Anda di halaman 1dari 17

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada tanggal 7 Agustus 1953 Komandan Tentara Keamanan Rakyat (TKR)1 di

Sulawesi Selatan, Abdul Qahhar Mudzakkar memproklamasikan penggabungan pasukan-

pasukan dan daerah yarT dikuasainya, ke dalam Negara Islam Indonesia (NII) yang

berada di bawah pimpinan Imam Kartosuwirjo yang berpusat di Jawa Barat. Dengan

demikian jangkauan pengaruh Kartosuwirjo yang telah mmemproklamasikan berdirinya

NIT pada tanggal 7 Agustus 1949 di Jawa Barat bertambah luas.

Untuk menopang NII yang didirikannya itu, Kartosuwiryo membentuk Gerakan

Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DUTII), yang digunakan untuk menentang

pemerintah negara Republik Indonesia (RI) yang diproklamasikan pada tanggal 17

Agustus 1945 di Jakarta. Pemberontakan gerakan DI/TII mampu berlangsung kurang

lebih 15 tahun; perlawanan bersenjatanya baru dapat ditumpas pada tahun 1965.

Gerakan DI/TII yang digerakkan oleh Kartosuwirjo bertujuan mendirikan NII itu

hanya merupakan salah satu dari sekian banyak peristiwa yang pernah terjadi dalam

periode yang sama. Sekedar sebagai contoh, telah terjadi peristiwa pemberontakan Partai

Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1948; dari pelakunya jelas kelihatan latarbelakang

ideologi komunis. Ada juga pemberontakan yang bersifat kesukuan, yaitu gerakan

Republik Maluku Selatan (RMS) (1950-1965) yang berkehendak mendirikan negara

kesukuan di daerah Maluku Selatan. Krisis tampaknya masih tetap berlanjut dan salah

satu puncak dari krisis itu ialah lahirnya gerakan Pemerintah Reyolusioner Republik

Indonesia (PRRI) di Sumatera. Gerakan ini kemudian bersekutu dengan gerakan

Pembangunan Semesta (Permesta), dikenal dengan gabungan nama: Gerakan

PRRI/PERMESTA. Gerakan ini berlangsung pada tahun 1958-1965.

Ketika peristiwa-peristiwa yang disebut di atas berlangsung, sistem pemerintahan

dan/atau kabinet serta sistem demokrasi yang dipergunakan untuk menata kehidupan

bernegara sebagai bangsa merdeka, memang tidak dalam keadaan yang cukup baik untuk
2

mendukung jalannya pemerintahan negara. Dalam periode Perang Kemerdekaan (1945-

1950) sistem pemerintahan dan bentuk negara telah mengalami empat kali perubahan,

dari sistem presidentil ke sistem Kabinet Parlementer, lalu kembali kembali lagi ke sistem

Kabinet Presidensiil kemudian berubah lagi menjadi sistem Kabinet Parlementer.

Demikian pula bentuk negara kita; pada awal kemerdekaan, sesuai dengan Undang-

Undang Dasar Negara yang berlaku ketika itu, UUD 1945, bentuk negara kita adalah

negara kesatuan. Tetapi kemudian, sesuai dengan hasil Konperensi Meja Bundar (KMB)

bentuk negara itu berubah menjadi bentuk negara federasi. Usianya sangat singkat,

Desember 1949-16 Agustus 1950, dengan nama Negara Republik Indonesia Serikat

(RIS). Sistem Demokrasi yang berlaku di dalam periode 20 tahun pertama (1945-1965)

dari kemerdekaan itu juga telah berubah-ubah, dari sistem demokrasi liberal yang

berlangsung pada tahun 1950-1959 untuk kemudian berubah menjadi sistem demokrasi

terpimpin. Berlakunya sistem demokrasi liberal ditopang oleh UUDSementara 1950

dengan ciri pemerintahan sistem Kabinet Parlementer dan kEkuasaan partai-partai politik

amat menentukan jalan pemerintahan waktu itu, di samping juga keliberalan yang

dilaksanakan ialah persaingan antara partai-partai untuk menjadi pemegang pemerintahan

negara. Salah satu hal yang nampak dalam persaingan partaipartai itu ialah tiadanya

Kabinet yang berumur panjang dan mampu menjalankan programnya secara teratur,

sebagaimana yang mereka rencanakan. Program partai dari formatur Kabinet yang

menjadi Perdana Menteri sering dianggap lebih penting, walaupun sudah ada program

Kabinet yang disepakati.

Di dalam situasi persaingan antara partai-partai itu berlangsung pula persaingan

ideologi di antara partai-partai pendukung, yaitu antara golongan yang berideologi

Pancasila dan Islam. Persaingan ini berlangsung terus, baik sebelum pemilihan umum

maupun sesudah. Sebelum pemilihan umum pernah terjadi polemik yang berkepanjangan,

yaitu pada tahun 1953. Polemik di antara pendukung Pancasila sebagai ideologi dan Islam

sebagai ideologi negara itu berpangkal pada pidato Presiden Soekarno di Amuntai yang

dinyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara nasional dan tidak menghendaki
3

Indonesia sebagai negara berdasarkan Islam, karena banyak daerahdaerah lain akan

memisahkan diri.

Setelah pemilihan umum tahun 1955 ternyata situasi pemerintahan yang didominasi

oleh partai-partai yang saling bersaing, tetap berlanjut walaupun sebenarnya hanya ada

empat partai yang dapat memperoleh suara dari rakyat pemilih dalam jumlah yang cukup

besar. Keempat partai itu ialah Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, Nandatul

Ulama (NU) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang masing-masing memperoleh 57,

57, 45 dan 39 kursi.

Pemerintahan yang tidak stabil juga dimungkinkan karena makin meruncingnya

perbedaan pendapat antara golongan pendukung Pancasila dan pendukung Islam di dalam

Badan Konstituante hasil pemilihan umum. Sampai dengan tahun 1958, belum juga

berhasil menciptakan Undang-Undang Dasar Negara sebagaimana yang ditugaskan.

Perdebatan anggota-anggotanya tentang Pancasila atau Islam yang akan menjadi dasar

negara merupakan faktor utama dari keagalan mereka untuk merumuskan suatu undang-

undang dasar yang diharapkan

Situasi yang makin terbuka memungkinkan berkembangnya pertentangan-pertentan-

gan di antara golongan yang ada di dalam masyarakat. Dalam situasi demikian Presiden

Soekarno mengambil suatu keputusan untuk menggantikan sistem demokrasi liberal

dengan sebuah demokrasi yang dianggapnya sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia,

demokrasi terpimpin. Untuk menjalankan sistem Demokrasi Terpimpin, diperlukan

undang-undang dasar yang dapat digunakan untuk mengatur pemerintahan yang

berdasarkan demokrasi Presiden Soekarno itu. Sehubungan dengan itu pimpinan

Angkatan Darat mengusulkan kepada Presiden untuk kembali memberlakukan Undang-

Undang Dasar '45, krisis pemerintahan negara akan diselesaikan sekaligus juga akan

dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah keamanan di dalam negeri.

Demikianlah, akhirnya usul pimpinan Angkatan Darat itu diterima oleh presiden.

Pada tanggal 5 Juli 1959 diumumkan Dekrit Presiden yang memberlakukan kembali UUD

1945 untuk mengatur kehidupan bernegara bagi bangsa Indonesia. Sejak itu berlaku
4

sistem Demokrasi Terpimpin. Dengan latar belakang seperti yang dikemukakan di atas,

penulis memilih tema yang menyangkut masalah gerakan DI/TII yang berlokasi di daerah

propinsi Sulawesi Selatan dan jarak waktunya adalah 1950-1965.

Dari pemaparan di atas manjadi inspirasi historis untuk melakukan suatu pengkajian

literal terhadap perkembangan pemberontakan DI/TII di daerah Sulawesi. Untuk kajian

dimaksud maka rumusan judul penelitiannya adalah; Perkembangan Gerakan Kahar

Mudzakkar di Sulawesi Selatan (1958 – 1965).

B. Rumusan Masalah
Dalam pembahasan ini titik berat pembahasan saya tekankan pada perkembangan

gerakan Kahar Mudzakkar di Sulawesi Selatan tahun 1958 hingga tahun 1965. Adapun

permasalahan penelitian yang di rumuskan adalah :

1. Bagaimanakah biografi Abdul Qahhar Mudzakkar ?.

2. Bagaimana proses lahirnya Gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan ?

3. Siapa saja yang menjadi pengikut Abddul Qahhar Mudzakkar ?

4. Bagaimana langkah penyelesaikanterhadap Gerakan Abdul Qahhar Mudzakkar?

5. Apakah dampak Gerakan Abdul Qahhar Mudzakkar di Sulawesi Selatan?.

C. Pembatasan Masalah
Penelitian ini berjudul Perkembangan Gerakan Kahar Mudzakkar di Sulawesi

Selatan (1958 – 1965). Pembatasan yang jelas diperlukan karena suatu penelitian akan

bermanfaat jika dilakukan secara terbatas, baik dilihat dari segi geografi maupun dari segi

pembatasan jarak waktu berlangsungnya. Dengan mengambil lokasi tertentu maka kita

akan dapat memperoleh batas-batas geografi dan kebudayaan secara jelas. Dengan

demikian dalam penelitian ini batasannya yakni sekitar pemberontakan DI/TII pimpinan

Kahar Mudzakkar di Sulawesi Selatan dengan temporalnya tahun 1958 hingga tahun

1965.
5

D. Tujuan Penelitian
Secara eksplanatif historis bahwa tujuan penulisan ini tidak hanya berusaha untuk

mengungkapkan apa yang terjadi dan kapan terjadinya suatu penistiwa, melainkan juga

berusaha untuk mengungkapkan bagaimana dan mengapa penistiwa itu terjadi. Persoalan-

persoalan yang terkandung di dalamnya mengacu kepada hal-hal yang berkaitan dengan

sebab-musabab dan faktor-faktor kondisional yang ada dan berkembang pada waktu itu.

E. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagi para pembaca.

a. Diharapkan memperoleh suatu gambaran mengenai Perkembangan Gerakan Kahar

Mudzakkar di Sulawesi Selatan (1958 – 1965).

b. Dapat mengambil kesimpulan tentang Perkembangan Gerakan Kahar Mudzakkar di

Sulawesi Selatan (1958 – 1965).

2. Bagi penulia.

a. Dalam upaya mengukur kemampuan penulia dalam penelitian dan

merekonstruksikan periatiwa masa lampau dengan mencari kebenaran hiatoria

dalam bentuk penuliaan.

b. Sebagai suatu wujud tanggung jawab penulia sebagai mahasiawa sejarah dan

menjadi sejarawan pendidikan.

F. Sistimatika Penulisan

Dalam proses penulisanya menggunakan sistimatika sebagai berikut:

Bab I. Pendahuluan terdiri dari

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

C. Pembatasan Masalah

D. Tujuan Penelitian
6

E. Manfaat Penelitian

F. Sistematika Penulisa

Bab II. Tinjauan Pustaka yang terdiri dari;

A. Penjelasan Istilah

B. Kerangka Teori

C. Kerangka Berpikir

Bab. III. Metode Penelitian yang terdiri dari;

A. Lokasi Penelitian

B. Jenis Penelitian

C. Teknik Pengumpulan Data

D. Teknik Analisa Data

E. Teknik Penulisan

Bab. IV. Pembahasan Hasil Temuan.

Bab V. Penutup yang meliputi;

A. Kesimpulan

B. Saran

Daftar Pustaka

Glosarium

Lampiran-Lampiran.
7

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Pengertian Iatilah
Untuk menghindari kesalahan dalam penafsiran terhadap iatilah-iatilah yang

digunakan pada judul penelitian ini maka penulia dengan menggunakan pendekatan

linguiatik akan menguraikan iatilah-iatilah yang ada pada judul penelitian yakni;

1. Perkembangan

Mekar terbuka atau membentang, (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005 . 538). Suatu

kondiai yang terjadi terhadap sesuatu setelah melalui tahapan pertumbuhan.

2. Gerakan

Dalam konteks literal pegerakan merupakan suatu tindakan terencana yang dilakukan dan

ditujukan pada suatu perubahan untuk melestarikan pola-pola tertentu.

3. Kahar Mudzakkar

Abdul, artinya : Hamba, Budak


Qahhar, artinya : Tuhan Yang Gagah Perkasa
Mudzakkar, artinya : Jantan, bersifat jantan.
Jadi, Abdul Qahhar Mudzakar, berarti: Hamba Tuhan yang bersifat jantan.
Abdul Qahhar Mudzakar dalam konsep ini merupakan seorang tokoh yang berasal dari

Sulawesi Selatan. Ada yang menganggapnya sebagai patriot tetapi juga persepsi sebagian

orang bahwa ia adalah pemberontak.

4. Sulawesi Selatan

Nama pulau dan propinsi di kawasan Indonesia bagian Timur.

5. Tahun 1958 – 1965

Tahun 1958 – 1965 erupakan babakan waktu yang penulis gunakan untuk membatasi

lingkup waktu dalam penelitian ini. Dimana Tahun 1958 merupakan tahun awal

munculnya Gerakan Qahhar Mudzakkar dan tahun 1965 adalah tahun berakhirnya

Gerakan.
8

B. Kerangka Teori
Dari kerangka permasalahan yang telah dikemukakan di atas, terlihat bahwa

menulis suatu gerakan pemberontakan yang merupakan salah satu jenis gerakan sosial

dan kolektif bukanlah pekerjaan mudah. Sebab sebuah gerakan pemberontakan lahir dan

tampil ke permukaan berawal dari adanya pelbagai hal yang terjalin satu dengan lainnya

dan berakumulasi untuk kemudian mendorong peristiwa itu terjadi. Atau dengan kata lain,

sebuah peristiwa sejarah biasanya mengandung di dalam dirinya sifat yang rumit. Tetapi

sebelum hal-hal itu terjalin dan berakumulasi yang menyebabkan adanya sifat rumit, hal-

hal itu mempunyai latarbelakang perkembangan sendiri-sendiri. Dengan demikian, di

dalam langkah penggarapannya diperlukan peralatan berupa pendekatan teori yang

diharapkan dapat lebih mempermudah usaha penulisan.

Namun, menemukan suatu alat pendekatan teori yang dimaksud bukan pula

pekerjaan yang tidak sulit. Itu bermula dari adanya kenyataan bahwa aspek-aspek yang

terdapat di dalam permasalahan yang digarap sangat bervariasi sifatnya. Misalnya

peristiwa yang terjadi di suatu tempat di Afrika tentu akan berbeda dengan peristiwa yang

terjadi di negeri-negeri Arab atau Asia, walaupun peristiwa itu dapat disebut

pemberontakan terhadap suatu pemerintahan yang terbentuk secara konstitusional. Tidak

hanya itu, bahkan juga suatu pemberontakan di daerah-daerah tertentu di dalam suatu

negara juga memiliki perbedaan masing-masing.

Pemberontakan yang pernah terjadi di Indonesia, misalnya peristiwa pemberontakan

RMS berbeda dengan PRRI/Permesta. Bahkan bisa juga terjadi terdapat perbedaan-

perbedaan di dalam suatu pemberontakan yang memiliki nama dan tujuan yang sama

dilihat dari latarbelakang peristiwa dan geografinya masing-masing. Ini terlihat pada

gerakan DI/TII di Indonesia. Ada perbedaan-perbedaan tertentu antara gerakan DI/TII di

Jawa Barat dengan yang berlokasi di Aceh; demikian pula terdapat perbedaan antara

gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan dan Kalimantan dan sebagainya.

Pilihan terhadap suatu alat pendekatan teori yang akan digunakan untuk menggarap

suatu subyek penelitian tertentu tidak dengan sendirinya dapat digunakan bagi penelitian
9

subyek yang lain. Karena itu peneliti yang bersangkutan perlu memeriksa bahan-bahan

secara seksama agar memperoleh kejelasan untuk menentukan kerangka dan pendekatan

teori yang akan diguriakan. Sehubungan dengan itu, jika kita meneliti suatu subyek yang

menyangkut dengan pemberontakan, maka diperlukan suatu pemahaman terhadap apa

yang dimaksud dengan pemberontakan itu. Tentang hal ini telah dikatakan bahwa gerakan

pemberontakan merupakan langkah-langkah membuat tuntutan terhadap kekuasaan untuk

perubahan tertentu terhadap undang-undang atau struktur-struktur kekuasaan. Karena itu

dapat dikatakan bahwa sebuah pemberontakan pasti mempunyai:

"...their goals, their methods of recruitments and indoctrination, their organizational


characteristic, and their propensities in decision-making and action ".
Hal lain yang nampak dari sebuah gerakan pemberontakan ialah sifat agresif yang

merupakan tingkah laku individu yang bermaksud untuk mencelakakan orang lain yang

dianggap lawannya. Pada umumnya sifat agresif berkaitan dengan kondisi psikologi

seseorang yang disebut frustrasi. Artinya situasi yang dihadapi oleh individu, baik secara

perorangan maupun yang kemudian berkembang menjadi kelompok, melahirkan

hambatan terhadap tujuan yang hendak dicapainya. Karena itu adalah sebagai berikut:

"The concept of frustration has been the psychological variable most commonly evoked
to account for individual participation in political protest and violence that agression
always results from frustration".

Dalam kaitannya dengan konsep frustrasi-agresi ini telah dikembangkan sebuah

teori yang disebut deprivasi relatif (relative deprivation). Teori ini pada mulanya

dikembangkan dan digunakan oleh sebuah penelitian yang diorganisasikan dan dipimpin

oleh Samuel Stouffer selama Perang Dunia II. Obyek penelitiannya difokuskan pada

lingkungan Angkatan Perang Amerika Serikat. Selama perang, kelompok peneliti pim-

pinan Stouffer ini telah melakukan beberapa penelitian, tetapi umumnya difokuskan pada

efektivitas tentara di dalam pertempuran. Salah satu hal yang telah diteliti secara seksama

ialah aspek morale dalam arti semangat juang dan kebersamaan: Perhatian terhadap aspek

ini nampaknya didorong oleh kepercayaan bahwa morale mempunyai pengaruh yang

besar terhadap efektivitas pertempuran. Perbaikan morale akan meningkatkan efektivitas


10

di dalam pertempuran. Untuk maksud itu, deprivasi relatif digunakan Stouffer dan

kelompoknya untuk menjawab beberapa proposisi yang menyangkut dengan kenaikan

pangkat, pemisahan racial dan tingkat pendidikan di lingkungan tentara Amerika Serikat.

Teori deprivasi relatif bertolak dari perbandingan seseorang atau kelompok dengan

orang atau kelompok lainnya, kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli untuk

digunakan di dalam pelbagai penelitian yang mereka lakukan, khususnya di dalam

permasalahan pemberontakan, baik yang bersifat politik maupun millenaristik.

Sehubungan dengan pemahaman terhadap teori ini, beberapa ahli telah memberikan

definisinya, seperti Ted Robert Gurr:

"Relative deprivation (RD) is defined as actors perception of discrepancy between their


value expectations and their value capabilities. Value expectations are the goods and
conditions of life to which people believe they are rightfully entitled. Value capabilities
are the goods and conditions they think they are capable of getting and keqing".
Dari definisi yang dikemukakan di atas, terdapat dua hal yang amat penting dalam

kaitannya dengan deprivasi relatif, yaitu value expectations (nilai pengharapan) dan value

capabilities (nilai kemampuan) seseorang. Kedua hal inilah yang menjadi alat pemband-

ing seseorang atau kelompok dalam menilai dirinya dan kelompok lain. Itulah sebabnya

maka di dalam diri seseorang pelaku, bisa berkembang persepsi adanya jarak antara kedua

aspek nilai pengharapan dan kemampuan yang dimilikinya.

Ahli lain memberikan pengertian terhadap deprivasi relatif ini dengan mengatakan

bahwa " ...sebuah ketidaksesuaian negatif antara harapan yang wajar dengan

kenyataannya". Sedang Michael Adas menerangkan bahwa:

Persepsi atas penyimpangan antara harapan dan kapasitas ini menimbulkan deprivasi
perasaan (sense of deprivation) yang secara relatif dan kolektif telah dialami. Para
individu dan kelompok membandingkan status dan kemampuan mereka satu sama lain,
atau sama pentingnya, terhadap orang-orang yang ada (atau mereka fikir pernah ada) pada
zaman sebelumnya. Dalam proses ini untuk perubahan sangat kritis, karena perubahan itu
sendiri menciptakan penyimpang-an antara pengharapan yang dibenarkan dan kenyataan,
baik dengan memperburuk kondisi kelompok, atau dengan mengliadapkan kelompok itu
dengan standar baru.
Deprivasi berkaitan dengan keadaan psikologi seseorang yaitu perasaan. Di dalam

situasi perasaan yang mungkin serba resah, si pelaku memberikan ukuran-ukuran tertentu
11

di dalam membandingkan dirinya atau kelompoknya dengan orang atau kelompok

lainnya. Karena itu amat penting ditekankan bahwa "deprivasi adalah relatif dan tidak

bersifat mutlak".

Dengan demikian deprivasi "bukanlah sesuatu hal yang obyektif, tetapi perbedaan

antara apa yang diharap-harapkan dengan aktualitasnya yang kurang menyenangkan.

Dengan demikian, kita harus memandang harapan itu sebagai standar-standar, bukan

sebagai ramalanramalan mengenai hal-hal yang akan terwujud di hari esok.

Adanya sifat relatif yang berkaitan dengan keadaan psikologi yang mengacu pada

perasaan; maka lahir suatu hal yang amat sulit dari segi empiris. Karena itu untuk

menentukan titik pembanding (referensi), diperlukan sikap hati-hati. Sehubungan dengan

itu maka:

"Di antara titik-titik referensi ini yang jelas, yang dapat dan sudah dipergunakan dalam
penilaian-penilaian tersebut adalah: (1) Keadaan-keadaan masa lampau dibandingkan
dengan keadaan-keadaan masa sekarang; (2) Keadaan-keadaan masa sekarang
dibandingkan dengan keadaan-keadaan masa menda tang; (3) keadaan-keadaan sesuatu
pihak di masa kini dibandingkan dengan keadaan-keadaan pihak lain di masa kini.

Adanya titik referensi seperti di atas, dapat melahirkan jarak antara nilai
pengharapan dan kemampuan dari seseorang yang membandingkan diri dengan orang
atau kelompok lain. Jika ternyata yang bersangkutan memiliki perasaan adanya perlakuan
yang tidak pantas pada dirinya dan kemudian hal itu melahirkan perasaan frustrasi dan
penderitaan. Jika itu tidak dapat iselesaikan oleh pihak-pihak yang bersangkutan, maka:
"hasrat ini semakin bergolak karena setiap frustrasi, kegelisahan, atau kehinaan tak dapat
diterirna dan tak dapat ditanggulangi, baik dengan peinikiran maupun dengan
kelembagaan. Jika frustrasi, kekhawatiran atau kehinaan ini dialami secara bersama di
tempat yang sarna oleh sejumlah individu, maka terjadilah agitasi emosional kolektif
yang tidak hanya khas di dalam intensitasnya, tetapi juga di dalam ketidakterbatasan
tujuan-tujuannya".
Sebuah pemberontakan tentu memiliki perilaku kolektif atau collective behavior.
Perilaku kolektif sebagaimana yang diartikan oleh H. Ralph Turner dan M. Lewis Killian
di dalam bukunya: Collective Behavior (1957), adalah:
12

"...collective behavior as the behavior of collective, that is; groups characterised by


spontaneous development of norms and organizations which contradict or reinterpret the
norm and organization of the society ".

Dengan demikian perilaku kolektif bersifat relatif tidak tersusun, spontan dan

emosional, serta dalam suasana yang saling bertentangan. Sebuah perilaku kolektif juga

bertujuan untuk mereinterpretasi norma-norma dan organisasi yang ada di dalam

masyarakat. Perilaku kolektif dapat lahir di dalam kelompok tertentu yang bersifat

emosional. Hal ini bisa juga terjadi bila terdapat perasaan dari kelompok yang

beranggapan bahwa sesuatu dapat dan harus dikerjakan karena menyangkut isu atau

permasalahan tertentu.

Sehubungan dengan teori perilaku ini, Neil Smelser telah berjasa melalui bukunya

Theory of Collective Behavior. Sebuah gejolak sosial yang disebutnya collective behavior

merupakan mobilisasi atas dasar suatu belief, keyakinan, yang mendefinisikan kembali

aksi sosial. Gejolak sosial berwujud perilaku yang tak terlembaga, termasuk revivalisme

agama, pemberontakan dan revolusi 40 Keyakinan yang menjadi pendorong untuk ikut

serta di dalam gejolak sosial itu, oleh Smelser disebut generalized belief yang terdiri atas:

1). Yang bersifat his teria melahirkan panik.


2). Yang bersifat keinginan melahirkan keranjingan atau tipe tertentu dari revivalisme
dan lain-lain.
3). Yang bersifat bermusuhan, melahirkan upaya pengkambinghitaman orang lain atau
tindak kekerasaan dan lain-lain.
4). Yang berorientasi norma, melahirkan pergerakan reform dan counter reform.
5). Yang berorientasi nilai, melahirkan revolusi politik, pergerakan nasional, pemberon-
takan menentang Undang-undang Dasar Negara dan lain-lain.

Selanjutnya menurut Smelser, komponen-komponen aksi sosial terdiri atas: (1)


nilainilai, (2) norma-norma, (3) mobilisasi motivasi perseorangan untuk aksi yang teratur
dalam peran-peran kolektivitas dan (4) fasilitas situasional atau informasi, keterampilan,
alat-alat dan rintangan dalam mencapai tujuan yang konkret. Setiap aksi sosial itu dan
ditujukan untuk mengubah nilai-nilai, norma-norma, peranan-peranan dan fasilitas-
fasilitas.
Smelser kemudian menunjukkan bahwa sebuah gejolak sosial dapat terjadi jika

terdapat sejumlah faktor penentu, necessary conditions yang terdiri atas:


13

1). Structural conduciveness, yaitu adanya suatu struktur,sosial yang mendukung


terhadap lahirnya suatu gejolak.
2). Structural strain, yaitu adanya suatu ketegangan struktural yang timbul, misalnya
adanya suatu ancaman tertentu dan depresi ekonomi.
3). The Spread of generalized belief, yaitu tersebarnya keyakinan umum yang dianut. Ini
berarti situasi harus dibuat bennalum bagi para pelaku potensial, sumber ketegangan
dan cam menghadapinya harus diidentifikasi.
4). The precipitating factor, yaitu faktor pencetus berupa sesuatu yang dramatik. Suatu
peristiwa empirik atau situasi tertentu dapat menjadi lebih dan satu faktor penentu
dalam gejolak sosial.
5). Mobilization into action, yaitu suatu mobilisasi untuk bertindak. Dalam situasi ini
peranan seorang amat menentukan. Situasi dapat berkembang dari kepanikan, timbul-
nya permusuhan dan kemudian diteruskan dengan agitasi untuk reform atau revolusi.
6). The operation of social control, yaitu pengoperasian kontrol sosial atau faktor penentu
yang berbalik mencegah, mengganggu, membelokkan, merintangi gejolak-gejolak itu,
dengan cara: (a) mencegah terjadinya episode gejolak-gejolak sosial dan (b) mobilitas
alat-alat negara segera se telah gejolak sosial mulai terjadi.

Keenam faktor penentu yang disebutkan Smelser di atas, sebagai pendorong

lahirnya suatu gejolak sosial, harus saling mendukung dan terkait satu dengan yang

lainnya. Salah satu faktor yang tampil ke permukaan, tidak dapat melahirkan suatu

gejolak; melainkan merupakan kombinasi dari keenam faktor tersebut yang mampu untuk

melahirkan suatu gejolak.

Sampai seberapa jauh kedua teori yang dikemukakan di atas, yaitu teori deprivasi

relatif dan perilaku kolektif cukup relevan untuk dijadikan sebagai alat pendekatan teori

terhadap pemberontakan yang pernah terjadi dengan latarbelakang perasaan tertindas atau

frustrasi, Michael Adas memberikan keterangan bahwa:

Teori deprivasi relatif juga cocok untuk kajian perbandingan protes sosial; teori ini cukup
luas dan fleksibel untuk mencakup keanekaragaman penyebab timbulnya gerakan yang
berbeda. Konteks histroris atau situasi sosio-budaya yang menghasilkan perasaan
deprivasi relatif sangat bervariasi. Tuntutan ekonomi mungkin merupakan pusat dalam
satu kasus, tetapi inasih kurang penting diband ingkan dengan ancaman terhadap
kepercayaan keagamaan atau status sosial pada kasus yang lain.

Peneliti yang telah melakukan penelitian terhadap pelbagai jenis pemberontakan di Asia
ini dengan menggunakan teori relative deprivation, melanjutkan keterangannya dengan,
14

"...,konsep tersebut dapat d iterapkan secara efektif pada sumber-sumber potensial


penyebab ketidakpuasan yang luas, termasuk kemerosotan individual dan integritas
kelompok, kehilang-an penghargaan terhadap diri sendiri.
Selanjutnya, relevansi dari Theory of Collective behavior untuk menjadi alat
analisis, Ibrahim Alfian menyatakan bahwa:
"Jika seandainya timbul rasa ingin tahu mengenai sebab-sebab tetjad inya suatu peristiwa
yang telah berada di belakang kita, balk peristiwa itu didalangi oleh kaum komunis
seperti peristiwa Jengkol di Kediri tahun 1965, peristiwa Tanjung Priok oleh golongan
extrim 'cattail tahun 1984, pemberontakan-pemberontakan petani pada abad XIX, atau
perang-perang nielawan kolonialisnie Belanda misalnya, sejarawan diharapkan dapat
memberikan jawaban. Untuk dapat memberikan eksplanasi yang memadai, sejarawan
harus berpaling kepada ihnu-ilmu sosial, apakah ada konsep-konsep yang dapat
digunakan dalam analisisnya. Dalam hal gejolak-gejolak sosial, teori Neil J. Smelser yang
terdapat di dalam bukunya yakni Theory of Collective Behavior, mungkin dapat
membantu".

Atas dasar keterangan-keterangan yang dikemukakan di atas, dengan menyadari


keterbatasan kemungkinan penggunaan terhadap teori-teori tertentu di dalam penggarapan
suatu subyek penelitian, penulis akan menggunakan kedua teori yang disebutkan di atas,
sebagai landasan teori dalam meneliti gerakan Abdul Qahhar Mudzakkar atau DI/TII di
Sulawesi Selatan.

C. Kerangka Pikir

Penegakan Kedaulatan Negara NKRI Persepsi Tentang Negara Islam


Indonesia (NII)

Kontra Pandangan

APRIS dan Penegakkan Kedaulatan Pembentukan DI/TII di Sulawesi


Selatan Oleh Qahhar Mudzakkar

Pemberontakan dan Penumpasan


15

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Penelitian ini di bangun di atas kajian literal yang berarti bahwa seluruh konteks

penelitian merupakan analiaa yang dilakukan terhadap suatu permasalahan berdasarkan

sumber atau lietaratur, olehnya itu maka lokasi penelitian ini seluruhnya di pusatkan pada

perpustakaan dan pusat kearsipan.

B. Jenis Penelitian

Model atau jenis penelitian yang dipakai penulia adalah penelitian deskripsi yaitu

suatu penelitian yang bertujuan untuk melakukan pencanderaan secara siatematia faktual

dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah-daerah tertentu.

Penelitian deskripsi terbatas pada usaha mengungkap suatu masalah sebagaimana

adanya sehingga bersifat sekedar untuk mengungkapkan fakta.

C. Teknik Pengumpulan Data

Berdasarkan atas konsep penjelasan mengenai metodologi ilmu sejarah maka dalam

penelitian ini mengikuti prosedur dan kaidah yang berlaku dalam penelitian sejarah, yakni

melalui tahap (1) Heuriatik, (2) Kritik, (3) Interpretasi dan (4) Hiatoriografi. Berdasarkan

tahapan itu maka langka pertama yang dilakukan adalah pengumpulan data. Untuk data

sekunder pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan. Sedangkan untuk data

primer ditempuh melalui studi sumber (arsip / dokumen sejarah) serta wawancara dengan

pelaku sejarah dan atau saksi sejarah yang masih mungkin ditemukan. Pada tahap kedua

dilakukan seleksi data serta pengujian validitas dan reabilitas melalui kritik sumber

(internal dan eksternal). Selanjutnya pada tahap ketiga dilakukan interpretasi data dengan

menggunakan teori collective action dari Chriatopher Lloyd (1993) serta polity model

( government, contender, polity dan coalition) dari Charles Tilly (1978).


16

D. Teknik Analisa Data


Dalam menganaliaa data, penulia menggunakan metode deskriptif. Tujuannya yakni

agar data yang terkumpul dalam penelitian terlebih dahulu diausun dan diklasifikasikan

dan kemudian di interpretasikan untuk selanjutnya di analiaia guna dijadikan argument

untuk mengambil suatu kesimpulan beserta implikasinya.

Adapun dalam analiaa data langkah-langkah yang ditempuh oleh penulia meliputi:

a. Kritik (pengujian);

Kritik terhadap sumber terdiri dari kritik ekstern pengujian terhadap autentitas

sumber, apakah asli, turunan atau palsu serta relevansi iainya suatu sumber. Kritik

intern yaitu pengujian terhadap iai atau kandungan sumber. Tujuan kritik untuk

menyeleksi data menjadi fakta dan kemudian menuju ke tahap rekonstruksi.

b. Interpretasi atau penafsiran

Pada tahap interpretasi antropologia dilakukan dengan mencari dan menemukan

suatu realita kebudayaan yang ada pada masyarakat kemudian dari padanya akan

dibuat suatu deskripsi yang merupakan pemaparan hasil temuan.

E. Teknik Penulisan
Fase terakhir dalam metode sejarah adalah hiatoriografi. Hiatoriografi merupakan

cara penuliaan, pemaparan atau pelaporan hasil penelitian, olehnya penuliaan hasil

penelitian sejarah hendaklah dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai proses

penelitian. Maka melalui hiatoriografi ini penulia dapat menilai apakah penelitian ini

sesuai dengan prosedur atau tidak dan dapat dipaparkan sesuai dengan fakta sejarah yang

ada. Dalam memaparkan hasil penelitian, terutama dalam ilmu sejarah kaidah yang harus

selalu diperhatikan adalah eksplanasi.


17

DAFTAR PUSTAKA

Ali R.Moh., Pengantar Ilmu Sejarah, LKIS, Yogyakarta, 2005.

Arcurdata, Soetojo, Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia, Balai Pustaka,


Jakarta, 1965.

Berg van Den, H.J. Kroeskamp,Dr. Dari Panggung Peristiwa Sejarah Dunia I, II,
III, J.B. Wolters Groningen, Jakarta, 1955.

Dekker Njoman I, Drs,S.H. Sejarah Indonesia Baru, 1800 – 1900, Lembaga Penerbitan
IKIP Malang, 1969.

Ekayati, Arnold J. Toynbee’, Ensiklopedia Nasional Indonesia, Jilid 16, PT Cipta Adi

Pustaka, Jakarta, 1996.Hal 413-414.

Furnivall, J.S., Hindia Belanda; Studi Tentang Ekonomi Majemuk (Terjemahan,


Samsudin Berlian), Freedom Institue, Jakarta, 2009.

Koentowijoyo, Metodologi Sejarah, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2003.

Kartodirdjo Sartono,Prof.Dr. Pengantar Sejarah Indonesia Baru I, Gramedi,


Jakarta, 1988.

Luis Gotschalk, Mengerti Sejarah, UI Press, Jakarta, 2006.

Moejanto, Indonesia Abad XX Jilid I, Kanisius, Yogyakarta,988.

Notosusanto Nugroho, Marwati Djoenedpusponegoro, Sejarah Nasional


Indonesia III dan IV, Balai Pustaka 1990.

Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Serambi, Jakarta, 2005.

Stapel F.W. Dr. Geschiedenis Van Nederland Indie, Deel II, IV, V, N.V.
Uitgeversmaatschappij, Joost Van Den Vondel, Amsterdam 1938.

Vlekke Bernard, H.M., Nusantara; Sejarah Indonesia (Terjemahan; Samsudin Berlian),


Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2008.

Wolf Charles,Jr. The Indonesian Story, The John Day Company, New York 1948.

Anda mungkin juga menyukai