sesuai dengan prasasti-prasasti sejaman oleh a.l. N.J. Krom yang mengedit Wang Nii garakertagama
(1919). Ahli lain yang menelitinya adalah R. 1g. Poerbatjaraka (1924), Slamet Muijana menerjemahkannya ke bahasa Indonesia (1953, ditafsir ulang
1979), dan Th. Pigeaud menerjetnahkan ke bahasa Inggris beserta analisisnya menjadi lima jilid, dengan judul Java in the Fourteenth Century: A Study
in Cultural History. The Nagara-Kertagama by Rakawi Prapanca of Majapahit, 1365 AD, 5 Jilid (The Hague: M. Nijhoff, 1960-1963). Naskah pembanding
lain adalah Pararaton, karya sastra sejarah yang tampaknya ditulis setelah Prapanca (1365), tanpa angka tahun dan tanpa nama pengarang. Karya ini
lebih banyak mengandung mitos dan legenda, namun nama-nama tokoh banyak yang cocok dengan nama-nama yang terdapat dalam
Niigarakertcigama dan berbagai karya lain dan prasasti. Lihat Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia II (Jakarta : Balai Pustaka, 1984), hlm. 397-
451.
152 Pasang Surut Kerajaan-Kerajaan Maritim di Indonesia

Mengenai persaingan dan peperangan antara Majapahit dan kota/kerajaan pantai seperti Demak, lihat Meinsma, Babad Tanah Djawi
(S'Gravenhage : M. Nijhoff, 1941), hlm. 29-30. Slamet Mulyana, Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan 7imbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara
(Yogyakarta : PT LKiS Pelangi Aksara, 2005), hlm. 177-194; K.R. Hall, Maritime Trade and State Development in Early Southeast Asia (Honolulu :
University of Hawaii Press, 1985), hlm. 253-256.

96
Pigeaud, Java, jilid I dan jilid III; Ki J. Padmapuspita. Pararaton. Teks dan terjemahan bahasa Indonesia (Jogjakarta : Penerbit Taman Siswa, 1966);
Slamet Mulyana, Negarakretagama dan Tafsir Sejarahnya (Jakarta : Bhratara, 1979).

97
Pigeaud, Java, jilid I, hlm. 30-36; Slamet Mulyana, Negarakretagama, hlm. 293-297. Silsilah raja-raja Singhasari dan Majapahit sesuai dengan silsilah yang
ada dalam kitab Pararaton, tetapi Pararaton menambahkan raja ketiga Singhasari, yaitu Tohjaya, yang memerintah kurang dari sate tahun (1170 Saka =
1248 M). Ia adalah putera Rajasa dengan Ken Dedes, sedang Anusapati (dalam Ncigarakertagama disebut Anusanatha) adalah putera Tunggul Ametung
dengan Ken Dedes. Wisnu Wardhana adalah anak Anusapati dan Narasinghamurti adalah saudara tirinya, namun mereka sangat rukun, sehingga mereka
sama-sama memegang pemerintahan. Lihat Padmapuspita, Pararaton, hlm. 63-70.

98
Nagarakerta gama, pupuh XLVI, 2, XLVII, 1 dalam Slamet Mulyana, Negarakretagama, him. 296.
99
No garakerta gama, pupuh, XL, 1 dalam Slamet Mulyana,

Negarakretagama, hlm. 293. Di sini Ken Arok disebut Cri Ranggah Rajasa, sedangkan dalam kitab Pararaton, hlm. 22 disebut Cri Rajasa Sang
Amurwabhumi. Nama Amurwabhumi juga terdapat dalam prasasti Kusmala dari Kandangan, Poesponegoro, Sejarah Nasional11,1thn. 400-401.
Seorang ahli filologi, C.C. Berg meragukan historisitas Ken Arok atau Ranggah Rajasa Sang Amurwabhumi. Darr pendekatan filologi dan budaya is
menganggap tokoh Ken Arok dan sebagian besar tokoh-tokoh serta fakta historis yang terdapat dalam karya pujasastra atau sastra Sejarah Jawa,
seperti Pararaton dan Nagarakertiigama, Babad Tanah Djawa dan Babad yang lain adalah fiktif. Bahkan juga banyak prasasti raja-raja dianggap
Sejarah Maritim Indonesia 1 153

fiktif. Menurut Berg sesuai dengan imateksbadayalawarmasa inaperrarrsan sebuah pujasastra terutama adalah murk mendinanglcan kekaatan magis
(seperti seorang dukun yang mengricapican marimm-anannera yang rnaemrlAi kekuatan gaib untuk mencelakakan atau membahagrakan smear-an
yang menjadi sasarannya). Karya sastra sejarab dapat dianalegilmn drag= mantes inagis tmthIcmempengaruhijalannyasejarah kearahyang &minima sang
raja. Hal itu tampak dui poly-pelamina/ •stisdaliyauag berulang, misalnya Airlangga pendiri ktaajaan Java Timm arta WI mem= Dharmawangsa, Wijaya
pendiri kerajaan Vlajapaliit adalah PIPMeMet131 Kertanagara. Mereka sehagai pendrarri tfinasti baru menimat mark nauatug fiktif untuk menguatkan
kewibawaaradarn legitimasinya. Mori ini camp menarik untuk menjelaskan raengaparaja-n* Sawa Akan sehajai manusia sakti dan titisan dewa — roam
banyak ahli sejarah„ adaeolog maupun ahli kebudayaan yang mendadaniom orviisitars mbagican besar fakta historis dalamIthigzrakerdigrana clan
berbegai pujasastra, ballad yang sesuai dengan berita dari prasasti, dan berita-berita rising.Team saja Inar

mitos dan cerita-cerita ajar') yang Maas cfidalaranya—I.AmCC...


Berg, "Javanese Picture of the Past', da2arn Soeriparmice r# f(eds.)4a

Introduction to Indonesian Ills (lizaca raym-ila University


Press, 1975), him. 87-118. Sebagai pempanggair, firma ti 1_ de Corami: ‘"Later

Javanese Sources and Ifistaringraphy" damn Inuodstc-


lion, him. 119-136; G. J. de Cavan's, Airicavggn. Pik Grim Besar pada Pergunsan Tmggi Pend/Man Guru Univeasitas Airlanggia„ Malang,
26 April 1958.

'°° De Casparis, Airlangga, him. 19-20; Hall, Maritimerrade„_212„


1
°' '°' Pemberontakan Mahisa Rangicah„ Nagarakernagarna. MAL 1;

Slamet Muljono, Negarakreagama„ him 106-107.. inga pembematakan Kalana Bhaya, Poesponegoro, &Jura Hasional H, him_ 412;
Padmapuspita, Pararaton„ him 70..

'°2 Istilah Senapati Sarwafala diternukan dalam prasasaiUlan Bane'

Sedyawati, Pengarcaan Ganesa Masa Kan& dan Mespitatari- Seirnair Tinj auan Sejarah Kesenian. (Jakarta/Laid= LIMILVoarriwnsiiteit, 1994),
him. 281.
154 Pasang Surut Kerajaan-Kerajaan Mariam di Indonesia

I03 Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia II, him. 412-413; Muljono, Negarakretagama, him. 133-114; Nagarakertagama, pupuh XLI, 5;
Padmapuspita, Paeraraton, hlm. 27.
104
Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia II, hlm. 412. Kekuasaan Singhasari di berbagai pulau (Sakaladwipantara) termuat dalam prasasti
Ardi Mulyo (1292 M).
1
°5 Lihat Hall, MaritimeTrade and Trade.
106
Slamet Mulyana, Negarakretagama, him. 115-117.
107
Poesponegoro, Sejarah Nasional II, hlm. 413.

Termuat dalam prasasti Po Sah (1306) di Kamboja, Poesponegoro, Sejarah Nasional II, him. 414.

Lihat penjelasan P.J. Zoetmulder, "Makna Kajian Kebudayaan dan Agama bagi Historiografi Indonesia," dalam Soedjatmoko (editor), Historiografi
109

Indonesia. Sebuah Pengantar (Jakarta: Gramedia, 1995/1996), him. 293295; Poesponegoro, Sejarah Nasional II, him. 413-415.

"° Padmapuspita, Pararaton, hlm. 71. Lihat juga Poesponegoro, Sejarah Nasionalll, hlm. 418.

"' Nagarakertagama, pupuh XLIV, 4 ; XLV, 1-4 ; Padmapuspita, Pararaton, him. 71-76.
112
sumber sejarah yang memuat kisah berdirinya Majapahit adalah Nagarakertagama, Pararaton, Kedung Harsa Wijaya, Kidung Panji
Beberapa

Wijayakrama, Babad Mojopahit, Babad Demak, Babad Tanah Jawa, Sejarah Banten, dan lain-lain.
13
Poesponegoro, Sejarah Nasional II, hlm. 411-413.
14
Catatan Kan-Hsing, Sejarah Dinasti Yuan, Buku 162. Tentang kisah persekongkolan dan pengkhianatan Wijaya dengan pasukan Tartar (Mongol)
ditulis di beberapa catatan Sejarah Tiongkok, yaitu sejarah dinasti Yuan (1280-1367) buku 210. Lihat juga catatan Shih-pi, sejarah dinasti Yuan,
buku 162; catatan Ike-Mese, sejarah dinasti Yuan, buku 131.
Sejarah Maritim Indonesia I 155

W.P.Groeneveldt, Historic Chinese Sources (Djakarta : Bhratara, 1960), hlm. 20-34

15
Kidung Harsa Wijaya, dalam Poesponegoro, Sejarah Nasional II, hlm. 424-426

16
Mereka adalah Rangga Lawe, adipati Tuban (gugur pada tahun 1295) Lembu Sora (terbunuh pada tahun 1300), dan Nambi (meninggal tahun 1316).
Poesponegoro, Sejarah Nasional II, hlm. 428-431.

Slamet Mulyana, Negarakretagama, him. 279-280.

"8
Slamet Mulyana, Negarakretagama, him. 12 ; Pigeaud, Java in the Fourteenth Century, III, hlm. 31-35.
19
Padmapuspita, Pararaton, hlm. 38
128
Poesponegoro, II (1984), him. 431-432

Teuku Ibrahim Alfian, Kronika Pasai, Sebuah Tinjauan Sejarah, Yogyakarta : CENINNET Press, 2004 (1973), hlm. 137, 141.
122
Teuku Ibrahim Alfian, Kronika Pasai, hlm. 35.
123
(editor), Sedjarah Melaju (Djakarta: Penerbit Djambatan, 1958), hlm. 77. Kitab Sedjarah Melaju ditulis oleh Tun Seri Lanang Bendahara Paduka
Abdullah

Raja, untuk mengenang kebesaran Kesultanan Malaka. Naskah ini ditulis kembali pada tahun 1612 AD atas perintah Sultan Abdul Jalil Syah, raja
Malaka dalam pengusingan di Batu Sowar.
124
Abdullah, Sedjarah Melaju, him. 45.
128
Abdullah, Sedjarah Melaju, him. 125-135.
126
Elizabeth Tiora (editor), Hikayat Banjar dan Kotaringin. (Jakarta: Departemen P & K, Direktur Jendral Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai
Tradisional, Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara, 1993), 38.

127
The Summa Oriental of Tome Fires and The Book ofFransisco Rodrigues. Terjernahan Armando Cortesao ( London: Hakluyt Society, 1944), Second
Series, N: LXXXIX.
156 Pasang Surut Kerajaan-Kerajaan Maritim di Indonesia

128
The Summa Oriental, hlm. 174.
129
The Summa Oriental, hlm. 239.

10
Misalnya pada tahun 1406, setahun setelah kedatangan Cheng Ho di "kerajaan timur" Pu-ling-ta-ha (Daha?), kerajaan itu berperang dengan "keraja
barat" Tu-ma-pan (Tumapel). Pemenangnya adalah "kerajaan barat". Namun dalam peperangan itu 170 pengawal utusan Cina ikut terbunuh. Kaisar
Cina marah dan mengirim Cheng Ho kembali ke Jawa pada tahun 1408 untuk menghukum raja Jawa dengan membayar denda sebesar 60.000 tail
emas yang hams dibawa oleh duta raja "kerajaan barat". Duta tersebut dibawa oleh Cheng Ho ke Cina. Meskipun hanya mampu membayar 10.000
tail emas namun Kaisar Cina mengampuni kesalahan raja Jawa tersebut. "Ming Shih", Buku 324 dalam W.P. Groeneveldt, Historical Notes on
Indonesia and Malaya. Compiled from Chinese Sources (Djakarta: Bhratara, 1960), hlm. 36-37.

"' Ma Huan, "Ying Yai Sheng Lan" (catatan perjalanan pelayaran Cheng Ho ke negeri-negeri pesisir yang ditulis pada tahun 1416) dalam Groeneveldt,
Historical Notes, him. 41-45. Lihat juga "Ming Shih", Buku 304 dalam W.P. Groeneveld, Historical Notes, hlm. 45-53.

'" G. Coedes, The Indianized State of South-east Asia, (Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1968). Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan
Indonesia, 3 jilid (Yogyakarta: Kanisius, 1973), N.J. Krom. Hindoe-Javaansche Geschiedenis, 's-Gravenhage: M.Njihoff, 1923; W de Casparis, Prasasti
Indonesia II (Bandung: Masa Baru, 1956); R. Poerbotjaraka, Riwayat Indonesia I (Djakarta: Pembangunan, 1952); Slamet Muljana, Menudju Puncak
Kemegahan (Sedjarah Keradjaan Madjapahit), (Djakarta: Balai Pustaka, 1965); H.J. de Graaf, Geschiedenis van Indonesie (`sGravenhage : W van Hoeve,
1949); B.H.M. Vlekke, Nusantara (The Hague : M. Nijhoff, 1959); D.G.E. Hall, A History of South-East Asia (New York/London, Melbourne, Toronto:
Macmillan St.Martin, 1970); M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia (London/Basingstoke: Macmillan, 1981); Sartono Kartodirdjo, Pengantar
Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, Dari Emporium ke Imperium, Jilid I (Jakarta: Gramedia, 1987).
Sejarah Maritim Indonesia I 157

'" Th.G.Th. Pigeaud, Java in the Fourteenth Century; C.C.Berg,"The Javanese Picture of the Past," dalam Soedjatmoko, et.al., An Introduction of Indonesia
Historiography (Ithaca/London: Cornell University Press, 1975).

'" Slamet Muyana, Negarakretagama hlm. 56-78. Berbagai peraturan tentang pajak dan petugasnya, lihat Pigeaud, Java in the Fourteenth Century, IV,
tentang charters.

138
Pigeaud, Java in the Fourteenth Century, IV, hlm. 36-39.
136
Pigeaud, Java in the Fourteenth Century, IV, hlm. 35.
137
Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia II, hlm. 414.
138
Hall, Maritime Trade and State, hlm. 227-229.
139
Hall, Maritime Trade and State, him. 236-242.

140 Prasasti pada arca Manjusri di Candi Jago. Lihat Poesponegoro, Sejarah Nasional hlm. 84.

'4' Nrigarakerteigama, pupuh XVI, 5.


147
Slamet Mulyana, Negarakretagama, hlm. 59.
143
Pigeaud, Java in the Fourteenth Century.

'44Kultus dewa-raja dalam budaya Jawa diuraikan antara lain dalam Soemarsaid Moertono, State and Statecraft in the Old Java (Ithaca: Cornell University Press,
1974).
185
Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan II, hlm. 75-78.

146
Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia II, hlm. 445. Lihat juga Colless, `Majapahit Revisited', hlm. 124-161.
147
Burger, Sejarah Ekonomis Sosiologis I, hlm.34.
148
D.H. Burger, Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia I, hlm. 34.

149
Untuk selanjutnya yang dimaksud dengan cerita babad mengacu pada karya W.L. Olthof (penyadur), Poeniko Serat Babad Tanah Djawi Saking Nabi
Adam Doemoegi Ing Tahun 1647 (s'Gravenhage: Uitgeverij van Hoeve, M. Nijhoff,1941).
158 Pasang Surut Kerajaan-Kerajaan Mariam di Indonesia

" H.J. de Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud, De Eerste Moeslimse Vorstendommen Op Java (s'Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1974), hlm. 37-38.
1

H.J. de Graaf en Th. G Th. Pigeaud, De Eesrte Moslimse Vorstendommen, him. 93.

152
Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia Modern (Yogyakarta: Gadjahmada University Press, 1973), hlm. 49.

193
Bemmelen, Geologische Kaart van Java, toelichting bij de bladen 73 (Semarang) en 74 (Ungaran) Dienst van Mijnbouw in Nederlandsch India (Den
Haag: w.p. van Stouchum en Zoon, 1941).

154
Anthony Reid, Dari Ekspansi hingga Krisis IL Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara 1450-1680 ( Jakarta: Yayasan Obor, 1999), hlm. 233.

155
H.J. de Graaf en Th. G. Th. Pigeaud, De Eerste Moeslimse Vorstendommen, him. 64.

'56 Anthony Reid, Dari Ekspansi hingga Krisis II, hlm. 233-234.

H.J. de Graaf en Th. G. Th. Pigeaud, De Eerste Moeslimse Vorstendommen, him. 79.

150 Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia, III, hlm. 50.

159
H.J. de Graaf en Th. G Th. Pigeaud, De Erste Moeslimse Vorstendommen, hlm. 118.
160
Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia III, him. 51.
161
Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, him. 26.

Uka Tjandrasasmita, "Banten Sebagai Pusat Kelcuasaan dan Niaga Antar Bangsa", dalam Sri Sutjiatiningsih (penyunting), Banten Kota Pelabuhan
162

Jalan Sutra (Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Direktorat Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1997), hlm. 27.

'Armando Cortesao, "The Suma Oriental of Tome Pires", Jilid I (London: The Hakluyt Society, 1944), hlm. 168.
Sejarah Mariam Indonesia 159

'64Sonny Chr. Wibisono, "Kegiatan Perdagangan di Bandar Banten dalam. Lalu-Lintas Perdagangan Jalur Sutra", dalam Sri Sutjiatiningsih, Banten Kota
Pelabuhan Jalan Sutra (Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, Direktorat Jendral Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1995), hlm. 88.

165
Lalu lintas perdagangan jalur sutra adalah untuk mengambarkan kontak dagang yang telah berlangsung sejak abad ke-5 antara Eropa Selatan dengan Timur
Tengah dan Cina secara berantai, dengan memperdagangkan komoditi mewah menurut ukuran waktu itu khususnya sutra, perkakas logam dan keramik
yang dibawa dan Cina. Melalui perjalanan darat barang-barang mewah itu dibawa ke Timur Tengah, dan secara estafet sebagian sampai ke Eropa. Secara
berangsur-angsur jalur darat itu digantikan dengan jalur taut, dan meluas dari Cina sampai Asia Tenggara. Lihat S. John Guy, Oriental Trade Ceramics in
Southeast Asia Nineteenth to Sixteenth Centuries (New York: Oxford University Press, 1986), hlm. 137-146.

166
Husein Djayadiningrat, Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten. Sumbangan bagi pengenalan sifat-sifat penulisan Sejarah Jawa (Jakarta: Jambatan,
1983), hlm. 131-135.

167
J.M. Nas, "The Early Indonesia Town. Rise and Decline of The City State and its Capital, dalam J.M. Nas (Editor), Indonesia City. Study in Urban
Development and Planning (Dordrecht-Holland: Foris Publications, 1986), hlm. 15-36.

168
GP. Roufaer & Ijzerman, De Eerste Scheepvaart der Nederlanders naar Oost Indie Onder Cornelis de Houtman 1595-1597 ('s Gravenhage: Martinus
Nijhoff), hlm. 107-111.

'69Anthony Reid, Dari Ekspansi hingga Krisis II, him. 122.

no H.J. de Graaf en Th. G Th. Pigeaud, De Eerste Moeslimse Vorstendommen, hlm. 119.

"'Ales Bebler, Pantulan Zaman Bahari Indonesia (Djakarta: Djambatan, 1960), hlm. 25.

172
H.J. de Graaf en Th. G. Th. Pigeaud, De Eerste Moslimse Vorstendommen, hlm. 120-121.
160 Pasang Surut Kerajaan-Kerajaan Maritim di Indonesia

'73 Husein Djayadiningrat, Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten, hlm. 43.

174
Sonny Chr. Wibisono, Kegiatan Perdagangan di Bandar Banten dalam Lalu-Lintas Perdagangan Jalur Sutra, hlm. 91-92.
1
" Ales Bebler, Pantulan Zaman Bahari Indonesia, hlm. 26.
176
Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce, hlm. 13-22.

'77 G.P. Roufaer & Ijzerman, De Eerste Schipvaart der Nederlanders, him. 125; Lihat jugs Sonny Chr. Wibisono, "Kegiatan Perdagangan di Bandar
Banten Dalam Lalu-Lintas Perdagangan Jalur Sutra", hlm. 89-90.

178
Sonny Chr. Wibisono, "Kegiatan Perdagangan di Bandar Banten Dalam Lalu-Lintas Perdagangan Jalur Sutra", hlm. 90. Lihat juga Denys Lombard,
Nusa Jawa: Silang Budaya. Jilid 2 (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), him. 55.
19
Husein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten, hlm.97.

'80 Uka Tjandrasasmita, "Banten sebagai Pusat Kekuasaan dan Niaga Antar Bangsa", hlm. 34-38.

181
Uka Tjandrasasmita, "Banten sebagai Pusat Kekuasaan dan Niaga Antal-Bangsa", hlm. 38.
182
R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia III, hlm. 55-56.

'83Irma, M.Johan, "Penelitian Sejarah Kebudayaan Cirebon dan Sekitarnya Antara Abad XV dan XVI: Tinjauan Biografi", dalam Susanto Zuhdi, Cirebon
sebagai Bandar Jalur Sutra (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1996), hlm. 10.

'84 Armando Cortesao, The Summa Oriental of Tome Pires. An Account of the East from the Red Sea to Japan, Written in Malacca and India 1512 1515
(The Hakluyt Society: Kraus Reprint Limited Nedeln/Liechrensteen, 1967).

185
Armando Cortesao, The Summa Oriental of Tome Pires. Bandingkan dengan Uka Tjandrasasmita, "Bandar Cirebon Dalam Jaringan Pasar Dunia", dalam
Sejarah Maritim Indonesia 161

Susanto Zuhdi (Penyunting), Cirebon Sebagai Bandar Jalu Sutra, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1996), hlm. 202-203.

186
Mengenai masa awal berdirinya kerajaan Cirebon lihat P.A.H. Djajadiningrat, `Kanttekeningen bij Het Javaanse Rijk Tjerbon in de Eerste Eeuwen
van zijn Bestaan', BKI 113 (1957), hlm. 191-200 dan hlm. 380391.

187
Dan berita Tome Pires tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa agama Islam mulai berkembang di Cirebon antara tahun 1472-1475.

188
Menurut tradisi atau cerita rakyat Cirebon, perintis atau penyebar agama Islam yang pertama di Cirebon adalah Haji Purba pada sekitar tahun 1337.
Sebelumnya is telah terlebih dahulu di Islamlcan oleh saudagar Arab ketika berdagang di India, dan meneruskan perjalannya untuk naik haji ke Mekah.
Lihat Uka Tjandrasasmita, 'Bandar Cirebon Dalam Jaringan Pasar Dunia', hlm. 204; Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya. Jilid 2, hlm. 55.

189
H.J. de Graaf en Th. G Th. Pigeaud, De Eerste Moeslimse Vorstendommen, hlm. 111-114.

'90 M. Sangupri Bochari dan Wiwi Kuswiyah, Sejarah Kerajaan Tradisional Cirebon (Jakarta: Proyek Peningkatan Kesadaran Sejarah Nasional Direktorat
Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan Nasional, 2001), hlm. 25.

'91 R.H. Unang Sunardjo, Selayang Pandang Masa Kejayaan Kerajaan Cireb., Kajian dari Aspek Politik dan Pemerintahan (Cirebon: Yayasan Keraton
Kasepuhan Cirebon, 1996), hlm. 33.

192
R.H. Unang Sunardjo, Selayang Pandang Masa Kejayaan Kerajaan Cirebon.

193
Uka Tjandrasasmita, "Bandar Cirebon dalam Jaringan Pasar Dunia, hlm. 208.
194
M. Sangupri Bochari dan Wiwi Kuswiyah, Sejarah Kerajaan

Tradisional Cirebon, hlm. 44. Lihat juga Dagh-Register gehouden in het

Casteel Batavia, tahun 1632, 1633, 1675 (`sGravenhage: Martinus Nifhoff).


162 Pasang Surat Kerajaan-Kerajaan Maritim di Indonesia

195
Uka Tjandrasasmita, "Bandar Cirebon dalam Jaringan Pasar Dunia", him. 210.

196 Singih Tri Sulistiyono, "Dari Lemah Wungkuk Hinga Chirebon; Pasang Surut Perkembangan Kota Cirebon Sampai Awal Abad XX", dalam dalam
Susanto Zuhdi, Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutra (Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan RI, 1996), hlm. 121.

'" Burger, Sedjarah Ekonomis Sosiologis, hlm. 49-50. B. Schrieke, Indonesian Sociological Studies. Jilid I (The Hague/Bandung: W. van Hoeve, 1959),
hlm. 37-40.

'" C. Skinner (ed.), Sjair Perang Mengkasar by Entji' Amin" dalam VKJ, bag. 40, 1963, 2, Catatan 5.

'" Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru, hlm. 57.


200
Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru, hlm. 59.

201
Mattulada, Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah (Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1991), hlm. 22.
202
Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia III, hlm. 26.

203
Soedjatmoko, et.al. (eds.), Historiografi Indonesia. Sebuah Pengantar (Jakarta: Gramedia, 1995), hlm. 130.
204
Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru, him 60-61.

205 Heather Sutherland, 'Eastern emporium and company town: trade and society in eighteenth-century Makassar' dalam Franf Broeze (ed.), Brides of
the Sea. Port Cities of Asia from the 10-20th Centuries (Kensington: New South Wales University Press, 1989), hlm. 101-102.

206
F.W. Stapel, Het Bongaaischverdrag (Groningen, Den Haag: Wolters, 1922). Mengenai pengaruh Bugis di Semenanjung Malaya lihat misalnya J.
Noorduyn, "The Bugis Genealogy of the Raja Muda Family of Riau — Johor" dalam JMBRAS, 2 (61), 1988, hlm. 63-92.

207
Ph. O.L. Tobing, Hukum Pelayaran dan Perdagangan Amanna Gappa (Makassar: Jajasan Kebudajaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, 1961), hlm.
Sejarah Maritim Indonesia I 163

15. Tulisan G.J. Resink tersebut dimuat dalam harian "Pedoman" tanggal 5 September 1960.

208
Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru, him. 60. Lihat juga Heather Sutherland, 'Kontinuitas dan Perubahan dalam Sejarah Makassar:
Perdagangan dan Kota di Abad ke-18' dalam Dias Paradima dan Muslimin A.R. Effendy (penyunting), Kontinuitas dan Perubahan dalam Sejarah
Sulawesi Selatan (Yogyakarta: Ombak, 2004), him. 6.
209
Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru, him. 90-91.

219
Dalam pelaksanaan monopoli rempah-rempah ini penduduk harus menjual hasil rempah-rempah hanya kepada VOC dengan harga yang ditetapkan
oleh VOC, dan semua pedagang harus membelinya dari VOC.

2
" Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru, him. 69. Lihat juga Heather Sutherland, 'Trade, court, and company. Makassar in the later
seventeenth and early eighteenth century' dalam Eisbeth Locher-Scholten dan Peter Rietbergen (ed.), Hof en Handel. Aziatisch Vorsten en de VOC
1620 -1720 (Leiden: KITLV Press, 2004), him. 89.

212
Edward Poelinggomang, Makassar Abad XIX, hlm. 31. Lihat juga Sulistiyono, The Java Sea Networks, 50.
213
Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru, 98-100.
214
Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru, 100.
215
Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru, 100, 103-104.
216
Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru, 100.
217
Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Barn, 105-106.

218
F.W. Stapel, Het Bongaais Verdrag. Disertasi pada Fakultas Sastra dan Filsafat Rijksuniversiteit Leiden, 1922, him. 240.

219
Heather Sutherland, 'Trade, court, and company. Makassar in the later seventeenth and early eighteenth century', hlm. 97.

22
° Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Rant, him. 108-109. Poesponegoro, Sejarah Nasional, III, him 92.
221
164 Pasang Surut Kerajaan-Kerajaan Maritim di Indonesia

222
Pires, Summa Oriental, hlm. 213 — 214.
223
Pires, Summa Oriental, hlm. 213 — 214.
224
Poesponegoro, Sejarah Nasional, III, hlm. 38.

225 Pires, Summa Oriental, hlm. 213.


226
Poesponegoro, Sejarah Nasional, III, hlm. 38.

227
Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru, hlm. 57. Satu bahar kira-kira = 400 pon = 200 kg.
220

229 Pires, Summa Oriental, him. 215-221.

230 Adolf Heuken SJ. "Be My Witness to the Ends of the Earth!" The Catholic Church in Indonesia before the I9th century (Jakarta : Cipta Loka Caraka,
2002), hlm. 33-34

231
Heuken, "Be My Witness", hlm. 35-40. Dalam Poesponegoro diberitakan bahwa rakyat Ternate mengusir Portugis pada tanggal 28 Desember 1577.
Lihat Poesponegoro, Sejarah Nasional, III, hlm. 59-62.

232
Heuken, "Be My Witness", hlm. 40 ; Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru, hlm. 57. Menurut Sartono bahkan tenaga pasukan tempur
Ternate diperoleh dari : Ternate 3.000 orang, Motir 200 orang, Makian 1.500 orang, Kojoa 300 orang, Gase 300 orang, Sula 4.000 orang, Buru 3.000
orang, Dondo 700 orang, Pulo dan Yakua 10.000 orang, Seram 500.000 (Sic.) orang, Nahonoa dan Halmahera 10.000 orang, Tontoli dan Buol 6.000
orang, Kaidipan 7.000 orang, Gorontalo & Limboto 10.000 orang, Tomini 12.000 orang, Manado 2.000 orang Labague 1.000 orang, Keling,
Kebungku, dan Buton 3.000 orang.
233
Heuken, "Be My Witness", hlm. 40.
234
Heuken, "Be My Witness", him. 40-41.

235 Poesponegoro, Sejarah Nasional, III, hlm. 62-65; Heuken, "Be My Witness", hlm. 40-42.
Sejarah Maritim Indonesia I 165

236
Lihat P.A. Tiele, Bouwstoffen voor de Geschiedenis der Nederlanders in den Maleischen Archiepel, Eerste Deel. Kumpulan Arsip (S. Gravenhage :
Martinus Nijhoff, MDCCCLXXXVI), hlm. 230-231.
166 Pasang Surut Kerajaan4Cerajaan Maritim di Indonesia
Sejarah Maritim Indonesia I 167

BAB IV
KOTA-KOTA MARITIM DI PANTAI
UTARA JAWA

A. Hubungan Pantai Utara Jawa dengan Majapahit


Sebelum lebih lanjut membahas mengenai kota-kota maritim di pantai utara Jawa, terlebih dahulu akan dibahas
hubungan kota-kota itu dengan kerajaan Majapahit. Salah satu sumber mengenai hal itu adalah Ncigarakerteigama yang ditulis
oleh Empu Prapanca.' Pada zaman Majapahit, di sepanjang pesisir utara Jawa banyak terdapat penguasa lokal yang berada di
bawah kekuasaan atau menjadi vasal Majapahit. Kedudukan mereka yang semacam itu paling tidak masih tetap berlangsung
sampai akhir abad 15 atau awal abad 16. Pada awalnya wilayah Majapahit yang didirikan pada tahun 1293 masih terbatas pada
daerah kerajaan Singasari dan sebagian kecil Jawa Timur. Kemudian pada tahun 1331 wilayah Majapahit diperluas menjadi
seluruh daerah Jawa Timur dan Madura. Bahkan sejak Gajahmada diangkat menjadi patih Majapahit dengan gelar
Amangkubumi pada tahun 1334, Majapahit mulai memperluas wilayahnya ke sebagian besar Jawa dan pulau-pulau di luar Jawa
yang disebut dengan istilah Nusantara.
Pada zaman kejayaan Majapahit, di pulau Jawa terdapat sebelas negara bawahan yang masing-masing diperintah oleh
seorang raja
168 Kota-kota Maritim di Pantai Utara Jawa

bawahan Majapahit, dan lima daerah atau propinsi yang disebut dengan istilah Mancanegara yang masing-masing diperintah
oleh Adipati atau
Juru Pengalasan.2 Kesebelas negara bawahan itu adalah Daha, Wengker, Matahun, Lasem, Pajang, Paguhan, Kahuripan,
Singasari, Mataram, Wirabhumi, dan Pawanuhan. Sementara lima propinsi atau mancanegara itu mempunyai nama sesuai
dengan kiblatnya yaitu utara, timur, selatan, barat dan pusat.
Sumber lain yang penting mengenai Majapahit adalah dari petualang Portugis bernama A. Pigafetta, yang dalam
perjalanan keliling dunia pada tahun 1522 menyebutkan bahwa kota Majapahit adalah yang terbesar di Jawa dengan rajanya
yang terbesar pula di pulau
Kekecualian adalah untuk kota-kota pelabuhan Cirebon, Sunda Kelapa dan Banten, yang sebelum munculnya Islam kota-kota
pelabuhan itu termasuk dalam wilayah kekuasaan kerajaan Hindu Sunda yaitu Galuh dan Pajajaran. Beberapa kota
pelabuhan penting di pantai utara Jawa yang ada kaitannya dengan Majapahit sebagai pusat kekuasaan tertinggi antara lain
Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Surabaya, Semarang dan lain-lain.
Menurut Tome Pires dalam bukunya Suma Oriental, sebelum berkembangnya agama Islam di Demak daerah itu
diperintah oleh seorang penguasa "kafir" atau beragama Hindu taklukan maharaja Majapahit. Lebih lanjutjuga dijelaskan bahwa
kakek raja Demak pertama yaitu Raden Patah adalah seorang budak belian dari Gresik yang telah mengabdi di Demak saat masih
menjadi vasal Majapahit. Dalam perjalanan karimya dia diangkat menjadi panglima perang, dan pada tahun 1470 dipercaya
memimpin ekspedisi melawan Cirebon.4 Dalam perkembangan selanjutnya disebutkan bahwa pada sekitar tahun 1500 seorang
bupati Majapahit bernama Raden Patah, yang berkedudukan di Demak dan memeluk agama Islam, dengan sengaja melepaskan
diri sebagai bawahan atau vasal dari Majapahit yang sudah sangat melemah. Dengan bantuan daerah-daerah lainnya di Jawa
yang sebagian besar penduduknya sudah memeluk agama Islam seperti Jepara, Tuban dan Gresik, is mendirikan kerajaan Islam
dengan Demak sebagai ibukotanya.
Menurut sumber berita Cina dari awal abad 15 yang ditulis oleh Ma Huan dalam bukunya YingYai Shing Lan,' Tuban
merupakan salah
Sejarah Maritim Indonesia I 169

sate dari empat kota besar di Jawa yang tidak memiliki tembok dan berada di bawah kekuasaan Majapahit. Dari kota itu
sampai Surabaya, ditempatkan armada laut Majapahit yang dipergunakan untuk menaklukkan pelabuhan-pelabuhan utama
lainnya di Nusantara. Bahkan ketika agama Islam mulai berkembang di pantai utara Jawa, daerah seperti Jepara, Tuban dan
Gresik merupakan pusat-pusat perkembangan agama Islam di bawah kekuasaan para adipati yang masih tunduk kepada
pemerintah pusat Majapahit.

Peta 4.1. Jawa Pada Masa Hindu Jawa


Sumber: Bernard H.M. Vlekke, Geschiedenis van den Indischen
Archipel
Gresik pada tahun 1387 sudah dikenal sebagai wilayah kekuasaan Maharaja Majapahit. Ini terbukti dari piagam Karang
Bogem, yang berisi ketetapan tentang kawula, budak, atau orang-orang tebusan di keraton yang berasal dan Gresik. Mungkin
Maharaja Majapahit yang bersemayam di pedalaman Jawa Timur beranggapan bahwa daerah-daerah pantai pulau Jawa juga
termasuk wilayahnya. Namun demikian Maharaja juga mengakui ekssistensi para kepala di daerah-daerah itu sebagai penguasa
wilayah mereka masing-masing.6 Sementara itu Jepara pada tahun 1470an adalah kota pantai di bawah kekuasaan seorang
pemimpin lokal yaitu Aryo Timur. 7 Dalam masa kekuasaannya is berhasil mengembangkan
Alitiativsitecce

SAVA1n

TIME-JAVAZISCEIgTiRD
KON11,/XDIA1TAROEYA
(ct4co)
HONKHRU1S

KAMM W. 0110.214 Tulhui


° 4
HOXINKRIA D 9 D3ANCIGAI,A PADJADJARAM KOli ICALINg
(Xi =41 oBtfoluLA ''—',..
oPumbe.,:an. '

Makaftbno LAME c,Eli ",..


0 Ovabon
,
01 11 1i
· V

0311

madiApolit
HAW1(11:8.

MADU

BALM-

44
170 Kota-kota Maritim di Pantai Utara Jawa

kota pantai yang dikelilingi benteng kayu dan bambu itu menjadi bandar yang cukup besar. Kondisi fisik pelabuhan Jepara
menurut ukuran waktu
itu sangat baik, sehingga setiap pelaut atau pedagang yang datang ke
Jawa atau melanjutkan peralanan menuju Maluku selalu singgah di pelabuhan Jepara. 8 Walaupun berada di bawah
kekuasaan atau menjadi
vasal Majapahit, Aryo Timur berhasil memperluas kekuasaannya sampai ke Bengkulu dan Tanjung Pura. Bahkan bisa
diperkirakan bahwa keberadaan kota pelabuhan Jepara adalah lebih tua daripada Demak.
Selanjutnya kota pelabuhan Semarang, keberadaannya ternyata telah diketahui sejak zaman Hindu abad ke-10. Pada
zaman itu Semarang merupakan Bandar utama kerajaan Mataram Hindu dengan pusat pemerintahannya di Medang Jawa
Tengah.9 Informasi keberadaan Semarang sebagai kota pelabuhan muncul lagi dalam berita kedatangan Laksamana Cheng
Ho ke Semarang pada tahun 1406, seorang pemimpin misi muhibah dari kerajaan Tiongkok dalam rangka kunjungan ke
negara-negara atau kerajaan-kerajaan di Mancanegara. 1° Namun menurut catatan Ma Huan, seorang juru bahasa Cheng Ho,
Cheng Ho tidak mendarat di Semarang. Mungkin yang mendarat di Semarang adalah salah satu rombongan armada Cheng
Ho." Selanjutnya ketika Demak masih merupakan vasal dari Majapahit, kota pelabuhan Semarang pernah dikuasai oleh
tokoh Muslim dari Demak yaitu Pate Memet, ipar dari Raden Patah.' 2 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kota
pelabuhan Semarang, setidak-tidaknya sampai pada masa awal munculnya kasultanan Demak, masih merupakan wilayah
kekuasaan Majapahit.
Tiga kota pelabuhan di pantai utara pulau Jawa yang pada zaman Majapahit tidak berada di bawah kekuasaan kerajaan itu
adalah Cirebon, Sunda Kelapa dan Banten. Sebelum berkembangnya agama Islam di Jawa Barat, ketiga kota pelabuhan itu berada
di bawah kekuasaan raja Hindu Sunda yaitu Galuh yang terletak di sebelah barat daya kota Cirebon yang sekarang, dan Pakuan
Pajajaran yaitu di Batu Tulis dekat Bogor, sekitar 40 Km arah pedalaman. Tome Pires dalam bukunya Summa Oriental
menyebutkan bahwa pendiri pedukuhan Islam pertama di Cirebon adalah Cu-Cu, ayah Pate Rodin Sr. Ada yang mengangap
bahwa keluarga Cina inilah yang kemudian menurunkan raja-raja Demak. Pada waktu itu
Sejarah Maritim Indonesia I 171

Demak masih diperintah oleh seorang penguasa kafir (Hindu), vasal dari Majapahit. Sementara Sunda Kelapa merupakan kota
pelabuhan yang terletak di teluk Jakarta, dan pada zaman Hindu Sunda terletak di pantai utara kerajaan Pajajaran, tepatnya di
dekat muara Ciliwung. Dengan demikian nama Sunda Kelapa sudah ada atau berasal dari zaman sebelum Islam. Nama
Jayakarta atau Jakarta diberikan oleh penguasa Jawa Islam dari Banten yang telah merebutnya. Demikian juga kota pelabuhan
Banten pada zaman Hindu Sunda sudah menjadi kota yang relatifpenting bagi perdagangan dan pelayaran dari kerajaan
Pajajaran. Peletak dasar pengembangan agama Islam dan perdagangan di Banten adalah Sunan Gunung Jati atau Hidayatullah,
yang pada tahun 1525 berhasil menyingkirkan bupati Hindu Sunda dan mengambil alih pemerintahan atas kota pelabuhan.
Kemudian pada tahun 1527 Sunan Gunung Jati berhasil merebut dan menguasai Sunda Kelapa. 13
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hubungan antara kota-kota pelabuhan di daerah pesisir utara Jawa
(kecuali dengan Cirebon, Sunda Kelapa dan Banten), dengan Majapahit pada mulanya meruapakam hubungan atasan dan
bawahan, atau hubungan antara kekuasaan pusat dengan vasal-vasalnya. Kedudukan yang sedemikian itu secara berangsur-
angsur mulai berubah pada akhir abad 15 yaitu ketika penduduk di daerah-daerah yang terletak di pesisir Utara pulau Jawa
itu pada umumnya sudah mulai memeluk agama Islam. Dalam hal ini bisa disebutkan bahwa Jepara, Tuban dan Gresik
merupakan pusat-pusat perkembangan agama Islam di bawah pemerintahan para adipati yang untuk sementara masih
tunduk kepada pemerintah pusat Majapahit. Dalam perkembangan selanjutnya terjadilah perubahan politik di mana para
penguasa pesisir satu persatu mulai melepaskan diri dan kekuasaan Majapahit.
Sampai pada tahun 1709, hampir semua derah-daerah pasisiran utara dan Brebes sampai Surabaya, masih berada di
bawah wilayah kekuasaan kerajaan Mataram (Kartasura). Daerah-daerah itu adalah
Jepara Kudus, Pati, Juwana, Tuban, Sedayu, Gresik, Lasem, Surabya dan Cengkalsewu (Pasisiran Timur), dan Demak,
Kaliwungu, Kendal, Batang, Pekalongan, Pemalang, Wiradesa, Tegal dan Brebes (Pasisiran barat). Namun demikian sebagai
akibat Perang Pacina (Dahuru Cina),'4
172 Kota-kota Maritim di Pantai Utara Jawa

dan sebagai imbalan jasa kepada Kompeni kepada raja Mataram Kartasura yaitu Pakubuwana II dalam merebut kembali kraton
Kartasura yang diduduki pemberontak di bawah pimpinan Sunan Kuning, maka hampir seluruh daerah di wilayah pasisiran
tersebut diserahkan kepada Kompeni.' Penyerahan itu dilakukan secara bertahap, yaitu pada tahun 1743 diserahkan daerah
Pasuruhan, pelabuhahn Semarang dan Madura. Kemudian pada tahun 1746 kembali diserahkan kepada Kompeni yaitu daerah
Brebes, Tegal, Pemalang, Batang, Kendal, Demak, Juwana, Ku-dus, Pati, Tuban, Sedayu, Lamongan Sidoarjo, Bangil, Pasuruhan
dan sebagian Malang. Sementara daerah-daerah pasisiran lainnya bersama daerah-daerah lainnya termasuk Gresik dan
Surabaya diserahkan oleh Paku Buwana II kepada Kompeni pada tahun 1749.16

Peta 4.2. Jalur Penyebaran Agama Islam di Indonesia (atas)


Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Jawa (bawah)
Sumber: H.J. de Graaf, Geschiedenis van Indonesie, 1949.

I. Jepara
Menurut Serat Pustaka Raja Puwara, daerah Jepara dan Juwana adalah daerah kekuasaan atau milik Sandang Garba,
seorang raja

knul ,
LP" vid

vestigim TNAlan

JAVA

PE EI.RSTE ISLANETWIE RUXEN

16..4 I. (100000

.1sartallen: verwering — MAW..

· Nr.tIon
Sejarah Maritim Indonesia I 173

pedagang (koning der koopleiden). Ia adalah kakak dan penguasa Kauripan dan Jenggala yaitu Dandang Gendis. Sejarawan
Belanda seperti De Graaf menyatakan bahwa informasi dan cumber tradisional Jawa itu sangat berharga, dan
memperkirakan bahwa Jepara dan Juana pada zaman itu sudah merupakan kota pelabuhan.' 7

Gambar 4.1. Pelabuhan Jepara Pada Abad XVII


(Sumber: Knaap, Shallow Waters, Rising Tide,1996, hlm. 22)

Pada tahun 1507, kekuasaan Aryo Timur digantikan atau diserahkan kepada putranya yang bernama Pati Unus, yang
dikenal sebagai pedagang dan pelaut (militer) yang pemberani. Oleh karena itu disamping berhasil mengembangkan armada
perang (laut) is juga mampu mengembangkan pelabuhan Jepara menjadi bandar perdagangan dan menjadi salah satu pusat
perdagangan di pesisir utara Jawa Tengah. Pada waktu menggantikan ayahnya yaitu Aryo Timur pada sekitar 1507, menurut
Pires bahwa Adipati Unus masih berumur 17 tahun. Ia menikah dengan anak perempuan Adipati Demak yaitu Rodin. Pada
masa itu Jepara merupakan tempat tinggal para pedagang dan pelaut. Sebagai
174 Kota-kota Maritim di Pantai Utara Jawa

kota pelabuhan memiliki perairan pelabuhan yang lebih aman daripada Demak. Bersama Demak, Pelabuhan Jepara pada
waktu itu terkenal sebagai gudang beras yang diperdagangkan dengan para pedagang luar daerah dan seberang lautan yang
datang ke pelabuhan Beras itu sebagian besar merupakan produk dari daerah pedalaman yang diangkut ke pelabuhan Jepara.
Di samping beras, daerah-daerah pedalaman itu juga menghasilkan komoditi-komoditi lainnya seperti hasil hutan, produk
tanaman pekarangan atau tegalan dan peternakan.
Sesuai dengan letak geografis atau lokasinya, sebagai kota pelabuhan Jepara menempati suatu titik yang menghubungkan
dunia daratan dan dunia lautan. Dunia daratan adalah daerah-daerah yang terletak di belakang kota pelabuhan, yaitu daerah-
daerah penyanga (hinterland) seperti Juana, Kudus, Pati, Welahan dan barangkali sampai lebih ke dalam lagi seperti
Purwodadi/Grobogan dan sebagainya. Sementara dunia laut adalah jalur perdagangan/pelayaran dengan daerah-daerah di
sekitarnya atau daerah seberang lautan. Dengan demikian dilihat dari segi ekonominya, pelabuhan Jepara berfungsi sebagai
tempat menampung surplus produk pertanian dari daerah-daerah hinterland untuk memenuhi warganya dan didistribusikan ke
daerah-daerah lain di seberang lautan. Sebaliknya Jepara juga berfungsi menampung produk-produk dari daerah luar untuk
selanjutnya didistribusikan atau diperdagangkan ke daerah-daerah hinterland yang membutuhkanya.'8
Bersama Rembang, Jepara yang memiliki banyak hutan jati di pedalaman terkenal dengan usaha galangan kapalnya.
Menurut Tome Pires para pedagang yang kaya dari berbagai daerah datang ke kedua tempat itu untuk membuat jung.' 9
Lebih lanjut Tome Pires menyatakan bahwa segera sesudah memegang kekuasaan di Jepara, Adipati Unus merencanakan
penyerangan ke Malaka. Rencana penyerangan itu berkaitan dengan penghinaan yang dialami nahkodanya yang berkunjung
ke sana. Pada waktu itu Malaka masih diperintah oleh raja Melayu Islam. Dijelaskan pula bahwa persiapan untuk
melaksanakan ekspedisi militer itu memakan waktu 5 tahun. 2° Di pelabuhan Jepara itulah armada atau perahu-perahu Jawa
dipersenjatai sedemikian rupa sehinga menjadi armada perang. Namun demikian pada tahun 1511 Malaka telah di
tundukkan dan dikuasai Portugis di bawah Alfonso
Sejarah Maritim Indonesia I 175

d'Albuquerque. Menurut Pires hal ini tidal( mengurungkan niatnya menyerang Malaka, tetapi sebaliknya justru lebih
membangkitkan spirit perang yang baru, karena yang dihadapi adalah orang portugis yang dianggap kafir. Untuk menambah
armada lautnya, Adipati Unus menjalin hubungan dan bersekutu dengan Sultan Mahmud Syah dari Malaka yang diusir Portugis,
melalui perkawinan dengan saudara perempuannya. Dengan tujuan yang sama is juga mempersatukan armadanya dengan
armada Sultan Palembang untuk menyerang Portugis di Malaka.
Merupakan alasan yang naïf bahwa rencana serangan ke Malaka yang dipersiapkan selama 5 tahun itu hanya untuk
menunjukkan harga dirinya, atau karena merasa direndahkan. Diperkirakan terdapat permasalahan yang lebih mendasar,
yaitu persaingan dalam dunia usaha atau perdagangan. Apalagi dengan dikuasainya Malaka oleh Portugis pada tahun 1511,
hal itu merupakan ancaman yang serius bagi hubungan perdagangan Jepara dengan Malaka dan daerah sekitarnya.
Disamping itu penguasaan Portugis atas Malaka tentu mengganggu jaringan hubungan antara dunia darat dan Taut yang
dimainkan oleh Jepara. Bagi Jepara, Malaka adalah salah satu tujuan terpenting pemasaran beras dan Jawa. Sementara
Malaka sendiri menghasilkan rempah-rempah yang diperdagangkan oleh para pedagang Jawa. Oleh karena itu di beberapa
tempat atau daerah pelabuhan di Malaka dan Maluku sampai scat ini masih terdapat perkampungan Jawa disamping
perkampungan suku atau bangsa yang lain. Dapat diperkirakan bahwa orang Portugis yang menguasai Malaka, dan yang
secara fisik lebih terlihat sebagai orang asing dan kafir ikut mendorong spirit Adipati Unus untuk menyerang Malaka.
Serangan Adipati Unus yang terkenal atas Portugis akhirnya memang terjadi pada tahun 1512-1513. Namun demikian
serangan itu akhirnya mengalami kegagalan, bahkan armada Adipati Unus banyak mengalami kerugian. Dad sekitar 400
perahu yang dikerahkan dalam ekspedisi itu, hanya sekitar 8 buah yang bisa kembali ke Jepara. Dalam sumber lain disebutkan
bahwa sebanyak 10 jung dan 10 perahu barang yang bisa kembali ke Jepara 2' Menurut penulis Portugis Tome Pires, dan Joan
De Baros dalam bukunya "Kronik Raja D Manoel, pate Unus" kegagalan itu mengakibatkan duka yang sangat mendalam atas
diri
176 Kota-kota Maritim di Pantai Utara Jawa

Adipati Unus. Sehubungan dengan hal itu ia memerintahkan untuk mengabadikan salah satu kapal perangnya
terbesar yang kembali dari Malaka sebagai monumen perang, dan bersandar di pelabuhan Jepara. Dikatakan hal itu sebagai
peringatan atas pertempuran besar dalam sejarah ekspedisi militer melawan orang asing yang kuat (Portugis) di Malaka."
Pada tahun 1536 oleh Sultan Demak yaitu Trenggana, kota pelabuhan Jepara diserahkan kepada menantunya yang
bernama Pangeran Hadirin. Ia adalah suami Retna Kencana yang dalam masyarakat Jawa dikenal dengan nama Ratu
Kalinyamat. Pangeran Hadirin ini mati dibunuh oleh Ario Penangsang, sebagai akibat persaingan perebutan kekuasaan di
Demak. Tentu saja kematian suaminya yang sedemikian itu mengakibatkan duka yang sangat dalam bagi Ratu Kalinyamat.
Menurut kisah dalam Babad Tanah Jawi, Retna Kencana ini bertapa di gunung Danaraja, dengan sesanti baru akan berhenti
bertapa jika pembunuh suaminya yaitu Penangsang telah mati. Dalam cerita itu akhirnya Penangsang memang tewas di tangan
Sutowijaya, anak angkat Sultan Pajang Hadiwijaya, dengan menggunakan tumbak Kyai Plered.
Setelah kematian Penangsang, Retna Kencana dilantik menjadi penguasa Jepara dengan gelar Ratu Kalinyamat.
Penobatan itu terjadi dengan ditandai sengkalan tahun (surya sengkala) Trus Karya tataning Bumi, yang diperhitungkan sama
dengan 12 Rabiul Awal atau 10 April 1549. Selama masa kekuasaannya Jepara semakin berkembang menjadi bandar terbesar di
pantai utara pulau Jawa, dan memiliki armada laut yang besar dan kuat." Kebesaran Ratu Kalinyamat itu pernah dilukiskan oleh
penulis Diego de Conto, bahwa Ratu Kalinyamat adalah sebagai "Rainha de Jepara senhora pederose e rica", yang berarti bahwa
Ratu Jepara adalah seorang wanita yang sangat berkuasa. Disamping itu selama 30 tahun kekuasaannya ia telah berhasil
membawa Jepara kepada puncak kejayaannya. Dengan armadanya yang kuat, Ratu Kalinyamat juga pernah melakukan 2 kali
(ada yang mengatakan 3 kali) penyerangan kepada Portugis di Malaka. Dalam penyerangan terakhir pada tahun 1574, armada
Jawa kembali berusaha untuk menghacurkan Portugis di Malaka. Walaupun telah melakukan taktik pengepungan selama tiga
bulan, ekspedisi itu akhirnya juga mengalami kegagalan, dan terpaksa
Sejarah Maritim Indonesia I 177

kembali ke Jawa.' Salah seorang pemimpin ekspedisi militer ke Malaka pada masa kekuasaan Ratu Kalinyamat adalah Kyai
Demang Laksamana (sumber Portugis menyebut dengan nama Quilidamao). 25 Nama itu pada zaman sekarang merupakan
jabatan setingkat Laksamana Laut atau Jendral. Hal itu menunjukkan bahwa sebagai penguasa bahari, Ratu Kalinyamat lebih
mementingkan kekuatan laut daripada kekuatan angkatan darat. Tidak berarti bahwa Jepara tidak mempunyai pasukan atau
prajurit darat, akan tetapi kekuatan darat Jepara lebih bersifat defensif, yaitu dengan dibangunnya benteng yang
mengelilingi kota pelabuhan yang menghadap ke darat.
Kekalahan armada laut Jawa baik dalam ekspedisi Adipati Unus maupun yang dikirim oleh Ratu Kalinyamat memang
merupakan kenyataan yang harus diterima. Bukan karena armada Jawa itu lemah atau kurang dipersiapkan, akan tetapi dari
segi tehnologi, terutama perlengkapan senjata merianmya dengan jangkauannya yang jauh, memang merupakan
keunggulan armada Portugis dan armada Eropa pada umumnya. Namun demikian dan sisi lain hares diakui bahwa pada
masa kekuasaan Ratu Kalinyamat, masyarakat Jepara telah tampil dalam panggung sejarah Nusantara sebagai masyarakat
bahari. Ciri utama dari masyarakat bahari adalah kehidupan mereka, khususnya dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari
diperoleh dari kegiatan atau pekerjaannya mengeksploitasi dan memanfaatkan sumber daya laut. Pada zaman itu disamping
berkehidupan sebagai nelayan, aktivitas pelayaran dan perdagangan adalah yang paling utama.
Bukti kejayaan Jepara pada zaman itu antara lain armada laut besar dan kuat yang dimiliki Ratu Kalinyamat. Usaha
melanjutkan cita-cita Adipati Unus untuk mengusir Portugis dan Malaka, seperti telah disebutkan di muka, menunjukkan
bahwa Malaka merupakan salah satu titik atau bagian dari jaringan perdagangan kota pelabuhan Jepara, yang mulai
mendunia. Sumber Portugis juga menjelaskan bahwa pada masa
kekuasaan Ratu Kalinyamat di Jepara, juga menjalin hubungan dengan para pedagang di Ambon. Beberapa kali para pemimpin
pelaut atau pedagang Ambon di Hitu meminta bantuan pertolongan kepada Ratu Jepara untuk melawan orang-orang Portugis.
Hal ini merupakan indikasi bahwa Jepara juga mempunyai jaringan perdagangan dengan Ambon.26
178 Kota-kota Maritim di Pantai Utara Jawa

Diperkirakan bahwa selama menjadi penguasa Jepara, Ratu Kalinyamat tidak tinggal di Kalinyamat, akan tetapi di sebuah
tempat semacam istana di kota pelabuhan Jepara. Sumber-sumber Belanda awal abad 17 menyebutkan bahwa bahwa di kota
pelabuhan terdapat semacam istana raja (koninghof).27 Hal ini berarti bahwa Ratu Kalinyamat sebagai tokoh masyarakat bahari
memang tinggal di kota pelabuhan, sementara daerah Kalinyamat hanya dijadikan sebagai tempat peristirahatan.
Pengganti Ratu Kalinyamat adalah Pangeran Jepara yang berkuasa dari tahun 1579 sampai th 1599. Menurut cerita
Babad Tanah Jawi is adalah anak angkat Ratu Kalinyamat. Akan tetapi sumber Sejarah Banten menyebutkan bahwa putra
mahkota Jepara yang bernama Pangeran Aria atau Pangeran Jepara, adalah anak angkat Kalinyamat, putra raja Banten
Hasanudin. Pada masa itulah peranan Jepara sebagai kota pelabuhan yang penting mulai mengalami kemerosotannya. Hal itu
tampaknya jugs berkaitan dengan kematian Sultan Trenggana pada tahun 1546, sehingga Panembahan Senopati dari Mataram
mulai melakukan serangan-serangan untuk menundukkan kota-kota pelabuhan di pantai utara Jawa guna memperluas
kekuasannya. Dalam hal ini Demak dan Kudus menjadi korban yang pertama. Baru pada tahun 1599 Jepara dengan susah
payah berhasil ditundukkan. Daya tahan Jepara waktu itu, seperti telah disebutkan di muka, adalah karena kota pelabuhan
kota itu dikelilingi dengan benteng yang menghadap ke pedalaman dan dijaga dengan ketat oleh prajurit Jepara. Pada tahun
1615, VOC diberi izin oleh raja Mataram Sultan Agung untuk mendirikan sebuah loji di Jepara, sebagai perwakilan perdagangan
VOC di daerah itu." Baru pada tahun 1616 muncul pemimpin barn di Jepara yaitu Kyai Demang Laksamana.
Ekspedisi militer Panembahan Senopati dalam menundukkan kota-kota pelabuhan di sebagian besar pantai utara Jawa,
bisa dianggap sebagai pembunuhan tradisi bahari dari masyarakat Jawa. Hal itu menjadi semakin parah ketika kota-kota
pelabuhan itu akhimya dikuasai oleh VOC dan kemudian pemerintah kolonial Hindia Belanda. Yang tersisa adalah tinggal para
nelayan dan perdagangan dan pelayaran pantai.
Walaupun telah mengalami kemerosotan bukan berarti bahwa pelabuhan Jepara tidak berfungsi sama sekali. Pada
tahun 1680an VOC memperoleh konsesi dalam bentuk sewa (gadai) dari raja Mataram
Sejarah Maritim Indonesia I 179

untuk mendirikan benteng di Jepara. 29 Konsesi itu diberikan oleh Amangkurat II, sebagai imbalan jasa atas bantuan kompeni
dalam menumpas pemberontakan Trunajaya. Pelabuhan-pelabuhan lain yang diserahkan oleh Amangkurat II antara lain
Tegal, pelabuhan Kaligawe dan Semarang di Semarang, Rembang , Surabaya dan lain-lain. Agar kekuatan VOC tidak bisa
diserang dari lautan maka pada tahun itu juga dibangun benteng utama di kelima pelabuhan itu, akan tetapi VOC
menempatkan Jepara sebagai pusat kekuasaannya di wilayah Pantai Timur Jawa. Disamping sebagai kantor tempat
pertahanan dan kantor dagang, benteng-benteng tersebut juga berfungsi sebagai tempat tinggal masyarakat Eropa,
sehingga juga diberi istilah sebagai kota-kota benteng. 3°
Pemilihan Jepara sebagai salah satu pusat kekuasaan VOC disamping Batavia pada waktu itu tentu raja atas dasar
pertimbangan-petimbangan yang menguntungkan. Yang pertama adalah VOC tentu tinggal mewarisi sarana dan prasarana
kota pelabuhan, termasuk pelabuhanya yang strategis, yang telah dibangun dan dikembangkan pada masa kejayaan Jepara
khususnnya pada masa kekuasaan Ratu Kalinyamat. Yang kedua Jepara pada saat itu masih memiliki daerah-daerah
pedalaman yang banyak menghasilkan produk pertanian khususnya beras. Dengan demikian, dengan pemain yang berbeda,
Jepara pada waktu itu masih merupakan kota pelabuhan yang penting.
Pada tahun 1697, pelabuhan Semarang mulai menggantikan kedudukan Jepara yang tidak mampu lagi
mempertahankan fungsinya sebagai pelabuhan ekspor produk-produk pertanian khususnya beras.31 Dalam hal itu terdapat
informasi yang menyebutkan bahwa pelabuhan Jepara telah mengalami pendangkalan yang serius sebagai akibat sedimentasi
(pengendapan) lumpur yang dibawa oleh arus sungai. Sebagai akibatnya sudah sejak tahun 1700 kapal-kapal VOC yang besar
tidak bisa merapat sampai ke dermaga pelabuhan pantai Jepara. Namun demikian sumber lain menjelaskan bahwa pelabuhan
Semarang memiliki keunggulan dalam akses atau hubungannya dengan darah-daerah pedalaman yang lebih luas, yaitu ke
wilayah Vorstenlanden (kerajaan Surakarta dan Yogyakarta). Barangkali dengan kedua alasan itu maka pada tahun 1707 secara
resmi VOC memindahkan pusat kekuasaannya
180 Kota-kota Maritim di Pantai Utara Jawa

dari benteng di Jepara ke Semarang.32 Sejak itu pula Semarang semakin berkembang sebagai kota pelabuhan yang
terbesar di Jawa Tengah sampai berakhirnya pemerintahan kolonial Belanda. 33

Gambar 4.2. Jung Jawa abad ke-16


(Sumber: Zuhdi, ed., Simpul-simpul Sejarah Maritim, 2003, h1m. 46)
Sejarah Maritim Indonesia I 181

Gambar 4.3. Galeon Portugis abad ke-16


(Sumber: Heuken, "Be My Witness", 2002)

2. Tuban
Salah satu legenda mengenai asal-usul nama Tuban menyebutkan
bahwa is berasal dari kata "watu" dan "tiban" yang kemudian disingkat
182 Kota-kota Maritim di Pantai Utara Jawa

Tuban. Watu tiban, yang dalam bahasa Indonesia berarti batu jatuh (berbentuk yoni) menurut legenda itu adalah
salah satu pusaka kerajaan Majapahit yang bersama-sama dengan harta pusaka lainya akan di bawa ke Demak. Pembawa
batu itu adalah seekor burung bangau. Akan tetapi dalam perjalanan burung itu diolok-olok atau ditertawakan oleh anak-
anak pengembala, sehinga karena marah bath itu jatuh. Di tempat batu jatuh itulah kemudian dinamakan Tuban.
Dari segi etimologinya ada yang mengatakan bahwa kata Tuban menurut bahasa Jawa Kawi berarti "jeram", atau air
tejun. Hal itu bisa dihubungkan dengan dua sumber airu terjun di Tuban yaitu di kecamatan Singgahan yang bernama air
terun Nglirip, dan air terun Banyu Langse di kecamatan Semanding. Berabad-abad lamanya kota-kota maritim di pantai utara
Jawa, termasuk Tuban cukup memegang peranan penting dan dipandang sebagai pelabuhan terbesar di Jawa. Sebagai kota
pelabuhan tentu saja Tuban bisa dianggap sebagai suatu titik yang menghubungkan dua wilayah yaitu lautan dengan daratan.
Sementara dilihat dari sudut ekonomi, kota pelabuhan mempunyai fungsi sebagai tempat menampung surplus produk-
produk dan wilayah disekitarnya yang disebut dengan daerah penyangga atau hinterland, untuk kemudian dipertukarkan atau
diperdagangkan dengan daerah-daerah atau negeri seberang. Sebaliknya kota pelabuhan juga berfungsi sebagai penampung
barang-barang dan seberang sebelum didistribusikan melalui alur perdagangan ke daearah-daerah pedalaman.
Sumber tradisional setempat yaitu Babad Tuban, 34 hanya menceritakan sejarah para bupati yang pernah memerintah
daerah itu. Menurut babad tersebut diceritakan bahwa Tuban pernah menjadi suatu kerajaan yang didirikan oleh Raden
Arya Randu Kuning, sedangkan kerajaannya bernama Lumajang Tengah. Sementara bupati pertama yang pernah menjadi
penguasa di Tuban adalah Raden Arya Dandang Wacana. Sebelum ditaklukan dan menjadi bawahan Majapahit, Tuban
pernah diperintah oleh seorang bupati yang bernama Rangga Lawe selama 30 tahun.
Sementara itu sumber Belanda menginformasikan bahwa keadaan geografis dan alam lingkunga serta daerah
disekitarnya (hinterland) diperkirakan telah memberikan sumbangan yang sangat besar bagi
Sejarah Maritim Indonesia I 183

perkembangan kota pelabuhan/perdagangan Tuban sejak sebelum kedatangan Belanda. Daerah-daerah hinterland terdekat
dari Tuban pada zaman kolonial Belanda adalah terdiri dan beberapa kadistrikan yaitu Bancar, Jenu, Rengel, Singahan dan
Jatirogo, sementara Tuban sendiri terletak di distrik Rembes, yaitu di pantai utara dari teluk Tuban."
Sumber arkeologis yang sejauh ini diketahui, Tuban sudah dikenal sebagai kota pelabuhan sejak abad ke-11.
Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh Edi Sedyawati dan kawan-kawan, keberadaan Tuban dapat diketahui dari
empat prasasti yang ditemukan di sekitar Tuban. Yang pertama adalah prasasti Kembang Putih (tahun 1050), kedua prasasti
Malenga, yang merupakan prasasti turunan tahun 1052, ketiga prasasti Jaring (tahun 1181), dan yang terakhir prasasti
Karangbogem (tahun 1308).36 Prasasti Malenga terletak di kecamatan Rengel tepatnya di tepi Sungai Bengawan Solo yang
jaman dulu merupakan sarana penghubung utama.
Berdasarkan ketiga prasasti tersebut bisa diperkirakan bahwa keberadaan Tuban sebagai daerah pemukiman yang
terletak di pantai sudah ada sejak pertengahan abad 11. Sumber yan lain menyebutkan bahwa pada masa kerajaan
Singasari, Tuban merupakan kota pelabuhan dan pernah dipergunakan oleh tentara Singasari berangkat ke Malayu pada
tahun 1275.37 Sementara pada masa pemerintahan raja Airlangga yang juga pada abad 11, Tuban diperkirakan juga telah
menjadi pusat perdagangan internasional dan pusat pertahanan militer, dengan pelabuhannya di Kembang Putih, yang
sekaligus merupakan cikal bakal kota Tuban yang sekarang. 38 Di samping itu ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa kota
ini telah lama sekali mejadi pelabuhan Jawa yang terpenting dengan aktivitas perdagangan laut. Kemudian Pada abad ke-12
sudah terdapat kapal-kapal dagang Jawa, termasuk kapal dari Tuban dan Sumatra yang berlayar/berdagang sampai ke
negeri Annam (Hindia Belakang).39
Sementara itu sumber lain menyebutkan bahwa gerombolan Cina Mongolia yang pada 1292 M datang menyerang Jawa
Timur, konon mendarat di Tuban. Barangkali itu adalah tentara Tar-Tar dibawah pimpinan komando Sih-pie, Kau Sing dan Ike-
Mese, yang sebagian mendarat di Tuban dan sebagian meneruskan ke Sedayu. Dengan bantuan
184 Kota-kota Maritim di Pantai Utara Jawa

Raden Wijaya, tentara Tar-Tar dapat mengalahkan Jayakatwang dari Kediri dan pada akhirnya tentara Tar-Tar dapat
dihancurkan oleh Raden Wijaya dengan bantuan Arya Wiraraja dari Sumenep. Setelah hancurnya tentara Tar-Tar, Raden Wijaya
dinobatkan sebagai raja Majapahit dengan gelar Sri Kertajasa Prawira. Diperkirakan pada masa itu Tuban juga menjadi pintu
gerbang sungai-sungai besar di Jawa Timur, seperti Bengawan Solo dan Brantas. 4° Bahkan pada awalnya perdagangan seberang
laut bangsa Jawa terutama diselenggarakan dari kota Tuban. Dalam hubunganya dengan hal itu Ales Bebler menyebutkan
bahwa pada tahun 1350-an Tuban merupakan kota dan pelabuhan terbesar di Nusantara. Dalam perkembangannya kemudian
juga muncul kota-kota pelabuhan seperti Gresik, Jepara, Surabaya, dan lain-lain. Terutama di kota itu banyak muncul kaum
"popolo grosso", yaitu para pedagang dan kaum pemodal (peminjam uang) yang kaya raya, kaum patricia, dan kekayaan
meraka itu mempunyai pengaruh dalam bidang politik." Namun demikian lebih lanjut is menjelaskan bahwa ketika or-ang-
orang kaya itu bersama harta benda mereka pada suatu saat hijrah ke Malaya dan mendirikan pelabuhan Malaka di pantai
Malaya, dan hal itu diikuti oleh para pedagang di pelabuhan-pelabuhan Jawa lainnya, maka itu merupakan pertanda hari akhir
Majapahit. Sebaliknya Malaka terus berkembang menjadi pelabuhan yang sangat strategis. Suatu kebetulan bahwa
perkembangsan Malaka itu juga didorong oleh perdagangan rempah-rempah yang terus meningkat pada taraf internasional,
khususnya permintaan yang besar akan komoditi itu di benua Eropa yang kaya pada awal zaman renaissance. Demikianlah satu
abad kemudian bukan lagi Tuban yang merupakan pelabuhan dan kota terbesar di Nusantara, akan tetapi telah muncul Malaka
yang merupakan pusat utama semua kegiatan di lautan. Bahkan anak pelabuhan Tuban itu juga pada abad 15 telah
berkembang menjadi pusat kerajaan baru.
Menurut Ma Huan, dari Tuban sampai Surabaya merupakan pusat armada laut Majapahit yang digunakan
untuk menaklukkan pelabuhan-pelabuhan utama lainnya, termasuk di antaranya pusat kerajaan Islam di Pasai. Jiwa
ekspansionisme Tuban tidak lepas dari kebijakan yang diterapkan oleh Majapahit sebagai pelindung daerah itu.
Sejarah Maritim Indonesia I 185

Lebih lanjut disebutkan bahwa kota Tuban pada masa itu diperkirakan berpenduduk sekitar 5.000 jiwa. 42 Sedangkan
Tome Pires menyebutkan bahwa pada awal abad ke-16 Tuban merupakan tempat kedudukan raja, namun perdagangan dan
pelayarannya tidak begitu kuat bila dibandingkan Gresik. Keluarga raja sejak abad ke-15 masih menjalin hubungan dengan
kerajaan Majapahit, di mana pada masa itu sebagian besar penduduk masih kafir, tetapi penguasanya sudah masuk Islam.
Hal ini dapat diartikan bahwa pada abad itu Tuban masih merupakan bagian dari Majapahit. 43
Sesudah runtuhnya Majapahit yang ditandai dengan direbutnya ibukota Majapahit oleh orang Islam pada tahun 1527,
kota pelabuhan Tuban menjadi semakin otonom dan juga masih relatifmakmur sebagai akibat berkembangnya
perdagangan. Para pengunjung dari Barat baik Portugis maupun Belanda yang singgah di Tuban pada tahun 1599 sangat
mengagumi acara-acara kerajaan yang menunjukkan kemewahan dan kekayaan Tuban antara lain pawai gajah, kuda aiding
dan sebagainya. Para bangsawan Tuban juga memelihara banyak budak yang merupakan simbol status sosial yang sangat
penting.'
Dari segi militer, Tuban sebagai kota pelabuhan juga mengembangkan kekuatan militer laut (armada laut). Sebagai
salah satu buktinya adalah adanya jabatan Senapati Sarwajala, yang barangkali sejajar dengan jabatan Laksamana (panglima
armada laut), yang mengindikasikan adanya kekuatan armada laut Di samping itu Tuban juga merupakan salah satu pusat
industri perahu atau kapal untuk keperluan militer yang sangat terkenal di Asia Tenggara pada abad 16. Dalam hubungannya
dengan hal itu di Tuban dikenal kelompok ahli pembuat kapal dari kayu yang disebut dengan istilah undhagi lancang.
Kelompok ini termasuk dalam golongan watek i jro, yang berarti bahwa
mereka adalah tukang-tukang istana yang dipelihara atau digaji oleh raja.45 Disamping Tuban, sumber Belanda menyebutkan
kota-kota pelabuhan pantai utara Jawa yang juga terdapat industri galangan kapalnya yaitu Lasem, Jepara dan Rembang. Akan
tetapi hanya Rembang yang tetap bertahan sampai akhir pemerintahan Belanda di Indonesia.
Baru sekitar abad 17 terdapat informasi dari Kitab Pararaton yang lebih menjelaskan bahwa Tuban merupakan kota
yang dikelilingi
186 Kota-kota Maritim di Pantai Utara Jawa

oleh tembok. Adanya bangunan tembok itu mengindikasikan bahwa kota itu telah menjadi pemukiman penduduk dan
merupakan pusat kekuasaan ekonomi dan politik. Disamping itu dapat diperkirakan bahwa kota itu bisa jadi merupakan
benteng pertahanan untuk mempertahankan ancaman atau bahkan serangan dari luar. Dari hal itu dapat diperkirakan
bahwa pada masa itu para elit politik ikut terlibat atau berperan dalam sektor perdagangan. Lebih jauh bisa diperkirakan
bahwa sumber ekonomi penguasa atau raja Tuban tidak terutama berasal dari sektor pertanian, akan tetapi lebih terutama
berasal dari aktivitas perdagangan. Itulah yang menjadi ciri para raja atau penguasa di kota-kota pelabuhan sepanjang
pantai Jawa sebelum ditaklukkan oleh raja Mataram Islam di pedalaman. Sementara itu Meilink-Roelofsz menjelaskan
bahwa Tuban abad 17 lebih mirip sebagai kota aristokrat, tetapi yang aktif melakukan kegiatan perdagangan. 46 Barang-
barang komoditi yang diperdagangkan oleh penduduk setempat antara lain lada, burung, tulang penyu, cula badak, gading,
mutiara, kayu cendana, rempah-rempah, kapur barus. Semenatar komoditi impor yang banyak diperdagangkan antara lain
porselin Cina, gading, kain sutra bersulam emas, manik-manik dan lain-lain.
Berdasarkan fungsinya, tata ruang kota lama bisa dikelompokkan ke dalam tiga bagian, yaitu yang pertama sebagai pusat
kegiatan politik administrasi, kedua sebagai daerah pusat komersial dan yang ketiga daerah pinggir kota.' Pusat kegiatan politik-
admnistrasi kota Tuban terletak di sekitar alun-alun, dimana masih ditemuka sejumlah nama tempat yang menggambarkan
sebagai bekas pusat kegiatan administrative dan politik. Nama-nama itu di antaranya Bentengan (benteng), Kutorejo (sekitar
komplek istana), Kauman (di sekitar masjid besar), Dagan (komplek istana), dan Wiromantren (tempat tingal pejabat wiromantri).
Untuk pusat kegiatan komersial yang terletak dekat pelabuhan, juga masih ditemukan nama-nama tempat yang menunjukkan
fungsinya antara lain Pasar (pasar), Kajongan (tempat bersandar perahu), Pacinan, dan Boom (semacam kantor bea cukai).
Sementara itu di pingiran kedua tempat tersebut, terdapat nama-nama yang tampaknya menunjukkan sebagai bekas pemukiman
lama yaitu Pandean (pemukiman tukang pande besi), Kranggan (bekas tempat tingal para pejabat yang bergelar rangga),
Sejarah Maritim Indonesia I 187

Dorowangsan (tempat tingal orang penting bernama Dorowongso), Kaibon (rumah ibu surf) dan lain sebagainya.'
Dalam perjalanan sejarahnya Tuban pada tahtm 1568 dikuasai oleh Pajang bersama beberapa kota pelabuhan
lainnya seperti Demak dan Jepara. Selanjutnya pada tahun 1601 Tuban berada di bawah kekuasaan Mataram. Sejak saat itu
di Tuban ditempatkan bupati yang langsung diangkat oleh Mataram. Sejak saat itulah Tuban mulai mengalami
kemunduran, dan posisinya digantilcan oleh Surabaya di sebelah timur dan Jepara di sebelah Barg. Pada tahun 1615,
melalui persekutuan dengan Surabaya, Lasem, Pasuruhan dan pars penguasa kota-kota pelabuhan lainnya melakukan
pemberontakan terhadap Mataram. Namun demikian pada tahun 1619 pemberontakan itu bisa ditumpas dan Tuban
kembali dikuasai Mataram di bawah pemerintahan Sultan Agung. 49 Pada awal abad 18, atau tepatnya pada taun 1709 VOC
memperoleh konsesi dari Mataram untuk mendirikan benteng dan hak monopoli di Tuban. Dengan monopoli tersebut
Tuban dikenakan contingenten (penyerahan wajib jasa/tenaga kerja) dan verplichte leveranties (penyerahan wajib berupa
barang).

Gambar 4.4. Senenan (tumamen mingguan) di Tuban tahun 1599


(Sumber: Anthony Reid, Southeast Asia in the Age ofCommerce,
1988,1ilm. 188)
188 Kota-kota Maritim di Pantai Utara Jawa

3. Gresik
Menurut berita Cina, Gresik didirikan sebagai kota pelabuhan pada paroh kedua abad ke-14. Penduduk pertamanya
adalah para pelaut dan pedagang Cina. Pada tahun 1387 M, seperti daerah pesisir yang lain, Gresik masih dikenal sebagai
wilayah kekuasaan Majapahit. Namun demikian pada abad ke-14 telah terjadi hubungan lewat laut sepanjang pantai selat
Madura, antara Gresik dan Blambangan, dan kota-kota pelabuhan di antara kedua tempat itu. Gresik juga merupakan kota
pelabuhan yang terkenal karena letaknya terlindung oleh Selat Madura, dan membelakangi tanah yang subur, yaitu Delta
Bengawan Solo. Kemudian pada awal abad ke-15 kota Gresik mulai banyak didiami oleh orang Tionghoa yang kaya. Bahkan
kota ini menjadi gudang besar rempah-rempah yang berasal dari Maluku. 5°
Selanjutnya pada tahun 1415 M, disamping Surabaya dan Jepara, Gresik juga sudah disebut-sebut sebagai tempat
kediaman atau perkampungan yang makmur dari para saudagar bangsa Tionghoa. Bahkan pada tahun 1411 dari
perkampungan itu seorang penguasa Cina telah mengirim utusan yang membawa surat dan upeti ke kraton kaisar di Cina.
Namun demikian ada sumber yang menyebutkan bahwa sebenarnya keberadaan kantong-kantong muslim sudah lama
muncul di pantai utara Jawa. Pada dekade pertama abad ke-15, Ma Huan membedakan penduduk kota-kota dagang di
pesisir utara termasuk di Gresik ini kedalam tiga kelompok, yakni orang-orang Islam dari berbagai negeri asing, orang Cina
yang banyak beragama Islam, dan orang Jawa yang kafir (hindu) dan primitif.
Tome Pires memandang Gresik sebagai salah satu kota perdagangan laut yang paling kaya dan paling penting di seluruh Jawa.
Pada masa ini telah terjadi kontak antara kapal Gresik dengan kapal Gujarat, Calicut, Bangalen, Siam, Cina, dan Liu-Kiu,
Maluku, serta Banda.
Menurut cerita tutur Jawa, penguasa Gresik yaitu dinasti Giri telah mempunyai hubungan dengan Blambangan, Surabaya,
dan Malaka. Bahkan pelayaran dan perdagangan laut Gresik juga berhubungan dengan misi penyebaran agama Islam, dan
dengan para pedagang luar negeri.
Sejarah Maritim Indonesia I 189

Sumber yang lain menyebutkan bahwa Gresik dan Surabaya merupakan kota-kota pelabuhan yang pertama di Jawa
Timur, sebagai tempat terbentuknya komunitas Islam. Di camping itu tokoh agama Islam di Giri sebenarnya berasal dari
kalangan pelaut dan pedagang asing yang tinggal di kota pelabuhan Gresik. Tampaknya seperti disebut oleh Ma Huan,
Gresik merupakan kota yang pertama di antara kota-kota pantai utara Jawa Tengah yang penguasanya beragama Islam.
Dalam hubunganya dengan penyebaran agama Islam, Gresik yang bertetangga dengan Bukit Suci Giri dan Ngampel dekat
Surabaya, adalah merupakan pusat orang-orang Islam pertama di mana ajaran Islam (Al Qur'an) mulai diterjemahkan ke
dalam bahasa Jawa.
Antara tahun 1450 dan 1500 agama Islam dan saudagar Islam berkembang dan menguasai daerah pesisir utara Jawa
Timur dan Jawa Tengah. Demikian juga propinsi-propinsi (vassal-vasal) pesisir kerajaan Majapahit berkembang menjadi
kerajaan-kerajaan yang merdeka dan sebagian besar tak mau lagi mengakui pemerintahan pusat Majapahit. Dengan
demikian pada abad ke-15 kekuasaan Majapahit atas daerah Pesisir mak in lemah, dan banyak di antara vassal-vasalnya
yang melepaskan diri dari pusat kekuasaan.
Kekayaan negara-negara pantai yang kecil atau kota-kota pelabuhan ini berasal dari perniagaan laut yang sangat
berkembang dalam abad ke-15.5' Pada masa ini terdapat berbagai pedagang bangsa asing yang berdiam di Jawa, seperti
bangsa Keling, Drawida, Singal, dan Kamboja, (orang-orang yang berasal dari India Selatan), Sailan, Birma dan Hindia
Belakang. Kondisi ini menunjukkan bahwa Pesisir Utara Jawa, termasuk Gresik telah memegang peranan penting dalam hal
perdagangan dan pelayaran.
Aktivitas pelayaran dan perdagangan dari Gresik itu tidak hanya
meliputi janglcuan pelayaran dan perdagangan antar pulau (interinsulair) misalnya dengan Maluku dan Banda, akan tetapi
sudah mulai mencapai jangkauan pelayaran intemasional. Ekspor rempah-rempah dari Gresik misalnya, sudah menjangkau dari
Asia Barat dan Tiongkok melalui jalur Selat Malaka. Transasksi perdagangan juga dilakukan di pelabuhan Gresik dengan kapal-
kapal yang datang dari Gujarat, Calicut, Bengalen,
190 Kota-kota Maritim di Pantai Utara Jawa

Siam, Cina dan Liu Kiu. Tampaknya Gresik merupakan pelabuhan transito untuk komoditi rempah-rempah tersebut yang
berasal dari Maluku. Sementara dari Jawa sendiri, melalui Gresik diekspor beras ke Maluku, Malaka dan beberapa pelabuhan di
Sumatra Utara dan kota-kota pelabuhan Indonesia lainnya. Menurut Tome Pires Gresik merupakan kota perdagangan laut yang
terkaya dan terpenting di pulau Jawa."
Di samping aktivitas perdagangan dan pelayaran, rupanya para pemimpin dari Giri, khususnya pemimpin agama pada
abad ke-16 dan ke-17, juga banyak melakukan intervensi politik dan ekonomi di luar Jawa, terutama di kepulauan di bagian
timur Nusantara. Sebagai contoh dalam kisah-kisah di Lombok disebutkan bahwa Pangeran Prapen, anak Susuhunan Ratu di Giri
(Gresik), berhasil memaksa raja kafir (Hindu?) di teluk Lombok untuk mengakui kekuasaan Islam. Bahkan dalam ekspedisi
keduanya telah berhasil menduduki kota Kerajaan Lombok yaitu Selaparang. Selanjutnya berdasarkan cerita setempat di Pasir,
Kalimantan Selatan, disebutkan bahwa telah terjadi perkawinan antara para pangeran Giri dengan putri-putri setempat." Dari
kedua contoh kisah itu, menunjukkan bahwa Giri/Gresik memiliki jangkauan pengaruh sampai seberang lautan.
Dalam bidang politik, ekonomi, dan militer para pemimpin Girl/ Gresik mempunyai ketahanan yang sangat handal.
Hal itu terbukti bahwa Gresik mampu mempertahankan diri selama hampir dua abad, walaupun selalu menerima ancaman
dan serangan baik dari Majapahit dan kemudian Mataram Islam. Walaupun akhirnya memang ditakiukan oleh Mataram, hal
itu baru terjadi pada tahun 1636, sementara Surabaya ditaklukkan Mataram pada tahun 1625, dan kota-kota pelabuhan yang
lain di Jawa Timur sudah takluk jauh-jauh sebelumnya. Disamping itu para pedagang dan pelaut dari Gresik juga telah
mampu memperkenalkan para tokoh agama atau ulama dari Giri Gresik sampai jauh ke luar Jawa. Sebagai salah satu
penyebabnya barangkali adalah bahwa perdagangan antar pulau, kekayaan dan pengaruh politik banyak mendapat
perhatian yang lebih dari para sunan di Giri, daripada para penguasa Islam yang lain di kota-kota pelabuhan pantai utara
Jawa, yang lebih mengkonsentrasikan diri sebagai ulama Islam."
Sejarah Maritim Indonesia I 191

Pada masa VOC, bersama Semarang, Surabaya dan Cirebon, pelabuhan Gresik dipergunakan untuk memfasilitasi
pelayaran dan perdagangan interinsuler di Nusantara antara Selat Malaka dan Maluku. Sementara komoditi ekspor andalan
dari Gresik pada waktu itu adalah beras dan garam.

Gambar 4.5. Kapal-Kapal Belanda sedang berlabuh di Gresik, 1788 (Knaap, Shalow Waters, Rising Tide, 1996, hlm. 22)

4. Surabaya
Menurut versi cerita rakyat setempat, nama Surabaya berasal dari kisah pertarungan antara Sawunggaling yang
diutus raja Majapahit untuk memberi peringatan kepada Adipati Jayengrono di Ujung Galuh, yang dikhawatirkan akan
memisahkan diri dari Majapahit. Petempuran keduanya sangat seru karena Sawunggaling mempunyai kesaktian ilmu Sura,
sementara Jayengrono mempunyai ilmu Buaya. Oleh karena sama-sama saktinya, keduanya akhirnya meninggal bersama. Di
tempat mereka berkelahi, yaitu di pinggir sungai, di kemudian hari orang menyebutnya dengan nama Surabaya.
192 Kota-kota Maritim di Pantai Utara Jawa

Seorang sejarawan Jerman yang bernama Von Faber menyatakan bahwa Surabaya didirikan oleh Raja Kertanegara
tahun 1275, sebagai markas bagi prajuritnya yang telah berhasil menumpas pemberontakan Kemuruhan tahun 1270 M.
Sumber yang lain menyebutkan bahwa Surabaya sebelumnya bernama Ujung Galuh. Selanjutnya pada tahun 1293 Raden
Wijaya yang kemudian mendirikan kerajaan Majapahit, telah berhasil mengusir pasukan Tar-Tar, yang akhirnya menyingkir
dari Majapahit melalui Ujung Galuh, terletak di muara Kali Mas.
Berdasarkan prasasti Trowulan I yang berangka tahun 1358, dapat diketahui bahwa pada waktu itu Surabaya masih
merupakan desa yang terletak di tepian sungai Brantas, yang sekaligus merupakan tempat penyeberangan. Sementara itu
berdasarkan pujasastra Negara Kertagama pupuh XVII (bait ke-5, baris terakhir), yang ditulis oleh Prapanca, disebutkan
bahwa baginda Hayam Wuruk pada tahun 1365 pernah berkunjung ke Surabaya, yang pada waktu itu merupakan ibukota
daerah Jenggala. Kunjungan itu terabadikan dalam "Piagam Tambangan" yaitu tempat penyeberangan di Surabaya, yang
sekaligus menunjukkan bahwa pada pertengahan abad 14 Surabaya merupakan ibukota dan pusat perekonomian yang
penting." Menurut Tome Pires, raja Surabaya pra Islam adalah penguasa di Terung yang merupakan sahabat raja Majapahit.
Seperti telah diuraikan di muka bahwaAdipati Terung pernah diutus raja Majapahit untuk memperingatkan Raden Patah akan
kewajiban untuk taat kepada raja. Namun demikian Adipati Terung tidak menjalankan tugasnya dengan baik, akan tetapi
justru bersekutu dengan umat Islam yang berkumpul di Bintara atau Demak. Dari situ mereka bersama-sama menyerang
Majapahit.
Dari segi ekonomi Surabaya bukanlah kota pelabuhan dan kota dagang yang penting seperti halnya Gresik, karena para
pelaut Surabaya lebih banyak melakukan kegiatan menjadi bajak laut. Sementara pendapatan utama penguasa di Surabaya
adalah dari tanah yang subur dan luas pada delta sungai Brantas." Berbeda dengan Sunan Giri di Gresik dan Sunan Gunung Jati
di Cirebon yang keduanya juga berperan penting dalam bidang politik dan kekuasaan duniawi (raja ulama), tokoh ulama
Surabaya yaitu Sunan Ngampel Denta sejak awal memang lebih sibuk dengan urusan kerohanian atau keagamaan, yaitu
sebagai Imam
Sejarah Maritim Indonesia I 193

masjid Surabaya. Tugasnya sebagai Imam masjid itu adalah atas inisiatif raja Surabaya yaitu Adipati Terung yang bernama
Aria Sena. Dengan demikian para penguasa atau raja di Surabaya yang kemudian atau pada abad 16 dan 17 tidak mempunyai
hubungan darah atau keturunan langsung dari Sunan Ampel Denta yang sudah meninggal sebelum runtuhnya Majapahit.
Walaupun bukan merupakan emporium, Adipati di Surabaya tampaknya diakui sebagai penguasa yang sangat dihormati
atau tertinggi di antara para penguasa atau raja-raja di Jawa Timur seperti Wirosobo, Panorogo, Sidayu, Tuban, Gresik, Madiun,
Blora, Jipang, Rembang dan lain-lain. Hal itu lebih tampak jelas ketika sejumlah raja-raja di Jawa Timur bersatu padu berhasil
membendung pasukan Mataram pada masa pemerintahan Panembahan Senopati, yang berada di Mojokerta (Japan) dalam
usahanya untuk menunjukkan kekuasaannya di Jawa Timur. Gabungan raja-raja Jawa Timur di bawah pimpinan Pangeran
Surabaya itu terdiri dari penguasa Tuban, Sidayu, Lamongan dan Gresik (untuk daerah pasisiran), serta Pasuruhan, Kediri,
Wirasaba, Lumajang, Kertosono, Malang, Blitar dan lain-lain (untuk daerah Pedalaman)." Dalam perkembangannya daerah-
daerah itu akhirnya me-nang mengakui kekuasaan atau paling tidak berada di bawah perlindungan raja Surabaya. Sebagai
contoh pada tahun 1599 Syahbandar kota pelabuhan Gresik dan wakil Syahbandar di Jaratan yang dari segi ekonomi lebih
penting dan menguntungkan daripada Surabaya, ternyata diangkat oleh raja Surabaya.58
Sumber Belanda menyebutkan bahwa pada tahun 1612 Surabaya sudah berkembang menjadi bandar perdagangan
yang ramai. Banyak
pedagang asing yang datang ke Surabaya untuk membeli rempah-rempah. Pada waktu Mataram diperintah oleh Sultan Agung (1613-
1645), juga dilakukan usaha untuk melanjutkan cita-cita raja sebelumnya untuk menaklukkan raja-raja atau para penguasa di Jawa Timur
yang di motor' oleh raja Surabaya. Walaupun tidak bersekutu dengan Belanda, paling tidak Sultan Agung mengharapkan agar Kompeni
Belanda tidak berpihak apalagi bersekutu dengan raja-raja di Jawa Timur. Oleh karena itu, jika tidak bisa dikatakan memberi konsesi,
Sultan Agung membiarkan kompeni
194 Kota-kota Maritim di Pantai Utara Jawa

Belanda mendirikan loji-loji di kota-kota pelabuhan pantai utara Jawa seperti Jepara, Rembang, Tuban, Gresik dan
sebagainya.
Demikianlah Wirasaba ditaklukkan pada tahun 1615, Lasem pada akhir tahun 1616, Pasuruhan pada tahun 1617, dan
Tuban pada tahun 1619. Sementara Surabaya baru bisa betul-betul ditaklukkan pada tahun 1625, setelah melalui pertempuran
atau serangan-serangan sebanyak 5 kali.59Namun demikian pada tahun 1667 terjadi kerusuhan di Surabaya, sebagai akibat
serangan bajak laut dari Makasar. Pada saat yang sama muncul seorang tokoh yang berasal dari Madura yaitu Trunajaya, yang
memberontak terhadap Mataram. Bahkan bersama orang-orang Makasar is berhasil menguasai Madura dan Surabaya. Dengan
bantuan VOC, pemberontakan Trunajaya itu akhirnya bisa dipatahkan, dan Surabaya akhirnya dikembalikan kepada Mataram.
Selanjutnya seperti telah disebutkan di depan, pada tahun 1749 Surabaya dianeksasi oleh VOC.
Pada masa VOC perdagangan dan pelayaran melalui pelabuhan Surabaya sedemikian berkembang dan menjangkau intra
Asia. Menurut sumber VOC tahun tahun 1774/1777 disebutkan bahwa jaringan pelayaran Surabaya meliputi: pelabuhan-
pelabuhan di Jawa, Bali, Bima, Banjarmasin, Pasir, Mempawah, Sambas, Palembang, Makassar, Mandar, Malaka, Riau, Johor,
Makassar, Mandar, dan Trengganu.
Sejarah Maritim Indonesia I 195

Peta 4.3. Benteng VOC di Surabaya (denah tahun 1708)

A A:12 TT. VAN Dr. VT: S'1`1.oP S orAt. All A-SC A.


M'nji I 70.Ei • 1./N. .

· . Jel :art . S .reek .0.•••


!N.:J=7
. 1..,....7.toax•*

3...-A.1.•• . ant...,

Sumber : Francois Valentijn, Oud en Nieuwe Oost-Indien,


Beschrijving van Amboina, Dordrecht.

5. Semarang
Ditinjau dari sudut morfologinya, letak geografis kota Semarang dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu kota atas atau
daerah bukit Candi yang biasa disebut dengan istilah kota atas (bovenstad) dan daerah rendah atau dataran aluvial disebut
kota bawah (benedenstad). Diperkirakan dataran aluvial itu secara alami selalu makin bertambah antara 8 - 12 M pada setiap
tahunnya.6° Pertambahan itu terutama sebagai akibat pengendapan lumpur yang dibawa oleh sungai Kaligarang atau sungai
Semarang yang pada jaman kolonial Belanda tampak melewati dan membelah kota Semarang. Berdasarkan asumsi itu maka
dapat diperkirakan bahwa pada sekitar abad ke 10 pantai laut Semarang terletak di sepanjang kaki bukit Candi, sedangkan
dataran aluvial yang akhirnya membentuk kota Semarang bawah, pada masa itu masih merupakan delta dan beting-peting
pantai yang terletak bersebelahan antara muara sungai
196 Kota-kota Maritim di Pantai Utara Jawa

Semarang. Oleh karena itu yang dinamakan Semarang pada abad ke 8 sampai 10 masih merupakan dataran tinggi atau
daerah pegunungan dengan ketinggian antara 25 M sampai 250 M, dan terkenal dengan nama bukit Candi.
Mengenai informasi keberadaan pelabuhan Semarang ternyata sudah diketahui sejak jaman Hindu, bahkan pada masa
itu sudah merupakan bandar utama dari kerajaan Mataram kuno (732-824) dengan pusat pemerintahannya di Medang Jawa
Tengah. Hanya saja pelabuhan Semarang pada waktu itu masih berlokasi pada kaki bukit Candi, karena kota Semarang bawah
pada masa itu masih merupakan bagian dan laut Jawa atau teluk yang menjorok ke daratan sampai ke suatu tempat yang
sekarang dikenal dengan nama Bergota.6' Oleh karena itulah pelabuhan Semarang pada waktu itu tidak lain adalah pelabuhan
Bergota. Bagi Mataram kuno, pelabuhan Bergota sangat penting artinya bagi pengembangan ekonomi kerajaan, sehingga
Mataram pada waktu itu bisa berkembang menjadi kerajaan Hindu terbesar di Jawa. Bahkan kemunduran kerajaan itu pada
akhirnya juga sebagai akibat semakin tidak berfungsinya pelabuhan Bergota, oleh karena pengendapan lumpur yang semakin
mendangkalkan perairan pelabuhan, terutama yang dibawa oleh aliran sungai terbesar pada waktu itu yaitu Kaligarang.
Kerajaan yang secara ekonomis memang sudah semakin mengalami kemunduran itu pada tahun 1006 akhirnya harus
menghilang dan panggung sejarah Indonesia. Diperkirakan menghilangnya kerajaan itu karena tenggelam oleh bencana air
pasang naik dan laut Jawa sebagai akibat meletusnya gunung Merapi di Jawa Tengah.62
Informasi keberadaan Semarang sebagai kota pelabuhan muncul lagi dalam dalam berita kedatangan Laksamana Cheng Ho,
seorang pemimpin misi muhibah dari kerajaan Tiongkok dalam rangka kunjungan ke negara-negara atau kerajaan-kerajaan di
Mancanegara. Di kalangan masyarakat Jawa Cheng Ho lebih dikenal dengan nama Sam Poo.63 Tujuan utamanya adalah
memperagakan kekuatan militer kaisar Chuti dan dinasti Ming yang berkuasa pada waktu dan juga untuk menunjukkan bahwa
Tiongkok negara kaya dan juga adidaya. Menurut tradisi masyarakat Tiong Hoa di Semarang, dalam melaksanakan misi muhibahnya
Cheng Hoo pernah mengunjungi Semarang pada tahun 1406. Ia mendarat di
Sejarah Maritim Indonesia I 197

desa Mangkang, sekarang terletak sekitar 2 Km kepedalaman dari pantai laut, yang pada waktu itu masih merupakan pantai
laut. Sebagai penghormatan atas jasa-jasanya maka oleh masyarakat Tionghoa di Semarang didirikan sebuah klenteng dekat
tempat ia berlabuh, yaitu di desa Simongan. Masyarakat Semarang lebih mengenal klenteng itu dengan sebutan klenteng
Gedung Batu. Di tempat itu juga dimakamkan salah seorang pengikut Cheng Hoo, yang meninggal karena kecelakaan, yang
oleh masyarakat Jawa lebih dikenal sebagai Dampo Awang atau Kyai Jurumudi." Dari sumber yang lain yaitu Tome Pires
seorang musafir Portugis yang pemah mengunjungi daerah pesisir utara Jawa antara bulan Maret sampai Juni 1513,
disebutkan adanya beberapa kota palabuhan yang cukup penting di pantai utara Jawa antara lain Cirebon, Demak, Losari,
Tegal dan Semarang.65 Juga disebutkan bahwa tokoh Muslim dari Demak yaitu Pate Memet, ipar dari Pate Rodin (Raden Patah
Sultan dari Demak) pemah menguasai Semarang.66Sesudah itu Semarang berada dibawah kekuasaan raja Mataram Islam,
yaitu Pajang. Dalam hal ini Diogo de Couto dalam kitabnya yang berjudul "Da Asia de Joao de Barros e Diogo de couto (jilid IV
dan XII)" menyebut-nyebut peperangan Francisco de sa di Jawa (1528). Pelabuhan-pelabuhan yang ia sebut-sebut antara lain
Bali, Panarukan, Gresik, Sedayu, Tuban, Brondong, Juwana, Jepara, Demak, Semarang, Banten, Sunda, dan lain-lain. Semarang
yang disebut dengan kata Margao merupakan pelabuhan dari kerajaan Pajang, kerajaan berjarak sekitar 130 Mil 185 Km dari
pantai utara.67
Sebagai suatu daerah yang memiliki pemerintahan, hal itu baru diketahui terjadi pada tahun 1575, yaitu ketika Kyai
Pandan Arang diangkat menjadi bupati Semarang oleh Sultan Demak. 68 la adalah anak Pangeran Made Pandan, cucu Pangeran
Sabrang Lor dan buyut Raden Patah. Dua yang tersebut terakhir adalah raja Demak, sedangkan Made Pandan tidak mau
menjadi raja tetapi menjadi kyai di pulau Tirang (Semarang). Dengan demikian kota pelabuhan Semarang merupakan daerah
kekuasaan kerajaan Demak. Akan tetapi pada periode itu pelabuhan Semarang letaknya sudah bergeser lebih ke bawah, kira-
kira pada muara Kali Semarang di kota Semarang bawah. Sesudah itu Semarang berada di bawah kekuasaan kerajaan Mataram
Islam yang
198 Kota-kota Mariam di Pantai Utara Jawa

berlokasi di pedalaman.69 Di bawah pemerintahan Panembahan Senopati (1554-1599) raja Mataram Islam yang berpusat di
Karta (Yogyakarta),
daerah Semarang dan kota-kota pesisiran Jawa Tengah termasuk Semarang berada dalam kekuasaan Mataram.'° Penggantinya
Sunan Amangkurat I (1645-1677) membangun keraton di Plered, tidak jauh dari Karla dan masih termasuk wilayah Yogyakarta.
Ia harus menghadapi persekongkolan Kajoran (1662-1667), yang tidak lain berhubungan dengan pemberontakan Trunajaya.
Persekongkolan itu dapat dipadamkan berkat bantuan Kompeni sehingga VOC memaksakan 2 (dua) perjanjian pada bulan
Agustus dan September 1646.7' Dalam perjanjian itu VOC diijinkan mendirikan loji (kantor dagang) di Semarang, dan menerima
hak monopoli perdagangan dari raja. 72 Sejak itu pulalah pelabuhan Semarang pada muara kali Semarang mulai berkembang
menjadi pusat ekonomi atau perdagangan dan pelayaran orang-orang Belanda, yang kemudian juga diikuti oleh orang-orang
Cina, pribumi dan lain-lainnya. Pendirian loji ini bagi kompeni VOC ternyata juga merupakan titik awal untuk lebih
menanamkan kekuasaannnya di kota Semarang bahkan aneksasi daerah-daerah seluruh Jawa Tengah pada masa selanjutnya,
kecuali wilayah Vorstenlanden (wilayah utama kerajaan Surakarta dan Yogyakarta, yang pada jaman kolonial Belanda identik
dengan karesidenan Surakarta dan Yogyakarta).
Awal terlepasnya Semarang dari kekuasaan Mataram terjadi pada tahun 1678, atau tepatnya berdasarkan perjanjian 15
Januari 1678 antara Amangkurat II dengan VOC sebagai konsekwensi atau imbalan jasa terhadap VOC yang telah membantu
raja dalam menumpas pemberontakan Trunajaya dari Madura (Jawa Timur). Konsesi atau imbalan yang diberikan kepada VOC
pada waktu itu adalah diserahkannya Semarang dan Kaligawe kepada VOC dalam bentuk sewa atau digadaikan. 73 Agar
kekuatan VOC tidak bisa diserang dari lautan maka pada tahun 1680an dibangun benteng utama di pantai utara Jawa yaitu di
Tegal, Semarang, Jepara, Rembang dan Surabaya, serta benteng-benteng yang lebih kecil di kota-kota pelabuhan lainnya.
Disamping sebagai kantor tempat pertahanan dan kantor dagang, benteng-benteng tersebut juga berfungsi sebagai tempat
tinggal masyarakat Eropa, sehingga juga diberi istilah sebagai kota-kota benteng." Walaupun
Sejarah Maritim Indonesia I 199

pemerintahan Semarang masih dijalankan oleh bupati dengan kewajiban menyerahkan contingenten dan verplichte
leveranties,75 pada benteng atau loji VOC di Semarang sudah diangkat seoiang komisaris "Java Oostkust" yaitu Michiel
Ram. Kota benteng itu dikenal dengan nama "Vijf Hoek", karena memang dikelilingi atau berbentuk ujung lima yang
masing-masing dilengkapi dengan post pertahanan. Benteng itu mempunyai 4 pintu masuk, yaitu de
Gouvernementsbrug, de Oast Poort, de punt Amsterdam dan de Tawang Punt. Sebagai pusat kekuasaan VOC di pantai
timur Jawa benteng Semarang membawahi benteng atau 6 Loji VOC lainnya yaitu Tegal, Juwana, Rembang, Surabaya,
dan Pos Militer di Pasuruan dan Kartasura. 76
Sejak tahun 1697, pelabuhan Semarang pada dasarnya sudah menggantikan kedudukan Jepara yang tidak mampu
lagi mempertahankan fungsinya sebagai sebagai pelabuhan ekspor produk-produk pertanian khususnya beras. 77 Hal itu
terjadi pada tahun 1697 bersamaan dengan dipindahkannya pusat kekuasaan VOC di Jawa yang semula berkedudukan di
Jepara ke Semarang.78 Sejak itu pula maka Semarang menjadi salah satu kekuasaan VOC di Jawa di samping Batavia dan
Jepara." Bahkan pada tahun 1707 VOC memindahkan pusat kekuasaannya dari benteng di Jepara ke Semarang.° Sebagai
alasan utamanya adalah pengendapan lumpur di perairan pelabuhan yang sudah sedemikian rupa sehingga sudah sejak
tahun 1700 kapal-kapal VOC yang besar tidak bisa merapat sampai ke pantai Jepara. Sejak itu pula Semarang semakin
berkembang sebagai kota pelabuhan yang terbesar di Jawa Tengah sampai berakhirnya pemerintahan kolonial Belanda."
200 Kota-kota Maritim di Pantai Utara Jawa

Gambar 4.6. Pelabuhan Semarang tahun 1703


(Sumber : Valentijn, Oud en Nieuwe Oost-Indie)

7. Pelabuhan Sunda Kelapa


Sunda Kelapa merupakan kota pelabuhan yang terletak di teluk Jakarta, dan pada zaman Hindu Sunda terletak di
pantai utara kerajaan Pajajaran, tepatnya di dekat muara Ciliwung. Dengan demikian nama Sunda Kelapa sudah ada atau
berasal dan zaman sebelum Islam. Nama Jayakarta atau Jakarta diberikan oleh Jawa Islam dari Banten yang telah
merebutnya. Kota pelabuhan Sunda Kelapa sudah sejak abad 5 dihuni oleh penduduk pribumi yang sudah berhubungan
dengan dunia luar baik dengan daerah-daerah di sepanjang pantai pulau Jawa maupun daerah-daerah di luar Jawa." Bukti
adanya pemukiman-pemukiman penduduk pribumi itu adalah prasasti-prasasti yang diperkirakan dikeluarkan dan ditulis
atas nama raja Taruma Negara. Prasasti-prasasti itu adalah: prasasti Lebak (Cidanghiang), prasasti Jambu (Koleangkak),
prasasti Ciaruteun , prasasti Kebon Kopi, prasasti Muara Cianten, prasasti Pasirawi dan prasasti Tugu. 83 Berdasarkan berita
Cina disebutkan
Sejarah Maritim Indonesia I 201

bahwa Fa hien pada tahun 414 berangkat dari India ternyata pernah terdampar di Jawadi, 84 yang diperkirakan adalah
Jawa, dengan kerajaannya Taruma Negara di Jawa Barat.
Diperkirakan surutnya kerajaan Taruma Negara adalah sebagai akibat serangan kerajaan Sriwijaya. 85 Sebagai
penggantinya adalah munculnya kerajaan Sunda Pajajaran atau Pakuan Pajajaran. Salah satu bukti mengenai hal itu adalah
ditemukannya parasasti Batu Tulis di Bogor yang menyebutkan Pajajaran sebagai pusat kerajaan yang didirikan pada tahun
1333. Kerajaan Sunda itu mempunyai 6 pelabuhan yang penting dan ramai dikunjungi pedagang-pedagang asing yaitu
pelabuhan Banten, Pontang, Cigede, Tamara, Cimanuk dan Kalapa (Sunda Kelapa)." Namun demikian misi dagang dan politik
dari kerajaan-kerajaan yang termasuk dalam wilayah kebudayaan Sunda, telah menyeret penduduk di daerah itu dalam
percaturan politik ekonomi yang lebih luas pada masa lampau.87
Tampaknya Sunda kelapa pada masa pra Islam merupakan pelabuhan utama kerajaan Hindu Sunda, yang
beribukotakan di Pakuan Pajajaran (terletak sekitar 40 kilometer di pedalaman) yaitu di Batutulis (dekat Bogor). Sebagai
pelabuhan yang letaknya sangat strategis, besar dan memiliki daerah pedalaman (hinterland) yang luas dan menghasilkan
berbagai produk-produk pertanian yang banyak diminati pedagang dan pelaut asing, khususnya lada, pelabuhan Sunda
Kelapa banyak dikunjungi kapal-kapal asing." Kapal-kapal itu antara lain datang dari Palembang, Tanjung Pura, Malaka,
Makasar dan Madura, bahkan juga kapal-kapal dari Tiongkok Selatan, India dan kepulauan Ryuku (Jepang). Bahkan bisa
diperkirakan bahwa Sunda Kelapa telah lebih dahulu
berkembang sebagai pelabuhan transito daripada Malaka, karena di samping tersedianya banyak komoditi lada, pelayaran
melalui selat Sunda dari Asia Barat lebih ramai daripada selat Malaka." Bahkan sampai pada akhir abad 15, Sunda Kelapa telah
berkembang menjadi pelabuhan dagang utama di Jawa Barat.
Raja Sunda yang masih beragama Hindu ini selalu khawatir akan
ancaman Cirebon yang sudah melepaskan diri dari Pakuan Pajajaran, dan yang juga didukung oleh Sultan Demak yang
sama-sama sudah memeluk agama Islam. Dalam hal itu Demak dan Jepara memang menentang kehadiran Portugis di
Jawa, sehubungan dengan gagalnya mengusir Portugis dari Malaka yang pernah dilakukannya beberapa kali
202 Kota-kota Maritim di Pantai Utara Jawa

dengan ekspedisi militer. Diberitakan juga bahwa raja Hindu Sunda pernah dua kali berkunjung ke Malaka (1512 dan 1521)
dalam rangka menjalin persahabatan atau persekutuan dengan orang-orang Portugis di Malaka. Sebagai alasannya adalah
adanya ancaman dari Cirebon. Demikianlah bangsa Eropa yang pertama kali datang ke Sunda Kelapa, yang tidak lain orang
Portugis pada tahun 1513, adalah merupakan kelanjutan dari persekutuan raja Sunda dengan Portugis. Kedatangan orang-
orang Portugis itu di bawah pimpinan de Alvin dengan armada yang terdiri 4 buah kapal. Di samping itu mereka juga ingin
mencari atau membeli rempah-rempah khususnya lada. 9° Dalam armada kapal Portugis itu ikut serta Tome Pires yang
memberikan laporan mengenai sejarah dan keadaan Bandar Sunda Kelapa, serta bandar-bandar lain di sepanjang pantai
utara pulau Jawa. Laporan itu dihimpun dalam bukunya yang sangat terkenal yaitu Summa Oriental (1513-1515).
Dalam bukunya itu Tome Pires juga menguraikan panjang lebar mengenai kerajaan Hindu Sunda itu yang meliputi
lebih dari sepertiga pulau Jawa, sementara rajanya yang bergelar Ratu Samiam, (alias Prabu Surawisesa), adalah
penyembah berhala, yang berarati beragama Hindu. Selanjutnya dikisahkan bahwa di kerajaan Sunda itu terdapat 4000
kuda yang didatangkan dari Sumatra dan pulau-pulau lainnya untuk diperjualbelikan. Menurut Tome Pires, raja Hindu
Sunda yang beribukotakan di Dayo (sekarang Bogor) mempunyai wilayah sampai ke Banten, pelabuhan Cisadane,
pelabuhan Pomdam Tangerang, Sunda keiapa dan Cimanuk. Sementara pelabuhan Sunda Kelapa tepatnya terletak pada
muara Sungai Ciliwung, dimana kota Jakarta sekarang terletak. Ia merupakan pelabuhan terpenting di Jawa Barat pada
masa itu, dan lebih besar jika dibandingkan dengan pelabuhan Banten dan Cirebon.9'
Perkembangan pesat lebih lanjut dari pelabuhan Sunda Kelapa sebagai pelabuhan dagang itu sesungguhnya juga
sebagai dampak dikuasainya Malaka oleh Portugis pada tahun 1511. Dalam hubungannya dengan hal itu, para pedagang
Muslim yang biasa berdatangan ke Malaka tidak mau lagi berhubungan dagang dengan orang-orang Portugis yang Kristen,
dan mengalihkan jalur perdagangannya ke Sunda Kelapa. Akan tetapi dalam menghadapi kekuatan Demak dan Cirebon yang
semakin
Sejarah Mariam Indonesia I 203

mengembangkan wilayahnya ke arah Barat, maka raja Sunda Kelapa terpaksa menjalin hubungan persekutuan dengan Portugis di
Malaka. Pada pihak lain yaitu Portugis, oleh karena mempunyai kepentingan dalam perdagangan di pelabuhan Sunda Kelapa,
pemimpin orang Portugis yang kemudian yaitu Henrique Leme pada tahun 1522 juga datang ke Sunda Kelapa, untuk mengadakan
perjanjian perdamaian dengan raja Hindu Sunda atau Pakuan Pajajaran. Kedatangan mereka tentu saja disambut dengan suka cita
oleh raja Sunda itu. Bahkan raja mengharapkan agar raja dari Portugal bisa mengirim sebanyak mungkin kapal ke Sunda Kelapa
untuk berdagang atau mengambil lada, dan mengijinkan Portugis untuk membangun benteng di Banten. Sebagai jaminannya raja
akan meyediakan 1000 karung lada pada setiap tahunnya (sekitar 351 Kwintal) pada setiap tahunnya, untuk diangkut ke
Portuga1.92 Perjanjian itu tepatnya diselenggarakan dan ditandatangani pada 21 Agustus 1522. Salah seorang petinggi Sunda
kelapa yang juga disebutkan dalam perjanjian itu adalah Syahbandar pelabuhan Sunda Kelapa.
Dalam hal itu raja Pakuan Pajajaran memanfaatkan persahabatan ini disamping untuk meningkatkan perdagangan, juga
untuk mempertahankan diri dari kemungkinan serangan penguasa-penguasa Jawa Tengah yang sudah beragama Islam. Namun
demikian sebelum persekutuan itu menjadi kenyataan, dan sebelum Portugis membangun tempat kedudukan (benteng) yang
kuat di Sunda Kelapa, di Sunda Kelapa sudah terjadi peristiwa dan perubahan politik yang sangat penting, dan menentukan bagi
masa depan kerajaan Pakuan Pajajaran. Peristiwa dan perubahan politik yang sangat penting adalah bahwa pada tahun 1527
Sunda Kelapa sudah berhasil dikuasai oleh pasukan gabungan Cirebon dan Demak, dibawah pimpinan Faletehan atau Fatahillah
yang sudah
berkuasa di Banten pada tahun 1526. Hal itu terjadi beberapa hari sebelum armada Portugis yang terdiri dari 3 buah kapal dibawah
pimpinan Francisco de Sa tiba berlabuh di pelabuhan Sunda Kelapa. Bahkan semua awak (30 orang) dari salah satu kapal dibawah
pimpinan Duarto Coelho yang oleh karena badai terdampar di Sunda Kelapa, dibunuh oleh pasukan Cirebon. Demikianlah akhirnya
Portugis gagal membangun benteng di Sunda Kelapa karena dihalau oleh pasukan gabungan Cirebon Demak. 93 Ada yang
memperkirakan bahwa sesudah peristiwa itu mulai
204 Kota-kota Maritim di Pantai Utara Jawa

muncul nama Jayakarta sebagai ganti Sunda Kelapa. Dialah (Fatahillah) yang sementara ini dianggap orang telah mengubah nama
dari Sunda Kelapa menjadi Jayakarta. Tepatnya hal itu terjadi pada tanggal 22 Juni 1527, yang diperingati sebagai hari jadi kota
Jakarta. Namun demikian sesungguhnya nama asli Sunda Kelapa masih dikenal orang-orang Portugis puluhan tahun kemudian.94
Lebih dari itu sumber Portugis J. de Baros menyebutkan bahwa nama Jayakarta barn muncul pada tahun 1560an.95Ketika
Fatahillah mengikuti raja Demak yaitu Sultan Trenggana memerangi Panarukan di ujung Timur Jawa, Sunda Kelapa di serahkan
kepada Tubagus Angke, menantu Maulana Hasanudin dari Banten."
Pada waktu orang Belanda pertama kali datang ke Sunda kelapa pada tangal 13 November 1596 di bawah pimpinan C. de
Houtman, nama Sunda Kelapa ternyata memang sudah berubah menjadi Jayakarta." Dalam perkembangan selanjutnya ternyata
orang Belanda dengan VOCnya berusaha menguasai Jayakarta dalam rangka mencari tempat kedudukan/pemerintahahn VOC di
Nusantara. Hal yang pertama dilakukan adalah pada tahun 1613 mendirikan gudang Nassau di tepi Timur muara sungai Ciliwung.
Gudang itu didirikan melalui perjanjian antara penguasa Sunda Kelapa yang baru pengganti Tubagus Angke yaitu Pangeran
Jakarta Wijayakrama dengan Pieter Both." Tidak ketinggalan pada tahun 1615 Inggris juga mendapat izin untuk membangun
gudang kayu di tepi barat sungai Ciliwung." Selanjutnya pada tahun 1618 Belanda kembali membangun gudang yang diberi nama
Mauritius menghadap ke barat, dan sejumlah 300 orang Belanda tinggal di Jayakarta. Dalam hal itu jelas terjadi persaingan antara
Belanda dan Inggris dalam berebut pengaruh di Jayakarta. Persaingan itu pada puncaknya memang berlanjut dengan saling baku
tembak antara kapal Inggris dengan kapal Belanda di teluk Jakarta pada tanggal 30 Desember 1618. Dalam konflik itu kapal-kapal
VOC terpaksa mengundurkan diri dan menyingkir ke Maluku. Namun demikian pada pada tanggal 30 Mei 1919 J.P. Coen kembali
ke Jayakarta dengan armada yang terdiri dari 18
kapal, dan berhasil menghancurkan dan merebut Jayakarta. Pada waktu itu Inggris telah meninggalkan Jayakarta (2 Februari
1619). Orang-orang dan prajurit Banten yang pada waktu itu menduduki Jayakarta ternyata tidak siap dan tidak mampu membela
dan mempertahankan kota tersebut.
Sejarah Maritim Indonesia I 205

Selanjutnya kota Jayakarta dibakar habis dan akhirnya dikuasai oleh Belanda di bawah pimpinan Coen.m Tujuan utamanya
adalah untuk mendirikan pos atau benteng yang aman di Nusantara sebagai pusat administrasi, perdagangan dan politik
pemerintahan VOC.
Setelah berhasil menguasai Jayakarta, maka Belanda VOC pada tahun 1620 merubah nama kota itu menjadi Batavia.
i'Untuk menjaga kestabilan kota Batavia, VOC melarang penduduk kota Batavia keluar tanpa seizin penguasa VOC, demikian
juga bagi yang akan masuk kota Jakarta. Untuk itu dibangunlah dinding tembok yang mengelilingi kota Batavia.m Hanya saja,
nama Sunda Kelapa masih tetap tidak berubah. Artinya nama pelabuhan Sunda Kelapa tidak dirubah menjadi pelabuhan
Batavia, tetapi pelabuhan itu berada dalam wilayah kota Batavia. Sejak saat itu Batavia menjadi pusat kekuasaan VOC di
Nusantara, bahkan juga pemerintah Hindia Belanda yang menggantikan VOC yang bubar pada tahun 1799.
Dalam hal perdagangan di Nusantara VOC selalu berusaha untuk menerapkan sistem monopoli. Hal itu dilakukan
melalui intervensi dalam konflik-konflik politik atau suksesi di berbagai kerajaan di Indonesia, dengan membantu pada pihak
yang menguntungkan.103 Sebagai imbalannya VOC memperoleh ijin mendirikan benteng-benteng di kota-kota pelabuhan, hak
monopoli perdagangan di kota-kota pelabuhan, dan bahkan akhirnya menguasai kota-kota pelabuhan tersebut. Hak monopoli
itu tentu saja tidakjarang menimbulkan konflik atau persaingan dengan serikat-serikat dagang Eropa lainnya, terutama dengan
kompeni Inggris. Sebagai contoh pada tahun 1618-1619 terjadi konflik antara Ingris dengan Belanda di Jakarta. Pada waktu itu
Inggris bersekutu dengan Pangeran Jakarta Wijayakrama untuk menyerang dan merebut benteng Belanda.'
206 Kota-kota Maritim di Pantai Utara Jawa

Oade afbeelding Tan Batavia.

Gambar 4.7. Lukisan Lama Batavia

(S umber: R van Eck, Luctor et Emergo de Geschiedenis der


Nederlanders in de Oost Indische Archipel, 1899, hlm. 53)

B. Kota dan Masyarakat Pelabuhan

Pembahasan kota dan masyarakat pelabuhan di Indonesia, sesungguhnya menunjukkan pentingnya studi sejarah maritim Indone -
sia. Sebagai alasannya bahwa wilayah Indonesia untuk sebagian besar memang terdiri dari wilayah perairan (laut) yang di dalamnya
terdapat ribuan pulau. Atau juga bisa dikatakan bahwa secara geografis Indone sia berbentuk kepulauan dengan wilayah lautan jauh lebih
luas daripada wilayah daratan. Menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia wilayah In donesia terletak antara dua benua yaitu Asia dan
Australia, dan antara dua samodra yaitu samodra Hindia (Indonesia) dan samodra Pasifik, terdiri dari lebih 13.000 pulau, mulai dari pulau
We di ujung utara/ barat sampai pulau Irian di ujung timur, dengan perbandingan wilayah laut dan darat antara 78 : 22.1°5
Sejarah Maritim Indonesia I 2

Mengenai pelabuhan-pelabuhan yang merupakan bagian kota-kota pelabuhan, keberadaannya tentu raja sangat
tergantung dari
masyarakat pelabuhan sebagai pendukung atau yang
mengeksploitasinya. Oleh karena itu ada pakar yang menyatakan bahwa secara fisik pelabuhan merupakan pertemuan antara
kawasan lautan
dengan kawasan daratan, sedangkan secara sosial budaya merupakan pusat bertemunya orang-orang yang berasal dari
lingkungan budaya yang berlainan. Sementara itu menurut pakar Sejarah Maritim Indonesia A.B. Lapian, dalam sejarahnya
fungsi pelabuhan selalu berubah-ubah. Pada suatu saat suatu pelabuhan bisa dipahami dari konsep fisik (physical concept),
yaitu sebagai tempat berlindung atau berlabuh kapal-kapal (a shelter for ships). Kemudian pada suatu saat yang lain
pelabuhan bisa dipahami dari konsep ekonomi (economical concept), yaitu sebagai tempat tukar-menukar atau keluar-
masuknya barang-barang komoditas antara hinterland (daerah pedalaman) dengan foreland (daerah seberang). Selanjutnya
pada suatu saat pelabuhan bisa menjadi mati atau tidak berfungsi lagi.'" Dari konsep ini pengertian pelabuhan lebih
ditekankan pada fungsinya daripada pengertian fisiknya.
Selanjutnya Peter Reeves dan kawan-kawan juga lebih mengacu pada konsep ekonomi dalam mendefinisikan pelabuhan,
yaitu merupakan pusat jaringan ekonomi bahkan kekuasaan antar daerah-daerah, kota-kota atau pelabuhan di sekitarnya.w 7
Namun demikian, menurut Heather Sutherland peran aspek ekonomi itu tidak hams dipahami secara absolut, yakni bahwa
aktivitas ekonomi di pelabuhan bukan merupakan satu-satunya kriteria yang paling menentukan (dominan) dari sebuah kota
pelabuhan.'" Dalam hal itu terdapat faktor-faktor lain yang akan memberikan warna khusus atau karakteristik dari suatu kota
pelabuhan, bahkan lebih khusus lagi pada suatu pelabuhan.
Berdasarkan bukti-bukti arkeologis yang pemah ditemukan, dapat diperkirakan bahwa pada menjelang zaman
sejarah, masyarakat pantai atau di tempat-tempat yang dalam perkembangan yang kemudian menjadi kota-kota
pelabuhan, adalah masyarakat yang sebagian bermatapencaharian hidup dari bercocok tanam dan sebagian lagi dari
penangkapan basil laut seperti kerang dan ikan.
208 Kota-kota Maritim di Pantai Utara Jawa

Masyarakat pantai tersebut menggantungkan mata pencahariannya dari eksploitasi laut. Artinya bahwa mereka hidup
dari sumber daya dan alam laut yang masih berlimpah di dekat sekitar pantai. Dalam perkembangannya, basil sumber daya
laut yang antara lain berupa ikan, kerang, garam dan lain sebagainya selain dikonsumsi sendiri juga dipertukarkan dengan
barang-barang lain yang dihasilkan oleh komunitas pedalaman, seperti bahan makanan dan barang peralatan dari logam.
Sebagai contoh, kerang pada zaman itu tidak hanya dimanfaatkan atau dikonsumsi sebagai makanan, tetapi juga telah
direkayasa sedemikian rupa sehingga menjadi berbagai alat rumah tangga atau alat berburu. Di situs Gilimanuk (Bali)
misalnya, kerang dapat dijadikan bahan untuk membuat berbagai peralatan seperti lancipan, serut, gurdi, sendok, peralatan
tajam semacam pisau, barang perhiasan dan sebagainya.'" Dengan demikian dapat diperkirakan bahwa pada awal masa
sejarah, masyarakat pantai di Nusantara pada umumnya sudah mulai melakukan aktivitas perdagangan sederhana dengan
masyarakat pedalaman, walaupun masih dengan sistem barter.
Di samping kebutuhan jasmani yang bersifat subsistensi, masyarakat pantai atau muara-muara sungai juga
memerlukan pemenuhan kebutuhan rohani, yang produknya berupa religi. Hal itu dilakukan dengan menyelengarakan
upacara-upacara religus, yang berorientasi kepada kepercayaan adanya dunia roh dan lebih khusus lagi penghormatan
kepada roh nenek moyang mereka. Pada masyarakat pantai, terutama masyarakat nelayan atau pelaut, upacara-upacara
semacam itu juga ditujukan kepada para tokoh-tokoh mistis penjaga laut, seperti Ratu Pantai Selatan atau Pantai Utara, agar
mereka diberi keselamatan dalam menjalankan pekerjaan sebagai nelayan atau pelaut. Sampai saat ini upacara semacam itu
yang biasa disebut dengan upacara "`labuh" atau "labuhan" masih diselengarakan oleh masyarakat nelayan di berbagai
daerah pantai di Jawa.
Hubungan tukar-menukar antara penduduk pantai (nelayan) yang masih sederhana dengan penduduk pedalaman
(petani), dalam perkembangannya semakin meningkat menjadi hubungan perdagangan antara kota pelabuhan dengan daerah
hinterland. Yang dimaksud dengan pengertian mengenai hinterland, yaitu daerah-daerah yang terletak di
Sejarah Maritim Indonesia I 209

sekitar pelabuhan dan yang rnempunyai saling hubungan ekonomis dengan pelabuhan. Interrelasi antara hinterland dan
pela-buhan ini
bersifat saling menguntungkan, karena pelabuhan memiliki fungsi
memasarkan (mengekspor) produk-produk hinterland keluar daerah atau keluar negeri, dan mengim-por produk-produk dan
luar negeri atau Naar
daerah ke hinterland. Oleh karena itu, se-lain bisa diartikan sebagai
daerah pedalaman, hinterland juga bisa diartikan sebagai daerah penyangga yang merupakan produsen dan konsumen
komoditi ekspor
dan impor. Termasuk daerah hinterland adalah pelabuhan-pelabuhan kecil di sekitar pelabuhan utama. Penelitian mengenai
adanya sating hubungan ekonomis antara pelabuhan dengan hinterland pernah di lakukan oleh Ranjit Singh yang mengambil
pelabuhan Brunai sebagai obyek studinya. Sebagai hasil studinya is menyimpulkan bahwa perkembangan kota pelabuhan
Brunai pada abad 17 dan 18 adalahsangat ditentukan oleh dukungan daerah hinterlandnya, khususnya Sabah yang kaya akan
produk-produk elcspor."°
Lebih-lebih ketika masyarakat kota-kota pelabuhan juga telah menjalin hubungan dagang dengan pedagang-pedagang
seberang lautan, baik di wilayah Nusantara atau bahkan di luarnya, kota-kota pelabuhan itu semakin berkembang menjadi kota-
kota dagang yang kaya, yang pada giliranya juga mendorong munculnya pusat-pusat kekuasaan politik di kota-kota pelabuhan.
Seorang sejarawan Belanda yang secara khusus menulis mengenai sejarah perdagangan maritim di Indonesia yaitu Meilink
Roelofzs menjelaskan, bahwa di wilayah Indonesia sebelum datangnya para pedagang Portugis dan Belanda telah berlangsung
perdagangan antara pulau, khususnya beras dan lada dalam skala yang besar dan telah menggunakan kapal-kapal pribumi yang
cukup besar."' Sebagai contoh kerajaan Sriwijaya yang berlangsung dari abad 7 sampai 14 merupakan salah sate kerajaan
maritim yang besar di Indonesia pada waktu itu. Dalam dunia perdagangan dan pelayaran, Sriwijaya telah mampu menguasai
hampir semua wilayah perairan di Indonesia yang meliputi laut Jawa, laut Banda, dan juga sebagian laut di wilayah Indonesia
Timur. Disamping itu Sriwijaya juga menjalin hubungan dagang dengan India di sebelah barat, dengan Birma dan Melayu di
sebelah utara, dengan Siam, Kamboja, Cina dan Pilipina, Kalimantan utara
210 Kota-kota Mariam di Pantai Utara Jawa

disebelah timur laut. Juga disebutkan pada jaman kerajaan Sriwijaya, pedagang-pedagang dari kerajaan itu telah berlayar
sampai pelabuhan-pelabuhan di Cina dan pantai Timur Afrika.
Di Jawa terdapat kerajaan Majapahit (1293-1525) yang merupakan kerajaan agraris dan sekaligus juga maritim. Pada
awalnya wilayah kerajaan Majapahit hanya meliputi sebagian besar Jawa Timur dan sebagian Jawa Tengah. Akan tetapi sejak
tahun 1330an Majapahit mulai tampil sebagai kekuatan maritim dengan menaklukkan daerah-daerah lain di luar Jawa. Diawali
dengan ekspedisi armada laut untuk menaklukkan ke Bali, akhirnya dilanjutkan dengan penaklukan-penaklukan Sumbawa,
Lombok, Madura, ujung Jawa Timur dan sebagian Sulawesi, Pasai, Pajajaran (Jawa Barat). Terlepas dari persoalan sejauh mana
intensitas kekuasaan Majapahit atas daerah-daerah atau kerajaan lain, paling tidak bisa diketahui bahwa kekuasaan atas
lautan telah ditunjukkan oleh kerajaan tersebut.
Sesudah kemerosotan Majapahit di Jawa muncullah kerajaan Islam yaitu Demak (1475-1568) yang juga menunjukkan ciri
sebagai kerajaan maritim. Disamping sebagai pusat penyiaran agama Islam, pada abad 16 Demak juga dikenal sebagai pusat
perdagangan. bahkan Demak juga berhasil menjalin hubungan diplomasi dan niaga dengan daerah Islam di sebagian Asia
Tenggara. Namun demikian pada masa itu munculah kekuatan maritim asing yaitu Portugis di Malaka, yang sekaligus menandai
awal kemunduran kerajaan-kerajaan maritim di Indonesia. Khususnya jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada 1511, kekuasaan
maritim kerajaan-kerajaan Islam, yaitu Aceh, Banten, Ternate dan Demak bergeser lebih ke selatan. Bagi Demak jatuhnya Malaka
ke tangan Portugis berarti kehilangan pasar bagi barang-barang daganngannya khususnya beras dan rempah-rempah. Disebutkan
pula bahwa di pulau Jawa pada awal abad 16 telah terdapat pelabuhan-pelabuhan dagang yang cukup besar antara lain
Panarukan, Gresik, Sedayu, Tuban, Brondong, Juwana, Jepara, Demak, Semarang, Banten, Sunda, dan lain-lain."2 Diluar Jawa,
terutama di Sulawesi pelaut Makasar dan Bugis pada abad 17 telah melakukan pelayaran hampir ke seluruh parairan Nusantara
(Indonesia). Lebihdari itu mereka juga telah berlayar sampai ke Kedah, Kamboja, Ternate dan juga ke Sulu (Pilipina)."3
Sejarah Maritim Indonesia I 211

Peta 4.4. Kerajaan Majapahit dan Jalur Penyebaran Islam Di Indonesia

Sumber: Bernard H.M. Vlekke, Geschiedenis van den Indischen


Archipel.

Masyarakat kerajaan-kerajaan maritim atau kota-kota pelabuhan tersebut tidak terutama menyandarkan
kehidupannya sebagai nelayan atau penangkap ikan, walalupun hal itu merupakan bagian dari penghidupan kota
pelabuhan, akan tetapi lebih pada aktivitas perdagangan baik dengan daerah-daerah atau negeri-negeri seberang lautan
maupun dengan daerah-daerah pedalaman. Hal itu tentu saja juga ditunjang oleh letak geografis dari suatu kota pelabuhan,
yang biasanya di suatu teluk yang airnya tenang atau di muara-muara sungai. Dengan demikian peranan sungai dan anak-
anak sungai itu sangat berperan sebagai prasarana yang menghubungkan daerah hinterland dengan kota pelabuhan dan
sebaliknya, sementara laut merupakan prasarana penghubung antara kota-kota pelabuhan dengan daerah dan negeri-
negeri seberang laut.
Ditinjau dari segi perubahan sosial, munculnya kerajaan-kerajaan maritim pada abad 16 telah mengakibatkan goyahnya
feodalisme di Nusantara. Dalam kota-kota atau kerajaan maritime itu perdagangan dan urusan keuangan (bank) istana dan
kaum bangsawan telah diganti oleh
212 Kota-kota Maritim di Pantai Utara Jawa

golongan patrisia rakyat yang kekuasaan politiknya bersandar pada harta kekayaan mereka. Sebagai contoh yang paling menonjol
mengenai hal itu adalah munculnya Raden Patah, seorang anak pedagang atau semacam bankir yang kaya, menjadi Sultan
pertama pada awal abad 16 yang berkedudukan di Demak.14 Dapat dikatakan bahwa terdapat persamaan perkembangan
masyarakat Indonesia abad 16 dengan masyarakat zaman renaissance di Eropa. Hanya saja untuk Indonesia Islam telah
memainkan peranan sebagai gerakan pembaharuan (reformasi).
Bagi masyarakat kota-kota pelabuhan, di samping sebagai prasarana transportasi, laut juga merupakan sumber alam yang
menyediakan pangan dan bahan produksi seperti ikan, kerang, karang dan bahan baku garam. Khusus yang disebutkan terakhir,
beberapa penduduk di kota pelabuhan seperti di Jepara, Juana dan Pati pada zaman Islam diketahui telah mampu mengola air
laut menjadi garam. Pada umumnya komoditi garam itu dperdagangkan dan dipertukarkan dengan lada, bahan pangan atau
produk-produk lainya dari pedalaman.' is
Ciri khas yang menonjol masyarakat kota pelabuhan atau maritim adalah sifat keterbukaan dalam menerima unsur-unsur
dari luar."6 Sebagai contoh berkembangnya agama Islam pada abad ke-15 dan ke-16 di Indonesia atau Nusantara, adalah
melalui daerah-daerah atau kota-kota pelabuhan seperti Samudra Pasai, Aceh, Malaka, Demak, Gresik, Tuban, Cirebon, Banten,
Ternate dan lain-lain. Kota-kota pelabuhan itu selanjutnya berkembang menjadi kerajaan-kerajaan Islam maritim, yang tentu
saja diwarnai oleh kehidupan sosial budaya yang berrcorak Islam. Dalam segi militer kerajaan-kerajaan maritim itu lebih
menitikberatkan pada kekuatan angkatan laut, suatu ciri penting yang erat berhubungan dengan suasana politik serta upaya
perluasan wilayah."7
Sebagai kota-kota pelabuhan dari kerajaan-kerajaan maritim yang bercorak Islam, disamping terdapat tempat
peribadatan (masjid), pasar, bangunan kraton, juga pemukiman (perkampungan) penduduk. Perkampungan itu yang
lokasinya ditentukan oleh masing-masing penguasa kota, biasanya dihuni oleh komunitas etnis tertentu, yang berprofesi
sebagai pedagang atau pelaut. Di kota Malaka misalnya terdapat perkampungan para pedagang asing dari Gujarat,
Koromandel,
Sejarah Maritim Indonesia I 213

Hindu, Persi, Arab, Cina, dan perkampungan pedagang dari beberapa suku di Nusantara."$
Dengan demikian dapat disimpulkan atau setidak-tidaknya hams diakui bahwa sebelum kedatangan bangsa Barat
khususnya Portugis
dan Belanda, di wilayah Indonesia telah mengalami suatu kejayaan dalam bidang kemaritiman. Hal itu merupakan indikasi
akan adanya wawasan atau visi kemaritiman dari penduduknya. Yang dimaksud dalam hal ini adalah suatu kesadaran untuk
mencapai suatu kemakmuran, kesejahteraan atau kejayaan yang lebih menitik beratkan pada pembangunan dan kekuatan di
lautan atau pada bidang maritim. Dengan kata lain bahwa kelompok-kelompok masyarakat di Indonesia pada waktu itu telah
memiliki jiwa bahari, yaitu suatu keyakinan bahwa laut merupakan salah satu sumber kehidupan yang utama.
Awal dari surutnya kejayaan kerajaan-kerajaan maritim/ Islam di Nusantara abad 16 ditandai kehadiran orang-orang Eropa
di Nusantara dan direbutnya Malaka oleh Portugis pada 1511. Dalam sejarahnya or-ang-orang Eropa yang pertama-tama datang
ke Nusantara adalah para agen pembeli rempah-rempah, yaitu orang-orang Portugis yang dengan berlayar mengelilingi Afrika
mereka itu bermaksud ingin langsung membeli rempah-rempah ke kepulauan rempah-rempah di Nusantara. Setelah menguasai
Malaka bangsa Portugis kemudian juga menaklukkan Maluku, atau kepulauan rempah-rempah yang menjadi tujuan awalnya.
Pada puncak kekuasaanya di Nusantara bangsa Portugis banyak mengekspor rempah-rempah, kayu cendana, kapur barns dan
sebagainya dari Nusantara ke Eropa. Akan tetapi bangsa Portugis tidak mempunyai barang-barang impor yang ditawarkan dari
Eropa. Komoditi impor seperti sutera dari Tiongkok, kain dari India, kertas dan lain-lain hampir tidak dikenal di Eropa. Mengenai
hal itu Van Leur membuat daftar komoditi Asia yang dibawa ke pasar pertukaran barang di Mocha dekat Aden untuk di kapalkan
ke Eropa antara lain rempah-rempah, kayu cendana, nila, batu permata, besi, kain katun dan porselin.
Dengan demikian tidak ada komoditi dad Eropa yang ditawarkan orang-orang Portugis di Nusantara. Setelah menduduki
Malaka, benteng yang dibangun di tempat itu mempunyai kedudukan yang sangat
214 Kota-kota Maritim di Pantai Utara Jawa

strategis dan tidak ada tandingannya. Disamping itu pelabuhan Malaka merupakan pelabuhan penting bagi tempat
pemasaran berbagai jenis komoditi dan pemindahan muatan rempah-rempah dari kepulauan Maluku dan kayu cendana Nusa
Tenggara. Untuk memperoleh barang-barang dagangan itu kadang-kadang dilakukan dengan cara merebut dan merampok
kapal dan muatanya. Disamping itu mereka juga gemar melakukan perdagangan budak seperti biasanya mereka dilakukan di
benua lain pada masa itu. Oleh karena reputasi yang buruk itu, mereka memperoleh sebutan dari para Sultan Muslim di
Nusantara sebagai bajak laut dan penjual budak. Sementara itu seorang mubalig Yesuit Francis Xavier yang pernah tinggal
selama 2 tahun di Ambon pada abad 16 menyebutkan bahwa kata kerja "menggarong" adalah kata kerja Melayu (satu-
satunya) sangat populer di negerinya."9
Kedatangan orang-orang Belanda di Nusantara dengan VOC nya pada awal abad 17 telah menggantikan kedudukan
Portugis dalam perdagangan rempah-rempah di Nusantara. Lebih dari itu Belanda dengan VOC nya telah membangun pos-
pos dagang dan benteng-benteng di berbagai kota pelabuhan di Nusantara. Dengan sistem monopoli melalui intervensi dan
kerjasamanya dengan raja-raja di Nusantara, Belanda juga berhasil mengangkut rempah-rempah dan komoditi ekspor lainnya
untuk diangkut/dipasarkan ke Eropa.
Sejarah Maritim Indonesia I 215

Peta 4.5. Kerajaan-kerajaan Maritim Terkemuka dan Pos-Pos


Perdagangan Belanda pada Abad XVII

(Bernard H.M. Vlekke, Geschiedenis van den Indischen Archipel)

Catatan :
' Slamet Mulyana, Negarakretagama dan Tafsir Sejarahnya (Jakarta: Bhratara Karya Aksara. 1979).
2
Slamet Mulyana, Negarakretagama dan Tafsir Sejarahnya, hlm. 147.
Adolf Heuken SJ, Sumber-Sumber Sejarah Asli Jakarta., Jilid 1 (Jakarta:Cipta Loka Caraka, 1999), hlm. 44
4
H.J. de Graaf & Th. G Th. Pigeaud, , De Eerste MoestimseVorstendommen Op Java, 's Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1974), him_ 57-
58.
5
Ma Huan adalah orang Tionghoa yang beragama Islam, yang mengiringi perjalanan Cheng Ho dalam perjalanan ke daerah
daerah lautan selatan (
1413 M — 1425 M ). •
216 Kota-kota Maritim di Pantai Utara Jawa

6
H.J. de Graaf en Th. G. Th. Pigeaud, De Eerste Moeslimse Vorstendommen Op Java, hlm. 142.

H.J. de Graaf, "Tome Pires: Suma Oriental en het tijdperk van Godsdienst overgang" alam BKI, 108, 1952. Lihat juga H.J. de Graaf en Th. G Th.

Pigeaud, De Eerste Moeslimse Vorstendommen Op Java, hlm.43-44.

Meilink-Roelofsz, Asian Trade and European Influence in the Ipdonesia Archipelago between 1500 and about 1630 (The Hague: Martinus Nijhoff,
1962), hlm. 197.
9
Kerajaan Mataram kuno adalah kerajaan Mataram Hindu pra-Islam, yang berlangsung antara tahun 732- 824 M.
10
Amen Budiman, Semarang Riwayatmu Dulu Jilid I (Semarang, Tanjung Sari, 1978), hlm. 8. Lihat juga Liem Thian Joe, Riwajat Semarang 14161931.
Darijamannya Sam Poo sampe terhapoesnya Konkoan (Semarang-Batavia: Boekhandel Ho Kim You), hlm. 1. Kota Besar Semarang (Djawatan
Penerangan Kota Besar Semarang, 1953).

" Lihat Ma Huan, "Ying Yai Sheng Lan" (1416) dalam W.P. Groeneveld, Historical Notes on Indonesia and Malaya. Copmpiled from Chinese Sources
(Djakarta: Bhratara, 1960), hlm. 41-45.
12
H.J. de Graaf, "Tome Pires: Summa Oriental en het tijdperk van Godsdienst overgang", hlm. 132.
13
H.J. de Graaf en Th. G. Th. Pigeaud, 1974, De Eerste Moeslimse Vorstendommen Op Java, hlm. 118. Lihat juga Husein Djajadiningrat, Tinjauan
Kritis Tentang Sejarah Banten. (Jakarta: Jambatan, 1983), hlm. 131-135.
14
M.C. Ricklefs, Yogyakarta under Sultan Mangkubumi 1749-1792. A History of The Division Java (London: Oxford University Press, 1975), hlm.
31.
15
Penyerahan daerah-daerah di wilayah Pasisiran kepada Kompeni itu terjadi melalui Perjanjian 11 Nopember 1743 dan 18 Mei 1746 antara Paku
Buwana II dengan Kompeni, terdapat dalam Solo Contract, bundel 53 Nomer 5 dan (Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia).

'6J.K.J.De Jonge, De Opkomst van het Nederlandsch Gezag in Oost Indie, deel X (Amsterdam, Den Haag, 1862-1909), 159. Bandingkan dengan Denys
Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya. Jilid 2 (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), hlm. 58.
Sejarah Mariam Indonesia I 217

H.J. de Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram. Politik Ekspansi Sultan Agung. Seri teijemahan Javanologi (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990),
hlm. 71.

'8 D. H. Burger, Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia I (Djakarta: Pradnjaparamita, 1962), hlm. 79.

Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, hlm. 54.
2
°H. J. de Graaf en Th. CL Th. Pigeaud, De Eerste Moeslimse Vorstendommen Op Java, hlm. 44.
21
H.J. de Graaf en Th. G Th. Pigeaud, De Eerste Moeslimse Vorstendommen Op Java, hlm. 44.
22
H.J. de Graaf en Th. G. Th. Pigeaud, De Eerste Moeslimse Vorstendommen Op Java, hlm. 44.
23
Meilink-Roelofsz, Asian Trade and European Influence in the Indonesia Archipelago, him. 102-117.
24
H.J. de Graaf en Th. G Th. Pigeaud, De Eerste Moeslimse Vorstendommen Op Java, him.105.
23
H.J. de Graaf en Th. G Th. Pigeaud, De Eerste Moeslimse Vorstendommen Op Java, hlm. 273.
26
H.J. de Graaf en Th. G Th. Pigeaud, De Eerste Moeslimse Vorstendommen Op Java , hlm. 106 dan 273.
27
H.J. de Graaf en Th. G. Th. Pigeaud, De Eerste Moeslimse Vorstendommen Op Java, hlm. 105.
28
H.J. de Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram. Politik Ekspansi Sultan Agung, hlm. 56.
29
Stapel, Geschiedenis van Nederlandsch Indie (Amsterdam: Joost van Vondel, 1936), hlm. 224; Pada tangal 15 Januari 1928 di kabupaten
Semarang telah dilangsungkan perayaan dalam rangka memperingati 250 tahun penguasaan atas Semarang oleh Belanda. Lihat Liem Thian Joe,
Riwayat Semarang dari Djamannja Sam Po sampe Terhapoesnya Kong Koan (Semarang, Batavia: Boekhandel Ho Kim Yoe, 1951), hlm. 13.

Luc Nagtegaal, Riding The Dutch Tiger The Dutch in East Indies and the Northeast Coast of Java, 1680-1743 (Leiden: KITLV Press, 1996), him.

94.
218 Kota-kota Maritim di Pantai Utara Jawa

J.M. Nas (ed.), The Indonesian City Studies Urban Development and Planning (Dordrecht-Holland: Forts Publications, 1986), 3. Liem Thian Joe,
Riwajat Semarang, hlm. 13.

32 Pemindahan itu berdasarkan persetujuan perjanjian antara VOC dengan raja Mataram Paku Buwana pada 31 Oktober 1707 (Corpus
Diplomaticum Neerlando-Indicus, 270-271). J.M. Nas (ed.), The Indonesian City Studies Urban Development and Planning, hlm. 3.

"Theo Stevens, 'Semarang, Central Java and the World Market 1870-1900' (Paper, 1987); J.M. Nas (ed), The Indonesian Cit. Studies Urban Devel-
opment and Planning, hlm. 57.
34
Serat Babad Tuban (Kediri: Tan Koen Swie, 1921).

" Edi Sedyawati dkk., Tuban: Kota Pelabuhan di Jalan Sutera, (Jakarta:Depdikbud Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Poroyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Sejarah Nasional, 1997), hlm. 8-9.
36
Edi Sedyawati dkk., Tuban: Kota Pelabuhan di Jalan Sutera, (Jakarta: Depdikbud Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Poroyek Inventarisasi
dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1992), hlm. 6.

B.J.O. Schrieke, Het Boek van Bonang: Bijdrage tot de Kennis van den Islamiseering van Java, Proefschrijt pada Rijksuniversiteit to Leiden, 1916,
hlm. 22.

" Edi Sedyawati dkk. (1992), Tuban: Kota Pelabuhan di Jalan Sutera, hlm.

7.
39
Burger, Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia I, hlm. 33-36.

° H.J. de Graaf & Th.G.Th. Pigeaud, De Eerste Moeslimse Vorstendommen Op Java, hlm. 130-131.
4

' Ales Bebler, Pantulan Zaman Bahari Indonesia, (Djakarta: Djambatan, 1963), hlm. 25.
4

42
Edi Sedyawati dkk. (1992), Tuban: Kota Pelabuhan di Jalan Sutera, hlm.

8.
43
H.J. de Graaf & Th. G Th. Pigeaud, De Eerste Moeslimse Vorstendommen Op Java, hlm. 131-132.
44
Edi Sedyawati dkk. (1997), Tuban: Kota Pelabuhan di Jalan Sutera, hlm. 40.
Sejarah Maritim Indonesia 1 219
45
Edi Sedyawati, Pengarcaan Ganesa Masa Kadiri dan Singhasari: Sebuah Iinjauan Sejarah Kesenian. Disertasi pada Fakultas Sastra Universitas
Indonesia, 1985, him. 347-350.
46
Meilink-Roelofsz, Asian Trade and European Influence in the Indonesia Archipelago, hlm. 215.
47
Alim Setyawan, Tinjauan Arsitektur Kota Tuban. Ikhtisar Makalah disampaikan dalam diskusi Kota Kota Pelabuhan Jalan Sutra dan Prospeknya
di Masa Datang (Cisarua ,1991).
48
Edi Sedyawati dkk. (1997), Tuban: Kota Pelabuhan di Jalan Sutera, hlm. 10-11.

" H.J. de Graaf & Th.G.Th. Pigeaud, De Eerste Moeslimse Vorstendomnzetz Op Java, hlm. 169-173; Lihat juga Marwati Djoened Poesponegoro dan
Noegroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia III. Jaman Pertunzbuhan dan Perkentbaizgan Kerajaan Islam Di Indonesia (Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984),hlm. 121- 134.

" Burger, Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia I, him. 33-36.


5
' H.J. de Graaf & Th. G Th. Pigeaud, De Eerste Moeslimse Vorstendommen Op Java, hlm. 135.

" H.J. de Graaf & Th. G Th. Pigeaud, De Eerste Moeslimse Vorstendommen Op Java, hlm. 138-139.
53
dan intervensi pars pemimpin agama Gresikjuga terjadi di Maluku, Ternate, Hitu dan lain-lain. Lihat H.J. de Graaf & Th. G. Th. Pigeaud, De
Pengaruh
Eerste Moeslinzse Vorstendommen Op Java, hlm. 151-153.
54
H.J. de Graaf &Th. G Th. Pigeaud, De Eerste Moeslimse Vorstendommen Op Java, him. 154-155.

u Th. G. Th, Pigeaud, Java in the 14th Century: A study in cultural history. The Nagara Kertagama by Rakawi Prapanca of Majapahit 1365 A.D. ('s
Gravenhage: KITLV, 1962-1963), hlm. 252-254. Lihat juga H.J. de Graaf & Th. G. Th. Pigeaud, De Eerste Moeslimse Vorstendommen Op Java, him.
157.
56
Meilink-Roelofsz, Asian trade and European,177-181. Lihat juga H.J. de Graaf & Th. G. Th. Pigeaud, De Eerste Moeslimse Vorstendommen Op
Java,h1m. 157-158.

H.J. de Graaf & Th. G Th. Pigeaud, De Eerste Moeslimse Vorstendommen Op Java,162-164. Lihat juga Th. St. Raffles, The History ofJava. Volume II
( London, 1817), hlm. 142-143.
220 Kota-kota Maritim di Pantai Utara Jawa

" Meilink-Roelofsz, Asian Trade and European Influence in the Indonesia Archipelago, hlm. 207-210.

" Penaklukan atas kota-kota pelabuhan itu secara panjang lebar dapat dibaca dalam H.J. de Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram. Politik Ekspansi Sul-
tan Agung, hlm. 29-50, 79-101.

" R.W. Bemmelen, Geologische Kaart van Java, toelichting bij de bladen 73 (Semarang) en 74 (Ungaran), dienst van de Mijnbouw in Nederlandsch Indie
(Den Haag: W.P. van Stockum en Zoon, 1941), hlm. 6, 7 dan 56.

'Amen Budiman, Semarang Riwayatmu Dulu. Jilid I (Semarang: Tanjung Sari, 1978), hlm. 3.
62
Bemmelen, Geologische Kaart van Java, hlm. 51-56.
63
Amen Budiman, Semarang Riwayatmu Dulu, 8. Lihat juga Liem Thian Joe,Riwajat Semarang, 1. Kota Besar Semarang (Djawatan Penerangan Kota
Besar Semarang, 1953).
64
Mangkang mungkin berasal dan kata "wangkang" yang berarti perahu.Kota Besar Semarang (Djawatan Penerangan Kota Besar Semarang, 1953),
hlm. 11
65
Amen Budiman, Semarang Riwayatmu Dulu, 64. Lihat juga H.J. De Graaf & Th. G.Th. Pigeud, Kerajaan-Kerajaan Islam Di Jawa, Peralihan Dart
Majapahit Ke Mataram: Kerajaan-kerajaan Islam Pertama Di Jawa, Kajian Sejarah Politik Abad ke 15 dan ke 16. Seri terjemahan Javanologi (Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti, 1989), hlm. 136-137.
66
H.J. de Graaf, "Tome Pires: Summa Oriental en het tijdperk van Godsdienst overgang" Bla. 108, 1952, hlm. 132.
67
H.J. de Graaf, "De Regering van Panembahan Senopati Ingalaga" dalam Verhandelingen van het Koninkrijk Ins tituut voor Taal, Land en Volkenkunde
(s'Gravenhage : Martinus Nijhoff, 1954), hlm. 67-68.
68
Kota Besar Semarang, hlm. 11.
69
G.R Rouffaer, Vorstenlanden, overdruk uit Adatrechtbundel XXXIV, Serie D, no. 81, 193, hlm. 5. .Pada masa pemerintahan raja2 Mataram Islam
pralcolonial, Semarang adalah termasuk salah satu daerah di wilayah pesisiran milik Mataram.
70
H.J. De Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram. Politik Ekspansi Sultan Agung. Seri terjemahan Javanologi (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990), hlm. 1
dan 26.
Sejarah Maritim Indonesia I 221

7
' Geore Larson, Masa Menjelang Revolusi, Kraton dan Kehidupan Politik di Surakarta 1912-1942, (Yogyakarta:Gadjahmada University press, 1990),
hlm. 14.
72
Pada waktu itu atau sejak tahun 1631 Jepara menjadi tempat kedudukan VOC. H.J. De Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram, hlm. 172.
73
F. W. Stapel (ed.), Geschiedenis van Nederlandsch Indie (Amsterdam: Joost van Vondel, 1936),h1m. 224. Pada tangal 15 Januari 1928 di kabupaten Semarang
telah dilangsungkan perayaan dalam rangka memperingati 250 tahun penguasaan atas Semarang oleh Belanda. Lihat Liem Thian Joe, Riwayat Semarang
(Semarang, Batavia: Boekhandel Ho Kim Yoe) , hlm. 13.
74
Luc Nagtegaal, Riding The Dutch Tiger. The Dutch East Indies Company and the northeast coas of Java (Leiden: KITLV Press, 1996), hlm. 94.
76
Contingenten ini pada dasarnya merupakan penyerahan waj ib secara tahunan dari sejumlah dan jenis produk tertentu oleh pars bupati di daerah-
daerah Mataram yang telah diserahkan kepada VOC. Dengan demikian pada prinsipnya contingenten merupakan penghasilan yang semula menjadi
hak dari raja dari daerah-daerah kabupaten. Sedangkan verplicte leverantien atau gedwongen leveringen dalam istilah Gonggrijp, adalah penyerahan
seluruh haisl panen dari produk-produk tertentu misalnya kopi atau lada, yang harganya ditetapkan secara sepihak oleh kompeni. Dengan demikian
leverantien ini bersifat monopoli perdagangan. Lihat G Gonnggrijp, Schets ener Economische geschiedenis van Indonesie (Haarlem: De Erven F. Bohn
NV, 1957), hlm. 39-40. J. Paulus, Encycoepadie van Nederlandsch-Indie. Bagian I (` S-gravenhage:Mmartinus Nijhoff, Leiden: NV v/h E.J. Brill, 1917),
hlm. 525.
76
Luc Nagtegaal, Riding The Dutch Tiger, hlm. 111.
77
J.M. Nas, The Indonesian City. Studies Urban Development (Dordrecht-Holland: Foris Publications, 1986), hlm. 3.
78
J.M. Nas, The Indonesian City Studies, hlm. 3. Lihat juga Liem Thian Joe, Riwajat Semarang Dan Djamannja Sam Po Sampe Terhapoesnya Kongkoan
(Semarang: Boek handel Ho Kim Jou, 1951), hlm. 13.
79
Liem Thian Joe, Riwajat Semarang dari Djamannja Sam Po Sampe Terhapoesnya Kongkoan, hlm. 13.

Pemindahan itu berdasarkan persetujuan perjanjian antara VOC dengan raja Mataram Paku Buwana pada 31 Oktober 1707. Lihat Corpus
Dilomaticum Neerlando-Indicus, hlm. 270-271.
222 Kota-kota Mariam di Pantai Utara Jawa

81
Theo Stevens, "Semarang, Central Java and the world market 1870-1900", dalam J.M. Nas (ed), The Indonesian City, hlm. 57.
82
H.J. de Graaf en Th. G Th. Pigeaud, De Eerste Moeslimse Vorstendommen Op Java, hlm. 119.
83
Supratikno Rahardjo dkk., Sunda Kelapa Sebagai Bandar Di Jalur Sutra (Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebdayaan RI, 1996), hlm.17.
84
Uka Tjandrasasmita, Sampai Batavia Tahun 1750, (Jakarta: Dinas Museum & Sejarah Pemerintah DKI Jakarta, 1977), hlm. 33.
85
Uka Tjandrasasmita,Sejarah Jakarta dari Zaman Prasejarah, hlm. 33.
se Supratikno Rahardjo,Sunda Kelapa sebagai Bandar di Jalur Sutra, hlm. 23.
87
Adolf Heuken SJ, Sumber-Sumber Sejarah Asli Jakarta. Jilid 1(Jakarta: Cipta Loka Caraka, 1999), him.29.
88
Meilink-Roelofsz, Asian Trade and European Influence, hlm. 83; Heuken, Sumber-Sumber Sejarah Asli Jakarta, hlm. 40.
" Supratikno Rahardjo, Sunda Kelapa Sebagai Bandar di Jalur Sutra, hlm. 40-41.
96
Meilink-Roelofsz, 1962, Asian Trade and European Influence, him. 82; Heuken, Sumber-Sumber Sejarah Asli Jakarta, hlm. 40.
91
Meilink-Roelofsz, 1962, Asian trade and European Influence, hlm.134.
"Supratikno Rahardjo, Sunda Kelapa Sebagai Bandar di Jalur Sutra, hlm. 48.
93
Supratikno Rahardjo, Sunda Kelapa Sebagai Bandar di Jalur Sutra, hlm. 50-51; Heuken, Sumber-Sumber Sejarah Asli Jakarta, hlm. 54-71.
94
Heuken, Sumber-Sumber Sejarah Asli Jakarta, hlm. 105-106.
95 Heuken SJ, Sumber-Sumber Sejarah Asli Jakarta, hlm. 75-76.
Uka Tjandrasasmita, Sejarah Jakarta dari Zaman Prasejarah, hlm. 36.
97
J.A. van der Chijs, De Nederlanders to Jakarta (Amsterdam, 1860), hlm. 3-13..
98
Uka Tjandrasasmita, 1977, Sejarah Jakarta dari Zaman, him.37.
" J.K.J. de Jong, De Opkomst van het Nederlandsch Gezag in Oost-Indie. Jilid V ('s-Gravenhage, 1862-1909), him. 197.
Sejarah Maritim Indonesia I 223

1
°° Adolf Heuken SJ, Sumber-Sumber Sejarah Asli Jakartajilid 1I, him. 136, 157-158; Slamet Mulyana, 1980, Dani Holotan ke Jayakarta, Jakarta,
hint 98.

10
' van der Chijs, De Nederlanders te Jakarta. Amsterdam, hlm.159. °2 van der Chijs, De Nederlanders te Jakarta, him. 159.
1

103 Ricklefs menyatakan bahwa setiap peranan Belanda dalam menjaga kedudukan pewaris tahta Mataram, disamping bermotif memperoleh
imbalan ekonomis, juga cenderung menambah dorongan bagi timbulnya pemberontakan atau kekacauan keraton. Lihat M.C. Ricklefs,
Yogyakarta under Sultan Mangkubumi 1749-1792. A History of The Division Java (London: Oxford University Press, 1974), him. 51.
°4Uica Tjandrasasmita, Sejarah Jakarta dari Zaman Prasejarah, him. 40.
1

105
Ensiklopedi Nasional Indonesia. Jilid 7 (Jakarta: Cipta Adi Pusaka, 1989), hlm. 74-75.
106
A.B. Lapian, "Dunia Maritim Asia Tenggara". Makalah disampaikan dalam seminar tentang Penelitian Kembali Karya-karya Utama Sejarawan Asing
tentang Sejarah Indonesia. Jakarta, 23 Agustus 1991, him. 9. Seorang ahii yang hanya mendefinisikan pelabuhan dari konsep fisik dengan istilah
harbour dan konsep ekonomi dengan istilah port adalah Roads Murphy. Lihat Roads Murphy , "On the evolution on the port city" dalam Frank
Broeze (ed.), Brides of the Sea: Port Cities ofAsiafrom 16th-20th Century (Kensington: New South Wales University Press, 1989), him. 230 dan
232.
107
Peter Reeves, Frank Broeze, Keneth Mc. Pherson, "Studying the Asian port city" dalam Frank Broeze (ed.), Brides of the Sea, him. 39.
108
J.L. Lee, "The Port Town of Borneo" dalam Y.M. Young dan C.P. Lo (eds.), Changing South East Asian Cities: Reading on Urbanization
(Singapore, New York, Melbourne: Oxford University Press,1976), him.86-87.
109
Santosa Sugondo, "Sunda Kelapa Menjelang Masa Sejarah"dalam R.Z. Leirissa (Penyunting), Sunda Keplapa Sebagai Bandar Jalur Sutra.
Kumpulan Makalah. (Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1997), him. 9.
"° Ranjit Singh, D.S. "Brunei and the Hinterland of Sabah: Commercial and economic Relations with Special reference of the second half of nineteenth
century" dalam J. Kathirithamby-Wells John Viliers (ed), The Southeast
224 Kota-kota Mariam di Pantai Utara Java

Asian Port And Polity, Rise and Demise (Singapore: Singapore University Press, 1990), him. 231 dst.
"' Meilink Roelofzs, Asian Trade and European Influence. Berbeda dengan Meilink Roelofzs, Nagtegaal menyatakan bahwa aktivitas pelayaran dan
perdagangan penduduk pribumi pada umumnya menggunakan kapal-kapal atau perahu-perahu kecil yang hanya diawaki oleh 5-6 orang, dan dengan
tonage hanya sekitar 15 Ton. Namun demikian jumlah perahu-perahu dagang pribumi itu relatif banyak, sehingga komoditi yang diperdagangkanpun
juga besar. Lihat Luc Nagtegaal, Riding The Dutch Iiger,hlm. 110.
"2
H.J. de Graaf, "De Regering van Panembahan Senopati Ingalaga" dalam Verhandelingen van het Koninkrijk Instituut voor Taal, Land en
Volkenkunde, hlm. 67-68.
"3 Salah satu informasi mengenai pelayaran orang Bugis dapat diketahui dari Ph. O.L. Tobing, Hukum Pelayaran dan Perdagangan Amanna Gappa
(Makasar: Yayasan kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara) 1961.
Perkembangan semacam itu bisa dibandingkan dengan bankir Italia dari keivarga Medici yang berarti ahli obat. Sebelumnya is merupakan
14

bangsawan miskin dari Florence, akan tetapi kemudian memilih menjadi pedagang obat yang tidak lain rempah-rempah dari Nusantara, dan akhimya
menjadi keluarga kaya raya.
15
van der Chijs, De Nederlanders to Jakarta.
"6
Lapian, Sejarah Nusantara Sejarah Bahari, him. 27.
"2
Marwati Djoened Poesponegoro, dick., Sejarah Nasional Indonesia III, him. 212-215.
"8
Poesponegoro, dkk., Sejarah Nasional Indonesia III, him. 225.
"9
Ales Bebler, Pantulan Zaman Bahari Indonesia, hlm. 30-31.
Sejarah Maritim Indonesia 225

BAB V
EKSPANSI EKONOMI TIM
DAN JARINGAN ANTAR-DAE H

A. Ekspansi Ekonomi Maritim


I. Image Sebagai Masyarakat Agraris
Sampai saat ini sebagian masyarakat Indonesia masih mengidentifikasikan negaranya sebagai negara agraris, yaitu
negara yang sebagian besar kehidupan rakyatnya menggantungkan diri dari bidang pertanian. Mereka mengolah tanah
pertanan, hidup di desa-desa, memiliki kegotong-royongan yang kuat dan sebagainya. Memang data statistik juga
membuktikan bahwa mayoritas penduduk Indonesia hidup di pedesaan dengan matapencaharian sebagai petani. Hal ini juga
diperkuat oleh adanya berbagai peninggalan sejarah di pedalaman (kawasan agraris) yang berupa monumen-monumen
raksasa seperti candi Borobudur, Mendut, Pawon, Prambanan, Kalasan, dan sebagainya. Monumen-monumen keagamaan ini
merupakan karya masyarakat agraris di masa lampau. Tanpa dasar pertanian (persawahan) yang kuat dan surplus pangan yang
melimpah, bangunan-bangunan semacam itu tidak mungkin dapat didirikan.
Secara singkat dapat diatakan bahwa pada saat ini gambaran masyarakat Indonesia sebagai sebagai masyarakat
maritim, bangsa
226 Ekspansi Ekonomi Maritim dan Jaringan antar Daerah

pelaut, bukan merupakan gambaran yang umum. Sudah barang tentu pandangan semacam ini bertentangan dengan kondisi
obyektif bangsa Indonesia baik yang menyangkut segi-segi geografis maupun segi-segi historis. Ditilik dari segi geografis,
wilayah Nusantara merupakan kawasan laut. Dalam wilayah yang demikian ini laut memiliki fungsi yang dominan dalam
kehidupan bangsa Indonesia. Laut memiliki fungsi yang sangat vital sebagai jembatan penghubung, bukan merupakan
pemisah di antara di antara pulau-pulau yang bertebaran. Dengan demikian penguasaan terhadap laut merupakan suatu
keharusan bagi penduduk yang menghuni pulau-pulau ini. Kondisi semacam ini membentuk mereka sebagai manusia yang
akrab dengan kehidupan laut. Laut dengan
segala dinamikanya bukan merupakan suatu hal yang acing bagi mereka.'
Di samping itu secara geografis letak kepulauan Nusantara juga sangat strategis dalam konteks perdagangan laut
internasional antara dunia Barat dan dunia Timur. Dunia Barat dalam hal ini mencakup kawasan dagang yang berada di
sebelah barat Selat Malaka seperti India, Persia, Mesir, dan negara-negara Eropa, sedangkan dunia Timur mencakup kawasan
di sebelah timur Selat Malaka seperti Cina, Jepang, Filipina, dan sebagainya. 2 Dalam hal ini Indonesia memiliki letak strategis
karena berada di tengah-tengah kawasan ini dan sekaligus selama berabad-abad mengontrol Selat Malaka yang merupakan
kunci perdagangan taut antara Barat dan Timur, misalnya pada masa Sriwijaya dan Majapahit. Dengan demikian penelitian
yang lebih luas dan detail di bidang sejarah martim akan dapat mengubah pandangan yang kurang sesuai dengan kondisi
obyektif itu.

2. Masyarakat Bahari
Aktivitas kemaritiman bangsa Indonesia setua usia bangsa Indonesia itu sendiri. Hal ini bisa dipahami karena asal mula
nenek moyang bangsa Indonesia adalah dari daratan Asia.' Mereka datang ke kepulauan Indonesia secara bergelombang.
Ada dua jalur yang mereka tempuh yaitu jalan barat dan jalan timur. Jalur barat berawal dari Asia daratan kemudian dengan
melewati semenanjung Malaya, mereka
Sejarah Maritim Indonesia I 227

menyeberang ke pulau Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara. Sementara itu kelompok yang lewat jalur
timur setelah meninggalkan daratan Asia mereka menuju ke Filipina, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, Irian, dan kepulauan
di Samudera Pasifik.4
Sudah barang tentu mereka datang dari daratan Asia dengan cara berlayar karena tidak ada alternatif transportasi
lainnya. Dengan
demikian kemampuan berlayar mengarungi lautan merupakan ketrampilan inheren yang dimiliki oleh nenek moyang bangsa
Indonesia. Dengan perahu-perahu yang sederhana mereka dapat mengarungi laut luas. Batas-batas pelayaran nenek moyang
bangsa Indonesia: utara: Pulau Formosa, selatan: Pantai Australia, barat: Madagaskar, timur: kepulauan micronesia.5
Hal ini bisa dipahami karena sejak awal abad masehi bangsa Indonesia sudah terlibat secara aktif dalam pelayaran dan
perdagangan internasional antara dunia Barat (Eropa) dengan dunia Timur (Cina) yang melewati selat Malaka. 6 Dalam hal ini
bangsa Indonesia bukan menjadi obyek aktivitas perdagangan itu tetapi telah mampu menjadi subyek yang menentukan.
Suatu hal yang bukan kebetulan jika berbagai daerah di Nusantara memproduksi berbagai komoditi yang khas agar bisa ambil
bagian aktif dalam aktivitas pelayaran dan perdagangan itu. Bahkan pada jaman kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, selat
Malaka yang merupakan pintu gerbang pelayaran dan perdagangan dunia dapat dikuasai oleh bangsa Indonesia.
Pada masa selanjutnya, yaitu pada jaman kerajaan-kerajaan Islam, ketika perdagangan rempah-rempah sangat ramai,
jalur-jalur perdagangan antar pulau di Indonesia, misalnya antara Sumatra-Jawa, Jawa-Kalimantan, Jawa-Maluku, Jawa-
Sulawesi,Sulawesi-Maluku, Sulawesi-NusaTenggara, dan sebagainya menjadi bagian yang inheren dalam konteks perdagangan
internasional. Bahkan negeri Cina bukan tujuan utama perdagangan internasional, tetapi Indonesia. Hal ini berkembang lebih
pesat lagi ketika orang-orang Eropa mulai datang sendiri ke Indonesia untuk mencari komoditi rempah-rempah. Indonesia
mampu bertindak sebagai besi sembrani yang menarik para pedagang dari seluruh penjuru dunia. Sebagai konsekuensinya
jalur perdagangan dunia yang menuju ke Indonesia bahkan hanya route tradisional lewat
228 Ekspansi Ekonomi Maritim dan Jaringan antar Daerah

selat Malaka saja tetapi juga route yang mengelilingi benua Afrika, untuk selanjutnya menyeberangi samudera Samudera
Hindia langsung menuju Indonesia. Di camping itu bangsa Spanyol dengan gigihnya juga berusaha mencapai Indonesia
dengan menyeberangi Atlantik dan Pasifik. 7

3. Sriwijaya dan Perdagangan Global


a. Munculnya aktivitas perdagangan
Beberapa abad menjelang kelahiran Isa Almasih, perdagangan lintas benua antara Asia dan Eropa telah berkembang
dengan baik. Perdagangan ini telah menghubungkan pusat-pusat kebudayaan kuno yang sangatpenting di kedua benua itu,
antara lain negeri Cina, Turkistan, India, Babilonia, Persia, Mesir, Yunani, dan Romawi. Route perdagangan yang berkembang
pada waktu itu melewati jalan darat yang menghubungkan antara Cina dan Eropa. Oleh karena perdagangan pada waktu itu
dilakukan secara berkelompok-kelompok atau kafilah-kafilah maka seringkali rute perdagangan darat dengan melintasi Asia
Tengah ini disebut sebagai jalan kafilah yang merupakan rute trans-kontinental antara Asia dan Eropa.8
Pada awal abad masehi terjadi perpindahan rute perdagangan trans-Asia dari rute darat berubah ke rute laut. Hal
ini berhubungan dengan perkembangan keadaan yang tidak aman pada nite darat karena gangguan dari suku-suku
nomaden di Asia Tengah. Dengan demikian resiko perjalanan sangat tinggi yang seringkali tidak sepadan dengan
keuntungan yang diperoleh. Perubahan rute darat ke rute laut juga disebabkan oleh beberapa hal antara lain penemuan
jenis kapal yang lebih besar yang
sudah mampu mengangkut penumpang 600 orang, angin tropik yang bertiup secara teratur yang memungkinkan hubungan
periodik antara Asia dan Eropa atau intra Asia, spirit penyebaran agama Budha yang sangat tinggi yang berani menghadapi segala
resiko dalam petualangan mencari daerah baru, dan permintaan barang-barang mewah dan Romawi yang terus meningkat sebagai
akibat perkembangan ekonomi Romawi yang semakin baik sedangkan supply lewat route darat terputus.9
Sejarah Maritim Indonesia I 229

Ada beberapa ciri atau sifat utama perdagangan Asia kuno ini, antara lain adalah menggunakan sistem commenda,
yaitu suatu sistem perdagangan di mana antara pemilik modal memberikan modalnya baik berupa kapal dengan
perlengkapannya dan modal untuk membeli dan menjalankan komoditi dagangnya kepada pedagang kelontong untuk
dijalankan ke pasar-pasar baik internasional maupun lokal dengan perjanjian pembagian keuntungan sesuai dengan
kesepakatan. Jadi ada dua kelas pedagang yaitu kaum pemodal dan kaum pedagang itu sendiri. Komoditi yang diperjualbelikan
adalah barang-barang yang bisa menghasilkan untung yang tinggi karena biaya operasional yang tinggi (perjalanan yang
panjang dan penuh dengan resiko). Barang-barang ini biaanya tidak boleh mengambil tempat ruang kapal yang banyak namun
bernilai tinggi seperti seperti emas, tenun, senjata, dan sebagainya. Selain itu juga dikenal adanya sistem verslag, yaitu para
pedagang memberikan uang muka terlebih dulu kepada para pengrajin komoditi untuk kemudian dalam jangka waktu tertentu
barang tersebut diambil oleh pemberi uang muka tersebut. Jadi sudah ada ikatan antara pedagang dengan produsen, sehingga
ketika kapal datang muatan sudah siap. Dengan cara demikian pedagang tidak akan rugi waktu yang berarti juga rugi biaya.
Sementara itu peranan bangsawan dan penguasa pelabuhan sangat besar dalam proses perdagangan. Mereka menarik pajak,
meminta upeti, memonopoli komoditi tertentu bahkan dalam banyak hal mereka juga menjadi pemodal dalam usaha
perdagangan.1°
Suatu hal yang menarik adalah mengapa para penguasa pesisir tertarik padaperdagangan. Ada beberapa alasan antara
lain mereka memperoleh pendapatan dari dunia perniagaan itu sendiri. Biasanya
para penguasa yang tergantung pada surplus agraris selalu terancam oleh dua hal yaitu uang tunai dan peralatan militer.
Dalam hal ini dunia perniagaan akan mampu memenuhi tuntutan kebutuhan ini. Dengan ikut andil dalam perdagangan berarti
penguasa telah mengembangkan ekonomi pasar. Ini berarti akan meningkatkan pendapatan mereka. Sementara itu dunia
perniagaan juga memungkinkan para penguasa untuk mendapatkan komoditi yang prestisious yang sangat penting untuk
legitimasi kekuasaan dan kewibawaan. Jika penguasa pedalaman memanfaatkan surplus kekayaan dengan membangun
monumen-
230 Ekspansi Ekonomi Maritim dan Jaringan antar Daerah

monumen keagamaan yang megah maka penguasa pesisir mengoleksi barang-barang impor mewah."

b. Bangsa Indonesia sebagai subyek aktif


Sejak jaman prasejarah, penduduk kepulauan Nusantara merupakan pelayar yang sanggup mengarungi lautan lepas. Laut dan
selat yang membentang di hadapan mereka tidak dipandang sebagai penghalang, namun justru sebagai penghubung antara
pulau-pulau di Nusantara sehingga laut berfungsi sebagai pemersatu di antara suku-suku bangsa yang ada. Bahkan bisa
dikatakan bahwa hubungan antara daerah pantai dengan pedalaman lebih sulit jika dibandingkan dengan hubungan antar
pulau dengan melalui laut. Dalam hubungan itulah bisa dipahami jika pada awal abad masehi telah muncul berbagai titik pusat
perdagangan di daerah pantai di pulau Sumatra, Jawa, dan Kalimantan. 12 Arus perdagangan pada waktu itu dapat dilihat pada
peta 5.1. berikut ini.

Peta 5.1. Arus perdagangan di Nusantara pada awal masa Sriwijaya


(Diolah dari berbagai sumber)
Sejarah Maritim Indonesia 231

Indonesia memiliki posisi geografis yang sangat strategis yaitu terletak dalam jalur perdagangan internasional lewat laut an Sutra)
antara dua negara adidaya pada waktu itu yaitu India dan Cina. Suatu hal yang bukan merupakan kebetulan jika bangsa Indonesia pada
waktu bisa memanfaatkan potensi ini untuk melibatkan diri secara aktifdalam perdagangan itu. Hubungan dagang antara Indonesia dengan
India lebih dahulu berkembang daripada hubungan dagang antara Indonesia dan Cina." Namun demikian kapan aktivitas perdagangan
tersebut persisnya mulai dilakukan sangat sulit untuk ditentukan. Meskipun begitu, bukti-bukti historis menunjukkan bahwa sejak abad ke-
2 masehi sudah ada hubungan dagang antara Indonesia dan India. Selanjutnya sejak abad ke-5 juga sudah mulai ada utusan diplomatik ke
negeri Tiongkok. Tentu saja hubungan itu bermula dari proses perdagangan. Reid mengatakan bahwa dunia perniagaan selalu menjadi
sesuatu yang vital di kawasan

ini. 14

Komoditi yang diperdagangkan pada waktu itu adalah lada, cengkih, pala, kayu cendana, beras, kain, dan sebagainya. Adapun etnik
yang terlibat dalam kegiatan itu misalnya: Jawa, Melayu, Ambon, Ter-nate, Bugis, Makassar, Banjar, India, Arab, dan sebagainya. Beberapa
bandar penting di Indonesia pada waktu itu adalah Temate, Tidore, Hitu, Palembang, Jambi, Pasai, Pidie, Aceh, Gresik, Tuban,Demak,
Jepara, Banten, dan sebagainya. Pada waktu itu Malaka juga merupakan pelabuhan transito yang penting di Asia Tenggara.'

Pada masa itu India dan Cina merupakan dua negara adidaya yang maju dan kaya. Di antara keduanya tejalin hubungan perdagangan
yang erat yang pada gilirannya juga melibatkan negara-negara di sekitarnya termasuk kerajaan-kerajaan di kepulauan Nusantara. Rempah-
rempah (lada, cengkeh, pala) dari Maluku, Aceh, Sumatra Selatan, Jawa Barat, merupakan komoditi yang digemari orang di maria-maria.
Kayu cendana dari Nusa Tenggara dan kapur barus dari Sumatra serta kemenyan yang banyak didapat di hutan-hutan di Kalimantan,
Sumatra, dan Sulawesi sangat disukai oleh orang-orang India dan Cina untuk kepentingan upacara-upacara keagamaan mereka. Sebaliknya,
komoditi dagang dari negeri Cina juga disenangi oleh masyarakat Indonesia terutama untuk kepentingan prestise kalangan masyarakat
menengah
232 Ekspansi Ekonomi Maritim dan Jaringan antar Daerah

ke atas. Komoditi dan negeri Cina yang sangat populer dalam masyarakat Indonesia adalah barang-barang porselain seperti
piring, mangkok, cangkir, jambangan dan sebagainya. Di samping itu, produk Cina yang juga termashur di Nusantara adalah kain
sutra Cina yang terkenal sangat halus namun juga terkenal sangat mahal sehingga hanya para bangsawan dan orang kaya saja
yang mampu membelinya. Sementara itu pada pedagang dari India memperdagangkan kain mori yang juga berkualitas bagus.
Jadi spesialisasi dalam produksi ini telah mendorong proses perdagangan yang cukup ramai di jalur maritim antara India dan Cina.
Selain itu berbagai bangsa di Asia juga ikut merarnaikan jalur perdagangan ini seperti orang-orang Arab, Iran, Turki, dan
sebagainya.'
Sumber historis tentang hubungan dagang antara Nusantara dengan India pada taraf awal biasanya didasarkan atas
kitab-kitab sastra dan keagamaan Hindu/ dan atau Budha yang diperkirakan ditulis dengan menggunakan pengetahuan-
pengetahuan yang faktual pada jamannya, seperti kitab Jataka yang memuat kisah perjalanan sang Budha Gautama. Kitab ini
misalnya menyebut Svarnabhumi (negeri emas) yang oleh para peneliti bisa dikonotasikan dengan pulau Sumatra. Istilah yang
hampir sama maknanya juga disebutkan dalam kitab Ramayana yang menyebutkan adanya tempat yang bernama Swarnadwipa
(pulau emas) yang lazim digunakan untuk menyebut pulau Sumatra juga. Diceritakan dalam kitab ini bahwa raja Ayodya, Rama,
telah menyuruh bala tentara kera untuk mencari istrinya, Sita, yang telah diculik oleh raja Alengka, Rahwana, ke negeri-negeri di
sebelah timur India antara lain ke Swarnadwipa dan Yavadwipa (sebutan yang lazim untuk pulau Jawa). Adanya nama-nama
Yavadwipa dan Swarnadwipa dalam kitab-kitab itu menunjukkan bahwa orang-orang India sudah memiliki pengetahuan tentang
Nusantara. Hampir bisa dipastikan hal ini merupakan hasil dari hubungan dagang yang sudah berjalan sebelumnya. Oleh karena
kitab-kitab ini ditulis pada sekitar awal abad masehi, maka hubungan dagang tersebut tentunya sudah berjalan pada masa
sebelum itu. Pada abad ke-2 masehi hubungan dagang antara Nusantara dan India sudah relatif intensif sehingga pada abad ke-
5 masehi pengaruh perdagangan itu telah menembus pada segi-segi kehidupan sosial, kebudayaan dan agama
Sejarah Maritim Indonesia 233

penduduk Nusantara dengan munculnya kerajaan-kerajaan yang menunjukkan pengaruh kebudayaan Hindu dan Budha."
Salah satu motif mengapa pada awal abad masehi orang-orang India melakukan ekspansi dagang ke Dunia Timur adalah
berkaitan dengan hilangnya sumber perdagangan emas India yang berasal dari Asia Tengah menjelang abad masehi sebagai
akibat dari gerakan bangsa-bangsa di Asia Tengah yang menyebabkan alur perdagangan ini terputus. Selanjutnya, India
mengimpor mata uang emas dalam jumlah besar dan kekaisaran Romawi. Namun demikian perdagangan ini akhirnya dilarang
Kaisar Vespasianus (69-79 Masehi) karena mengalirnya mata uang emas dalam jumlah besar ke luar negeri akan membahayakan
ekonomi negara. Oleh karena itu orang-orang India harus mencari sumber emas di daerah lain. Menarik sekali bahwa dalam
kitab-kitab sastra diceritakan mengenai negeri emas di daerah timur yang ternyata kemudian menghasilkan rempah-rempah.
Oleh karena itu wajar jika para pedagang India kemudian melakukan ekspansi perdagangan ke timur.'s Belum diketahui secara
pasti apakah para pedagang India merasa kecewa ketika mendapati bahwa Dunia Timur tidak terutama menghasilkan emas
tetapi justru menghasilkan berbagai produk tropis yang juga dibutuhkan dalam perdagangan internasional seperti kayu cendana,
kapur barus, cengkeh, lada, dan sebagainya."
Sementara itu hubungan dagang antara Nusantara dan Cina baru dimulai ketika hubungan dagang antara Nusantara dan
India telah terpolakan. Perhatian Cina terhadap aktivitas perdagangan penduduk Nusantara seiring dengan periode perluasan
kekaisaran Cina ke selatan meskipun hal ini berjalan secara lamban.2° Seperti di ketahui bahwa tradisi Cina untuk mengembangkan
aktivitas perdagangan dengan kawasan yang terletak di sebelah baratnya (Asia Tengah, Asia Barat, dan Eropa) lewat jalan darat lebih
dahulu berkembang. Pada awal abad masehi, sebagian dari perdagangan itu sudah melalui jalan perdagangan maritim antara India
dan Asia Tenggara yang sudah terlebih dahulu berkembang meskipun selanjutnya dari Asia Tenggara ke Cina perdagangan dilakukan
lewat darat ke Cina melalui Funan. Masih diperlukan waktu yang lama bagi Cina untuk bisa mengambil bagian secara aktif dalam
perdagangan
234 Ekspansi Ekonomi Maritim dan Jaringan antar Daerah

maritim di Asia Tenggara. Bahkan perhatian Cina sendiri terhadap perdagangan maritim Asia Tenggara sangat kurang. Mereka
berurusan
dengan Asia Tenggara (khususnya Funan) sejauh ada sangkut-pautnya dengan perdagangan Asia Barat. 21 Dengan demikian
pengetahuan mereka tentang `Dunia Selatan' sangat kurang jika dibandingkan dengan pengetahuan mereka tentang `Dunia
Barat'. Bahkan barn abad V atau sesudahnya mereka memiliki pengetahuan tentang Nusantara. 22
Wolters menunjukkan bukti-bukti bahwa pelayaran niaga melintasi Laut Cina Selatan untuk pertama kalinya terjadi antara
abad III dan V masehi. Namun demikian, bukti yang pasti mengenai aktivitas ini barn terjadi pada abad V masehi. Hal ini bisa
disimpulkan dari perjalanan
dua orang pendeta agama Budha yaitu Fa Hsien dan Gunavarman. 23 Pada waktu itu Fa Hsien menumpang kapal India. Dalam
permulaan hubungan dagang dengan Cina, siapa yang sesungguhnya memiliki inisiatif dalam kegiatan perdagangan itu?
Mampukah orang-orang Nusantara membawa barang-barang dagangannya ke Cina untuk dijual di sana? Seperti diketahui
bahwa sebelum menjalin hubungan dagang dengan dengan Cina, para pedagang Nusantara telah berpengalaman dalam
pelayaran dan perdagangan dengan negeri-negeri di Asia Tenggara dan India. Berdasarkan struktur perdagangan Asa kuno,
maka dapat dipastikan bahwa armada dagang Nusantara sudah biasa mencapai kawasan dagang di sebelah barat Semenanjung
Malaya, bahkan I-Tsing dalam perjalanannya ke India menumpang kapal Sriwijaya. Sudah tentu ada juga pedagang-pedagang
Nusantara yang hanya beroperasi di perairan Nusantara dan Selat Malaka, untuk selanjutnya produk dari Nusantara dibawa
oleh pedagang-pedagang lain ke negeri-negeri di sebelah barat Malaka. Dalam hubungan itulah maka ketika pedagang-
pedagang dari Cina mulai berkembang, sesungguhnya orang-orang Nusantara sudah memiliki pengalaman berdagang dan
berlayar dengan negeri-negeri asing. Namun demikian selama berabad-abad sebelumnya perdagangan Cina - Asia Barat telah
didominasi orang-orang India sehingga sejalan dengan berkembangnya perdagangan Cina -Nusantara, maka tentunya terjadi
persaingan antara pedagang Nusantara dan pedagang India. Namun demikian hal ini tergantung pada jangkauan pedagang
Nusantara. Jika pedagang Nusantara hanya menjadi feeder
Sejarah Maritim Indonesia I 235

pedagang India maka kemungkinan besar terjadi kerjasama. Namun demikian jika para pedagang Nusantara juga berdagang
langsung ke Cina maka tentunya terjadi persaingan.
Hampir bisa dipastikan bahwa pada awal abad V telah ada orang-orang Nusantara yang datang berlayar/ berdagang
langsung ke Cina. Sebuah berita Cina menceritakan bahwa pada bulan keempat tahun 430 datanglah utusan dari Ho-lo-tan,
sebuah negeri di She-p'o (Jawa). Jadi jelas bahwa utusan itu datang dari Nusantara yang membawa kain dari India dan
Gandhara. Secara berturut-turut, Ho-lo-tan mengirimkan utusan ke Cina pada tahun 430, 433, 434, 436, 437, dan 452. 24
Diperkirakan bahwa Holotan (atau Aruteun) merupakan pendahulu kerajaan Taruma sebelum kerajaan ini mendapat pengaruh
Hindu. Berita Cina mengenai Taruma sendiri terutama terjadi setelah periode Ho-lo-tan." Dari berbagai berita Cina dapat
disimpulkan bahwa bahwa pada abad V masehi orang-orang Nusantara sudah memiliki hubungan dagang langsung dengan
Cina. Hubungan dagang itu bahkan lebih banyak merupakan basil dari inisiatif orang Nusantara dengan melihat banyaknya
utusan dagang ke Cina tersebut. Sementara itu kaisar Cina hanya sesekali mengirimkan utusan ke negeri-negeri di Nusantara
dan itupun banyak berurusan dengan soal agama dan politik. Barn dalam tahap berikutnya, datang juga para pedagang Cina ke
pelabuhan-pelabuhan di Nusantara. Setelah penduduk Nusantara dapat berdagang langsung dengan Cina, maka is mendapat
kedudukan yang penting dalam jaringan perdagangan dan pelayaran internasional. Kapal-kapal Indonesia lalulalang melayari
perairan antara India dan Cina. Pada abad VII masehi seorang pendeta Budha dari Cina yang bernama I-tsing bertolak ke India
dari Indonesia dengan menumpang kapal Sriwijaya.26
Munculnya kerajaan Sriwijaya sebagai kerajaan maritim hampir bisa dipastikan berkaitan erat dengan perdagangan
internasional antara India dan Cina dan perdagangan regional di antara daerah-daerah di Nusantara, antara daerah di
Nusantara dan kawasan Asia Tenggara dan antara daerah di Nusantara dengan Cina. Dengan kemampuan untuk mengelola
aktivitas perdagangan yang berlalu-lalang di kawasan Nusantara bagian barat, pada puncak perkembangannya Sriwijaya
mampu mengontrol kawasan Selat Malaka dan Selat Sunda. Seperti
236 Ekspansi Ekonomi Mariam dan Jaringan antar Daerah

diketahu bahwa jika suatu negara hidup dari perdagangan berarti penguasanya harus menguasai jalur-jalur perdagangan dan
pelabuhan-pelabuhan tempat barang-barang dagangan itu ditimbun untuk diperdagangkan. Tindakan yang demikian ini jelas
memerlukan kontrol langsung dari penguasa. Kesetiaan dan kontrol langsung merupakan persoalan yang sangat penting dalam
negara maritim. Oleh karena itu Sriwijaya mengembangkan politik yang berorientasi pada kontrol atas sumber-sumber
perdagangan." Wilayah kekuasaan Sriwijaya dapat dilihat pada Peta 5.2. Mungkin Sriwijaya sendiri tidak begitu strategis
letaknya karena agak jauh dari Selat Malaka, namun dengan kekuatan armadanya ia menguasai daerah-daerah yang potensial
untuk menjadi pesaingnya dan dapat mengontrol jalur perdagangan yang berada di bawah kekuasaannya dari perompakan
dan kemungkinan agresi dari negara lain. Dengan cara ini ia menyalurkan perdagangan ke pelabuhan-pelabuhan yang
dikuasainya. Dengan begitu Sriwijaya telah menjadi sumber perdagangan yang penting antara Cina dan India. Suatu yang
menarik adalah bahwa untuk kepentingan perdagangannya, Sriwijaya rela mengakui Cina sebagai negara besar yang berhak
untuk diberi upeti. Dengan cara demikian Sriwijaya akan merasa aman akan bahaya ekspansi militer Cina yang sudah meramah
ke Vietnam dan Funan. Selain itu kapal-kapal Sriwijaya juga akan mendapatkan perlakuan yang lebih baik di pelabuhan-
pelabuhan di Cina.28
Perdagangan internasional Sriwijaya dengan Cina dan India telah memberikan keuntungan yang besar kepada kerajaan
Sriwijaya sehingga raja Sriwijaya terkenal sebagai raja yang sangat kaya. Sumber-sumber Cina juga memberikan gambaran yang
berasal dari cerita-cerita masyarakat di Sriwijaya bahwa pada setiap ulang tahunnya, raja Sriwijaya membuang sebungkah emas
ke dalam kolam. Apakah cerita itu benar atau tidak, namun yang jelas bahwa kekayaan raja Sriwijaya telah banyak dibicarakan
orang. Dengan kemampuannya mengamankan alur pelayaran di kawasan selat Malaka, maka Sriwijaya yang berpusat di
Palembang ini pada abad XIII mampu menguasai titik-titik simpul perdagangan antara lain P'eng-feng (Pahang), Teng-ya-nung
(Trengganu), Ling-Ya-ssu-chia (Langkasuka), Chi-lan-tan (Kelantan), Fo-lo-an (Kuala Berang), Tan-ma-
Sejarah Maritim Indonesia 237

ling (Tambralingga, Ligor), Chia-lo-si (Grahi, Teluk Brandon,), Sin-t'o (Sunda)."

Peta 5.2. Kawasan Perairan yang dikontrol oleh Sriwijaya


(Diolah dari berbagai sumber)

Sebagai sebuah negara maritim, Sriwijaya telah mengembangkan strateginya untuk bertahan dan sekaligus untuk
meneguhkan dan mengembangkan kekuasaannya. Di satu pihak untuk suvivalitas kekuasaannya, is telah mengembangan
diplomasi internasional dengan negara-negara adidaya di sekitarnya yang diperkirakan memiliki kemampuan untuk
menghancurkannya, yaitu India dan Cina. Diplomasi dengan India, misalnya, dilakukan dengan pendirian sebuah wihara di
Nalanda atas perminataan raja sriwijaya yang bernama Balaputadewa. Sementara itu dengan Cina, Sriwijaya telah
mengirimkan utusan yang pada intinya mengakui kekuasaan kekaisaran Cina yang patut mendapatkan upeti. Setiap saat ada
ancaman terhadapnya, Sriwijaya selalu memohon bantuan Cina. Di pihak lain untuk meneguhkan dan mengembangkan
kekuasaannya, Sriwijaya melakukan penguasaan-
238 Ekspansi Ekonomi Maritim dan Jaringan antar Daerah

penguasaan terhadap simpul-simpul perdagangan dan arus perdagangan yang ada dengan menggunakan berbagai cara
termasuk cara ekspedisi militer. 3°
Ketika orang-orang Cina sudah mulai ramai datang sendiri ke pelabuhan-pelabuhan Sriwijaya, peranan para pedagang
Sriwijaya tentunya menghadapi saingan yang berat dan terancam untuk menjadi pedagang lokal yang melayani pedagang
asing. Ini terjadi karena para pedagang Cina membawa sendiri komoditi dari negerinya ke pelabuhan-pelabuhan Sriwijaya. Di
samping itu, dengan semakin banyaknya pedagang Cina yang datang di pelabuhan-pelabuhan itu telah mendorong
perkembangan pelabuhan yang bersangkutan. Dalam hubngan itu daerah-daerah taklukan Sriwijaya di Selat Malaka mulai
mengirimkan utusannya sendiri ke Cina yang tentu saja oleh Cina diterima dengan baik. Secara ekonomi akan sangat
menguntungkannya yaitu semakin banyak upeti yang diterima, sedangkan secara politik kondisi
yang demikian itu menguntungkan Cina karena negara yang besar di Asia Tenggara telah terpecah-belah sehingga tidak ada
kemungkinan menjadi ancaman bagi Cina, bahkan sebaliknya akan semakin mudah bagi Cina untuk sewaktu-waktu
menaklukkannya.

4. Perkembangan Kerajaan-kerajaan di Jawa dan Perebutan Hegernoni Perdagangan di Selat Malaka


Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, berkembangnya kerajaan Sriwijaya di Sumatra sejalan dengan
berkembangnya kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Terdapat berbagai pendapat di sekitar hubungan antara
kerajaan Sriwjaya dengan kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bentuk-bentuk hubungan itu bisa berupa
hubungan darah (dinasti) atau justru sebaliknya persaingan dan konflik antar dinasti. Demikian juga bentuk-betuk hubungan
itu bisa berupa kerjasama dan persaingan dalam bidang politik dan ekonomi. 31 Dalam hubungan ini bentuk hubungan antara
kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan Sriwijaya lebih ditekankan pada bentuk kerjasama dan konflik yang
silih berganti yang bersumber dari kepentingan ekonomi dan politik.
Sejarah Maritim Indonesia I 239

Persaingan dan konflik antara Sriwijaya dan kerajaan-kerajaan di Jawa memperlihatkan tensinya yang tinggi ketika pusat
kerajaan Mataram pindah ke Jawa Timur. Raja yang memindahkan itu adalah Sendok (929947) yang dianggap sebagai pendiri
dinasti barn (wangsa Isyana) yang memerintah di Jawa Timur sampai 1222. Dalam hubungannya dengan kerajaan Sriwijaya
(yang diperintah oleh dinasti Syailendra), salah satu alasan kepindahannya dari Jawa Tengah ke Jawa Timur adalah untuk
menjauhi Sriwijaya dalam kaitannya dengan konflik yang sudah ada atau ketakutannya kepada Sriwijaya yang mungkin telah
mencoba untuk menghidupkan tuntutan-tuntutan Syailendra atas kekuasaan di Jawa Tengah. Munculnya Jawa Timur sebagai
pusat kerajaan besar menimbulkan konsekuensi logis terhadap perekonomian baik bagi daerah itu maupun bagi kawasan
Nusantara secara umum.32 Seperti diketahui bahwa berbeda dengan kawasan pusat kerajaan Mataram di Jawa Tengah yang
sudah memiliki kemapanan dalam perkonomian persawahan, daerah-daerah pantai dan delta di Jawa Timur belum merupakan
daerah pertanian yang intensif yang bisa menghasilkan surplus pangan untuk menopang kekuatan politik kerajaan baru ini. Oleh
karena itu sejak awal perkembangannya, raja-raja di Jawa Timur mengembangkan perhatian untuk perdagangan seberang
lautan. Hubungan-hubungan dagang dijalin baik dengan kawasan Nusantara bagian timur (seperti Maluku) maupun dengan
kawasan Nusantara bagian barat (seperti dengan Sumatra dan Semenanjung Melayu).33
Pada waktu dinasti Isyana di bawah pemerintahan raja Dharmawangsa (985-1006) upaya-upaya yang ekspansif telah
dilakukan terhadap Sriwijaya sebagai bagian dari persaingan dalam hegemoni perdagangan. Berbeda dengan kerajaan-
kerajaan di Jawa Tengah yang lebih menekankan pada perekonomian agraris, dinasti di Jawa Timur
juga melebarkan sayapnya dalam bidang perdagangan maritim. Usaha terbesar yang dilakukan oleh Dharmawangsa adalah
serangan-serangannya kepada Sriwijaya yang pada waktu itu masih sangat kuat. Serangannya atas Palembang selama
pemerintahannya telah menempatkan Sriwijaya dalam posisi yang berbahaya. 34
Ketika tiba di Canton, utusan Sriwijaya ke istana kaisar Cina yang datang pada tahun 988 dan kembali tahun 990,
mendengar bahwa
240 Ekspansi Ekonomi Maritim dan Jaringan antar Daerah

negerinya sedang diserang oleh Jawa. Setelah menunggu satu tahun di Canton, ia berlayar pulang, tetapi ketika ia tiba di
Champa masih mendengar khabar buruk mengenai negerinya yang kemungkinan besar adalah sebagai akibat dari rentetan
serangan dari Jawa. Oleh karena itu ia tidak meneruskan perjalanan pulang ke Sriwijaya tetapi kembali lagi ke Cina pada
tahun 992 untuk minta kepada kaisar agar dikeluarkan pernyataan yang menempatkan negerinya di bawah pengawasan
kaisar Cina. Namun demikian pada tahun yang sama ternyata Dharmawangsa masih melakukan penyerangan ke Sriwijaya
yang bertujuan untuk menempatkan kerajaan ini di bawah kekuasaan Dharmawangsa. Hanya dengan menjalin hubungan
baik dengan kerajaan Cola di India dan kekaisaran Cina, akhirnya Sriwijaya dapat memukul balik serangan Dharmawangsa.
Bahkan setelah berkonspirasi dengan salah satu kerajaan bawahan Dharmawangsa (yaitu kerajaan
Wurawari) serangan balasan Sriwijaya dapat menghancurkan kraton Dharmawangsa dan bahkan berhasil membunuhnya
tahun 1006 dalam peristiwa yang disebut pralaya."
Jika hubungan baik dengan kekaisaran Cina bisa diketahui dari intensitas kedatangan utusan Sriwijaya di istana kaisar
dan permohonan mereka untuk melindungi kerajaan Sriwijaya, maka hubungan yang baik antara Sriwijaya dengan kerajaan
Cola dibuktikan dengan pembangunan sebuah Wihara Budha oleh raja Sriwijaya yang bernama Chulamaniwarmadewa pada
tahun 1008. Raja Chola menghadiahkan hasil pajak tahunan sebuah desa besar untuk memeliharanya. Fungsi dari wihara ini
terutama adalah untuk tempat ibadah agama Budha bagi saudagar Sriwijaya yang datang di India. Sudah tentu hal ini
membuktikan betapa pentingnya hubungan dagang secara langsung antara Sriwijaya dengan
Hubungan baik antara Sriwijaya dan kerajaan Chola tidak berlangsung lama. Perluasan kekuatan di laut dari kerajaan
Chola untuk memperluas hegemoni perdagangan laut selalu menjadi obsesi sebuah
kerajaan maritim. Pada tahun 1007 kerajaan Chola sudah mulai melakukan serangan-serangan ke timur. Pada tahun 1025
pusat kerajaan Sriwijaya-pun mendapat giliran serangan yang melumpuhkan. Dalam serangan yang berikutnya yaitu tahun
1027, raja Sriwijaya yang bernama
Sejarah Mariam Indonesia 1 241

Sanggramawiyottungga-warman dapat ditawan. Tidak diketahui secara pasti bagaimana nasib raja Sriwijaya ini. Serangan-
serangan kerajaan Chola selanjutnya di arahkan ke daerah-daerah kekuasaan sriwijaya di Semenanjung Malaya."
Lemahnya Sriwijaya setelah rangkaian serangan yang dilakukan oleh kerajaan Chola menimbulkan dua hal penting.
Pertama, raja pengganti Dharmawangsa yaitu Airlangga (1019-1042) dapat merebut kembali daerah yang hilang setelah
peristiwa penghancuran kraton Dharmawangsa pada tahun 1006. Kedua, rentetan serangan kerajaan Chola kemungkinan
memberikan kesadaran kepada penguasa Sriwijaya bahwa betapapun baiknya persahabatan yang dibangun dengan kerajaan
Chola dapat sewaktu-waktu berubah menjadi perang dan penaklukan. Oleh karena itulah terjadilah semacam gentlement
agreement di antara dua kekuatan utama di Nusantara ini untuk tidak bermusuhan karena masing-masing sama-sama
lemahnya. Situasi ini berkembang lebih bail: ketika dua kekuatan besar ini mengadakan aliansi dalam menghadapi kekuatan
kerajaan Chola dengan mengadakan perkawinan antara raja Airlangga sendiri dengan saudari raja Sri Dewa yang sedang
memerintah, yang berarti putri dari raja Sanggramawijayottunggawarman. Ada semacam kesepakatan bahwa Airlangga
berkuasa di kawasan Nusantara bagian timur sedangkan Sriwijaya berkuasa di bagian barat meskipun kerajaan ini tidak bisa
mencapai kejayaan seperti sebelum serangan Chola." Demikian juga ada bukti-bukti bahwa Jawa juga tetap menjalin hubungan
perdagangan dengan kawasan Nusantara bagian barat."
Kemajuan yang telah dicapai oleh kerajaan Kediri di Jawa Timur sebagai kekuatan laut dan perdagangan telah merangsang
perkembangan perekonomian di Nusantara. Sudah barang tentu kerajaan Sriwijaya juga ikut menikmati perkembangan ini
sehingga memungkinkannya masih dapat bertahan dan bahkan kembali berkembang. Pada permulaan abad XIII ada berita Cina
yang menceritakan bahwa Kerajaan Sriwijaya masih memiliki tidak kurang dari 15 daerah bawahan yang terletak di Sumatra,
Semenanjung Malaya, dan Jawa Barat. Meskipun demikian kekuasaannya tidak pernah menyamai apa yang telah dicapai sebelum
serangan Chola. Bahkan pada akhir abad XIII rupanya kerajaan Sriwijaya benar-benar lemah seiring dengan gerakan dari daerah-
daerah bawahan Sriwijaya
242 Ekspansi Ekonomi Maritim dan Jaringan antar Daerah

yang melepaskan diri dari Sriwijaya dan berdiri sendiri. Tampalcnya kekuatan pusat sriwijaya sudah tidak mampu lagi
mengontrol daerah kekuasaannya. Pada akhir abad XIII bahkan Palembang dimasukkan dalam daftar daerah bawahan San-fo-
tsi (Sriwijaya) sedangkan Melayu tidak termasuk di dalamnya. Anehnya bahwa Jambi (pusat kerajaan Melayu) mengirimkan
utusannya sendiri ke Cina. Banyak ahli sejarah mengintepretasikan bahwa pusat kerajaan Sriwijaya telah pindah atau direbut
oleh Melayu. Demikian juga hal yang menarik adalah bahwa ekspedisi Kertanagara dari Singhasari pada than 1275 tidak
diarahkan ke Palembang melainkan ke Melayu 40
Masa Kediri memperlihatkan perkembangan bukan hanya di bidang sastra tetapi juga di bidang politik dan perdagangan
maritim.' Berita Cina menyatakan bahwa kerajaan Kediri merupakan kerajaan yang memiliki kekuasaan yang besar dan
terorganisir dengan baik. Periode ini juga menyaksikan perkembangan penting dalam perdagangan di seluruh Nusantara.
Maluku yang merupakan penghasil rempah-rempah mulai memiliki peranan penting bagi perdagangan di Nusantara dan dunia.
Ternate merupakan daerah bawahan Kediri. Di daerah ini terdapat catatan-catatan tentang perdagangan yang luas antara
saudagar-saudagar Arab dengan pedagang-pedagang di seluruh Nusantara. Saudagar-saudagar Arab ini membeli merica, kayu
cendana dan rempah-rempah dan menjual jenis-jenis kain dari India. Lewat preoses perdagangan inilah para pedagang Arab
dan Parsi menyebarkan agama Islam ke penduduk setempat.'
Gelombang ekspansi Jawa naik kembali ketika Kertanagara menjadi raja di Singhasari. Dengan meneruskan tradisi politik
Jawa yang bersikap anti dominasi kekaisaran Cina, Kertanagara berusaha meluaskan pengaruhnya untuk membangun
persekutuan politik dan militer dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara dengan menyadarkan bahwa Cina merupakan
kekuatan besar yang harus dihadapi bersama. Seperti diketahui bahwa setelah Kertanagara naik tahta pada tahun 1268 is
memiliki ambisi untuk menjadikan Singhasari sebagai kekuatan baru di Nusantara. Perdana menteri ayahnya, Raganata, yang
berkeberatan atas politik Kertanagara, diberi jabatan lain dan posisinya diganti oleh Aragani dan Kebo Tengah yang juga dijadikan
sebagai penasehat politik utama
Sejarah Maritim Indonesia I 243

raja. Kerajaan Sriwijaya, yang demi alasan keamanan hampir selalu menjalin hubungan baik dengan Cina atau bahkan
kadang-kadang meminta perlindungan Cina, dipaksa bersekutu dengan Kertanagara dengan mengirimkan ekspedisi
Pamalayu. Dengan demikian ada upaya-upaya untuk menyatukan dunia perdagangan Melayu dan Jawa dalam rangka
menghadapi
Jika pada masa Singhasari persekutuan kerajaan-kerajaan di Nusantara hendak dirintis dengan jalan yang relatif damai
karena menghadapi ekspansi Mongol, maka pada masa Majapahit persatuan hendak ditegakkan dengan cara-cara yang lebih
keras dengan kekuatan militer. Jika upaya Kertanagara untuk merintis `persekutuan suci' Nusantara didasarkan pada bahaya
ekspansi luar, maka Majapahit melakukan hal yang sama dengan didorong terutama oleh ambisi-ambisi internal yang
melihat kelumpuhan politik pusat-pusat dagang di Nusantara sebagai motivasi untuk menempatkan mereka di bawah panji-
panji kebesaran dan kesatuan Majapahit.

Gambar 5.1. Jung Cina dari jaman dinasti Ming


(Sumber: Gavin Menzies, 1421, The Year China Discovered
the World, 2002, hlm. 31)
244 Ekspansi Ekonomi Maritim dan Jaringan antar Daerah

5. Hubungan Antardaerah dan Fondasi menuju Integrasi a. Ekspansi Politik dan Fondasi Menuju Integrasi Ekonomi
Di dalam sejarah Indonesia, sulit untuk memisahkan fenomena politik dari kepentingan-kepentingan ekonomi. Konflik-
konflik politik yang timbul-tenggelam dalam sejarah Indonesia hampir selalu bisa dikaitkan dengan persoalan-persoalan dan
kepentingan-kepentingan ekonomi dari pihak-pihak yang terlibat dalam konflik itu. Sebaliknya hubungan-hubungan
ekonomi, khususnya perdagangan juga akan menimbulkan dampak-dampak tertentu dalam bidang politik dan kebudayaan
bahkan kepercayaan/ agama. Bagian akan mengkaji tentang upaya-uapaya kekuatan-kekuatan politik di Nusantara untuk
melakukan ekspansi dan integrasi politik dalam kaitannya dengan kemungkinan tercapainya proses hubungan-hubungan
ekonomi yang lebih intensif antara daerah-daerah di Nusantara.

1). Sriwijaya: perdagangan internasional dan respon lokal


Seperti dibahas dalam bagian sebelumnya bahwa menjelang abad Masehi intensitas hubungan dagang lewat laut antara
dua adidaya yaitu India dan Cina meningkat dengan pesat. Dalam hubungan ini, perairan Nusantara bukan hanya sekedar
dilewati oleh para pedagang India yang lalu-lalang saja, tetapi temyata daerah-daerah di Nusantara juga mampu memproduksi
berbagai macam komoditi yang dibutuhkan dalam perdagangan internasional tersebut, misalnya berbagai macam bahan
wangi-wangian seperti kemenyan dan kayu cendana yang sangat dibutuhkan untuk upacara-upacara keagamaan baik di India
maupun di Cina. Selain itu daerah-daerah di Nusantara juga mampu memproduksi rempah-rempah yang dibutuhkan dalam
pasar internasional sebagai bahan obat-obatan. Dengan demikian bisa dilihat bahwa perdagangan internasional yang lalu-
lalang di sekitar Selat Malaka telah merangsang perkembangan perdagangan lokal dan perdagangan interregional di antara
daerah-daerah dan pelabuhan-pelabuhan di Indonesia yang muncul mengikuti arus perdagangan ini.44
Dengan melihat potensi komoditi yang dihasilkan oleh berbagai daerah di Nusantara yang dibutuhkan dalam
perdagangan internasional, para pedagang India yang lalu-lalang di kawasan kepulauan Indonesia
Sejarah Maritim Indonesia I 245

bagian baratpun menjalin hubungan dagang dengan penduduk setempat. Dengan menggunakan alat tukar utama yang
berupa kain katun
India dan sutera Cina, mereka bisa memperoleh komoditi yang mereka
perlukan untuk dijual lagi di pasaran internasional. Oleh karena itu bisa dipahami jika hubungan perdagangan antara
penduduk Nusantara dan
pedagang India lebih dahulu berkembang jika dibandingkan dengan hubungan dagang dengan Cina. Jadi mungkin pada taraf
awal memang inisiatif datang dari pedagang-pedagang India yang memang sudah berabad-abad lamanya telah memiliki
pengalaman dagang dengan Cina baik dengan lewat jalan darat maupun kemudian lewat jalan laut dengan melewati perairan
Asia Tenggara. Pengalaman dagang dengan orang India inilah yang rupanya merangsang penduduk Nusantara untuk lebih jauh
terlibat dalam perdagangan antar pelabuhan di Nusantara dan bahkan dengan pelabuhan-pelabuhan di kawasan Selat
Malaka.
Kontak-kontak dagang yang semakin ramai yang berpusat di kota-kota pelabuhan pada akhirnya memprekondisikan
kemunculan sebuah masyarakat kota pelabuhan yang berbasiskan pada ekonomi perdagangan. Sudah barang tentu
berkembangnya sebuah masyarakat pedagang di pelabuhan membutuhkan adanya pranata-pranata politik untuk mengaturnya
agar semua kegiatan ekonomi bisa berjalan sebagaimana mestinya. Proses-proses yang demikian itulah yang pada akhirnya
melahirkan unit-unit kekuatan politik di pelabuhan. Para penguasa politik yang awal dari suatu komunitas pada kenyataannya
bukanlah orang-orang yang sudah memeluk agama Hindu ataupun Budha tetapi mereka adalah orang-orang Indonesia yang
kemungkinan masih menganut kepercayaan ash. Hal ini bisa dilihat dari nama-nama pendiri dinasti (wamsakara) yang belum
clan/ atau tidak menggunakan nama India. Pada kerajaan Kutai di Kalimantan Timur mislanya, pendiri dinasti yang memerintah di
Kutai bernama Kudungga. Nama Kudungga jelas bukan nama pengaruh India. Baru pada generasi berikutnya, pengaruh India
tampak dari nama pengganti Kudungga yang bernama Aswawarman dan selanjutnya diganti oleh Mulawarman. Pada kerajaan
Mataram di Jawa Tengah, ibu dan pendiri dinasti Sanjaya yang memerintah juga masih bernama pribumi yaitu Sannaha saudara
perempuan dan raja Sanna.45 Demikian juga pada kerajaan Sriwijaya. Pendiri kerajaan ini
246 Ekspansi Ekonomi Maritim dan Jaringan antar Daerah

sebagaimana disebutkan dalam prasasti Kedukan bukit (682 M) adalah bernama Dapunta Hiyang. 46 Sejalan dengan
pengaruh aktivitas perdagangan yang semakin intensifmaka terjadilah proses di mana para penguasa lokal mendapatkan
pengaruh India baik yang berupa agama Hindu maupun Budha. Jadi tidak tepat jika dikatakan bahwa kerajaan-kerajaan
Hindu atau Budha di Nusantara didirikan oleh para penakluk asing. 47
Munculnya kerajaan-kerajaan yang menujukkan pengaruh India mengindikasikan betapa hubungan-hubungan dagang
sudah diperkuat dengan hubungan-hubungan keagamaan dan kebudayaan. Hal ini bukan berarti bahwa pada tahap berikutnya
hanya orang-orang India saja yang aktif berdagang di Nusantara dan menyebarkan pengaruh kebudayaan dan agama mereka,
tetapi ada bukti yang kuat di mana orang-orang Indonesia juga aktif datang ke India bukan hanya untuk kepentingan belajar
agama tetapi juga untuk kepentingan perdagangan. Hal ini dibuktikan dengan dibangunnya sebuah wihara di Nalanda oleh raja
Dewapaladewa atas permintaan raja Balaputradewa dari Sriwijaya pada akhir abad IX Masehi. 48 Wihara ini tentu diperuntukkan
bagi kepentingan ibadah para pedagang Sriwijaya yang sedang berdagang ke India dan para pelajar Sriwijaya yang sedang
menuntut ilmu agama di sana. Perkembangan ini jelas menunjukkan bahwa aktivitas perdagangan yang dilakukan oleh orang-
orang Sriwijaya bukan hanya perdagangan lokal dan perdagangan antar wilayah di sekitar Selat Malaka sebagaimana pada
awalnya, tetapi juga sudah mulai menjelajahi ke dalam alur perdagangan internasional. Hal ini berarti bahwa kemampuan
berlayar armada Sriwijaya bukan hanya di perairan Nusantara dan sekitar selat malaka saja tetapi juga sudah mampu berlayar
hingga ke India. Pendirian
wihara di India juga menunjukkan bahwa pedagang Sriwijaya yang datang di India sudah begitu banyak sehingga raja perlu
campur-tangan untuk mengurusi kesejahteraan mereka di sama. Jadi bukan hanya pedagang India yang datang di Sriwijaya
tetapi juga pedagang Sriwijaya datang di India. Bahkan ketika pendeta Cina, I-tsing, melakukan perjalanan dari Palembang ke
India menumpang kapal Sriwijaya."
Keterlibatan Sriwijaya dalam perdagangan internasional bukan hanya dilakukan dengan India saja, tetapi juga dengan
Cina. Hubungan
Sejarah Maritim Indonesia I 247

dagang dengan Cina, meskipun berkembang setelah hubungan dagang dengan India, juga memiliki arti yang sangat penting.
Dari satu pihak Cina dengan jumlah penduduk yang besar, dengan tradisi pengobatan tradisional yang brkembang merupakan
pasar yang bagus bagi produk Sriwijaya yang berupa rempah-rempah dan hasil tanaman tropis lainnya. Sudah barang tentu para
pedagang Sriwijaya juga ikut ambil bagian yang penting dalam perdagangan kain katun yang dibawanya dan India. Di pihak lain
hubungan dagang dengan Cina sangat bermakna politis bagi Sriwijaya. Dengan memberikan upeti dan mengirimkan utusan
secara periodik ke Cina, Sriwijaya berharap akan mendapatkan perlindungan dari Cina jika kerajaan ini dalam bahaya. Banyak
berita Cina menuliskan bahwa pada saat-saat Sriwijaya menghadapi keadaan genting karena menghadapi ancaman (dari Jawa)
selalu minta perlindungan Cina, meskipun tidak pernah sekalipun bantuan Cina datang untuk menolong Sriwijaya baikketika
berkonflik menghadapi kerajaan-kerajaan di Jawa maupun serangan besar-besaran dari kerajaan Chola (India) pada perempatan
pertama abad XI. Sementara itu hubungan dagang dengan India lebih banyak bersifat ekonomis dan keagamaan. Tampaknya
tidak ada kekhawatiran bagi Sriwijaya akan kemungkinan diserang oleh kerajaan-kerajaan dari India karena mereka merasa
memiliki kepercayaan yang sama. Namun demikian pada akhirnya terbukti kerajaan Chola yang juga bersifat Budhis juga
melakukan penghancuran terhadap Sriwijaya. Kemungkinan besar perebutan hegemoni perdagangan internasional menjadi inti
persoalannya.
Ambisi Sriwijaya untuk meluaskan sayapnya dalam perdagangan internasional dilakukan dengan menjalin hubungan baik
dengan Cina dan menampakkan dirinya sebagai negara yang mengakui kedaulatan Cina dengan cara mengirimkan utusan dagang
dan upeti kepada kaisar Cina. Hal ini cukup beralasan karena ekspansi Cina dalam politik dan militer sudah mencapai Funan,
meskipun dengan melewati daratan. Namun demikian tampaknya Sriwijaya belum merasa yakin bahwa Cina mampu melakukan
ekspansi militer lewat laut. Pada waktu itu Cina belum memiliki banyak pengalaman di negeri laut selatan. Hal itu dilakukan
Sriwijaya agar Cina tidak perlu merasa khawatir jika Sriwijaya melakukan ekspansi militer ke kawasan Asia Tenggara termasuk
Jambi, Bangka,
248 Ekspansi Ekonomi Maritim dan Jaringan antar Daerah

Sunda, Kedah dan beberapa daerah di Semenanjung Malaya serta Kalimantan yang belum menjadi target ekspansi militer Cina.
Di samping itu hubungan baik dengan Cina juga akan memberikan kesan kepada pihak Chola untuk berhitung beberapa kali jika
akan melakukan serangan terhadap Sriwijaya. Sebagaimana yang sering dilakukan ketika menghadapi Jawa, Sriwijaya bisa
minty kepada kaisar Cina untuk melakukan tindakan kepada pedagang India jika mereka mengancam keselamatan Sriwijaya.
Dalam hubungan ini menarik sekali bahwa pada periode konflik dengan Sriwijaya, tidak banyak terdengar bahwa Jawa
mengirimkan utusan ke Cina. Hal ini berbeda dengan Sriwijaya. Jadi dengan demikian dalam bidang perdagangan internasional,
Sriwijaya tampaknya membuat keseimbangan ban' sebagai kekuatan ekonomi dunia antara India dan Cina. Dalam hubungan ini
Sriwijaya hendak meneguhkan dirinya sebagai kekuatan dunia yang menguasai perairan Asia Tenggara. Setidak-tidaknya hingga
abad X Sriwijaya telah berhasil meneguhkan dirinya sebagai kekuatan dagang dunia yang armadanya malang-melintang antara
Cina dan India.
Jika dalam usahanya untuk mengembangkan dirinya sebagai kekuatan dagang Internasional pada jalur India dan Cina
tampaknya Sriwijaya tidak menghadapi tantangan yang berarti, setidak-tidaknya hingga penghujung abad X, maka ambisi Sriwijaya
untuk menjadi kekuatan
utama di perairan Asia Tenggara harus menghadapi rival utama yang berasal dari kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah dan
kemudian di Jawa
Timur. Pada abad VII tampakya Jawa Barat sebagai penghasil lada
berhasil ditundukkan Sriwijaya. Ada indikasi bahwa ekspansi Sriwijaya telah diarahkan ke Jawa Tengah pada abad IX sehingga
menyebabkan
pemerintah Mataram di Jawa Tengah runtuh dan sisa-sisanya menjauhi
Sriwijaya dengan memindahkan pusat pemerintahannya di Jawa Timur. Dan Jawa Timur inilah kekuatan dinasti Isyana (yang
didirikan oleh Mpu
Sendok) yang merupakan penerus Mataram Jawa Tengah melakukan
pembalasan-pembalasan yang berbahaya terhadap jantung Sriwijaya di Sumatra sebagaimana yang sudah dibahas
sebelumnya. Tampaknya
konflik terus berlanjut yang berujung pada kehancuran raja Dharmawangsa (keturunan Sendok) sebagai akibat dari
serangan Sriwijaya yang berkonspirasi dengan raja Wurawari, salah satu raja
Sejarah Maritim Indonesia I 249

bawahan Dhrmawangsa. Airlangga, menantu Dharmawangsa, yang selamat ketika terjadi penghancuran kraton Dharmawangsa
kembali membangun puing-puing kerajaan dan bahkan berhasil merebut kembali daerah-daerah yang hilang selama terjadi
kekacauan. Seandainya Sriwijaya tidak segera dilumpuhkan oleh kerajaan Chola pada perempat pertama abad XI, mungkin
konflik yang sengit terus berkepanjangan. Masih lemahnya Airlangga dan lumpuhnya Sriwijaya menyebabkan konflik menjadi
reda.
Sementara itu di luar ekspansinya terhadap Jawa Tengah dan Jawa Timur, Sriwijaya telah berhasil memaksakan
kontrolnya atas pusat-pusat perdagangan di Sumatra, Semenanjung Malaya, Sunda, dan Kalimatan Barat. Sudah barang tentu
upaya ekspansi dan integrasi politik yang dilakukan Sriwijaya terhadap kawasan Indonesia Barat memiliki dampak yang penting
di bidang ekonomi khususnya perdagangan. Simpul-simpul perdagangan yang penting di Asia Tenggara yang berada di bawah
kontrol Sriwijaya semakin memiliki hubungan perdagangan yang erat dengan pusat Sriwijaya di Palembang dan hubungan
yang diciptakan di antara daerah-daerah/ pelabuhan-pelabuhan yang dikuasai oleh Sriwijaya. Seperti diketahui bahwa selama
Sriwijaya masih kuat malca hanya kerajaan pusat saja yang berhak mengirim utusan dagang ke Cina. Kebijakan semacam ini
jelas akan memperkuat perdagangan inter-regional di antara pelabuhan-pelabuhan yang dikuasai Sriwijaya sebagai bagian dari
sistem perdagangan internasional yang membentang antara India dan Cina. Sudah barang tentu jaringan hubungan
perdagangan ini akan menjadi fondasi proses selanjutnya ketika kekuatan-kekuatan politik Jawa berusaha melakukan ekspansi
dan integrasi dalam skala yang lebih luas di kawasan Nusantara.

2). Masa Kebangkitan Jawa hingga Jaman Majapahit.


Seperti sudah disinggung sebelumnya bahwa selama pemerintahan di Jawa Timur dipegang oleh Airlangga dan
pemerintahan di Sriwijaya di bawah raja Sanggramawijayottonggawarman terjadilah semacam gentlement agreement di
mana keduanya sating tidak menyerang
sehingga konflik antara Melayu' dan 'clunia Jawa' mereda. Dalam masa tenang ini Airlangga mulai membangun
perekonomian negaranya.
250 Ekspansi Ekonomi Maritim dan Jaringan antar Daerah

Pada waktu itu ekonomi persawahan Jawa Timur yang belum maju sebagaimana Jawa Tengah mulai dibangun dengan
membuat bendungan pada Sungai Brantas di daerah Waringin Sapto. Di samping sektor ekonomi agraris, Airlangga juga
melakukan pembangunan terhadap sektor ekonomi maritim. Pelabuhan Ujung Galuh di muara Sungai Brantas diperbaiki,
sedangkan pelabuhan Kambang Putih (Tuban) diberi hak-hak istimewa sehingga perdagangan menjadi ramai. Banyak kapal-
kapal Sriwijaya yang datang berdagang di pelabuhan ini, demikian juga kapal-kapal India dan Cina.
Periode damai antara kerajaan Airlangga dan Sriwijaya ini semakin mantap ketika terjadi perkawinan antara Airlangga
sendiri dengan putri dari Sanggrama-wijayottunggawarman. Demilcian juga perdamaian karena perkawinan ini juga menyelimuti
hubungan antara Bali dengan kerajaan Jawa Timur.5° Masa damai ini juga ditunjang oleh semacam kesepakatan yang tidak
tertulis, atau bahkan mungkin tidak pernah diucapkan, bahwa Sriwijaya dibiarkan berkuasa di kepulauan Indonesia bagian barat,
sedangkan Airlangga berkuasa di kepulauan Indonesia bagian timur. Di samping itu, keduanya memiliki hubungan yang sangat
luas di bidang pelayaran dan perdagangan.5'
Masa akhir kerajaan Airlangga yang berpusat di Kahuripan tidak banyak diketahui secara pasti, demikian juga keadaan
Sriwijaya. Sebelum mengundurkan diri sebagai raja untuk kemudian menjadi pertapa, Airlangga membagi kerajaan menjadi dua
bagian yaitu Jenggala dan Panjalu (Kediri) untuk menghindari perang saudara. Meskipun demikian perang itu tetap terjadi
dengan kemenangan dan kekalahan yang silih berganti hingga akhirnya pada abad XII Kediri mendominasi panggung politik di
Jawa Timur dan kepulauan Indonesia bagian Timur. Menurut berita Cina, Kediri merupakan kerajaan yang sangat terorganisir
dengan baik. Suatu hal yang menarik perhatian adalah bahwa pada masa pemerintahan raja Sri Gandra (1181-1182) dikenal
jabatan senapati sarwajala' yang dapat disamakan dengan laksamana laut pada waktu sekarang ini. Adanya jabatan ini dalam
struktur pemerintahan kerajaan Kediri mengisyaratkan bahwa kerajaan ini memiliki suatu angkatan laut yang terorganisir
dengan baik.52 Selain itu jaringan perdagangan juga dikembangkan terutama ke Indonesia bagian timur. Daerah ini menjadi
Sejarah Maritim Indonesia I

penting secara ekonomi dan politik karena merupakan penghasil komoditi yang sangat penting yaitu rempah-rempah.
Banyak pedagang Nusantara dan termasuk pedagang Arab serta Gujarat berdagang di kawasan ini. Ternate merupakan
salah satu daerah bawahan Kediri."
Kerajaan Kediri runtuh pada tahun 1222 dan muncullah negara baru di Jawa Timur yaitu kerajaan Singhasari yang
didirikan oleh Ken Arok. Di bidang kebudayaan dan kepercayaan telah muncul perkembangan yang men arik yaitu arsitektur
yang tnenampakkan unsur Jawa yang dominan dan sinkretisme agama Syiwa dan Budha. Pada masa raja Singhasari terakhir
(raja Kertanagara yang mernerintah tahun 1268-1292) sinkretisme agama Syiwa-Budha mencapai titik perkembangan yang lebih
sempurna. Kertanagara melakukan pemujaan terhadap Syiwa dan Budha dengan inti penyembahan nenenok moyang a la Jawa
yang agung. Dengan melakukan pemujaan ini ia yakin bahwa kemakmuran akan bisa dicapai oleh rakyatnya. Dengan semangat
spiritual yang demikian ini ia ingin menjadikan Singhasari sebagai kekuatan barn untuk menjadikan seluruh Nusantara di bawah
lindungan Singhasari.
Berg berpendapat bahwa sesungguhnya ketakutan terhadap ekspansi Mongol yang merupakan cumber utama politik
ekspansi Kertanagara.54 Oleh Kertanagara, ancaman Mongol hendak dihadapi dengan membentuk persekutuan suci
kerajaan-kerajaan di Nusantara dengan melalui media penyembahan Siwa-Budha dan pengagungan nenek moyang. Pada
tahun 1275, di bawah selubung upacara pengabdian Budha Bhairawa, ia melaksanakan rencana ekspansinya untuk
menyatukan Nusantara dalam rangka menghadapi Mongol. Rencana Kertanagara adalah membentuk persekutuan
Nusantara dan mengerahkan kekuatannya untuk melawan Mongol dengan cara kekuatan magisnya sebagai Budha
Bhairawa. Untuk itu ia menjalin persahabatan dengan Champa yang terbukti telah terancam Mongol. Hadiah patung
Amoghapasa kepada Sumatra pada tahun 1286 menunjukkan ekspor kesaktiannya sendiri kepada daerah yang juga diancam
oleh ekspansi imperialisme Mongol." Jadi Kertanagara membina persekutuan suci Nusantara dalam menghadapi ancaman
Mongol dengan cara membina hubungan spiritual dengan masing-masing kerajaan di Indonesia.
252 Ekspansi Ekonomi Maritim dan Jaringan antar Daerah

Suatu hal yang menarik adalah bahwa jika politik untuk membuat persekutuan suci Nusantara itu dilakukan dengan
cara persahabatan dan damai lewat media magico-religious, maka di wilayah de facto kekuasaannya sendiri ia bertindak
sangat tegas terhadap setiap pengkianatan dan upaya-upaya untuk menjegal kebijaksanaan politiknya. Menurut penuturan
kitab Nagarakertagama, pada tahun 1280 ia telah memadamkan pemberontakan yang dipimpin oleh Mahisa Rangkah.
Langkah berikutnya adalah memastikan bahwa Madura berada di bawah komandonya dengan menempatkan orang yang
setia menyokong politiknya yaitu Arya Wiraraja. 56
Berg juga berpendapat bahwa tidak ada bukti Kertanagara melakukan penaklukan militer. Selain menjalin hubungan
persahatan dengan Melayu, ia juga menjalin persekutuan dengan Bali, Kalimantan Barat, Semenanjung Melayu (Pahang).
Apapun usaha Kertanagara untuk membentengi serangan Mongol dengan membuat persekutuan suci Nusantara tidak
berhasil dengan mendaratnya pasukan Mongol di Tuban pada tahun 1293, meskipun sebetulnya kehancuran Kertanagara
berasal dari pengkianatan dari dalam yang dilakukan oleh Jayakatwang (sisa-sisa keturunan rejim Kediri). Tindakan
Jayakatwang ini menyebabkan usaha Singhasari untuk menyatukan Nusantara di bawah pimpinannya gagal. Dalam hubungan
itu, adalah merupakan suatu yang menarik bahwa Hall mengusulkan Kertanagara sebagai seorang pahlawan nasional. 57
Dalam konteks penyatuan Nusantara ini jelas terlihat bahwa ia mungkin lebih bijaksana daripada Gajah Mada yang
menggunakan cara-cara militer dan kekerasan.
Politik Pan-Nusantara yang dijalankan oleh Kertanagara ini
dilanjutkan oleh Majapahit terutama pada masa pemerintahan raja Hayam Wuruk dengan patihnya yang bernama Gajah Mada."
Perbedaannya adalah jika pada masa Kertanagara, Pan-Nusantara dicapai dengan jalan diplomasi yang persuasifuntuk
menyadarkan adanya bahaya luar, dengan cara membina hubungan spiritual, dan lewat perkawinan politis dan magis dalam
rangka untuk menciptakan front anti ekspansi Mongol di Asia Tenggara, maka Pan-Nusantara jaman Majapahit dilakukan dengan
cara-cara militer dan penaklukan. Di dalam kitab Pararaton dan Negarakertagama disebutkan daerah-daerah yang bergantung
kepada
Sejarah Maritim Indonesia I 253

Majapahit yaitu Palembang, Jambi, Kampar, Siak, Rokan, Lamuri, Barus, Haru di Sumatra; Pahang, Kelang, Sai dan Trenggano di
Semenanjung Malaya; Sampit, Kapuas, Barito, Kutai and Sedu di pulau Kalimantan; Butung, Luwuk, Banggai, Tabalong di Sulawesi;
Wandan di Maluku; Seran di Irian; Sumba dan Timor di Nusatenggara. 59 Di samping itu juga diinformasikan mengenai negara-
negara sahabat Majapahit seperti Siam, Burma, Champa, Vietnam, Cina, Benggala. Negara-negara sahabat ini memiliki hubungan
ekonomi dengan Majapahit.6° Meskipun daftar kerajaan yang berada di bawah kekuasaan Majapahit itu banyak yang meragukan,
namun demikian tidak ada alasan untuk meragukan bahwa tempat-tempat yang disebutkan dalam daftar itu telah dihubungkan
dengan jaringan maritim lewat aktivitas perdagangan."1 Peta pengaruh kekuasaan Majapahit dapat dilihat pada Peta 5.3.

Peta 5.3. Kekuasaan Majapahit di lautan pada abad XIV


(Diolah dari berbagai sumber)

Penggalian arkeologis di Kelantan (Malaysia) telah membuktikan bagaimana pengaruh magis dari kekuasaan Majapahit
sangat besar di kawasan ini. Di kawasan ini banyak ditemukan `pitis Jawa' atau `jimat
254 Ekspansi Ekonomi Maritim dan Jaringan antar Daerah

Jawa' (Javanese amulets) yang diduga kuat pada jamannya diyakini memiliki kekuatan gaib dan bisa menyembuhkan
berbagai penyakit.62
Perlu diingat bahwa Tome Pires yang berkunjung di pelabuhan-pelabuhan di Jawa pada awal abad XVI mendengarkan
dengan telinganya sendiri bahwa kebesaran Majapahit sudah beredar di kalangan banyak orang pada waktu itu. Ia
mengatakan bahwa:
They say that the island of Java used to rule as far as the moluccas on the eastern side and (over) a graet part of the
west; and that it had almost all this for a long time past until about a hundred years ago, when its power began to
diminish until it came to its present state. 63
Kemunduran Majapahit sebagai akibat dari perebutan kekuasaan di antara para keluarga kraton mengakibatkan
ketidakmampuannya untuk mengontrol daerah-daerah yang dikuasai." sejalan dengan berkembangnya agama Islam di
pelabuhan-pelabuhan yang dikuasai Majapahit. Kehancuran internal mendorong pelabuhan-pelabuhan itu memisahkan diri
dari Majapahit dan mendapatkan vitalitas barn dari semangat agama Islam. Meskipun entitas politik nasional di Nusantara
hancur sejalan dengan hancurnya Majapahit pada akhir abad XV namun jaringan-jaringan dagang semakin berkembang justru
karena proses sentrifugal kekuatan politik ini. Dalam hubungan ini proses sentrifugal dalam entitas politik justru diikuti oleh
proses integrasi ekonomi.

b. Perdagangan Antar-daerah dan Fondasi Menuju Integrasi


Hams disangkal bahwa keterlibatan penduduk Nusantara dalam perdagangan intra Nusantara, intra Asia serta
internasional hanya semata-mata karena kawasan Nusantara menyediakan produk-produk hasil tanaman yang laku di pasaran
internasional. Memang benar bahwa permintaan pasar Asia dan dunia terhadap hasl-hasil tanaman tropis di Nusantara sangat
besar dan hal ini rupanya yang menjadi daya tarik utama para pedagang asing untuk membeli produk dari Nusantara. Namun
demikian hal itu bukanlah satu-satunya komoditi yang diperdagangkan dalam aktivitas perdagangan yang melibatkan penduduk
Nusantara. Berbagai jenis alat logam untuk peralatan rumah tangga, pertanian, persenjataan, pertukangan dan sebagainya
merupakan komoditi yang
Sejarah Maritim Indonesia I 255

diproduksi dan diperdagangkan di Nusantara. Demikian juga berbagai jenis kain tradisional dan perhiasan emas dan perak diproduksi dan
diperdagangkan di kawasan Nusantara.55

Tekstil adalah salah satu jenis industri manufaktur yang sangat menarik untuk dibicarakan dalam rangka untuk melihat seberapa jauh
peranannya dalam perekonomian di Nusantara pada masa pra-kolonial. Di samping sebagai kebutuhan pokok, tekstil sebagai bahan untuk
membuat pakaian juga merupakan indikator kemakmuran dan sekaligus juga sebagai simbul status dan prestise. Oleh karena itu tekstil dan
berbagai jenis pakaian merupakan salah satu komoditi perdagangan yang tertua di kawasan Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-
bangsa Barat. Bagi penduduk kepulauan Indonesia pra-kolonial, meskipun kadang-kadang mereka sangat hemat dalam menggunakan
uangnya untuk keperluan membangun rumah, mebeler, dan makanan, namun mereka senang untuk menunjukkan kekayaan dan statusnya
dalam bentuk pakaian dan perhiasan yang mewah yang mereka kenakan terutama dalam waktu-waktu penting tertentu. Oleh karena itu
dalam aktivitas perdagangan Indonesia kuno, berbagai jenis kain dan perhiasan merupakan alat tukar utama dalam perdagangan baik antara
pedagang dan produsen maupun antara pedagang yang satu dan pedagang yang lainnya. Sementara itu pars pedagang asing pada masa pra-
kolonial seperti pedagang dari India dan Cina menemukan bahwa kain dari India dan sutera dari Cina merupakan komoditi impor yang paling
laku yang ditukarkan dengan produk-produk dari Nusantara. Semakin bagus dan menarik pakaian itu, semakin tinggi nilainya sebagai simbul
status.66

Sudah barang tentu tekstil ini tidak hanya berasal dari India dan Cina raja, tetapi banyak daerah di Nusantara yang memproduksinya.
Ulat sutera sebagai penghasil benang sutera telah dibudidayakan di Aceh dan di Sulawesi selatan jauh sebelum datangnya bangsa-bangsa
Barat. Bahkan sutera dari Aceh bukan hanya dikonsumsi oleh penduduk

kepulauan Indonesia sendiri tetapi juga diekspor ke India dalam jumlah yang besar. Sementara itu kapas sebagai salah satu bahan untk
membuat tekstil ditanam di sawah-sawah di Jawa setelah musim panen padi. Di tempat lain di kepulauan Indonesia, tanaman ini cenderung
merupakan tanaman dataran yang agak tinggi yang kurang cocok untuk tanaman
256 Ekspansi Ekonomi Maritim dan Jaringan antar Daerah

padi seperti di daerah Sulawesi Selatan, Selayar, Buton, Bali dan Nusa Tenggara.'
Suatu hal yang umum terjadi di Nusantara bahwa pekerjaan memintal benang dan nenenun kain merupakan pekerjaan
wanita pada tingkat industri rumah tangga. Mungkin spesialisasi pekerjaan mulai dari sejak penanganan bahan mentah yang
berupa kepompong ulat sutera dan kapas hingga pada penyelesaian tahap akhir dari kain sutera dan kain katun itu sendiri sudah
ada. Namun demikian spesialisasi kerj a yang berdasarkan seks tentu menghadapi kendala baik dari segi perkembangan teknologi
maupun dari segi efisiensi. Hal ini berbeda dengan yang terjadi di India dan Cina yang sudah memiliki teknik yang lebih maju. Di
Nusantara, industri manufaktur ini sudah berkembang baik di daerah-daerah yang kurang subur, seperti Nusa Tenggara, daerah-
daerah yang padat penduduknya seperti Jawa dan Bali, dan daerah-daerah yang secara intensif terlibat dalam perdagangan
seperti Aceh dan Sulawesi Selatan."
Jawa dan Bali menghasilkan tenun lurik yang merupakan komoditas yang yang diperdagangkan.Sementara itu
Sumbawa dan Buto mengekspor kain katun untuk membeli impor bahan pangan dan kebutuhan lainnya. Sementara itu
pembuatan kain sutera dikerjakan di lebih banyak daerah daripada pembudidayaannya untuk memelihara ulat sutera dan
pembuatan benangnya. Orang Bugis dan Aceh adalah penyuplai terbesar kain sutra yang indah dan mewah untuk sarong
dan selendang. Dengan adanya persaingan perdagangan sutera dengan sutera impor dari Cina, maka produsen sutera di
Sumatra dan Sulawesi cenderung memproduksi sutera yang mahal dengan cara memberi lapisan emas dan perak pada
benang-benang yang dijadikan bahan untuk membuat kain sutera. 69
Di samping sutera dan tekstil yang cenderung dihasilkan oleh kaum wanita, berbagai daerah di Nusantara juga
menghasilkan kerajinan yang merupakan pekerjaan laki-laki yaitu membuat kapal/prahu, kerajinan emas dan perak, pandai besi
untuk membuat senjata, alat-alat pertanian seperti cangkul, sabit, mata bajak dan sebagainya serta perkakas rumah tangga.
Perahu-perahu kecil yang digunakan oleh nelayan untuk menangkap ikan dibuat di berbagai tempat di kawasan Nusantara,
namun perahu-perahu yang besar hares dibuat di galangan yang dekat dengan
Sejarah Maritim Indonesia I 257

bahan untuk membuat perahu yang paling penting yaitu kayu seperti di daerah pantai utara Jawa dekat Rembang (yaitu di
Lasem), Banjarmasin (Kalimantan), serta Bira dan Selayar (Sulawesi Selatan). 7°
Bukti-bukti tertua mengenai penggunaan kapal di Nusantara ditemukan di situs bekas kerajaan Sriwijaya di daerah
Palembang, namun sangat tidak lengkap. Indikasi bahwa nenek moyang bangsa Indonesia sudah menggunakan kapal sebagai
sarana transportasi baik untuk kepentingan militer maupun untuk kepentingan ekonomi ditemukan pada relief Candi
Borobudur yang dibangun pada abad IX Masehi. Kapal yang dipahatkan di Borobudur mempunyai kesamaan dengan kapal jenis
kora-kora sebagaimana yang digambarkan oleh orang-orang Eropa pada saat pertama kali datang di Nusantara. Lambung kapal
Borobudur memiliki sepasang penggandung (outrigger) yang terapung yang berfungsi sebagai penyeimbang dan tempat para
pendayung. Kapal Borobudur memiliki dua tiang layar berkaki tiga untuk mengibarkan layar empat persegi panjang dan
memiliki haluan di mana digantungkan layar persegi yang pada kapal-kapal yunani kuno disebut sebagai artemon dan seperti
Jung Jawa pada abad XVII.
Tidak ada keterangan lebih lanjut apakah kapal Borobudur digunakan untuk tujuan dagang ataukah untuk kepentingan
operasi militer dan sampai di mana kapal ini menyusuri lautan-lautan di Asia. Namun demikian berdasarkan laporan-laporan
perjalanan bangsa-bangsa Eropa yang datang pada abad XVI diceritakan bahwa kapal-kapal dagang dengan menggunakan
penggandung dengan lambung kapal yang terbuat dari papan-papan kayu memang umum dibuat di Nusantara dan di Filipina
dan sebagian jenis ini kemungkinan merupakan perkembangan lebih lanjut dari Kapal Borobudur.7'
Menurut Horridge kapal yang dipahat di Candi Borobudur lebih menyerupai kapal jenis kora-kora yang merupakan jenis
kapal perang yang diawaki oleh para prajurit angkatan laut untuk melakukan pertempuran laut melawan bajak laut atau
armada musuh dan untuk melakukan ekspedisi untuk penaklukan daerah pantai. Jenis kora-kora ini juga yang sering
digunakan oleh para perompak dari Sulu dan Sulawesi. Penayangan kapal perang di Candi Borobudur mungkin merupakan
kebanggaaan tersendiri bagi penguasa kerajaan Mataram itu
258 Ekspansi Ekonomi Maritim dan Jaringan antar Daerah

sendiri yang sebetulnya merupakan negara agraris. Sudah barang tentu pada waktu itu juga sudah berkembang kapal-kapal
dagang yang lebih
baik yang digunakan untuk perdagangan di kawasan Nusantara maupun intra-Asia. Apalagi dalam masa kerajaan Sriwijaya
diberitakan bahwa seorang pendeta Cina yang bernama I-tsing melakukan perjalanan dari Sriwijaya ke India dengan
menumpang kapal dagang Sriwijaya.72 Pahatan-pahatan candi di Kamboja yang seusia dengan Borobudur lebih
menggambarkan adanya perahu-perahu dagang tanpa penggandung daripada pahatan di Borobudur yang merupakan kapal-
kapal perang."
Selain kapal tipe kora-kora sebagaimana yang didapati di Borobudur, laporan-laporan bangsa-bangsa Barat yang datang
di Nusantara abad XVI seperti Belanda dan Portugis juga melaporkan jenis kapal yang kebanyakan beroperasi di Laut Jawa yang
mereka rebut sebagai jonques atau jung. 'Jung Jawa' ini memiliki sepasang kemudi di bagian buritan, sebuah rumah di atas
geladak, dan sebuah layar persegi miring pada masing-masing tiang berkaki tiga. Jung Jawa ini memiliki kapasitas sekitar 200-
300 ton. Menarik sekali bahwa prototipe layar persegi miring yang dipasang pada tiang berkaki tiga ini juga menjadi ciri dari
perahu mayang dan jukung, serta perahu lain di Jawa.74
Jung Jawa merupakan perahu dagang yang besar yang mampu menyeberangi Laut Jawa, Laut Cina Selatan hingga
teluk Benggala. Kapal jenis inilah yang membuat orang-orang Portugis terheran-heran mengenai kemajuan perkapalan di
Nusantara pada awal abad XVI. Sejalan dengan kemajuan dunia perkapalan Barat yang digunakan untuk melakukan
monopoli perdagangan di Nusantara jung-jung Jawa ini segera mengalami kemunduran. Kemunduran ini terutama
disebabkan oleh kompetisi dengan kapal-kapal Barat yang memiliki konstruksi, perlengkapan, dan persenjataan yang lebih
baik yang mampu menghancurkan kapal-kapal tradisional di Nusantara.
Kapal jenis kora-kora mungkin merupakan jenis kapal yang merupakan hasil perkembangan teknologi dari bangsa-
bangsa Australo-Malay. Jenis kora-kora ini berkembang di kawasan Filipina, Maluku, dan Indonesia bagian timur Iainnya. Pada
abad XVI para penguasa di kawasan ini memiliki kapal perang yang digerakkan oleh sekitar 100-300 pendayung di mana para
prajurit yang bersenjatakan panah, sumpit,
Sejarah Maritim Indonesia I 259

tombak, dan pedang siap untuk berperang. Status dan gengsi seorang penguasa banyak ditentukan oleh kapal yang dimiliki dan
kemampuanya menyelenggarakan ekspedisi ke kawasan di sekitamya untuk menangkap orang untuk dijadikan budak. Mereka
adalah para penguasa laut. Hampir semua perdagangan dan pengangkutan dilakukan lewat laut sehingga kedudukan mereka
sangat penting. Dengan kora-kora ini pula VOC melakukan ekspedisi hongitochten (pelayaran dera) untuk mengontrol tanaman
cengkeh di Maluku.
Sementara itu kerajinan logam biasanya berkaitan erat dengan kekuasaan. Pada masa pra-kolonial, barang-barang
logam merupakan barang yang menjadi incaran para penguasa. Hal ini berkaitan dengan kenyataan bahwa pada masa itu,
logam merupakan bahan yang paling baik untuk membuat persenjataan. Oleh karena itu ada kecenderungan bahwa para
penguasa berusaha untuk mengontrol penggunaan bahan logam karena ketakutannya akan kemungkinan munculnya rival
yang menguasai teknologi dan sumber logam yang akan menjadi ancaman bagi penguasa yang mapan. Dalam hubungan ini
para pandai besi memiliki posisi yang sangat penting untuk produksi persenjataan (seperti keris, pedang, tombak, dan
sebagainya) yang merupakan sumber yang vital bagi kekuasaan dan oleh karena itu pula pandai besi selalu mendapatkan
pengawasan ketat dari penguasa. Bisanya tempat tinggal mereka ini ditempatkan di kawasan yang dekat dengan tempat
tinggal raja. Hal itu dijumpai baik di Jawa, Aceh, Banjarmasin maupun di Makassar. Di dalam kitab Pararatonmisalnya,
diceritakan bagaimana pentingnya Mpu Gandring, sang pandai besi pembuat senjata, yang karena berhubungan erat dengan
penguasa akhirnya menjadi korban dari kekuasaan itu sendiri.75
Jika di dalam masyarakat Jawa dan di lain tempat biasanya status
pandai besi tidak begitu tinggi di dalam masyarakat, maka di dalam masyarakat Makassar posisi dan status pandai besi sangat
dihargai. Di dalam salah satu kronik Gowa diceritakan bahwa raja Tunipalangga (1548-66) bukan hanya seorang penguasa saja,
tetapi juga selama dalam pemerintahannyalah untuk pertama kali dibuat mesiu dan meriam. Di samping itu is juga mengangkat
pejabat Tumakkajannangang untuk mengurusi masing-masing bidang pertukangan yaitu pandai besi, tukang
260 Ekspansi Ekonomi Maritim dan Jaringan antar Daerah

emas, konstruktor rumah, dan sebagainya. Pejabat ini tampaknya mengkoordinasikan perbagai sektor pertukangan untuk meyakinkan
bahwa kekuasaan raja didukung oleh suplai persenjataan, kapal, dan kebutuhan lain yang diperlukan. Sebagai kompensasinya, mereka
dibebaskan dari berbagai macam pajak negara. 76 Adapun jaringan perdagangan di Nusantara menjelang datangnya bangsa-bangsa Barat
dapat dilihat pada Peta 5.4.

Peta 5.4. Jalur perdagangan utama dan komoditi ekspor Nusantara


sekitar tahun 1500

(Diolah dari berbagai sumber)

Dalam periode ini jaring-jaring perdagangan berkembang bagaikan jaring-jaring laba-laba sehinga Reid menyebut periode ini
sebagai the age of commerce. Periode ini menjadi fondasi bagi integrasi ekonomi antara kota pelabuhan di Nusantara seperti Demak,
Cirebon, Tuban, Gresik, Palembang, Makassar, Banjarmasin, Ternate, Tidore, dan sebagainya meskipun secara politik justru terjadi
disintegrasi.
Sejarab Maritim Indonesia I 261

Catatan :
' M.E. Smith, 'Introduction', in: M.E. Smith, Those Who Live from the Sea: A Study in Maritime Anthropology (St. Paul-New York-Boston etc.: West
Publishing, 1977), hlm. 1-22. Mengenai perkembangan masyarakat maritim Indonesia lihat misalnya A.B. Lapian, "Laut, Pasar, dan Komunikasi Antar-
Budaya". Makalah disampaikan pada Kongres Sejarah Nasional di Jakarta, 1996, hlm. 1. A.B. Lapian, "Sejarah Nusantara Sejarah Bahari". Pidato
Pengukuhan Guru Besar Fakuitas Sastra Universitas Indonesia Jakarta, 1991. Hingga saat ini studi anthropologis terhadap masyarakat maritim masih
belum berkembang, lihat Durk Hak, 'Dr. A.H.J. Prins as A Maritime Anthropologist: A Preleminary Appraisal and an Introduction' dalam Durk Hak, Y.
Kroes & H.Schneymann (ed.), Watching the Seaside: Essay on Maritime Anthropology A.H.J. Prins (Festschrift on the occasion of his retirement from
the Chair of Anthropology, University of Gronongen), hlm. 1-27.
2
Lihat misalnya A.G. Frank, Reorient: Global Economy in the Asian

Age (Berkeley-Los Angeles-London: University of California Press, 1998), hlm. 92-101.

N. Tarling, The Cambridge history of Southeast Asia Vol. I, From earaly times to c. 1800 (Cambridge: Cambridge University Press, 1992), hlm. 185.
4
Lihat M.D. Poeponegoro & N. Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia I (Jakarta: Balai Pustaka, 1984) Lihat juga A. Reid, Southeast Asia in the Age
of Commerce 1450-1680 [Volume One: The Land below the Wind] (New Haven-London: Yale University Press, 1988), hlm. 3-10.

Lihat misalnya R. Soekmono, Pengantar Sejarah kebidayaan Indonesia I [Cetakan ke-4] (Yogyakarta: Kanisius, 1987). Lihat juga R. Cribb, Historical
Atlal of Indonesia (Richmond, Surrey: Curzon, 2000). Bahkan ada yang berlebihan dengan mengatakan bahwa para pelaut Indonesia telah
menemukan benua Amerika sebelum Columbus, lihat misalnya J. Sou'yb, Pelaut Indonesia menemukan Benua Amerika (Medan: Rimbow, 1987).
6
I.C. Glover, Early Trade between India and Southeast Asia: A Link in The Development of a World Trading System. 2'd rev. ed. (London: University of
Hull Center for Southeast Asia Studies, 1990).

Lihat misalnya D.H. Burger, Sociologisch-economische Geschiedenis van Indonesia I (Wageningen: Landbouwhogeschool Wageningen, 1975). Lihat
juga A. Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680 [Volume Two: Expansion and Crisis] (New Have-London: Yale University Press,
1988), hlm. 1-61.
262 Ekspansi Ekonomi Maritim dan Jaringan antar Daerah

Lihat K.N. Chauduri, Trade and Civilization in the Indian Ocean from the Rise of Islam to 1750 (Cambridge: Cambirge University Press, 1985), hlm. 172.
Lihat juga D. Mac intyre, Sea Power in the Pacific: A History from the Sixteenth Century to the Present Day (London: Barker, 1972), hlm. 9.

9
Burger, Sociologisch-economisch I, hlm. 1-40.

I° Reid, Southeast Asia, hlm. 1-66.

" Chauduri, Trade and Civilization, hlm.1-50.

Lihat W.F. Wertheim, Indonesian Society in Transition: A Study of Social Change (The Hague: Van Hoeve, 1969), hlm. 1-8. Sartono Kartodirdjo, Marwati
Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia II (Jakarta: Balai Pusataka, 1977). hlm. 2.

J.C. van Leur, Indonesian Trade and Society (The Hague: Van Hoeve, 1955), 89-90. Lihat juga O.W. Walter, Early Indonesian Commerce: A Study
of the Origin of Srivijaya (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1967), hlm. 31.
14
Reid, Southeast Asia, II,h1m. 1.
15
Reid, Southeast Asia, II, him. 1-61. Mengenai penulisan sumber-sumber tradisional kerajaan Malaka lihat misalnya T. Iskandar, 'Three Malay His torical
Writing in the First Half of the 17th Century' dalam JMBRAS 2 (40) (1967), hlm. 38- 53. Lihat juga R.J. Wilkinson, 'The Malacca Sultanate', JMBRAS 61 (1912),
hlm. 5- 71.
16
Lihat misalnya Curtin, Cross-Cultural Trade, hlm. 109-127. Lihat juga Soeroto, Sriwijaya Menguasai Lautan (Bandung, Jakarta: Sanggabuwana, 1976), hlm.
11.
17
G. Coedes, The Indianised States of Southeast Asia (Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1968), hlm. 20.
18
Lihat Coedes, The Indianised States, 20. Lihat juga D.G.E. Hall, Sejarah Asia Tenggara (Surabaya: Usaha Nasional, 1988), hlm. 16.
19
A. Das Gupta, 'The Maritime Trade of Indonesia, 1500-1800', in: A.Das Gupta & M.N. Pearson (eds), India and the Indian Ocean, 1500-1800 (Calcuta: Oxford
University Press, 1987), hlm. 243.
20
J.H. Bentley, Old World Encounters: Cross-Cultural Contacts and Exchanges in Pre-Modern Times (New York, Oxford: Oxford University Press, 1993), hlm.
84-85.

21
O.W. Wolter, Early Indonesia Commerce: A Study of the Origin of Srivijaya (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1967), hlm. 43.
Sejarah Maritim Indonesia 263

22
W.P. Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia & Malaya Compiled from Chinese Sources (Jakart: Bhratara, 1960), hlm. 1-2.

23 Kisah perjalanan Fa Hsien dibukukan dengan judul Fo-kuo-chi (Catatan negeri-negeri Budha). Pendeta Cina Fa Hsien bertolak dari Sri Langka pada
tahun 413. Ia menempuh seluruh perjalanan pulang dengan melalui laut. Dalam perjalanannya, kapal yang ditumpanginya terserang badai sehingga
terpaksa berlabuh di negeri Yeh-po-ti (oleh para peneliti, tempat ini dikonotasikan dengan Yavadwipa meskipun tidak harus berarti pulau Jawa.
Namun demikian sebelum ditemukan sumber-sumber yang lebih kuat, kami menduka bahwa Yeh-po-ti adalah Jawa). Sesudah tinggal selama lima
bulan, ia meneruskan perjalanan ke Cina dengan menumpang kapal lain. Dalam pelayaran dari Yeh-po-ti ke Cina ini Fa-Hsien mendengar percakapan
di antara para penumpang bahwa pelayarannya telah melampaui batas waktu berlayar yang lazim untuk mencapai Kanton. Fa Hsien juga
menceritakan bahwa para penumpang sudah merasa khawatir bahwa kapal mereka kehilangan arah. Dad kesaksian Fa Hsien tersebut cukup jelas
bahwa suatu pelayaran langsung (tanpa singgah di pelabuhan tertentu) dari Yeh-po-ti ke Kanton pada masa itu sudah lazim karena orang sudah tahu
berapa lama perjalanan yang hams ditempuh. Sementara itu pendeta Gunavarman menceritakan perjalanannya dari She-po atau pulau Jawa. Pada
mulanya nahkoda merencanakan untuk singgah di sebuah kerajaan kecil, namun karena nagin sedang baik maka diputuskan untuk berlayar langsung
Cina. Ada juga cerita bahwa pada tahun 449 kaisar Wen Ti (424-453) mengirim utusan ke She-po. Selain itu diceritakan pula bahwa ia sebetulnya
juga merniat untuk menjemput Gunavarman di She-po. Lihat S. Kartodirdjo, M.D. Poesponegoro, N. Notosusanto, Sejarah Nasional II, him. 14-15.
Lihat juga N.K.S. Irfan, Kerajaan Sriwijaya (Jakarta: Girimukti Pusaka, 9183), hlm. 35.
24
Wolters, Early Indonesian, hlm. 164.

" Utusan terakhir kerajaan To-lo-mo ke Cina tahun 669. Sesudah itu nama To-lo-mo tidak terdengar lagi. Mungkin sekali kerajaan ini ditaklulckan oleh
Sriwijaya. Dalam prasati Kota kapur disebutkan bahwa pada tahun 686 tentara Sriwijaya berangkat menyerang Bhutni Jawa yang tidak tunduk
kepada kerajaan Sriwijaya. Mengenai hal ini lihat Irfan, Kerajaan Sriwijaya, 39-41. Lihat juga C.O. Blagden, 'The Kota Kapur (Western Bangka) In-
scription' dalam JMBRAS 64 (1913), hlm. 69-71.
26
Kartodirdjo, Poesponegoro, Notosusanto, Sejarah Nasional II, hlm. 19.

" Pierre-Yves Manguin, 'Palembang and Sriwijaya: An Early Malay Harbour-City Rediscovered' dalam JMBRAS I (66) (1993), hlm. 33.
28
Wolters, Early Indonesian, hlm. 152.
264 Ekspansi Ekonomi Mariam dan Jaringan antar Daerah

29
Kartodirdjo, Poesponegoro, Notosusanto, Sejarah Nasional II, 59. Lihat juga R. Braddell, 'An Introduction to the Study of Ancient Times in the
Malay Peninsula and the Straits of Malacca', dalam JMBRAS 14 (1936), him. 1-71.

" J.W. Christie, 'Asia Sea Trade between the Tenth and Thirteenth Centuries and Itas Impact on the States of Java and Bali', in: H.P. Ray (ed.), Arche-
ology of Seafaring: The India Acean in the Ancient Period (Delhi: Pragati, 1999), hlm. 221-222.

Secara garis besar ada bebera pendapat mengenai Dinasta Syailendra ini. J.L. Moens dan para sarjana India berpendapat bahwa Syailendra berasal dari
India. Coedes berpendapat bahwa Syailendra berasal dari Funan. Sementara itu Buchori berpendapat bahwa Syailendra merupakan orang Indonesia
asli. Di pihak lain Irfan berpendapat bahwa Syailendra berasal dari Sriwijaya yang kemudian menaklukan dinasti Sanjaya, penguasa Mataram, dan
selanjutnya memerintah Jawa Tengah namun dengan administrasi yang terpisah dengan Sriwijaya. Lihat Kartodirdjo, Poesponegoro, Notosusanto,
Sejarah Nasional 11,75-77 . Lihat J.L. Moens, Buddhisme di Jawa dan Sumatra dalam Masa Kejayaan Terakhir (Jakarta: Bhratara, 1974. Lihat juga Irfan,
Kerajaan Sriwijaya, him. 70-71.

32 Dalam persoalan ini masih ada perdebatan apakah Sriwijaya yang menaklukkan Jawa Tengah ataukah dinasti Syailendra di Sriwijaya merupakan
bagian dari dinasti yang memerintah di Jawa Tengah. Lihat O.W. Wolters, 'Studying Srivijaya' dalam JMBRAS 2 (52) (1979), hlm. 6. Lihat juga H.G.
Quaritch Wales, 'The Extent of Srivijaya's Influence Abroad', JMBRAS 1 (51) (1978), him. 5.

" Hall, Sejarah Asia Tenggara, him.64-65.

" Hall, Sejarah Asia Tenggara, hlm. 66.

" Kartodirdjo, Poesponegoro, Notosusanto, Sejarah Nasionalll, him. 96.


36
Hall, Sejarah Asia Tenggara, him. 56.

" Kartodirdjo, Poesponegoro, Notosusanto, Sejarah Nasional II, him. 58.


38
Setelah periode itu kerajaan Sriwijaya mengalami kemuduran yang semakin parah. Utusan Sriwijaya yang terakhir yang tercatat ke Cina datang pada
tahun 1178. Setelah itu tidak ada lagi utusan Sriwijaya. Ini membuktikan bahwa pada abad XII kerajaan Sriwijaya sudah demikain lemah. Kerajaan-
kerajaan bekas bawahan Sriwijaya mulai mengirimkan utusan sendiri dan atas kehendak sendiri.
39
Hall, Sejarah Asia Tenggara, him. 58.
Sejarah Markin-) Indonesia I 265


Hall, Sejarah Asia Tenggara, hlm. 60.
41
Mengenai hasil-hasil sastra jaman Kediri lihat Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia II (Jakarta: Kanisius, 1992).

Hall, Sejarah Asia Tenggara, hlm. 69.


43
persaingan dunia Melayu dengan Jawa lihat misalnya C.D. Cowan, `Continuity and Change in the International History of Maritime South East
Tentang
Asia'.
44
Frank, Reorient: Global Economy, hlm. 97-99.

" Kartodirdjo, Poesponegoro, Notosusanto, Sejarah Nasional II, hlm. 3179.


46
H.A. Ambary, `Peranan Beberapa Bandar Utama di Sumatra Abad 7-16 M dalam Jalur Jalan Sutra melalui Lautan'. Makalandisampaikan pada Semi-
nar Sejarah Nasional, Semarang: 27-30 Agustus 1990, hlm. 6.
47
Tentang perdebatan ini lihat misalnya O.W. Wolters, 'Studying Srivijaya' dalam JMBRAS 2 (52) (1979), hlm. 8.
48
Kartodirdjo, Poesponegoro, Notosusanto, Sejarah Nasional II,, hlm.55.
49
Kartodirdjo, Poesponegoro, Notosusanto, Sejarah Nasional II, hlm. 19.
5
° Seperti diketahui bahwa Airlangga adalah putra dan Mahendradatta dengan Dharmmodayana Warmadewa (seorang raja Bali). Mahendradatta
sendiri merupakan adik Dharmawangsa, sedangkan airlangga adalah menantu sekaligus keponakan Dharmawangsa. Lihat Kartodirdjo,
Poesponegoro, Notosusanto, Sejarah NasionalII, hlm. 96.

Dari catatan yang dibuat oleh Chao Ju-kua pada pada abad XII diketahui bahwa Sriwijaya `menguasai laut dan mengawasi lalu-lintas asing di Selat
Malaka'. Ia juga bercerita bahwa pelabuhan-pelabuhan Sriwijaya memiliki hubungan dagang dengan Jung-ya-lu (pelabuhan Ujung Galuh, di muara
Sungai Brantas). Lihat Kartodirdjo, Poesponegoro, Notosusanto, Sejarah Nasionalll, hlm.60.

52 Kartodirdjo, Poesponegoro, Notosusanto, Sejarah Nasional H, hlm. 108.


53
Hall, Sejarah Asia Tenggara, hlm. 69.
54
Kubhilai Khan, kaisar Mongol, telah mengirimkan telah mengirimkan utusannya ke Singhasari pada tahun 1280, 1281, 1286 dan terakhir pada tahun
1289, untuk minta pengakuan tunduk dari raja Kertanagara. Armada utusan terakhir yang dipimpin oleh Meng-Ch'I ditolak oleh Kertanagara dengan
penghinaan pada muka Meng-Ch'i. Mendengar penghinaan yang
266 Ekspansi Ekonomi Maritim dan Jaringan antar Daerah

dilakukan oleh Kertanagara, Kubhilai Khan sangat marah dan kemudian mengirimkan suatu armada untuk menghukum Kertanagara. Armada yang
dikirim tersebut baru sampai di Jawa pada tahun 1293 pada saat Kertanagara sudah tidak berkuasa lagi di Jawa. Lihat Kartodirdjo, Poesponegoro,
Notosusanto, Sejarah Nasional II, hlm. 108.

u Hall, Sejarah Asia Tenggara, hlm. 73.


56
Hall, Sejarah Asia Tenggara, hlm. 74.
57
Hall, Sejarah Asia Tenggara, hlm. 77.
58
Vlekke menunjukkan dengan jelas bahwa cita-cita Gajah Mada untuk menyatukan Nusantara di bawah Majapahit diilhami oleh cita-cita raja
Kertanagara pada masa Singhasari. Lihat B.H.M. Vlekke, Nusantara (The

Hague: 1959) 69. Lihat juga J. Minattur, Mada's Palapa' dalam


JMBRAS 1 (1966), hlm. 185-187.
99
Lihat A.B. Lapian, 'The maritime network in the Indonesian archipelago in the fourteenth century', in: SEAMEO Project in Archeology and Fine Arts
SPAFA, Final report: Consultative workshop on research on maritime shipping and trade networks in Southeast Asia (Cisarua, West Java, Indonesia:
20-27 November 1984) 71-80. Mengenai beberapa catatan mengenai pengaruh Majapahit di Semenanjung Melayu berdasarkan sumber-sumber
tradisional lihat C.O. Blagden, 'Notes on Malay History' dalam JMBRAS 53 (1909), hlm. 139-162.
60
Hall, Sejarah Asia Tenggara, hlm. 85.
61
Orang yang meragukan kebesaran Majapahit antara lain C.C. Berg. Lihat Bergh, 'De Sadeng Oorlog en de Myth of Great Majapahit' dalam Indonesia
5 (1951/52), hlm. 385-dst.
62
A. Rentse, `Majapahit Amulets in Kelantan' dalam JMBRAS 14 (1936), hlm. 300-304.
63
A. Cortesao, The Suma Oriental of Tome Pires: An Account of the East, from the Red Sea to Japan, Written in Malacca and India in 1512-1515 (London:
Hakluyt Society Series, 1944), hlm. 74. Lihat juga B.E. Colless, `Majapahit Revisited: External evidence on the Geography and Ethnology of East Java in
the Majapahit Perios' dalam JMBRAS 2 (1975), hlm. 124161. Lihat juga Wertheim, Indonesian Society, hlm. 52-53.
64
Palembang sendiri sebagai bekas pusat kerajaan Sriwijaya diceritakan menjadi sarang dari perompak Cina setelah tahun 1377. Lihat misalnya R.W.
McRoberts, 'Notes on Events in Palembang 1389-1511: The Overlasting Colony'dalam JMBRAS 1 (59) (1986), hlm. 73.
Sejarah Maritim Indonesia I 267

65
Lihat misalnya K.R. hall, Maritime Trade and State Development in early Southeast Asia (Honolulu: University of Hawaii Press, 1985). Lihat juga
Christie, 'Asia Sea Trade', hlm. 220-270.
66
A. Reid, 'The Pre-colonial Economy of Indonesia' dalam Bulletin of Indonesian Economic Studies 11 (2) (1984), hlm. 155-56.
67
Reid, 'The Pre-colonial', hlm. 156.
68
Das Gupta, 'The Maritime Trade', hlm. 243.
69
Reid, 'The Pre-colonial', hlm. 156.
7
° Reid, 'The Pre-colonial', hlm. 158. Mengenai perkembangan prahu tradisional di berbagai tempat di Indonesia lihat C. Nooteboom, De
Boomstamkano in Indonesia (Leiden: Brill, 1932). Lihat juga C.C. Macknight, 'The Study of the Praus in the Indonesian Archipelago', makalah
disampaikan pada International Conference on Indian Ocean Studies, Perth, hlm. 1979.
7
' Adrian Horridge, The Perahu: Tradisional Sailing Boats ofIndonesia (Kuala Lumpur, Oxford, New York, Melbourne: Oxford University Press, 1981),
hlm. 1.
72
Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia II (Jakarta: Balai Pusataka, 1977), hlm. 19.

Horridge, The Perahu, hlm. 1.


Horridge, The Perahu, him. 2.

75
Kitab Pararaton sebagian besar berisi mengenai pendiri kerajaan Singhasari (Ken Arok) yang berhasil merebut kekuasaan raja Kediri terakhir, Kertajaya.
76
Reid, 'The Pre-colonial', 159-160.
268 Ekspansi Ekonomi Maritim dan Jaringan antar Daerah
Sejarah Maritim Indonesia I 269

BAB VI
KOIVIUNIKASI LIN TAS BUDAYA DAN
PE ' 3 '.`ANGAIN BUDAYA TIM
SEBAGAI FONDASI EN TEGRITAS
BAN GSA
A. Perdagangan Maritim sebagai Penggerak Perubahan dalam
Dialog Unitas Budaya Nusantara-India-Cina
Sesungguhnya aktivitas kemaritiman bangsa Indonesia sudah setua usia bangsa Indonesia itu sendiri. Hal ini dapat
dipahami karena asal usul nenek moyang bangsa Indonesia adalah dari daratan Asia.' Penduduk kepulauan Nusantara
merupakan pelayar yang sanggup mengarungi lautan lepas. Laut dan selat yang membentang di hadapan mereka tidak
dipandang sebagai penghalang, namun justru sebagai penghubung antara pulau-pulau di Nusantara. Dengan demikian laut
berfungsi sebagai pemersatu di antara berbagai suku bangsa yang ada. Bahkan dapat dikatakan bahwa hubungan antara
daerah pantai dan pedalaman lebih sulit dilakukan bila dibandingkan dengan hubungan antar pulau melalui laut. Menurut
penelitian antropologi dan etno-linguistik, persesebaran nenek moyang bangsa Indonesia ke arah barat diyakini telah
mencapai pantai timur Afrika dan pulau Madagaskar dengan menggunakan perahu-perahu bercadik.
Komunikasi Lintas Budaya dan Perkembangan Budaya Maritim
270
sebagai Fondasi Integritas Bangsa

Peta 1. Persebaran nenek moyang bangsa Indonesia

Ke sebelah timur, perahu-perahu bercadik nenek moyang bangsa Indonesia telah mencapai pulau Paskah di Samudera
Pasifik dengan melayari satu kepulauan ke kepulauan yang lainnya. Sebelum James Cook ' menemukan ' Australia, orang-
orang Makassar sudah biasa melakukan pelayaran ke benua ini dan melakukan hubungan dagang dan budaya dengan
penduduk Aborigin. Bahkan para pelaut nenek moyang bangsa Indonesia telah menemukan benua Amerika sebelum
Colombus menemukannya pada abad XVI. 2 Jika hal itu benar maka nenek moyang bangsa Indonesia telah melakukan
pelayaran perahu dengan jangkauan ribuan mil. 3
Seperti diketahui, salah satu nenek moyang bangsa Indonesia yang berasal dari daratan Asia, yaitu bangsaAustronesia yang
merupakan salah satu jenis ras mongoloid, datang di kawasan kepulauan Indonesia bagian barat dan tengah sekitar tahun 3.000
SM ketika mereka mulai melakukan migrasi melalui pulau Formosa dan Luzon. Pada saat mencapai pantai Papua mereka terbagi
dua yaitu kearah timur dan ke arah barat. Mereka yang berlayar menuju ke timur mencapai kepulauan Fiji dan Tonga sekitar tahun
1.500 SM. Selanjutnya mereka menyebar di kepulauan Polinesia hingga mencapai Hawaii, Selandia Baru dan Paskah. Gelombang
migrasi Austronesia yang menuju ke arah barat kemudian mendiami pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan Semenanjung
Malaysia. Sebagian dari mereka mendiami daratan Asia dan menjadi nenek moyang bangsa
Sejarah Maritim Indonesia I 271

Champa yang pada saat ini menjadi minoritas di Vietnam. Proses migrasi secara besar-besaran itu berlangsung sejak sekitar
tahun 4.500 SM hingga abad XII Masehi. Gelombang migrasi Austronesia dari kepulauan Indonesia masih berlangsung ketika
kerajaan Sriwijaya berjaya di kawasan perairan Asia Tenggara. Gelombang migrasi itu menuju Madagaskar dan berlangsung
antara tahun 400 hingga 1.200 Masehi. Barangkali hal ini berkaitan dengan peranan pedagang Sriwijaya yang melakukan
perdagangan dengan pantai timur Afrika. Hal itu sesuai dengan berita Arab dari tahun 1154 yang menyatakan bahwa
saudagar-saudagar dari Sriwijaya mengambil besi dan Sofala yang kemudian diperdagangkan di India dan tentu saja juga di
Nusantara.4 Menurut Robert Cribb, diaspora bangsa Austronesia yang mencapai jangkauan separoh lebih linglcaran bumi ini
merupakan migrasi manusia yang paling spektakuler di dunia pada era pra-modern. 5 Memang belum diketahui secara
mendalam kontak antara keturunan Austronesia dan Melanesia yang mendiami sebagian kawasan Indonesia bagian timur.
Namun demikian berdasarkan ciri-ciri fisiologis sebagian besar bangs Indonesia, dapat dikatakan bahwa tentunya telah terjadi
percampuran genetis antara orang Austronesia dan Melanesia, misalnya kulit yang relatif gelap, rambut relatif ikal, dan
sebagainya.
Menjelang abad masehi, ketika perdagangan antara dunia timur dan dunia barat mulai berkembang, orang-orang Nusantara
sudah terbiasa dengan aktivitas pelayaran. Dengan demikian tidak mengherankan jika nenek moyang bangsa Indonesia
segera dapat mengambil bagian penting dalam proses perdagangan itu. Dalam hubungan itulah bisa dipahami jika pada
awal abad masehi telah muncul herbagai titik pusat perdagangan di jalur-jalur perdagangan internasional seperti di daerah
pantai di pulau Sumatra, Jawa, dan Kalimantan.' Pusat-pusat perdagangan pada pada awal abad-abad permulaan masehi
dapat dilihat pada Peta 2 di bawah ini.
Komunikasi Lintas Budaya dan Perkembangan Budaya Maritim
272
sebagai Fondasi Integritas Bangsa

Peta 2. Pusat-pusat perdagangan pada awal abad Masehi

Perkembangan di atas berhubungan dengan posisi Indonesia yang terletak pada jalur perdagangan internasional lewat laut (jalan Sutra) antara
dua negara adidaya pada waktu itu, yaitu India dan Cina. Bukan merupakan kebetulan jika bangsa Indonesia bisa memanfaatkan potensi mereka
untuk melibatkan diri secara aktifdalam perdagangan yang terjadi pada waktu itu.

Ditinjau dari segi perkembangan kebudayaan, aktivitas perdagangan memiliki andil yang besar dalam penyebaran kebudayaan. Sebagai
saluran perkembangan agama dan kebudayaan, dampak perdagangan terhadap bidang kebudayaan justru lebih penting daripada terhadap
bidang ekonomi itu sendiri, sebab hingga abad ke- 1 5 perdagangan kuno masih relatif belum berkembang. Kalaupun terjadi
Sejarah Maritim Indonesia I 273

perkembangan maka perkembangan itu terutama hanya bersifat kuantitatif saja. Sementara itu perkembangan kebudayaan
yang merupakan dampak dari aktivitas perdagangan ternyata telah mampu mengubah wajah masyarakat Asia, khususnya yang
terlibat dalam perdagangan internasional pada waktu itu. Namun demikian, tidak terelakkan bahwa perkembangan
perdagangan juga dipengaruhi oleh bentuk-bentuk kebudayaan yang muncul. Sebagai contoh, permintaan komoditi emas,
rempah-rempah, kemenyan, sutra, dan lain-lain ternyata berhubungan dengan perkembangan kebudayaan pada waktu itu.7
Selama berabad-abad perdagangan maritim internasional telah menjadi wahana bagi dialog lintas budaya dan
masyarakat di Nusantara. Dialog itu terjadi baik antara budaya-budaya Nusantara dan India maupun antara budaya-budaya
Nusantara dan Cina. Dialog lintas budaya itu juga terjadi antar budaya-budaya Nusantara itu sendiri. Sudah barang tentu apa
yang dimaksud dengan dialog lintas budaya itu secara historis tidak hanya mencakup proses komunikasi dan interaksi yang
damai antara satu kelompok dengan kelompok yang lain, tetapi pada kenyataannya juga terjadi konflik dan peperangan antar
mereka. Hal itu disebabkan peperangan juga menjadi salah satu saluran bagi proses difusi, asimilasi, dan akulturasi
kebudayaan. Dengan berkembangnya perdagangan antara masyarakat Nusantara dengan India dan Cina, maka pengarus
kebudayaan dari kedua negara adidaya pada waktu itu juga sangat signifikan. Hal ini dapat dilihat dari berbagai bentuk
kebudayaan di Nusantara, baik dilihat dari segi bahasa (penggunaan bahasa Sansekerta dan Cina), sistem kepercayaan
(Hindu, Budha, Khong Hu Tsu), sistem politik (berbagai bentuk kerajaan Hindu dan Budha), maupun sistem sosial (sistem
kasta dan kebangsawanan). Kecuali itu juga masih ada berbagai monumen keagamaan yang dapat dijumpai seperti candi
Borobudur, Prambanan, dan berbagai kelenteng yang menunjukkan adanya pengaruh India dan Cina meskipun unsur-unsur
Nusantara juga masih dapat dilihat. Semua itu merupakan hasil dialog lintas budaya tersebut.
Menurut J.C. van Leur, hubungan dagang antara Indonesia dan India lebih dahulu berkembang daripada hubungan
dagang antara Indonesia dan Cina! Pendapat van Leur tersebut didasarkan pada bukti
274 Komunikasi Lintas Budaya dan Perkembangan Budaya Maritim

sebagai Fondasi lntegritas Bangsa

bahwa di panta India telah terdapat pelabuhan-pelabuhan dengan kegiatan pelayaran yang secara aktif terlibat dalam
perdagangan dunia, jauh sebelum pelabuhan-pelabuhan di pantai selatan Cina melakukannya. Mengenai kapan awal
berkembangnya kedua bangsa tersebut, tidak ada sumber yang secara pati menyebutkannya. Baik sumber India maupun
sumber Barat belum dapat mengungkap awal hubungan dagang antara Indonesia dan India secara tepat. Meskipun
demikian, dari berbagai sumber yang ada seperti kitab filtaka dan kitab Mahaniddesa (keduanya sumber dari India), serta
kitab Periplous tes
Erythrasthalasses dan Geographike Hyphegesis (keduanya sumber Barat) dapat diperoleh gambaran bahwa sekitar abad ke-2
Masehi hubungan antara Indonesia dan India sudah cukup intensif.
Sumber India lainnya, kitab Ramciyana, menyebut nama Javadvipa yang berarti pulau emas dan perak, serta
Svarnadvipa atau pulau emas. Nama Svarnadvipa sebagaimana diketahui, merupakan sebutan untuk pulau Sumatra. Dalam
kitab Geographike Hyphegesis, terutama buku VII yang berisi tentang gambaran wilayah Asia Tenggara secara detail, juga
ditemukan nama-nama tempat yang berkaitan dengan emas dan perak, seperti Argryre Chora (negeri perak), Chryse Chora
(negeri emas), dan Chryse Chersonesos (semenanjung emas). Kecuali itu juga ditemukan nama tempat bernama Iabadiou yang
artinya sama dengan Javadvipa9. Kitab Geographike Hyphegesis telah ditulis oleh Claudius Ptolomeus sejak sebelum abad ke-2
Masehi. Data ini memperkuat perkiraan bahwa bangsa India telah menjalin hubungan dengan penduduk di kepulauan
Nusantara sejak sekitar abad tersebut.
Walaupun nama-nama tempat yang disebutkan dalam tulisan Ptolomeus tersebut masih memerlukan kajian lebih
lanjut, tetapi setidaknya mengindikasikan sudah adanya pengetahuan tentang daerah-daerah di sebelah timur India sampai
dunia Barat. Pengetahuan semacam itu hanya dapat diperoleh bila dunia perdagangan yang menjadi sumber bagi penyusunan
kitab Geographike Hyphegesis telah berkembang dan dapat memberikan data yang faktual tentang daerah tersebut. Dan hal
ini dapat diketahui bahwa pada masa awal abad Masehi Indonesia telah masuk dalam jaringan perdagangan dunia, khususnya
dengan wilayah sebelah baratnya.
Sejarah Maritim Indonesia I 275

Pengungkapan awal hubungan dagang antara Indonesia dan India harus berpangkal pada pengetahuan banwa Indonesia
adalah bagian dari suatu kesatuan wilayah, yaitu Asia Tenggara. Di dalam wilayah itu telah tumbuh suatu corak budaya yang
menunjukkan adanya persamaan. Pertumbuhan budaya tersebut telah berlangsung sejak berabad-abad sebelum terjadinya
hubungan dagang antara Indonesia dan India.
Letak kepulauan Indonesia yang membentang di sebelah timer India sebagai kelanjutan dari daratan Asia Tenggara tidak
terlalu sulit dicapai dari India. Bagi para pelaut ulung, tidak sulit untuk mengembangkan pelayaran pantai di sepanjang pesisir
Asia Tenggara menjadi pelayaran samudera yang langsung menyeberangi Samudera India ke Sumatra)° Kehadiran orang-orang
India di Asia Tenggara membawa pengaruh besar bagi perkembangan wilayah ini. Hal itu telah memunculkan gambaran bahwa
orang India datang dalam jumlah besar dan mengadakan kolonisasi. Sebenarnya yang terjadi tidaklah demikian. Hams diingat
bahwa motivasi orang-orang India yang datang ke Asia Tenggara terutama adalah untuk berdagang. Oleh karena orientasinya
adalah mencari keuntungan, maka frekuensi kedatangan dan jumlah mereka sangat tergantung pada perkembangan
perdagangan yang mereka lakukan. Perdagangan antara India dengan Asia Tenggara merupakan bagian dari perdagangan
internasional India. Dengan demikian tenth diperlukan waktu untuk memastikan bahwa hasil dari Asia Tenggara mendapat
tempat di pasaran internasional. Sebaliknya, Asia Tenggara pun belum terbiasa dengan barang-barang dari pasaran dunia,
sehingga juga perlu waktu untuk mengetahui sejauh mana kebutuhan Asia Tenggara akan barang-barang dari luar. Jadi bukan
berarti bahwa pengaruh India yang cukup kuat di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, mengindikasikan adanya kolonisasi oleh
bangsa India, karena para pelaut dan pedagang dari Indonesia ternyata juga sudah mengadakan pelayaran dan perdagangan
sampai ke pantai Benggala dan Coromandel", dan diperkirakan hal itu sudah terjadi sejak jaman prasejarah. Kegiatan
perdagangan India ke Asia Tenggara tidak lagi berupa pertukaran barang antara dua masyarakat, tetapi telah merupakan
bagian dari pola perdagangan India yang telah berkembang selama
276 Komunikasi Lintas Budaya dan Perkembangan Budaya Maritim

sebagai Fondasi Integritas Bangsa

berabad-abad sebelum Masehi, dan telah menjadi salah satu kekuatan perdagangan dunia.
Berbeda dengan India, bangsa Cina baru mulai mengadakan kontak dengan Indonesia pada sekitar abad ke-5 Masehi.
Pada waktu India mulai mengadakan hubungan dagang dengan Indonesia, kerajaan Cina sedang mulai meluaskan
kekuasaannya ke Vietnam, khususnya ke daerah Tonkin. Upaya perluasan kekuasaan kerajaan Cina itu telah membawa
kekuasaan tersebut ke dalam kawasan Asia Tenggara. Daerah Asia Tenggara yang letaknya jauh dari pusat peradaban Cina di
Cina bagian utara, sebelumnya dianggap sebagai daerah yang belum beradab. Perdagangan dengan negeri asing yang telah
dilakukan oleh Cina sejak berabad-abad sebelum Masehi adalah dengan Asia Barat. Perdagangan tersebut sepenuhnya
dilakukan melalui jalur perdagangan darat lewat Asia Tengah, sehingga tidak memungkinkan berkembangnya perdagangan
maritim. Baru setelah abad ke-4, ketika pusat peradaban Cina di Cina Utara diserang oleh suku-suku dari Asia Tengah dan
kekuasaan Cina berpindah ke Asia Selatan, para bangsawan dari Cina Utara yang mendirikan dinasti-dinasti Cina Selatan
mendorong tumbuhnya perdagangan maritim dari Asia Barat ke Asia Selatan melalui Indonesia." Bersamaan dengan
berkembangnya hubungan perdagangan tersebut berkembang pula hasil-hasil dari Asia Tenggara, termasuk dari Indonesia.
Salah satu sumber sejarah Cina tertua tentang Asia Tenggara menyebutkan adanya suatu jalur perdagangan dari Cina
melalui Funan dan Semenanjung Tanah Melayu dengan berakhir di tepi Samudera Indonesia.' Sayang sekali sumber tersebut
tidak memberikan informasi mengenai daerah-daerah yang dilalui oleh jalur perdagangan itu. Sebenarnya utusan-utusan dari
India Utara dan Asia Barat telah datang ke Cina melalui jalur perdagangan maritim antara India dan Asia Tenggara, kemudian
melanjutkan perjalanannya ke Cina melalui daratan Asia Tenggara. Mereka itu telah berdatangan sejak akhir abad pertama
masehi.
Suatu hal yang cukup penting dalam hubungan dagang antara Indonesia dan Cina adalah adanya hubungan pelayaran
langsung antara kedua tempat tersebut. Hubungan pelayaran tersebut dapat merupakan
Sejarah Maritim Indonesia I 277

bagian dari pelayaran antara Asia Barat dengan Cina, namun dapat juga merupakan hubungan tersendiri antara Indonesia
dan Cina.
Sebagaimana telah dikemukakan di depan, pengalaman perdagangan internasional bangsa Indonesia dimulai dengan
India. Hubungan dagang tersebut memberi kesempatan pada bangsa Indonesia untuk memperoleh kemahiran-kemahiran
tertentu yang diperlukan untuk dapat berhadapan dengan para pedagang asing dengan posisi yang sama. Hubungan
perdagangan dengan India dan Cina telah menempatkan Indonesia di gelanggang perdagangan internasional pada jaman
kuno.

a. Dialog Budaya Hindu, Budha, dan Budaya Nusantara


Apabila orang berbicara mengenai dialog antar budaya, lebih-lebih yang menyangkut masalah agama, maka satu hal
yang hams ditegaskan terlebih dahulu adalah bahwa kedudukan antara budaya atau antara agama itu harus dianggap sejajar
atau setaraf, dalam arti yang satu adalah budaya dari suatu bangsa yang telah maju, sementara yang lain dianggap masih
primitif. Dalam kaitannya dengan sub pokok bahasan ini dapat dinyatakan bahwa proses masuknya budaya India yang biasa
disebut dengan istilah "'penghinduan" atau "Indianisasi", yang sudah mulai datang ke Indonesia sejak awal abad pertama
Masehi diartikan sebagai pembudayaan dan masyarakat Indonesia yang masih belum berbudaya atau bahkan masih biadab.
Demikian juga pada waktu kedatangan agama Islam yang pertama di Indonesia, tidak hams menggunakan terminologi bahwa
agama Islam adalah agama milik suatu bangsa yang sudah berkebudayaan tinggi, sementara agama Hindu dan Budha yang
sudah berkembang di Indonesia sebagai agama yang dianut masyarakat yang masih primitif atau kafir.
Untuk yang disebutkan pertama yaitu proses Indianisasi di Indinesia, dalam pengertian juga termasuk penyebaran
kebudayaan Budha dan Hindu, terdapat dua pendapat para ahli sejarah yang berbeda yaitu:
1.Pertama adalah proses Indianisasi melalui penaldukan dan kolonisasi orang-orang India terhadap orang-orang di Indonesia.
Dengan kata lain bahwa orang-orang India pada waktu itu secara politik dan
278 Komunikasi Lintas Budaya dan Perkembangan Budaya Maritim

sebagai Fondasi Integritas Bangsa

pemerintahan memang menguasai orang-orang di Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya koloni orang-orang India
itu menjadi pusat-pusat penyebaran budaya India. Oleh karena koloni-koloni tersebut juga berfungsi sebagi pusat-pusat
kekuasaan, maka penyebaran kebudayaan Hindu diperkirakan dilakukan oleh para ksatria atau prajurit, sehingga dugaan
semacam itu disebut dengan istilah hipotesa ksatria.
2. Kedua adalah bahwa dalam koloni-koloni tersebut tidak harus diidentikan sebagai pusat-pusat kekuasaan yang
dilengkapi dengan kesatuan-kesatuan militer (prajurit) yang juga bertugas melakukan penetrasi kebudayaan, akan tetapi
dalam koloni-koloni tersebut terdapat golongan pedagang yang justru memegang peranan yang sentral dalam
penyebaran kebudayaan India, khususnya agama Hindu. Para pedagang tersebut bukan merupakan utusan para
penguasa di India, akan tetapi memang golongan pedagang yang merantau dan bahkan menetap di koloni-koloni di
berbagai negeri. Di kepulauan Indonesia mereka itu berhasil menjalin hubungan dengan para penguasa setempat. Oleh
karena para pedagang itu dalam agama Hindu termasuk dalam kasta vaisya, maka pendapat kedua itu disebut dengan
istilah hipotesa vaisya. Oleh karena proses Indanisasi oleh para pedagang ini dilakukan dengan cara damai atau
pendekatan yang bersifat persuasif, maka unsur-unsur Indonesia yang dihasilkan dari proses Indianisasi itu, yang lebih
baik disebut dengan istilah Indonesia-Hindu, masih nampak dengan jelas.

Seorang sejarawan yang lain yaitu van Leur menjelaskan bahwa Indianisasi tidak dapat dilepaskan atau merupakan
bagian dari aktivitas hubungan dagang antara Indonesia dengan India pada waktu itu. Apabila demikian halnya maka hams
dipahami bahwa dalam proses Indianisasi tersebut kedua belah pihak memegang peranan aktif. Yang dimaksudkan di sini
adalah bukan hanya orang-orang India yang datang ke Indonesia dan mendirikan koloni-koloni sebagai pusat-pusat
penyebaran kebudayaan India, akan tetapi sebaliknya orang-orang atau pedagang-pedagang Indonesiapun juga perlu datang
ke India untuk melakukan
Sejarah Maritim Indonesia 279

aktivitas perdagangan. Para pedagang Indonesia yang datang ke India menyaksikan sendiri kebudayaan India, dan pada
gilirannya menimbulkan dorongan untuk mempelajari, menghayati dan akhimya menjalankan dan menyebarluaskan
kebudayaan dan agama yang ada India. Cara yang ditempuh oleh para pedagang India itu adalah dengan mengundang para
Brahmana Hindu ke Indonesia. Peranan para Brahmana Hindu dari India ini sangat penting sekali dalam proses penyebaran
agama Hindu, mengingat dalam konsep agama Hindu bahwa seseorang hanya bisa dilahirkan sebagai Hindu dan bukan
menjadi Hindu. Yang dimaksud di sini adalah bahwa agama Hindu adalah identik dengan atau melekat pada keberadaan
bangsa India, sama seperti agama Yahudi yang melekat secara khusus pada bangsa Yahudi. Di samping itu yang berhak untuk
mendalami ajaran agama Hindu hanyalah golongan Brahmana, yang berarti juga menjadi monopoli mereka. Bagi orang-orang
yang bukan bangsa India dan ingin menjadi atau memeluk agama Hindu, maka harus melalui suatu proses atau upaca-upacara
tententu, yang hanya bisa dilakukan dan menjadi hak para Brahmana. Upacara itu dalam agama Hindu disebut dengan istilah
Vratyastoma, yang di negeri India, sesungguhnya merupakan upacara untuk mensucikan atau mengembalikan kedudukan
seseorang dalam suatu kasta yang telah hilang (kehilangan kasta dan dikucilkan dari lingkungannya) karena telah melakukan
kesalahan atau dosa yang besar. Demikianlah bagi orang-orang Indonesia, terutama dari kalangan istana, baik raja dan seluruh
keluarga maupun para pejabat istana, jika mereka akan masuk secara resmi sebagai pemeluk agama Hindu harus melalui
upacara Vratyastonza. Oleh karena itulah para Brahmana tersebut pada umumnya memiliki kedudukan yang terhormat di
dalam kraton-kraton di Indonesia sebagai pepnasehat (puruhita), tidak hanya dalam bidang keagamaan, akan tetapi juga
dalam bidang pemerintahan, peradilan, perundang-undangan dan sebagainya.
Proses Indianisasi yang identik juga terjadi dalam penyebaran agama Budha di Indonesia, yaitu melalui pada pendeta
atau biksu yang dengan sengaj a menyebar ke seluruh penjuru dunia, termasuk ke Indonesia melalui jalur perdagangan,
dengan tujuan khusus untuk menyebarluaskan ajaran Budha. Namun demikian pada gilirannya
Komunikasi Lintas Budaya dan Perkembangan Budaya Maritim
280
sebagai Fondasi Integritas Bangsa

kedatangan mereka itu mengundanng arus balik biksu-biksu setempat (para biksu Indonesia asli) yang berdatangan ke India.
Sekembalinya dari India mereka membawa kitab-kitab suci, relik-relik, dan kesan-kesan khusus serta kekaguman atas
kebudayaan yang mereka saksikan. Pengalaman dan apresiasi budaya asing itu, khususnya yang berkaitan dengan agama
Hindu, dalam perkembangannya di Indonesia menghasilkan seni agama Budha yang bercorak nasional, yang salah satunya
dan paling menonjol dapat disaksikan dari bentuk dan ragam hias candi Borobudur.

Gambar 6.1. Patung Budha dalam sikap


vitarkamudra (mengajar) di candi Borobudur
(Sumber: John Miksic, Indonesian Heritage I, 2002, him. 89)
Dengan demikian perlu kembali ditegaskan bahwa pendapat yang lebih menonjolkan peranan hubungan dagang antara
Indonesia dan India merupakan faktor terpenting dalam proses masuknya pengaruh budaya India. Di samping itu karena proses
Indianisasi kebudayaan Indonesia bukan identik dengan proses penaklukan atau penjajahan, dan juga seperti telah disebutkan di
muka bahwa keduanya harus dianggap kebudayaan dalam tingkat perkembangan yang setaraf, maka istilah lain yang lebih halus
adalah proses penyuburan kebudayaan Indonesia. Dalam proses penyuburan tersebut unsur budaya Indonesia lama masih
tampak dominan atau menonjol dalam semua lapisan masyarakat. Sebagai contoh walaupun dalam ajaran agama hindu di India
dengan tegas
Sejarah Maritim Indonesia I 281

disebutkan kedudukan setiap orang dalam kasta-kasta tertentu, akan tetapi dalam prakteknya di Indonesia tidaklah
demikian. Teori tentang kasta dalam agama Hindu memang diakui oleh orang-orang Indonesia yang bisa dikatakan telah
memeluk agama Hindu, akan tetapi dalam pelaksanaannya sistem kasta India yang berhubungan langsung dengan kelahiran
seseorang, merupakan ajaran atau dogma yang hams ditaati di Indonesia. Demikian juga amatlah sulit untuk menyatakan
bahwa seni bangunan candi-candi di Indonesia merupakan tiruan candi-candi di India. Harus diakui bahwa bangunan candi
mengandung unsur-unsur India, khususnya yang berkaitan dengan agama. Akan tetapi dalam membangun candi orang-orang
atau para seniman Indonesia hanya mendasarkan atau menggunakan pedoman dari kitab Silasastra (yaitu sebuah kitab
pegangan yang berisi berbagai petunjuk dalam pembuatan area dan bangunan-bangunan candi). Sebagai hasilnya candi-
candi di Indonesia baik Hindu maupun Budha adalah seni yang unik dan khas Indonesia.

Gambar 6.2. Gugus Lara Jonggrang Prambanan (dari kirikekanan:


CandiApit, Candi Perwara, Candi Siwa, Candi Wisnu, dan CandiApit)
(Sumber: John Miksic, Indonesian Heritage I, 2002, hlm. 78)
Komunikasi Lintas Budaya dan Perkembangan Budaya Maritim
282
sebagai Fondasi Integritas Bangsa

Untuk lebih menunjukkan unsur Indonesia yang masih menonjol dari kebudayaan Hindu di Indonesia, dapat di ketahui
dari keadaan masyarakat dan kerajaan Mataram kuno yang berkembang antara abad ke-8 dan 11 Masehi. Dari sisa-sisa
peninggalan jaman kerajaaan Mataran kuno dapat diperkirakan bahwa masyarakat pada masa itu adalah suatu masyarakat
Indonesia yang telah menyerap unsur-unsur budaya India baik yang bercorak Hindu maupun Budha. Namun demikian juga
hams diakui masyarakat jaman Mataram juga merupakan kelanjutan perkembangan masyarakat sebelumnya. Kebudayaan
yang asli sama sekali tidak punah dan masih tampak jelas, akan tetapi warna budaya asing (Hindu Budha) juga jelas tampak di
permukaan. Sebagai bukti dari berita Cina tahun 640 M disebutkan bahwa ibukota (istana) kerajaan Mataram dikelilingi oleh
pagar kayu, sedangkan kraton tempat tinggal raja merupakan bangunan bertingkat dua dan beratap daun nipah. Sementara
itu juga disebutkan bahwa penduduk kerajaan itu sudah mengenal ilmu perbintangan (astronomi). Pagar kayu, rumah tingkat
dua yang identik dengan rumah khas Indonesia dengan tiang-tiang tinggi adalah bangunan khas Indonesia (Jawa). Demikian
juga pengenalan ilmu astronomi bukan merupakan hal aneh bagi orang-orang Indonesia pada jaman itu, khususnya di
kalangan kaum nelayan/pelaut.
Dari prasasti Tuk Mas dan Sojomerto abad ke-7 dapat diketahui bahwa Jawa Tengah telah terpengaruh oleh kebudayaan
India, khususnya Hindu karena prasasti itu dibuat oleh para penganut agama Hindu. Namun demikian candi-candi yang banyak
dibangun pada jaman kerajaan Mataram adalah candi-candi Budha Mahayana. Petunjuk yang lain yaitu dari kitab-kitab suci
Holing (Kalingga?), sebuah kerajaan di Jawa Tengah abad ke-7, yang dibawa ke Cina dapat diketahui bahwa agama Budha yang
berkembang di Jawa tengah pada waktu iitu adalah Budha Hinayana. Namun demikian candi-candi tertua di Jawa Tengah yang
mendahului munculnya candi-candi Budha adalah seni bangunan agama Hindu. Hal itu dapat ditunjukkan dengan adanya
bangunan candi-candi Hindu yang terdapat di Dieng. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kebudayaan dan kepercayaan
asli Indonesia pada waktu itu hidup dan bekembang secara berdampingan atau silih berganti dengan
Sejarah Maritim Indonesia I 283

kebudayaan India baik Hindu maupun Budha, dan telah terjadi asimilasi sehingga identitas ash Indonesia masih terlihat
jelas.

b. Dialog Budaya Islam dan Budaya Nusantara


Pada dasarnya masuknya agama Islam di Nusantara tidak berbeda dengan masuknya agama Budha dan Hindu, yaitu
melalui suatu proses yang berjalan dengan damai. Pada mulanya agama Islam diperkenalkan secara tidak langsung oleh
pedagang-pedagang muslim baik dari Gujarat (India), Persia, Arab, dan Cina Selatan. Para pedagang ini tinggal di pemukiman-
pemukiman tersendiri di kota-kotapelabuhan, sambil menanti berbaliknya angin musson (enam bulan sekali berbalik arah) yang
membawa meraka berlayar kembali ke negeri mereka. Pada umumnya para pedagang tersebut menikah dengan perempuan-
perempuan pribumi dan beranak-pinak. Mereka membentuk komunitas muslim di lokasi tempat tinggal mereka. Hubungan
dagang para saudagar muslim yang semakin akrab dengan penguasa setempat, para raja, kekayaannya yang menonjol, serta
kepiawaiannya di bidang ekonomi, membuat para penguasa menarik mereka untuk mendudulci jabatan di kerajaan, biasanya
sebagai syahbandar (penguasa pelabuhan). Mereka menjalin hubungan personal dengan penguasa setempat dan mengawini
keluarga penguasa. Melalui proses ini mereka masuk ke dalam inner circle elit penguasa perbumi.
Dari proses panjang tersebut para pedagang muslim tumbuh menjadi penguasa-penguasa lokal, menegakkan identitas
budaya barn, yaitu Islam. Sebagai pemegang kekuasaan politik baru, penguasa muslim ini berhadapan dengan kekuasaan
politik lama, yaitu para raja penganut agama Hindu-Budha. Konflik-konflik politik tak terhindarkan demi merebut hegemoni
politik, ekonomi, maupun perluasan agama baru. Konflik-konflik itu biasanya berakhir dengan peperangan dan runtuhnya
kerajaan-kerajaan Hindu-Budha Indonesia, serta berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, khususnya di jawa dan Sumatra. Di
daerah-daerah lain, struktur kekuasaan politik lokal dalam bentuk kerajaan-suku menerima budaya baru Islam yang lebih
meningkatkan status dan wibawa mereka dalam pergaulan intemasional."
284 Komunikasi Lintas Budaya dan Perkembangan Budaya Maritim

sebagai Fondasi Integritas Bangsa

Dari peninggalan-peninggalan sejarah dan budaya yang dapat


ditemukan, diketahui bahwa masyarakat Islam yang tertua terdapat di pantai timur Sumatra Utara, di mana ditemukan bekas
kerajaan Samodera-Pasai. Di tempat itu terdapat antara lain makam Sultan Malik al Saleh yang tertulis dalam batu nisan gaya
Gujarat, dengan menggunakan bahasa dan huruf Arab. Menurut tulisan pada batu nisan itu, Sultan Malik al Saleh wafat pada
tahun 676 Hijrah atau 1297 Masehi. Seorang pedagang Venesia, Marco Polo, mengunjungi Perlak (Aceh Utara) pada tahun 1292.
la menyaksikan bahwa penduduk di sana beragama Islam dan banyak pedagang dari India berdagang di kota itu. Ini menunjukkan
bahwa masuknya agama Islam adalah pada abad XIII. Namun Naguib Alatas
mengatakan bahwa Islam telah masuk ke Indonesia dan Malaysia (di Palembang dan Kedah) sejak abad VII, ketika kerajaan
Sriwijaya masih memeluk agama Budha.15
Di Jawa, masuknya agama Islam diketahui dari adanya nisan makam Islam tertua yaitu nisan Fatimah binti Maimun di
Leran (Gresik) yang berangka tahun 475 H atau 1082 M. Namun demikian baru pada abad XIII ditemukan banyak makam Islam
di Troloyo, Trowulan, dan Gresik, dalam masa kejayaan Majapahit. Islamisasi di Jawa tampaknya cukup lama untuk mencapai
kekuasaan politik. Baru pada akhir abad XV dan awal abad XVI, bersamaan dengan semakin melemahnya kerajaan Majapahit,
muncul kerajaan-kerajaan di pantai utara Jawa yaitu kerajaan Demak, Tuban, Gresik, Cirebon, Banten. Sementera itu di
Sumatra Utara juga muncul kerajaan Islam baru yaitu Aceh. Namun pada abad XV kerajaan Malaka di pantai barat
Semenanjung telah Iebih dulu berdiri, diikuti kerajaan Ternate dan Tidore di ujung timur Nusantara. Pada abad XVII barulah
kerajaan-kerajaan Islam yang lain bermunculan seperti kerajaan Goa-Makassar, Bone, Minahasa, Banjarmasin, dan Jambi,
serta Mataram di pedalaman Jawa Tengah.
Masuknya agama Islam memungkinkan terjadinya komunikasi budaya yang dinamis dengan budaya Hindu-Budha dan
budaya lokal yang telah ada sebelumnya. Perjumpaan budaya ini menghasilkan budaya baru yang semakin kaya, yaitu corak
budaya Islam berpadu dengan budaya setempat.16
Sejarah Maritim Indonesia 285

Pada seni arsitektur, masjid di Jawa menggunakan atap bersusun tiga (atap tumpang) sebagai pengganti kubah, di
samping kubah Timur Tengah terutama pada masjid-masjid di luar Jawa. Menara masjid di Kudus lebih menyerupai
bangunan candi, sementara itu di kompleks makam Sunan Tembayat di Klaten mempunyai gapura berbentuk candi bentar
gaya Jawa Timur.
Ragam bias dalam ukiran dan relief yang tidak memper-bolehkan menunjukkan bentuk hewan dan manusia dengan
wujud tiga dimensi, diubah menjadi ukiran dan relief daun-daunan, sulur-suluran, bunga-bungaan, atau bentuk hewan yang
disamarkan tak kurang indahnya. Sebuah kesenian baru pengaruh Islam adalah kaligrafi, penulisan ayat-ayat Qur'an dalam
hurufArab yang distilir sangat cantik, menjadi pahatan atau lukisan.
Seni pertunjukan yang sangat kreatif adalah seni pedalangan, yang justru dipopulerkan untuk kepentingan dakwah.
Ceritera wayang yang sangat digemari masyarakat Jawa dimasuki unsur-unsur kepercayaan Islam dengan cam yang sangat
sublim. Ajaran utama Islam "kalimah syahadat" disisipkan sebagai "jimat kalimasada" yang harus dimiliki Pandawa.
Karya sastra mungkin yang paling banyak pengaruhnya di Indonesia, baik sastra Arab, Persia, India, terlebih sastra
tassawuf yang di Jawa dikenal sebagai sastra suluk. Bahkan karya kesusasteraan Persia seperti Ceritera Menak (Serat
Menak) dan epos Amir Hamzah (Serat Ambiya) selain disalin dalam bahasa Jawa juga dipentaskan dalam pertunjukan
wayang golek yang sangat menarik. Namun demikian, meskipun kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia kebanyakan adalah
kerajaan-kerajaan maritim, tetapi kesenian khan maritim tak terlalu menonjol. Beberapa karya sastra maritim akan dibahas
dalam bagian lain dari hasil penelitian ini.

B. Perkembangan Budaya Maritim


I. Teknologi Perkapalan dan Navigasi
Kapal dan perahu yang ada di Indonesia sebelum kapal api ditemukan terbagi dalam dua kelompok besar. Berdasarkan teknik
perribuatannya,
286 Komunikasi Lintas Budaya dan Perkembangan Budaya Maritim

sebagai Fondasi Integritas Bangsa

jenis kendaraan air itu dibedakan menjadi perahu lesung dan perahu papan. Meskipun kapal atau perahu lesung paling
sederhana, namun teknik pembuatannya memerlukan keahlian dan pengalaman yang khusus. Mulai dari memilih kayu
yang cocok, cara menebang pohon, sampai pada pekerjaan mengeruk batang pohon untuk badan perahu dan para
tukang yang mengerjakannya harus memenuhi persyaratan yang tinggi. Pembuatan kapal memerlukan kesabaran dan
ketekunan bekerja, sedang penggunaan alat-alat yang serba sederhana untuk
pekerjaan ini sudah tentu hanya mungkin jikalau orang sudah mempunyai pengalaman bertahun-tahun."
Teknik pembuatan perahu papan pun tidak kurang kompleks. Perahu papan tidak hanya membutuhkan satu batang
kayu saja, tetapi juga memerlukan kayu-kayu lain. Dengan demikian jenis dan bentukperahu papan cukup banyak, sehingga
kemungkinan untuk membuat kapal yang lebih besar tidak terbatas. Meskipun demikian, teknik perkapalan Indonesia pada
masa itu kemungkinan belum berkembang pesat. Hampir tidak ada sumber yang dapat diguna-kan untuk merekonstruksi
perkembangan teknik perkapalan pada scat itu, sehingga cukup sulit untuk merekonstruksi sejarah teknik perkapalan pada
masa awal perkembangan budaya martitim di Indonesia.
Namun demikian evolusi teknologi kapal dapat dirunut pada zaman prasejarah, di mana sampan sudah cukup dikenal
di samping rakit yang dibuat dari bambu dengan atau tanpa lantai papan di atasnya. Bukti yang menunjukkan hal itu adalah
ditemukannya lukisan pre-histori di Pulau Kei Kecil yang terdapat di dinding gua atau bath karang berupa gambar sampan.
Sampan tersebut dinaiki oleh orang-orang yang menggunakan tutup kepala aneh atau mungkin bulu-bulu burung. Sampan
tersebut digambarkan dengan layar (atap) serta bagian haluan dan buritan yang mencuat ke atas. Lukisan sampan tersebut
kemungkinan tidak hanya berkaitan dengan aspek religio-magis, tetapi juga menggambarkan kehidupan masyarakat dalam
mengatasi lingkungannya yang berupa Taut."
Sejarah Mariam Indonesia I 287

Gambar 6.3. Lukisanampan di Gua Loh Vat di Desa


Ohoidertawun,Kecamatan Kei Kecil, Maluku Tenggara
(Sumber: Sukendar, Perahu Tradisional
Nusantara, 2002, hlm.32)

Daerah-daerah yang cukup maju dalam teknologi perkapalan di Nusantara antara lain adalah Sulawesi, Madura, Jawa
Timur, Jawa Tengah, dan Kalimantan. Tradisi teknologi perkapalan dengan membuat kapal cadik berganda sudah cukup dikenal
di utara dan selatan Sulawesi. Dalam tahapan selanjutnya perahu bercadik ganda tersebar
288 Komunikasi lintas Budaya dan Perkembangan Budaya Maritim

sebagai Fondasi Integritas Bangsa

sampai ke pantai timur Madagaskar bersamaan dengan persebaran jenis perahu cadik tungga1.19Perkembangan pada perahu cadik terjadi
karena adanya pengaruh dari luar (India dan Cina) atau dari dalam. Perkembangan tersebut dapat terlihat dari adanya bentuk-bentuk yang
beraneka ragam serta pola-pola hias serta memiliki bobot angkut yang sangat besar."

Gambar 6.4. Perahu bercadik tunggal dengan pahatan kepala burung


pada bagian depan dan belakang serta pola hias burung yang dibuat
pada bagian badannya
(Miniatur perahu pada Museum Negeri Propinsi Papua).

Pada masa Sriwijaya, teknologi perkapalan juga sudah dikembangkan untuk mengawasi perdagangan dan daerah koloninya. Jadi untuk
mengarungi lautan, Sriwijaya menggunakan kapal-kapal besar dalam jalur perdagangan di Samudera Hindia dan Laut Cina Selatan. Bobot kapal
Sriwijaya mencapai 250 sampai 1000 ton, dengan panjang 60 meter. Kapal itu mampu memuat penurnpang sekitar 1000 orang, belum termasuk
muatan barang. Kapal Jung Cina pada abad ke-16 tidak lebih
Sejarah Maritim Indonesia I 289

dari tiruan bentuk kapal Sriwijaya.' Kondisi perkapalan di Sriwijaya sebagai negara Maritim jelas membuktikan suatu
kemampuan mengagumkan yang dimiliki oleh pelaut Indonesia. Jika bukti ini benar, teknologi kapal Nusantara dapat
dipandang yang terbaik di Asia Tenggara. Pada relief candi Borobudur terpahat lukisan kapal besar dengan layar ganda
beserta cadiknya. Melihat tipenya menunjukkan bahwa kapal tersebut dan jenis pelayaran samudera yang berteknologi
tinggi. Dengan demikian pada abad IX orang Jawa di pedalaman pun telah mengenal pelayaran samudera. 22
Antonio Galvao menguraikan tentang cara orang Maluku membuat kapal. Kapal dibuat dengan bentuk di tengah-
tengahnya menyerupai telur dan kedua ujungnya melengkung ke atas. Dengan demikian kapal dapat berlayar maju dan
mundur. Kapal ini tanpa menggunakan paku, di mana lunas, rusuk, linggi depan, serta linggi belakang disesuaikan dan diikat
dengan tali ijuk melalui lubang yang dibuat di beberapa tempat tertentu. Untuk menyambung papan mereka membuat
pena pada ujung papan lainnya dibuat lubang kecil untuk memasukkan pena tersebut. 23
Tradisi pembuatan kapal pribumi mengalami perubahan signifikan sejak kedatangan kapal-kapal Portugis di perairan
Indonesia. Hal ini terjadi karena banyak orang Portugis bekerja sebagai penasehat dan arsitek kapal seperti yang dilakukan
oleh Van Linschotten pada akhir abad ke-16. Di samping menjadi penasehat, sebagai contoh orang Portugis yang ada di
Malaka juga mengajarkan teknik membuat kapal jenis Eropa. Salah satu karya gabungan antara arsitek Indonesia dan
Portugis pada akhir abad ke-16 adalah kapal perang Banten. Menurut kesaksian Willem Lodwycksz, kapal perang ini
menyerupai kapal galai dengan dua tiang layar. Keistimewaannya adalah dua serambi yang sempit merupakan emperan
yang mengikuti bagian buritan kapal. Ruangan bawah hanya dipakai untuk budak dan pengayuh. Mereka seolah-olah
dikurung sedangkan tentara berada di geladak supaya dapat berperang dengan leluasa. 24
Pada abad ke-18, di Maluku telah dikenal perahu "kora-kora" yang dipergunakan untuk mengangkut orang dan bahan.
Model perahu ini cukup bagus sehingga digambarkan sebagai perahu terbaik pada
Komunikasi Lintas Budaya dan Perkembangan Budaya Maritim
290
sebagai Fondasi Integritas Bangsa

abad ke-18. Kora-kora dilengkapi dengan sebuah layar besar dan sebagai alat penguat agar tidak terbalik dilengkapi dengan
cadik. Kora-kora selain digunakan sebagai sarana untuk perdagangan laut, biasanya juga dipergunakan sebagai kapal perang.
Oleh karena fungsinya yang dipergunakan untuk kapal perang, maka kapal ini dibuat secara ramping dan panjang. Dengan
bentuk yang ramping lebih mudah untuk mencapai kecepatan maksimal. Sementara itu bentuk perahu yang panjang
dimaksudkan agar dapat menampung banyak penumpang. Di samping itu kapal ini juga memiliki tempat yang terpisah antara
pengayuh dan tentara.25

Gambar 6.5. Perahu kora-kora dari tahun 1798


(Sumber: Adrian Horridge, The Prahu, 1985, hlm. 4)

Pusat-pusat pembuatan kapal di Nusantara yang terkenal terdapat di Jawa. Galangan kapal ini pada abad ke-16 sangat
terkenal di Asia Tenggara. Keahlian arsitek kapal Jawa begitu tersohor sehingga d'Albuqurque membawa 60 tukang yang
cakap pada waktu is meninggalkan Malaka pada tahun 1512. Namun kapal yang dibuat di

Kora kora, ao. 1700 Sejarah Maritim Indonesia I 291

Jawa ini terbatas pada kapal-kapal kecil yang bisa berlayar cepat untuk keperluan perang. Di samping itu dibuat pula kapal
muatan dengan tonnage yang kecil. Menurut orang Belanda, pusat galangan kapal di Jawa adalah Lasem yang terletak antara
pelabuhan-pelabuhan terkenal, Tuban dan Jepara dan yang dekat dengan hutan jati Rembang. Jadi diperkirakan puluhan
pasokan kapal yang digunakan oleh Adipati Unus untuk menggempur Malaka adalah dari galangan kapal Lasem ini. Teknologi
perkapalan di Jawa pada abad ke-16 sudah begitu bagus dan hebat. Sebagai bukti pada tahun 1513 armada laut Demak telah
mengerahkan 100 kapal untuk menyerang Malaka_ Bobot kapal terkecil yang dibawa Pati Unus dari Jepara adalah sekitar 200
ton.'
Di bagian timur kepulauan Nusantara, pusat galangan kapal terdapat di kepulauan Kei. Setiap tahun suatu armada kapal
dan perahu yang baru selesai dibuat berangkat dari Kei ke pelabuhan Maluku untuk dijual. Para pengunjung pulau Kei memuji
keahlian orang Kei dalam membuat kapal. Banyaknya variasi tipe kapal dan teknologi perkapalan menimbulkan rasa kagum
pada setiap pengunjung acing. Gambaran yang demikian menunjukkan bahwa tradisi maritim yang telah mempengaruhi
budaya Kei didukung oleh sebuah pengetahuan teknik perkapalan yang sudah mulai sebelum abad ke-19.27
Dalam tahapan perkembangan selanjutnya seining dengan masuknya bangsa Barat dapat dipastikan kapal pribumi tidak
murni lagi. Kapal-kapal pribumi pada abad ke-17, yaitu pada masa kedatangan Belanda dan Inggris telah mengalami perubahan
sebagai akibat bersentuhan dengan budaya Portugis dan Spanyol_ Demikian pula pada abad ke-16 mungkin juga mengalami
pengaruh kapal-kapal India (Gujarat), Persia, Arab. Terlepas dari semua itu, keadaan ini menunjukkan bahwa jiwa bahari telah
menghasilkan banyak jenis kapal sesuai dengan keperluan setempat.28
Teknologi pelayaran yang pertama bagi bangsa Indonesia adalah menggunakan sistem angin musim. Pengetahuan tentang
angin darat dan angin laut adalah pengetahuan penting bagi para pelaut dan nelayan. Dengan demikian mereka bisa
memanfaatkan angin terscbutjika berlayar keluar pada malam hari dan pulang ke kampung pada siang hari . Di samping itu
mereka juga telah mengenal cukup lama perubahan musim.
Komunikasi Lintas Budaya dan Perkembangan Budaya Maritim
292
sebagai Fondasi Integritas Bangsa

Dengan memanfaatkan perubahan angin ini maka dalam bulan Oktober kapal-kapal berangkat dari Maluku menuju pusat
perdagangan di Ujungpandang, Gresik, Demak, Banten sampai Malaka dan kota-kota lain di sebelah barat; sedangkan dalam
bulan Maret perjalanan ke timur dapat dilakukan dengan menggunakan kapal dari wilayah barat. Penguasaan teknologi
pelayaran memungkinkan mereka melakukan aktivitas pelayaran dan perdagangan antar pulau.
Kemampuan membaca arus angin cukup diperlukan karena dapat dipakai sebagai pedoman untuk berlayar antar pulau.
Angin ini secara langsung mempengaruhi tradisi pelayaran Nusantara, sehingga di laut Jawa dikenal adanya arus musiman
(seasonal stream).29
Dalam mengungkap perkembangan dan kemampuan navigasi mualim-mualim pribumi dapat dirunut melalui sumber-
sumber Barat. Kapal-kapal Eropa, dalam hal ini kapal Portugis yang pertama berlayar di perairan Indonesia menggunakan
mualim setempat untuk mengantarkan ke tempat tujuan. Dalam ekspedisi Magelhaens pada tahun 1521 d'Elcano menculik dua
perahu pandu laut setempat untuk mengantarkan kapal-kapalnya dari Filipina ke Tidore. Pelayaran pertama oleh orang-orang
Belanda dipimpin Cornelis de Houtman. Orang Belanda ini selain menggunakan orang Portugis yang pernah datang ke
Indonesia juga memanfaatkan pengetahuan dan pengalaman mualim-mualim setempat, misalnya pelayaran di Selat Sunda
sampai ke Banten. Kapal-kapal Belanda yang pertama menerima tawaran adalah dari para juragan perahu yang dijumpainya di
selat Sunda, untuk mengantarkan ke Banten dengan sewa 5 real. Dari keterangan itu membuktikan bahwa kemampuan
navigasi pribumi tidak dapat dipandang remeh.
Pada masa Sriwijaya kemampuan pelayaran sudah teruji menggantikan jalan sutera yang penuh marabahaya. Pelaut
Sriwijaya menggunakan persiapan yang matang dan perhitungan yang tepat untuk melewati rute Cina - Laut Cina Selatan -
Selat Malaka - Sriwijaya - India - Oman - Arab. Rute ini sangat menguntungkan perdagangan bagi Sriwijaya.'
Pelaut pribumi pada bulan Juni sampai dengan Agustus mengandalkan angin di laut Cina Selatan yang bertiup ke utara
sehingga dapat memudahkan pelayarannya ke Ayuthaya, Campa, Cina, dan negeri-
Sejarah Maritim Indonesia I 293

negeri di sebelah utara. Pengetahuan tentang jalan ke sebelah utara (Cina dan lain-lain) tidak setua pengetahuan tentang jalan ke
sebelah barat (ke negeri-negeri di atas angin). Menurut Wolters sebelumnya pelaut pribumi telah mengenal pelayaran dari dan
ke barat sebelum kapal-kapal itu menemukan jalan laut ke negeri Cina. Akan tetapi pada abad ke-16 hubungan maritim semakin
intensif termasuk pada masa Portugis menduduki Malaka tahun 1511. Di Malaka kapal-kapal bertemu dan menunggu angin yang
baik untuk meneruskan perjalanannnya atau kembali ke negeri asa1.3t
Pelayaran yang besar tergantung pada tenaga angin sehingga memerlukan pengalaman dan pengetahuan tentang sistem
angin di perairan ini. Kita sering membaca bahwa kapal yang satu menempuh suatu jarak tertentu dalam waktu yang lebih lama
dari kapal yang lain. Fa Hsien pada tahun 414 M mengeluh bahwajarak antara Malaka dan Kanton yang biasa ditempuh dalam
waktu 50 hari sudah dilampaui. Bahkan sebelas abad kemudian perjalanan Tome Pires tahun 1517 M untuk trayek yang sama
masih memerlukan 45 hari. Sebaliknya Chia Tan (abad ke-8) berlayar dan Kanton ke Selat dalam waktu 18 V2. hari merupakan
suatu kemajuan yang besar. Namun demikian tidaklah seberapa bila dibandingkan dengan Chang Chun (abad ke-7) yang
berlayar dalam waktu 20 hari dari Kanton ke bagian Selatan Semenanjung. Kemajuan yang sangat bagus ditunjukkan I-T'sing
tahun 671 M yang berlayar dari Kanton ke Sriwijaya dalam waktu kurang dari 20 hari. Rahasia berlayar dan alur pelayarannya
dijaga baik-baik, sebagaimana halnya sekarang negara-negara besar memegang teguh rahasia perjalanan antariksa. Dari
sumber-sumber asli agak sukar kita mendapat keterangan tentang kemampuan kapal-kapal Indonesia yang berlayar pada
zaman ini. Pada umumnya berita-berita tersebut memang tidak memberi data yang tepat, walaupun ada beberapa
pengecualian.32
Para pelaut kita yang mengarungi lautan luas dengan perahu besar mempunyai kemampuan mendeteksi sebagai
penunjuk perjalanan. Pada siang hari letak matahari dapat digunakan sebagai penunjuk arah. Adapun pada malam hari mereka
menggunakan letak kelompok bintang tertentu di langit. Dengan demikian pelaut pribumi mempunyai istilah
Komunikasi Lintas Budaya dan Perkembangan Budaya Maritim
294
sebagai Fondasi Integritas Bangsa

sendiri bagi kelompok bintang yang mereka anggap penting bagi pelayaran, seperti bintang mayang, bintang biduk, dan lain-
lain."
Apabila kita meneliti semua laporan perjalanan kapal-kapal Eropa pertama yang dalam abad ke-16 dan ke-17 berlayar di
perairan Indonesia, dapat ditemukan berita-berita tentang mualim yang membawa kapal-kapal Barat. Dengan demikian bisa
didapat gambaran yang lebih baik mengenai kemahiran pelaut-pelaut itu dalam hal navigasi, berapa lama waktu yang
diperlukan untuk menempuh suatu trayek tertentu, bagaimanakah kecakapan mualim tersebut membawa kapal asing ke
tempat yang akan ditujunya. Di samping itu tentu harus diperhatikan pula perbedaaan teknologi kapal. Jenis kapal asing yang
lebih besar sanggup melintasi samudera, sedangkan perlengkapannya juga lebih maju. Penilaian mualim-mualim setempat
dalam membawa kapal asing, tentu berbeda dengan penilaian mereka jika hams membawa kapalnya sendiri. Dalam
penjelajahan pertama di perairan kita, kapal-kapal Portugis banyak mendapat bantuan dan pelaut-pelaut setempat sehingga
dalam waktu relatifsingkat orang-orang Portugis telah mempunyai kemampuan yang cukup mengenai keadaan iklim dan
geografi setempat.
Kemampuan Sriwijaya dalam mempertahankan hegemoni sebagai negara maritim pada abad ke-7 hingga ke-11 tidak lepas
dari kemampuan navigasinya. Baik itu kualitas kapal yang dipergunakan, pengenalan dengan baik kondisi iklim, dan letaknya yang
cukup strategic. Dengan kemampuan pelayaran yang baik dia dapat menjalin koalisi dengan Cola, Cina, serta mampu
menaklukkan kerajaan-kerajaan lain baik di Sumatra maupun di seberang lautan.34
Penemuan peta-peta dan roteiros (petunjuk-petunjuk untuk berlayar) tidak hanya didasarkan atas observasi orang
Portugis sendiri, tetapi juga dibantu oleh kemampuan pelaut setempat untuk memperoleh keterangan nautika. Salah satu
contoh adalah roteiro yang disusun oleh Francisco Rodrigues yang mendasarkan pengetahuannya atas pengalaman pelaut-
pelaut di Indonesia. Toponim Melayu yang dipakai untuk beberapa tempat di pantai Vietnam dan Campa jelas menunjukkan
asal-usul keterangan yang diperoleh orang-orang Portugis itu.
Pelaut-pelaut kita sudah mengenal peta untuk berlayar yang telah dicatat oleh orang Portugis pada awal abad ke-16. Kita
mengetahui bahwa
Sejarah Maritim Indonesia I 295

mereka berusaha keras untuk memperoleh peta-peta ini. Albuquerque pernah mengirim sebuah peta yang bertuliskan huruf
Jawa kepada rajanya, tetapi kapal Albuquerque yang membawa peta itu tenggalam sehingga dengan demikian kita tidak lagi
mempunyai bukti tentang pengetahuan pelayaran Jawa. Bukti itu berupa seberapa jauh mereka berlayar, serta sampai di
mana pengetahuan pada waktu itu tentang geografi dan kartogarfi Nusantara. Hanya keterangan Albuquerque itu yang
memberi indikasi tentang penggunaaan peta dalam pelayaran Indonesia dan tidak mustahil bahwa kemajuan kartografi
Portugis mengenai wilayah Asia Tenggara telah didasarkan atas peta-peta tersebut. Oleh karena kehilangan ini kita tidak
dapat mengecek kebenaran keterangan Albuquerque yang mengatakan bahwa peta Jawa itu mencakup daerah seberang
Samodera Indonesia dan malahan menggambarkan pantai Brasil yang melintasi Samodera Atlantik. 35
Bukti kemampuan pelayaran bangsa Indonesia adalah dengan mendasarkan pada berita Diogo Lopes yang berlayar dari
Lisabon pada bulan April 1508. Dia menyebutkan bahwa di Pantai Timur Madagaskar terdapat kapal-kapal Jawa yang melakukan
aktivitas perdagangan. Dari penjelasan itu menunjukkan bahwa kemampuan pelayaran pelaut pribumi cukup baik. Dia mampu
mengendalikan keganasan laut, sehingga sampai di Madagaskar. Begitu pula Barbosa dan Barros menyebutkan pada saat itu
pedagang pribumi Sumatra telah menjalin hubungan pelayaran langsung dengan India.36
Menurut Meilink-Roelofsz bahwa peta yang beraksara Jawa tersebut jelas berasal dari masa sebelum 1512 M yang
dibuat setelah mempelajari peta-peta Portugis yang pada waktu itu sudah mengenal pantai Brazil. Pengetahuan ini dipakai
untuk membetulkan dan melengkapi peta-peta yang sebelumnya telah dikenal di sini. Pendapat ini membuktikan bahwa
pada waktu itu telah ada interaksi timbal balik antara pengetahuan navigasi Indonesia dan Barat.
Alat navigasi penting yang lain adalah kompas (pedoman) dan strolabe. Alat yang pertama sebagai pembantu untuk
menentukan arah dan tempat menurut deklinasi dan inklansi jarumnya. Alat yang kedua untuk menentukan lokasi menurut
ukuran tinggi matahari, terutama apabila kapal berada di tengah laut tanpa mempunyai baringan darat.
296 Komunikasi Lintas Budaya dan Perkembangan Budaya Mariam

sebagai Fondasi Integritas Bangsa

Ludovico de Varthema dalam perjalanannya tahun 1506 dari Kalimantan ke pulau Jawa melihat kompas digunakan oleh
nahkoda kapal yang ditumpanginya. Selain kompas, kapal itu juga mempunyai sebuah peta yang penuh garis-garis
memanjang dan melintang, sedangkan sang nahkoda bercerita bahwa jauh di sebelah selatan pulau Jawa terdapat lautan
yang besar di mana siang hari sangat pendek hanya 4 jam lamanya. 37
Sebagai contoh jaringan pelayaran yang terjadi antara Makassar dengan Asia Tenggara sudah berjalan cukup baik. Hal ini
hanya dapat terjadi bila didukung oleh kemampuan pelayaran yang bagus serta letak Makassar yang cukup strategis di antara
Maluku, Nusa Tenggara, Jawa dan Kalimantan. Dalam pelayaran ini barang yang diperdagangkan antara lain beras, kain,
tembakau, dan cengkeh. Tidak menutup kemungkinan pula para pedagang Makassar juga menjalin kontrak pelayaran dengan
Johor, Pahang, Patani, Portugis, Spanyol, Gujarat, dan Cina.38
Mualim Ibn Majid yang mengantarkan Vasco da Gama dari Malindi di Pantai Timur Afrika sampai di Kalikut tidak
memperlihatkan rasa heran ketika orang-orang Portugis memperlihatkan alat-lat nautika kepadanya, sebab alat-alat tersebut
sudah dikenalnya. Namun demikian kita belum dapat memastikan bagaimana peralatan kapal-kapal Indonesia pada waktu itu,
apakah alat tersebut sudah umum dipakai, ataukah hanya di beberapa kapal saja. Meskipun demikian, yang jelas para pelaut
kita sudah mengenal peralatan berlayar melalui kapal-kapal Arab dan Persia yang sudah berabad-abad lebih dulu datang ke
perairan Indonesia. Sebenarnya kompas ditemukan di Cina, tapi orang Cina baru menggunakannya di laut pada akhir abad
ke-11, jadi sesudah orang Arab menggunakannya dalam pelayaran di Samudera Indonesia. Pengaruh Arab dan Persia dalam
kegiatan maritim kita merupakan kenyataan yang tercermin dalam istilah maritim yang banyak memakai kata pinjaman dari
bahasa tersebut."
Pada saat kedatangan bangsa Belanda, kapal pribumi belum menggunakan kompas, namun bukan berarti tidak
mengenal alat ini. Seorang Belanda, Steven van der Haghen, dalam perjalanannya yang pertama ke Indonesia membawa
beberapa rates kompas dari berbagai jenis, dengan harapan dapat dijual setibanya di Indonesia. Ternyata di
Sejarah Maritim Indonesia I 297

Indonesia tidak ada yang memerlukan barang tersebut sehingga harus dikembalikan ke Belanda karena tidak laku. Jadi pada
abad ke- 17 pemakaian kompas belum begitu umum di kapal pribumi meskipun sebelum kedatangan kapal Eropa alat
navigasi semacam ini sudah dipakai di kapal Arab, Persia, Gujarat, dan Cina yang sering mengunjungi kepulauan Indonesia.
Keadaan iklim dan geografi Indonesia memungkinkan pelaut-pelaut pribumi mencari tempat bersandar pada pulau-
pulau, gunung-gunung dan tanjung-tanjung bila berlayar menyusuri pantai, dan pada malam hari mereka menggunakan
bintang-bintang di langit yang cerah untuk menentukan tempatnya di tengah laut. Alat-alat navigasi yang biasanya dipakai
untuk pelayaran melintasi samodera di daerah yang sering ditutupi kabut sudah tentu tidak banyak diperlukan di perairan
Indonesia. Sebaliknya pengetahuan astronomi jauh lebih penting. Konstelasi bintang dikenal dengan kombinasi yang khas
Indonesia dengan nama-nama seperti mayang dan biduk yang lebih mengingatkan lagi pada sifat maritim dari pengetahuan
perbintangan. Persepsi tentang arah mata yang dikembangkan di Indonesia ternyata tidak sama. Ada suku bangsa di
Indonesia yang hanya mengenal dua arah mata angin, yakni arah darat dan laut saja.
Dari gambaran itu jelas menunjukkan bahwa taraf kemajuan dan perkembangan navigasi berbeda di seluruh kepulauan
Indonesia. Masih banyak pelaut yang berlayar secara tradisional, dengan berpegang pada pengetahuan yang diperoleh secara
turun-temnurun. Bahkan ada jugs yang bisa menentukan arah di laut menurut intuisi. Jadi masing-masing suku bangsa telah
mengembangkan budaya maritimnya menurut arah, selera, kebutuhan, dan dayaciptanya sendiri-sendiri. Tidak semua kapal
pada waktu itu membawa peta pada saat berlayar. Kalaupun peta-peta tersebut dibawa biasanya hanya disimpan saja dalam
tabung bambu seperti pada banyak kapal pribumi dalam abad ke-20 ini, karena langit yang cerah serta pulau-pulau yang
berjajar dari barat ke timur sudah cukup sebagai petunjuk jalan. Hanya bila sangat diperlukan barulah digunakan peta. Namun
yang jelas bahwa pelaut Indonesia sudah tidak asing lagi dengan alat navigasi yang berupa peta.
Komunikasi Lintas Budaya dan Perkembangan Budaya Maritim
298
sebagai Fondasi Integritas Bangsa

2. Angkatan Laut
Armada atau angkatan laut adalah salah satu kekuatan inti dalam menopang suatu kerajaan maritim. Hal itu berarti
bahwa dengan angkatan laut yang kuat maka akan dapat menjamin stabilitas dan kelanggengan suatu kerajaan, begitu pula
sebaliknya. Ini telah dibuktikan oleh beberapa kerajaan maritim yang ada di Nusantara. Di Sriwijaya misalnya, kuatnya angkatan
laut membuat terciptanya ketentraman perdagangan dalam masyarakat. Keberadaan angkatan laut adalah sebagai upaya
Sriwijaya dalam melindungi jalur perniagaan terhadap ancaman bajak laut yang berasal dari Cina, Malaya, bagian Nusantara
lainnya, dan Filipina."
Dalam struktur pemerintahan di Sriwijaya, posisi laksamana angkatan laut kerajaan langsung berada di bawah raja
sebagai penguasa tertinggi. Laksamana angkatan laut merupakan pejabat kemiliteran yang sangat penting, sehingga posisinya
sejajar dengan patih (mangkubumi). Tugas utamanya adalah menjaga keutuhan wilayah dan menjaga kepentingan-
kepentingan Sriwijaya di bidang perdagangan. 41 Dengan angkatan lautnya ini Sriwijaya sering melakukan ekspedisi ke tempat-
tempat yang jauh, dan melakukan patroli keamanan di wilayahnya. Secara rutin angkatan laut Sriwijaya juga melakukan
perjalanan jauh dan menjadikan daerah tak bertuan menjadi bagian dari kesatuan negara Sriwijaya. Berkat bantuan
merekalah terselenggara keamanan di Asia Tenggara. Dampak yang lain adalah kekuasaan Sriwijaya dapat menjadi demikian
luas dan amat berwibawa di mata saingannya.
Untuk menciptakan angkatan laut yang kuat, maka kapal-kapal perang Sriwijaya dibuat dari kayu yang tua dan keras.
Kapal itu dapat bergerak dengan layar, serta dapat pula didayung dengan cepat. Prajurit-prajuritnya terdiri atas
pelaut-pelaut/puhawang yang berpengalaman serta terlatih mempergunakan bermacam-macam senjata. Untuk melindungi
rakyat dan perdagangan dari ganggunan bajak laut, raja membangun sebuah armada laut yang kuat. Persenjataan kapal perang
Sriwijaya adalah panah, tombak, parang, dan pedang. Selain itu para prajurit Sriwijaya dilatih melempar obor berapi dari jarak
yang cukup jauh, tetapi lemparannya hams tepat.42 Bila armada Sriwijaya memergoki kapal perompak di tengah laut, maka kapal
perompak itu dikepung dan diserbu. Prajurit-prjurit Sriwijaya yang terlatih melemparkan obor berapi
Sejarah Maritim Indonesia I 299

ke atas geladak kapal perompak. Para Perompak kemudian secara tegas dibunuh serta dilempar ke laut, sehingga mereka
takut akan kekuatan armada angkatan laut Sriwijaya.
Semakin ramainya perdagangan membuat Sriwijaya harus menempatkan pangkalan di sentral-sentral perdagangan
seperti di Jambi, Kepulauan Riau, Semenanjung Melayu, dan pantai Sumatera Utara. Di pangkalan itu ditempatkan beberapa
kapal perang yang dilengkapi dengan senjata dan prajurit-prajurit. Dari pangkalan itu kapal perang Sriwijaya dengan cepat
dapat digerakkan ke segala penjuru, jika ada armada musuh yang datang.43
Satu permasalahan menarik mengenai angkatan laut Sriwijaya adalah siapa yang direkrut menjadi angkatan laut?
Menurut Hall Sriwijaya membangun inti angkatan lautnya dengan melakukan aliansi dengan para pelaut melayu dan berbagai
pemimpin kelompok etnik dari kawasan hulu sungai. Sudah barang tentu antara kerajaan Sriwijaya dengan elemen-elemen sosial
tersebut disepakati berbagai tawar-menawar yang pada intinya kerajaan Sriwijaya akan mendudukkan mereka sebagai kelompok
elite yang berkuasa di pusat-pusat ekonomi dan politik di daerah pantai. Meskipun merekaberada di bawah subordinasi Sriwijaya,
namun mereka mendapatkan akses baik di bidang ekonomi maupun politik. Oleh karena mereka bertindak sebagai pimpinan
lokal maka maka jika sewaktu-waktu kerajaan sriwijaya membutuhkan mobilisasi angkatan laut, maka sang pemimpin lokal dapat
merekrut para pengikutnya. Demikian juga mobilisasi angakatan laut Sriwijaya juga dapat berasal dari hubungan simbiosis
mutualistik antara pihak kerajaan dengan orang taut. Di satu nisi orang taut memerlukan perlindungan kerajaan dari serangan
bajak laut dan sebaliknya kerajaan dapat memanfaatkan orang laut ini sebagai pertahanan hdup dari kerajaan. Dalam berbagai
ekspedisi dan peperangan, pihak kerajaan Sriwijaya membuat deal dengan berbagai kelompok dalam kekuatan angkatan lautnya
untuk membagi hasil pampasan perang di antara prajurit yang terlibat. Namun demikian tetap ada prajurit inti angkatan laut yang
sebagai inti yang memiliki tugas permanen sebagai kekuatan perang. Biasanya mereka ditempatkan di berbagai pelabuhan yang
memiliki potensi ekonomi yang memerlukan pengawasan yang intensif."
Komunikasi Lintas Budaya dan Perkembangan Budaya Maritim
300
sebagai Fondasi Integritas Bangsa

Contoh yang lain adalah armada laut kerajaaan Majapahit yang juga dipandang juga kuat. Kitab Nagarakertogama
menegaskan bahwa Majapahit memiliki angkatan laut (jaladi) yang sangat besar untuk melindungi daerah-daerah bawahan
dan menghukum pembesar daerah yang membangkang terhadap pemerintah pusat. Angkatan laut Majapahit telah banyak
berjasa, terutama dalam merebut kekuasaan di daerah seberang lautan dan membinasakan musuh-musuh yang melawan
kekuasaan Majapahit, sehingga sangat ditakuti. Angkatan laut yang besar dan kuat adalah syarat mutlak bagi Majapahit
sebagai negara maritim untuk mempertahankan kekuasaannya di lautan.
Sebagai negara maritim, Majapahit dapat membina kekuatan laut yang hebat. Angkatan laut Majapahit dipimpin oleh
Jalad Mantri yaitu seorang laksamana laut. Dengan Armada laut ini Majapahit mulai menyerang daerah-daerah lain di Jawa
dan Sumatra. Di samping itu Majapahit juga mendirikan pangkalan di sepanjang pantai. Raja-raja di daerah perairan dipaksa
mengakui hak pertuanannya. Dengan angkatan laut yang kuat lambat laun Majapahit dapat menguasai perairan antar pulau
di Indonesia."
Armada laut Majapahit sebagian ditempatkan di pantai utara Jawa untuk melindungi negara Induk. Sebagian lagi di sebar
di beberapa tempat untuk mengawasi daerah bawahan. Angkatan laut juga digunakan untuk mengawal petugas yang
memungut upeti di daerah-daerah supaya keamanannya terjamin dan dapat berjalan dengan lancar.46
Begitu pula pada masa armada laut Majapahit berada di bawah Laksamana Nala, Majapahit mampu melebarkan
kekuasaannya sampai di Sumbawa, Bali, dan lain-lain. Dalam ekspedisi yang sama Laksamana Nala dapat menaklukkan
Sriwijaya sehingga mendekati keruntuhan.47 Dengan demikian dapat dipastikan armada laut Majapahit cukup kuat sehingga
dapat menaklukkan dan diakui oleh kerajaan-kerajaan yang lain di Nusantara.
Kekuatan laut yang cukup signifikan adalah angkatan laut kerajaan Demak. Ini terlihat ketika armada angkatan laut Demak
melakukan penyerangan ke Malaka pada tahun 1513. Mereka membawa sekitar 100 jung dengan kekuatan 12.000 kelasi. Kapal
laksamana pemimpin perangnya diberi "panser" dari kapur. Meriam yang dibawa untuk
Sejarah Maritim Indonesia I 301

menggempur Malaka semua berasal dan Jawa." Dalam melawan Portugis di Malaka ini angkatan laut Demak berkoalisi dengan
armada Palembang dan Aceh. Armada gabungan ini langsung dipimpin oleh Pati Unus, tetapi serangan Demak ini tidak
membuahkan hasil." Meskipun demikian, serangan tersebut menunjukkan bahwa armada laut Demak pada abad ke-16 cukup
kuat dan besar, sehingga diperhitungkan oleh lawan-lawan politiknya.
Kekuatan armada laut yang cukup besar juga dimiliki oleh Jepara di bawah kepemimpinan Ratu Kalinyamat. Angkatan laut
Jepara bergabung dengan armada kerajaan Johor dan Aceh untuk menggempur Portugis di Malaka. Pada serangan pertama
tahun 1551, Jepara mengirimkan 40 kapal dengan kekuatan sekitar 4000 — 5000 prajurit bersenjata. Pada serangan yang kedua
tahun 1573, Jepara mengirimkan 300 kapal layar dengan 80 kapal di antaranya berukuran besar dengan bobot 400 ton. Kapal
kapal tersebut menampung sekitar 15.000 prajurit dan membawa banyak perbekalan, meriam dan mesiu. Armada perang
Jepara dipimpin oleh panglima yang bergelar Quilidamao, yang mungkin merupakan bahasa Portugis untuk menyebut
Laksamana.5°
Hal ini membuktikan bahwa kekuatan armada laut kerajaan-kerajaan di Indonesia cukup kuat. Meskipun pada
peperangan tersebut mereka mengalami kekalahan, tetapi dapat membuktikan bahwa angkatan laut yang besar dan kuat
merupakan syarat yang mutlak untuk mempertahankan kedaulatannya. Faktor kekalahan tersebut sebagian besar
merupakan kurangnya pengetahuan teknologi pelayaran dan militer.

3. Tradisi Hukum di Bidang Kemaritiman


Bangsa-bangsa maritim Nusantara juga mengenal tradisi hukum yang mengatur segala sesuatu yang terkait dengan usaha
pelayaran dan perdagangan. Hal ini meunjukkan bahwa perdagangan dan pelayaran merupakan salah satu aktivitas utama
dalam kehidupan ekonomi mereka. Usaha ekonomi yang penuh risiko di satu pihak, serta hubungan antarpenduduk, antarsuku,
dan antarbangsa di berbagai wilayah laut dan pelabuhan di dalam maupun di luar negeri pada pihak lain,
Komunikasi Lintas Budaya dan Perkembangan Budaya Maritim
302
sebagai Fondasi Integritas Bangsa

meniscayakan perlunya sebuah aturan hukum yang disepakati dan dipatuhi bersama.
Salah satu bangsa maritim yang memiliki tradisi hukum pelayaran dan perdagangan adalah suku bangsa Bugis-
Makassar. Hukum adat pelayaran dan perdagangan mereka bernama Ade'Allopi-loping
Ribitjaranna Pa'Balu'e (peraturan berperahu bagi pedagang). Adat istiadat itu telah berjalan ratusan tahun sebelum
dikodifikasikan dan ditulis oleh seorang Matoa (kepala masyarakat Bugis imigran di suatu daerah/kota). Ia bernama Amanna
Gappa, seorang dari suku Wajo, salah satu sub etnis dari suku bangsa Bugis yang berjiwa pelaut. Amanna Gappa selesai
menulis hukum adat pelayaran dan perdagangan tersebut dalam bahasa Bugis pada tahun 1676, setelah disepakati oleh wakil-
wakil suku Wajo, Bone, dan Makassar di Ujung Pandang. Kodifikasi hukum pelayaran dan perdagangan itu diberi nama sesuai
dengan nama penulisnya, yaitu hukum pelayaran dan perdagangan Amanna Gappa."
Dari kitab Amanna Gappa dapat diketahui bahwa pelaut Bugis telah menjelajahi seluruh kepulauan Nusantara. Mereka
mendirikan pemukiman-pemukiman imigran Bugis di berbagai kota pelabuhan seperti Aceh, Malaka, Johor, Palembang, Jakarta,
Gresik, Sumenep, Sumbawa, Banda, Ambon, Ternate, Banjaramasin, Sambas, dan Pontianak."
Pada pokoknya hukum Amanna Gappa mengatur hubungan antara pemilik kapal, nakhoda, kelasi, pedagang yang
menyewa kapal, kedudukan syahbandar, berbagai pajak pelabuhan, dan segala hal yang berkaitan dengan perdagangan dan
pelayaran serta masalah keamanan di laut.
Salah satu cuplikan hukum Amanna Gappa tentang sewa kapal adalah sebagai berikut:

Prakara mammulangenaia assima-simangnge rippasompee narekko kkui ttonang rilopi ri tana Mangkasa', ri tana
Ugi', ri Pasere, ri Sumbawa, ri Kaili [5] (nalao ri Atje, ri Ke'da, ri
Kambodja), naia Simana [7] (pitun) riala' siratu'na

Terjemahan:
Sejarah Maritim Indonesia I 303

Pasal Pertama

Adapun daftar sewa bagi orang yang berlayar (adalah segaia berikut):
apabila orang naik di perahu, di daerah Makassar 5), di daerah Bugis, di pasir, di Sumbawa, di Kaili, pergi ke Aceh, ke
Kedah, ke Kamboja 5) sewanya tujuh rial 5) [sic.] dari tiap-tiap tiap-tiap seratus."

Tentang syarat untuk menjadi nakhoda kapal, pada waktu itu seorang nakhoda adalah juga seorang pemilik kapal, dikatakan
syaratnya ada 15 butir, antara lain sebagai berikut:
jang pertama bila ada sendjatanya kuat dan ringan dengan
makanannja (= pelurunja); jang kedua bila perahunya kuat; jang
ketiga bila ada modalnya. 55

Dari kumpulan lontara lain (no. 130), tercantum kewajiban syahbandar sebagai wakil raja.
.... Adapun engkau syahbandar berkewadj ib an menjuruh
mengawasi pedagang jang baru tiba di pelabuhan negerimu, agar banjak bea (diperoleh) negerimu. Oleh karena
engkaulah, sjahbandar, diserahi tugas memasukkan hasil negeri ke dalam
perbendaharaan radja "

Hukum pelayaran dan perdagangan Amanna Gappa ini digunakan sebagai pegangan masyarakat pelayar dan
pedagang Bugis-makassar hingga abad XIX.
Selain suku bangsa Bugis Makassar, bangsa Nusantara yang juga memiliki hukum adat kelautan/maritim adalah suku
Melayu di kerajaan Malaka (Undang-uandang Malaka, dibuat pada abad XV), dan suku Aceh pada masa pemerintahan
Sultan
Iskandar Muda Aceh mengeluarkan Hukum Adat Laot, yang khusus mengatur penangkapan ikan di laut, kaitannya
dengan para nelayan, upah kerja, perahu, peralatan, dan lain-lain. Pejabat yang mengurus perikanan adalahpanglima laot,
pengasa tertinggi di bidang
Komunikasi Lintas Budaya dan Perkembangan Budaya Mariam
304
sebagai Fondasi Integritas Bangsa

perikanan laut. Di bawahnya adalah keujrun kuala, pejabat yang mengurus pangkalan perahu-perahu pukat. Kecuali itu juga
ada tenaga teknis yaitu pawang pukat yang bersama anak-anak pukat turun ke taut menangkap ikan. 57 Di samping itu
Iskandar Muda melengkapi undang-undang Aceh tentang perdagangan laut dan segala hal yang berkaitan dengan monopoli
perdagangan laut, serta penarikan bea cukai atas barang-barang di pelabuhan. Undang-undang ini termuat dalam kodifikasi
Adat Aceh yang disempurnakan dan dilengkapi pada abad XVII, masa pemerintahannya, dan dilanjutkan pada abad XVIII oleh
para sultana pengganti Iskandar Muda."
Pada dasarnya undang-undang pelayaran dan perdagangan Aceh berisi kebijakan raja Aceh untuk memajukan
perdagangan dan pelayaran. Selanjutnya juga untuk menguasai perdagangan di Selat Malaka dan Nusantara pada
umumnya. Pertama-tama adalah keharusan bagi saudagar asing yang datang ke Aceh dengan kapal-kapal mereka (bangsa
Inggris, Belanda, Prancis, Portugis, Spanyol, Keling, Pegu, Cina, dan lain-lain), untuk berlabuh hanya di bandar kerajaan Dar
us-Salam. Selanjutnya didirikan jawatan pelabuhan yang mengurus bea cukai ekspor-impor barang-barang yang
diperdagangkan. Jawatan itu bernama Balai Furdah, yang berada di bawah kekuasaan "orang kaya" Sri Maharaja Lela. Ia
dibantu Penghulu Kawal yang bertanggungjawab terhadap keamanan Syahbandar (kepala pelabuhan) dan beberapa orng
karkun (juru tulis). Berbagai macambea dan cukai dikenakan kepada barang-barang impor, seluruhnya sekitar 10 % dari nilai
barang. Hal yang lebih penting adalah hak Sultan Aceh untuk menentukan harga penjualan barang-barang ekspor, maupun
hak untuk menjadi pembeli utama barang impor. Dengan kata lain raja menerapkan sistem monopoli atas barang-barang
yang diperjualbelilcan." Dengan demikian harga komoditi di pelabuhan Aceh menjadi sangat tinggi. Namun para pedagang
asing, khususnya bangsa-bangsa Eropa, terpaksa membeli produk ekspor dari Aceh karena Aceh menguasai daerah-daerah
penghasil lada serta menguasai pemasarannya, bahkan bila perlu dengan kekerasan. Dari hasil perdagangan internasional
yang cukup maju, Aceh berkembang sebagai kerajaan maritim yang kaya di Asia Tenggara selama abad XVI hingg akhir abad
XVII.
Sejarah Maritim Indonesia I 305

4. Tradisi Kemaritiman dan Seni Budaya


Tradisi kemaritiman adalah kebiasaan masyarakat maritim Nusantara yang sudah dilakukan sejak lama. Biasanya dalam
tradisi maritim ini doa dan sesajen sering menyertai atau mendahului setiap fase dalam pembuatan kapal sesuai dengan adat
kebiasaan di tempat. Di samping itu yang juga menarik adalah terdapat gambar mata pada lambung kapal yang dimiliki oleh
pelaut Nusantara. Ini merupakan suatu kebiasaan universal yang erat hubungannya dengan kepercayaan tradisional yang
masih dipegang teguh oleh sebagian besar masyarakat nelayan pada waktu sekarang. Gambar mata di lambung kapal
kemungkinan menunjukkan bahwa mata itu sebagai penunjuk gerak arah kapal supaya tidak tersesat dalam melakukan
pelayaran.
Tradisi kemaritiman juga dilakukan di Jawa yang oleh Manguin dikatakan berpola "Dampu Awang". Cerita ini tersebar dari
Buleleng, Sumenep, Pesisir Jawa, sampai ke Lampung, Palembang, dan Banjarmasin. Cerita tradisi ini berintikan seorang
pedagang dari seberang yang datang dengan kapal yang sarat muatan dan harta kekakayaan. Adakalanya kunjungan pedagang
itu dipaksakan sehingga kapalnya sampai kandas, meskipun demikian kedatangannya dianggap merupakan permulaan atau
penyebab dari kemakmuran bandar bersangkutan. Sehubungan dengan kepercayaan ini maka kain batik yang berpola "kapal
kandas" (pola Cirebon dan Indramayu) atau songket pola "jung sarat" (Lampung) memainkan peranan penting pada setiap
upacara (perkawinan dan sebagainya) yang mendambakan masa depan yang kaya dan malcmur.w
Ada kemungkinan bahwa jenis cerita tersebut merupakan atavistik dari sebuah cargo cult berabad-abad yang lalu,
suatu kepercayaan yang mengharapkan rejeki yang datang dari luar. Meskipun demikian kultus kepercayaan demikian tidak
selalu membuat orang pasif menunggu kedatangan harta dengan sabar. Pada tradisi Biak Numfor ada kepercayaan bahwa
masa kejayaan dan kemakmuran akan datang lagi bila mana tokoh pahlawan mereka pulang dari perantauannya ke sebelah
barat.6'
Komunikasi Lintas Budaya dan Perkembangan Budaya Maritim
306
sebagai Fondasi Integritas Bangsa

Perkembangan seni budaya maritim terlihat sejak zaman Indonesia Hindu-Budha. Pada masa ini telah dikenal pula
berbagai jenis kapal yang dijadikan hiasan. Seni ini terdapat pada dinding candi yang menggambarkan aktivitas kehidupan
kemaritiman masyarakat. Sebagai contoh di Borobudur tidak kurang dari sepuluh relief yang melukiskan perahu atau kapal,
baik perahu lesung, kapal besar yang tidak bercadik, maupun kapal bercadik. Kapal yang terbesar mempunyai dua tiang,
sedangkan haluan dan buritannya meruncing ke atas. Layar besar yang dipakai pada waktu itu jelas berbentuk segi empat,
hanya layar di bagian buritan ada yang berbentuk segi tiga. 62 Jadi meskipun pada masa wangsa Syailendra Jawa menganut
sistem agraris, namun dengan adanya relief itu menunjukkan aktivitas laut juga mendapat perhatian, baik oleh penguasa
maupun oleh rakyat.
Sementara itu di Sumatra, seiring dengan kepergian raja Sriwijaya Balaputra Dewa dari tanah Jawa, berpindah pula
langgam seni khas daerah Jawa Tengah bagian selatan ke tanah Sumatra. Tampaknya raja Balaputra Dewa mencintai seni. Hal
ini terbukti dengan usaha-usahanya mengembangkan kesenian dari wangsa Syailendra di Sriwijaya. Sayangnya bangunan-
bangunan yang dahulu begitu megah dan indah di Sriwijaya kebanyakan telah lenyap ditelan masa. 63 Tidak diragukan bahwa
perhatian seni Sriwijaya berhubungan erat dengan aktivitas maritim yang menjadi ciri khas kerajaan tersebut.
Seni budaya peninggalan kerajaan-kerajaan maritim Islam lainnya adalah kompleks kraton seperti di Aceh, Samodra
Pasai, Banten, Cirebon, dan Mataram. Susunan halaman sampai yang dinamakan dalem pada kraton tersebut mengingatkan
kita pada tradisi seni akhir Indonesia Hindu dalam pembuatan kompleks candi dan bangunan pura di Bali. Begitu pula kompleks
makam Islam seperti di Sendangduwur, Kudus, dan Lamongan. Di dalam kota kerajaan atau pelabuhan kecuali terdapat tempat
peribadatan, pasar, dan bangunan untuk penguasa yaitu kraton terdapat pula perkampungan-perkampungan penduduk.
Dilihat dari sudut arsitekturnya, masjid kuno di Indonesia menunjukkan kekhasan di mana atapnya bertingkat tiga,
atau lima, dengan denah persegi empat atau bujur sangkar dengan serambi di depan atau di samping. Pada bagian depan atau
samping terdapat kulah. Gaya
Sejarah Maritim Indonesia I 307

masjid dengan atap bertingkat adalah pengaruh seni bangunan candi yang dikenal pada zaman Indonesia-Hindu. Bangunan
beratap tingkat juga seperti Meru yaitu sebuah gunung Kahyangan tempat para dewa." Di nisi lain bangunan Cina Muslim pada
abad ke-15 mempunyai pengaruh yang cukup penting di Demak dan Jepara. Seperti di Masjid Demak dan Masjid Mantingan
Jepara.65 Orang-orang Cina sangat boleh jadi telah membantu pembagunan beberapa masjid besar, tapi gaya itu khusus untuk
di daerah tertentu saja, bukan seluruh Asia Tenggara.

5. Lingua Franca dan Sastra Maritim


a. Lingua Franca
Salah satu aspek budaya yang menonjol di kepulauan Nusantara adalah berkembangnya lingua franca, yaitu suatu
bahasa pergaulan antar suku bangsa yang dikenal sebagai bahasa Melayu. Dengan menggunakan bahasa Melayu ini ratusan
suku bangsa yang masing-masing memiliki bahasa sendiri dapat saling berkomunikasi, baik untuk kepentingna perdagangan,
sosial, budaya, maupun hubungan diplomatik. Menurut kesaksian para pedagang Cina, Portugis, Belanda, dan lain-lain, bahkan
semua bangsa yang berdagang di kawasan perairan Nusantara menggunakan bahasa Melayu bila mereka berdagang dengan
saudagar-saudagar dari suku-suku di Nusantara.66 Mengingat tersebarluasnya lingua franca Melayu ke seluruh kepulauan
Indonesia, Malaysia, Brunei, Sulu, Filipina Selatan, khususnya di wilayah pantai, jelaslah bahwa bahasa Melayu ini tersebar
melalui jaringan pelayaran.
Bahasa Melayu memiliki akar budaya Melayu dan daerah Riau daratan maupun Riau kepulauan. Namun demikian bahasa
Melayu tertua ditemukan pada beberapa prasasti Sriwijaya pada abad VII. Prasasti-prasasti tersebut ditemukan di sekitar kota
Palembang, pulau Bangka, Jambi, bahkan di Jawa Tengah utara dekat Pekalongan (prasasti Sojomerto). Sangat mungkin bahwa
bahasa Melayu menjadi bahasa masyarakat kerajaan Melayu yang lebih tua dari abad VII. Dalam catatan sejarah dinasti Liang,
antara tahun 430 — 475, mereka didatangi oleh utusan dari kerajaan Kan-t'o-li, yang oleh Moens diidentifikasi sebagai kerajaan
Melayu. Nama kerajaan Melayu (Mo-lo-yeu) semakin jelas tertulis dalam catatan dinasti T'ang (644 — 645), yang semakin
308 Komunikasi Lintas Budaya dan Perkembangan Budaya Maritim

sebagai Fondasi Integritas Bangsa

memantapkan eksistensinya di daerah Jambi, menggantikan Sriwijaya yang semakin surut pada abad XIII. 67
Bahasa melayu menjadi bahasa masyarakat yang berbudaya Melayu di pantai timur Sumatra, Semenanjung Malaka,
pantai-pantai Kalimantan, kepulauan Filipina Selatan, dan kepulauan sebelah timur seperti Ternate, Tidore, serta kepulauan
Maluku Selatan. Bangsa-bangsa Barat yang kemudian menjajah sebagian wilayah Indonesia menggunakan bahasa Melayu
dalam surat-menyurat, perjanjian diplomatik, dan berkomunikasi dengan raja-raja/penguasa pribumi, di samping bahasa
mereka sendiri.
Pada masa kolonial Belanda bahasa melayu menjadi bahasa resmi dalam birokrasi pemerintahan, di samping bahasa
Belanda dan bahasa daerah. Dalam ikrar Sumpah Pemuda tahun 1928, bahasa Melayu disepakati untuk dinobatkan sebagai
bahasa persatuan bangsa Indonesia dengan nama bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia ini kemudian
dikukuhkan sebagai bahasa nasional dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945 yang sudah diamandemen,
tertuang dalam bab XV pasal 36. 68 Ini merupakan salah satu prestasi bangsa Indonesia dalam membangun integrasi bangsa,
ketika banyak bangsa-bangsa yang baru merdeka tidak mampu mengangkat satu bahasa nasional, seperti India, Pakistan,
Filipina.

b. Sastra Mariti m
Apa yang dimaksud dengan sastra maritim adalah karya sastra yang bernuansa kelautan, baik berbentuk syair, pantun,
ataupun prosa, baik melukiskan situasi kongkrit maupun deskripsi imajiner bermakna simbolik. Karya-karya ini
menggambarkan kehidupan alam kelautan, kehidupan masyarakat laut dan pesisiran, pelayaran, pelabuhan dan
perdagangan laut, mitologi laut, atau kecintaan kepada laut.
Syair tertua yang bernuansa kemaritiman mungkin adalah karya sastrawan sufi dari Aceh, Hamzah Fansuri, yang
hidup pada sekitar abad XVI — XVII. Syair-syairnya yang sarat dengan penghayatan tassawuf melahirkan ajaran
pantheisme yang disebut alirah Wujuddiyah. Salah satu syairnya yang berjudul Syair Perahu menggambarkan manusia
ibarat perahu yang mengarungi lautan dzat
Sejarah Maritim Indonesia I 309

Tuhan yang hanya dapat diatasi dengan tauhid dan ma'rifat. Hal yang menarik adalah bahwa syair itu kental dengan gambaran
dunia maritim. Secara harafiah diceritakan bahwa pelaut atau pedagang yang berlayar hams menguasai teknik dan metode
pelayaran agar tidak tersesat atau tenggelam. Dalam syair yang lain yaitu Syair Ran Tongkol, Hamzah Fansuri menggambarkan
manusia sebagai mikrokosmos dan Tuhan adalah makrokosmos. Tuhan dilambangkan sebagai air, sedangkan manusia, pada
ciptaan pertama dilambangkan sebagai ikan tongkol, yaitu Nur Muhammad (celestial light) yang bemyawa dengan ruh Tuhan,
selalu berusaha menyatu dan lebur dalam dhat dan wujud Tuhan. Ini tampak jelas dari sebuah bait dari Syair Ran Tongkol
sebagai berikut:

Tinggalkan ibu dan bapai


Supaya dapat air kaurasai
Jalan mutu terlalu 'Ali
Itulah ilmu ikan sultani.69

Berbagai karya sastra masa lulu menunjukkan bahwa sebagian masyarakat kepulauan Nusantara adalah masyarakat
maritim yang melahirkan kerajaan-kerajaan maritim. Satu di antara karya sastra tersebut adalah Silsilah Melayu dan Bugis dan
Sekalian Raja-rajanya yang disusun pada tahun 1865 oleh Raja Ali Al-Haji, seorang bangsawan sastrawan Riauw-Lingga
keturunan Melayu-Bugis. Meskipun baru ditulis pada abad XIX namun naskah tersebut menguraikan silsilah raja-raja Melayu-
Bugis sejak abad XVII dan sebelumnya, serta mengisahkan dinamika tokoh-tokoh Bugis dari Sulawesi Selatan yang berekspansi
ke berbagai daerah lain melalui jaringan pelayaran. Sangat menarik dalam karya ini bahwa pada abad-abad sebelum abad XIX
telah terjadi komunikasi, ekspansi, dan aliansi antar berbagai suku bangsa di Indonesia yang demikian kental. Sebagai contoh,
raja-raja di Kalimantan Barat adalah keturunan raja Jawa, Bugis, dan Arab dengan penduduk setempat, seperti tampak pada
petikan Silsilah Melayu sebagai berikut:
......maka tersebutlah salasilah keturunan raja-raja di negeri Mempawa, yang termasuk kepada raja-raja Tanah Jawa
yang
Komunikasi Lintas Budaya dan Perkembangan Budaya Maritim
310
sebagai Fondasi Integritas Bangsa

masuk keturunan raja-raja Sukadana, dan Matan, dan Simpang,

dan masuk juga kepada raja-raja di sebelah Kapuas...........70

Pada bagian lain dari karya ini menunjukkan betapa semangat suku Bugis untuk menjelajah Nusantara dengan kepiawaiannya berlayar
dan berperang, membangun aliansi-aliansi politik dengan penguasa lokal di kerajaan Malaka dan Melayu Riauw, seperti digambarkan dalam
dua kutipan berikut ini:

..................Syandan tiada berapa lamanya Opu Daeng Rikala duduk

di negeri Bone, maka is pun masuk meng(h)adap Arung Pone seraya is berdatang sembah: "Adapun yang seperti adinda serta anakanda-
anakanda sekalian ini jikalau ada ampun kumia, maka adinda hendak bermohon pergi mengembara mengadu tuah ke

sebelah barat ..............., supaya boleh menjadi masyhur nama raja-


raja Bugis di tempat itu".7'

Terjemahan:

...................Maka Opu Daeng Rikala beserta anak-anaknya sekalian

pun berlayarlah ke Tanah Melayu, dan Opu Daeng Bisaya pun pergilah menghantar baginda itu hingga di pelabuhan

Betawi............Syandan baginda berlayar itu jatuh ke Pulau Siantan


maka baginda pun naiklah ke darat tinggal di rumah nachoda Alang orang Bugis.Kemudian tiada berapa lamanya Opu Daeng Parani
(anak Daeng Rikala) diberi bini oleh baginda dengan
anaknya nachoda Alang itu.............maka baginda pun berlayar pula

dengan sekalian anak-anaknya itu jatuh ke negeri Melaka................

Maka Opu Daeng Parani pun dapat anak lagi seorang perempuan...

Maka diberinya nama Daeng Tijah.................Daeng Tiah inilah yang

dibuat bini oleh Yamtuan Raja Alam di negeri Siak adanya.............72

Karya sastra lain yang mendeskripsikan tumbuhkembangnya kerajaan maritim adalah Sedjarah Melaju, sebuah karya sastra sejarah,
meskipun fakta sejarah yang terkandung di dalamnya tidak seluruhnya akurat. Karya ini disadur dari naskah-naskah Melayu lama oleh Tun Seri
Lanang gelar Datuk Bendahara Paduka Raja kira-kira pada tahun 1612 M, atas perintah Sultan Johor untuk mengenang kebesaran kerajaan
Malaka (abad XV — XVI) sebelum ditaklukkan Portugis pada 1511. Selain
Sejarah Maritim Indonesia I 311

itu karya ini juga bertujuan untuk memelihara dan menghidupkan/ mewariskan tradisi budaya masyarakat Melayu. 73

Sedjarah Melaju (SM) mencerminkan betapa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara adalah kerajaan laut. Kisah SM bermula dari
sebuah kerajaan dari Bukit Siguntang Mahameru di Palembang, ketika rajanya yaitu Sang Supraba yang beraliansi dengan penguasa
pedalaman di Bukit Siguntang bernama Demang Lebar Daun, berlayar menjelajah pulau-pulau (Tanjung Pura, Bintan) kingga ke Singapura. Ia
mendirikan kerajaan Singapura (Tumasik) yang diperintah oleh anaknya yaitu Teribuana. Pada gilirannya anak Teribuana berpindah ke
pantai barat Semenanjung Malaka dan mendirikan kerajaan Malaka. Ia menobatkan cucunya yang bernama Iskandar Zulkarnain atau
Iskandar Syah sebagai raja Malaka yang pertama. 74 Aktivitas kemaritiman raja-raja ini dapat dilihat pada berbagai cuplikan SM sebagai
berikut:

............ Setelah itu maka Sang Supraba pun berangkatlah, kenaikan

baginda lantjang emas (perahu layar sebagai kapal perang),

pebudjangan dan permaisuri di lantjang perak ....................... maka


tumpatlah rupa laut oleh daripada kebanjakan perahu orang yang

mengiring baginda itu.........75

Kerajaan Singapura yang kemudian bersambung menjadi kerajaan Malaka perlu mempertahankan kedaulatannya terhadap kerajaan-
kerajaan yang lebih besar seperti Ivlajapahit di sebelah timur dan Siam (Thailand) di sebelah barat laut. Untuk itu is mencari dukungan
kepada kekaisaran Cina sehingga Malaka tetap eksis sebagai kerajaan merdeka sampai Portugis mengalahkannya pada tahun 1511.
Bagaimana SM mensiasati realita besarnya kekuatan Majapahit atas Singapura dapat dilihat dari kutipan berikut ini:

................maka Sang Radjana Tapa pun (bendahara) berkirim surat

je Djawa, demikian bunyinya: "Djikalau betara Madjapahit hendak menyerang Singapura, hendaklah segera datang, karena hamba belot
dari dalam kota." Setelah betara Madjapahit mendengar bunji surat itu, maka baginda pun segera menyuruh berlengkap tiga ratus buah
jung, lain daripada itu kelulus, pelang, jongkong tiada terbilang lagi; ada dua keti ra'yat Djawa jang pergi itu; maka sekalianpun
berlayarlah. Telah datang ke Singapura , maka
312 Komunikasi Lintas Budaya dan Perkembangan Budaya Maritim

sebagai Fondasi Integritas Bangsa


peranglah dengan orang Singapura.Telah Singapura sudah
alah, maka Djawa pun kembalilah ke Madjapahit...."

Karya sastra yang paling sarat dengan kehidupan maritim adalah I La Galigo (ILG), sebuah kronik masa pra Islam abad
XVI berisi mitologi asal-usul raja-raja Bugis, termuat dalam kronik kerajaan-kerajaan Luwu, Bone, Sopeng, dan Silsilah Raja-
raja Melayu-Bugis di Riau. Selain sebagai sastra tulis yang indah dan kadang dianggap sakral, ILG juga dikenal sebagai sastra
lisan yang justru lebih populer, karena dikenal lebih luas, yaitu di antara masyarakat Toraja, Enrekang, Mandar, Walio
(Sulawesi Tengah), Kaili (Sulawesi Tenggara), dan Gorontalo (Sulawesi Utara); meskipun dalam sastra lisan ILG menjadi cerita
yang sangat beragam, berkembang dengan variasi daerahnya, yang berbeda satu dengan lainnya. 77
Pada intinya cerita ILG adalah mengenai tokoh Sawerigading, anak raja Luwu yang dipercaya sebagai tanah asal suku
Bugis. Ceritera bermula pada waktu para dewa di Kayangan bermufakat untuk mengisi kawa (dunia tengah = peretiwi) dengan
mengirim Batara Guru anak Potatoe di langit dan We Nyili'timo anak Guru Silling di peretiwi untuk menjadi suami isteri dan
menjadi penguasa di peretiwi. Mereka berputra Batara Lattu, yang kelak menggantikan ayahnya menjadi raja di Luwu. Dari
perkawinan batara Guru dengan isteri-isteri lain (para pengiringnya) lahir beberapa anak yang kelak diangkat menjadi
penguasa-penguasa di di daerah-daerah Luwu.
Setelah Batara Lattu cukup dewasa, is dikawinkan dengan We Datu Sinnging. Dan perkawinan ini lahir dua anak kembar,
yang laki-laki bernama Sawerigading dan yang perempuan bernama We Tinriabeng. Keduanya dipisah agar tidak saling jatuh
cinta dan menikah. Namun Sawerigading akhirnya bisa bertemu dengannya dan ingin mengawininya. Namun We Tinriabeng
menolak dan membujuknya agar menikah dengan putri raja di Cina yang mirip dirinya, bernama I We Cudai. Akhirnya
Sawerigading bersedia berlayar ke Cina, meminang I We Cudai untuk menjadi isterinya. Sawerigading tinggal di Cina dan
mempunyai anak bernama I La
Galigo. Sawerigading mempunyai tiga anak laki-laki.
Sejarah Maritim Indonesia I 313

Setelah besar I La Galigo kembali ke Luwu dan beberapa kali menikah, berperang, dan punya anak. Dikisahkan I We Cudai ingin
menengok mertuanya di Luwu, dan Sawerigading akhimya mengantarkan keluarganya ke Luwu. Sementara itu para keturunan dewa yang
semula turun di kawa (bumi) harus kembali ke langit atau. Sawerigading dan isterinya ternyata diminta untuk menjadi raja di peretiwi.

Karya ILG menggambarkan kehidupan maritim dari masyarakat Sulawesi Selatan, seperti berlayar, berdagang, dan berperang yang
menjadi kegiatan utamanya. Tradisi membuat kapal dan upacara pembuatan kapal juga digambarkan, seperti terlihat dari cuplikan di bawah
ini:

............................. Setelah berada kembali dalam kapal, Batara Lattu

memberitahukan-lah bahwa Sawerigading memperoleh sebagai

hadiah kapal dan harta. Sinaungtoja sebenarnya


mengatakan, bahwa Walinreng (nama kapal) akan tiba di bumi

tujuh hari tujuh malam kemudian, akan tetapi............kapal tersebut

telah tiba, lengkap dengan segala peralatannya.............Diadakanlah

perjamuan besar, para puang mempersembahkan sesajen dekat kapal, menaburkan beras, menyanyikan syair yang bersahut-

sahutan.........Sawerigading memberikan nama kepada beberapa buah kapal yang lain dan menyebutkan kepada siapa kapal-kapal itu
akan diberikan.78

Sejauh diketahui, sastra maritim tidak ditemukan di Jawa. Mungkinkah hal itu disebabkan karena kekuatan maritim di Jawa telah
dipatahkan oleh VOC pada pertengahan abad XVII? Yang ada justru mitos tentang Nyi Roro Kidul (Ratu Pantai Selatan), penguasa dari sebuah
kerajaan gaib yang terletak di laut selatan Jawa atau di Samodera Hindia. Konon Nyi Roro Kidul menjadi sekutu raja-raja Mataram Islam sejak
raja yang pertama yaitu Panembahan Senopati. Sebagai isteri' setiap raja Mataram, Nyi Roro Kidul siap membantu menaklukkan musuh
Mataram. Kiranya ini merupakan sebuah counter image justru ketika Mataram tidak lagi bisa menguasa lautan.79
314 Komunikasi Lintas Budaya dan Perkembangan Budaya Maritim

sebagai Fondasi Integritas Bangsa

Catatan :
' Nicolas Tarling, TheCambridge History of Southeast Asia. Vol I, From
Early limes to c 1800 (Cambridge: Cambridge University Press, 1992),h1m. 185.
2
Yusuf Sou'yb, Pelaut Indonesia menemukan benua Amerika sebelum Ch Columbus (Medan: Rimbow, 1987).
3
1 mil laut= 1852 meter.

D.H. Burger, Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia I (Jakarta: Pradnyaparamita, 1975), hlm. 29.
5
Robert Cribb, Historical Atlas of Indonesia (Honolulu: Univrsity of Hawaii Press, 2000), him. 30.
6
Lihat W.F. Wertheim, Indonesian Society in Transition: A Study of Social Change (The Hague: Van Hoeve, 1969)1-8. Sartono Kartodirdjo, Marwati
Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia II (Jakarta: Balai Pusataka, 1977), 2.
7
Tentang peranan kegiatan perdagangan dalam perkembangan kebudayaan lihat misalnya P.D. Curtin, Cross-Cultural Trade in World History
(Cambridge: Cambridge University Press, 2002), hlm. 1-38. Lihat juga J.H. Bentley, Old World Encounters: Cross-Cultural Contaxts and
Exchangein Pre-Modern Times (New York-Oxford: Oxford University Press, 1993).
8
J.C. van Leur, Indonesian Trade and Society (The Hague: Van Hoeve, 1955), 89-90. Lihat juga O.W. Walter, Early Indonesian Commerce: A
Study of the Origin of Srivijaya (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1967), 31.
Sartono Kartodirdjo, dkk., Sejarah Nasional Indonesia II (Jakarta: PN
Balai Pustaka, 1984), 6. Lihat juga D.G.E. Hall, Sejarah Asia Tenggara.
Terjemahan I.P. Soewarsha (Surabaya: Usaha Nasional, 1988), 17-18.

10
Sartono Kartodirdjo, dkk., Sejarah Nasional Indonesia II, hlm. 9. " D.G.E. Hall, Sejarah Asia Tenggara, hlm. 14.
12
Sartono Kartodirjo, dkk., Sejarah Nasional Indonesia II, 11-12. lihat juga O.W. Wolters, Early Indonesian Commerce, him. 38.
Sejarah Maritim Indonesia 315

13
O.W. Wolters, Early Indonesian Commerce: A Study of the Origin of Srivijaya (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1967), hlm_ 39.
14
Masalah Islamisasi di Indonesia dapat dibaca di banyak buku, antara lain J.C. van Leur, Indonesian Trade and Society (The Hague/Bandung: W. van
Hoeve, 1955), hlm. 89-116; B. Schrieke, Indonesian Sociological Studies I ('s Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1959), him_ 7-36; Hi. de Graaf, De Eerste
Moslimse Vorstendommen op Java's Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1974); Denys lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya (Jakarta: Gramedia, 1996),
hlm. 84-242; R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia III (Yogyakarta: Kanisius, 1981).
15
Marwati Djoened Poesponegoro, dkk. Sejarah Nasional Indonesia III (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hlm. 2-3.
16
Mengenai hasil kebudayaan Islam Indonesia dapat dibaca antara lain dalam Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan III

Marwati Djoened Poesponegoro, dkk., Sejarah Nasional Indonesia hlm. 111.


0
' Haris Sukendar. Perahu Tradisional Nusantara. (Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Dirjen Kebudayaan Depdikbud, 1999), hlm. 29.
19
A.B. Lapian, Sejarah Nusantara Sejarah Bahari (Jakarta: Pak_ Sastra Ul, 1992), hlm. 11.

Haris Sukendar. Perahu Tradisional Nusantara. (Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Dirjen Kebudayaan Depacbud, 1999), hlm. 29.
21
Nia Kurnia Sholihat Irfan, Kerajaan Sriwijaya Pusat Pemerintahan dan Perkembangan-nya (Jakarta: Giri Mukti Pasaka, 1983), hlm_ 67.

22 Poesponegoro dkk., Sejarah Nasional Indonesia III, him_ 525.


23
Poesponegoro, dkk., Sejarah Nasional Indonesia III, him_ 113_

' C.C. Macknight, 'The Study of Praus in the Indonesian Archipelago, dalam The Indian Ocean in Focus. International Conference on Indian Ocean
Studies (Australia: Perth Western Australia, 1980), him. 9_ Untuk memberi gambaran yang lebih rinci lihat pula Poesponegoro, dkk, Sejarah Nasional
Indonesia III, hlm. 115.

25 Haris Sukendar. Perahu Tradisional Nusantara. (Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Dirjen Kebudayaan Depdikbud, 1999)
Komunikasi Lintas Budaya dan Perkembangan Budaya Maritim
316
sebagai Fondasi Integritas Bangsa
hal 83. Lihat juga Adrian Horridge. The Prahu: Tradisional Sailing Boat of Indonesia. (Oxford: Oxford University Press, 1981), him. 5.
26
Armando Cortesao, Summa Oriental of Tome Pires, 2'd Series, vol. 89 and 90 (London: Hakluyt Society, 1944), him. 188.
27
Poesponegoro, dkk., Sejarah Nasional Indonesia III, him. 119.
28
Poesponegoro, dkk., Sejarah Nasional Indonesia III, him. 120.
29
Singgih Tri Sulistiyono, The Java Sea Network: Patterns in the Development of Interregional Shipping and Trade in the Process of National Economic
Integration in Indonesia, 1870-1970. Proefschrift (Leiden University, 2003), him. 41.

Achadiati S, Sejarah Peradaban Manusia, Zaman Sriwijaya (Jakarta: Gita Karya, ttt), hlm. 9.

Marwati Djoened Poesponegoro, dkk., Sejarah Nasional Indonesia II, hlm. 103.
32
Marwati Joened Poesponegoro, dkk., Sejarah Nasional Indonesia III, hlm. 104.

" Tim Angkatan Laut Dephankam, Jiwa Bahari Warisan Nenek Moyang Bangsa Indonesia (Dephankam Angkatan Laut: Jakarta, 1973), hlm. 47.

' Kenneth R. Hall, Maritime Trade and State in Eraly Southeast Asia (Honolulu: University of Haway Press,1985), hlm. 78-81.

Poesponegoro, dkk., Sejarah Nasional Indonesia III, him. 105-106.


36
B. Schrieke, Indonesian Sociological Studies I, (Bandung: Van Hoeve, 1959), hlm. 18-20.
37
Poesponegoro, dkk., Sejarah Nasional Indonesia III, him. 108.
38
Frank Broeze, Brides of the Sea: Port Cities of Asia from the 16m-20th

Centuries (Australia: New South Wales University Press, 1989), him. 0102.

" Poesponegoro, dkk., Sejarah Nasional Indonesia III, him. 107-108. ° Tim Angkatan Laut Dephankam, Jiwa Bahari, hlm. 76.
4

41
Achadiati, Peradaban Manusia Zaman Sriwijaya, him. 15-16.

42 Soeroto, Sriwijaya Menguasai Lautan (Bandung: Sanggabuwana,1976), hlm. 15.


43
Soeroto, Sriwijaya Menguasai Lautan, him. 18-22.
Sejarah Mariam Indonesia I 317

" Keneth R. Hall, Maritime Trade and State Development in Early Southeast Asia (Honolulu: University of Hawaii, 1985), him. 90-93.
45
Tim Angkatan Laut Dephankam, Jiwa Bahari, him. 76.
46
Siamet Mulyana, Negarakretagama dan Tafsir Sejarahnya (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1979), him. 148.

' Tim Angkatan Laut Dephankam, Jiwa Bahari, him. 90.


48
H.J. van den Berg, dkk., Dan Panggung Peristiwa Sejarah Dunia / (Jakarta: Groningen, 1952), him. 383-385.

' Tim Angkatan Laut Dephanka.m,Jiwa Baharz, him. 105.

" Chusnul Hayati et.al. Peranan Ratu Kalinyamat di Jepara pada Abad XVI (Jakarta: Dirjen Jarahnitra Depdiknas, 1999), him. 74 — 76.
51
Prof. Dr. Ph. O.L. Tobing dari Universitas Hasanuddin beserta tim telah menterjemahkan dan mengkaji hukum peiayaran dan perdagangan Amanna
Gappa dari bahasa Bugis ke bahasa Indonesia dari naskah-naskah lontara. Naskah-naskah yang ditemukan khusus bidang pelayaran/perdagangan
berjumiah 18 buah. Dart jumlah tersebut dipilih lontara no. 107 untuk diterjemahkan dan diterbitkan pada tahun 1961. Lihat Ph. 0. L. Tobing, Hukum
Pelayaran dan Perdagangan Amanna Gappa (Makassar: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan tenggara, 1961), him. 18-23.

52 Tobing, Hukum Pelayaran dan Perdagangan Amanna Gappa, him. 44-45.

53
Tobing, Hukum elayaran dan Perdagangan Amanna Gappa, hlm. 44. " Tobing, Hukum elayaran dan Perdagangan Amanna Gappa, him. 45.
55
Tobing, Hukum elayaran dan Perdagangan Amanna Gappa, him.51.

56 Tobing, Hukum elayaran dan Perdagangan Amanna Gappa, hlm. 26, P2.
57
Hasjmy, Iskandar Muda Meukuta Alam, him. 83.
58
Denys Lombard, Kerajaan Aceh Jaman Sultan Iskandar Muda. Terjemahan Winarsih Aritin (Jakarta: Baiai Pustaka, 1986), him. 135-140, 147-170.
59
Lombard, Kerajaan Aceh Jaman Sultan Iskandar Muda, hlm. 136-40.
60
Pierre-Yves Manguin, 'The Merchant and the King: Local Perceptions of an Ancient Maritime Trade and the Foundation of Harbour State in Insular
Southeast Asia', dalam Urbanization and State Formation in Early Southeast Asia (AAS Meeting March, 1989), him. 69.
Komunikasi Lintas Budaya dan Perkembangan Budaya Maritim
318
sebagai Fondasi Integritas Bangsa
61
A.B. Lapian, Sejarah Nusantara Sejarah Bahari, hlm. 28.
62
Poesponegoro, dkk., Sejarah Nasional Indonesia III, hlm. 112.
63
Achadiati, Peradaban Manusia Zaman Sriwijaya, hlm. 24.
64
Marwati Djoened Poesponegoro, dkk., Sejarah Nasional Indonesia III, hlm. 287.

65 Anthony Reid, Southeast Asia in The Age of Commerce 1450-1680 (New Haven/ London: Yale University Press, 1988), hlm. 68.
66
Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce, hlm. 1988, 7.
67
Marwati Djoened Pusponegoro, Sejarah nasional Indonesia III, hlm. 79-81, 84.
68
Bintoro Tjokroamidjojo, Sistem Penyelenggaraan Negara Atas Dasar Undang-undang dasar republik Indonesia Tahun 1945 dan Perubahannya
(Jakarta: Lembaga Administrasi Negara, 2002), hlm. 98.
68
Baroroh Baried, `Syair Ikan Tongkol. Paham TassawufAbad XVI — XVII di Indonesia' dalam T. Ibrahim Alfian et. al. (ed.), Dari babad dan Hikayat
sampai Sejarah Kritis (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1987), hlm. 5-8.
7
° Arena Wati, Raja AU Al-Haji. Silsilah Melayu dan Bugis (Kuala Lumpur: Pustaka Antara, 1973), hlm. 1-18. Lihat juga Barbara watson Andaya dan
Virginia Matheson, 'Islamic Thought and malay Tradition: the Writing of Raja Ali haji of Riauw (ca. 1809 — ca. 1870) ' dalam Anthony Reid & David
Marr (eds.), Perceptions oh the Past in Southeast Asia (Singapore: Asian Studies Association of Australia Heinemann, 1979), hlm. 108-128.

71
Arena Wati, Raja Ali Al-Haji, hlm. 29-30.
72
Arena Wati, Raja Ali Al-Haji, hlm. 40.

" Sedjarah Melaju, terbitan oleh Abdullah, diterbitkan ulang oleh T.D. Situmorang, A.A. Teeuw, dan Amal Hamzah (Djakarta: Djambatan, 1958), 1-3.
74
Sedjarah Melaju, 22-40.
73
Sedjarah Melaju, 31.
76
Sedjarah Melaju, hlm. 77-78.
76
Selunth isi kisah ILG dapat dibaca dalam R.A. Kern, I La Galigo (Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 1993).
Sejarah Mariam Indonesia 1 319

" Seluruh isi kisah ILG dapat dibaca dalam R.A. Kern, ILa Galigo (Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 1993).
78
R.A. Kern, ILa Galigo, hlm. 172.

Meinsma, diperbarui Olthof (ed.), Babad Tanah Jawi ('s Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1942), hlm. 77-79.
320 Komunikasi Lintas Budaya dan Perkembangan Budaya Maritim

sebagai Fondasi Integritas Bangsa


Sejarah Maritim Indonesia I 321

BAB VII
PENUTUP

Dari uraian pada bab-bab terdahulu dapat diambil garis penting bahwa aktivitas pelayaran bangsa Indonesia sudah
setua bangsa Indonesia itu sendiri. Sejak jaman prasejarah, penduduk kepulauan Nusantara merupakan pelayar yang
sanggup mengarungi lautan lepas. Laut dan selat yang membentang di hadapan mereka tidak dipandang sebagai
penghalang, namun justru sebagai penghubung antara pulau-pulau di Nusantara sehingga laut berfungsi sebagai media
komunikasi dan interaksi sosial di antara mereka.
Perahu-perahu bercadik nenek moyang bangsa Indonesia yang berlayar ke arah timur telah mencapai pulau Paskah di
Samudera Pasifik dengan berlayar dan satu kepulauan ke kepulauan yang lainnya. Ke arah barat, nenek moyang bangsa Indonesia
telah menapai Madagaskar, sedangkan ke selatan mereka telah berlayar sejauh perairan Selandia Baru. Dengan demikian nenek
moyang bangsa Indonesia telah melakukan pelayaran perahu dengan jangkauan jarak beribu-ribu mil.
Proses migrasi secara besar-besaran itu telah memakan waktu dan sekitar tahun 4.500 SM hingga abad XII Masehi.
Gelombang migrasi Austronesia dari kepulauan Indonesia masih berlangsung ketika kerajaan Sriwijaya berjaya di kawasan
perairan Asia Tenggara, ketika para
322 Penutup

pedagang Sriwijaya melakukan perdagangan dengan pantai timur Afrika. Jangkauan diaspora bangsa Austronesia yang
mencakup separoh lebih lingkaran bumi ini barangkali merupakan migrasi manusia yang paling spektakuler di dunia pada era
pramodern. Memang belum diketahui secara mendalam kontak antara keturunan Austronesia dan Melanesia yang mendiami
sebagian kawasan Indonesia bagian timur. Namun demikian berdasarkan ciri-ciri fisiologis sebagian besar bangsa Indonesia
maka dapat dikatakan bahwa tentunya telah terjadi percampuran genetis antara orang-orang Austronesia dan Melanesia,
misalnya kulit yang relatif gelap, rambut relatif ikal, dan sebagainya.
Menjelang abad masehi, ketika perdagangan antara dunia timur dan dunia barat mulai berkembang, orang-orang
Nusantara sudah terbiasa dengan aktivitas pelayaran sehingga nenek moyang bangsa Indonesia segera dapat mengambil
peran penting dalam kegiatan maritim itu. Kegiatan maritim tersebut telah menyebabkan munculnya berbagai titik pusat
perdagangan di jalur-jalur perdagangan internasional seperti di daerah pantai di pulau Sumatra, Jawa, dan Kalimantan.
Perdagangan ini telah menghubungkan pusat-pusat kebudayaan kuno yang sangat penting di kedua benua itu, yang pada
akhimya juga melibatkan bangsa Indonesia. Perkembangan inilah yang menjadi dasar bagi perkembangan ekonomi dan
kebudayaan serta politik di Nusantara. Selama berabad-abad telah muncul berbagai pusat kebudayaan, ekonomi dan politik
yang silih berganti dengan menampakkan peran penting hubungan-hubungan lewat kegiatan kemaritiman sebagai wahana
komunikasi dan interaksi lintas budaya yang menjadi dasar bagi proses `menjadi Indonesia' dan integrasi bangsa Indonesia di
masa selanjutnya.
Sejak awal abad masehi bangsa Indonesia sudah terlibat secara aktif dalam pelayar-an dan perdagangan internasional
antara dunia Barat (Eropa) dengan dunia Timur (Cina) yang melewati selat Malaka. Bahkan pada periode jauh sebelumnya,
penyebaran nenek moyang bangsa Indonesia sudah mencapai kawasan antara Himalaya dan pulau Paskah serta antara
Madagaskar dan Hawaii. Dalam hal ini bangsa Indonesia bukan menjadi objek aktivitas perdagangan itu, tetapi telah mampu
menjadi subjek yang menen-tukan. Suatu hal yang bukan kebetulan jika berbagai daerah di Nusantara memproduksi berbagai
komoditi dagang
Sejarah Maritim Indonesia I 323

yang khas agar dapat ambil bagian aktifdalam aktivitas pelayaran dan perdagangan itu. Bahkan pada jaman kerajaan
Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit, lalu-lintas pelayaran dan perdagangan dunia di kawasan kepulauan Indonesia bagian barat
dapat dikuasainya.
Pada masa selanjutnya, yaitu pada jaman kerajaan-ker-ajaan Islam, ketika perdagangan rempah-rempah sangat ramai,
jalur-jalur perdagangan antar pulau di Indonesia misalnya antara Sumatera -Jawa, Jawa-Kalimantan, Jawa-Maluku, Jawa-
Sulawesi, Sulawesi-Maluku, Sulawesi-Nusa Tenggara, dan sebagainya, menjadi bagian yang inheren dalam konteks perda-
gangan intemasional. Bahkan ada pendapat bahwa negeri Cina bukan tujuan utama perdagangan intemasional, tetapi In -
donesia. Hal ini berkembang lebih pesat lagi ketika orang-orang Eropa mulai datang sendiri ke Indonesia untuk mencari
komoditi rempah-rempah. Indonesia mampu bertindak sebagai besi semberani yang menarik para pedagang dari seluruh
penjuru dunia. Sebagai konsekuensinya jalur perdagangan dunia yang menuju ke Indonesia bukan hanya rute tradisional
lewat selat Malaka raja tetapi juga rute yang mengelilingi benua Afrika kemudian menyeberangi Samudera Hindia langsung
menuju Indonesia. Di samping itu bangsa Spanyol dengan gigihnya juga berusaha mencapai Indonesia dengan menyeberangi
samudera Atlantik dan Pasifik.
Dari sekian banyak rute pelayaran dan perdagangan di perairan Nusantara, rute pelayaran dan perdagangan yang
melintasi Laut Jawa memiliki posisi yang sangat penting. Hal itu mudah dipahami karena Laut Jawa terletak di tengah-tengah
kepulauan Indonesia. Laut Jawa hanya memiliki ombak yang relatifkecil dibandingkan dengan laut-laut lain yang ada di
Indonesia dan sekitarnya seperti Laut Cina Selatan, Samudera Hindia, Samudera Pasifik, Laut Arafuru, Laut Banda, dan
sebagainya sehingga cocok untuk pelayaran dan perdagangan. Di samping itu Laut Jawa memiliki kedudukan yang strategis
dalam jalur lalu-lintas perdagangan dunia yang ramai antara Malaka - Jawa Maluku. Dalam konteks itu Laut Jawa juga
berfungsi sebagai jembatan penghubung pusat-pusat dagang di sepanjang pantai yang berkembang karena pelayaran dan
perdagangan. Dalam hal ini kota-kota dagang yang berkembang di kawasan Laut Jawa antara lain Banten, Batavia,
324 Penutup

Cirebon, Semarang, Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Surabaya, Makassar, dan sebagainya.
Pelayaran dan perdagangan Laut Jawa juga mencakup kota-kota di kawasan lain seperti Belawan Deli, Tanjung Pinang
(Riau), Malaka, Singapura, Ternate, Ambon, dan kawa-san Indonesia Timur lainnya. Jadi dalam sejarah Indonesia pelayaran
dan perdagangan Laut Jawa mencakup pelayaran dan perdagangan di seluruh Nusantara. Ini berarti bahwa Laut Jawa
merupakan inti atau core dari aktivitas pelayaran dan perdagangan di Nusantara. Jika orang berbicara tentang pelayaran dan
perdagangan di Nusantara, maka tidak dapat melepaskan diri dan peranan yang dimainkan oleh Laut Jawa. Dalam konteks ini
Laut Jawa telah berperan sebagai jembatan dan katalisator dalam jaringan pelayaran dan perdagangan di seluruh Nusantara
baik mencakup pulau Jawa, Sumatra, Kali-mantan, Sulawesi, kepulauan Nusatenggara, bahkan kepulauan Maluku, pulau Irian
dan pulau-pulau kecil lainnya.
Selain di Kawasan Laut Jawa, kekuatan-kekuatan maritim juga bermunculan di dua kawasan laut yang lain yaitu Kawasan
Selat Malaka dan Kawasan Laut Maluku. Kawasan Selat Malaka yang sejak dahulu memegang posisi yang sangat penting dalam
perdagangan internasional telah merangsang munculnya berbagai kekuatan maritim untuk mendominasi kawasan ini, seperti
kerajaan Sriwijaya, Melayu, Samudera Pasai, Malaka, Aceh, Johor, dan sebagainya. Sementara itu di Kawasan Laut Maluku, daya
dorong utama yang menyebabkan munculnya berbagai kekuatan maritim di kawasan ini adalah perdagangan rempah-rempah
yang menjadi daya tarik utama bagi berkembangnya perdagangan internasional. Berbagai kerajaan maritim yang muncul di
kawasan ini antara lain kerajaan Ternate, Tidore, Bacan, Jailolo, dan sebagainya. Sudah barang tentu beberapa di antara
kekuatan-kekuatan maritim di berbagai kawasan laut ini memiliki hubungan-hubungan tertentu baik di bidang politik maupun
perdagangan.
Kejayaan kerajaan-kerajaan maritim di Nusantara pada masa prakolonial menghadapi tantangan yang berat ketika
datang bangsa-bangsa Barat. Mereka menerapkan sistem perdagangan yang disertai dengan kekerasan. Perdagangan
dilakukan di bawah moncong meriam. Pada akhirnya kekuatan-kekuatan kolonial, khususnya Belanda, berhasil
Sejarah Maritim Indonesia I 325

mendominasi kekuatan maritim masyarakat pribumi. Ada kecenderungan masyarakat pribumi didorong untuk berpindah dan
dunia laut menuju dunia daratan. Dengan demikian telah terjadi perubahan pengalaman historis dari masyarakat pelaut
menjadi masayarakat petani.
Dari substansi sejarah maritim yang secara garis besar telah diungkapkan dalam buku ini dapat ditemukan adanya
akar-akar historis proses integrasi bangsa selama periode prakolonial dari perspektifsejarah maritim. Dengan penelitian
kembali sejarah proses integrasi di kepulauan Indonesia pada masa prakolonial, pelajaran bisa diambil untuk memperkaya
wacana dalam pengembangan model komunikasi lintas budaya. Dalam hubungan itu, mainstream yang menguasai alur cerita
sejarah maritim adalah proses untuk menjadi Indonesia (process to be Indonesia) atau dengan kata lain proses-proses
kemasyarakatan yang mangantarkan kepada terwujudnya integrasi nasional Indonesia. Sudah barang tentu di dalam proses
itu peristiwa-peristiwa yang terjadi sangat bervariasi, berupa kompetisi, konflik, dan akomodasi. Proses-proses itu sebetulnya
sudah dimulai dari jaman prasejarah ketika gelombang kebudayaan besar dunia secara silih berganti memasuki Nusantara
dan saling berinteraksi antara satu dengan yang lainnya, sejak penyebaran kebudayaan batu dan perunggu, yang selanjutnya
disusul dengan gelombang penyebaran agama Hindu, Budha dan Islam. Kebudayaan yang bermacam-macam ini selanjutnya
berinteraksi menurut irama masing-masing sehingga tercipta wajah masyarakat Indonesia sebagaimana yang bisa disaksikan
sekarang ini.
Unsur yang paling penting dalam penonjolan alur dan proses sejarah nasional adalah keseimbangan antara unsur
ekspansi (perkembangan) dan integrasi dalam setiap fenomena dan proses historis. Segi ekspansi banyak menyangkut soal
perkembangan dan kemajuan yang dicapai oleh suatu komunitas tertentu baik sebagai kesatuan geografis, kultural maupun
kesatuan politis. Aspek perkembangan dan kemajuan itu bisa dilihat dari muncul, berkembang, dan runtuhnya kesatuan-
kesatuan politik yang menyebar di wilayah kepulauan Indonesia, baik dalam kurun yang bersamaan maupun dalam waktu yang
bergantian. Dimensi perkembangan suatu komunitas dari masyarakat Indonesia merupakan prestasi tertinggi yang dicapai oleh
komunitas
326 Penutup

yang bersangkutan pada periode tertentu. Dipandang dari perspektif sejarah nasional, hal itu merupakan puncak-puncak
prestasi lokal yang perlu ditempatkan sebagai prestasi dan aset nasional. Dalam konteks ini memang betul bahwa jika kita
berbicara mengenai puncak-puncak kemegahan maka di dalamnya akan termasuk pula masa-masa kemunduran suatu
komunitas dan kesatuan politik di Nusantara seperti yang terjadi pada kerajaan Mataran Hindu, Kediri, Singhasari, Majapahit,
Sriwijaya, Malaka, Aceh, Palembang, Banjarmasin, Ternate, Tidore, Gowa, dan lain-lain.
Penonjolan aspek ekspansi dalam sejarah Indonesia tanpa
dimbangi dengan penonjolan aspek integrasi hanya akan melahirkan sejarah nasional Indonesia yang hanya merupakan mozaik
belaka. Paradigma penulisan yang demikian ini akan mengesankan bahwa sejarah nasional Indonesia merupakan kumpulan dari
sejarah lokal dan/atau
kumpulan sejarah komunitas dan suku-suku bangsa di Nusantara. Sudah barang tentu model yang demikian ini bukan
merupakan sejarah nasional yang ideal. Pada saat-saat disintegrasi sekarang ini, komunitas dan/ atau daerah tertentu akan
mudah sekali mengklaim bahwa kejadian-kejadian sejarah tertentu tidak dialami oleh seluruh komunitas di Indonesia. Kerajaan
Sriwijaya misalnya, akan dipandang hanya sebagai sejarah masyarakat Sumatra raja, Majapahit sebagai sejarah orang Jawa,
Samudra Pasai sebagai sejarah masyarakat Aceh, bukan sejarah seluruh masyarakat Indonesia. Jadi persoalannya adalah
bagaimana sejarah yang berserakan yang kadang-kadang antara satu dengan lainnya tampaknya tidak ada pertautan ini bisa
disusun menjadi sejarah nasional yang terpadu sebagai sebuah senyawa. Hams diingat di sini bahwa sejarah nasional Indonesia
hendaknya merupakan suatu proses sejarah `menjadi Indonesia'. Penelitian ini membuktikan bahwa kemunculan kekuatan
tertentu dalam komunitas masyarakat Indonesia tertentu tidak dalam suatu kehampaan lingkungan sosial (social atmosphere)
dalam tataran hubungan antaretnik, namun selalu memiliki hubungan cukup intensif. Bahkan kemunculannya selalu
diprekondisikan oleh masyarakat yang berada di luarnya. Kemunculan kerajaan-kerajaan besar di Indonesia seperti Sriwijaya,
Majapahit, Demak, Aceh Makassar dan sebagainya berkaitan erat dengan perkembangan politik dan ekonomi baik di tingkat
regional maupun internasional.
Sejarah Maritim Indonesia 1 327

Penonjolan segi integrasi dalam penulisan sejarah maritim Indonesia berarti penonjolan pada proses pembentukan
jaringan (network) yang merefleksikan interrelasi di antara unsur-unsur sosial dalam masyarakat atau interkomunikasi lintas
budaya masyarakat Indonesia. Hal ini berhubungan dengan kenyataan bahwa kawasan perairan Indonesia merupakan suatu
sistem network yang terdiri dari beberapa subnetwork dari aktivitas perdagangan, politik, kebudayaan dan sebagainya. Sudah
barang tentu aktivitas ini menggunakan jalur pelayaran sebagai sarananya. Dalam hubungan itu penting untuk mengkaji rute
perdagangan dan hubungan antarpusat-pusat perdagangan (pasar), arah perdagangan, komoditi yang diperdagangkan, dan
sebagainya yang semuanya itu bisa menggambarkan sebuah jaringan yang merupakan faktor yang mendasar dari proses
integrasi. Dengan demikian jaringan ini melibatkan pusat-pusat perdagangan sebagai market place yang biasanya merupakan
kota-kota pelabuhan yang merupakan titik-titik simpul dan suatu jaringan perdagangan maritim dengan skala interregional
maupun internasional. Penelitian ini telah membuktikan bahwa sejak perdagangan internasional berkembang antara Cina dan
India dengan melewati perairan Asia Tenggara, penduduk kepulauan Indonesia segera aktif melibatkan dirinya dalam aktivitas
itu. Sejalan dengan berkembangnya permintaan (demand) komoditi dagang yang bersifat regional maupun internasional,
maka terbentuklah pola jaringan perdagangan tertentu baik yang bersifat regional maupun internasional. Jalur-jalur
perdagangan ini lahir dari kekuatan pasar yang sedang
berkembang. Meskipun demikian selalu saja terjadi bahwa kekuatan-kekuatan politik yang pada waktu itu ada di kepulauan
Indonesia mencoba untuk mengatur kekuatan pasar sesuai dengan tujuannya. Hal itu bisa dilihat dari bagaimana Sriwijaya
menundukkan pelabuhan-pelabuhan dagang yang strategis di Nusantara bagian barat, atau bagaimana usaha Kertanegara
dari Singasari dalam membentuk persekutuan suci Nusantara untuk menghadapi ekspansi militer dan ekonomi Mongol.
Kecuali itu juga tampak dari ambisi Majapahit untuk mempersatukan Nusantara dengan berbagai cara. Apapun motif yang
ada di balik ekspansi dan integrasi politik itu, jalur hubungan lintas
328 Penutup

budaya dalam masyarakat Nusantara semakin berkembang dengan dukungan entitas politik tersebut.
Meskipun secara silih berganti, kekuatan-kekuatan politik juga saling berkonflik dan berakomodasi, namun ada saatnya di
mana gelombang pengaruh kebudayaan dan agama mempersatukan mereka. Kebudayaan dan agama menjadi semacam
identitas dan komunitas yang mungkin secara etnik berbeda. Hal ini bisa dilihat dan proses penyebaran agama Hindu, Budha,
Islam yang telah berkembang menjadi identitas bersama yang relatifmampu mengatasi koridor kesukuan. Dalam konteks itu
kajian ini sangat relevan dengan kondisi Indonesia pada saat sekarang ini yang juga sedang mensyaratkan adanya komunikasi
lintas budaya yang intensif. Di samping itu kota-kota yang menjadi pusat-pusat kerajaan maritim juga merupakan pusat-pusat
perdagangan dunia. Sebagai pusat perdagangan dunia sudah barang tentu kota-kota ini bersifat kosmopolitan. Sifat kosmopolitan
dari kota-kota ini memungkinkan terkondisinya suasana koeksistensi damai di antara komunitas-komunitas dan sikap toleransi
yang relatif tinggi. Seperti diketahui bahwa sejak perdagangan antarpulau dan perdagangan internasional berkembang di
Nusantara, kota-kota pantai menjadi titik-titik simpul dalam perdagangan itu dan menjadi rendezvous serta tempat tinggal para
pedagang, baik pedagang lokal maupun pedagang dari seberang dan pedagang asing.
Dengan penelitian kembali sejarah Indonesia dengan paradigma integrasi ini, pelajaran bisa diambil untuk memperkaya
wacana dalam pengembangan model komunikasi lintas budaya pada masa prakolonial. Kita akan bisa belajar apakah model
integrasi Nusantara ala Kertanagara yang menekankan pada usaha diplomatik yang persuasif dalam rangka membangun
landasan spiritual untuk dijadikan fondasi persatuan yang cocok untuk Indonesia saat ini ataukah model Gadjah Mada yang
menghalalkan segala cara untuk mencapai integrasi Nusantara. Analisis terhadap pola-pola komunikasi lintas budaya pada
masa prakolonial seperti ini ternyata sangat berguna justru karena pada periode itu kekuatan politik pribumi saling
berinteraksi dan menemukan bentuk-bentuk keseimbangannya. Untuk itu orang-orang Indonesia jangan hanya belajar sejarah,
tetapi belajarlah dari sejarah.
Sejarah Maritim Indonesia I 329

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah (editor)
1958 Sedjarah Melaju. Djakarta: Penerbit Djambatan.
Achadiyati, Y. (ed.)
Sejarah Peradaban Manusia Zaman Sriwijaya. Jakarta: Gita Karya.
Adam, A.W.
1999 `Pengantar' dalam: A. Reid, Asia Tenggara d al am Kurun Niaga 1450-1680, Dari Ekspansi hingga Krisis:
Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara. Jilid. II. Jakarta: Yayasan Obor.
Alfian, T. Ibrahim
1999 Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah. Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh.
2004 Kronika Pasai, Sebuah Tinjauan Sejarah. Yogyakarta
: CENINNET Press.
Ali, Shamseer
1966 "Inter-island shipping", Bulletin of Indonesian Economic Studies (3).
330 Daftar Pustaka

Ambary, H.A.

1990 "Peranan Beberapa Bandar Utama di Sumatra Abad 7-

16 M dalam Jalur Jalan Sutra melalui Lautan".

Makalah disampaikan pada Seminar Sejarah Nasional

di Semarang pada tanggal 27- 30 Agustus 1990.

Andaya, Barbara Watson dan Virginia Matheson

1979 "Islamic Thought and Malay Tradition: the Writing of

Raja Ali haji of Riauw (ca. 1809 — ca. 1870)"

dalam Anthony Reid & David Marr (eds.), Perceptions oh the Past in Southeast Asia. Singapore: Asian Studies
Association of Australia Heinemann.

Anonim

Dagh-Register gehouden in het Casteel Batavia, tahun 1632, 1633, 1675 `sGravenhage: Martinus Nijhoff.

Anstey, V.

1929 The trade of the Indian Ocean. London - New York -


Toronto: Longman Green.

Arsip Nasional Indonesia

Solo Contract, bundel 53 Nomor 5, Jakarta: Arsip

Nasional Republik Indonesia.

Balassa, B.

1965 The theory of economic integration. London: Allen


and Unwin.

Baried, Baroroh

1987 "Syair Ikan Tongkol. Paham Tassawuf Abad XVI —


XVII di Indonesia" dalam T. Ibrahim Alfian et. al. (ed.), Dari Babad dan Hikayat sampai Sejarah Kritis. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.

Bartstra CzJ. (et.al)

1988 "Ngandong Men, Age and Artifact", Journal of


Human Evolution (17).

Bebler, Ales

1960 Pantulan Zaman Bahari Indonesia. Djakarta: Djambatan


Sejarah Mariam Indonesia ! 331

Bellwood, P.
1980 "Plant, climate and people the early horticultural prehistory at Indonesia', dalam: J.J. Fox, Indonesia, The
Making of a Culture. Cambera.
Bentley, J.H.
1993 Old World Encounters: Cross-Cultural Contacts and Exchanges in Pre-Modern Times. New York, Oxford:
Oxford University Press.
Berg, C.C.
1952 "De Sadeng Oorlog en de Myth of Great Majapahit", Indonesia (5).
1975 "Javanese Picture of the Past", dalam Soedjatmoko et.al, (eds.) An Introduction to Indonesian Historiography.
Ithaca : Cornell University Press.
Berg, H.J. van den, dkk.
1952 Dari Panggung Peristiwa Sejarah Dunia I. Jakarta: Groningen.
Blagden, C.O.
1913 "The Kota Kapur (Western Bangka) Inscription", JMBRAS (64).
Blink, H.
1922 "De Pacific in haar economisch-geographische opkomst en tegenwoordige beteekenis", dalam Tijdschrijt voor
Economische Geography, 3, Oktober.
Bochari M. Sangupri dan Wiwi Kuswiyah
2001 Sejarah Kerajaan Tradisional Cirebon, Jakarta: Proyek Peningkatan Kesadaran Sejarah Nasional Direktorat
Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan Nasional.
Boechari
1993 "Hari Jadi Kota Palembang Berdasarkan Prasasti Kedukan Bukit", dalam: M.F. Iskandar, Sriwijaya dalam
Perspektif Archeologi dan Sejarah. Palembang: PEMDA Sumatra Selatan.
332 Daftar Pustaka

Booth, Anne
1989 "Export and growth in the colonial economy, 18301940" dalamA. Maddison & G Prince (eds), Economic
growth in Indonesia 1820-1940 Dordrecht/ Providence: Foris Publications.
1990 "Foreign trade and domestic development in the colonial economy" dalamA. Booth, W.J. O'Malley & A.
Weidemann (eds), Indonesian Economic History in the Dutch Colonial Era. New Haven: Yale University Press.
Braddell, R.
1936 "An Introduction to the Study of Ancient Times in the Malay Peninsula and the Straits of Malacca", JMBRAS
3 (14).

Braudel, Fernand
1976 The Mediterranean and Mediterranean World in the Age of Philip II. Terjemahan S. Reynold. Vol. I. New
York: Harper Colophon Book.
Broeze, Frank
1989 Brides of the Sea: Port Cities of Asia from the 16 th-20th Centuries. Australia: New South Wales University
Press.
Budiman, Amen
1978 Semarang Riwayatmu Dulu. Jilid I , Semarang, Tanjung
Sari.
Burger, D.H.
1962 Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia I. Jakarta: Pradnjaparamita.
Casparis J.G. de
1958 "Airlangga", Pidato pada Peresmian Penerimaan Jabatan Guru Besar dalam Mata Pelajaran Sejarah Indonesia
Lama dan Bahasa Sansekerta pada
Sejarah Maritim Indonesia I 333

Perguruan Tinggi Pendidikan Guru Universitas Airlangga, Malang.


Chauduri, K.N.
1985 Trade and Civilization in the Indian Ocean from the
Rise of Islam to 1750. Cambridge: Cambridge University Press.
Coedes, G
1968 The Indianised States of Southeast Asia. Kuala
Lumpur: University of Malaya Press.
Coedes, G. & L. Ch. Damais.
Sriwijaya: History, Religion and Language of Early Malay Polity. Kuala Lumpur: MBRAS Monograph No. 20.
Colless,B.E.
1975 "Majapahit Revisited: External evidence on the
Geography and Ethnology of East Java in the Majapahit Perios", Journal of the Malayan Branch of the Royal
Asiatic Society (JMBRAS), 2 .
Cortesao, A.
1944 The Suma Oriental of Tome Pires: An Account of the
East, from the Red Sea to Japan, Written in Malacca and India in 1512-1515 , London: Hakluyt Society Series.
Cribb, R.
2000 Historical Atlas of Indonesia. Honolulu: University
of Hawaii Press.
Christie, J.W.
1999 "Asia Sea Trade between the Tenth and Thirteenth
Centuries and Its Impact on the States of Java and Bali" dalam H.P. Ray (ed.), Archeology of Seafaring: The
India Acean in the Ancient Period. Delhi: Pragati.
Curtin, P.D.
2002 Cross-Cultural Trade in World History.
Cambridge: Cambridge
University Press.
334 Daftar Pustaka

Das Gupta, A.
1987 "The Maritime Trade of Indonesia, 1500-1800" dalam A.Das Gupta & M.N. Pearson (eds), India and the
Indian Ocean, 1500-1800. Calcuta: Oxford University Press.
Diller, A.
1995 "Sriwijaya and the First Zeros", JMBRAS 1 (68).
Djajadiningrat, P.A.H.
1957 "Kanttekeningen bij 'Het Javaanse Rijk Tjerbon in de Eerste Eeuwen van zijn Bestaan", BK1113, 380-391.

Djawatan Kota Besar Semarang


1953 Kota Besar Semarang. Semarang: Djawatan
Penerangan Kota Besar Semarang.
Drake, C.
1989 National Integration in Indonesia: Patterns and Policies. Honolulu: University of Hawaii Press.
Eck, R. van
1899 Luctor et Emergo de Geschiedenis der Nederlanders in de Oost Indische Archipel. Zwolle: Tjenk Willink.
Eng, P. van der
1993 The 'colonial drain' from Indonesia, 1823-1990. Canberra: Research School of Pacific Studies Australian
National University.
Evers, Hans-Dieter
1988 "Traditional trading networks of Southeast Asia", dalam Archipel (35).
Fairsevis, W.A.
1986 The Origin of Oriental Civilization (Terjemahan oleh Anwar dengan judul: Asal-usul Peradaban Timur) ,
Jakarta: PT Kinta.
Sejarah Maritim Indonesia I 335

Frank, A.G.
1998 Reorient: Global Economy in theAsian Age. Berkeley-
Los Angeles-London: Universitry of California Press.
Geldern, von Heine
1936 "Pre Historic Research in Indonesia", Annual
Bibliography of Indonesia Archeology (9).
Glover, I.C.
1990 Early Trade Between India and SouthEast Asia: A
Link in The Development of a World Trading System, Edisi kedua yang direvisi. London: University of Hull
Center for Southeast Asia Studies.
Graaf, H.J. de
1949 Geschiedenis van Indonesie . 'sGravenhage : W van
Hoeve.
1952 "Tome Pires: Suma Oriental en het tijdperk van
Godsdienst overgang" alam BKI, 108.
1974 De Eerste Moslimse Vorstendommen op Java. 's
Gravenhage: Martinus Nijhoff.
Graaf, H.J. de dan Th.GTh. Pigeaud
1989 Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Jakarta: Grafiti
Press.
2001 Pigeaud, Kerajaaan Islam Pertama di Jawa:
Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Groeneveldt, W.P.
1960 Historical Notes on Indonesia & Malaya Compiled
from Chinese Sources. Jakarta: Bhratara.

Guy, S. John
1986 Oriental trade Ceramics in Southeast Asia Nineth to
Sixteenth Centuries New York: Oxford University Press.
336 Daftar Pustaka

Hak, Durk.
"Dr. A.H.J. Prins as A Maritime Anthropologist: A Preleminary Appraisal and an Introduction" dalam Durk Hak,
Y. Kroes & H.Schneymann (eds), Watching the Seaside: Essay on Maritime Anthropology A.H.J. Prins.
Festschrift on the occasion of his retirement from the Chair of Anthropology, University of Groningen.
Hall, D.GE.
1970 A History of South-East Asia (New York/London, Melbourne, Toronto: Macmillan St.Martin.
1998 Sejarah Asia Tenggara (terjemahan) Surabaya: Usaha Nasional.
Hall, K.R.
`Economic History of Early Southeast Asia', dalam N. Tarling (ed.), The Cambridge History of Southeast Asia,
Vol. I, From early Times to c. 1800. Cambridge: Cambridge University Press.
1985 Maritime Trade and State in Early Southeast Asia. Honolulu: University of Haway Press.
Hardstone, P.C.N.
1976. 'Nationalism and the plural society: Some problems in integration' (Singapore: Occasional paper no 28,
Institute of Humanities and Social Sciences,
Nanyang University, 1976).
Harrisson, GA (et.al.)
1964 Human Biology. London: Oxford Universty Press.
Heger, F.
1902 Alte Metalltrommeln aus Sudost Asien . Leipzig.
Henley D.
1996. Nationalism and regionalism in a colonial context: Minahasa in the Dutch East Indies (Leiden: KITLV Press.
Sejarah Maritim Indonesia I 337

Headland, T.N. dan L.A. Reid


1989 "Hunters-gatherers and their neighbours from
prehistory to the present". Current Anthropology. Heekeren, H.R. van
1957 "The Stone age of Indonesia", Verhandelingen van
het KITLV (VK1).
Henley, D.
1996 Nationalism and regionalism in a colonial context:
Minahasa in the Dutch East Indies. Leiden: KITLV Press.
1972"The Stone age of Indonesia", HU , deel 61, Den Haag:
Martinus Nijhoff.
1952"Rock-painting and other prehistoric discoveries near
Maros (Southwest Celebes)", Laporan Dinas Purbakala RI. 1950 dan 1952.
Heuken SJ. Adolf
2002 "Be My Witness to the Ends of the Earth!" The
Catholic Church in Indonesia before the 19' century, Jakarta : Cipta Loka Caraka,
Houben, V.J.H., M.J. Maier dan W. van der Molen
1992 Looking in Odd Mirrors: The Java Sea. Leiden:
Vakgroep Talen en Culturen van Zuidoost-Asie en Oceanie Leiden Universiteit.
Houbolt, J. H.
1940 "Bijdrage tot de kennis van de verspreiding van
paleolithische artefacten in Nederlandsch-Indie", Tijdschrifft van het Bataviasche Genootschap (80).
Irfan, N.K.S.
1983 Kerajaan Sriwijaya. Pusat Pemerintahan dan
Perkembangannya. Jakarta: Girimukti Pusaka.
Iskandar, T.
1967 "Three Malay Historical Writing in the First Half of
the 17th Century", JMBRAS 2 (40).
338 Daftar Pustaka

Italianer, A.
1986 Theory and Practice of International Trade Linkage Models. Disertasi tidak diterbitkan pada University of
Groningen.
Johan, Irma, M.
1996 "Penelitian Sejarah Kebudayaan Cirebon dan Sekitarnya Antara Abad XV dab XVI: Tinjauan Biografi", dalam
Susanto Zuhdi, Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutra (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Jonge J.K.J.De
1862-1909 De Opkomst van het Nederlandsch Gezag in Oost Indie, deel X Amsterdam, Den Haag.
Kartodirdjo, A. Sartono.
1977 Sejarah Nasional Indonesia. Jilid I & II. Jakarta: Balai Pustaka.
1987 Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900. Dail Emporium ke Imperium. Jilid I , Jakarta: Gramedia.
Kern, H.
1917/1918 Verspreide Geschriften. Vol. VII dan VIII : Het Oud Javaansche Lofdicht negarakertagama van Prapanca,
1365 AD.
1889 "Taalkundige gegeven der bepaling van het stamland der Maleisch-Polynesische Volken", Verslag Kon.
Akad. Van Westersch (6).
Kern, R.A.
1993 I La Galigo. Yogyakarta, Gadjah Mada University Press.
Klein, P.W.
1996 "The China Seas and the World Economy between the Sixteenth and Nineteenth Centuries: The Changing
Structures of Trade" dalam Davids, Fritschy & Vina der Valk (eds), Kapitaal, Ondernemerschap, en Beleid:
Studies over Economie
Sejarah Maritim Indonesia I 339

and Politiek in Nederland, Europa en Azle van 1500 tot Heden. Afscheidsbundel voor Prof. Dr. P.W. Klein.
Amsterdam: NEHA.
Knaap Gerrit J.
1989 Changing Economy in Indonesia, Vol. 9, Transport
1819-1941 (Amstedam: Royal Tropical Institute.
Koninklijke Paketvaart Maatschappij.
1938 KPM: Official yearbook 1837-1938 Batavia: De Unie.
Krom, N.J.
1931 Hindoe-Javaansche Geschiedenis. s' Gravenhage:
Martnus Nijhoff.
Lapian, A.B.
1984"The maritime network in the Indonesian archipelago
in the fourteenth century", SEAMED Project in Archeology and Fine Arts SPAFA, Final report: Consultative
workshop on research on maritime shipping and trade networks in Southeast Asia (Cisarua, West Java, Indonesia:
20-27 November 1984).
1991 Sejarah Nusantara Sejarah Bahari. Pidato
pengukuhan disampaikan pada Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Jakarta.
1992 Sejarah Nusantara Sejarah Bahari. Jakarta: Fak.
Sastra UI.
1996 "Laut, Pasar, dan Komunikasi Antar-Budaya".
Makalah disampaikan pada Kongres Sejarah Nasional. Jakarta.
Leur, J C. van
1955 Indonesian Trade and Society. The Hague/Bandung:
van Hoeve.
Leinders, J.M. (et.al.)
1985 "The age of the hominid-bearing deposits of Java",
Geologie en Mijnbouw 64.
340 Daftar Pustaka

Lombard, Denys.
1996 Nusa Jawa: Silang Budaya 2. Jakarta: Gramedia.
Macintyre, D.
1972 Sea Power in the Pacific: A History from the Sixteen
Century to the Present Day. London: Barker.
Macknight, C.C.
1979 "The Study of the Praus in the Indonesian.
Archipelago". Makalah disampaikan pada International Conference on Indian Ocean Studies, Perth.
Mahan, Alfred Thayer.
1965 The Influence of Sea Power upon History 1660-1783.
London: Methuen.
Manguin, Pierre-Yves.
1993 "Palembang and Sriwijaya: An Early Malay Harbour-
City Rediscovered", JMBRAS 1 (66).
Marks, P.
"Stratigraphic Lexicon of Indonesia", Publikasi
Keilmuan, Nomer 31.
Masyhuri
Pasang Surut Usaha Perikanan Laut: Tinjauan
1995 Sosial-Ekonomi Kenelayanan di Jawa dan
Madura, 1850-1940 (Disertasi Vrije Universiteit
Amsterdam.
Maxwell, W.E.
1890 "Raja Haji",.IMBRAS 22.
Maziyah Siti
"Pembatasan Usaha Perdagangan di Daerah
Sima pada Abad X Masehi: Tinjauan
Berdasarkan Kedudukan Daerah Sima". Skripsi
pada Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada,
McRoberts, R.W.
1986 "Notes on Events in Palembang 1 3 8 9-1 5 1 1: The
Overlasting Colony", dalam JMBRAS, 1 (59).
Sejarah Maritim Indonesia I 341

Meinsma
1942 Babad Tanah Jawi. Diperbarui Olthof (ed.). 's Gravenhage: Martinus Nijhoff.
Menkoff, R.
1993 Trade Routes, Trust and Trading Networks: Chinese Small Enterprises in Singapore. Bieleveld: University of
Bieleveld.

Meulen, W. J.van der


1988 Indonesia di Ambang Sejarah, Yogyakarta: Kanisius.

Miksic, John (editor)


2002 Indonesian Heritage 1: Sejarah Awal. Jakarta: Buku
Antar Bangsa untuk Grolier International.
Mills, J.V.
1979 Chinese Navigators in Insulinde about A.D.1500'. Selected reading from Archipel 13 (1979) for Spafa
Consultative Workshop of Research on Maritime Shipping and Trade Networks in Southeast Asia, dalam
Sonny Chr. Wibisono, Kegiatan Perdagangan di Bandar Banten dalam Lalu-Lintas Perdagangan Jalur Sutra.
Minattur, J.
1966 "Gaja Mada's Palapa", JMBRAS 1.
Moens, J.L.
1974 Buddhisme di Jawa dan Sumatra dalam Masa Kejayaan Terakhir. Jakarta: Bhratara.
Moertono, Soemarsaid
1974 State and Statecraft in the Old Java. Ithaca: Cornell University Press.
1985 Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa Lampau: Studi tentang Masa Mataram II, Abad XVI sampai
XIX. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
342 Daftar Pustaka

Mulyana, Slamet
1965 Menudju Puncak Kemegahan (Sedjarah Keradjaan
Madjapahit), Djakarta: Balai Pustaka.
1979 Nagarakertagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.
1981 Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumi. Jakarta: Yayasan Idayu.
2005 Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara. Yogyakarta : PT LKIS
Pelangi Aksara.
Nas, J.M.
1986 "The Early Indonesia Town. Rise and Decline of The City State and Its Capital, dalam J.M. Nas (Editor), Indonesia
City. Study in Urban Development and Planning (Dordrecht-Holland: Foris Publications.
Newton, D.
1988 Islands and Ancestors, Indigenous Styles at
Southeast Asia, New York: Janet Hoskins.
Noorduyn, J.
1988 "The Bugis Genealogy of the Raja Muda Family of Riau-Johor", JMBRAS 2 (61).
Nooteboom, C.
1932 De Boomstamkano in Indonesia, Leiden: Brill.

Olthof, W.L. (penyadur)


1941 Poeniko Serat Babad Tanah Djawi Saking Nabi Adam Doemoegi Ing Tahun 1647 , s 'Gravenhage:
Uitgeverij van Hoeve, M. Nijhoff.

Padmapuspita, Ki J.
1996 Pararaton (Teks dan terjemahan bahasa Indonesia),
Jogjakarta : Penerbit Taman Siswa.
Pfeffer, P.
1974 "Fauna of Humidtropical Asia" Natural Resources of Humid Tropical Asia. Paris: Unesco.
Sejarah Maritim Indonesia I 343

Pigeaud Th.

1963 Java in the Fourteenth Century. The Hague : Martinus


Nijhoff.

Poelinggomang E. L.

1991 Proteksi dan Perdagangan Bebas: Kajian tentang


Perdagangan Makassar pada Abad ke-19 (Disertasi tidak diterbitkan pada Vrije Universiteit Amsterdam).

2002 Makassar Abad XIX (Jakarta: Kepustakaan Populer

Gramedia.

Poesponegoro, Marwati Djoened, dkk.

1984 Sejarah Nasional Indonesia. Jilid II dan III. Jakarta:


Balai Pustaka.

Pope, G

1988 "Recent Advances in Far Eastern

Palaeoanthropology', Annual Review of


Anthropology.

Purwaka, T.H.

1989 Indonesian interisland shipping: An assessment of


the relationship of government policies and quality of shipping services. Disertasi pada University of Hawaii.

1993 Pelayaran Antarpulau Indonesia: Suatu Kajian

tentang Hubungan antara Kebijaksanaan Pemerintah dengan Kualitas Pelayaran. Jakarta: Bumi Aksara.

Quaritch Wales, H.G.

1978 "The Extent of Srivijaya's Influence Abroad", JMBRAS


1(51).

Ray, H.

1954 "The South East Asian Connection in Sino-Indian


Trade", dalam R. Schott & J. Guy, South East Asia & China: Art, Interaction & Commerce. London: University of London.
344 Daftar Pustaka

Reid, Anthony
1988 Southeast Asia in The Age of Commerce 1450-1680. New Haven/ London: Yale University Press.
1999 Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, Dari Ekspansi hingga Krisis: Jaringan Perdagangan Global Asia
Tenggara. Jilid. II. Jakarta: Yayasan Obor.
1984 "The Pre-colonial Economy of Indonesia', Bulletin of Indonesian Economic Studies, 11 (2).
1999 Dari Ekspansi hingga Krisis II. Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara 1450-1680. Jilid II. Jakarta:
Yayasan Obor.
Rentse, A.
1936 "Majapahit Amulets in Kelantan"JMBRAS 14.

Ricklefs, M.C.
1975 Yogyakarta under Sultan Mangkubumi 1749-1792. A History of The Division Java. London: Oxford University
Press.
1981 A History of Modern Indonesia since ca. 1300. London: Macmillan
1989 Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Roelofzs Meilink
1962 Asian Trade and European Influence in the Indonesian Archipelago between 1500 and about
1680. The Hague: Martinus Nijhoff.
Roufaer GP. & Ijzerman
1876 De Eerste Schipvaart der Nederlanders naar Oost Indie Onder Cornelis de Houtman 1595-1597'. s
Gravenhage: Martinus Nifhoff
Santa Luca, A.P.
1988 The Ngandong Fossil Hominids. New Haven: Foris Publication.
Sejarah Maritim Indonesia 345

Sauer, C.O.
1969 Agricultural Origins and Dispesals. The domestication of animal and foodstuffs. New York: MIT Press.
Schrieke, B.
1959 Indonesian Sociological Studies I. 's Gravenhage: Martinus Nijhoff.
Sedyawati, Edhie
1994 Pengarcaan Ganesa Masa Kadiri dan Singhasari. Sebuah Tinjauan Sejarah Kesenian. Jakarta/Leiden: LIPI/
Rijksuniversiteit.
Simpson, J.A. & E.S.C. Weiner
1989 The Oxford English Dictionary, Vol. VII . Oxford: Clarendon.
Situmorang, T.D., A.A. Teeuw, dan Amal Hamzah
1958 Sedjarah Melaju. Djakarta: Djambatan.
Sjafei, S.
1982 "Catatan Mengenai Jalan Pelayaran Perdagangan ke Indonesia Sebelum Abad ke-16", Indonesian Journal of
Cultural Studies, 56.
Skinner, C. (ed.)
1963 "Sja'ir Perang Mengkasar by Entji' Amin", VKJ, dl. 40.
Smith, M.E.
1977 'Introduction', dalam M.E. Smith, Those Who Live from the Sea: A Study in Maritime Anthropology. St. Paul-
New York-Boston etc.,West Publishing.
Soekmono, R.
1973 Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jilid I. Jakarta: Yayasan Kanisius.
1992 Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jilid II. Jakarta: Yayasan Kanisius.
346 Daftar Pustaka

Soeroto
1976 Sriwijaya Menguasai Lautan. Bandung/ Jakarta: Sanggabuwana.
Stapel, F.W.
1922 Het Bongaaischerdrag. Groningen, Den Haag: Wolters.

Suggs, R.C. The Island Civilizations of Polynesia.


New York. 1960

Sukendar, Haris (editor)


2002 Perahu Tradisional Nusantara: Tinjauan melalui bentuk dan fungsi, Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Sulistyono, Singgih T.
2003 The Java Sea Networks: Patterns in the Development of Interregional Shipping and Trade in the Process of
National Economic Integration in Indonesia, 1870-1970. Proefschrift. Leiden University.
2005 'Pengembangan Mata Kuliah Sejarah Maritim di Jurusan Sejarah', makalah disampaikan pada Lokakarya dan
Pelatihan Metode Pebelitian dan Pengembangan Kurikulum Sejarah, Jurusan Sejarah Universitas Airlangga
(Surabaya: 13-17 Juli 2005).
Sunardjo, R.H. Unang
1996 Selayang Pandang Masa Kejayaan Kerajaan Cirebon, Kajian Dari Aspek Politik dan Pemerintahan Cirebon:
Yayasan Keraton Kasepuhan Cirebon.
Suroyo M. Djuliati
2005 `Dinamika Otonomi Daerah dalam Dimensi Sejarah Indonesia', makalah dipresentasikan pada Seminar
Internasional Reformasi, Otonomi Daerah, dan Integrasi Nasional: Refleksi dari Pengalaman Jepang
(Semarang: 6 September 2005
Sejarah Maritim Indonesia I 347

Sutayasa, I.M.D.
1973 "The study of Prehistoric Pottery in Indonesia", Nusantara 4.
Sutherland, A. Heather A.,
1979 The Making of Bureaucratic Elite. Singapore: Heinemann Educational Books.
1986 "Eastern Emporium and Company Town: Trade and Society in 1986 Eighteenth Century Makassar", dalam:
Peter J.M. Nas (ed.), The Indonesian City: Studies in Urban Development and Planning. Dordrecht: Foris
Publication.
Sweeney, P.L.A.
1967 "The Connection between the Hikayat Raja-raja Pasai and the Sejarah Melayu", JMBRAS 2 (40).
Syamsuddin, N.
1987 "Dimensi politik dan integrasi nasional: teori, masalah dan strategi" dalam: S. Bahar & A.B. Tangdililing (eds),
Integrasi Nasional: Teori, Masalah dan Strategi. Jakarta: Ghalia Indonesia.
1989 Integrasi Politik di Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Tangsubkul, P.
1984 The Southeast Asian Archipelagic State: Concepts, Evolution, and Current Practice. Research Report No. 15,
February 1984. East-West Environment and Policy.
Tarling, Nicolas
The Cambridge History of Southeast Asia. Vol. 1, New
York: Cambidge University Press.

1963 Piracy and Politics in the Malay World: A Study of British Imperialism in the Nineteenth-Century South-East
Asia. Melbourne-Canberra-Sydney: Cheshire.
348 Daftar Pustaka

Thian Joe, Liem


Riwajat Semarang 1416-1931. Dari jamannya Sam Poo sampe terhapoesnya Konkoan, Semarang-
Batavia: Boekhandel Ho Kim You
Tiele, P.A.
Bouwstoffen voor de Geschiedenis der Nederlanders in den Maleischen Archiepel. Eerste Deel. Kumpulan
Arsip. S. Gravenhage : Martinus Nijhoff.

Tim Angkatan Laut Dephankam


1973 Jiwa Bahari Warisan Nenek Moyang Bangsa
Indonesia. Jakarta.

Tiora, Elizabeth (editor)


1993 Hikayat Banjar dan Kotaringin. Jakarta: Departemen P & K, Direktur Jendral Kebudayaan, Direktorat Sejarah
dan Nilai Tradisional, Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara.

Tjandrasasmita, Uka
1997 "Banten Sebagai Pusat Kekuasaan dan Niaga Antar Bangsa", dalam Sri Sutjiatiningsih (penyunting), Banten Kota
Pelabuhan Jalan Sutra, Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Direktorat Jendral
Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Tjan Tjoe Som,


1995 "Sumber-Sumber Cina dan Historiografi", dalam Soedjatmoko, eds., Historiografi Indonesia: Sebuah Pengantar,
Alih bahasa: Mien Djubhar, Cetakan I. Jakarta: PT Gramedia.
Tjiptoatmodjo, F.A.S.
1983 Kota-kota Pantai di Sekitar Selat Madura (Abad
XVII sampai Medio Abad XIX). Disertasi tidak diterbitkan pada Fakultas Sastra Universitas Gadjah
Yogyakarta.
Sejarah Maritim Indonesia I 349

Tjokroamidjojo, Bintoro
2002 Sistem Penyelenggaraan Negara Atas Dasar
Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan Perubahannya. Jakarta:Lembaga Administrasi
Negara.
Tobing, Ph. O.L.
1961 Hukum Pelayaran dan Perdagangan Amanna Gappa (Makassar: Jajasan Kebudajaan Sulawesi Selatan dan
Tenggara.
Touwen, L.J.
2001 Shipping and Trade in the Java sea Region 18701940: A Collection of Statistics on the Major Java Sea Ports.
Leiden: KITLV Press.
Tun Seri Lanang Bendahara Paduka Raja
1612 Sedjarah Melaju. Batu Sowar.
Utomo, B.B.
1993 "Sriwijaya di Palembang sebagai Pusat Agama Buddha", dalam: M. Faizal Iskandar, Sriwijaya dalam Perspektif
Archeologi dan Sejarah. Palembang: PEMDA Sumatra Selatan.
Vlekke, B.H.M.
Nusantara. The Hague: Martnus Nijhoff.
1959
Walcott, A.S. Java and her neighbors: A traveler's note in
1914 Java, Celebes, the Moluccas and Sumatra. New
York and London: Knickerbocker Press.

Wales, H.G.Q. "The Extent of Srivijaya's Influence


Abroad", JMBRAS1(51).
1978
"Palaeoenvironment of East Asia from the Mid
Walker, D. Tertiary", Centre of Asia Studies, University of
Hongkong.
350

Wati, Arena
1973

Weber, Max
Wertheim, W.F.
1969
Daf ar Pustaka

Raja Ali Al-Haji. Silsilah Melayu dan Bugis. Kuala Lumpur: PustakaAntara.

The City. Terjemahan Don Martindale & Gertrud Neuwirth. New York, London: The Free Press & Collier-Macmilland.

Indonesian Society in Transition: A Study of Social Change. The Hague: W. van Hoeve.

Wheatley, P.
1955

Wibisono, Son
1997

Widodo, Sutej
2005

"Belated Comments on Sir Roland Braddell's Studies of Ancient Times in the Malay Peninsula", JMBRAS 1 (28).
ny Chr.
"Kegiatan Perdagangan di Bandar Banten dalam Lalu-Lintas Perdagangan Jalur Sutra", dalam Sri Sutjiatiningsih, Banten Kota
Pelabuhan Jalan Sutra. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Direktorat Jendral Kebudayaan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
o Kuwat
Ikan Layang Terbang Menjulang. Semarang: Badan
Penerbit UNDIP.
Wilkinson, R.J.
1912 "The Malacca Sultanate", JMBRAS, 61.
Wolters, O.W.
1967 Early Indonesia Commerce: A Study of the Origins of Sriwijaya. Ithaca, New York: Cornell University Press.
1979 "Studying Srivijaya", JMBRAS 2 (52).
Zoetmulder, P.J.
1995 "Makna Kajian Kebudayaan dan Agama bagi Historiografi Indonesia," dalam Soedjatmoko (editor),
Sejarah Maritim Indonesia I 351

Historiografi Indonesia. Sebuah Pengantar Jakarta: Gramedia.

1995 "The Significance of the Study of Culture and Religion

for Indonesian Historiography" dalam Soedjatmoko et.al. (eds). An Introduction to Indonesian Historiography. Itaca/London:
Cornell University Press.

Zuhdi, Susanto

1991 Perkembangan Pelabuhan dan Kota Cilacap, Jawa


Tengah 1830-1940. Tesis S2 tidak diterbitkan pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Daftar Pustaka
Sejarah Mantim Indonesia 1 353

Index

A
Abdullah 148, 149, 155, 318 Abdurraufdari Singkel 81 Abesinia 114, 117
Aceh
7, 18, 51, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 93, 94, 110, 116, 129, 147, 148, 150, 210, 212, 231, 255, 256, 259, 284, 301, 302,
303, 304, 306, 317, 324, 326, 329
Adas 36
Ade'Allopi-loping Ribitjaranna
Pa'Balu'e 302 Adityawarman 62, 63, 64 Ageng Tirtayasa, Sultan 119 Agraris 4, 210, 225, 229, 239,
250, 258, 306
Airlangga 18, 39, 42, 86, 153,
183, 241, 249, 250, 332, 333, 346
Al-Alam Safiatuddin, Taj 81 Al-Jauhari, Baukhari 81 Amoghapasalokeswara 61 Angin musim 25
Angin musim 24, 25, 291 Angkatan Laut 57, 79, 93, 102,
212, 250, 257, 298, 299,
300, 301
Angke, Tubagus 204
Angrok, Ken 84, 93
Amisanatha 84
Arab
37, 38, 39, 46, 52, 64, 66, 67, 71, 72, 74, 75, 77, 81, 101, 117, 124, 137, 161, 231, 232, 242, 251, 271, 283, 284, 285,
291, 292, 296, 297, 309
Archipelagic State 10, 20, 347 Archipelago 8, 9, 22, 216, 217,
219, 220, 266, 267, 315,
339,340, 344
Arung Palaka 132, 133, 135 As Saleh, Al Malik 65, 66 As-Samatrani, Samsuddin 81 Austronesia 25, 26, 27, 28, 29,
41, 270, 271, 321, 322 Awang, Dampo 197
Ayudhyapura 100
354

B
Baabullah, Sultan 140
Bacan 136, 137, 139, 141, 324
Bahari 3, 8, 9, 11, 13, 16, 18,
48, 59, 177, 178, 213, 218, 224, 226, 261, 291, 315, 316, 317, 330, 339, 348
Bahasa Melayu 28, 48, 60, 81,
115, 307, 308
Bajak Taut 37, 38, 51, 87, 102,
103, 135, 192, 194, 214,
257, 298, 299
Bakulapara 86
Balaputradewa 57, 59, 246
Bali 24, 62, 83, 86, 87, 92, 100, 102, 151, 194, 197, 208, 210, 227, 250, 252, 256, 264, 306, 333
Bangil 172
Bangka
49, 56, 146, 247, 263, 331 Bangkalan 15
Banjarmasin 7, 96, 116, 129,
194, 257, 259, 260, 284,
305, 326
Banten 68, 110, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 124, 158, 168, 170, 171, 178, 197, 200, 201, 204, 284,
289, 292,
306, 323, 348
Banyaga 101
Banyuwangi 15
Batang 171, 172
Index

Batavia 20, 21, 68, 119, 120, 125, 129, 132, 133, 142, 161, 179, 199, 205, 206, 216, 217, 221, 222, 323
Beaulieu 78
Belambangan 105
Belanda 5, 15, 16, 19, 76, 80, 117, 119, 120, 124, 125, 131, 132, 136, 141, 142, 151, 291, 292, 296, 304,
307, 308, 324
Belerang 36
Beliung 26
Bengal 74, 97, 117
Bengawan Solo 183, 184, 188
Benteng 68, 113, 118, 119,
120, 125, 132, 139, 140,
141, 170, 177, 178, 179,
180, 186, 187, 198, 199,
203, 205, 213
Beras 15, 28, 38, 80, 82, 85,
87, 101, 109, 111, 113,
114, 122, 123, 125, 128,
129, 133, 174, 175, 179,
190, 191, 199, 210, 231,
296, 313
Bergota 196
Bernam 74
Besuki 15
Bhayangkari 91
Bhumi Jawa 56, 263
Bintara 106, 192
Blagden 146, 147, 263, 266, 331
Boechari 145, 331
Bondowoso 15

Sejarah Markim Indonesia I 355

Bone 127, 128, 129, 132, 133, Cheng Ho 66, 97, 98, 156, 170,
135, 302, 312 196, 197, 215
Both, Pieter 204 Chou-ju-lcua 50, 51, 52
Braudel, Fernand 2, 18 Ciliwung 171, 200, 202, 204
Chulamaniwarmadewa 54, 240
Brawijaya 105, 106 Cirebon 105, 106, 113, 115,
Brebes 171, 172 120, 121, 122, 123, 124,
Budaya bahari 11, 13 125, 160, 161, 162, 168,
Budaya Maritim 269, 285, 297, 170, 171, 191, 192, 202,
306 127, 128,129, 130, 132,
Bugis 203, 212, 260, 284, 305,
133, 210, 224, 231, 306, 324,331, 338, 346
256, 302, 303, 309, Coedes 46, 57, 99, 144, 156,
310, 317, 350 262, 264, 333
Bukit-bukit kerang 32
C

Calcra Donya 78, 79, 150


Calicut 80, 188, 189
Candu 80
Canton 53, 57, 239
Caruban 122
Casparis 38, 42, 99,
153, 156, 332
Cendana36, 38, 117, 131,
186, 213, 214, 231,
233, 242, 244
Cengkalsewu 171
Cengkih 35, 78, 101, 114,
129, 131, 136, 139, 231
Champora 80
Chau-ju-kua 50, 51
Chauduri 3, 18, 144, 262, 333
Che-lifo-che 45
Cola 50, 53, 54, 240, 294 Commenda 229 Contingenten 221 Contingenten 187, 199 Coromandel 54, 80 Corsario 103
Cu-Cu 121, 170
Cula badak 36, 186
D
Daerah swatantra 90
Daha 91, 100, 104, 156, 168
Damais 144, 145, 333
Damar 50
Datu 45, 312
Dayo 202
De Houtman, C. 204
Deklarasi Djuanda 10
Deli 78
356 Index

Denmark 131
Demak, Sultan 104, 122,
176, 197, 201
der Meulen, Van 41
De Sa, Francisco 197, 203
Desentralisasi 5, 11
Dharmawangsa 57, 58, 153,
239, 240, 241, 248, 265
Dialog Budaya Hindu, Budha 277
Dialog Budaya Islam 283
Dirham 67
Disintegrasi 12, 260, 326
Djung 95
Dwipantara 87, 88, 91

E
Ekologi Maritim 23
Ekonomi Maritim 225, 250
Emas 14, 34, 35, 36, 39, 41,
1'l, 45, 50, 67, 75, 80, 94,
126, 128, 131, 156, 186
Emporium 22, 76, 77, 117, 120,
149, 150, 156, 162, 193, 338, 347

F
Fansuri, Hamzah 80, 81, 308, 309
Fatahillah 110, 115, 122,
203, 204
Frank 145, 261, 265
G
Gading 36, 50, 131, 186
galangan kapal 174, 185, 291
Galesong 132, 136
Galias 78
Galvao, Antonio 289
Gappa, Amanna 162, 224, 302,
303, 317, 349
Geografi 23, 36, 84, 294,
295, 297
Geographike Hyphegesis 274
Gowa-Tallo 127, 128, 129
Gresik 15, 68, 75, 97, 105, 121, 123, 136, 138, 168, 169, 171, 172, 184, 185, 188, 189, 190, 192, 193, 194, 197, 210, 212,
219, 231, 260, 284, 292,
302, 324
Groeneveld 36, 42, 145, 149,
155, 156, 216, 263, 335 Guide to Geography 33
Gujarat 67, 75, 80, 114, 116,
117, 131, 188, 189, 212,
251, 283, 284, 291,
296, 297
Gunavarman 234, 263
Gunung Jati, Sunan 109, 110,
113, 122, 123, 124,
171, 192
Gurun 25, 34, 86, 87, 93
Sejarah Marlim Indonesia I 357

H
Hadirin, Pangeran 176
Hairun 140
Haji, Sultan 119
Hasanuddin 115, 134, 162, 317
Hasanudin, Sultan 132, 134
Hayam Wumk, Prabu 99, 100
Hegemoni perdagangan 52, 239,
240, 247
Heger, F. 31
Heine Geldem, Von 27, 41
Hien, Fa 201
Hilcayat Banjar 96, 155, 348
Hikayat Raja-raja Pasai 67,
150, 347
Hinterland 174, 182, 201, 207,
208, 209, 211,223
Hipotesa ksatria 278
Hipotesa vaisya 278
Hongie tochten 142
Houben 3, 10, 18, 19, 21, 337
Hsien, Fa 234, 263, 293
Huan, Ma 72, 73, 97, 156, 168,
170, 184, 188, 189,
215, 216
Hujunggaluh 39
HukumAdat Laot 303
Hukum di Bidang
Kemaritiman 301

I
Ibrahim Alfian, T. 147, 148,
318, 330
I La Galigo 127, 312, 313, 318, 338
I-tsing 47, 48, 49, 52,
60, 234,235, 246, 258 Inayat Syah Zakiat-addin Syah, Sultanah 81
Industri perahu 185
Inggris 18, 76, 80, 131, 140,
151, 204, 205, 291, 304
Integrasi 2, 3, 5, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 16, 21,54, 78, 244, 249, 254, 260, 308, 322, 325, 326, 327, 328, 347
Iskandar, T. 150, 262

J
Jailolo, Raja 137
Jakarta, Pangeran 204, 205
Jaladi 300
Jaladimantri 102
Jambi 45, 49, 50, 51, 52,
56, 60, 74, 92, 135, 231,
247, 253, 284, 299,
307, 308
Jamin, Mohamad 69
Jaring 183
Javanese amulets 254
Jawa Dwipa 100
Jawadwipamandala 88
Jayanegara 84, 91, 94
Jepang 4, 21, 119, 131, 201,
226, 346
Jepara 75, 77, 105, 106, 108,
111, 168, 169, 170, 171,
172, 173, 174, 175, 176,

358 Index

177, 178, 179, 180, 184 323,324


185, 187, 188, 197, 198, Kawasan Laut Maluku 10,
199, 201, 210, 212, 231, 82, 139, 324
291, 301, 307, 317, 324, Kawasan Selat Malaka 9, 46,
Jepara, Pangeran 178 10,

Johor 76, 77, 78, 79, 82, 129,


130, 134, 135, 136, 150,
162, 296, 301, 302, 310,
324, 342
Jonge, De 216
Jung 174
Jung Jawa 97,180, 257, 258
Juwana 171, 172, 197, 199, 210

K
Kajongan 186
Kakawin Jawa Kuna 151
Kalachakra 88
Kalachakra 88
Kaligarang 195, 196
Kalinyamat, Ratu
111, 176, 177, 178, 179, 301, 317
Kalimantan Timur 37, 136, 245
Kaliwungu 171
Kan-Hsing 90, 154
Kamalat Syah, Sultanah 81
Kapal cadik berganda 287
Kapur barns 50, 186, 213,
231, 233
Karangbogem 183
Karkun 304
Kartodirdjo, Sartono 146, 149,
156, 262, 267, 314
Kawasan Laut Jawa 10, 16, 82, 235, 236, 245, 324
Kayu gaharu 36, 37
Kebaharian 7, 10, 11, 14 Keling 67, 114, 164, 189, 304 Kemenyan 50, 231, 244, 273 Kemilaha 142
Kendal 171, 172
Kerajaan Gowa-Makassar 126, 129, 134
Kerajaan Maritim 6, 10, 43, 44, 45, 46, 50, 52, 54, 55, 58, 59, 64, 66, 68,76, 77, 90, 105,115, 127, 128, 136, 140, 141,209,
210, 211, 212, 213, 235, 285, 298, 304, 306, 309, 310,
324, 328
Kertanagara 61, 62, 84, 85, 86,
87, 88, 90, 94, 192, 242,
243, 251, 252, 266, 327,328 Khan, Khubilai 87, 88, 100 Klein, Peter 3
Kolonial 5, 7, 19, 119, 178,
180, 183, 195, 198,
199, 308
Kompas 295, 296, 297
Kora-kora 136, 140, 141,142,
257, 258, 259, 289 Korzeniowsky, Josef 129 Kota Kapur 46, 56, 57, 146,
263,331
Sejarah Maritim Indonesia I 359
Kota pantai 6, 15, 19, 22, 169,
170, 189, 328,348
Kra 50, 58
Krom 61, 99, 145, 151, 156, 339
Kudadu 90
Kudus 123, 171, 172, 174,
178, 285
Kulit penyu 36
Kuwat Widodo, Sutejo 22

L
Lada 14, 15, 36, 50, 59, 75, 77, 78, 80, 82, 87, 113, 114, 115, 116, 117, 122, 125, 131, 148, 186, 201, 202, 203, 209, 212,
221, 231, 233, 248, 304
Laksamana, Kyai Demang 177, 178
Lamer 80
Lamongan 172, 193, 306 Lampung 49, 50, 57, 92, 114, Leur, van 13, 14, 15, 21, 22, 213
262, 273, 278, 314, 315 Lingua franca 115, 307
Lintas Budaya 2, 6, 7, 8, 19,
269,273, 322, 325, 327, 328 Lord of a Hundred Islands 140

M
Macia, Gajah 62, 91, 94, 102, 252 Macintyre 44, 143, 262, 340 Madura 15, 19, 22, 83, 86,
90, 167, 172, 188, 194,
198, 201, 210, 252, 287,
340, 348
Makao 131
Makassar 15, 16, 22, 44, 126, 127, 128, 129, 131, 132, 133, 134, 135, 162, 163, 194, 231, 259, 260, 270, 284, 296, 302,
303, 343, 347
115,116, 305 Makian 136, 137, 139, 164
Lapian 9, 13, 22, 207, Malabar 114, 117
224, 261, 266, Malaka 4, 7, 43, 45, 46, 47,
318, 339 315, 49, 50, 51, 52, 60, 226
Lasem 100, 135, 168, 171, 227, 231, 234 235, 236,
185,187, 194, 257,291 238, 244, 245, 246, 262,
LautJawa 3, 10, 16, 57, 76, 265, 284, 289, 290, 291,
9, 82, 83, 85, 86, 101, 107, 292, 293, 300, 301, 302,
108,150, 177, 196,209, 303, 304, 310, 311, 322,
258, 292 323, 324, 326, ,
Laut utama 9, 10 Mandar 128, 135, 194, 312
Lela-lela 78 Manjong 74
Lembu 80 Marawijayotunggawarman 57
360

Mare liberum 131


Masjid 107, 108, 118, 186,
193, 212, 285, 306,307
Masyhuri 16, 22, 340
Mataram Islam 111, 186, 190,
197, 220, 313
Matoa 302
Maziyah, Siti 42
Medang 170, 196
Mempawah 194
Menzies, Gavin 243
Milcsic, John 27, 29, 30, 31, 41,
63, 86, 280, 281
Ming 66, 70, 73, 97,
149, 156, 1%, 243
Mo-lo-yeu 45, 59, 307
Moddinger 32, 33
Mojokerto 39, 89
Moor 77
Motir 136, 137, 139, 164 MuaraJati 121, 123, 124 Muda, Iskandar 78, 81, 149,
150, 303, 304, 317 Muljana, Slamet 99, 143,
151, 156
Mutiara 14, 36, 41, 186

N
Nagarakertagama 60, 95, 148,
153, 154, 342
Nalanda 54, 60, 237, 246
Nan Yang 87
Negapatnam 53
Negara marithn 11, 13,16, 82,
86, 127, 236, 237, 289,
Index

294, 300
Negara, Taruma 56, 200, 201
Nekara pen.mggu 31, 32
Neolithic-axes 26
Nias 78
Nurul al-Alam Nakiat-addin
Syah 81

0
Orang kaya 78, 81, 121, 184, 232, 304
P
Pacinan 117, 186
Pahang 50, 61, 76, 78, 82,
236, 252, 253, 296 Pajajaran 110, 112, 113, 115,
121, 122, 168, 170, 171,
200, 201, 203, 210
Pajak pamuja 101
Pajang 100, 111,
168, 176, 187, 197 Pamalayu 58, 61, 62, 86, 243 Pamekasan 15
Pan-Nusantara 252
Panarukan 15, 109,
197, 204, 210
Pandan Arang, Kyai 197
Papua 9, 86, 87,
91, 93, 140, 270, 288
Parameswara 69, 72, 73, 74
Pararaton 60, 83, 84, 93, 147,
151, 152, 153, 154, 155,
185, 252, 259, 267, 342
Sejarah Maritim Indonesia I 361

Pasai 62, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 71, 74, 77, 81, 94, 97, 100, 101, 102, 108, 110, 113, 122, 147, 148, 150, 155, 184, 210, 231,
284, 306, 324,
326, 329, 347
Pasarean, Pangeran 115, 122, 124 Pashuta 80
Pasir 92, 136, 190, 194, 303 Pasuruan 15, 109, 110, 199 Patah, Raden 105, 106, 107,
168, 170, 192, 197, 212 Pati 171, 172
Patola 82
Pegu 67, 80, 114, 117, 304 Pekalongan 171, 307
Pelabuhan 8, 15, 16, 22, 34, 39, 44, 49, 52, 53, 54, 56, 58, 64, 65, 108, 168, 170, 171, 173, 174, 176, 177, 178, 179, 180,
182, 183, 184, 185, 186, 187, 188,
189, 190, 192, 196, 197, 198, 199, 201, 200, 202, 203, 206, 207, 209, 211, 212, 214, 218,245, 250, 260, 265, 283, 291,
299, 301, 302, 303, 306, 310, 327,348, 350, 351
Pelabuhan transito 73, 128,
190, 201, 231
Pelayaran 47, 49, 52,
53, 54, 56, 58, 60
Penghulu Kawal 304 Penyu 36, 50, 186
Perahu 25, 26, 27, 28, 39, 41,
44, 49, 68, 73, 77, 86,
103, 124, 130, 136, 139,
174, 175, 185, 186, 220, 224, 227, 258, 269, 270, 285, 288, 289, 290, 291, 292, 293, 302, 303, 306, 308, 315, 321,
346
Perahu bercadik 27, 269, 321 Perak 14, 35, 36, 74, 78, 129 Perancis 78, 80, 119
Perang Pacina 111, 171
Perdagangan laut 4, 10, 36, 52, 74, 77, 83, 101, 134, 140, 183, 188, 190, 226, 240, 290, 304, 308,324 Perdagangan maritim
8, 209, 233, 239, 242, 269,
273, 276, 327
Perlak 65, 82, 92, 284
Persi 213
Pigeaud, Th. 148, 149, 151,
157, 158, 159, 161, 216,
217, 218, 219, 222, 335 Pinang 36, 324
Pires, Tome 71, 96, 105, 108,
113, 121, 122, 155, 158,
160, 161, 168, 170, 174,
175, 185, 188, 190, 192, 197, 202, 216, 220, 254, 266, 293, 333, 335 Poelinggomang 22, 163, 343 Politik Pan-Nusantara
252 Polo, Marco 62, 66, 284
362

Porselen 82
Portugis 75, 76, 77,
78, 79, 105, 108, 109, 110
Prasasti Kembang Putih 183
Prasasti Malenga 183
Prasasti Sukamerta 90
Probolinggo 15
Ptolomeus, Claudius 33, 274
Puhawang 298
Pulau Kei Kecil 286
Purbatjaraka 99

R
Reid, A. 18, 21, 148, 261, 267, 329, 337
ralcit 44, 51, 286
Rajasa, Ranggah 84, 152 Reeves, Peter 207, 223 Rempah-Rempah 24, Index

Sambas 92, 194, 302


Sampan 29, 31, 286, 287
Sarwajala, Senapati 85, 153,
185,250
Sastra Maritim 285, 307, 308, 313
Sastra Melayu 81
Schrieke 162, 218, 315, 316, 345
Sea system 9
Sedayu 123, 171,
172, 183, 197, 210
Sedjarah Melaju 71, 95, 148,
149, 155, 310, 311,
318, 329, 345, 349
Sedyawati, Edi 183, 218, 219
Sejarah Maritim 2, 4, 5, 6, 7,
12, 13, 14, 15, 16, 18,
126, 180, 206, 207,
325, 327, 346,
Selangor 74
Senopati, Panembahan 178,
35, 36, 37, 38, 80, 82, 87, 193, 198, 224, 313
123, 220, Semarang
94, 101, 116,
128, 129, 131 136, 137, 21, 168,
106, 170, 172 179 180
139, 163, 175, 184, 186, 191, 195, 196, 197, 198,
188, 190, 193, 202, 210, 199, 200, 210 216 217
213, 214, 224, 227, 233, 218, 220, 221, 222, 330,
,
242, 244, 247 251, 332, 334, 348, 350, ,
273, 323, 324, ,
Semenanjung Malaka 50,
51,
Robert, Mc. 147, 266, 340 Roelofsz, Melink 14 Roteiros 294

Salapang 128
Sam Poo 196, 216, 348 66, 68, 71, 76, 78, 83, 86,
130, 308, 311
Shih, Ming 97, 156
Siam 58, 67, 70, 71,
73, 75, 93, 100, 150, 188,
190, 209, 253, 311
Siddhayatra 48

Sejarah Maritim Indonesia I 363

Sidoarjo 172 295


Silasastra 281 275, 283, 284, 294, ,
Silk Road 113 300, 306, 322, 324,
Silsilah Melayu 309, 318, 350 Sumenep 15, 184, 302,
Simongan 197 Sunda 51, 52, 54, 305
simpul-simpul perdagangan 55, 59, 86, 110, 113
238, 117
Singhasari 7, 61, 62, 82, Sunda
119, Kelapa 168,113, 114, 200,
170,171,
,
83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 201, 203, 204, 277
90, 91, 101, 152,153, 219, Sungai Brantas 39, 84,
85, 192,
242, 243, 251, 252, 265,
250, 265 85,
266,
Siri 129, 267, 326,
135345 89, 97, 109, 116,
Sjafei, S. 145 136, 144, 168,169,129,
171
Soekmono 144, 145, 146, 147, 172, 179, 184, 188,
187, ,
148, 149, 156, 157, 158,
189, 190, 191, 192, 193
160, 146,
Soeroto 261, 262,
315, 316,
345 346 Sutera 44, 50, 82, 131,
Sombaopu 127, 132, 133 213, 245, 255. 256, 292
Soppeng 127, 129, 132, 133
Spanyol 130, 139, 140,
142, 228, 291, 296, 323
Sukmono 99
Sulistiyono
3, 18, 19, 21, 22, 162, 163, 316
Sumatra 9, 20, 21, 24, 28, Sutherland, Heather 15, 22, 162,
163, 207
Sutjipto 15, 22
Suwamabhumi 45, 143, 342
Syah, Ali Mugayat 77
Syah, Iskandar 69, 71, 73, 95,
97, 311
31, 32, 33, 37, 44, 45, Syair Perahu 80, 308
48, 34, 54,
50, 51, 58, 59,
60, 52, 65,
62, 63, 72, 74, T
76, 64, 96,
78, 80, 105,
82,
106, 107, 108,113, 115, Tajussalatin 81
116, 183, 190,227, 230, Tao-i-chi-lio 51
231, 232, 238,239, 241, Tassawuf 80, 285, 308,
318
248, 249, 251,253, 256, Tegal 171, 172, 179,
264, 265, 270,271, 274, 197, 198, 199
364 Index

Teksti180, 82, 87, 101, Vlekke 99, 145, 156, 169,


114, 129, 134, 255, 256 211, 215, 266, 349
Tjandrasasmita, Uka 147, VOC 14, 15, 16,
82, 119, 120,76,124, 125,
158,
131, 132, 133, 134, 135,
Tjoe Som, Tjan 42, 348 142, 163, 178, 179, 191,
To-lang-po-hwa 44 194, 195, 198, 199, 204,
Trenggono 108, 109, 110, 205, 218, 221, 259, 313
111, 113, 115, 122, 123 Tribhuwanatunggadewi 91 Trowulan 89, 192, 284
Tuban 39, 58, 68, 75, 85, 97, 105, 109, 121, 123, 155, 168, 169, 171, 172, 181, 182, 183, 184, 185, 186, 187, 193, 194, 197,
210, 212, 218, 250, 252, 260, 284
Tumapel 70, 71, 84, 87,
89, 97, 100, 156
Turlci 77, 80, 108, 114, 117,
140, 141, 232

U
Uleebalang 81
Undhagi lancang 185
Unus, Pati 106, 107,
108, 173, 291, 301
Utomo 144, 349 Wajo 127, 128, 129,
132, 135, 302
Wales 146, 147, 264, 343, 349
Wang-ta-yuan 51
Wengker 100, 168
Wertheim 145, 262,
266, 314, 350
Wheatley, P. 149
Wijaya, Diyah 84
Wilkinson, R.J. 149, 262
Wiradesa 171
Wisnuwardhana, Jaya 84

Yai Sheng Lan, Ying 156, 216


Yogini 88
Yuan 87, 154
Yung Lo, Kaisar 97

V z
Vassal 12, 87, 90, 97, 189 Zone komersial 9, 82
Venesia 62, 117, 284
verplichte leveranties 187, 199

Anda mungkin juga menyukai